Anda di halaman 1dari 3

Nama : Salsabila

NIM : 1908108010040

POST TRUTH
Frasa post-truth ini awalnya dikenal di ranah politik saat kontes politik memperebutkan kursi
parlemen dan/atau tujuan politik lain sehingga istilah ini disebut post-truth politics. Istilah post-
truth pertama kali diperkenalkan Steve Tesich, dramawan keturunan Amerika-Serbia. Tesich
melalui esainya pada harian The Nation (1992) menunjukkan kerisauannya yang mendalam
terhadap fenomena post-truth,  dengan maraknya  upaya  memainkan opini publik dengan
mengesampingkan dan bahkan mendegradasi fakta dan data informasi yang objektif. Secara
sederhana, post-truth dapat diartikan bahwa masyarakat lebih mencari pembenaran dari pada
kebenaran.

Dalam perkembangannya istilah post-truth menjadi semakin populer akhir-akhir ini,  ketika para
penyunting Kamus Oxford menjadikannya sebagai word of the year tahun 2016. Post-truth
menunjukkan suatu keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini
publik bila dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi.

Era post-truth dapat disebut sebagai pergeseran sosial spesifik yang melibatkan media arus utama
dan para pembuat opini. Fakta-fakta bersaing dengan hoax dan kebohongan untuk dipercaya
publik. Media mainstream  yang dulu dianggap salah satu sumber kebenaran harus menerima
kenyataan semakin tipisnya pembatas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan penipu-
an, fiksi dan nonfiksi. Secara sederhana, post-truth dapat diartikan bahwa masyarakat lebih
mencari pembenaran dari pada kebenaran.

Sudah selayaknya kita dapat mengambil pelajaran berharga dari sebagian kecil saja contoh 
bagaimana fenomena post-truth mempengaruhi kehidupan pada berbagai bangsa,   dari kasus 
yang terjadi di  Ukrania, Rusia, Inggris, Amerika Serikat.

Di Ukraina  tumbangnya presiden Ukraina diawali dengan sebuah status di medsos yang dibuat
seorang jurnalis di Facebook yang dilanjutkan dengan seruan berkumpul di Lapangan Maidan di
Kiev, di Rusia, Presiden Putin memanfaatkan medsos sebagai kampanye terselubung kepada
negeri tetangganya seperti Ukraina, Prancis, dan Jerman.

Bahkan Senat Amerika pernah memanggil perwakilan Google, Facebook dan Twitter dalam
kasus mengarahkan suara pemilih dan memecah belah masyarakat yang diduga melibatkan
Rusia. Di Inggris referendum Brexit secara efektif menggunakan medsos seperti Facebook untuk
memasang iklan. Trump juga menggunakan medsos untuk kampanye mempengaruhi pemilih
dengan membuat 50.000-60.000 iklan yang berbeda di medsos, utamanya di Facebook.

Post-truth sengaja dikembangkan dan menjadi alat propaganda  dengan tujuan  mengolah
sentimen masyarakat sehingga bagi yang kurang kritis akan dengan mudah terpengaruh yang
diwujudkan dalam bentuk empati dan simpati terhadap agenda politik tertentu yang sedang
diskenariokan.

Berita/informasi yang disampaikan, meskipun menjanjikan sesuatu yang indah dan


menyenangkan, belum dapat dikatakan suatu kebenaran, sebaliknya, bukan pula sesuatu yang
nyata akan terjadi, apabila diungkapkan berupa ancaman atau sesuatu yang dapat menimbulkan
keresahan dan ketakutan  serta menciptakan kondisi yang tidak produktif.

Salah satu faktor yang menjadi katalisator  berkembangnya  post –truth adalah kehadiran


teknologi informasi yang berimplikasi pemanfaatan media sosial yang tidak tepat, teknologi
digital- telah mampu menciptakan realitas sendiri, sesuai dengan  agenda setting kelompok
kepentingan  atau menurut ilmu simiotika, keadaaan ini berdampak pada  terpisahnya antara
penanda (signifier) dengan petanda (signified).

Peran media sosial  melalui algoritma  secara tidak langsung juga memiliki kontribusi yang
signifikan dalam membentuk masyarakat post-truth. Algoritma media sosial berperan dalam
menciptakan kondisi yang disebut echo-chamber. Echo-chamber ( ruang gema) adalah kondisi di
mana seseorang menerima informasi, ide, dan gagasan yang homogen secara terus-menerus,
sedangkan pandangan lain tidak masuk dalam ‘ruang’ tersebut.

Algoritma seolah-olah menjadi “filter buble”. Algoritma filter buble mengkondisikan pengguna


mendapat informasi sesuai dengan riwayat penggunaannya, secara perlahan tapi pasti informasi
yang dipasok disesuaikan dengan  dengan preferensi yang dikehendaki, sedangkan yang tidak
sesuai akan tersortir secara otomatis. Eksternalitas dari algoritma tersebut tak dibayangkan
adalah masyarakat akan hanya mendapat informasi yang bersifat banal dan parsial. Dampaknya
adalah penguatan identitas  dan polarisari  masyarakat  yang semakin tajam  dan berpotensi
memantik konflik yang berkepanjangan.

Anda mungkin juga menyukai