Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MAKALAH HUKUM TATA PEMERINTAHAN

DELEGASI PERUNDANG-UNDANGAN KEABSAHAN TINDAK PEMERINTAH &


DISKRESI

DISUSUN OLEH :
ANNISA SALSABILLA ( 211092200001 )
MUHAMAD RAFIQ OS ( 211092200013 )

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SUTOMO SERANG
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb. Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta kar
unia-Nya sehingga makalah dengan berjudul Delegasi Perundang-undangan Keabsahan
Tindak Pemerintah & Diskresi

Saya juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Bapak yang telah membimbi
ng kami dalam pengerjaan makalah ini, serta semua pihak yang membantu menyelesaikan ma
kalah ini yang tidak dapat kami sebutkan satu- persatu. Saya menyadari bahkan makalah ini
masih belum sempurna dan perlu diperbaiki. Untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan.
Semoga makalah ini memberi manfaat dan berguna bagi kita semua.

Serang, 2 Oktober 2022

Annisa Salsabila
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................1
DAFTAR ISI..............................................................................................................................1
BAB 1.........................................................................................................................................2
PENDAHULUAN......................................................................................................................2
1.1 LATAR BELAKANG......................................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................2
1.3 Tujuan...............................................................................................................................3
1.4 Manfaat.............................................................................................................................3
BAB II........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN........................................................................................................................3
2.1 Prinsip Keabsahan............................................................................................................3
2.2 Prinsip Keabsahan Dalam penetapan KTUN...................................................................3
2.3 Pendelegasian wewenangan.............................................................................................5
2.4 Model-model Pendelegasian............................................................................................6
2.5 Kriteria-kriteria dalam penggunaan asas diskresi.............................................................7

PENUTUP..................................................................................................................................8
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................10

1
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Diskusi mengenai pengertian diskresi , dalam berbagai kesempatan baik


perbincangan mengenai bagaimana diskresi dapat dilakukan, siapa yang dapat
menerbitkan keputusan diskresi serta Batasan yang harus diperhatikan dalam
penggunaan diskresi memang sudah cukup banyak dilakukan , akan tetapi bagaimana
suatu keputusan diskresi tersebut dilaksanakan oleh Badan/pejabat Administrasi
Pemerintah bahkan lebih jauh bagaimana keputusan diskresi di uji keabsahan dan
legilitasnya oleh pengadilan Tata Usaha Negara sendiri , masih jarang memikirkan
apakah suatu keputusan yang diujinya adalah keputusan diskresi atau bukan.
Hal tersebut dimungkinkan selain karena factor pemahan terhadap keputusan
diskresi itu sendiri, atau karena telah terbiasa dengan cara pengujian yang
konvensional yaitu apakah keputusan yang diujinya tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik, padahal salah satu alas an diterbitkannya keputusan
diskresi oleh Badan/Pejabat Administrasi pemerintah adalah karena undang-undang
tidak memugkinkan untuk dilaksanakan.
Apabila keputuan diskresi tersebut diuji secara konvensional, maka manakala
undang-undangan dianggap tidak dilaksanakan meskipun ada keadaan yang
memaksa/mendesak yang membuat undang-undang tidak dapat dilaksanakan ,
bukankah terlalu “dangkat” bila pengujiannya oleh Pengadilan Tata Usaha Negara
dilakukan secara konvensional. Meskipun demikian, sebelum dibahas mengenai
bagaimana pengujian keputusan diskresi yang dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha
Negara, sebagai dasar untuk mengkaji hal tersebut, akan lebih bijaak bila mengetahui
terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan asas diskresi, Tindakan dan
instrument pemerintahan, pengertian keputusan diskresi dapat dilakukan, siapa yang
dapat menerbitkan keputusan diskresi, apa Batasan yang harus diperhatikan dalam
penggunaan diskresi serta bagaimana pengujian keputusan pada umumnya oleh
Pengadilan Tata Usaha Negara.
                       

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana prinsip keabsahan?
2. Bagaimana hukum pendelegasian perundang-undangan ?
1.3 Tujuan
Makalah ini dibuat dan disusun agar mampu membawa suatu manfaat diantarnya :
1. Menjadi bahan tambahan untuk perkuliahan mahasiswa dan dosen pengajar.
2. Sebagai literatur materi khusus delegasi keabsahan perundang-undangan
3. Bermanfaat bagi pembaca dan memberi pengetahuan para penikmat pendidikan.
4. Agar bisa menjadi salah satu acuan dalam belajar memahami psikologi
sosial  terutama tentang motif sosial.

2
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Prinsip Keabsahan
Menghendaki bahwa Tindakan pemerintah harus sesuai dengan hukum, termasuk
dalam menetapan KTUN. Hal tersebut telah diatur dalam pasal 8 ayat (2) UU Nomor 30
Tahun 2014 dan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004. Parameter
keabsahan penetapan KTUN adalah
1. Harus adanya wewenang yang cukup, baik materi, waktu maupun tempat
2. Harus melalui prosedur yang sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
3. Substansi dimana pemerintah dalam bertindak tidak boleh melakukan penyalahgunaan
kewenangan ( detournement de pouvoir ), tidak boleh bertindak sewenang-wenang
( wllikeur ) dan harus sesuai AUPB. Warga negara yang merasa dirugikan dengan
menetapkan KTUN, dapat mengajukan upaya administrative kepada pemerintah
dan/atau gugatan ke PTUN.
Bahwa negara dibentuk dengan diberikan tugas, fungsi dan kewajiban untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Karenanya, untuk menjalankan tugas dan fungsi
tersebut, pemerintah sebagai personifikasi negara diberikan hak untuk melakukan Tindakan-
tindakan ( bestuur handlingen ) dalam menjalankan fungsi pemerintahan.

2.2 Prinsip Keabsahan Dalam penetapan KTUN


Istilah keabsahan merupakan terjemahan dari istilah hukum Belanda “ rechmatig”
yang secara harfiah dapat diartikan sebagai “berdasarkan atas hukum “ . Dalam Bahasa
Inggris, istilah keabsahan disebut juga “ legality “ yang mempunyai arti “ lawfulness” atau
sesuai dengan hukum. Konsep tersebut bermula dari lahirya konsepsi negara hukum
( rechtsstaat) yang mana Tindakan pemerintah harus didasarkan pada adanya ketentuan
hukum yang mengatur “ rechtmating van het bestuur “, yang berintikan pada adanya
ketentuan hukumyang legatitas dalam semua Tindakan hukum pemerintah. Artinya bahwa
konsep tersebut lahir sebagai upaya untuk membatasi kekuasaan raja yang pada waktu itu
sangat absolut sebagai pemegang kedaulatan (prince legibus solutus est ). Pada waktu itu,
terkenal adegium king can do not wrong. Untuk itu, hukum lahir sebagai Batasan kekuasaan,
Menurut Kuntjoro Purbopranoto, agar keputusan yang dibuat menjadi
keputusan yang sah ada dua syarat yang harus dipenuhi , yakni syarat materil dan formil.
Lebih lanjut Kutjoro Purbopranoto menyatakan:
A. Alat pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang ( berhak )
B. Dalam kehendak alat pemerintahan yang membuat keputusan tidak boleh ada
kekurangan yuridis
C. Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturanyang menjadi
dasarnya dan pembentukannya harus juga memperhatikan prosedur membuat
keputusan bilamana prosedur itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan itu.

3
D. Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai denga nisi dan tujuan yang hendak dicapai
( doelmatig )
Hakikatnya dalam keabsahan penetapan KTUN dapat dilihat apakah
Penetapan KTUN tersebut sudah sesuai dengan hukum atau tidak atau dengan kata lain harus
sesuai dengan prinsip legalitas ( legality principle ). Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa
prinsip penyelenggaraan pemerintahan adalah berdasarkan prinsip negara hukum dengan
dengan prinsip dasar adalah prinsip legalitas ( rechtmatigheid van het bestuur ). Dan
sebaliknya, sehubungan dengan hal tersebut, Philipus M. Hadjho menyatakan bahwa prinsip
keabsahan dalam hukum Administrasi memiliki tiga fungsi yakni :
A. Bagi aparat pemerintah, prinsip keabsahan berfungsi sebagai norma pemerintah
B. Bagi masyarakat, prinsip keabsahan berfungsi sebagai dasar pengajian suatu Tindakan
pemerintah
Kewenangan didalamnya terkandung hak dan kewajiban. Seiring dengan pilar utama
negara hukum, yaitu asas legalitas, berdasarkan prinsip ini tersirat wewenang pemerintahan
yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi
pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritis, kewenangan yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh dari tiga cara yaitu atribusi,
delegasi, mandat. Dan ketika wewenang itu tidak dijalankan sesuai undang-undang, maka itu
disebut tindakan yang menyalahgunakan wewenang.
Timbulnya penyalahgunaan kewenangan di dalam proses administrasi merupakan hal yang
negatif yang menjadi lumrah di kehidupan bernegara kita saat ini.
Ada beberapa dampak yang dirasakan dalam pemerintahan ketika terjadi penyalahgunaan
wewenang dalam hal ini diskresi antara lain:
1. Akan menimbulkan cacat prosedur hukum dalam proses ataupun menjalankan
keputusan itu;
2. Jika dibiarkan terjadi secara terus-menerus, penyalahgunaan diskresi akan
memperkuat praktek Korupsi,Kolusi, Nepotisme (KKN).
3. Menimbulkan korban bagi keputusan yang mementingkan satu pihak saja; dan
4. Menimbulkan kerugian negara ketika penyalahgunaan kewenangan itu berujung
tindak pidana, dalam hal ini korupsi.
Tentu hal ini harus kita benahi bersama dalam hal tindakan pemerintah yang masih diluar
koridor konsep negara kita, sebagai upaya mengembalikan konsep negara hukum ke arah
yang semula agar tercipta suatu tatanan pemerintahan yang bersih dan tidak cacat hukum.
Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan menerangkan bahwa diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan
yang berwenang dan setiap penggunaan diskresi bertujuan untuk melancarkan
penyelenggaraan Pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum,
mengatasi stagnansi Pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan
kepentingan umum..

4
Syarat-syarat dilakukannya diskresi tersebut berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan, yaitu:
(a) sesuai dengan tujuan diskresi sebagaimana dimaksud di atas;
(b) tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(c) sesuai dengan AAUPB
(d) berdasarkan alasan yang objektif
(e) tidak menimbulkan konflik kepentingan dan
(f) dilakukan dengan itikad baik.
Setiap diskresi yang dilakukan oleh Pemerintah tidak boleh menyebabkan kerugian
terhadap keuangan negara. Oleh karenanya, setiap diskresi yang membebankan keuangan
negara harus mendapatkan persetujuan secara tertulis dari atasan pejabat yang melakukan
diskresi. Hal ini juga berlaku terhadap diskresi yang dilakukan untuk mengubah alokasi
anggaran berdasarkan Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan dinyatakan bahwa sistem pengalokasian anggaran sebagai dampak dari
persetujuan diskresi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.3 Pendelegasian wewenangan


Pendelegasian wewenang legislasi (‘delegated legislation’) oleh badan legislatif
melalui undang-undang di Indonesia juga tidak tertata dengan baik. Walaupun sejak Tahun
1966 telah diatur tentang Tata Urutas Peraturan Perundang-undangan, ternyata di dalam
praktek hal tersebut tidak pernah dilaksanakan secara konsisten, misalnya tidak semua TAP
MPR dijabarkan dengan undang-undang. Ketetapan MPR di bidang legislative dijabarkan ke
dalam undang- undang, sedangkan Ketetapan MPR di bidang eksekutif dijabarkan ke dalam
Keputusan Presiden. Selain itu, Keppres tentang Repelita dilaksanakan dengan UU tiap-tiap
tahun.
Menurut Ketetapan MPR No. III/ MPR/2000TataUrutanPeraturanPerundang- undangan
adalah sebagai berikut:
1. UUDNRI TAHUN 1945; 2. TAP MPR
3. UU
4. Perpu
5. PP
6. Kepres
7. Perda.
Dalam praktek ternyata urutan-ururan
tersebut juga tidak dapat dijadikan pedoman. Sebagai contoh, apakah mungkin Presiden
dalam setiap membentuk Kepres harus mendasarkan kepada PP?.
Dalam ketentuan Pasal 7 UU No.10 Tahun 2004 disebutkan sebagai berikut:
(1) Jenis dan hierarkhi Peraturan perundang- undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

5
b.U n d a n g - U n d a n g / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang;
c.Peraturan Pemerintah; d.Peraturan Presiden; e.Peraturan Daerah.
(4) Jenis Peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi.
(5) kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarkhi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

2.4 Model-model Pendelegasian


Pada teorinya setidaknya ada beberapa sumber wewenang yang menjadi dasar
pembentukan peraturan perundang- undangan.Sumbe rwewenang tersebu tadalah Atribusi,
Delegasi dan Mandat. Sumber wewenang yang ketiga yakni mandat, lebih sering digunakan
dalam konteks perbuatan hukum pemerintah dalam kaitannya dengan hukum administrasi.
Karena makna mandat adalah pelimpahan wewenang dari atasan kepada bawahan untuk
melaksanakan tugas, sedangkan tanggung jawab tetap dipegang pemberi mandat (atasan).26
Pada sub bab mengenai model-model pendelegasian pengaturan oleh Undang- undang kepada
pengaturan di bawahnya ini, pembahasan ditujukan pada penelusuran terhadap perundang-
undangan sehingga nampak model dan macam pendelegasian yang ada. Undang-undang yang
diambil sebagai case study dari tulisan ini adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, disebutkan di pasal 155
(1) Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
(3) Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Kepala Daerah.
Kemudian di pasal berikutnya disebutkan Pasal 156
(1) Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah tentang Retribusi tidak dapat berlaku surut.
(3) Peraturan Daerah tentang Retribusi paling sedikit mengatur ketentuan
Akibat hukum pendelegasian pengaturan oleh Undang-Undang kepada pengaturan yang lebih
rendah dibuatnya aturan hukum sesungguhnya ditujukan agar aturan itu dapat ditegakkan sec
ara maksimal, jika aturan yang telah dibuat itu dapat ditegakkan secara maksimal maka dihar
apkan akan dapat menciptakan dua hal; keadilan dan kepastian hukum. Dalam rangka menca
pai kedua maksud ini maka diciptakanlah ajaran-ajaran dan perangkat-perangkat yang dapat d
igunakan untuk merancang, menerapkan hingga menguji suatu aturan hukum. Satu aturan hu
kum yang dibuat, kendati ditujukan untuk menyelesaikan masalah, tentu tidak mungkin bisa
menyentuh semua sisinya secara menyeluruh. Untuk itulah suatu aturan hukum perlu didetail
kan dari aturan yang umum hingga aturan yang teknis. Disinilah dibuat jenis dan macam atur
an hukum. Setiap aturan hukum dibuat berjenjang dan setiap jenjang memiliki materi muatan

6
nya masing-masing. Dengan adanya aturan yang jelas maka diharapkan dapat menutup arena
pilihan yang mengakibatkan ketidakjelasan.

2.5 Kriteria-kriteria dalam penggunaan asas diskresi

Diskresi dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah “discretion” atau “discretion
power”, di Indonesia lebih popular dikenal dengan istilah diskresi yang diterjemahkan
“kebebasan bertindak” atau keputusan yang diambil atas dasar penilaian sendiri. Banyak
pakar mendifinisikan diskresi, seperti yang dikatakan S. Prajudi Atmosudirjo yang
mendefinisikan diskresi, sebagai kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari para
pejabat administrasi Negara yang berwenang dan berwajib menurut pendapat
sendiri.Sedangkan Sjachran Basah mengatakan bahwa freies ermessen adalah kebebasan
untuk bertindak atas inisiatif sendiri, akan tetapi dalam pelaksanaannya haruslah tindakan-
tindakan administrasi Negara itu sesuai dengan hukum, sebagaimana telah ditetapkan dalam
Negara hukum berdasarkan Pancasila. Sedangkan Esmi Warassih, mengatakan bahwa dalam
rangka pelaksanaan kebijaksanaan publik, para birokrat dapat menentukan kebijaksanaannya
sendiri untuk menyesuaikan dengan situasi dimana mereka berada, terutama di dalam
mengimplementasikan suatu kebijaksanaan publik. Dengan adanya diskresi ini diharapkan
agar dengan kondisi yang ada dapat dicapai suatu hasil atau tujuan yang maksimal.
Bagi negara yang bersifat welfare state, azas legalitas saja tidak cukup untuk dapat
berperan secara maksimal dalam melayani kepentingan masyarakat, yang berkembang pesat
sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pertimbangan lainnya adalah
adanya realitas bahwa suatu kebijakan atau peraturan tidak mungkin mampu merespons
banyak aspek dan kepentingan semua pihak sebagai akibat adanya keterbatasan pemerintah
dalam proses perumusan suatu kebijakan atau peraturan. Selanjutnya harus pula diatur bahwa
keadaan mendesak yang terjadi dan menjadi dasar diterbitkannya keputusan diskresi bukan
tercipta akibat kesalahan pejabat yang menerbitkan keputusan diskresi dalam menjalankan
pemerintahan, akan tetapi karena masalah lain seperti bencana alam, wabah penyakit, atau
keadaan tak terduga lainnya.
Penggunaan asas diskresi oleh pemerintah atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai
pelengkap dari asas legalitas manakala hukum yang berlaku tidak mampu menyelesaikan
permasalahan tertentu yang muncul secara tiba-tiba, bisa karena peraturannya memang tidak
ada atau karena peraturan yang ada yang mengatur tentang sesuatu hal tidak jelas. Diskresi
dalam membuat suatu ketetapan ataupun kebijakan yang berbentuk tertulis disebut
Beleidregel.

7
2.6 Diskresi Pelayanan Perijinan Mendirikan Bangunan (Studi TerhadapPelaksanaan P
elayanan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Pada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
Kota Malang)

Diskresi memberikan kebebasan wewenang yang disebabkan oleh mendesaknya


kebutuhan akan pelayanan publik. Dengan kata lain, jika suatu pelayanan tersebut tidak
diberikan maka akan terjadi satu permasalahan yang krusial dan menyangkut kepentingan
umum. Permasalahan pelayanan yang mengharuskan adanya sebuah tindakan diskresi juga
terjadi di Pemerintah Kota Malang, dalam satuan pelayanan pemberian Izin Mendirikan
Bangunan.
Karena tanpa bukti tertulis, suatu pengakuan dihadapan hukum mengenai objek
hukum tersebut menjadi tidak sah, maka adanya surat IMB akan memberikan kepastian
jaminan hukum kepada masyarakat, oleh sebab itu dalam kaitannya terhadap pelayanan
perizinan khususnya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Pemerintah Kota Malang harus
menciptakan suatu sistem pelayanan yang optimal.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penggunaan diskresi pada
proses pelayanan perijinan mendirikan bangunan yang dilakukan Badan Pelayanan Perizinan
Terpadu Kota Malang dan Untuk mengetahui dampak penggunaan diskresi dalam pelayanan
perinjinan mendirikan bangunan oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Malang.
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ditemukan tindakan diskresi yang menyalahi
etika dan peraturan perundang-undangan, kecuali peristiwa tersebut disebabkan oleh tumpang
tindihnya peraturan. Hal ini pun dapat dikatakan sebagai keadaan kekosongan produk hukum
agar mampu menengahi permasalahan.
Diskresi dalam pemberian pelayanan yang terjadi disebabkan oleh beberapa alasan
terkait kekosongan peraturan teknis pemanfaatan, peruntukan, dan fungsi kawasan perkotaan
yang dikenal dengan Rencana Detail Tata Ruang Perkotaan (RDTRK). Adanya tindakan
diskresi tersebut menimbulkan beberapa dampak diantaranya adalah kebingungan masyarakat
terhadap peraturan dan realitas keadaan tata kota dan terjadi kesenjangan antara pemerintah
daerah dan masyarakat Kota Malang. Penulis berharap hasil penelitian ini dapat menjadi
referensi maupun bahan koreksi bagi kebijakan ini maupun kebijakan lain yang serupa
kedepan.

8
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam beberapa peraturan perundang- undangan yang menjadi perhatian dalam tulisan ini di
temukan adanya model pendelegasian wewenang oleh Undang- undang terhadap peraturan yang l
ebih rendah, dimana dalam pendelegasian itu ternyata terdapat norma yang tidak tepat. Seperti
yang terjadi dalam Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi, disebutkan bahwa Retribusi
diatur dalam Peraturan Daerah, namun penetapan tarif yang diamanatkan oleh undang-undang
harus dilakukan peninjauan paling lama 3 tahun sekali justru ditetapkan dengan Peraturan Kepala
Daerah.
Manfaat dari konsistensi pendelegasian oleh Undang-undang terhadap peraturan di
bawahnya sebenarnya adalah untuk menjamin adanya satu lajur kepastian hukum yang
menghindari tumpang tindih aturan. Perlu dipertimbangkan bahwa aturan hukum yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi, sehingga seharusnya
aturan hukum secara tertib dan bertahap didelegasikan ke peraturan yang setingkat di bawahnya,
lalu setingkat lagi di bawahnya, agar setiap aturan hukum tidak mengatur melebihi yang
didelegasikannya. Selain itu fungsi guideline dari aturan yang lebih tinggi adalah untuk
menghasilkan aturan yang semakin ke bawah semakin detail, rigid, teknis dan prosedural
sehingga tidak membuka arena pilihan yang dapat disalahgunakan dan aturan hukum yang sudah
dibuat dapat ditegakkan secara maksimal.
Berdasarkan kesimpulan yang didapat, maka saran yang dapat dikemukakan melalui tulisan
ini adalah Legal Reform Oriented, seyogyanya menjadi semangat para pengambil kebijakan dan
perancang peraturan ketika merumuskan produk legislasi dan regulasi. Hal ini tidak lain
dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki perwajahan hukum itu sendiri. Sekali lagi
peraturan-perundang-undangan merupakan “hukum” dan “tools” untuk meraih tujuan kehidupan
bernegara yang lebih baik. Di samping itu, reformasi hukum dan penegakan praktek hukum tidak
akan berubah tatkala normatifnya tidak dibenahi dengan baik. Sampai dengan keberlakuannya,
peraturan perundang-undangan telah melewati proses yang panjang, biaya yang besar, juga
sumber daya yang tidak sedikit. Sesungguhnya ini merupakan suatu kerugian ketika produk
hukum yang telah dihasilkan kemudian tidak bisa dilaksanakan dengan baik, tidak bias
diimplementaiskan dengan baik, atau bahkan aturan yang dibuat untuk menyelesaikan masalah ini
justru menimbulkan masalah baru. Kerugian ini semestinya dapat dihindari jika drafter
memperhatikan guidline perancangan secara seksama. Menaati kaidah-kaidah naskah akademik
serta kaidah-kaiadah penormaan, juga memperhatikan hierarkhi peraturan perundang-undangan.
Dalam kajian ROCCIPI, Huruf R yang berarti analisa tentang “Rule” sangat penting dilakukan
dengan teliti. Pisau analisis ini mengharuskan agar researcher mengumpulkan semua aturan-
aturan hukum yang terkait dengan masalah yang hendak diangkat dalam peraturan perundang-
undangan dengan pertanyaan inti apakah sebelumnya ada peraturan yang mengatur, atau apakah
pengaturan tentang masalah ini akan beririsan dengan aturan yang lain? Kajian mengenai Rule ini

9
tidak saja terhadap aturan hukum yang lebih tinggi namun juga terhadap kemungkinan adanya
peraturan yang lebih rendah. Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan. Pekerjaan ini agaknya
patut menjadi tugas berat Kementrian Hukum dan HAM. Sinkronisasi ini penting dilakukan untuk
menghindari inefisiensi peraturan perundang-undangan. Terlalu banyaknya aturan hukum yang
saling tumpang tindih akan menyulitkan Law Impemeting Agencies dalam menegakkan aturan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-undang,

Rajawali Pers, Jakarta, 2010.

Bahan Tayangan Materi Sosialisasi UUD NRI 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI,
Jakarta,2009.

Hadjon, Philipus M., Tentang Wewenang, Fakultas Hukum UNAIR, Jurnal Ilmiah Yuridika,
Surabaya, 1997.

Hoesein, Zainal Arifin, Judicial Review di Mahkamah Agung RI Tiga Dekade Pengujian
Peraturan Perundang- undangan, Rajawali Pers, Jakarta 2009.

Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang- undangan 1, Kanisius, Yogyakarta,2007.

Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2003-2008, Sekretariat Mahkamah Konstitusi,


Jakarta, 2008.

Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New York, 1945.

Natabaya, A.S., “Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”,


Sekretariat Jenderal MK

11

Anda mungkin juga menyukai