Anda di halaman 1dari 7

Fenomena Post - Truth dan Media Sosial

dalam Cyber Culture


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kapita Selekta

Oleh :
Ahmad Sayid Sabiq 1510138124 (NR)
Nanda Wahyu Irawan 1510133124 (NR)
Yogie Adam I.P 1510173124 (NR)
M. Asmaullah Al Husni 1510136124 (NR)
Ricardo P. Putro 1512351024 (R)

PROGRAM STUDI S1 DESAIN KOMUNIKASI VISUAL


FAKULTAS SENI RUPA
INSTITUT SENI INDONESIA
YOGYAKARTA
TA 2017 / 2018
Latar belakang

Di era milenial saat ini perkembangan teknologi dan informasi semakin pesat,
khususnya kemudahan dalam mengakses media sosial serta berbagai macam informasi
yang ada didalamnya. Media sosial menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari
kehidupan masyarakat sehari-hari. Sebagai media yang memfasilitasi masyarakat
untuk mengakses informasi tentunya kebenaran informasi di media sosial tidak
sepenuhnya benar, ada kalanya sebuah informasi mengandung kebohongan atas
fenomena yang terjadi di masyarakat.

Dengan kemudahan yang ditawarkan dalam mengakses media sosial diperlukan


sebuah pengetahuan untuk memilih dan memilah informasi. Tanpa sebuah
pengetahuan, tidak jarang informasi yang tidak benar membuat orang salah mengambil
keputusan atau salah menyimpulkan masalah. Ketidaktahuan tersebut kadang membuat
pengguna media sosial merasa nyaman sehingga tidak mencari tahu lebih lanjut
mengenai informasi yang sebenarnya. Hal tersebut berpotensi menjauhkan kebenaran
dari fakta yang sesungguhnya.
Pembahasan

A. Fenomena Post – truth

Menurut Oxford Dictionaries, 'post-truth' diartikan sebagai istilah yang


berhubungan dengan atau mewakili situasi-situasi di mana keyakinan dan perasaan
pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta yang
obyektif. Steve Fuller (87: 2016) mengatakan bahwa era post-truth adalah suatu era
dimana bullshit menjadi sangat bernilai. Banyaknya perhatian orang-orang
mengenai fake news (hoax), dimana kita memerlukan usaha lebih untuk membedakan
mana yang nyata dan tidak, menunjukan bahwa banyak orang menyadari bahwa kita
telah memasuki era post-truth. Media sosial sebagai salah satu sumber informasi yang
menyambungkan antar individu berbasis digital tidak sepenuhnya dapat menyediakan
fakta. Dalam arus informasi seperti sekarang ini, virus post-trust ini benar adanya
masyarakat cenderung tidak mencari kebenaran dari suatu informasi melainkan
mencari sesuatu pembenaran sesuai perasaannya bukan logikanya.

Kemudahan dalam membuat konten di media (sosial media khususnya) tanpa


adanya seorang penjaga akhirnya menjadi salah satu faktor yang melahirkan post-
truth di masyarakat (Axel Bruns, 122: 2007). Kemudahan inilah yang menyebabkan
siapa saja yang dapat mengakses media sosial dapat membuat dan menikmati konten
yang ada. Sebagai contoh dewasa ini, banyak sekali akun di media sosial seperti
intagram yang ikut serta menyebarkan opininya di media sosial mengenai kasus yang
berbau agama sepreti beberapa waktu lalu mengenai kasus penistaan agama yang
menimpa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dinilai menodai agama Islam karena
mengatakan dibohongi oleh surat Al-maidah yang sempat viral di media sosial.

Meski pada saat itu, kebenaran bahwa Ahok benar-benar menodai agama Islam
belum terbukti karena hukum belum selesai, adanya kecenderungan emosi masyarakat
atas kasus tersebut dimaknai oleh masyarakat sesuai dengan pengaruh ataupun nilai
pribadi yang menjadi keyakinan dalam diri mereka masing-masing tanpa mencari tahu
fakta yang seungguhnya.

Kasus ini dikategorikan sebagai post-truth karena adanya opini publik yang
terbentuk hanya karena pembenaran sesuai perasaan yang timbul tanpa melihat alasan-
alasan lain yang lebih objektif. Post-truth yang dimaksud bukan masalah benar atau
tidaknya Ahok sehingga menjadi terdakwa, namun hal yang menjadi sorotan disini
adalah mudahnya persepsi masyarakat dapat dibentuk dengan mengungkapkan
kebencian seakan-akan Ahok benar-benar bersalah, padahal proses hukum yang ada
belum selesai.

Hal seperti inilah yang menggiring opini masyarakat di media sosial yang hanya
didasarkan atas alasan emosional tanpa adanya kajian objektif terlebih dahulu. Akibat
kemudahan pembuatan konten inilah yang akhirnya fakta-fakta obyektif kurang
berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan dengan emosi dan
keyakinan pribadi. Masyarakat yang menutup pola pikirnya pasti akan mudah berpihak
terhadap media sosial yang menyuarakan kalimat provokatif yang mengklaim
pembenaran terhadap dirinya sendiri.

Kebohongan seperti ini dapat menyebar karena beberapa hal di antaranya


adalah keberpihakan kepada pendapat dan kelompok tertentu yang terlalu cepat
menyimpulkan berita tanpa mengkritisi, tidak menelaah dari siapa berita itu disebar
karena adanya kepentingan kelompok yang mempunyai kepentingan tertentu dalam
menyebarkan berita. Ketika media sosial digunakan untuk mempublikasikan pesan
yang menonjolkan opini dan setiap orang bisa mempublikasikan opininya sendiri maka
fakta apapun akan tenggelam oleh opini tersebut. Terlebih jika opini tersebut
dikemukakan oleh seseorang yang mempunyai kredibilitas di masyarakat, maka dapat
dipastikan para warganet akan mengiyakan informasi apa saja yang disampaikan tokoh
tersebut tanpa mengklarifikasikannya secara objektif. Setiap orang dapat menerbitkan
opininya, setiap orang menawarkan penafsirannya sendiri terhadap fakta, dan yang
paling parah setiap orang mengklaim bahwa tafsirnya yang paling benar. Opini inilah
yang diangkat sebagai ‘kebenaran’, bukan faktanya.

B. Pentingnya Literasi Media sebagai Solusi

Ruang semu yang kebebasannya tidak lagi tidak sepenuhnya dapat terpantau
dan tak terkendali menjadi ancaman bagi semua golongan. Informasi yang hadir di
media sosial dan dikonsumsi publik menjadi kegelisahan bagi pengguna media sosial
sehingga sulit mencari kebenaran suatu berita. Salah satu solusi yang ditawarkan
dengan literasi media, yaitu pembenaman dalam diri pengguna internet kemampuan
untuk memahami, menganalisis dan mendekontruksi pencitraan media. Diharapkan
dengan cara ini agar ketika seseorang bersentuhan dengan internet ia melek terhadap
informasi yang diakses, sehingga tidak menjadi individu labil yang gagap dan mudah
dipengaruhi.
KESIMPULAN

Dalam istilah popular, post-truth diartikan sebagai istilah yang berhubungan


dengan atau mewakili situasi-situasi di mana keyakinan dan perasaan pribadi lebih
berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta yang obyektif. Hal
yang menjadi permasalahan saat ini adalah kebiasaan masyarakat yang menganggap
bahkan menginginkan hal yang belum tentu benar itu suatu kebenaran. Kehadiran post-
truth tidak dapat lepas dari peran media sosial yang ada yang menjadi kekhawatiran
bagi pengguna internet sehingga sulit mencari kebenaran suatu berita.

SARAN

Keberadaan post-truth merupakan sebuah konsekuensi dari kehadiran media


sosial yang memberi keleluasaan sebagai masyarakat untuk menulis dan membaca
informasi secara mudah. Namun secara tak langsung, fenomena ini sangat sulit bahkan
mustahil untuk dapat dihilangkan tetapi hanya bisa meminimalisirnya dengan
meningkatkan kepekaan terhadap fenomena sosial yang ada dan pemahaman literasi.
Sebagai bentuk filterisasi diri terhadap informasi yang belum tentu benar adanya.
DAFTAR PUSTAKA

Fuller, Steve. Post-Truth: Knowledge As a Power Game. Anthem Press

Bruns, Axel (2007) Produsage: Towards a Broader Framework for User-Led Content.
Creation. In Proceedings Creativity & Cognition 6, Washington, DC.

Anda mungkin juga menyukai