Anda di halaman 1dari 7

Nama : Mufid Hanif

NIM : 14040120130163
Kelas : Teknologi Informasi dan Komunikasi 10

Informasi dan Demokrasi


Era informasi. Sebuah periode dimana masyarakat luas dapat mengakses informasi
dengan begitu mudahnya sampai muncul istilah banjir informasi. Namun, tidak semua orang
setuju dengan pernyataan tersebut. Ada sebagian kelompok yang masih skeptis dengan
masyarakat berbasis informasi. Mereka berpandangan bahwa meskipun ada banyak informasi
yang beredar, banyak dari informasi tersebut dianggap tidak dapat dipercaya karena telah
dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu. Pihak ini bisa saja mengelola atau mengemas informasi
agar orang-orang terpengaruh dan mendukung pandangan atau posisi tertentu.
Mereka melihat 'masyarakat informasi' sebagai tempat di mana berbagai upaya seperti
kampanye iklan, strategi disinformasi dari pihak militer, ahli hubungan masyarakat, lobbi
parlemen, penyajian bijaksana kebijakan pemerintah, dan bocoran resmi dari sumber yang
dianggap dapat diandalkan, semuanya berperan penting dalam menciptakan dan menyebarkan
informasi. Presiden ke-4 Amerika Serikat, James Madison, mengungkapkan bahwa
pemerintaan oleh rakyat akan sulit jika informasi luas tidak tersedia. Menurutnya, pengetahuan
adalah kekuatan, dan rakyat ingin menjadi pemimpin diri mereka sendiri perlu bersenjata
dengan pengetahuan.
Jumlah informasi yang tersedia secara luas nyatanya masih memberi keraguan apakah
demokrasi bisa diterapkan lebih baik atau tidak. Perkembangan internet, televisi, dan media
lain sepertinya justru dapat menyebabkan penurunan keterlibatan masyarakat dalam kehidupan
demokratis. Alih-alih terlibat proses demokratis, orang-orang lebih menikmati adanya internet
untuk diri mereka sendiri yang penuh dengan informasi berupa hiburan.
Padahal, sumber daya informasi yang dapat diandalkan sangat penting dalam
masyarakat demokratis. Tanpa akses yang baik ke data yang kuat tentang berbagai aspek
kehidupan, sulit bagi warga untuk membuat keputusan yang baik terkait dengan kebijakan
ekonomi, identitas nasional, perawatan lansia, atau hubungan keluarga.
Namun, ada keraguan terhadap informasi yang disampaikan kepada masyarakat umum.
Beberapa berpendapat bahwa meskipun kita memiliki lebih banyak informasi, sebagian besar
mungkin diciptakan untuk mengalihkan perhatian, menghibur, menyembunyikan, atau bahkan
menipu. Beberapa dari informasi tersebut dianggap sebagai disinformasi karena diduga dibuat
atau dimanipulasi oleh kepentingan tertentu, terutama kekuatan politik dan elemen yang
ekonominya diuntungkan.
Perspektif ini menolak ide bahwa kita sekarang berada dalam "masyarakat informasi"
yang benar-benar baru, meskipun mengakui bahwa informasi memiliki peran yang sangat
penting saat ini. Salah satu teori yang digunakan dalam teks untuk mengeksplorasi pandangan
kritis ini berasal dari Jürgen Habermas, seorang teoris sosial Jerman. Habermas mengajukan
pertanyaan apakah lebih banyak informasi berarti lebih baik atau bahkan lebih buruk, dan
menggarisbawahi bahwa pertanyaan-pertanyaan tentang informasi berada di inti dari
bagaimana kita sebagai masyarakat dapat hidup bersama.
Public Sphere (Ruang Publik)
Konsep ruang publik pertama kali dikembangan oleh Jurgen Habermas, seorang teoris
sosial Jerman. Menurutnya, ruang publik muncul terutama di Inggris abad ke-18 dan ke-19
sebagai hasil dari penyebaran kapitalisme. Ruang publik diartikan sebagai arena independen
dari pemerintah dan kekuatan ekonomi partai, yang ditujukan untuk perdebatan rasional yang
tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi atau manipulasi. Di dalamnya, terbentuklah opini
publik, dan informasi memainkan peran kunci.
Habermas melihat bahwa ruang publik harus menjadi tempat di mana aktor-aktor
menyampaikan posisi mereka secara eksplisit dan di mana pandangan mereka tersedia untuk
masyarakat luas. Contoh yang dia berikan adalah perdebatan di parlemen dan publikasi catatan
verbatim prosesnya. Hal ini dianggap sebagai inti dari ruang publik, wadah di mana masyarakat
dapat mengakses informasi yang andal, menyusun pandangan mereka, dan secara rasional
memutuskan tindakan yang paling sesuai.
Pentingnya ruang publik juga dikaitkan dengan demokrasi dan Pencerahan. Bagi
demokrat, ruang publik adalah model peran informasi dalam masyarakat demokratis, di mana
informasi yang dapat diandalkan tersedia untuk semua tanpa syarat. Ideal Pencerahan tentang
keunggulan perdebatan yang rasional juga ditekankan, di mana masyarakat dapat dengan
tenang mempertimbangkan fakta dan membuat keputusan yang bijaksana.
Habermas menguraikan sejarah ruang publik, menyoroti bahwa ruang publik borjuis
muncul karena pertumbuhan kapitalisme di Inggris abad ke-18. Pengusaha kapitalis yang
semakin makmur menjadi mandiri dari gereja dan negara, dan dukungan mereka terhadap dunia
"sastra" mengurangi ketergantungan pada patron. Perjuangan untuk reformasi parlemen dan
kebebasan pers juga menjadi bagian dari pertumbuhan kapitalisme dan tuntutan untuk
perubahan terhadap negara.
Dalam membaca pandangan Jürgen Habermas tentang sejarah ruang publik, sulit untuk
menghindari kesimpulan bahwa masa depannya sangat tidak pasti. Meskipun pada masa
kejayaannya, 'ruang publik borjuis' dianggap tidak cukup efektif dalam mencapai ideal
komunikasi 'tanpa distorsi' yang diinginkan oleh filsuf Jerman tersebut. Habermas melihat
perkembangan terkini lebih pesimis, sejalan dengan pandangan para teoris sekolah Frankfurt
yang paling pesimis. Pandangan Theodor Adorno, mantan guru Habermas, terasa sangat kental:
kapitalisme berhasil, otonomi individu merosot secara radikal, kemampuan berpikir kritis
minimal, dan tidak ada ruang nyata bagi ruang publik di era konglomerat media transnasional
dan budaya iklan yang merajalela.
Dalam konteks informasi, Habermas menyatakan keprihatinan terhadap fokus
perusahaan komunikasi pada pasar, yang mengakibatkan kontennya lebih berorientasi pada
hiburan rendah seperti petualangan aksi, trivia, sensasionalisme, personalisasi urusan, dan
perayaan gaya hidup kontemporer. Meskipun menarik dan laku terjual, kualitas informatifnya
dianggap sepele, hanya melayani 'kewajiban lembut dari pelatihan konsumsi yang konstan'.
Artinya, konten media atau informasi yang disajikan mungkin memiliki tujuan tidak hanya
untuk memberikan informasi, tetapi juga untuk secara halus membentuk preferensi dan
perilaku konsumsi tanpa kesadaran penuh dari individu yang menerimanya. Ini mencerminkan
keprihatinan Habermas tentang peran manipulatif dalam menyajikan informasi di ruang publik.
Habermas merasa pesimis terhadap masa depan ruang publik. Meskipun hak pilih
universal membawa partisipasi politik setiap individu, dominasi opini di atas argumen rasional
menjadi sorotannya. Keberadaan 'propaganda modern' menciptakan tantangan baru,
memungkinkan pengelolaan opini di 'ruang publik buatan' yang mengaburkan kemampuan
melihat kebenaran di tengah informasi yang terdistorsi. Ini mencerminkan sisi gelap
Pencerahan, di mana hak pilih semua orang dapat diiringi oleh ketidakmampuan untuk menilai
kritis, dan informasi dapat digunakan untuk manipulasi.

The public sphere and informational change


Jurgen Habermas telah memberi kontribusi yang signifikan mengenai teori ruang
publik dan perubahan informasi. Namun, ia juga tak luput dari yang namanya kritik, termasuk
kritik terhadap historiografi dan ketidaktahuan terhadap isu seperti eksklusi historis perempuan
dari ruang publik. Meski demikian, gagasan ruang publik tetap memberikan visi yang kuat
tentang peran informasi dalam demokrasi. Dengan asumsi bahwa opini publik terbentuk
melalui debat terbuka, kualitas, ketersediaan, dan komunikasi informasi sangat mempengaruhi
efektivitasnya. Beberapa komentator, seperti Nicholas Garnham, menggunakan konsep ruang
publik untuk memahami perubahan dalam ranah informasi.
Terdapat tiga aspek yang dikaitkan dengan konsep ruang publik. Pertama, peran
lembaga pelayanan publik seperti BBC dan perpustakaan yang, menurut penulis, mengalami
depresiasi fungsi informasional akibat upaya mengkomersialkannya. Kedua, kekhawatiran
umum terhadap efek negatif komodifikasi informasi, dengan antisipasi penurunan kualitas
diskusi politik dan partisipasi akibat perlakuan informasi sebagai komoditas. Ketiga, konteks
komunikasi kontemporer yang diwarnai oleh peningkatan informasi yang tidak dapat
diandalkan dan terdistorsi, terutama melalui sistem komunikasi baru yang lebih menekankan
prinsip-prinsip komersial.

Public Service Institutions


Radio and Television
Institusi layanan publik seperti radio dan televisi, memegang peranan sentral sebagai
penyiaran layanan publik. Di Inggris, ada BBC yang memegang kendali tersebut. Sebagai
lembaga informasional, BBC berkomitmen untuk menyediakan layanan berkualitas tinggi,
terpisah dari tekanan politik dan bisnis, dan tersedia untuk semua lapisan masyarakat. BBC,
yang didirikan pada awal abad ke-20, memiliki sejarah yang kuat dan diakui sebagai lembaga
yang memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan kesadaran publik melalui berita,
program dokumenter, dan hiburan.
Konsep ini, meskipun ideal, mencerminkan gambaran ruang publik yang diusung oleh
Jürgen Habermas. BBC, sebagai lembaga parlemen, telah memainkan peran penting dalam
membentuk opini politik dengan menjaga keseimbangan antara berita dan program hiburan,
dan memperkenalkan keberagaman dalam pemikiran publik. Meskipun ada tekanan untuk
komersialisasi, BBC tetap berkomitmen untuk menjaga kualitas informasi dan menawarkan
pandangan yang serius terhadap politik.
Dalam perkembangan media yang terus berubah, pertanyaan muncul tentang apakah
kualitas informasi yang disajikan oleh penyiaran terus menurun. Meskipun pendukung pasar
berpendapat bahwa "narrowcasting" dapat memberikan informasi yang lebih akurat dan
terarah, pengaruh pemikir yang dipengaruhi oleh Habermas menyatakan bahwa lonjakan
jumlah informasi tidak selalu berarti peningkatan kualitas. Dalam konteks ini, BBC, dengan
sejarah dan posisinya yang kuat, mungkin menghadapi tekanan untuk berubah sesuai dengan
tren pasar, tetapi keberlanjutan komitmennya terhadap layanan publik dan kualitas informasi
masih menjadi sorotan.

Public Libraries
Perpustakaan umum di Britania Raya, dengan hampir 5.000 cabangnya, dianggap
sebagai wujud nyata dari ruang publik. Mereka menyediakan akses gratis ke informasi bagi
semua orang, didanai oleh pajak publik, dan dioperasikan secara independen dari kepentingan
politik. Pustakawan profesional memberikan bantuan tanpa prasangka kepada pengguna,
menciptakan suasana yang mengedepankan komunikasi yang jernih.
Meskipun perpustakaan umum populer dan sering digunakan, mereka menghadapi
tantangan serius. Pemangkasan dana, tekanan komersialisasi, dan desakan untuk beralih ke
teknologi baru memicu perdebatan tentang relevansi dan prinsip dasar perpustakaan. Meski
kritik mengenai pengeluaran yang tinggi untuk gaji staf dan penurunan peminjaman buku
menjadi sorotan, perpustakaan tetap dianggap sebagai bagian integral dari ruang publik dan
infrastruktur informasi nasional.
Kritik dari berbagai pihak, termasuk penekanan terhadap keberlanjutan teknologi dan
serangan terhadap prinsip bahwa informasi harus gratis, memunculkan pertanyaan kritis
tentang masa depan perpustakaan umum. Dalam menghadapi dinamika baru dan perubahan
paradigma, perpustakaan harus menemukan keseimbangan antara tradisi dan inovasi untuk
mempertahankan peran mereka sebagai pilar ruang publik dan penyedia layanan informasi
yang inklusif.
Museums and art galleries
Dalam tinjauannya mengenai perubahan di museum dan galeri seni, Robert Hewison
(1987) menyimpulkan bahwa pada abad kesembilan belas, museum dianggap sebagai sumber
pendidikan dan perbaikan sehingga memberikan layanan gratis. Namun, saat ini, mereka
diperlakukan sebagai lembaga keuangan yang harus mandiri, sehingga menetapkan biaya
masuk. Menurut Hewison, seni tidak lagi dihargai sebagai sumber inspirasi, ide, gambar, atau
nilai, melainkan dianggap sebagai bagian dari 'bisnis rekreasi', yang mengubah peran kita dari
pecinta seni menjadi pelanggan produk.
Ulasan ini mencerminkan tema-tema yang telah dibahas sebelumnya mengenai
penurunan ruang publik, terutama dalam penyiaran dan perpustakaan. Meskipun sulit untuk
menyatakan bahwa museum dan galeri seni pernah sepenuhnya menjadi ruang publik, mereka
dapat dianggap sebagai pendekatan terhadap ideal tersebut. Perubahan terkini, yang menantang
dasar-dasar ruang publik, memiliki dampak penting pada jenis informasi yang tersedia dan
aksesnya di museum dan galeri seni nasional.
Museum dan galeri seni, terutama yang sudah mapan, memiliki beberapa karakteristik
ruang publik. Pertama, prinsip akses gratis sejak awal telah menjadi bagian integral dari operasi
mereka. Meskipun prinsip ini dapat diperdebatkan, terutama terkait dengan apa yang dianggap
sebagai 'budaya' dan 'pendidikan', prinsip ini menekankan pengumpulan dan pameran
pengetahuan agar dapat memberikan manfaat pencerahan kepada semua orang tanpa
memandang pendapatan. Kedua, pendanaan mereka sekarang berasal secara besar-besaran dari
kas umum, memastikan kemandirian koleksi mereka dari kepentingan ekonomi dan politik
partisan. Ketiga, etos pelayanan publik melimpah di museum dan galeri seni, dengan kurator
dan staf lainnya memiliki komitmen profesional untuk menyediakan dan melindungi koleksi-
koleksi tersebut demi kepentingan masyarakat umum.
Tantangan muncul ketika beberapa institusi memutuskan untuk mengenakan biaya
masuk, yang mengakibatkan penurunan jumlah pengunjung, terutama dari kalangan
masyarakat yang kurang mampu. Meskipun ada perubahan positif dengan penghapusan biaya
masuk pada tahun 2001, masih ada pertanyaan mengenai arah masa depan museum dan galeri
seni sebagai ruang publik dan penyedia informasi budaya yang penting, terutama dengan
adanya tendensi penyajian 'hiburan' yang mungkin merendahkan nilai seni dan budaya.

Government Information Services


Pandangan umum yang salah bahwa pengetahuan tentang hubungan sosial dan ekonomi
sebagian besar berasal dari peneliti akademis di departemen universitas, ternyata tidak akurat.
Robert Bulmer (1980) mengungkapkan bahwa sebagian besar informasi kita tentang
masyarakat, termasuk keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan waktu luang, sebenarnya berasal
dari layanan informasi pemerintah. Meskipun seringkali sampai kepada kita melalui sumber
sekunder seperti media massa, informasi ini tetap bermula dari lembaga pemerintah.
Pemerintah dianggap sebagai satu-satunya lembaga yang mampu secara sistematis
mengumpulkan dan memproses informasi tentang berbagai aspek kehidupan, mulai dari pola
perceraian hingga tren kriminologis. Dengan tugas yang besar dan membutuhkan dana yang
cukup besar, pemerintah menjadi lembaga yang memiliki legitimasi konstitusional untuk
melaksanakan tugas ini. Sebagai contoh, sensus yang dilakukan setiap sepuluh tahun
memberikan informasi terperinci dan intim tentang masyarakat.
Pentingnya pemerintah sebagai sumber informasi menjadi sangat jelas ketika kita
mempertimbangkan informasi yang sensitif, seperti pola imigrasi atau distribusi pendapatan
dan kekayaan. Pembahasan tentang masyarakat dan politik, bahkan dalam konteks pendidikan
dan pekerjaan, tidak dapat bermakna tanpa kehadiran dasar pengetahuan yang dapat
diandalkan. Oleh karena itu, kepercayaan pada informasi yang diberikan oleh pemerintah
menjadi krusial untuk efektivitas kebijakan dan partisipasi warga dalam kehidupan masyarakat.
Pentingnya integritas statistik diakui sepanjang abad kesembilan belas dan dua puluh.
Terdapat pandangan bahwa informasi yang akurat dan dikumpulkan secara sistematis harus
diproduksi oleh pemerintah sebagai langkah awal dalam perdebatan politik. Etika pelayanan
publik di kalangan statistisi pemerintah menjadi esensial, dengan penekanan pada
pengumpulan dan analisis informasi dengan jujur dan tanpa kepentingan politik. Statistisi
diharapkan untuk tetap netral secara politik dan memegang teguh nilai-nilai profesional seperti
ketepatan, objektivitas, dan penolakan terhadap distorsi atau penekanan terhadap bukti.
Namun, ada risiko ketidakpercayaan publik terhadap statistik resmi karena pengaruh
media massa populer yang cenderung menciptakan ketidakpercayaan terhadap informasi
pemerintah. Kepercayaan pada lembaga statistik pemerintah menjadi krusial untuk menjaga
kualitas ruang publik dan perdebatan publik. Oleh karena itu, independensi lembaga statistik
pemerintah dari intervensi politik sangat penting untuk mendukung demokrasi.

Information Management
Ulasan sebelumnya membahas dampak manajemen informasi dalam politik dan
konflik, menyoroti munculnya praktik 'pemaketan' informasi dan figur seperti 'spin doctor'
dalam urusan politik. Pertumbuhan sarana 'meyakinkan' orang dan ekspansi dalam dunia
'hiburan' juga dibahas, termasuk kelimpahan informasi yang disebut sebagai 'sampah informasi'
oleh Herbert Schiller. Dengan demikian, inti argumen adalah bahwa jumlah besar informasi
modern seringkali memiliki nilai yang meragukan.
Penting untuk memahami lebih lanjut bahwa pada abad ke-20, terutama pasca-perang,
muncul praktik manajemen informasi sebagai bagian integral dari masyarakat kapitalis liberal.
Manajemen informasi menjadi fundamental untuk koherensi administratif pemerintahan
modern, dengan ketergantungan pada komunikasi dan informasi yang menjadi kunci bagi
pemerintah dalam upaya mereka untuk memanipulasi opini publik dan menjaga kontrol sosial.
Pertumbuhan 'propaganda', yang kemudian melunak menjadi 'opini publik' dan
kemudian 'persuasi', diakui sebagai kebutuhan demi koordinasi populasi yang beragam dan
diberi hak pilih. Pionir hubungan masyarakat modern, seperti Edward Bernays,
menggarisbawahi pentingnya 'rekayasa persetujuan'. Namun, pandangan ini mengundang
kritik dari Jürgen Habermas, yang melihatnya sebagai isyarat penurunan ruang publik,
menunjukkan pergeseran dari masyarakat yang terinformasi dan bernalar ke penerimaan pesan
serta manipulasi opini publik oleh ahli hubungan masyarakat.
Manajemen informasi tidak hanya relevan dalam ranah politik. Selama konflik seperti
kampanye Afghanistan 2001 dan invasi Irak 2003, manajemen media menjadi fokus militer
dan direktur politik. Namun, kendati persiapan rencana militer, keberhasilan manajemen
informasi seringkali sulit dicapai karena banyaknya sumber berita alternatif, luasnya laporan,
dan perkembangan teknologi komunikasi ringan serta ketersediaan Internet.
Secara keseluruhan, peran manajemen informasi, baik dalam politik maupun konflik,
mengundang refleksi kritis terkait integritas informasi dan dampaknya pada ruang publik.
Kendati penting untuk keberhasilan operasi, peran ini dapat merusak diskusi dan perdebatan
publik dengan menyajikan pesan yang terdistorsi dan membatasi akses ke informasi yang
benar.
Begitu banyak informasi dan pemikiran menarik yang terungkap dalam ulasan ini, yang
menyajikan pandangan kritis terhadap manajemen informasi dalam konteks politik dan konflik.
Penulis dengan cermat menyoroti peran "spin doctor," "konsultan media," dan praktik terkait
dalam memengaruhi opini publik. Ditambah lagi, dampak besar dari ekspansi hiburan dan
"sampah informasi" menambah kompleksitas isu ini.
Perlu dicatat, manajemen informasi bukan hanya perihal politik; dampaknya terasa
dalam banyak aspek masyarakat. Keberhasilan kampanye militer, seperti yang terlihat dalam
kampanye Afghanistan dan invasi Irak, dipengaruhi oleh manajemen informasi yang cermat.
Namun, tantangan muncul dengan meluasnya sumber berita alternatif dan perkembangan
teknologi, mengakibatkan kesulitan untuk mengontrol pesan yang disampaikan.
Sebagai kesimpulan, peran kritis manajemen informasi dalam membentuk opini publik
dan konsekuensinya terhadap ruang publik perlu diperhatikan dengan cermat. Meskipun
penting dalam menyajikan pesan yang diinginkan, harus ada kehati-hatian agar informasi yang
disampaikan tetap integritasnya dan tidak merusak kualitas diskusi dan debat publik.

Objections
Dalam bagian ini, terdapat tanggapan keberatan dari penulis terhadap gagasan
penurunan ruang publik akibat manajemen informasi. Meskipun ada tekanan pada lembaga
layanan publik, ruang publik saat ini lebih mudah diakses dan menantang pandangan pesimis
dengan mendukung ide ruang publik sebagai bagian dari penolakan terhadap kondisi saat ini
dalam masyarakat informasi.

Pendapat saya pribadi terhadap Chapter Information and Democracy


Analisis yang mendalam terhadap isu-isu kompleks seperti perubahan dalam ruang
publik, manajemen informasi, dan peran pemerintah, membuat saya mendapatkan tambahin
wawasan yang lebih luas lagi akan isu tersebut. Saya setuju dengan gagasan bahwa
mempertahankan gagasan ruang publik sebagai utopia adalah langkah yang baik, namun hal
ini juga masih perlu dikritisi lagi. Dalam era informasi seperti saat ini, demokrasi memang
masih menjadi alat yang terbaik untuk menciptakan masyarakat informasi yang baik meski
belum sepenuhnya ideal.

Daftar Pustaka
Webster, F. (2006). Theories of The Information Society (Third Edition). Oxon: Routledge,
161-201

Anda mungkin juga menyukai