Anda di halaman 1dari 4

Sejarah dan Peran Media Massa

Beberapa literatur sejarah mencatat dan menasbihkan Acta Diurna sebagai produk media
massa pertama yang muncul di planet bumi. Acta Diurna (catatan harian) mulai hadir
tatkala Julius Caesar (1oo-44 SM) menjadi penguasa bangsa Romawi. Catatan tersebut berisi
agenda dan serangkaian peristiwa yang terjadi dalam pemerintahan. Catatan-catatan
tersebut kemudian diletakkan di Forum Romanum sebagai alat informasi bagi rakyat.
Tujuan dari publikasi Acta Diurna adalah agar penguasa mendapatkan inisiasi dari
publiknya. Saat itu media yang digunakan adalah bebatuan yang dipahat oleh para diurnarii
(istilah ini kemudian menjadi cikal bakal term profesi jurnalis). Berkat jasanya tersebut, kini
Galius Julius Caesar tidak hanya dikenal sebagai panglima pereng, orator, atau bahkan
playboy. Namun ia juga mendapatkan reputasi sebagai bapak pers dunia.
Setelah batu, teknologi kertas ditemukan oleh Tsai Lun pada abad 1 SM. Pada masa Dinasti
Han diterbitkan King Pau/Ti Bao di China. Ti Bao adalah koran cetak yang pertama kali
muncul di dunia. Berisi pengumuman agenda pemerintah, Ti Bao menjadi sarana
komunikasi massa yang digunakan rezim untuk mempublikasikan kebijakannya kepada
khalayak.
Pada tahun 145o ditemukanlah mesin cetak oleh Johan Guttenberg. Penemuan mesin cetak
tersebut menjadi pemicu bagi munculnya industri media cetak di Eropa. Meski mesin cetak
telah ditemukan, bukan berarti hal tersebut kemudian memicu berkembangnya kegiatan
jurnalisme di Eropa. Terbukti pada tahun 15oo-an, muncul Notizie Scritte dalam bentuk
pamflet, muatannya adalah pengumuma (pemberitahuan tertulis) yang terbit di Venesia,
Italia. Media ini menjadi media komersial pertama dan berharga 1 gazette. Berselang sangat
lama, muncullah Relation aller Frnemmen und gedenckwrdigen Historien, disingkat
Relation. Relation menjadi koran tulen yang untuk pertama kalinya muncul di jagat raya.
Relation diterbitkan di Strassburg, Jerman oleh Johann Carolus pada tahun 16o5. Koran ini
bermuatan rangkuman berbagai peristiwa sejarah di seluruh dunia.
Kemunculan Relation membuat kegiatan jurnalisme menjadi salah satu primadona. Untuk
pertama kalinya muncul sekolah jurnalis pertama, yaitu Columbia School of Journalism
pada tahun 1912 di New York, AS. Sekolah tersebut didirikan oleh Joseph Pulitzer.
Sementara di Hindia Belanda hadir Bataviasche Nouvelles (1744) yang diterbitkan oleh
pemerintah kolonial. Media Massa berbahasa Melayu pertama sebenarnya sudah muncul
pada tahun 1858, bernama Soerat Chabar Betawie yang dimiliki oleh orang Tionghoa.
Sementara itu, surat kabar berbahasa Melayu pertama yang dimiliki etnis pribumi
bernama Medan Prijaji (19o7-1912), yang dicetuskan Tirto Adhi Soerjo. Versi lain
mengungkapkan Bentara Melajoe oleh seorang Indo bernama Arnold Snackley (Juni 1877-
Des 1877), Bintang Pertama (1871), Bromartani: bahasa Jawa (1865), Tjahja Sijang (1868),
Bintang Timoer (1964), Warta Berita (19o1), Pertja Barat (19o3) oleh Dja Endar Moeda.
Organisasi wartawan Indonesia yang pertama didirikan adalah Inlandsche Joernalisten
Bond (IJB) tahun 1924. Kemudian berturut-turut muncul Persatoean Kaoem
Journalis(1931), Persatoean Djoernalis Indonesia (1933). Selain media cetak, ragam
siproduk pers dalam media komunikasi massa juga silih berganti hadir: radio (1925); televisi
(196o); media online (1998).

Potret Peran Awal Pers Modern dalam Empat Teori Pers
Dalam perkembangannya, pers memiliki andil yang cukup besar untuk membangun dan
mengawal sebuah wacana besar pada suatu zaman. Hal itu kemudian diinternalisasi Wilbur
Schramm cs ke dalam 4 teori pers yang ia kembangkan. Teori pers ini mengambil bahan
studinya dari potret pers Eropa (sejak renaissans). Basis struktur sosial yang mengitari
kehadiran pers juga tergambar dalam 4 teori pers ini: otoritarianisme sangat kental dengan
suasana zaman transisi awal (pencerahan); teori pers liberal juga berbarengan dengan
merebaknya kebebasan berpikir; pers bertanggung jawab sosial hadir pasca digugatnya
kebebasan eksploitatif oleh bangsa Eropa; dan pers Soviet yang mengambil sample dari
komunis Soviet.
Namun teori Schramm cs ini dikemudian hari terasa memiliki cacat historis. Schramm
dituduh memiliki keterkaitan propaganda dengan CIA, tentunya hal ini menimbulkan
asumsi yang mengarah pada kesimpulan bahwa 4 teori pers yang ia kembangkan
mengandung unsur propaganda untuk menjatuhkan Soviet. Ditambah lagi, teori ini
dikembangkan tatkala perang dingin tengah berkecamuk. Selain itu,-karena model teori ini
menjadikan Eropa sebagai Acuan, maka teori pers ini terasa tidak relevan jika diterapkan di
kawasan non-Eropa, utamanya negara dunia ke-3. Namun secara umum, teori ini dirasa
cukup mampu untuk memaparkan sejarah perkembangan pers di masa awal.
Pers Bumi Pertiwi
Dengan asumsi bahwa 4 teori pers Schramm dirasa tidak relevan, muncullah beberapa
koreksi, salah satunya adalah penambahan teori pers pembangunan (untuk negara dunia ke-
3) oleh Denis McQuail serta William Hachten. Sistem ini juga dikenal dengan sistem pers
pancasila, dan diterapkan oleh rezim Pohon Beringin untuk mendukung pembangunan
infrastruktur di Indonesia. Model yang digunakan oleh rezim pada masa itu adalah model
pembangunan top down (atas ke bawah), sehingga publik tidak berperan signifikan dalam
pembangunan di Indonesia.
Sebelum Golkar berkuasa, tepatnya pra-proklamasi, pers Indonesia memberi warna yang
signifikan dalam pergerakan melawan kolonialisme. Para pewarta yang itu menjadi ujung
tombak pers, selain sebagai pewarta, para jurnalis juga berperan ganda sebagai aktivis
politik yang menggiring opini publik untuk berani melawan segala bentuk imperialisme.
Pada saat itu pers beraliansi dengan gerakan perlawanan terhadap kolonialisme, salah
satunya adalah Wahidin Sudirohusodo yang merupakan penggagas Boedi Oetomo dan juga
menjadi redaktur majalah Retno Dhoemilah.
Beranjak ke era pasca-proklamasi, peran pers Indonesia bertujuan untuk mempertahankan
kemerdekaan. Karena pada masa itu, para penjajah tidak langsung hengkang 1oo % dari
bumi pertiwi. Tugas pewarta pada masa itu ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan
RI, dengan cara mengambil alih surat kabar-surat kabar dan percetakan yang dikuasai para
penjajah yang belum hengkang. Mereka terus memberitakan dengan gencar dukungan
terhadap proklamasi, agar massa bisa dimobilisasi untuk melakukan perlawanan lanjutan.
Situasi Indonesia yang belum stabil berusaha dimanfaatkan oleh pihak sekutu untuk
mengganggu pesta kemerdekaan indonesia. Dengan memanfaatkan teknologi komunikasi
massa yang lebih maju, para sekutu masif mendirikan lembaga pers oposan untuk meredam
semangat pergerakan rakyat Indonesia. Untuk menghindari chaos informasi di kalangan
rakyat, saat itu KNIP terpaksa mengambil keputusan dengan mengakui Antara sebagai satu-
satunya kantor berita nasional Indonesia.
Meskipun serangan sekutu masif dilancarkan, namun pers nasional masih terbilang sukses
saat itu. Buktnya mereka mampu mengawal dan mendukung upaya diplomasi internasional
yang dilakukan pemerintah untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, di antaranya
lewat Perjanjian Linggarjati (15/1o/1946) dan Perjanjian Renville (17/o1/1948). Selain itu
pers juga membentuk sikap tegas terhadap pembentukkan negara boneka yang didalangi
oleh Belanda.
Para awak pers saat itu mulai menyadari pentingnya berkonsolidasi untuk membendung
gempuran-gempuran musuh. Hal itu ditandai dengan dibentuknya PWI pada tanggal 9
Februari 1946. Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) dibentuk 8 Juni 1946. Pasca para sekutu
minggat, pers indonesia masih harus menanggung tugas berat. Kali ini untuk membangun
stabilitas politik dalam negeri. Percekcokan ideologi politik masih mewarnai Indonesia di
era awal proklamasi. Saat itu, banyak sekali terjadi pemberontakan-pemberontakan yang
dilancarkan kepada pemerintah. Suasana pemerintahan yang liberalistik juga membuat pers
sedikit bergejolak: banyak pers-pers partai yang turut hadir mewarnai dunia pers Indonesia,
di antaranya Harian Rakjat (koran PKI), Pedoman (pro-PSI), Suluh Indonesia (koran PNI)
dan Abadi (pro-Masyumi). Tujuan pers saat itu pada umumnya adalah untuk memobilisasi
massa. Maka tak heran rubrik-rubrik semisal editorial, karikatur, serta tajuk rencana
menjadi rubrik yang paling diandalkan.
Tahun 1957 pemerintah memberlakukan Undang-Undang darurat Perang. Peraturan
tersebut merupakan salah stu upaya pemerintah untuk memberangus gerakan-gerakan
perlawanan yang kian menjamur. Salah satu poin kebijakn tersebut adalah Persbreidel. Di
masa ini, dengan alasan kepentingan nasional, kebebasan pers harus dikendalikan. Namun
gejolak pers tak padam begitu saja, sejak berlakunya dekrit presiden 5 Juli 1959, aktivitas
pers kembali berjalan normal. Praktik-praktik agitasi dan propaganda politik mulai meluas.
Perang ideolgi menjadi ciri khas pers saat itu, imbasnya organisasi sekaliber PWI pun tidak
bisa dihindarkan dari kepentingan politik. Panasnya pergulatan politik pada tiap kubu pers
ini bisa tergambarkan ketika Soekarno sampai-sampai harus turun tangan untuk
membreidel salah satu kubu pers yang dianggap tidak sepaham. Bahkan diujung
kepemimpinannya Soekarno membuat kebijakan tentang sirkulasi media cetek (Penetapan
Presiden Republik Indonesia No 4 Tahun 1935) yang mengandung unsur censorship dan
pembreidelan.
Dinamik pers tanah air kian meredup pasca Soeharto diangkat menjadi kepala negara
Republik Indonesia. Aktivitas yang mengandung visi politik kritis dilarang beredar.
Dinamika politik dalam pers Indonesia otomatis hilang dari peredaran. orde baru mengganti
seluruh sistem pers dengan sistem pers pancasila (pers pembangunan) dengan mengusung
pola pmbangunan top down, dalam arti, pers berfungsi untuk memberitakan program-
program pemerintah kepada publik. Partisipasi publik-dalam pembangunan model ini-
bukanlah partisipasi aktif yang turut menggagas kebijakan-kebijakan pembangunan. Di sisi
lain, model seperti itu secara otomatis membuat publik menjadi khalayak pasif yang harus
mematuhi kebijakan pemerintah. Soeharto memang menghapuskan peraturan
pembreidelan yang digagas Soekarno, namun sensoring pemerintah terhadap lembaga pers
tidak semakin lebih baik. Soeharto menggelindingkan Peraturan Menteri Penerangan No.
o3/Per/Menpen/1969. Pasal 7 Permenpen tersebut menyatakan, surat izin terbit (SIT)
dapat dicabut sebagai akibat dari larangan terbit terhadap penerbitan pers berdasarkan
alasan-alasan bertolak dari ajaran komunisme-Marxisme-Leninisme, cenderung kepada
pornofgrafi, sadisme, dan bertentangan dengan Pancasila. Secara implisit, kebijakan
tersebut tidak mengekang keseluruhan dunia penerbitan. Pers hanya butuh SIUPP untuk
bisa menerbitkan produknya. Namun dikemudian hari, rezim menambahkan bahwa SIUPP
tersebut bisa dibatalkan tatkala ia tak mampu melewati uji sensoring rezim
(www.enjangmuhaemin.com). Imbasnya, koran-koran progresif dilarang beredar oleh
pemerintah. Beberapa koran semisal Sinar Harapan, Pedoman, Indnesia Raya, Sinar
Harapan, Nusantara dll. dibreidel dengan dalih politik dan pornografi. Selain itu, beberapa
orang keredaksian seperti Mochtar Lubis dan Soemarso Soemarsono ikut ditewak
pemerintah. Di samping media cetak, era orde Baru juga diwarnai oleh kehadiran media
televisi, namun hal itu tidak terlalu berdampak signifikan bagi sistem pers Indonesia. Meski
terus dihajar, pers masih berupaya untuk melakukan advokasi terhadap kebebasan pers
yang mereka anut. Salah stunya lewt PWI dan Dewan Pers, namun semuanya selalu gagal
karena setiap kegiatan pers selalu berada dibawah bayang-bayang menteri penerangan.
Namun usaha ini mulai menemukan titik terang ketika pembreidelen Tempo memicu
perhatian massa internasional. Pemerintah membreidel Tempo setelah media ini
memberitakan skandal pembelian kapal-kapal bekas asal Jerman Timur. Saat itu tempo
menggugat pengadilan dan menang di tingkat Pengadilan Tinggi, namun dikalahkan oleh
MA. Hal ini memicu reaksi yang cukup panas, mereka kemudian membentuk AJI (Aliansi
Jurnalis Independen)-yang sejak saat itu bersebelaahan dengan PWI-, mereka juga menjadi
anggota International Federation of Journalists (IFJ). Peristiwa tersebut banyak
menghadirkan intervensi dari masyarakat internasional, termasuk UNESCo. Sejak saat itu,
pers kembali menunjukkan keberaniannya untuk menggugat pemerintah, meskipun
ancaman teror pemerintah masih sangat menghantui.
Di era transisi reformasi, pers masih belum bisa bergerak bebas sepenuhnya. Unsur-unsur
represif dari aparatus negara masih bisa ditemukan. Namun seiring berjalannya waktu, pers
IndOnesia kemudian memiliki kebebasan yang lebih untuk bersuara. Pemerintah sudah
mulai menyadari pentingnya membangun masyarakat pers yang bebas dan berkedaulatan,
serta bertanggung jawab. Kini, pers tanah air juga mengambil peran vital dalam sistem
demokrasi Indonesia, ia di juluki sebagai The Fourth Estate seteleh legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Ia juga mengambil peran sebagai anjing penjaga dalam mengawal kinerja
pemerintahan.
Dalam konteks pers pembangunan, pers Indonesia kontemporer idealnya turut
berpartisipasi dengan model jurnalisme investigatif dengan cara memeriksa, mengawasi dan
mengevaluasi relevansi progragram pemerintah, agar tidak terjerumus ke dalam jurnalisme
(pembangunan) terompet pemerintah. Tak bisa dipungkiri, kehadiran para politisi di dunia
pers Indonesia memiliki sisi yang terbilang positif: budaya saling jegal-meskipun terkesan
tendensius-bisa dijadikan ajang untuk menggojlok dan mengevaluasi kebijakan pemerintah.
Namun pers saat ini masih memiliki kelemahan dan belum berdampak signifikan, utamanya
bagi pemanfaatan ruang ekspresi publik di media massa. Hal ini terjadi karena publik masih
belum secara intensif dilibatkan dalam pembentukan kebijakan. Model komunikasi bottom-
up (ex: PRFM) masih sangat jarang digunakan. Selain itu, dirasa perlu juga untuk
mengembangkan institusi media watch di kalangan publik. Terkhusus bagi mahasiswa
untuk mengasah literasi media.

Anda mungkin juga menyukai