Di susun oleh:
Risyad Albar Saragih (2206200607)
Nabil Muhammad (2206200601)
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Maha Esa yang telah memberikan
rahmat sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok yang berupa makalah
yang berjudul “yuridiksi negara dalam hukum internasional”
Adapun tujuan kami dalam pembuatan makalah ini adalah untuk menyelesaikan
tugas yang telah diberikan kepada kami pada mata kuliah Hukum Internasional.
Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menarik minat dan memperluas
wawasan bagi para pembaca dan juga untuk para penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
pengetahuan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah kami. Jika ada
kesalahan kata dan penulisan kami memohon maaf sebesar-besarnya.
Medan, 3 November 2023
2
DAFTAR ISI
3
BAB. I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
4
2. Untuk mengetahui prinsip-prinsip yuridiksi dalam hukum
internasional.
3. Untuk mengetahui penerapan Yuridiksi ekstrateritorial.
4. Untuk mengetahui bentuk kerjasama antar negara dalam penerapan
yuridiksi
BAB. II
PEMBAHASAN
2.1 pengertian yuridiksi dalam hukum internasional
Kata yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio. Kata
yurisdictioberasal dari dua kata yaitu kata Yuris dan Diction. Yuris berarti
kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut hukum. Adapun Dictio berarti ucapan,
sabda atau sebutan. Dengan demikian dilihat dari asal katanya Nampak bahwa
yurisdiksi berkaitan dengan masalah hukum, kepunyaan menurut hukum atau
kewenangan menurut hukum.
Dalam praktik kata yurisdiksi sering memiliki bebarapa arti seperti di
pengadilan Inggris dalam kasus custody of children sering dinyatakan bahwa para
pihak dilarang melakukan “out of the jurisdiction of the court” terhadap anak-anak
yang berarti melarang membawa anak-anak keluar dari Inggris. Kata jurisdiction
di sini berarti territory. Dalam Piagam PBB sering digunakan istilah domestic
jurisdiction yang berarti kewenangan domestik. Meskipun demikian, dalam
praktik, kata yurisdiksi paling sering untuk menyatakan kewenangan yang
dlaksanakan oleh Negara terhadap orang, benda atau peristiwa. Menurut Wayan
Parthiana, kata yurisdiksi berarti kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu
badan peradilan atau badan-badan Negara lainnya yang berdasarkan atas hukum
yang berlaku. Bila yurisdiksi dikaitkan dengan Negara maka akan berarti
kekuasaan atau kewenangan Negara untuk menetapkan dan memaksakan (to
declare and to enfore) hukum yang dibuat oleh Negara atau bangsa itu sendiri.
Dalam bahasa yang lebih sederhana Shaw mengemukakan bahwa yurisdiksi
adalah kompetensi atau kekuasaan hukum Negara terhadap orang, benda dan
peristiwa hukum. Yurisdiksi ini merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan
Negara, persamaan derajat Negara dan prinsip non intervensi.
Ada tiga macam yurisdiksi yang dimiliki oleh Negara yang berdaulat menurut
John O’Brien, yaitu:
5
1. Kewenangan Negara untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum
terhadap orang, benda, peristiwa maupun perbuatan di wilayah
teritorialnya (legislative jurisdiction or prescriptive jurisdiction);
6
melaksnakan segala bentuk kekuasaannya di wilayah Negara lain. Dengan kata
lain, kecuali ditentukan lain, Negara A tiak dapat melaksanakan yurisdiksinya di
Negara B.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bila Negara memiliki kekuasaan
penuh di bawah hukum internasional to prescribe jurisdiction, namun
pelaksanaanprescriptive jurisdiction tersebut terbatas hanya di wilayah
teritorialnya saja. Penggunaan kekuatan polisi, eksekusi putusan pengadilan
nasional, tidak dapat dilakukan di wilayah Negara lain, kecuali diperjanjikan
secara khusus oleh pihak-pihak terkait. Contoh yang jarang terjadi adalah
perjanjian antara UK dan Belanda 1999 yang mengizinkan persidangan kasus
Lockerbie diselenggarakan oleh Pengadilan Scotlandia, menggunakan hukum
Scotlandia, di wilayah Belanda. Kesemuanya ini sebenarnya senada dengan yang
dikemukakan oleh Muchtar Kusumaatmadja bahwa kedaulatan Negara berakhir
ketika dimlai wilayah Negara lain. Kedaulatan Negara dibatasi oleh hukum
internasional dna kepentingan Negara lain.
7
2.2 Prinsip- Prinsip yuridiksi dalam hukum internasional
Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction) mencakup
perdata dan pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hokum pengadilan
suau Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang
sifatnya perdata biasa (nasional), maupun yang bersifat perdata internasional di
mana ada unsur-unsur asing dalam kasus tersebut baik menyangkut para pihak,
objek yang disengketakan maupun tempat perbuatan dilakukan. Adapun yurisdiksi
pidana adalah kewenangan hokum pengadilan suatu Negara terhadap perkara-
perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang murni nasional maupun yang
terdapat unsure asing di dalamnya.
Hukum internasional public tidak banyak membuat aturan atau pembatasan
berkaitan dengan kasus-kasus perdata internasional. Hokum internasional public
lebih memfokuskan diri pada yurisdiksi pengadilan yang berkaitan dengan kasus-
kasus pidana internasional. Sepanjang menyangkut perkara pidana ada beberapa
prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam hokum internasional yang dapat digunakan
oleh Negara untuk mengklaim dirinya memiliki judicial jurisdiction. Adapun
prinsip-prinsip tersebut ialah:
1. Prinsip Yurisdiksi Teritorial
Menurut prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-
kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya. Dibandingkan
prinsi-prinsip lain, prinsip territorial merupakan prinsip yang tertua, terpopuler
dan terpenting dalam pembahasan yurisdiksi dalam HI. Menurut Hakim Loed
Macmillan, suatu Negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda
dan perkara-perkara perdata dan pidana dalam batas-batas territorialnya sebagai
pertanda Negara tersebut berdaulat. Pengadilan Negara di mana suatu kejahatan
dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat dengan pertimbangan:
8
maka ia harus tunduk pada hokum stempat meskipun mungkin apa
yang ia lakukan sah (lawful) menurut system HN negaranya
sendiri.
9
Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warga yang
melakukan kejahatan di luar negeri. Indonesia memiliki yurisdiksi untuk
mengadilil TKI yang membunuh majikannya di Arab Saudi atas dasar prinsip ini.
Dalam praktik sering terjadi klaim yang tumpang tindih dari beberapa Negara
karena pelaku kejahatan memiliki kewarganegaraan ganda. Karenanya sangat
penting bagi suatu Negara untuk membuat aturan tegas siapa yang berhak
mendapatkan kewarganegaraan di negaranya.
8. Prinsip Nasionalitas Pasif
Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang
menjadi korban kejahatan yang dilakukan orang asing di luar negeri. Dengan
prinsip ini maka Indonesia akan memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip
nasionalitas pasif terhadap Philip (Warga Filipina) yang membunuh Soni (Warga
Indonesia) di Thailand. Dalam kasus US v Yunis 1989, Amerika mengadili Yunis,
warga Libanon yang dituduh terlibat pembajakan pesawat Yordania di Timur
Tengah atas dasar prinsip nasionalitas pasif. Beberapa warga AS yang ada dalam
pesawat Yordania itu menjadi korban perbuatan Yunis.
9. Prinsip Universal
Berdasarkan prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku
kejahatan internasional yang dilakukan dimanapun tanpa memperhatikan
kebangsaan pelaku maupun korban. Alasan munculnya prinsip ini adalah bahwa
pelaku dianggap orang yang sangat kejam, musuh seluruh umat manusia, jangan
sampai ada tempat untuk pelaku meloloskan diri dari hukuman, sehingga tuntutan
yang dilakukan oleh suatu Negara terhadap pelaku adalah atas nama seluruh
masyarakat internasional.
Yurisdiksi universal dalam hokum internasional bertujuan untuk memproses
fenomena pengampunan (impunity) bagi orang-orang tertentu. Pelaku serious
international crime tanpa di bawah hokum internasional yang menikmati impunity
bebas bepergian ke suatu tempat yang diinginkannya setelah ia melakukan serious
international crime tanpa bisa dimintai pertanggungjawaban bahkan hanya untuk
sekedar diinvestigasi.
Yurisdiksi universal adalah yurisdiksi yang bersifat unik dengan beberapa cirri
menonjol sebagai berikut:
10
tersebut harus dibuktikan dengan tidak adanya niat untuk melindungi
pelaku dengan memberikan safe heaven dalam wilayah negaranya.
11
Negara. Semua Negara mengutuk (condemn) perbuatan itu dan
menentukan hukumannya yang layak.
12
untuk mengadili seseorang atas dasar prinsip perlindungan bagi negaranya.
Beberapa Negara barat menggunakan prinsip ini dalam kasus perdagangan obat-
obat terlarang juga terorisme. Adapun Indonesia menyatakan dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidananya bahwa Indonesia memiliki yurisdiksi terhadap
seseorang yang ada di luar negeri yang melakukan tindakan mengancam dan
kepentingan vital ekonomi Indonesia.
2.3 Penerapan yuridiksi ekstrateritorial
Hukum internasional memang tidak mengatur secara detail pembatasan-
pembatasan yurisdiksi suatu Negara, kecuali apa yang telah dikenal dalam prinsip-
prinsip yurisdiksi hokum internasional, misalnya bahwa suatu Negara tidak akan
menjalankan yurisdiksinya terhadap orang, benda atau perbuatan yang tidak ada
sangkut paut dengan negaranya. Namun demikian, seandainya ada suatu Negara
(Negara A) menyatakan bahwa penerapan yurisdiksi dari Negara B melanggar
hokum internasional, maka Negara A harus membuktikan dimana letak
pelanggaran yang telah dilakukan Negara B.
Dalam kaitannya dengan hal ini pertanyaan yang sering muncul adalah apakah
suatu Negara (Negara C) bisa menerapkan yurisdiksi extraterritorial-nya terhadap
subjek hokum asing (Negara D) yang melakukan perbuatan di luar wilayah
Negara C. Yurisdiksi ekstrateritorial digunakan beberapa Negara berlandaskan
kepentingan nasional, khususnya kepentingan nasional, khususnya kepentingan
bisnis mereka. Sebagai contoh dapat dikemukakan jika dua perusahaan asing
membuat perjanjiandi luar negeri untuk mengoordinasikan kebijakan harga
barang-barang yang mereka pasarkan di wilayah Negara X dapatkah dikatakan
bahwa perjanjian ii melanggar hokum nasional Negara X atas dasar merugikan
kepentingan Negara X.
Undang-undang anti monopoli Amerika Serikat, Sherman Act, yang pertama kali
dibuat tahun 1890 adalah contoh riil undang-undang nasional yang menerapkan
yurisdiksi ekstrateritorial. UU ini menetapkan bahwa semua perjanjian,
persekongkolan, dan konspirasi dalam pembatasan usaha bidang perdagangan,
baik di dalam maupun luar negeri, yang mencoba memonopoli adalah
bertentangan dengan hokum Amerika Serikat (AS).
13
Contoh kasus penggunaan yurisdiksi ekstrateritorial antara lain dalam kasus
American Banana Co. Dalam kasus ini penggugat adalah warga Negara AS,
pemilik perkebunan pisang di Costarica, sedangkan tregugat adalah pemilik
United Fruit Co. Tuntutan yang diajukan adalah bahwa tergugat telah melanggar
Sherman Act dengan cara membujuk pemerintah Costaria untuk merampas tanah
milik perkebunan Banana Co. Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa
Sherman Act tidak dapat diterapkan terhadap United Fruit Co atas kegiatannya
yang dilakukan di luar negeri bila kegiatan tersebut tidak melanggar hokum
Costarica. Pelanggaran terhadap hokum AS di luar negeri tidak dapat dijadikan
dasar tuntutan di pengadilan AS apabila tindakan tersebut tidka bertentangan
dengan hokum nasionall dimana perbuatan itudilakukan.
Dalam kasus Alcoa 1945, Pemerintah AS telah menggugat perusahaan Alcoa dan
aluminium Ltd berdasarkan Sherman Act dimana tergugat dituduh telah
bersekongkol dengan berbagai perusahaan asing (Swiss, Jerman, Inggris) untuk
menghambat perdagangan domestic maupun luar negeri AS dalam hal produksi
dan penjualan aluminium. Perkara ini sudah menjadikan preseden yurisdiksi
ekstrateritorial yang sangat popular. Pengadilan banding AS dalam putusannya
menetapkan bahwa kongres tidak dapat menerapkan Sherman Act apabila:
Apabila kedua syarat itu terpenuhi maka Sherman Act dapat diterapkan sekalipun
kegiatannya dilakukan di luar wilayah AS.
14
Pulp. Dalam kasus ini muncul kontroversi seputar dua hal menyangkut yurisdiksi
ECJ dan substansi tuntutan. Dalam kasus ini pengadilan pengadilan menetapkan
bahwa lebih dari 42 supplier of wood pulp melanggar European Community
Competition Law. Perusahaan-perusahaan tersebut 11 perusahaan AS, 6 Canada,
11 Swedia, 11 Finlandia, 1 Norwegia, 1 Spanyol, dan 1 Portugal. Perusahaan-
perusahaan Non EC ini menjual barang mereka ke Eropa lewat berbagai cara
seperti agen, cabang, dan anak perusahaan yang berada di Eropa.
15
penyitaan asset, dengan Undang-undang No 1 Tahun 2006 tentang Bantuan
Timbal Balik dalam Masalah Pidana (mutual assistance in criminal matters).
Perbedaan kedua bentuk perjanjian kerja sama penegakan hokum tersebut adalah,
bahwa perjanjian ekstradisi untuk tujuan penyerahan orang (pelaku kejahatan),
sedangkan perjanjian MLTA’s untuk tujuan perbantuan dalam proses penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang peradilan pidana termasuk pengusutan,
penyitaan dan pengembalian asset hasil kejahatan. Permintaan penyerahan pelaku
kejahatan (ekstradisi) tidak serta merta merupakan pengembalian aset hasil
kejahatan yang dibawa pelaku kejahatan yang bersangkutan. Kedua bentuk
perjanjian tersebut harus saling melengkapi dan bukan dilihat secara terpisah. Hal
ini berarti permintaan ekstradisi wajib dilengkapi dengan permintaan bantuan
timbal balik dalam masalah pidana terutama pengusutan dan pengembalian aset
kejahatan dari pelaku kejahatan yang bersangkutan.
16
Perjanjian ekstradisi tumbuh dari praktik Negara-negara yang kemudian menjadi
hokum kebiasaan internasional. Pada umunya perjanjian-perjanjian ekstradisi
akan memuat sebagai prinsip-prinsip berikut:
1. Prinsip kejahatan ganda (double criminal)
2. Prinsip kekhususan/spesialitas
3. Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik
4. Prinsip tidak menyerahkan WN sendiri
5. Prinsip Ne bis in idem
6. Prinsip kadaluwarsa
Prinsip-prinsip di atas sudah terwadahi dalam instrumen hukum nasional yaitu UU
No. 1/1979 tentang ekstradisi. Disamping hukum nasional yang bersumberkan
pada hukum internasional, saat ini PBB juga sudah mengeluarkan instrumen
khusus yang menjadi panduan dalam pembuatan perjanjian ekstradisi yaitu Model
Treaty on Extradition. Model ini bisa diterapkan baik dalam perjanjian bilateral
maupun internasional.
BAB. III
PENUTUP
3.1Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bila Negara memiliki
kekuasaan penuh di bawah hukum internasional to prescribe
jurisdiction, namun pelaksanaanprescriptive jurisdiction tersebut
terbatas hanya di wilayah teritorialnya saja. Penggunaan kekuatan
polisi, eksekusi putusan pengadilan nasional, tidak dapat dilakukan di
wilayah Negara lain, kecuali diperjanjikan secara khusus oleh pihak-
pihak terkait. Contoh yang jarang terjadi adalah perjanjian antara UK
17
dan Belanda 1999 yang mengizinkan persidangan kasus Lockerbie
diselenggarakan oleh Pengadilan Scotlandia, menggunakan hukum
Scotlandia, di wilayah Belanda. Kesemuanya ini sebenarnya senada
dengan yang dikemukakan oleh Muchtar Kusumaatmadja bahwa
kedaulatan Negara berakhir ketika dimlai wilayah Negara lain.
Kedaulatan Negara dibatasi oleh hukum internasional dan kepentingan
Negara lain.
3.2 Saran
Dari uraian di atas, secara singkat dapat dikemukakan disini bahwa
masih ada rasa was-was atau perasaan belum yakin untuk
mengandalkan secara penuh yurisdiksi Negara dalam Hukum
Internasional. Perbaikan penegakan hukum, SDM, perubahan kultur
harus terus-menerus dibenahi. Selagi pembenahan berjalan, tampaknya
dewasa ini upaya-upaya yang efektif untuk menerapkan yurisdiksi
Negara dalam hukum internasional adalah agar para pihak mencoba
dengan sungguh-sungguh supaya hal tersebut dapat diterapkan dengan
baik dan sesuai aturan hukum yang berlaku.
18
DAFTAR PUSTAKA
https://law.uii.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Buku-Hukum-
International-Suatu-Pengantar-Edisi-Kedua.
19
20