Anda di halaman 1dari 6

TUGAS REVIEW BUKU

Nama : Muhamad Rafiq OS


Nim : 211092200013
Prodi : Ilmu Pemerintahan

Judul Buku : Politik Kuasa Media


Penulis : Noam Chomsky
Penerbit : Penerbit Jalan Baru
Jumlah halaman : 151
Nomor ISBN : 978-623-96061-7-6
Tebal : VII + 151 Halaman
Bahasa : Indonesia

Masyarakat yang berdemokrasi memerlukan sebuah media agar mereka mendapatkan


informasi yang objektif agar dapat mengambil keputusan yang rasional dan dapat di
perhitungkan. Media yang bebas dan tidak memihak tentunya merupakan media yang baik
dan dapat di percaya oleh masyarakat. Masyarakat menjadi nyaman dengan media tersebut
dikarenakan keakuratan dan adanya kepercayaan bahwa media merupakan tempat masyarakat
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Berbagai media yang ada baik hari ini ataupun pada masa lampau sudah punya jejak
rekamnya masing-masing. Mereka sudah memiliki bank data yang mumpuni untuk di
bagikan dan dapat dengan mudah di telusuri oleh berbagai kalangan masyarakat. tetapi,
dalam kenyataannya tidak semulus itu. Berbagai berita yang ada pada Media merupakan
pilihan para editor. Fakta-fakta hanya ada pada meja redaksi editor tersebut, semua yang ada
dan di bagikan oleh media selalu ada kekurangan dalam berbagai sudut pandang, baik pada
rekonstruksi sebuah peristiwa dan fakta sebenarnya ke dalam media tersebut.

Noah Chomsky dalam bukunya memiliki pandangan yang di mana kita di perlihatkan
keraguan Chomsky terhadap media yang di umpamakan pada percakapan Bajak laut dengan
armada pasukan laut pada zaman pertengahan. Saat bajak laut tersebut tertangkap dia
mengajukan keberatan terhadap pasukan laut tersebut dengan mengatakan " Mengapa saya
yang kecil disebut perampok, sementara Anda yang mengambil upeti dalam jumlah besar di
sebut pahlawan " kisah tersebut dapat di telaah bagaimana peristiwa yang sama dapat
mendapatkan makna yang berbeda. Kisah tersebut juga dapat menunjukkan pada kita
bagaimana media massa dapat di jadikan sebagai alat yang ampuh dalam perebutan makna.
Mereka yang berhasil membangun citra akan mendapatkan legitimasi publik yang sesuai
dengan apa yang mereka ingin, atau sebaliknya.

Buku ini memiliki 12 bab yang saling berkaitan satu sama lainya, yaitu :

1) Kuasa media,

2) Awal muncul propaganda,

3) Pemirsa Demokrasi,

4) industri humas,

5) Rekayasa Opini,

6) Representasi sebagai kenyataan,

7) Budaya pemberontak,

8) Parade para musuh,

9) Diskriminasi Presepsi,

10) Perang teluk,

11) Krisis dan harapan,

12) Doktrin dan realitas.

Chomsky membuat buku ini ringan untuk dibaca karna keterangan kasus yang diutarakan
cukup lengkap pengambaranya dan tidak lelah dibaca karena tidak terlalu banyak halaman
dari bab ke bab yang membuat pembaca mudah beristirahat saat membaca. Buku ini memiliki
catatan kaki yang di mana merujuk pada informasi yang di kutip seperti berita-berita yang
terdapat di Koran. Tetapi tidak ada Bibliografi atau daftar pustaka pada halaman akhir buku
ini. Chomsky dalam bukunya mengatakan bahwa dia Teori Marxisme-Leninisme merupakan
asumsi yang dekat dengan pemikirannya. Jadi bisa di katakan dia cukup terpengaruhi dengan
ideologi tersebut.
Chomsky juga banyak mengutip pemikiran Edward Bernays di mana dia menulis tentang
"Propaganda, Manipulasi Opini masyarakat". Chomsky dan Bernays memiliki
kesinambungan dalam memikirkan rekayasa opini masyarakat baik sebagai alat politik
ataupun lainya.

Berikut beberapa BAB yang saya review dalam buku politik kuasa media, diantaranya:

PROPAGANDA

Terkadang menjadi hal aneh bagi kita, tapi secara sadar ataupun tidak, hari-hari kita terlibat
dalam propaganda media. Kenapa itu bisa terjadi? Untuk menjawab kegelisahan tersebut,
Noam Chomsky memulai catatannya dengan memperkenalkan sebuah rangkaian sejarah
operasi propaganda pertama yang dilakukan oleh pemerintah modern, yaitu pemerintah
Wodrow Wilson. Yang telah memenangkan pemilihan presiden tahun 1916 dengan
mengusungkan narasi "Perdamaian Tanpa Penaklukan".

Hal itu terjadi di tengah situasi Perang Dunia I, di mana waktu itu rakyat Amerika sangat
anti-perang dan mereka merasa tidak ada kepentingan untuk terlibat dalam 'Perang Eropa'
yang sedang hiruk-pikuk.

Tanpa sepengetahuan rakyat Amerika, ternyata waktu itu Wilson terlibat dan punya peran
dalam perang tersebut. Dengan cerdiknya, Wilson dan kerabatnya membentuk tim
propaganda resmi pemerintah; Creel Committee. 

Komisi ini berjalan dengan pesat dengan pencapaian yang sangat luar bisa. Kenapa tidak?
Dalam kurun waktu 6 bulan mereka berhasil mengubah paradigma rakyat Amerika yang anti-
perang menjadi histeris dan haus akan perang.

Rakyat Amerika yang semula redup dengan perperangan, kemudian hidup dengan nafsu
untuk memusnahkan semua hal yang berkaitan dengan Jerman. Seolah-olah mereka ingin
terjun langsung dihiruk-pikuknya situasi lalu ingin menyelamatkan dunia sebagai solusi.

Itu semua terjadi dengan propaganda media yang dilakukan oleh Creel Comittee. Mereka
menepuk dada rakyat Amerika dengan berbagai tulisan-tulisan dan sumulacra. Dengan cara
mengimpus rasa ketakutan yang berlebihan dan membangkitkan sikap fanatisme kebangsaan.
Metode yang mereka gunakan sangat beragam, misal dengan menghembuskan desas-desus
kekejaman bangsa Jerman dan anak-anak Belgia tanpa lengan. Cerita-cerita lainya yang
membuat rakyat Amerika terdoktrin, terseret dalam arus dan haus akan peperangan.

Usaha ini sangat berhasil. Membuat Wilson bagaikan seorang pahlawan dalam situasi waktu
itu.

Dari sinilah kita bisa menarik kesimpulan; Propaganda media, jika dikelola oleh pemerintah
dan didukung oleh kelas intelektual, pengaruhnya akan sangat besar. Cara-cara tersebut
dianalisa masih berjalan hingga kini.

KUASA MEDIA

Peran media dalam iklim demokrasi sangat berkembang pesat. Dan memang demokrasi
semakin subur dengan adanya peran-peran media, karena kebebasan individu dalam
berpendapat atau bersuara perlu adanya wadah ataupun alat.

Namun, perlu kita sadari bersama bahwa, peran media juga tidak terlepas dari tangan-tangan
kekuasaan dan sarat dengan berbagai kepentingan.

Jadi, apa yang tertulis di media, jangan dianggap kebenaran final tanpa perlu sudut pandang
yang lain, sehingga seolah-olah nilai-nilai yang telah didapatkan di media tidak bisa diganggu-
gugat. 

Padahal, jika kita ingin meneliti lebih jauh, media-media yang sering memaparkan informasi
adalah salah satu pertunjukan sudut pandang, dan tentunya ada sudut pandang lain yang
demikian terlewatkan. Tak pelak, fakta yang muncul di media massa tidak sepenuhnya sama
dengan fenomena yang sebenarnya.

Di sini mejadi catatan kita bersama, bahwa fakta di media massa hanyalah hasil rekonstruksi
dan olahan para awak media di meja-meja redaksi. Walau sekalipun mereka telah bekerja
dengan menerapkan teknik-teknik jurnalistik.

Namun, tetap saja, kita tidak bisa mengatakan apa yang mereka tulis adalah fakta yang
sebenarnya. Saya selalu percaya, bahwa demokrasi menyuburkan kebebasan manusia dalam
mengemukakan sudut pandang. Hal ini ditegaskan oleh Chomsky dengan dua konsepsinya.
Pertama, menerangkan bahwa masyarakat yang demokratis mempunyai alat yang cukup
berpengaruh untuk berpartisipasi dalam mengatur urusan-urusan mereka sendiri. Di samping
itu alat-alat informasi mereka bersifat terbuka dan bebas.

Tapi, jangan lupa dengan konsepsi kedua, bahwa publik harus dihalangi dalam usahanya
untuk mengatur urusan mereka, dan alat-alat informasi harus senantiasa direkayasa dan
dikontrol secara ketat. Memang dalam konsepsi kedua ini terdengar agak aneh secara teori.
Namun, sangat sejalan sekarang dengan apa yang telah terjadi sekarang ini, terkait kontrol
kekuasaan terhadap media sosial.

Akan tetapi, pasti ada saja kekurangan dalam setiap sudut pandang, rekonstruksi peristiwa
dan fakta ke dalam fakta media. Jadi, ketika kita tidak mudah untuk menaruh kepercayaan
terhadap sesuatu yang dianggap fakta di dalam media, tentu ini sebagai langkah baik agar kita
tidak terlalu memfinalkan kebenara,  dan tentunya tidak mudah dikontrol oleh siapa pun,
termasuk oleh kekuasaanyang kiranya punya kepentingan politik berlebih.

Terkait kontrol kekuasaan terhadap media dalam konsepsi kedua ini, menurut Chomsky
sendiri sudah sejak lama berlaku. Pandangan ini dapat kita lacak dari periode awal revolusi
demokrasi modern yang diusung pada abad ke-17 di Inggris.

PEMIRSA DEMOKRASI

Walter Lippman, ia adalah pemuka wartawan Amerika, seorang yang kritis terhadap
kebijakan dalam dan luar negeri. Dia mengungkapkan bahwa yang disebut revolusi reni
berdemokrasi dapat digunakan untuk membuat 'Persetujuan Buatan'.

Persetujuan buatan di sini maksudnya adalah mengadakan persetujuan yang sebenarnya tidak
diinginkan oleh pihak publik, lalu menjadi 'ingin' dengan bantuan teknik propaganda dengan
dalih 'kepentingan bersama'. Yang itu semua dapat mengecoh pikiran publik. 

Lippman mengatakan bahwa hal itu hanya dapat dipahami dan dikelola oleh sebuah 'kelas
para ahli' sebagai penggerak, berasal dari 'para penguasa' yang cukup cerdas untuk menalar
dan menakar. Di balik persetujuan buatan semacam ada logika, bahwa publik terlalu bodoh
untuk memahami sesuatu. 
Logikanya serupa dengan anak umur tiga tahun yang tidak boleh dibiarkan menyebrang jalan
sendirian. Kebebasan menyebarang jalan tidak boleh diberikan kepada anak umur tiga tahun,
karena anak seusia itu tidak tahu bagaimana cara menggunakannya.

Dengan logika serupa, maka Anda tidak boleh membiarkan kawanan (rakyat biasa) menjadi
aktor. Mereka hanya akan mendatangkan masalah. Oleh karena itu butuh sesuatu untuk
menjinakkannya dan sesuatu itu adalah "Rekayasa Persetujuan".

Maka, kelas para ahli yang disebutkan akan menawarkan, "Saya dapat melayani kepentingan
Anda".  Statement semacam itu yang membuat kelas ini menjadi bagian dari eksekutif,
karena berhasil merekayasa persetujuan buatan.

Padahal rakyat biasa ini atau istilah Noam Chomsky 'kawanan pandir' ini tidak mendapatkan
perlakuan istimewa. Persetujuan buatan itu hanya untuk mengalihkan perhatian mereka saja.
Kawanan pandir ini hanya penonton. Pelampiasan dari keputusan atau kebijakan. Hal ini
dijelaskan dalam ilmu politik kontemporer tahun 1920-an hingga akhir tahun 1930-an.

Penamparan Noam Chomsky menunjukkan pada kita semua, bahwa media massa juga dapat
dijadikan sebagai alat yang ampuh dan manjur dalam perebutan makna. Siapa yang berhasil
membangun citra, akan mendapatkan legitimasi publik, seperti yang 'mereka' inginkan.

Kita sedang menyaksikan pertempuran berbagai kepentingan di media massa. Objektivitas


yang didengungkan pegiat media massa pada kenyataannya tidak terlepas dari kepentingan,
yang terkadang bertujuan untuk membuat 'persetujuan buatan'.

Oleh karena itu, Noam Chomsky mengingatkan pada kita semua, bahwa informasi di media
hanyalah sebuah rekonstruksi tertulis atas realitas yang ada di masyarakat. Namanya
rekonstruksi tentunya sangat tergantung pada orang di balik media dalam melakukan kerja-
kerjanya.

Anda mungkin juga menyukai