Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

YURIDIKSI NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL


Di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas pembelajaran hukum
internasional

Dari bapak HARISMAN S.H. M.H

Di susun oleh:
Risyad Albar Saragih (2206200607)
Nabil Muhammad (2206200601)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM S1 FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA 2023.

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Maha Esa yang telah memberikan
rahmat sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok yang berupa makalah
yang berjudul “yuridiksi negara dalam hukum internasional”
Adapun tujuan kami dalam pembuatan makalah ini adalah untuk menyelesaikan
tugas yang telah diberikan kepada kami pada mata kuliah Hukum Internasional.
Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menarik minat dan memperluas
wawasan bagi para pembaca dan juga untuk para penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
pengetahuan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah kami. Jika ada
kesalahan kata dan penulisan kami memohon maaf sebesar-besarnya.
Medan, 3 November 2023

2
DAFTAR ISI

Kata pengantar .................................................................................................. 2


Daftar isi ............................................................................................................. 3
BAB. I ................................................................................................................. 4
1.1 Latar belakang ............................................................................................ 4
1.2 Rumusan masalah ...................................................................................... 4
1.3 Tujuan penulisan ........................................................................................ 4
BAB. II ............................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ............................................................................................... 5
2.1 Pengertian yuridiksi negara dalam hukum internasional ..................... 5
2.2 prinsip- prinsip yuridiksi dalam hukum internasional .......................... 7
2.3 Penerapan yurisdiksi ekstrateritorial ..................................................... 12
2.4 Bentuk kerjasama antar negara dalam penerapan yuridiksi .............. 14
BAB. III ........................................................................................................... 17
Penutup ...........................................................................................................
17
Kesimpulan .....................................................................................................
17
Saran ............................................................................................................... 18
Daftar pustaka ...............................................................................................
19

3
BAB. I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang

Tertib hukum internasional dilandasi prinsip kedaulatan Negara. Setiap


Negara merdeka memiliki kedaulatan untuk mengatur segala sesuatu yang
ada maupun yang terjadi di wilayah atau teritorialnya. Sebagai
implementasi dimilikinya kedaulatan, Negara berwenang untuk
menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dan untuk menegakkan atau
menetapkan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya terhadap suatu
peristiwa, kekayaan dan perbuatan. Kewenangan ini dikenal sebagai
yurisdiksi Negara dalam hukum internasional. Yurisdiksi Negara dalam
hokum internasional jelas berperan sangat penting dalam tiap-tiap Negara,
dengan demikian tiap Negara berwenang untuk menetapkan ketentuan-
ketentuan hokum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, kekayaan dan
perbuatan apapun yang terjadi di wilayah atau teritorialnya.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah-masalah yang dibahas


dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa pengertian yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional?


2. Apa saja prinsip-prinsip yurisdiksi dalam Hukum Internasional?
3. Bagaimana penerapan yurisdiksi ekstrateritorial?
4. Bagaimana bentuk kerjasama antranegara dalam penerapan yurisdiksi?

1.3 Tujuan penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu;

1. Untuk mengetahui pengertian dari yuridiksi negara dalam hukum


internasional.

4
2. Untuk mengetahui prinsip-prinsip yuridiksi dalam hukum
internasional.
3. Untuk mengetahui penerapan Yuridiksi ekstrateritorial.
4. Untuk mengetahui bentuk kerjasama antar negara dalam penerapan
yuridiksi

BAB. II
PEMBAHASAN
2.1 pengertian yuridiksi dalam hukum internasional
Kata yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio. Kata
yurisdictioberasal dari dua kata yaitu kata Yuris dan Diction. Yuris berarti
kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut hukum. Adapun Dictio berarti ucapan,
sabda atau sebutan. Dengan demikian dilihat dari asal katanya Nampak bahwa
yurisdiksi berkaitan dengan masalah hukum, kepunyaan menurut hukum atau
kewenangan menurut hukum.
Dalam praktik kata yurisdiksi sering memiliki bebarapa arti seperti di
pengadilan Inggris dalam kasus custody of children sering dinyatakan bahwa para
pihak dilarang melakukan “out of the jurisdiction of the court” terhadap anak-anak
yang berarti melarang membawa anak-anak keluar dari Inggris. Kata jurisdiction
di sini berarti territory. Dalam Piagam PBB sering digunakan istilah domestic
jurisdiction yang berarti kewenangan domestik. Meskipun demikian, dalam
praktik, kata yurisdiksi paling sering untuk menyatakan kewenangan yang
dlaksanakan oleh Negara terhadap orang, benda atau peristiwa. Menurut Wayan
Parthiana, kata yurisdiksi berarti kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu
badan peradilan atau badan-badan Negara lainnya yang berdasarkan atas hukum
yang berlaku. Bila yurisdiksi dikaitkan dengan Negara maka akan berarti
kekuasaan atau kewenangan Negara untuk menetapkan dan memaksakan (to
declare and to enfore) hukum yang dibuat oleh Negara atau bangsa itu sendiri.
Dalam bahasa yang lebih sederhana Shaw mengemukakan bahwa yurisdiksi
adalah kompetensi atau kekuasaan hukum Negara terhadap orang, benda dan
peristiwa hukum. Yurisdiksi ini merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan
Negara, persamaan derajat Negara dan prinsip non intervensi.
Ada tiga macam yurisdiksi yang dimiliki oleh Negara yang berdaulat menurut
John O’Brien, yaitu:

5
1. Kewenangan Negara untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum
terhadap orang, benda, peristiwa maupun perbuatan di wilayah
teritorialnya (legislative jurisdiction or prescriptive jurisdiction);

2. Kewenangan Negara untuk memaksakan berlakunya ketentuan-


ketentuan hukum nasionalnya (executive jurisdiction or enforcement
jurisdiction);

3. Kewenangan pengadilan Negara untuk mengadili dan memberikan


putusan hukum (yudicial jurisdiction).

Adalah penting untuk membedakan antara ketiga yurisdiksi di atas. Menurut


Akehurst, khususnya membedakan antara yang kedua dengan yang ketiga. Contoh
enforcement jurisdiction adalah menangkap seseorang, menyita harta kekayaan
dan lain-lain. Enforcement jurisdiction menurut Akehurst merupakan powers of
physical interference exercised by the executive. Contoh enforcement jurisdiction
adalah menangkap seseorang, menyita harta kekayaan dan lain-lain. Adapun
contoh judicial enforcement adalah persidangan yang dilakukan pengadilan suatu
Negara berkaitan dengan orang, banda maupun peristiwa tertentu.

Bila Akehurst menekankan perbedaan antara enforcement jurisdiction


denganjudicial jurisdiction. Beberapa penulis lain seperti Martin Dixon dan Tien
Saefullah menggabungkan keduanya dalam enforcement jurisdiction. Dengan
demikian, menurut mereka keweangan Negara untuk menetapkan ketentuan-
ketentuan hukum dikenal sebagai jurisdiction to prescribe, adapun kewenangan
untuk menegakkan atau menerapkan ketentuan hukum nasionalnya terhadap
peristiwa, kekayaan danperbuatan dikenal sebagai jurisdiction to enfore. Dengan
jurisdiction to prescribe Negara bebas untuk merumuskan materi ketentuan HN-
nya, juga untuk menyatakan bahwa ketentuan tersebut berlaku secara
ekstrateritorial, maka beberapa penulis lain justru menekankan pentingnya
perbedaan antara prescriptive jurisdiction dengan enforcement jurisdiction.
Kewenangan Negara untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dikenal
sebagaijurisdiction to prescribe.

Adapun berkaitan dengan jurisdiction to enforce Negara tidak dapat secara


otomatis memaksakan ketentuan hukum yang telah dirumuskannya di luar
wilayah negaranya. Hal ini dikarenakan oleh adanya prinsip Par in parem non
habet imperiumyang melarang suatu Negara yang berdaulat melakukan tindakan
kedaulatan di dalam wilayah Negara lain. Dalam kasus Lotus 1927 Mahkamah
Internasional Permanen (PJIC) dinyatakan bahwa suatu Negara tidak dapat

6
melaksnakan segala bentuk kekuasaannya di wilayah Negara lain. Dengan kata
lain, kecuali ditentukan lain, Negara A tiak dapat melaksanakan yurisdiksinya di
Negara B.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bila Negara memiliki kekuasaan
penuh di bawah hukum internasional to prescribe jurisdiction, namun
pelaksanaanprescriptive jurisdiction tersebut terbatas hanya di wilayah
teritorialnya saja. Penggunaan kekuatan polisi, eksekusi putusan pengadilan
nasional, tidak dapat dilakukan di wilayah Negara lain, kecuali diperjanjikan
secara khusus oleh pihak-pihak terkait. Contoh yang jarang terjadi adalah
perjanjian antara UK dan Belanda 1999 yang mengizinkan persidangan kasus
Lockerbie diselenggarakan oleh Pengadilan Scotlandia, menggunakan hukum
Scotlandia, di wilayah Belanda. Kesemuanya ini sebenarnya senada dengan yang
dikemukakan oleh Muchtar Kusumaatmadja bahwa kedaulatan Negara berakhir
ketika dimlai wilayah Negara lain. Kedaulatan Negara dibatasi oleh hukum
internasional dna kepentingan Negara lain.

Penerapan yurisdiksi menjadi masalah hukum internasional bila dalam suatu


kasus ditemukan unsur asing. Misalkan saja kewarganegaraan pelaku dan/atau
korban warga Negara asing., atau tempat perbuatan atau peristiwa terjadi di luar
negeri. Dalam kasus yang kompleks bisa tersangkut banyak unsure asing,
misalkan saja dalam kasus pembunuhan yang dilakukan Oki, seorang mahasiswa
WNI terhadap dua WNI lainnya dan WN India di New York tahun 1995. Kasus ini
menyangkut tiga Negara. Semua Negara mengklaim memiliki yurisdiksi terhadap
si pembunuh, tetapi hanya ada satu Negara yang akan mengadilinya. Seorang
pelaku kejahatan tentu tidak dapat diadili untuk kedua kalinya dalam perkara dan
tuntutan yang sama. Negara tempat dimana pelaku ditemukan memiliki
kesempatan terbesar untuk menerapkan yurisdiksinya. Meskipun demikian, belum
tentu Negara tersebut mau menerapkan yurisdiksinya. Dalam kasus mahasiswa
Indonesia di atas meskipun pelaku ditangkap di New York, tetapi atas permintaan
pemerintah Indonesia, AS mengekstradisikan pelaku ke Indonesia.

Dalam kaitannya dengan klasifikasi beberapa penulis hukum internasional telah


mencoba untuk membuat beberapa kualifikasi. Berdasarkan objeknya (hal,
masalah, peristiwa, orang dan benda), yurisdiksi Negara dibedakan menjadi
yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan, yurisdiksi criminal, yurisdiksi perdata,
dan yurisdiksi eksklusif. Adapun berkaitan dengan ruang atau tempat objek atau
masalah yang bukan semata-mata masalah domestic maka yurisdiksi Negara dapat
dibedakan menjai yurisdiksi territorial, quasi territorial, ekstrateritorial, universal
dan eksklusif.

7
2.2 Prinsip- Prinsip yuridiksi dalam hukum internasional
Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction) mencakup
perdata dan pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hokum pengadilan
suau Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang
sifatnya perdata biasa (nasional), maupun yang bersifat perdata internasional di
mana ada unsur-unsur asing dalam kasus tersebut baik menyangkut para pihak,
objek yang disengketakan maupun tempat perbuatan dilakukan. Adapun yurisdiksi
pidana adalah kewenangan hokum pengadilan suatu Negara terhadap perkara-
perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang murni nasional maupun yang
terdapat unsure asing di dalamnya.
Hukum internasional public tidak banyak membuat aturan atau pembatasan
berkaitan dengan kasus-kasus perdata internasional. Hokum internasional public
lebih memfokuskan diri pada yurisdiksi pengadilan yang berkaitan dengan kasus-
kasus pidana internasional. Sepanjang menyangkut perkara pidana ada beberapa
prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam hokum internasional yang dapat digunakan
oleh Negara untuk mengklaim dirinya memiliki judicial jurisdiction. Adapun
prinsip-prinsip tersebut ialah:
1. Prinsip Yurisdiksi Teritorial
Menurut prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-
kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya. Dibandingkan
prinsi-prinsip lain, prinsip territorial merupakan prinsip yang tertua, terpopuler
dan terpenting dalam pembahasan yurisdiksi dalam HI. Menurut Hakim Loed
Macmillan, suatu Negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda
dan perkara-perkara perdata dan pidana dalam batas-batas territorialnya sebagai
pertanda Negara tersebut berdaulat. Pengadilan Negara di mana suatu kejahatan
dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat dengan pertimbangan:

a. Negara dimana kejahatan dilakukan adalah Negara yang ketertiban


sosialnya paling terganggu;

b. Biasanya pelaku ditemukan Negara dimana kejahatan dilakukan;

c. Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga


proses persidangan dapat lebih efisien dan efektif;

d. Sesroang WNA yang dating ke wilayah suatu Negara dianggap


menyerahkan diri pada system HN Negara tersebut, sehingga
ketika ia melakukan pelanggaran HN di Negara yang ia datangi

8
maka ia harus tunduk pada hokum stempat meskipun mungkin apa
yang ia lakukan sah (lawful) menurut system HN negaranya
sendiri.

Dengan demikian, ketika seorang WN Australia tertangkap basah menyimpan dan


memperjualbelikan ganja di sebuah hotel Denpasar, Bali Indonesia dapat
menerapkan yurisdiksi teritorialnya terhadap orang tersebut.
Meskipun penting, kuat dan popular, penerapan yurisdiksi territorial tidaklah
absolute. Ada beberapa perkecualian yang diatur dalam HI dimana Negara tidak
dapat menerapkan yurisdiksi territorialnya, meskipun suatu peristiwa terjadi di
wilayahnya, beberapa perkecualian yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Terhadap pejabat diplomatik negara asing
b. Terhadap negara dan kepala negara asing
c. Terhadap kapal publik negara asing
d. Terhadap organisasi internasional
e. Terhadap pangkalan militer negara asing

5. Prinsip Teritorial Subjektif


Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang
melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayahnya, tetapi diakhiri atau
menimbulkan kerugian di Negara lain. Didekat perbatasan wilayah Indonesia-
Malaysia, A yang berada di wilayah Indonesia menembak B yang berada di
seberang perbatasan (wilayah Malaysia). Dalam kasus ini, Indonesia memiliki
dasar untuk mengadili A berdasarkan prinsip territorial subjektif karena A
melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayah Indonesia meskipun kerugiannya
timbul di wilayah Malaysia.
6. Prinsip Teritorial Objektif
Berdasarkan prinsip ini sutau Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang
melakukan kejahatan yang menibulkan kerugian di wilayahnya meskipun
perbuatan itu dimulai dari Negara lain. Prinsip teritorial objektif muncul pertama
dalam kasus Lotus, dimana kapal Prancis menabrak kapal Turki yang
mengakibatkan kapal Turki tenggelam. Turki mengklaim memiliki yurisdiksi
terhadap kapal Prancis karena menderita kerugian yang ditimbulkan oleh kapal
(wilayah ekstrateriotrial) Prancis. Dalam kasus A di atas, Malaysia juga dapat
mengklaim memiliki yurisdiksi untuk mengadili A karena telah menimbulkan
kerugian yaitu tertembaknya B di wilayah Malaysia, meskipun penembakan
dilakukan A dari wilayah Indonesia.
7. Prinsip Nasionalitas Aktif

9
Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warga yang
melakukan kejahatan di luar negeri. Indonesia memiliki yurisdiksi untuk
mengadilil TKI yang membunuh majikannya di Arab Saudi atas dasar prinsip ini.
Dalam praktik sering terjadi klaim yang tumpang tindih dari beberapa Negara
karena pelaku kejahatan memiliki kewarganegaraan ganda. Karenanya sangat
penting bagi suatu Negara untuk membuat aturan tegas siapa yang berhak
mendapatkan kewarganegaraan di negaranya.
8. Prinsip Nasionalitas Pasif
Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang
menjadi korban kejahatan yang dilakukan orang asing di luar negeri. Dengan
prinsip ini maka Indonesia akan memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip
nasionalitas pasif terhadap Philip (Warga Filipina) yang membunuh Soni (Warga
Indonesia) di Thailand. Dalam kasus US v Yunis 1989, Amerika mengadili Yunis,
warga Libanon yang dituduh terlibat pembajakan pesawat Yordania di Timur
Tengah atas dasar prinsip nasionalitas pasif. Beberapa warga AS yang ada dalam
pesawat Yordania itu menjadi korban perbuatan Yunis.
9. Prinsip Universal
Berdasarkan prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku
kejahatan internasional yang dilakukan dimanapun tanpa memperhatikan
kebangsaan pelaku maupun korban. Alasan munculnya prinsip ini adalah bahwa
pelaku dianggap orang yang sangat kejam, musuh seluruh umat manusia, jangan
sampai ada tempat untuk pelaku meloloskan diri dari hukuman, sehingga tuntutan
yang dilakukan oleh suatu Negara terhadap pelaku adalah atas nama seluruh
masyarakat internasional.
Yurisdiksi universal dalam hokum internasional bertujuan untuk memproses
fenomena pengampunan (impunity) bagi orang-orang tertentu. Pelaku serious
international crime tanpa di bawah hokum internasional yang menikmati impunity
bebas bepergian ke suatu tempat yang diinginkannya setelah ia melakukan serious
international crime tanpa bisa dimintai pertanggungjawaban bahkan hanya untuk
sekedar diinvestigasi.

Yurisdiksi universal adalah yurisdiksi yang bersifat unik dengan beberapa cirri
menonjol sebagai berikut:

a. Setiap Negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Frase


“setiap negara” mengarah hanya padanegara yang merasa bertanggung
jawab untuk turut serta secara aktif menyelamatkan masyarakat
internasional dari bahaya yang ditimbulkan oleh serious crime, sehingga
merasa wajib untuk menghukum pelakunya. Rasa bertanggung jawab

10
tersebut harus dibuktikan dengan tidak adanya niat untuk melindungi
pelaku dengan memberikan safe heaven dalam wilayah negaranya.

b. Setiap Negara yang ingin melaksanakan yurisdiksi universal tidak perlu


mempertimbangkan siapa dan berkewarganegaraan apa pelaku juga korban
dan dimana serious crime dilakukan. Dengan kata lain dapat dikatakan
tidak diperlukan titik pertautan antara Negara yang akan melaksanakan
yurisdiksinya dengan pelaku, korban dan tempat dilakukannya kejahatan
itu sendiri. Satu-satunya pertimbangan yang diperlukan adalah apakah
pelaku berada di wilayahnya atau tidak? Tidak mungkin suatu Negara bisa
melakansakan yurisdiksi universal bia pelaku tidak berada di wilayahnya.
Akan merupakan pelanggaran hokum internasional bila Negara memaksa
menangkap seseorang yang berada di wilayah Negara lain.

c. Setiap Negara hanya dapat melaksanakan yurisdiksi universalnya terhadap


pelaku serious crime atau yang lazim disebut internastional crime.

Berdasarkan karakteristik sebagaimana dipaparkan di atas dapat disimpulkan


bahwa pada hakikatnya yurisdiksi yang berpotensi untuk mengisi kekosongan
hokum dalam pelaksanaan yurisdiksi terhadap tindak-tindak pidana internasional.
Hakikat yurisdiksi universal berbeda dengan yurisdiksi yang lain karena tidak
memerlukan titik pertautan antara Negara yang melaksanakan yurisdiksinya
dengan pelaku, korban, dan tindak pidana itu sendiri. Kekosongan hokum dapat
diatasi dengan diberikannya wewenang oleh hokum internasional kepada setiap
Negara untuk melaksanakan yurisdiksi universal.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, selama ini yurisdiksi universal hanya
dapat diterapkan dalam kasus-kasus international crime menurut hakim Supreme
CourtAmerika Serikat dalam Hostage Case adalah:
“an international crime is such an act universally recognized as criminal, which is
considered as agrave matter of international concern and for some valid reason
cannot be left within the state that would have control over it under normal
circumatances”
Dengan demikian, untuk menjadi international crime harus memenuhi beberapa
syarat sebagai berikut:

a. Perbuatan itu diakui universal sebagai tindak pidana, sudah dirumuskan


sebagai tindak pidana dalam semua system hokum pidana di semua

11
Negara. Semua Negara mengutuk (condemn) perbuatan itu dan
menentukan hukumannya yang layak.

b. Tindak pidana itu harus memenuhi criteria tertentu sebagai international


crime, yaitu bahwa pelakunya merupakan musuh umat manusia dan
tindakannya bertentangan dengan kepentingan umat manusia sehingga
penegakan hokum internasionalnya harus dilakukan, dengan melalui
hokum kebiasaan internasional maupun perjanjian internasional, dengan
menghukum pelakunya.

c. Arena sifatnya yang sangat membahayakan masyarakat internasional maka


sangat beralasan untuk tidak hanya memberikan yurisdiksi pada suatu
Negara saja yang jika dalam keadaan normal memang berhak untuk
melaksanakannya.

Hukum internasional klasik menyebutkan kejahatan perang (war crime) dan


piracy sebagai kejahatan internasional yang kepadanya dapat diterapkan yurisdiksi
universal. Pasal 404 Restatement (Third) of the Foreign Relations Law of United
Statesmenyebutkan yurisdiksi universal diberlakukan terhadap piracy,
perdagangan budak, attack or hijacking of aircraft, genocide, war crimes dan
terrorism. ICTY memasukkan pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949,
pelanggaran hokum atau kebiasaan perang, genocide, dan kejahatan kemanusiaan
sebagai kejahatan internasional yang memerlukan yurisdiksi universal. Yurisdiksi
ICTR mencakup genocide, kejahatan kemanusiaan, pelanggaran pasal 3 bersama
Konvensi Geneva dan Protokol Tambahan II 1977. Adapun Statuta ICC
menyebutkan genocide, war crime, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan agresi
sebagai yurisdiksinya.
10. Prinsip Perlindungan
Berdasarka prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi trehadap orang asing yang
melakukan yurisdiksi terhadap orang asing yang melakukan kejahatan yang sangat
serius yang mengancam kepentingan vital Negara, keamanan, integritas dan
kedaulatan, serta kepentingan vital ekonomi Negara. Beberapa contoh kejahatan
yang masuk yurisdiksi perlindungan antara lain spying, plots to overthrow the
government, forging currency, immigration and economic violation.

Meskipun dipraktikan di beberapa HN Negara seperti halnya Prancis, Inggris, dan


lain-lain termasuk Indonesia, namun prinsip ini terkadang dipandang sangat
berbahaya karena dapat diinterpretasikan dengan sangat luas oleh suatu Negara

12
untuk mengadili seseorang atas dasar prinsip perlindungan bagi negaranya.
Beberapa Negara barat menggunakan prinsip ini dalam kasus perdagangan obat-
obat terlarang juga terorisme. Adapun Indonesia menyatakan dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidananya bahwa Indonesia memiliki yurisdiksi terhadap
seseorang yang ada di luar negeri yang melakukan tindakan mengancam dan
kepentingan vital ekonomi Indonesia.
2.3 Penerapan yuridiksi ekstrateritorial
Hukum internasional memang tidak mengatur secara detail pembatasan-
pembatasan yurisdiksi suatu Negara, kecuali apa yang telah dikenal dalam prinsip-
prinsip yurisdiksi hokum internasional, misalnya bahwa suatu Negara tidak akan
menjalankan yurisdiksinya terhadap orang, benda atau perbuatan yang tidak ada
sangkut paut dengan negaranya. Namun demikian, seandainya ada suatu Negara
(Negara A) menyatakan bahwa penerapan yurisdiksi dari Negara B melanggar
hokum internasional, maka Negara A harus membuktikan dimana letak
pelanggaran yang telah dilakukan Negara B.

Dalam kaitannya dengan hal ini pertanyaan yang sering muncul adalah apakah
suatu Negara (Negara C) bisa menerapkan yurisdiksi extraterritorial-nya terhadap
subjek hokum asing (Negara D) yang melakukan perbuatan di luar wilayah
Negara C. Yurisdiksi ekstrateritorial digunakan beberapa Negara berlandaskan
kepentingan nasional, khususnya kepentingan nasional, khususnya kepentingan
bisnis mereka. Sebagai contoh dapat dikemukakan jika dua perusahaan asing
membuat perjanjiandi luar negeri untuk mengoordinasikan kebijakan harga
barang-barang yang mereka pasarkan di wilayah Negara X dapatkah dikatakan
bahwa perjanjian ii melanggar hokum nasional Negara X atas dasar merugikan
kepentingan Negara X.

Undang-undang anti monopoli Amerika Serikat, Sherman Act, yang pertama kali
dibuat tahun 1890 adalah contoh riil undang-undang nasional yang menerapkan
yurisdiksi ekstrateritorial. UU ini menetapkan bahwa semua perjanjian,
persekongkolan, dan konspirasi dalam pembatasan usaha bidang perdagangan,
baik di dalam maupun luar negeri, yang mencoba memonopoli adalah
bertentangan dengan hokum Amerika Serikat (AS).

Yurisdiksi ekstrateritorial mengundang controversial khususnya dari sudut


pandang yurisdiksi territorial karena tidak ada direct and immediate link between
the initiation and complection of the act sebagaimana ditemukan dalam kasus
Lotus yang menerapkan yursdiksi tertorial objektif.

13
Contoh kasus penggunaan yurisdiksi ekstrateritorial antara lain dalam kasus
American Banana Co. Dalam kasus ini penggugat adalah warga Negara AS,
pemilik perkebunan pisang di Costarica, sedangkan tregugat adalah pemilik
United Fruit Co. Tuntutan yang diajukan adalah bahwa tergugat telah melanggar
Sherman Act dengan cara membujuk pemerintah Costaria untuk merampas tanah
milik perkebunan Banana Co. Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa
Sherman Act tidak dapat diterapkan terhadap United Fruit Co atas kegiatannya
yang dilakukan di luar negeri bila kegiatan tersebut tidak melanggar hokum
Costarica. Pelanggaran terhadap hokum AS di luar negeri tidak dapat dijadikan
dasar tuntutan di pengadilan AS apabila tindakan tersebut tidka bertentangan
dengan hokum nasionall dimana perbuatan itudilakukan.

Dalam kasus Alcoa 1945, Pemerintah AS telah menggugat perusahaan Alcoa dan
aluminium Ltd berdasarkan Sherman Act dimana tergugat dituduh telah
bersekongkol dengan berbagai perusahaan asing (Swiss, Jerman, Inggris) untuk
menghambat perdagangan domestic maupun luar negeri AS dalam hal produksi
dan penjualan aluminium. Perkara ini sudah menjadikan preseden yurisdiksi
ekstrateritorial yang sangat popular. Pengadilan banding AS dalam putusannya
menetapkan bahwa kongres tidak dapat menerapkan Sherman Act apabila:

1. Tidak ada maksud untuk menimbulkan akibat terhadap


perdagangan AS;
2. Tidak mempunyai akibat terhadap perdagangan AS;

Apabila kedua syarat itu terpenuhi maka Sherman Act dapat diterapkan sekalipun
kegiatannya dilakukan di luar wilayah AS.

Masih terkait dengan penerapan yurisdiksi ekstrateritorial, AS juga


menerapkaneffect doctrine melalui US anti-trust legislation. Effect doctrine
diterapkan pertama kali dalam kasus US v Aluminium Co of America tahun 1945.
Dalam kasus ini dipertanyakan apakah perusahaan Canada dapat dimintai
pertanggungjawaban di bawah US anti trust legislation atas kebajikannya
menetapkan harga barang yang mereka pasarkan di AS. Pengadilan AS
menyatakan dirinya memiliki judicial jurisdiction terhadap perusahaan Canada
tersebut atas dasar effect doctrine, bahwa tindakan Perusahaan Canada
memberikan efek, merusak persaingan di AS.

Selain AS, penerapan yurisdiksi ekstrateritorial juga diterapkan oleh pengadilan


Eropa (ECJ) berkaitan dengan penerapan EC Competition Law dalam kasus Wood

14
Pulp. Dalam kasus ini muncul kontroversi seputar dua hal menyangkut yurisdiksi
ECJ dan substansi tuntutan. Dalam kasus ini pengadilan pengadilan menetapkan
bahwa lebih dari 42 supplier of wood pulp melanggar European Community
Competition Law. Perusahaan-perusahaan tersebut 11 perusahaan AS, 6 Canada,
11 Swedia, 11 Finlandia, 1 Norwegia, 1 Spanyol, dan 1 Portugal. Perusahaan-
perusahaan Non EC ini menjual barang mereka ke Eropa lewat berbagai cara
seperti agen, cabang, dan anak perusahaan yang berada di Eropa.

Pelaksanaan yurisdiksi ekstrateritorial sering menimbulkan banyak masalah.


Investasi cabang perusahaan yang ada di luar negeri misalnya, akan memerlukan
kerja sama dari otoritas yang berwenang demikian halnya berkaitan dengan
enforcement jurisdiction putusan pengadilan. Negara lain tidak memiliki
kewajiban untuk membantu atau bekerja sama dengan otoritas asing berkaitan
dengan pengakuan pelaksanaan putusan asing tersebut.
2.4 Bentuk kerjasama antar negara dalam penerapan yuridiksi.
Kedaulatan Negara hanya dapat dilakasanakan di wilayah atau teritorialnya
dan akan berakhir ketika sudah dimulai wilayah atau teritorial Negara lain.
Meskipun suatu Negara memiliki judicial jurisdiction atau kewenangan untuk
mengadili seseorang berdasarkan prinsip-prinsip yurisdiksi dalam hokum
internasional, namun tidak begitu saja Negara dapat melaksanakannya
(enforcement jurisdiction) ketika orang tersebuut sudah melarikan diri ke Negara
lain. Demikian pula berlaku terhadap seorang terpidana yang berhasil kabur dari
tahanan, Negara tidak bisa langsung menangkapnya lagi ketika si terpidana
berhasil kabur ke luar negeri. Untuk itulah dalam tata kra pergaulan internasional
dibutuhkan permohonan ekstradisi dari requesting State kepada Requested State.
Dengan demikian, keterbatasan kedaulatan territorial bisa dijembatani melalui
kerjasama dengan Negara-negara lainnya untuk proses penegakan hukumnya.
Keberhasilan kerjasama penegakan hokum tersebut pada umumnya tidak akan
menjadi kenyataan jika tidakada perjanjian bilateral maupun multilateral dalam
penyerahan pelaku kejahatan atau dalam kerja sama penyidikan, penuntutan, dan
peradilan. Prasyarat perjanjian tersebut tidak bersifat mutlak karena tanpa ada
perjanjian itupun kerjasama penegakan hukum dapat dilaksnakan berlandaskan
asas resiprositas (timbal balik).
Kerjasama penerapan yurisdiksi atau penegakan hukum yang tertua adalah
ekstradisi kemudian diikuti kerjasama penegakan hukum lainnya seperti, dengan
“mutual assistance” (MLAT’s); “transfer of sentenced person” (TSP); “transfer of
criminal proceedings” (TCP), dan “joint investigation” serta “handing over”.

Pemerintah Indonesia telah memiliki “undang-undang payung” (umbrella act)


untuk ekstradisi dengan undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi,
dan untuk kerja sama penyidikan dan penuntutan, termasuk pembekuan dan

15
penyitaan asset, dengan Undang-undang No 1 Tahun 2006 tentang Bantuan
Timbal Balik dalam Masalah Pidana (mutual assistance in criminal matters).
Perbedaan kedua bentuk perjanjian kerja sama penegakan hokum tersebut adalah,
bahwa perjanjian ekstradisi untuk tujuan penyerahan orang (pelaku kejahatan),
sedangkan perjanjian MLTA’s untuk tujuan perbantuan dalam proses penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang peradilan pidana termasuk pengusutan,
penyitaan dan pengembalian asset hasil kejahatan. Permintaan penyerahan pelaku
kejahatan (ekstradisi) tidak serta merta merupakan pengembalian aset hasil
kejahatan yang dibawa pelaku kejahatan yang bersangkutan. Kedua bentuk
perjanjian tersebut harus saling melengkapi dan bukan dilihat secara terpisah. Hal
ini berarti permintaan ekstradisi wajib dilengkapi dengan permintaan bantuan
timbal balik dalam masalah pidana terutama pengusutan dan pengembalian aset
kejahatan dari pelaku kejahatan yang bersangkutan.

Ekstradisi menurut pasal 1 UU 1/1979 tentang Ekstradisi adalah penyerahan oleh


suatu Negara kepada Negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka
atau dipidana karena melakukan suatu tindak pidana di luar wilayah yang
menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah Negara yang meminta penyerahan
tersebut. Pengertian ini pada dasarnya sama dengan pengertian yang terdapat
dalam Black Law Dictionary yaitu the surrender by one state or country to
anotherof an individual accused or convicted of an offense outside its own
territory and within the territorial jurisdiction of the other, which, being competent
to try and punish him, demand the surrender. Senada dengan pengertian tersebut I
Wayan Pathiana menegaskan bahwa Ekstradisi adalah penyerahan secara formal
berdasarkan perjanjian, prinsip resirositas/hubungan baik antarnegara. Atas
seseorang (tersangka, terrtuduh, terdakwa, terpidana) oleh Negara. Tempat orang
tersebut melarikan diri/bersembunyi (Requested State) kepada Negara yang
memiliki yurisdiksi untuk mengadili hukumnya atas permintaan dari Negara
tersebut (Requesting State) dengan tujuan untuk diadili atau dilaksanakan
hukumnya. Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ekstradisi
adalah penyerahan secara formal seseorang baik dalam statustersangka, terdakwa,
atau trepidana dari Negara diminta ke Negara yang meminta untuk diadili atau
dilaksanakan hukumannya. Ekstradisi dapat dilakukan melalui perjanjian maupun
atas dasar hubungan baik kedua Negara.
Perjanjian ekstradisi sangat dibutuhkan saat ini seiring dengan meningkatnya
kualitas maupun kuantitas kejahatan khususnya kejahatan transnasional dan
terorisme. Keberadaan istrumen hukum internasional ini sangat bermanfaat untuk
meningkatkan jangkauan da kemampuan penegakan hokum pidana nasional
secara umum.

16
Perjanjian ekstradisi tumbuh dari praktik Negara-negara yang kemudian menjadi
hokum kebiasaan internasional. Pada umunya perjanjian-perjanjian ekstradisi
akan memuat sebagai prinsip-prinsip berikut:
1. Prinsip kejahatan ganda (double criminal)
2. Prinsip kekhususan/spesialitas
3. Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik
4. Prinsip tidak menyerahkan WN sendiri
5. Prinsip Ne bis in idem
6. Prinsip kadaluwarsa
Prinsip-prinsip di atas sudah terwadahi dalam instrumen hukum nasional yaitu UU
No. 1/1979 tentang ekstradisi. Disamping hukum nasional yang bersumberkan
pada hukum internasional, saat ini PBB juga sudah mengeluarkan instrumen
khusus yang menjadi panduan dalam pembuatan perjanjian ekstradisi yaitu Model
Treaty on Extradition. Model ini bisa diterapkan baik dalam perjanjian bilateral
maupun internasional.

BAB. III
PENUTUP
3.1Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bila Negara memiliki
kekuasaan penuh di bawah hukum internasional to prescribe
jurisdiction, namun pelaksanaanprescriptive jurisdiction tersebut
terbatas hanya di wilayah teritorialnya saja. Penggunaan kekuatan
polisi, eksekusi putusan pengadilan nasional, tidak dapat dilakukan di
wilayah Negara lain, kecuali diperjanjikan secara khusus oleh pihak-
pihak terkait. Contoh yang jarang terjadi adalah perjanjian antara UK

17
dan Belanda 1999 yang mengizinkan persidangan kasus Lockerbie
diselenggarakan oleh Pengadilan Scotlandia, menggunakan hukum
Scotlandia, di wilayah Belanda. Kesemuanya ini sebenarnya senada
dengan yang dikemukakan oleh Muchtar Kusumaatmadja bahwa
kedaulatan Negara berakhir ketika dimlai wilayah Negara lain.
Kedaulatan Negara dibatasi oleh hukum internasional dan kepentingan
Negara lain.

Dalam kaitannya dengan klasifikasi beberapa penulis hukum


internasional telah mencoba untuk membuat beberapa kualifikasi.
Berdasarkan objeknya (hal, masalah, peristiwa, orang dan benda),
yurisdiksi Negara dibedakan menjadi yurisdiksi personal, yurisdiksi
kebendaan, yurisdiksi criminal, yurisdiksi perdata, dan yurisdiksi
eksklusif. Adapun berkaitan dengan ruang atau tempat objek atau
masalah yang bukan semata-mata masalah domestic maka yurisdiksi
Negara dapat dibedakan menjai yurisdiksi teritorial, quasi territorial,
ekstrateritorial, universal dan eksklusif.

Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction)


mencakup perdata dan pidana. Hokum internasional public lebih
memfokuskan diri pada yurisdiksi pengadilan yang berkaitan dengan
kasus-kasus pidana internasional. Sepanjang menyangkut perkara
pidana ada beberapa prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam hukum
internasional yang dapat digunakan oleh Negara untuk mengklaim
dirinya memiliki judicial jurisdiction. Adapun prinsip-prinsip tersebut
ialah:
1. Prinsip yurisdiksi teritorial
2. Prinsip teritorial subjektif
3. Prinsip territorial objektif
4. Prinsip nasionalitas aktif
5. Prinsip nasionalitas pasif
6. Prinsip universal

3.2 Saran
Dari uraian di atas, secara singkat dapat dikemukakan disini bahwa
masih ada rasa was-was atau perasaan belum yakin untuk
mengandalkan secara penuh yurisdiksi Negara dalam Hukum
Internasional. Perbaikan penegakan hukum, SDM, perubahan kultur
harus terus-menerus dibenahi. Selagi pembenahan berjalan, tampaknya
dewasa ini upaya-upaya yang efektif untuk menerapkan yurisdiksi
Negara dalam hukum internasional adalah agar para pihak mencoba
dengan sungguh-sungguh supaya hal tersebut dapat diterapkan dengan
baik dan sesuai aturan hukum yang berlaku.

18
DAFTAR PUSTAKA

Sefriani.2014.Hukum Internasional Suatu Pengantar.Jakarta:Rajawali Pers

https://law.uii.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Buku-Hukum-
International-Suatu-Pengantar-Edisi-Kedua.

19
20

Anda mungkin juga menyukai