NIM : 14040120130163
Kelas : Teknologi Informasi dan Komunikasi 10
Public Libraries
Perpustakaan umum di Britania Raya, dengan hampir 5.000 cabangnya, dianggap
sebagai wujud nyata dari ruang publik. Mereka menyediakan akses gratis ke informasi bagi
semua orang, didanai oleh pajak publik, dan dioperasikan secara independen dari kepentingan
politik. Pustakawan profesional memberikan bantuan tanpa prasangka kepada pengguna,
menciptakan suasana yang mengedepankan komunikasi yang jernih.
Meskipun perpustakaan umum populer dan sering digunakan, mereka menghadapi
tantangan serius. Pemangkasan dana, tekanan komersialisasi, dan desakan untuk beralih ke
teknologi baru memicu perdebatan tentang relevansi dan prinsip dasar perpustakaan. Meski
kritik mengenai pengeluaran yang tinggi untuk gaji staf dan penurunan peminjaman buku
menjadi sorotan, perpustakaan tetap dianggap sebagai bagian integral dari ruang publik dan
infrastruktur informasi nasional.
Kritik dari berbagai pihak, termasuk penekanan terhadap keberlanjutan teknologi dan
serangan terhadap prinsip bahwa informasi harus gratis, memunculkan pertanyaan kritis
tentang masa depan perpustakaan umum. Dalam menghadapi dinamika baru dan perubahan
paradigma, perpustakaan harus menemukan keseimbangan antara tradisi dan inovasi untuk
mempertahankan peran mereka sebagai pilar ruang publik dan penyedia layanan informasi
yang inklusif.
Museums and art galleries
Dalam tinjauannya mengenai perubahan di museum dan galeri seni, Robert Hewison
(1987) menyimpulkan bahwa pada abad kesembilan belas, museum dianggap sebagai sumber
pendidikan dan perbaikan sehingga memberikan layanan gratis. Namun, saat ini, mereka
diperlakukan sebagai lembaga keuangan yang harus mandiri, sehingga menetapkan biaya
masuk. Menurut Hewison, seni tidak lagi dihargai sebagai sumber inspirasi, ide, gambar, atau
nilai, melainkan dianggap sebagai bagian dari 'bisnis rekreasi', yang mengubah peran kita dari
pecinta seni menjadi pelanggan produk.
Ulasan ini mencerminkan tema-tema yang telah dibahas sebelumnya mengenai
penurunan ruang publik, terutama dalam penyiaran dan perpustakaan. Meskipun sulit untuk
menyatakan bahwa museum dan galeri seni pernah sepenuhnya menjadi ruang publik, mereka
dapat dianggap sebagai pendekatan terhadap ideal tersebut. Perubahan terkini, yang menantang
dasar-dasar ruang publik, memiliki dampak penting pada jenis informasi yang tersedia dan
aksesnya di museum dan galeri seni nasional.
Museum dan galeri seni, terutama yang sudah mapan, memiliki beberapa karakteristik
ruang publik. Pertama, prinsip akses gratis sejak awal telah menjadi bagian integral dari operasi
mereka. Meskipun prinsip ini dapat diperdebatkan, terutama terkait dengan apa yang dianggap
sebagai 'budaya' dan 'pendidikan', prinsip ini menekankan pengumpulan dan pameran
pengetahuan agar dapat memberikan manfaat pencerahan kepada semua orang tanpa
memandang pendapatan. Kedua, pendanaan mereka sekarang berasal secara besar-besaran dari
kas umum, memastikan kemandirian koleksi mereka dari kepentingan ekonomi dan politik
partisan. Ketiga, etos pelayanan publik melimpah di museum dan galeri seni, dengan kurator
dan staf lainnya memiliki komitmen profesional untuk menyediakan dan melindungi koleksi-
koleksi tersebut demi kepentingan masyarakat umum.
Tantangan muncul ketika beberapa institusi memutuskan untuk mengenakan biaya
masuk, yang mengakibatkan penurunan jumlah pengunjung, terutama dari kalangan
masyarakat yang kurang mampu. Meskipun ada perubahan positif dengan penghapusan biaya
masuk pada tahun 2001, masih ada pertanyaan mengenai arah masa depan museum dan galeri
seni sebagai ruang publik dan penyedia informasi budaya yang penting, terutama dengan
adanya tendensi penyajian 'hiburan' yang mungkin merendahkan nilai seni dan budaya.
Information Management
Ulasan sebelumnya membahas dampak manajemen informasi dalam politik dan
konflik, menyoroti munculnya praktik 'pemaketan' informasi dan figur seperti 'spin doctor'
dalam urusan politik. Pertumbuhan sarana 'meyakinkan' orang dan ekspansi dalam dunia
'hiburan' juga dibahas, termasuk kelimpahan informasi yang disebut sebagai 'sampah informasi'
oleh Herbert Schiller. Dengan demikian, inti argumen adalah bahwa jumlah besar informasi
modern seringkali memiliki nilai yang meragukan.
Penting untuk memahami lebih lanjut bahwa pada abad ke-20, terutama pasca-perang,
muncul praktik manajemen informasi sebagai bagian integral dari masyarakat kapitalis liberal.
Manajemen informasi menjadi fundamental untuk koherensi administratif pemerintahan
modern, dengan ketergantungan pada komunikasi dan informasi yang menjadi kunci bagi
pemerintah dalam upaya mereka untuk memanipulasi opini publik dan menjaga kontrol sosial.
Pertumbuhan 'propaganda', yang kemudian melunak menjadi 'opini publik' dan
kemudian 'persuasi', diakui sebagai kebutuhan demi koordinasi populasi yang beragam dan
diberi hak pilih. Pionir hubungan masyarakat modern, seperti Edward Bernays,
menggarisbawahi pentingnya 'rekayasa persetujuan'. Namun, pandangan ini mengundang
kritik dari Jürgen Habermas, yang melihatnya sebagai isyarat penurunan ruang publik,
menunjukkan pergeseran dari masyarakat yang terinformasi dan bernalar ke penerimaan pesan
serta manipulasi opini publik oleh ahli hubungan masyarakat.
Manajemen informasi tidak hanya relevan dalam ranah politik. Selama konflik seperti
kampanye Afghanistan 2001 dan invasi Irak 2003, manajemen media menjadi fokus militer
dan direktur politik. Namun, kendati persiapan rencana militer, keberhasilan manajemen
informasi seringkali sulit dicapai karena banyaknya sumber berita alternatif, luasnya laporan,
dan perkembangan teknologi komunikasi ringan serta ketersediaan Internet.
Secara keseluruhan, peran manajemen informasi, baik dalam politik maupun konflik,
mengundang refleksi kritis terkait integritas informasi dan dampaknya pada ruang publik.
Kendati penting untuk keberhasilan operasi, peran ini dapat merusak diskusi dan perdebatan
publik dengan menyajikan pesan yang terdistorsi dan membatasi akses ke informasi yang
benar.
Begitu banyak informasi dan pemikiran menarik yang terungkap dalam ulasan ini, yang
menyajikan pandangan kritis terhadap manajemen informasi dalam konteks politik dan konflik.
Penulis dengan cermat menyoroti peran "spin doctor," "konsultan media," dan praktik terkait
dalam memengaruhi opini publik. Ditambah lagi, dampak besar dari ekspansi hiburan dan
"sampah informasi" menambah kompleksitas isu ini.
Perlu dicatat, manajemen informasi bukan hanya perihal politik; dampaknya terasa
dalam banyak aspek masyarakat. Keberhasilan kampanye militer, seperti yang terlihat dalam
kampanye Afghanistan dan invasi Irak, dipengaruhi oleh manajemen informasi yang cermat.
Namun, tantangan muncul dengan meluasnya sumber berita alternatif dan perkembangan
teknologi, mengakibatkan kesulitan untuk mengontrol pesan yang disampaikan.
Sebagai kesimpulan, peran kritis manajemen informasi dalam membentuk opini publik
dan konsekuensinya terhadap ruang publik perlu diperhatikan dengan cermat. Meskipun
penting dalam menyajikan pesan yang diinginkan, harus ada kehati-hatian agar informasi yang
disampaikan tetap integritasnya dan tidak merusak kualitas diskusi dan debat publik.
Objections
Dalam bagian ini, terdapat tanggapan keberatan dari penulis terhadap gagasan
penurunan ruang publik akibat manajemen informasi. Meskipun ada tekanan pada lembaga
layanan publik, ruang publik saat ini lebih mudah diakses dan menantang pandangan pesimis
dengan mendukung ide ruang publik sebagai bagian dari penolakan terhadap kondisi saat ini
dalam masyarakat informasi.
Daftar Pustaka
Webster, F. (2006). Theories of The Information Society (Third Edition). Oxon: Routledge,
161-201