DISUSUN OLEH :
ANNISA SALSABILLA ( 211092200001 )
MUHAMAD RAFIQ OS ( 211092200013 )
Saya juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Bapak yang telah membimbi
ng kami dalam pengerjaan makalah ini, serta semua pihak yang membantu menyelesaikan ma
kalah ini yang tidak dapat kami sebutkan satu- persatu. Saya menyadari bahkan makalah ini
masih belum sempurna dan perlu diperbaiki. Untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan.
Semoga makalah ini memberi manfaat dan berguna bagi kita semua.
Annisa Salsabila
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................1
DAFTAR ISI..............................................................................................................................1
BAB 1.........................................................................................................................................2
PENDAHULUAN......................................................................................................................2
1.1 LATAR BELAKANG......................................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................2
1.3 Tujuan...............................................................................................................................3
1.4 Manfaat.............................................................................................................................3
BAB II........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN........................................................................................................................3
2.1 Prinsip Keabsahan............................................................................................................3
2.2 Prinsip Keabsahan Dalam penetapan KTUN...................................................................3
2.3 Pendelegasian wewenangan.............................................................................................5
2.4 Model-model Pendelegasian............................................................................................6
2.5 Kriteria-kriteria dalam penggunaan asas diskresi.............................................................7
PENUTUP..................................................................................................................................8
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................10
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Prinsip Keabsahan
Menghendaki bahwa Tindakan pemerintah harus sesuai dengan hukum, termasuk
dalam menetapan KTUN. Hal tersebut telah diatur dalam pasal 8 ayat (2) UU Nomor 30
Tahun 2014 dan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004. Parameter
keabsahan penetapan KTUN adalah
1. Harus adanya wewenang yang cukup, baik materi, waktu maupun tempat
2. Harus melalui prosedur yang sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
3. Substansi dimana pemerintah dalam bertindak tidak boleh melakukan penyalahgunaan
kewenangan ( detournement de pouvoir ), tidak boleh bertindak sewenang-wenang
( wllikeur ) dan harus sesuai AUPB. Warga negara yang merasa dirugikan dengan
menetapkan KTUN, dapat mengajukan upaya administrative kepada pemerintah
dan/atau gugatan ke PTUN.
Bahwa negara dibentuk dengan diberikan tugas, fungsi dan kewajiban untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Karenanya, untuk menjalankan tugas dan fungsi
tersebut, pemerintah sebagai personifikasi negara diberikan hak untuk melakukan Tindakan-
tindakan ( bestuur handlingen ) dalam menjalankan fungsi pemerintahan.
3
D. Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai denga nisi dan tujuan yang hendak dicapai
( doelmatig )
Hakikatnya dalam keabsahan penetapan KTUN dapat dilihat apakah
Penetapan KTUN tersebut sudah sesuai dengan hukum atau tidak atau dengan kata lain harus
sesuai dengan prinsip legalitas ( legality principle ). Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa
prinsip penyelenggaraan pemerintahan adalah berdasarkan prinsip negara hukum dengan
dengan prinsip dasar adalah prinsip legalitas ( rechtmatigheid van het bestuur ). Dan
sebaliknya, sehubungan dengan hal tersebut, Philipus M. Hadjho menyatakan bahwa prinsip
keabsahan dalam hukum Administrasi memiliki tiga fungsi yakni :
A. Bagi aparat pemerintah, prinsip keabsahan berfungsi sebagai norma pemerintah
B. Bagi masyarakat, prinsip keabsahan berfungsi sebagai dasar pengajian suatu Tindakan
pemerintah
Kewenangan didalamnya terkandung hak dan kewajiban. Seiring dengan pilar utama
negara hukum, yaitu asas legalitas, berdasarkan prinsip ini tersirat wewenang pemerintahan
yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi
pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritis, kewenangan yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh dari tiga cara yaitu atribusi,
delegasi, mandat. Dan ketika wewenang itu tidak dijalankan sesuai undang-undang, maka itu
disebut tindakan yang menyalahgunakan wewenang.
Timbulnya penyalahgunaan kewenangan di dalam proses administrasi merupakan hal yang
negatif yang menjadi lumrah di kehidupan bernegara kita saat ini.
Ada beberapa dampak yang dirasakan dalam pemerintahan ketika terjadi penyalahgunaan
wewenang dalam hal ini diskresi antara lain:
1. Akan menimbulkan cacat prosedur hukum dalam proses ataupun menjalankan
keputusan itu;
2. Jika dibiarkan terjadi secara terus-menerus, penyalahgunaan diskresi akan
memperkuat praktek Korupsi,Kolusi, Nepotisme (KKN).
3. Menimbulkan korban bagi keputusan yang mementingkan satu pihak saja; dan
4. Menimbulkan kerugian negara ketika penyalahgunaan kewenangan itu berujung
tindak pidana, dalam hal ini korupsi.
Tentu hal ini harus kita benahi bersama dalam hal tindakan pemerintah yang masih diluar
koridor konsep negara kita, sebagai upaya mengembalikan konsep negara hukum ke arah
yang semula agar tercipta suatu tatanan pemerintahan yang bersih dan tidak cacat hukum.
Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan menerangkan bahwa diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan
yang berwenang dan setiap penggunaan diskresi bertujuan untuk melancarkan
penyelenggaraan Pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum,
mengatasi stagnansi Pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan
kepentingan umum..
4
Syarat-syarat dilakukannya diskresi tersebut berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan, yaitu:
(a) sesuai dengan tujuan diskresi sebagaimana dimaksud di atas;
(b) tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(c) sesuai dengan AAUPB
(d) berdasarkan alasan yang objektif
(e) tidak menimbulkan konflik kepentingan dan
(f) dilakukan dengan itikad baik.
Setiap diskresi yang dilakukan oleh Pemerintah tidak boleh menyebabkan kerugian
terhadap keuangan negara. Oleh karenanya, setiap diskresi yang membebankan keuangan
negara harus mendapatkan persetujuan secara tertulis dari atasan pejabat yang melakukan
diskresi. Hal ini juga berlaku terhadap diskresi yang dilakukan untuk mengubah alokasi
anggaran berdasarkan Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan dinyatakan bahwa sistem pengalokasian anggaran sebagai dampak dari
persetujuan diskresi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5
b.U n d a n g - U n d a n g / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang;
c.Peraturan Pemerintah; d.Peraturan Presiden; e.Peraturan Daerah.
(4) Jenis Peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi.
(5) kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarkhi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
6
nya masing-masing. Dengan adanya aturan yang jelas maka diharapkan dapat menutup arena
pilihan yang mengakibatkan ketidakjelasan.
Diskresi dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah “discretion” atau “discretion
power”, di Indonesia lebih popular dikenal dengan istilah diskresi yang diterjemahkan
“kebebasan bertindak” atau keputusan yang diambil atas dasar penilaian sendiri. Banyak
pakar mendifinisikan diskresi, seperti yang dikatakan S. Prajudi Atmosudirjo yang
mendefinisikan diskresi, sebagai kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari para
pejabat administrasi Negara yang berwenang dan berwajib menurut pendapat
sendiri.Sedangkan Sjachran Basah mengatakan bahwa freies ermessen adalah kebebasan
untuk bertindak atas inisiatif sendiri, akan tetapi dalam pelaksanaannya haruslah tindakan-
tindakan administrasi Negara itu sesuai dengan hukum, sebagaimana telah ditetapkan dalam
Negara hukum berdasarkan Pancasila. Sedangkan Esmi Warassih, mengatakan bahwa dalam
rangka pelaksanaan kebijaksanaan publik, para birokrat dapat menentukan kebijaksanaannya
sendiri untuk menyesuaikan dengan situasi dimana mereka berada, terutama di dalam
mengimplementasikan suatu kebijaksanaan publik. Dengan adanya diskresi ini diharapkan
agar dengan kondisi yang ada dapat dicapai suatu hasil atau tujuan yang maksimal.
Bagi negara yang bersifat welfare state, azas legalitas saja tidak cukup untuk dapat
berperan secara maksimal dalam melayani kepentingan masyarakat, yang berkembang pesat
sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pertimbangan lainnya adalah
adanya realitas bahwa suatu kebijakan atau peraturan tidak mungkin mampu merespons
banyak aspek dan kepentingan semua pihak sebagai akibat adanya keterbatasan pemerintah
dalam proses perumusan suatu kebijakan atau peraturan. Selanjutnya harus pula diatur bahwa
keadaan mendesak yang terjadi dan menjadi dasar diterbitkannya keputusan diskresi bukan
tercipta akibat kesalahan pejabat yang menerbitkan keputusan diskresi dalam menjalankan
pemerintahan, akan tetapi karena masalah lain seperti bencana alam, wabah penyakit, atau
keadaan tak terduga lainnya.
Penggunaan asas diskresi oleh pemerintah atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai
pelengkap dari asas legalitas manakala hukum yang berlaku tidak mampu menyelesaikan
permasalahan tertentu yang muncul secara tiba-tiba, bisa karena peraturannya memang tidak
ada atau karena peraturan yang ada yang mengatur tentang sesuatu hal tidak jelas. Diskresi
dalam membuat suatu ketetapan ataupun kebijakan yang berbentuk tertulis disebut
Beleidregel.
7
2.6 Diskresi Pelayanan Perijinan Mendirikan Bangunan (Studi TerhadapPelaksanaan P
elayanan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Pada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
Kota Malang)
8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam beberapa peraturan perundang- undangan yang menjadi perhatian dalam tulisan ini di
temukan adanya model pendelegasian wewenang oleh Undang- undang terhadap peraturan yang l
ebih rendah, dimana dalam pendelegasian itu ternyata terdapat norma yang tidak tepat. Seperti
yang terjadi dalam Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi, disebutkan bahwa Retribusi
diatur dalam Peraturan Daerah, namun penetapan tarif yang diamanatkan oleh undang-undang
harus dilakukan peninjauan paling lama 3 tahun sekali justru ditetapkan dengan Peraturan Kepala
Daerah.
Manfaat dari konsistensi pendelegasian oleh Undang-undang terhadap peraturan di
bawahnya sebenarnya adalah untuk menjamin adanya satu lajur kepastian hukum yang
menghindari tumpang tindih aturan. Perlu dipertimbangkan bahwa aturan hukum yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi, sehingga seharusnya
aturan hukum secara tertib dan bertahap didelegasikan ke peraturan yang setingkat di bawahnya,
lalu setingkat lagi di bawahnya, agar setiap aturan hukum tidak mengatur melebihi yang
didelegasikannya. Selain itu fungsi guideline dari aturan yang lebih tinggi adalah untuk
menghasilkan aturan yang semakin ke bawah semakin detail, rigid, teknis dan prosedural
sehingga tidak membuka arena pilihan yang dapat disalahgunakan dan aturan hukum yang sudah
dibuat dapat ditegakkan secara maksimal.
Berdasarkan kesimpulan yang didapat, maka saran yang dapat dikemukakan melalui tulisan
ini adalah Legal Reform Oriented, seyogyanya menjadi semangat para pengambil kebijakan dan
perancang peraturan ketika merumuskan produk legislasi dan regulasi. Hal ini tidak lain
dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki perwajahan hukum itu sendiri. Sekali lagi
peraturan-perundang-undangan merupakan “hukum” dan “tools” untuk meraih tujuan kehidupan
bernegara yang lebih baik. Di samping itu, reformasi hukum dan penegakan praktek hukum tidak
akan berubah tatkala normatifnya tidak dibenahi dengan baik. Sampai dengan keberlakuannya,
peraturan perundang-undangan telah melewati proses yang panjang, biaya yang besar, juga
sumber daya yang tidak sedikit. Sesungguhnya ini merupakan suatu kerugian ketika produk
hukum yang telah dihasilkan kemudian tidak bisa dilaksanakan dengan baik, tidak bias
diimplementaiskan dengan baik, atau bahkan aturan yang dibuat untuk menyelesaikan masalah ini
justru menimbulkan masalah baru. Kerugian ini semestinya dapat dihindari jika drafter
memperhatikan guidline perancangan secara seksama. Menaati kaidah-kaidah naskah akademik
serta kaidah-kaiadah penormaan, juga memperhatikan hierarkhi peraturan perundang-undangan.
Dalam kajian ROCCIPI, Huruf R yang berarti analisa tentang “Rule” sangat penting dilakukan
dengan teliti. Pisau analisis ini mengharuskan agar researcher mengumpulkan semua aturan-
aturan hukum yang terkait dengan masalah yang hendak diangkat dalam peraturan perundang-
undangan dengan pertanyaan inti apakah sebelumnya ada peraturan yang mengatur, atau apakah
pengaturan tentang masalah ini akan beririsan dengan aturan yang lain? Kajian mengenai Rule ini
9
tidak saja terhadap aturan hukum yang lebih tinggi namun juga terhadap kemungkinan adanya
peraturan yang lebih rendah. Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan. Pekerjaan ini agaknya
patut menjadi tugas berat Kementrian Hukum dan HAM. Sinkronisasi ini penting dilakukan untuk
menghindari inefisiensi peraturan perundang-undangan. Terlalu banyaknya aturan hukum yang
saling tumpang tindih akan menyulitkan Law Impemeting Agencies dalam menegakkan aturan.
10
DAFTAR PUSTAKA
Bahan Tayangan Materi Sosialisasi UUD NRI 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI,
Jakarta,2009.
Hadjon, Philipus M., Tentang Wewenang, Fakultas Hukum UNAIR, Jurnal Ilmiah Yuridika,
Surabaya, 1997.
Hoesein, Zainal Arifin, Judicial Review di Mahkamah Agung RI Tiga Dekade Pengujian
Peraturan Perundang- undangan, Rajawali Pers, Jakarta 2009.
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New York, 1945.
11