Anda di halaman 1dari 3

Nama: Ikhsan Nurdiansyah

NIM: 11201110000006
Budaya Populer

Budaya Populer. Perbedaan Budaya Populer dan Budaya Massa. Hubungan Konsumsi dengan Budaya Populer.
Faktor sebuah Budaya dianggap sebagai Budaya Populer. Budaya Populer disamakan dengan Amerikanisasi. Jeans
dianggap sebagai Budaya Populer. Budaya Populer dengan Kekuasaan dan Politik. Keagamaan/Kesalehan
berhubungan dengan Budaya Populer. Bagaimana Dangdut dianggap sebagai Budaya Populer. Film Mendadak
Dangdut.

Budaya populer merujuk pada definisi suatu budaya yang dikonsumsi secara luas oleh khalayak di
masyakat, selanjutnya pengertian budaya dapat diafiliasi dengan bentuk-bentuk yang dikonsumsi oleh masyarakat
seperti, gaya berpakaian, media telekomunikasi (acara televisi, siaran radio, platform streaming) hingga hal lain
yang umum dikonsumsi oleh masyarakat seperti musik. Dalam buku berjudul Identitas dan Kenikmatan karya Ariel
Heryanto, setidaknya dipakai dua pengertian budaya populer yang dapat menggambarkan bagaimana suatu
budaya dapat dipadankan dengan kata populer. Definisi pertama, budaya populer akan kita pahami sebagai
berbagai suara, gambar, dan pesan yang diproduksi secara massal dan komersial (termasuk film, musik, busana,
dan acara televisi) serta praktik pemaknaan terkait, yang berupaya mengjangkau sebanyak mungkin konsumen. 1
Kemudian, definisi kedua, meruju pada adanya bentuk praktik komunikasi lain yang bukan hasil industrialisasi
(non-induztrialized), relatif independen, dan beredar dengan memanfaatkan berbagai forum dan peristiwa seperti
acara keramaian publik, parade, dan festival. 2
Perbedaan budaya populer dan budaya massa pada dasarnya cukup sulit dibeda-bedakan dalam
pemahaman saya, sebab keduanya memiliki dasar yang serupa mengenai bagaimana suatu budaya dapat begitu
pesatnya berkembang dan dikonsumsi dalam masyarakat. Saya cenderung melihat adanya tumpang-tindih antara
perbedaan di antara keduanya terutama mengenai dasar diproduksinya suatu budaya hingga layak dikatakan
sebagai sesuatu yang populer, karena jika budaya populer cenderung ada dan berkembang di masyarakat tidak
didasarkan pada motif profit, sedangkan budaya massa cenderung berorientasi pada profit. Praktik langsung
antara keduanya dalam masyarakat akan begitu sangat kabur, sebab sesuatu yang populer akan terjadi mengikuti
arus gelombang (wave) dalam masyarakat tanpa perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai asal-usul, sebab
mengapa budaya ini dapat berkembang, khususnya oleh masyarakat awam.
Hubungan konsumsi dengan budaya populer sebagai salah satu aspek yang tidak bisa dipisahkan untuk
melihat mengapa suatu budaya dapat begitu pesat berkembang di masyarakat. JIka meminjam perspektif
Baudrillard mengenai asumsi utama masyarakat postmodern, mengenai keterkaitan media dan simulasi,
melibatkan konsumsi sehingga sesutau dianggap sebagai hal yang memiliki nilai. Merujuk pada kamus besar
bahasa Indonesia, konsumsi merupakan pemakaian barang hasil produksi. 3 Hal ini tentu berkaitan, karena proses
persebaran budaya sesuatu layak dikatakan populer memerlukan praktik konsumsi yang terjadi di masyarakat
secara massif. Terutama apabila melihat melalui perspektif Baudrillard mengenai masyarakat postmodern yang
memiliki kecenderungan sebagai masyarakat konsumitf dengan alasan simulasi dan persebaran media yang luas.
Faktor sebuah budaya dianggap sebagai budaya populer merujuk pada pemahaman Fiske mengenai
budaya populer, dapat diambil definisi bahwa budaya populer cenderung tidak berstandar tinggi, sehingga dapat
dipertimbangkan untuk dikategorisasi berdasarkan praktik budaya yang dilakukan. Selain itu, faktor budaya
dikatakan populer secara definitif ialah, budaya tersebut telah dikonsumsi oleh berbagai elemen masyarakat, baik
masyarakat berdasarkan kelas, hingga persebarannya yang menjadi pertimbangan untuk dikatakan populer.

1
Heryanto, A. (2015). Identitas dan Kenikmatan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hal 22.
2
Ibid, hal 22.
3
Kamus Besar Bahasa Indonesia V. 2018. Konsumsi. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Nama: Ikhsan Nurdiansyah
NIM: 11201110000006
Budaya populer disamakan dengan amerikanisasi merupakan definisi yang menggambarkan Amerika
dengan segala perkembangannya dapat mempenagruhi selera dan konsumsi masyarakat secara umum, baik di
Amerika hingga negara-negara lain. Besarnya pengaruh Amerika terhadap negara lain ini disebut amerikanisasi,
yaitu suatu istilah yang menggambarkan bagaimana budaya populer memiliki satu rujukan yang sama dengan
budaya yang diproduksi dan berkembang karena pengaruh Amerika. Selanjutnya mengenai bagaimana kedua
istilah ini dipadankan saya cenderung melihat karena adanya kesamaan selera dan apa yang dianggap masyarakat
sebagai sesuatu yang populer yang besaral dari Amerika, salah satu contohnya bagaimana orang-orang Amerika
berpenampilan, juga melalui industri musik, dan perfilman.
Jeans dianggap sebagai budaya populer didasarkan pada pengguna celana jeans yang beragam, dan
cenderung dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat, katakan saja bayi-bayi dipakaikan celana jeans oleh orang
tuanya untuk difoto dan menampikan kesan tersendiri, seiring bertambahnya umur, jeans tak lekang oleh waktu.
Selain itu, jeans pun digunakan oleh berbagai elemen masyarakat, baik kelas atas, menengah, hingga kelas bawah.
Hal ini disebabkan oleh segmentasi produksi jeans yang luas, mulai dari jeans yang cukup murah untuk dibeli dan
digunakan oleh masyarakat kelas bawah, hingga jeans relatif mahal untuk dibeli oleh masyarakat kelas atas. Saya
pun melihat ada faktor persebaran ketenaran jeans melalui aspek industri media, baik dari film-film yang
menayangkan bagaimana para aktor mengenakan jeans, hingga pola marketing yang digunakan untuk
mengkontrol konsumsi dan selera masyarakat. “Iklan-iklan jeans desainer menekankan secara konsisten
bagaimana iklan-iklan tersebut akan cocok dengan Anda: fisikalitas tubuh lebih dari merupakan tanda
individualitas.”4
Budaya populer dengan kekuasaan dan politik merupakan hal yang saling berkaitan jika dilihat dari
sumber-sumber produksi budaya yang digunakan sebagai alat dalam kontestasi pemegang kekuasaan dan politik.
Budaya populer yang berkembang di masyarakat dimanfaatkan untuk mengandung nilai-nilai tertentu yang secara
orientasi merujuk pada kepentingan suatu kelompok. Saya melihat bahwa salah satu sikap yang lazim ditemui
dalam masyarakat Indonesia salah satunya adalah anti-PKI, terlepas dari benar atau salahnya, saya tidak
bermaksud ke arah sana. Namun, melihat persebaran ideologi anti-PKI di Indonesia sangatlah berhasil, salah satu
media propaganda yang digunaka ialah melalui film berujudl G30S-PKI, melalui kesuksesan film tersebut,
pemahaman anti-PKI masyarakat Indonesia kian menguat. rezim Orde Baru telah mengenali pentingnya film
sebagai alat propaganda.5
Keagamaan/kesalehan berhubungan dengan budaya populer, saya cenderung melihat hal ini
berdasarkan definisi dasar bahwa pada dasarkan agama pun memuat nilai-nilai untuk disampaikan, hal-hal yang
yang kemudian menjadi bentuk-bentuk representatif. Sedangkan kesalehan cenderung menggambarkan kualitas
spiritual perseorangan, serta kaitannya dengan budaya populer ialah umumnya saya melihat bahwa agama
cenderung tidak menerima begitu saya perkembangan yang ada, namun bukan juga terlalu mempersoalkan hingga
mengkritisi. Namun tetap saja, agama memiliki nilai dasar yang menjadi acuan sehingga suatu budaya yang
dianggap populer dapat bersinggungan secara langsung dengan keagamaan/kesalehan.
Dangdut dianggap sebagai budaya populer, hal ini merupakan implikasi dari tersebarnya genre musik
dangdut di dataran Melayu, khsusunya di Indonesia. Saya melihat bahwa kepopuleran dangdut tidak semata-mata
terjadi begitu saja, melainkan adanya keterlibatan proses distribusi antar masyarakat. Salah satu kebiasaan yang
sering kali dilakukan oleh masyarakat di Indonesia adalah mendengarkan lagu menggunakan pengeras suara, hal
ini umumnya dilakukan untuk mengisi waktu luang, entah di pagi hari, siang, bahkan malah sekalipun. Lagu-lagu
yang diputar umumnya bergenre dangdut, sebab dangdut seakan-akan telah tertanam sebagai musik yang ramah
di telinga masyarakat Indonesia. Hal ini juga didukung oleh acara-acara besar di Indonesia yang tidak jarang
menggunakan dangdut sebagai media hiburan, semakin mendukung popularitas dangdut sebagai genre musik yang
ramah bagi Indonesia.
4
Fiske, J. (1995). Memahami Budaya Populer. London dan New York: Routledge, hal 8.
5
Heryanto, A. (2015). Identitas dan Kenikmatan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hal 118.
Nama: Ikhsan Nurdiansyah
NIM: 11201110000006
Film Mendadak Dangdut (2006) menggambarkan penyanyi yang tiba-tiba terjun pada pertunjukkan musik
dangdut karena sedang melarikan diri dari kejaran aparat yang berwenang, dangdut dalam hal ini berperan sebagai
media hiburan dalam film tersebut, sehingga tidak mengherankan jika dalam prosesnya, dangdut dinilai sebagai
produk budaya. Selanjutnya mengenai segmentasi selera, dangdut yang dipertontonkan cenderung berpindah dari
satu wilayah ke wilayah lain, tidak begitu banyak jumlah penontonnya, sehingga dapat dipastikan bahwa fungsi
selera dalam hal ini hanya sebagai penetu bahwa hiburan dari wilayah-wilayah tersebut (kampung) cenderung
berpusat pada dangdut. Relasi kekuasaan dan konflik terjadi karena adanya tuduhan dua pemeran tersebut
memiliki heorin, di sini pun digambarkan bahwa aparat yang berwenang memiliki peran pengebdalian untuk
mencegah, melerai, dan memberikan sanksi bagi masyarakat yang melakukan penyimpangan.

Anda mungkin juga menyukai