Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH TEORI DAN POLITIK HUKUM

KEWENANGAN POLITIK HUKUM DALAM PEMBUATAN


AKTA NOTARIS

DOSEN PENGAMPU :

DR. JELLY LEVIZA, S.H., MHum

DISUSUN OLEH:

BUANA SHYNTIA RANI (227011008)

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang ini tepat pada

waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi

tugas pada salah satu mata kuliah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk

menambah wawasan tentang topik yang penulis bahas.

Serta mengucapkan terima kasih kepada Bapak/Ibu Dosen, yang telah

memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai

dengan bidang studi yang akan ditekuni dan terima kasih juga kepada semua pihak

yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga dapat menyelesaikan

makalah ini.

Oleh karena itu, dalam penulisan makalah ini menyadari banyaknya

kekurangan yang akan tulis dan masih jauh dari kata sempurna dan diharapkan

adanya kritik dan saran yang membangun akan sangat dinantikan demi kesempurnaan

makalah ini.

Medan, 19 Desember 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................
A. Latar Belakang ...........................................................................................................
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................
C. Tujuan Masalah...........................................................................................................
BAB II........................................................................................................................................
PEMBAHASAN........................................................................................................................
Kewenngan Politik Hukum Dalam Pembuatan Akta Notaris....................................................
BAB III.....................................................................................................................................
PENUTUP................................................................................................................................
A. Kesimpulan................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana yang diterangkan dalam
penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian maka segala sesuatu yang
berhubungan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus berlandaskan
dan berdasarkan atas hukum, sebagai barometer untuk mengukur suatu perbuatan atau
tindakan telah sesuai atau tidak dengan ketentuan yang telah disepakati. Negara
hukum merupakan suatu negara yang dalam wilayahnya terdapat alat-alat
perlengkapan negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam
tindakannya terhadap para warga negara dan dalam hubungannya tidak boleh
bertindak sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan
hukum yang berlaku, dan semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus
tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku.

Sehubungan dengan pernyataan tersebut, maka hukum merupakan himpunan


peraturan yang mengatur tatanan kehidupan, baik berbangsa maupun bernegara, yang
dihasilkan melalui kesepakatan dari wakil-wakil rakyat yang ada di lembaga
legislatif. Produk hukum tersebut dikeluarkan secara demokratis melalui lembaga
yang terhormat, namun muatannya tidak dapat dilepaskan dari kekuatan politik yang
ada di dalamnya. Suatu negara yang menganut sistem demokrasi, maka segala
sesuatunya harus dirumuskan secara demokrasi, yaitu dengan melihat kehendak dan
aspirasi dari masyarakat luas sehingga produk yang dihasilkan itu sesuai dengan
kengininan hati nurani rakyat. Tetapi apabila sebaliknya maka terlihat bahwa produk
hukum yang dikeluarkan tersebut dapat membuat masyarakat menjadi resah dan
cenderung tidak mematuhi ketentuan hukum itu.

Pelaksanaan roda kenegaraan tidak dapat dilepaskan dari bingkai kekuasaan,


karena dalam negara terdapat pusat-pusat kekuasaan yang senantiasa memainkan
peranannya sesuai dengan tugas dan wewenang yang telah ditentukan. namun dalam
pelaksanaannya sering mengalami benturan satu sama lain, karena kekuasaan yang
dijalankan tersebut berhubungan erat dengan kekuasaan politik yang sedang bermain.
Maka dalam hal ini negara, kekuasaan, hukum, dan politik merupakan satu kesatuan
yang sulit untuk dipisahkan, karena semua komponen tersebut senantiasa bermain
dalam pelaksanaan roda kenegaraan dan pemerintahan. Komponen-komponen
tersebut hanya akan berjalan dengan semestinya apabila ada pelaksana yang mengerti
tentang bagaimana cara kerja dari komponen tersebut. Diantara banyak pelaksana
negara, kekuasaan, hukum dan politik ini terdapat mereka yang disebut sebagai
pejabat negara, baik secara umum maupun secara khusus.

Notaris adalah pejabat umum atau publik yang juga melaksanakan


kewibawaan pemerintah di bidang hukum tapi tidak memperoleh gaji dari
pemerintah. Namun Notaris bukanlah juga pejabat Tata Usaha Negara (selanjutnya
disebut TUN), sehingga Notaris tidak bisa dikenakan tindak pidana korupsi, sesuai
dengan Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK). Pasal 1868
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata)
memberikan penegasan kepada Notaris sebagai pejabat umum.

Dalam Pasal 1868 KUHPerdata tersebut menyatakan bahwa, “Suatu akta


otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-
Undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan
ditempat dimana akta itu dibuat”. Namun demikian, Notaris bukanlah satu-satunya
pejabat umum yang ditugasi oleh Undang-Undang dalam membuat akta otentik.
Untuk memperoleh otentisitas yang terdapat pada akta Notaris, maka menurut
ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata, akta yang bersangkutan harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Akta harus dibuat “oleh” (door) atau “di hadapan” (ten ovestaan) seorang
pejabat umum.
2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh UndangUndang.
3. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta itu1

Seorang Notaris, menurut pendapat Tan Thong Kie “Notaris adalah seorang
fungsionaris dalam masyarakat, hingga sekarang jabatan seorang Notaris masih
disegani. Seorang Notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat
seseorang dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan“. Segala sesuatu yang
ditulis serta ditetapkan adalah benar, ia adalah pembuatan dokumen yang kuat dalam
suatu proses hukum2 Dalam Pasal 1 UUJN disebutkan bahwa, Notaris adalah pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, dan memiliki kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam UUJN atau berdasarkan Undang-Undang lainnya,
untuk penjelasan lebih lanjut terdapat dalam penjelasan Undang-Undang tersebut
pada alinea ketiga, dijelaskan bahwa, “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta otentik, sejauh pembuatan akta otentik tersebut tidak ditentukan
atau tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.

Menurut Budiono Kusumohamidjojo dalam buku Filsafat Hukum


menjelaskan bahwa dalam negara hukum, hukum menjadi aturan permainan untuk
mencapai cita-cita bersama yang menjadi pangkal dari kesepakatan politik. Hukum
seharusnya juga menjadi aturan untuk menyelesaikan segala perselisihan termasuk
perselisihan politik. Ruang Lingkup Politik Hukum
Adapun yang menjadi cakupan atau ruang lingkup politik hukum adalah:

1
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1983, h. 48
2
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba‐Serbi Praktek Notaris, Buku I, Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 2000, h. 157.
1. Kebijakan negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak
diberlakukan dalam rangka pencapaian tujuan negara;
2. Latar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya atas lahirnya produk
hukum; dan
3. Penegakan hukum dalam kenyataan lapangan.3

Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih


dan cara yang hendak dipakai untuk mencapa suatu tujuan sosial dengan hukum
tertentu di dalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa
pertanyaan mendasar, yaitu: i. tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang
ada; ii. cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam
mencapai tujuan tersebut; iii. kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu
perlu diubah; iv. dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk
membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk
mencapai tujuan tersebut dengan baik.4

Pada dasarnya, pengertian politik hukum yang dikemukakan oleh berbagai


ahli hukum tersebut di atas tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Perbedaan
hanya terdapat pada ruang lingkup atau materi muatan politik hukum. Oleh karena
itu, dalam penelitian ini politik hukum diartikan sebagai kebijaksanaan pemerintah
yang dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan arah pembangunan hukum nasional
dalam rangka mencapai tujuan negara Indonesia, yang meliputi struktur hukum,
substansi hukum dan budaya hukum.
Politik hukum itu ada yang bersifat permanen atau jangka panjang dan ada
yang bersifat periodik. Yang bersifat permanen misalnya pemberlakuan prinsip
pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan, keseimbangan antara kepastian hukum,
3
https://www.hukumonline.com/klinik/a/mengenal-politik-hukum-di-indonesia-dan-contohnya-
lt62dfa4ffde6ea
4
Padmo Wahjono, “Menyelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-undangan”, dalam majalah
Forum Keadilan No.29, April 1991, hal. 65
keadilan, dan kemanfaatan, penggantian hukum-hukum peninggalan kolonial dengan
hukum-hukum nasional, penguasaan sumber daya alam oleh negara, kemerdekaan
kekuasaan kehakiman, dan sebagainya. Disini terlihat bahwa beberapa prinsip yang
dimuat di dalam UUD sekaligus berlaku sebagai politik hokum.5

Diantara para pejabat umum yang memangku tugas dari negara, terdapat
pejabat yang disebut dengan notaris. Adapun notaris adalah pejabat umum yang
khusus ditunjuk oleh negara untuk menangani masalah-masalah pembuatan akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh
suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan
dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan akta nya dan
memberikan grosse, salinan, dan kutipannya, semua sepanjang pembuatan akta itu
oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat
atau orang lain.

Kegiatan notaris di Indonesia banyak dipengaruhi oleh politik dan hukum itu
sendiri. Pengaruh politik dapat terlihat dari dibuatnya suatu produk politik yang
berupa undang-undang khusus yang mengatur mengenai jabatan notaris yaitu
Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Dan status Indonesia
yang merupakan negara hukum tentunya juga akan mempengaruhi setiap tindakan
dan perbuatan para notaris karena mereka harus berpedoman pada hukum-hukum
yang berlaku dalam memberikan kewenangan dalam Notaris.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka, kami akan mencoba
membahas permasalahan antara lain:
1. Bagaimana Kewenangan Politik Hukum dalam Pembuatan Akta Notaris?
5
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. (Jakarta: Rajagrafindo Persada,2009), hal.3
C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari masalah yang akan dibahas adalah :
1. Untuk mengetahui kewenangan politik hokum di bidang notaris dalam
pembuatan akta Notaris

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kewenangan Politik Hukum Dalam Pembuatan Akta Notaris


Hukum menurut para ahli adalah suatu aturan yang dibentuk oleh pemerintah
(law making institution) sebagai pelaksanaan atas kedaualatan yang telah diberikan
rakyat (sovereignty) yang memaksa untuk ditaati (imperative) karena terdapat
ancaman sanksi apabila dilanggar.6Hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan dan
kedamaian dalam kehidupan (di dalam kedamaian terdapat kesejahteraan, ketertiban,
dan keadilan) masyarakat. Saat membentuk hukum, pemerintah diwajibkan menggali
nilai-nilai dan norma-norma di dalam masyarakat (volkgeist), jika hal tersebut dapat
tercapai maka tercapailah yang disebut hukum responsif, yaitu hukum yang sesuai
dengan keinginan dan pelaksanaan kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sehingga
hukum diciptakan untuk alam semesta, maka perlu mengakomodir kebutuhan-
kebutuhan baik lingkungan maupun seluruh makhluk hidup, agar hukumnya yang
keluar dapat mewujudkan kedamaian dalam dunia ini.

Pembentukan hukum seringkali belum berjalan seperti yang diharapkan (das


sollen), karena pembentukan hukum sering dipengaruhi oleh kepentingan politik
suatu kaum masyarakat. Hukum dan politik bagaikan dua mata sisi uang logam, yang
mana mempunyai wajah (fisik) yang berbeda (contoh mata uang logam Negara
Indonesia yaitu burung garuda dengan nilai nominalnya), tetapi tidak dapat
dipisahkan. Penerapannya yaitu dengan adanya politik suatu kaum masyarakat
membuat hukum tidak untuk kepentingan bersama, tetapi untuk menguntungkan
kepentingan politik kaum masyarakat tersebut, maka terkadang timbul aturan yang
tidak pro-rakyat.

Politik hukum berkaitan hukum yang berlaku dan hukum yang dicita-citakan
dalam suatu Negara tersebut (ius constituendum) 7, sehingga memungkinkan

6
John Austin, The Province of Jurisprudence Determined Edited by David Champbell and Philip
Thomas. (London: Routledge Taylor & Francis Group, 1998), halaman xiii
7
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. (Rajawali Press: Jakarta, 2019), halaman 9.
seringnya perubahan dalam hukum yang berbentuk peraturan tersebut, khususnya
pada hukum regulasi-regulasi kenotariatan terutama juga yaitu Undang-Undang
Jabatan Notaris (UUJN) yang menurut penulis masih banyak yang belum
mensejahterakan Notaris, maka penulis perlu menulis thesis ini untuk merekonstruksi
politik hukum kenotariatan agar UUJN kedepan bisa lebih mengandung aturan-aturan
yang dapat mensejahterakan kehidupan para Notaris di Negara Indonesia.

Setiap perbuatan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu pada kewenangan


yang sah. tanpa adanya kewenangan yang sah seorang pejabat ataupun Badan Tata
Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintahan. Oleh karena
itu kewenangan yang sah merupakan atribut bagi setiap pejabat ataupun bagi setiap
badan. Bagir Manan mempertegas istilah dan terminologi apa yang dimaksud
wewenang pemerintahan. Menurutnya, wewenang dalam bahasa hukum tidaklah
sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk
berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan, wewenang dalam hukum dapat sekaligus
berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Lebih lanjut, Bagir Manan
menjelaskan bahwa antara tugas dan wewenang di satu pihak dengan hak dan
kewajiban di pihak lain mempunyai hubungan yang bersifat fungsional satu sama
lain.

Sehingga penentuan tugas dan wewenang pemerintahan akan menjadi


pengukur apakah hak dan kewajiban dijalankan sebagaimana mestinya atau telah
terjadi tindakan atau perbuatan pemerintahan yang melampaui batas kewenangan
yang diberikan kepadanya (misbruik van recht), ataukah telah terjadi tindakan atau
perbuatan pemerintahan berupa penyalagunaan wewenang (detournement de
pouvoir). Sebaliknya, hak dan kewajiban memungkinkan para pejabat pemerintahan
melakukan tindakan atau perbuatan baik berupa tindakan hokum maupun tindakan
atau perbuatan konkrit tertentu (rechts en feitelijke handelingen). Tanpa adanya hak
dan kewajiban yang dilekatkan pada tugas wewenang pejabat pemerintahan tersebut
maka tentunya segala tugas dan wewenang tidak dapat diwujudkan secara konkrit
dalam bentuk tindakan atau perbuatan pemerintahan.

Dalam hukum administrasi negara, dasar bagi pemerintah untuk


melaksanakan perbuatan hukum publik adalah adanya kewenangan bevoegdheid yang
berkaitan dengan jabatan ambt. Jabatan memperoleh wewenang melalui tiga sumber
yakni atribusi, delegasi, dan mandat, ketiga sumber kewenangan ini akan melahirkan
kewenangan (bevoegdheid, legal power, competence). Untuk lebih jelasnya
pengertian apa yang dimaksudkan dengan atribusi, delagasi dan mandat maka oleh
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan atribusi sebagai suatu pemberian
wewenang pemerintahan oleh pembuat undang – undang kepada organ pemerintahan
(attribute is toekenning van een bestuursbevoegheld door een wergever aan een
bestuursorgaan). Sedangkan, pengertian delegasi adalah pelimpahan wewenang
pemerintahan dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya
(delegatie is overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgan aan een
ander), dan pengertian mandate adalah terjadi ketika organ pemerintahan
menginzinkan kewenangannnya dijalankan oleh organ lain atas namanya (mandaat is
een bestuursorganloot zijn bevoegheid namens heim uitoefenen door een ander).

Terkait dengan sumber kewenangan yang dimiliki oleh Notaris, sebagaimana


disebutkan bahwa unsur - unsur yang tercantum dalam kewenangan itu ada 2 (dua)
yaitu :
1. Adanya kekuasaan formal,
2. Kekuasaan diberikan oleh Undang – Undang.

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik
dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang
ini atau berdasarkan Undang – Undang lainnya. Tentu saja undang – undang yang
dimaksdu adalah Undang - Undang Jabatan Notaris (UUJN) dan Undang – Undang
lainnya yang mengatur dan memberikan kewenangan lain kepada Notaris dalam
omenjalankan tugas jabatannya. Merujuk pada dasar perolehan kewenangan bahwa
Notaris dalam membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan berasal dari undang-
undang yang merupakan kewenangan atribusi yang artinya pemberian wewenang
pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundangundangan
yang dalam hal ini adalah UUJN, sehingga kewenangan yang didapat melalui atribusi
adalah merupakan kewenangan asli.

Wewenang yang diperoleh secara atribusi dan berasal dari peraturan


perundang-undangan adalah wewenang yang bersifat asli. Dengan kata lain, organ
pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari rumusan norma-norma
pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal tindakan atau
perbuatan pemerintahan didasarkan pada wewenang atribusi, maka pemerintah selaku
penerima wewenang atribusi dapat menciptakan wewenang pemerintahan baru atau
memperluas wewenang yang sudah ada, dengan demikian maka tanggung jawab
intern maupun ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada
pada pemerintah selaku penerima wewenang pemerintahan (atributaris).

Berdasarkan sumber kewenangan yang dimiliki oleh Notaris ini, maka


seharusnya kewenangan Notaris dalam membuat akta pertanahan adalah kewenangan
yang asli, artinya memang kewenangan untuk membuat akta yang berkaitan dengan
pertanahan ini menjadi kewenangan Notaris tanpa pembatasan akta-akta apa saja
yang dibuatnya hal ini meskipun dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN ada pembatasan
bahwa kewenangan itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain
yang ditetapkan oleh undang-undang.

Memahami Politik Hukum Pasal 15 Ayat (2) huruf f UUJN tidaklah dapat
dipahami hanya dengan membaca secara harfiah kata-kata dalam Pasal tersebut,
tetapi Pasal 15 Ayat (2) huruf f UUJN itu haruslah dipahami sebagai suatu sistem
yang tidak terpisahkan dengan pasal-pasal, penjelasan pasalpasal dan penjelasan
umum dari UUJN, maupun risalah rapat proses pembahasan rancangan undang-
undang tentang Jabatan Notaris serta dengan hokum nasional secara keseluruhan.
Dari sini dapat dilihat bahwa tidak terdapat peraturan yang lebih tinggi
mengesampingkan peraturan yang lebih rendah atau peraturan yang khusus
mengesampingkan peraturan yang umum, karena baik PPAT maupun Notaris diatur
oleh UU.

Akan tetapi haruslah digaris bawahi bahwa UUHT ini adalah Undang-Undang
tentang Hak Tanggungan, bukan tentang PPAT, sedang PPAT sendiri di atur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Selanjutnya disebut PP PPAT) . Di sini dapat
dilihat bahwa para pembuat undang-undang sengaja untuk menghindari kekosongan
hukum dalam hal ini Undang - Undang tentang PPAT yang sampai saat ini juga
belum dibuat, maka definisi dari PPAT dimasukkan ke dalam Undang – Undang Hak
Tanggungan.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan

Selain membuat Akta Otentik, Pasal 15 Ayat (2) dan (3) UUJN menyebutkan bahwa
Notaris juga berwenang untuk:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;
f. Membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan;
g. Membuat Akta Risalah Lelang;
h. Mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary),
i. Membuat Akta ikrar wakaf; dan
j. Membuat Akta Hipotek pesawat terbang

Politik Hukum Pasal 15 Ayat (2) huruf f UUJN yang memberikan kewenangan
kepada Notaris untuk dapat membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan adalah dalam
rangka terciptanya unifikasi jabatan antara Notaris dan PPAT sehingga seorang yang
diangkat menjadi Notaris akan otomatis menjadi PPAT. Akan tetapi, keinginan ini belum
bisa terlaksana akibat tidak adanya harmonisasi peraturan perundang - undangan yang
mengatur kedua jabatan tersebut sehingga kewenangan-kewenangannya saling tumpang
tindih.

2. Saran

Seharusnya Pemerintah berinisiatif untuk segera melakukan unifikasi


peraturan jabatan antara Notaris dengan PPAT sehingga konflik kewenangan seperti
ini dapat diminimalisir, selain itu dalam kenyataannya sebagian besar jabatan PPAT
juga dijabat oleh Notaris sehingga bisa dikatakan bahwa kedua jabatan ini adalah
untuk satu orang yang sama. BPN dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
selaku badan yang membawahi PPAT dan Notaris harus segera melakukan diskusi
dan menyelesaikan permasalahan tumpang tindih kewenangan jabatan antara PPAT
dan Notaris melalui pembuatan rancangan undang-undang baru sehingga kedua
jabatan ini saling berharmonisasi.

DAFTAR PUSTAKA

G.H.S. Tobing Lumban, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta : Erlangga .


Thong, Kie Tan, 2000, Studi Notariat dan Serba‐Serbi Praktek Notaris, Buku
I,VanHoeve, Jakarta : Ichtiar Baru.
Sjaifurrachman dan Habib Adjie. 2011. Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam
Pembuatan Akta. Bandung : Mandar Maju.
https://www.hukumonline.com/klinik/a/mengenal-politik-hukum-di-indonesia-dan-
contohnya-lt62dfa4ffde6ea diakses pada tanggal 19 Desember 2022.
Wahjono Padmo, 1991,“Menyelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-
undangan”, dalam majalah Forum Keadilan No.29.

Anda mungkin juga menyukai