Anda di halaman 1dari 28

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA


(Studi Putusan Nomor 237/G/2015/PTUN-JKT)

Nama : Tirza Mariani Claudya

NIM : 1840050042

Dosen Pengampu : Judika Pangaribuan, S.H., M.H.

Mata Kuliah : Hukum Acara Tata Usaha Negara

Kelas :B

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan penyertaan-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul [TINJAUAN YURIDIS TENTANG
PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PADA PERADILAN TATA USAHA
NEGARA (Studi Putusan Nomor 237/G/2015/PTUN-JKT)] ini sesuai dengan tenggat
waktu yang diberikan.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak
Judika Pangaribuan,S.H.,M.H. selaku dosen pengampu pada mata kuliah Hukum Acara
Tata Usaha Negara . Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PADA PERADILAN TATA
USAHA NEGARA bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Judika Pangaribuan,S.H.,M.H. selaku
dosen pengampu pada mata kuliah Hukum Acara Tata Usaha Negara yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang saya tekuni.

Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya melalui literatur yang ada sehingga turut membantu saya untuk dapat
menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran terbuka yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.

Jakarta, 5 Januari 2021

Tirza Mariani Claudya


NIM : 1840050042

2
DAFTAR ISI

BAB I ...................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 4
A. Latar Belakang .............................................................................................................................. 4
1.Negara Hukum dan Peradilan Administrasi ................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................................ 8
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................................................... 8
BAB II ................................................................................................................................................ 9
PEMBAHASAN ................................................................................................................................ 9
I. Tinjauan Umum ........................................................................................................................ 9
A. Pengertian Putusan ................................................................................................................... 9
B. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara .............................................................................. 10
C. Isi Putusan ............................................................................................................................... 12
D. Susunan Isi Putusan ................................................................................................................ 13
E. Biaya Perkara .......................................................................................................................... 14
F. Pelaksanaan Putusan (Eksekusi) \ ......................................................................................... 14
II. Pembahasan penerapan ketentuan-ketentuan hukum melihat pada perkara nomor :
237/G/2015/PTUN-JKT. ................................................................................................................. 20
1. Pangkal Sengketa Tata Usaha Negara - Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta Dalam Perkara Nomor : 237/G/2015/PTUN-JKT. .................................................... 22
2. Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan .......................................................................... 24
3. Kepentingan Penggugat Yang Dirugikan ......................................................................... 25
BAB III......................................................................................................................................... 26
PENUTUP .................................................................................................................................... 26
A. Kesimpulan .......................................................................................................................... 26
B. SARAN ................................................................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 28

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1.Negara Hukum dan Peradilan Administrasi

Negara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai


dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik berdasarkan hukum tertulis maupun
berdasarkan hukum tidak tertulis1. Negara hukum pada dasarnya terutama bertujuan
untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Oleh karenanya pandangan
Philipus M Hadjon2 yang mengungkapkan bahwa perlindungan hukm bagi rakyat
terhadap tindak pemerintahan dilandasi oleh dua prinsip; prinsip hak asasi manusia dan
prinsip negara hukum. Philipus M.Hadjon hanya mengemukakan tiga macam konsep
negara hukum, yaitu, ;rechstaat, the rule of law, dan negara hukum Pancasila.
Sedangkan, M. Tahir Azhary dalam literaturnya ditemukan lima macam konsep
negara hukum, ialah : Nomokrasi Islam, rechstaat, rule of law, socialist-legality,
konsep negara hukum Pancasila.3

Konsep rechstaat lahir dari suatu perjuangan yang menentang absolutisme sehingga
sifatnya dapat dikatakan sangat revolusioner. Konsep rechstaat bertumpu atas sistem
kontinental yang disebut civil law atau modern roman law. Karakteristik civil law
adalah administratif. Karakteristik ini dilatarbelakangi kekuasaan raja. Pada zaman
Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja ialah membuat peraturan melalui dekrit.
Kekuasaan ini kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat administratif, sehingga
pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahan-pengarahan tertulis bagi
hakim bagaimana memutus sengketa. Begitu besarnya peranan administrasi negara ,
sehingga tidaklah mengherankan kalau dalam sistem kontinentallah mula pertama
muncul droit administratif , ialah hubungan antara administrasi negara dengan rakyat.
Dalam perkembangannya peranan administrasi negara ini bertambah besar. Dengan
latar belakang ini dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan administrasi
negara4.

1 Zairin Harahap¸2014, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Jakarta, RajaGrafindo Persada, hal.1.
2 Ibid, hal 2.
3 Ibid, hal.3.
4 Ibid, hal.15.

4
Berbeda hal dengan konsep rule of law yang telah berkembang secara evolusioner.
Konsep ini bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law. Karakteristiknya
judicial. Hal ini dilatarbelakangi oleh kekuasaan utama dari raja adalah memutus
perkara. Peradilan oleh raja kemudian berkembang menjadi suatu sistem peradilan.
Sehingga hakim-hakim peradilan adalah delegasi dari raja. Hakim harus memutus
perkara berdasarkan kebiasaan umum Inggris, sebagaimana dilakukan oleh raja sendiri
sebelumnya. Dengan keadaan seperti ini dan dalam perkembangan pada peradilan yang
adil dan penahanan yang dilakukan tidak sewenang-wenang.

M.Tahir Azhari mengatakan bahwa perbedaan yang menonjol5 antara konsep


rechstaan dan rule of law ialah pada konsep yang pertama preadilan administrasi
negara merupakan suatu sarana yang sangat penting dan sekaligus pula ciri yang
menonjol pada rechstaat itu sendiri. Sebaliknya pada rule of law , peradilan
administrasi tidak diterapkan karena kepercayaan masyarakat yang demikian besar
kepada peradilan umum. Ciri yang menonjol pada konsep rule of law ialah
ditegakkannya hukum yang adil dan tepat (justlaw). Karena semua orang mempunyai
kedudukan yang sama di hadapan hukum, maka ordinary court dianggap cukup untuk
mengadili semua perkara termasuk perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah.6

Dasar peradilan dapat ditemukan dalam pasal 24 UUD 1945 yang menyebutkan :

(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain
badan kehakiman menurut undang-undang.
(2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.

Sebagai pelaksanaan pasal 24 UUD 1945 , kekuasaan kehakiman di Indonesia dibagi


menjadi empat lingkungan peradilan. Hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam
Pasal 18 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam
pasal tersebut dinyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dibagi dalam
empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan
Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN). Badan peradilan yang ada di
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang diundangkan pada tanggal 29
Desember 1986 dan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 dinyatakan

5 Ibid, hal.15.
6 Ibid, hal 16.

5
mulai diterapkan secara efektif di seluruh wilayah Indonesia sejak tanggal 14 Januari
1991. Kemudian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut diadakan perubahan
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun
20097. Kewenangan absolut dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara terdapat dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang
menentukan bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Pengertian Undang Nomor 5 Tahun 1986
(Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009):

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha
Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara, baik di pusat maupun di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari ketentuan diatas dapat diketahui makna dari suatu sengketa Tata Usaha Negara
yang terdiri dari beberapa unsur yaitu :

1. Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara ;


2. Sengketa tersebut antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara ;
3. Sengketa yang dimaksud sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN).

Para pihak dalam sengketa tata usaha negara adalah seseorang atau badan hukum
perdata sebagai pihak penggugat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai
pihak tergugat.

Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menentukan bahwa


Tergugat merupakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Sedangkan untuk
definisi Penggugat memang tidak terdapat dalam UndangUndang Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, namun demikian dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 53

7R.Wiyono di dalam Tulisan Ilmiah oleh Wiwik Anggraini,S.H. , Tinjauan Yuridis Terhadap Sengketa Kepegawaian Dalam
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara ,hal3.

6
ayat (1) dapat kita ketahui yang dimaksud dengan Penggugat adalah orang atau badan
hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat diterbitkannya suatu
Keputusan Tata Usaha Negara.

Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
menentukan bahwa orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis
kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Pernyataan yang menyatakan Keputusan Tata
Usaha Negara objek sengketa batal atau tidak sah atau juga menyatakan Keputusan
Tata Usaha Negara objek sengketa sah menurut hukum dituangkan dalam amar
putusan hakim.

Hukum Acara Tata Usaha Negara terdapat dua macam putusan, yaitu putusan yang
bukan putusan akhir dan putusan akhir. Putusan yang bukan putusan akhir adalah
putusan yang dijatuhkan oleh Hakim sebelum pemeriksaan sengketa Tata Usaha
Negara dinyatakan selesai. Tujuan dari dijatuhkannya putusan yang bukan putusan
akhir adalah untuk memungkinkan atau mempermudah pelanjutan pemeriksaan
sengketa Tata Usaha Negara di sidang pengadilan.

Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh Hakim setelah pemeriksaan
sengketa Tata Usaha Negara selesai yang mengakhiri sengketa tersebut pada tingkat
pengadilan tertentu. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 97 ayat (7)8, dapat diketahui
bahwa putusan akhir dapat berupa antara lain sebagai berikut :

a. Gugatan ditolak
b. Gugatan dikabulkan
c. Gugatan tidak diterima
d. Gugatan gugur.

8 Op.cit, hal.167.

7
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana putusan dan pelaksanaan putusan peradilan tata usaha negara?
2. Bagaimana penerapan ketentuan-ketentuan hukum dalam perkara nomor :
237/G/2015/PTUN-JKT.
C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui putusan dan pelaksanaan putusan dalam peradilan tata usaha negara
serta melihat dari studi putusan perkara nomor237/G/2015/PTUN-JKT dalam hal
penerapan ketentuan-ketentuan hukuum di dalamnya.

8
BAB II
PEMBAHASAN
I. Tinjauan Umum
A. Pengertian Putusan
Pada dasarnya penggugat mengajukan suatu gugatan ke pengadilan adalah
berutjuan agar pengadilan melalui hakim dapat menyelesaikan perkaranya dengan
mengambil suatu putusan. Bagi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang
penting bukanlah hukumnya, karena hakim dianggap tahu hukumnya (ius curia
novit) , tetapi mengetahui secara obyektif fakta atau persitiwa sebagai duduk
perkara yang sebenarnya sebagai dasar putusannya, bukan secara a priori langsung
menemukan hukumnya tanpa perlu mengetahui terlebih dahulu duduk perkara yang
sebenarnya.
Fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara akan dapat diketahui hakim dari alat-
alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Setelah dianggap cukup
hakim harus menentukan peraturan hukum yang dapat diterapkan. Menyantukut
tentang peraturan hukum yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan sengketa itu
oleh hakim,pada dasarnya menunjukkan bahwa sebelum menjatuhkan suatu
putusan hakim melakukan penelitian dalam rangka menemukan hukum (judge
made law/rechtvinding). Dengan demikian hakim telah berusaha semaksimal
mungkin untuk dapat menjatuhkan putusan yang obyektif,adil,dan tidak
dipengaruhi oleh unsur apa pun kecuali sikap obyektifitas dan rasa keadilan itu
semata.
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim,sebagai pejabat negara
yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.
Dalam kaitannya dengan hukum acara PTUN , putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap adalah :
1. Putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Tata Usaha Negara) yang
sudah tidak dapat dimintakan upaya banding.
2. Putusan pengadilan tinggi (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) yang tidak
dimintakan kasasi.
3. Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi.

9
Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada dasarnya
adalah putusan pengadilan yang sudah tidak memiliki upaya hukum (banding dan
kasasi), namun sebagaimana diketahui bahwa upaya banding dan kasasi adalah
upaya hukum biasa, di samping itu masih terdapat upaya hukum istimewa atau
upaya hukum luar biasa. Dengan demikian,putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap juga masih dapat dilawan dengan upaya hukum
istimewa itu. Penggunaan upaya hukum istimewa ini hendaknya dikembalikan
kepada latar belakang filosofi mendasarinya, yakni dalam rangka memberikan
perlindungan hukum secara maksimal kepada rakyat bukan kepada penguasa. 9

B. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara diatur dalam pasal 97 UU 5/1986 , yang
berbunyi sebagai berikut

Pasal 97

(1) Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah pihak diberi
kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan
masing-masing.
(2) Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), maka Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda
untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah dalam
ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan
sengketa tersebut.
(3) Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis
merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika setelah diusahakan dengan
sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat, putusan diambil
dengan suara terbanyak.
(4) Apabila musyawarah majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat
menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis
berikutanya.
(5) Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara
terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan.

9 Op.cit,hal 163.

10
(6) Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang
terbuka untuk umum, atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan
kepada kedua belah pihak.
(7) Putusan Pengadilan dapat berupa : a.gugatan ditolak; b.gugatan dikabulkan;
c.gugatan tidak diterima; d.gugatan gugur.
(8) Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.
(9) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa : a.pencabutan
Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau b.pencabutan
Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan
Tata Usaha Negara yang baru; atau c.penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara
dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.
(10) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan
ganti rugi.
(11) Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8)
menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi.

Ketentuan di atas , dapat disebutkan memuat prosedur pengambilan putusan yang


harus diambil secara musyawarah antara majelis hakim, putusan yang diambil
dengan suara terbanyak baru dapat dikatakan ,apabila musyawarah mencapai
kesepakatan bulat atau mengalami jalan buntu, suara terbanyak mengalami
kemacetan, maka barulah keputusan dapat diambil oleh ketua majelis. Di samping
memuat prosedur pengambilan putusan, pasal tersebut di atas juga memuat suatu
persyaratan untuk sahnya putusan yakni, putusan hanya dinyatakan dalam sidang
yang terbuka untuk umum.

Dalam hukum acara perdata dikenal dengan dua macam putusan , yaitu putusan
terakhir yang mengakhiri perdata yang diperiksa oleh hakim, dan putusan sela
perkara perdata yang diperiksa oleh hakim, dan putusan sela yang diadakan sebelum
hakim memutus perkaranya, yaitu untuk memungkinkan atau mempermudah
pelanjutan pemeriksaan perkara.

11
Putusan terakhir berbeda dengan putusan yang telah mempunyai hukum tetap.
Dalam putusan terakhir dapat merupakan putusan pengadilan tingkat pertama,atau
banding, sehingga menunjukkan masih tersedianya upaya hukum. Sedangkan pada
putusan yang disebutkan belakangan sudah tidak tersedia upaya hukum, kecuali
upaya hukum luar biasa (istimewa).

Putusan sela dalam hukum acara PTUN dimungkinkan dalam putusan untuk
menunda pelaksanaan KTUN, putusan permohonan beracara dengan cuma-Cuma
atau karena kematian kuasa hukum salah satu pihak. Hanya dalam pasal 113 ayat
(1) UU 5/1986 disebutkan bahwa putusan sela ini tidak dibuat dalam atau sebagai
putusan tersendiri, melainkan hanya dicantumkan dalam berita acara sidang.

C. Isi Putusan
Dari pasal 97 ayat (7) UU 5/1986 dapat diketahui bahwa isi putusan pengadilan
TUN dapat berupa ; gugatan ditolak,gugatan dikabulkan, gugatan tidak diteruma,
atau gugatan gugur.
1. Gugaan Ditolak
Pada umumnya suatu gugatan ditolak oleh majelis hakim, karena alat-alat bukti
yang diajukan pihak penggugat tidak dapat mendukung gugatannya, atau alat-
alat bukti yang diajukan pihak tergugat lebih kuat.
2. Gugatan Dikabulkan
Suatu gugatan dikabulkan, adakalanya pengabulan selurhnya atau menolah
sebagian lainnya. Isi putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan pihak
penggugat itu, berarti tidak membenarkan KTUN yang dikeluarkan oleh pihak
tergugat atau tidak membenarkan sikap tidak berbuat apa-apa yang dilakukan
oleh tergugat , padahal itu sudah merupakan kewajibannya (dalam hal pangkal
sengketa berangkat dari pasal 3 UU PTUN).
Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan tersebut ditetapka
kewajiban yang harus dilakukan oleh tergugat ,yang dapat berupa :
a. Pencabutan KTUN yang bersangkutan ; atau
b. Pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang baru ;
atau
c. Penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3 UU PTUN.

12
Di samping kewajiban yang disebutkan di atas, dalam putusan pengadilan dapat
pula menetapkan kewajiban bagi pihak tergugat untuk membayar ganti kerugian
(untuk sengketa yang bukan sengketa kepegawaian seperti yang saya
angkat sebagai studi putusan).

3. Gugatan Tidak Diterima


Putusan pengadilan yang berisi tidak menerima gugatan pihak penggugat,
berarti gugatan itu tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan. Persyaratan
sebagaimana dimaksud ialah dalam proses dismissal dan/atau pemeriksaan
persiapan.
4. Gugatan Gugur
Putusan pengadilan yang menyatakan gugata guggur dalam hal para pihak atau
kuasanya tidak hadir dalam persidangan yang telah ditentukan dan mereka telah
dipanggil secara patut, atau perbaikan gugatan yang diajukan oleh pihak
penggugat telah melampaui tenggang waktu yang ditentukan (daluwarsa).
D. Susunan Isi Putusan
Dalam pasal 109 UU 5/1986 disebutkan susunan isi putusan, sebagai berikut :
(1) Putusan Pengadilan harus memuat :
a. Kepala putusan yang berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat
kedudukan para pihak yang bersengketa;
c. ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang
terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama Panitera, serta
keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
(2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan.
(3) Selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah putusan Pengadilan diucapkan,
putusan itu harus ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan Panitera
yang turut bersidang.

13
(4) Apabila Hakim Ketua Majelis atau dalam hal pemeriksaan dengan acara
cepat Hakim Ketua Sidang berhalangan menandatangani, maka putusan
Pengadilan ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dengan menyatakan
berhalangannya Hakim Ketua Majelis atau Hakim Ketua Sidang tersebut.
(5) Apabila Hakim Anggota Majelis berhalangan menandatangani, maka
putusan Pangadilan ditandatangani oleh Hakim Ketua Majelis dengan
menyatakan berhalangannya Hakim Anggota Majelis tersebut.

Dalam hukum acara perdata suatu putusan hakim terdiri dari empat bagian,
yaitu ; kepala putusan, identitas para pihak, pertimbangan , dan amar.10

E. Biaya Perkara
Dalam pasal 109 ayat (1) huruf f diatas , juga disebutkan tentang pencantuman
perincian biaya perkara sebagai salah satu bagian yang harus dimuat dalam putusan
pengadilan. Sedangkat tempat penyebutan dari biaya perkara tersebut adalah dalam
amar putusan akhir pengadilan. Seluruh biaya perkara biasanya dibebankan kepada
pihak yang dikalahkan (kecuali yang dikalah adalah penggugat dan penggugat telah
mengajukan permohonan berperkara dengan cuma-cuma serta mendapat
persetujuan).

Dalam pasal 111 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 berbunyi biaya perkara
yang mencakup :
Yang termasuk dalam biaya perkara ialah :
a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai;
b. biaya saksi, ahli, dan alih bahasa dengan catatan bahwa pihak yang meminta
pemeriksaan lebih dari lima orang saksi harus membayar biaya untuk saksi
yang lebih itu meskipun pihak tersebut dimenangkan;
c. biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruangan sidang dan biaya lain yang
diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah Hakim Ketua Sidang.
F. Pelaksanaan Putusan (Eksekusi) \
Dalam pasal 115 UU 5/1986 disebutkan bahwa hanya putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Putusan pengadilan
yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap tidak memiliki kekuatan eksekusi

10 Op .cit, hal 172.

14
atau dengan kata lain putusan pengadilan yang masih mempunyai upaya hukum
tidak dapat dimintakan eksekusinya.
Pengaturan tentang pelaksanaan putusan pengadilan untuk pertama kali diatur
dalam Pasal 116 UU 5/1986 , namun berubah di dalam ketentuan pasal 116 UU
9/2004 , dan terakhir diubah lagi oleh pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009. Sebelum menbahas terlebih jauh antara persamaan maupun perbedaan di
dalamnya, adakalanya kita ketahui bunyi secara lengkap dari pasal-pasal tersebut.
Menurut ketentuan pasal 116 UU 5/1986 dengan pasal 116 UU 9/2004 memiliki
persamaan dan perbedaan. Perbedaan tersebut sudah barang tentu membawa
implikasi hukumnya masing-masing.
Pasal 116 UU 5/1986 :
(1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan
setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat
pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari.
(2) Dalam hal empat bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan
tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan
kemudian setelah tiga bulan ternyata kewajiban tersebut tidak
dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar Pengadilan
memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(4) Jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Ketua Pengadilan
mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan.
(5) Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu dua
bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah
memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(6) Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak
mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka
15
Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
Penulis sependapat dengan Paulus Effendie Lotulung 11mengemukakan

pandangan terkait dari ketentuan diatas, ialah sesungguhnya ada dua jenis eksekusi
yang kita kenal di peradilan tata usaha negara :
1. Eksekusi terhadap putusan peradilan yang berisi kewajiban sebagaimana
dimaksud pasal 97 ayat (9) huruf a, yaitu kewajiban berupa pencabutan KTUN
yang bersangkutan.
2. Eksekusi terhadap putuan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, yaitu :
Huruf b : Pencabutan KTUN sebagai beschikking yang bersangkutan dan
menerbitkan KTUN yang baru ; atau
Huruf c : penerbitan KTU dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3.

Lotulung mengatakan bahwa pada dasarnya eksekusi di Pengadilan Tata Usaha


Negara (PTUN) menekankan pada rasa self respect dan kesadaran hukum dari
pejabat Tata Usah Negara terhadap isi putusan hakim untuk melaksanakannya
dengan sukarela tanpa adanya upaya pemaksaan (dwang middelen) yang langsung
dapat dirasakan dan dikenakan oleh pihak pengadilan terhadap pejabat TUN yang
bersangkutan.12

Selanjutnya pelaksanaan putusan pengadilan di bidang kepegawaian yang berkaitan


dengan kewajiban tergugat rehabilitasi dan membayar sejumlah uang atau
kompensasi lain, apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
disebabkan oleh berubahnya keadaan dalam pasal 117 UU5/1986 sebagai berikut :

(1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan
setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat
pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari.

11 Op.cit, hal.175.
12 Op.cit, hal 176.

16
(2) Dalam hal empat bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan
tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan
kemudian setelah tiga bulan ternyata kewajiban tersebut tidak
dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar Pengadilan
memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(4) Jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Ketua Pengadilan
mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan.
(5) Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu dua
bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah
memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(6) Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak
mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka
Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.

Dengan demikian, jelas bahwa pemberian kompensasi berkaitan dengan


sengketa kepegawaian. Kompensasi diberikan sebagai konsekuensi badan atau
pejabat TUN yang bersangkutan melaksanakan putusan PTUN. Kompensasi itu
berbentuk sejumlah uang yang besarnya berdasarkan pasal 14 Peraturan
Pemerintah Nomor 43/1991 adalah paling sedikit Rp.100.000 dan paling banyak
Rp.2.000.000 (dua juta rupiah), dengan memerhatikan keadaan nyata.

Berlanjut dengan isi pada pasal 116 UU 9/2004 , berbunyi sebagai berikut :

Ketentuan Pasal 116 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 116

17
(1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera
Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya
dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat
belas) hari.
(2) Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara
yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan
kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak
dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) agar Pengadilan
memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang
bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang
paksa dan/atau sanksi administratif.
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat
oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).

Dari ketentuan pasal 116 UU 9/2004 di atas , dapat diketahui ada perbedaan
antara ketentuan pasal 116 UU 5/1986 dan ketentuan pasal 116 UU 9/2004 ada
pada ayat (4) dan ayat (5),sedangkan ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) sama
sekali tidak ada perbedaan.

Selanjutnya, pasal 116 UU 51/2009 , berbunyi sebagai berikut :

Pasal 116

(1) Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum


tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera

18
pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya
dalam tingkat pertama selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat
belas) hari kerja.
(2) Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata
usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum
lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan
kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban
tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan
kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar
pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan
tersebut.
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang
bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang
paksa dan/atau sanksi administratif.
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat
oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
(6) Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini
kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi
untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan
pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan
fungsi pengawasan.
(7) Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan
tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi
administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan.

19
Apabila dibandingkan antara pasal 116 UU 9/2004 dan pasal 116 UU
51/2009 , maka yang segera tampak adalah adanya penambahan pada 2
(dua) ayat terakhir yang terdapat pasal 116 UU 51/2009 , yaitu ayat (6) dan
ayat (7). Pasal 116 UU 9/2004 hanya terdiri dari 5(lima) ayat,sedangkan UU
51/2009 terdapat 7(tujuh) ayat. Namun, apabila dicermati isi dari ketentuan
pasal 116 ayat (6) , maka akan segera diketahui bahwa substansinya
merupakan pengulangan dari pasal 116 ayat (6) UU 5/1986 yang telah
dicabut oleh pasal 116 UU 9/2004. Walaupun ada sedikit perbedaan, ialah
menyangkut bahwa surat yang diajukan ketua PTUN tidak hanya diajukan
kepada Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi, tetapi
juga kepada DPR selaku lembaga yang menjalankan fungsi pengawasan.
Sedangkan, ketentuan pasal 116 ayat (7) UU 51/2009 yang ditambahkan
adalah mengatur uang paksa, jenis sanksi administraif, dan tata cara
pelaksanannya apabila badan atau pejabat Tata Usaha Negara tidak
melaksanakan putusan pengadilan.

II. Pembahasan penerapan ketentuan-ketentuan hukum melihat pada perkara nomor :


237/G/2015/PTUN-JKT.
Duduk perkara dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor:
237/G/2015/PTUN-JKT dijabarkan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
menangani perkara antara Mangasi Situmeang, S.H.,LLM, sebagai penggugat melawan
Jaksa Agung Republik Indonesia H.M.Prasetyo,SH sebagai tergugat. Bahwa obyek
sengketa sengketa ini adalah Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:
KEP-IV-551/C/08/2015 Tanggal 12 Agustus 2015, khusus nomor urut 41, atas nama
Penggugat pada Lampiran Keputusan. Surat keputusan ini memberhentikan Penggugat
dari jabatan Kepala Kejaksaan Negeri Pontianak dan mengangkat Penggugat dalam
jabatan Kepala Bidang Pengkajian dan Pengembangan pada Pusat Penelitian dan
Pengembangan (yang selanjutnya disebut dengan Surat Keputusan Objek Sengketa).

Adapun yang menjadi alasan pengugat melakukan gugatan ke PTUN Jakarta adalah
sebagai berikut :

1. Bahwa PENGGUGAT menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil pada Kejaksaan


Agung berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Nomor: Kep.I- 1111/B.4/7/1991

20
tanggal 4 Juli 1991 sejak tanggal 1 Maret 1991 dengan Pangkat/Golongan III/a
dan ditempatkan di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
2. Bahwa PENGGUGAT diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Agung
berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Nomor: Kep.I-893/B.4/8/1992 tanggal
27 Agustus 1992 sejak tanggal 1 September 1992 dengan Pangkat/Golongan
Ill/a dan ditempatkan di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
3. Bahwa PENGGUGAT diangkat pertama dalam jabatan Jaksa berdasarkan
Keputusan Jaksa Agung Nomor: Kep.I-077/C/JF/4/1995 tanggal 3 April 1995
sejak tanggal 1 November 1994 dengan Pangkat/Golongan Ill/a (Ajun Jaksa
Madya) dan ditempatkan di Kejaksaan Negeri Tolitoli Sulawesi Tengah.
4. Bahwa PENGGUGAT sebelum diangkat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri
Pontianak berdasarkan keputusan Jaksa Agung Nomor Kep-
180/A/JA/11/2013 tanggal 21 Nopember 2013 diangkat menjadi Kepala Sub
Direktorat Pelanggaran HAM Berat pada Dit Penyidikan.
5. Bahwa PENGGUGAT diangkat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Pontianak
berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Nomor : KEP-IV-838/C/10/2014
Tanggal 17 Oktober 2014 dan dilantik pada hari Kamis tanggal 20 November
2014 berdasarkan Surat Perintah Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat
Nomor : Prin-410/Q.1/ Cp.3/11/ 2014 tanggal 13 November 2014 ;
6. Bahwa PENGGUGAT diberhentikan sebagai Kepala Kejaksaan Negeri
Pontianak berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Nomor : KEP-IV-
551/C/08/2015 Tanggal 12 Agustus 2015 dan menyerahkan tugas dan tanggung
jawab jabatan Kepala Kejaksaan Negeri Pontianak kepada pejabat pengganti
pada hari Selasa tanggal 1 September 2015 berdasarkan Surat Perintah
Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat Nomor :
Prin407/Q.1/Cp.3/08/2015 tanggal 26 Agustus 2015.
7. Bahwa PENGGUGAT dilantik sebagai Kepala Bidang Pengkajian dan
Pengembangan pada Puslitbang Kejaksaan Agung berdasarkan Surat
Perintah KAPUSLITBANG Nomor: PRIN51/K/K.2/10/2105 tanggal 14
September 2015.
8. Bahwa PENGGUGAT dengan demikian secara efektif bertugas sebagai
Kepala Kejaksaan Negeri Pontianak kurang lebih 7 (tujuh) bulan, karena

21
dalam masa tugasnya PENGGUGAT juga mengikuti pendidikan/ pelatihan
(dinas luar). 13

Berdasarkan alasan pengugat melakukan gugutan terseut, Majelis Hakim


Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta memutus dalam amar putusannya sebagai
berikut:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;


2. Menyatakan batal Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:
KEPIV551/C/08/2015 Tanggal 12 Agustus 2015, khusus nomor urut 41, atas
nama Penggugat ;
3. Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Keputusan Tata Usaha
Negara Berupa Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:
KEP-IV-551/ C/08/2015 Tanggal 12 Agustus 2015, khusus nomor urut 41, atas
nama Penggugat ;
4. Mewajibkan kepada Tergugat untuk merehabilitasi, mengembalikan harkat,
martabat dan kedudukan Penggugat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri type A
di Ibu Kota Propinsi, berdasarkan peraturan perundang - undangan yang
berlaku.
5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam
sengketa ini sejumlah Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) ;
1. Pangkal Sengketa Tata Usaha Negara - Kewenangan Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta Dalam Perkara Nomor : 237/G/2015/PTUN-JKT.

Berdasarkan Pasal 47 jo Pasal 50 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun


1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan bahwa Pengadilan Tata Usaha
Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata
usaha negara di tingkat pertama. Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara mendefenisikan Keputusan tata usaha negara adalah: oleh badan atau pejabat
tata usaha negara yang berisi tindakan hukum yang berdasarkan peraturan perundang-

13Tulisan Ilmiah oleh Wiwik Anggraini,S.H. , Tinjauan Yuridis Terhadap Sengketa Kepegawaian Dalam Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara ,hal5-6.

22
undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual, dan final, yang membawa
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdat.

Prof. Muchsan dalam pandangannya menyebutkan bahwa yang dimaksud Keputusan


Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang diproduksi oleh Pejabat Tata
Usaha Negara, mendasarkan diri pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku, bersifat konkrit, individual dan final. Jika dilihat pada definisi tersebut,
Zairin Harahap juga turut mengungkapkan terdapat 7 (tujuh) unsur Keputusan Tata
Usaha Negara, yaitu:

a. Penetapan tertulis ;
b. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara ;
c. Berisi tindakan hukum tata usaha negara ;
d. Bersifat konkret ;
e. Individual ;dan
f. Final ;
g. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata14

Berdasarkan Pasal 53 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun


2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang berbunyi :

Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud


dalam pasal 53 ayat (2) UU 9/2004 tentang PTUN15 adalah:
a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Sebagaimana diketahui, yang menjadi obyek sengketa Tata Usaha Negara


dalam perkara nomor 237/G/2015/PTUN-JKT ialah Surat Keputusan Jaksa Agung
Republik Indonesia Nomor: KEP-IV-551/C/08/2015 Tanggal 12 Agustus 2015.

Obyek sengketa Tata Usaha Negara yang dimohonkan oleh saudara MANGASI
SITUMEANG, S.H.,LLM merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang

14 Zairin Harahap¸2014, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Jakarta, RajaGrafindo Persada, hal.65
15 Ibid, hal 115.

23
dikeluarkan Jaksa Agung Republik Indonesia bersifat konkrit, individual dan final,
kemudian menimbulkan akibat hukum bagi seseorang. Sehingga obyek sengketa
tersebut telah sehingga telah memenuhi ketentuan Pasal 1 angka (9) jo Pasal 1 angka
(12) Undang- Undang Republik Indonesia 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua Atas UndangUndang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, dengan dasar sebagai berikut : a) Keputusan Tata
Usaha Negara Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-IV-
551/C/08/2015 Tanggal 12 Agustus 2015 yang dijadikan obyek yang dikeluarkan
oleh Pejabat Tata Usaha Negara yaitu Kepala Kejaksaan Negeri Republik
Indonesia. b) Keputusan Tata Usaha Negara Surat Keputusan Jaksa Agung
Republik Indonesia Nomor: KEP-IV-551/C/08/2015 Tanggal 12 Agustus 2015
jelas merupakan tindakan hukum Tata Usaha Negara. c) Dengan demikian, objek
sengketa Tata Usaha Negara Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia
Nomor: KEP-IV-551/C/08/2015 Tanggal 12 Agustus 2015, yang telah dikeluarkan
jelas merupakan suatu Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) yang bersifat
konkrit, individual dan final yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di
Indonesia yang menimbulkan akibat hukum bagi pihak penggugat Saudara
MANGASI SITUMEANG, S.H.,LLM dan karenanya merupakan Keputusan Tata
Usaha Negara yang dapat digugat dihadapan dan merupakan yurisdiksi sah dari
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, sesuai unsur-unsur yang dinyatakan dalam
Pasal 1 angka (9) dan angka (12) Undang-Undang Republik Indonesia 51 Tahun
2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.16

2. Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan

Menurut Pasal 55 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang


Peradilan Tata Usaha Negara, yang berbunyi :

Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari
terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara.17

16 Tulisan Ilmiah oleh Wiwik Anggraini,S.H. , Tinjauan Yuridis Terhadap Sengketa Kepegawaian Dalam Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara ,hal
17 Op.cit, Hal 116.

24
3. Kepentingan Penggugat Yang Dirugikan

Berdasarkan Pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9


Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
yang berbunyi : atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan
gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal
atau tidak sah,dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
rehabilitasi.

25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Mencermati ilmiah dari suatu putusan dan pelaksanaan putusan pengadilan
tata usaha negara. Pengertian putusan di dalam pengadilan tata usaha
negara yang disebut sebagai putusan hakim, dan dalam kaitannya dengan
hukum acara PTUN disebut sebagai putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap. Putusan PTUN diatur di dalam paal 97 ayat(5)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 , putusan pengadilan berupa atau
isi putusan : gugatan ditolak, gugatan dikabulkan,dan gugatan gugur.
Susunan putusan dari Putusan PTUN terkandung dalam pasal 109 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986. Biaya perkara dalam pelaksanaan putusan
pengadilan tata usaha negara turut terkandung di dalam pasal 109 ayat (1)
huruf f UU PTUN dan pelaksanaan eksekusi putusan yang telah terjadi
perubahan di dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
sebagai perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
2. Mencermati suatu putusan dan pelaksanaanya melalui perkara nomor
237/G/2015/PTUN-JKT. Melihat penerapan ketentuan-ketentuan hukum
dalam perkara tersebut, obyek sengketa dalam perkara nomor
237/G/2015/PTUN-JKT adalah Surat Keputusan Jaksa Agung Republik
Indonesia Nomor: KEP-IV-551/C/08/2015 tanggal 12 Agustus 2015.
Melihat kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara pada perkara
237/G/2015/PTUN-JKT dengan turut mengkaji Pangkal Sengketa Tata
Usaha Negara, Alasan Mengajukan Gugatan pada perkara
237/G/2015/PTUN-JKT, tenggang waktu serta kepentingan penggugat
yang dirugikan oleh adanya Keputusan Tata Usaha Negara sebagai obyek
sengketa dalam hal ini.
B. SARAN
1. Penulis berharap bahwa dalam teori yang ada terkait dalam putusan dan
pelaksana putusan peradilan tata usaha negara terus mencerminkan proses

26
eksekusi putusan yang berjalan efektif dan terlihat wibawa dari suatu
Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Negara Hukum Pancasila di
Indonesia.
2. Penulis berharap agar dalam setiap putusan PTUN, hakim dalam membuat
keputusan tetap berpedoman pada Undang-Undang PTUN sebagaimana
juga putusan PTUN yang telah diatur dalam pasal 97 ayat (5) UU 5/1986,
dimana dalam hal ini penulis dalam melihat kandungan pasal tersebut pada
perkara 237/G/2015/PTUN-JKT.

27
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Zairin Harahap¸2014, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Jakarta, RajaGrafindo
Persada

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan


Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2951);

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara


( LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INONESIA TAHUN 1986 NOMOR 77)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG


PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
(LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 35,
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4380)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG


PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986
TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA
(LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 160,
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5079)

Rujukan Tulisan Ilmiah

Tulisan Ilmiah oleh Wiwik Anggraini,S.H. , Tinjauan Yuridis Terhadap Sengketa


Kepegawaian Dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, dalam akses/melalui laman
resmi Media Neliti, 210333-tinjauan-yuridis-terhadap-sengketa-kepeg.pdf (neliti.com) pada
04 Januari 2021 pukul 18.45 WIB.

28

Anda mungkin juga menyukai