Oleh :
Siti Zainatul Umaroh
NIM. 16/404393/PSA/08114
Judul Buku
Pengarang
Penerbit
Tebal Buku
Cetakan
antropologi
dan
sosiologi,
konsep-konsep,
hipotesa-hipotesa
yang
pernah
yang lebih kuat, lebih mampu menguasai ras lain. Pandangan kedua Meyakini bahwa
manusia diciptakan sekali yang merupakan keturunan satu makhluk induk. Pandangan ini
disebut juga dengan monogenesis. Bab II memfokuskan uraian tentang Ilmu Anatomi dalam
masa diantara abad 16 dan 19
Bluemenbach, ahli fisiologi dan Anatomi (1752-1848) dengan bukunya De Generi Humani
Verietate Nativa yang menjadi perspektif kelahiran ilmu antropologi fisik sebagai ilmu baru.
Dua buku karya J.C prichard berjudukl into The Physical History of Man (1813) dan The
Natural History of Man (1848) dianggap sebagai permulaan ilmu antropologi fisik yang
diajarkan di universitas-universitas besar di Eropa.
Filsafat Sosial dan Masalah aneka warna juga dibicarakan untuk mengeneralisasi
analisa induktif yang selanjutnya dapat dirumuskan sebagai kaidah-kaidah sosial. Para filsuf
menggunakan pendekatan masing-masing yang sesuai dengan pandangannya untuk
melaksanakan metodologi barat. Misalkan Montesquieue dengan konsep kemajuan
masyarakat atau Turgot yang meyakini sifat aneka warna manusia tidak disebabkan masalah
ideologi tapi karena perbedaan lingkunganalam dan pendiidkan.Rosseau dengan filsafat
pesimisme dan auguste comte dengan filsafat positivisme.
Auguste comte dan H spengler adalah pendukung filsafat Positivise. Enam jilid buku
Comte berjudul course de Philosophie Positive 91830-1842) mengaajukan pendapatnya
mengenai metodologi ilmiah umum yang dapat diterapkan terhadap semua ilmu pengetahuan
yang ada. Ia mengakui ada tingkat kompektisitas dalam metodologi ilmiah dan ilmu pasti
paling mudah bagi penerapan metodologi ilmiah. Penerapan metodologi positif terhadap
gejala masyarakat menyebabkan berkembangnya ilmu sosiologi yang terdiri atas sosiologi
statistik dan sosiologi dinamika.
Hal berkaitan masalah aneka warna bahasa juga dibahas dengan cukup detail tentang
ketertarikan para ahli sejak abad 18 untuk mulai mempelajari naskah-naskah kuno Arab,
sansekerta, bahasa cina dll. Penelitian komparatif terhadaap bahasa-bahasa muncul akibat
perbandingan bahasa pada pertengahan abad 19 sehinggamemunculkan ilmu etnolinguistik.
Pada akhir bab II dijelaskan mengenai asal mula manusia dan evolusinya. Charles Darwin
(1809-1882) dalam buku the origin of species menyatakan semua jenis makhluk hidup
berasal dari species yang lebih sederhana menjadi species baru yang lebih kompleks dan
manusia merupakan evolusi dari primata. Namun pandangan Darwin tersebut banyak dikritik
karena ketidakmampuan menghadirkanMissink Link antara primata menjadi manusia.
Untuk melengkapi pengetahuan tentang etnografai, bab II juga memaparkan lembagalembaga antropologi yang pertama kali muncul di Eropa seperti Lembaga society etnologique
Paris tahun 1839, The ethnological society di London tahun 1843 dan The American
Ethnological Society tahun 1842 di Amerika. Istilah etnologyi dari lembaga-lembaga tersebut
berarti pengetahuan atau ilmu tentang bangsa-bangsa. Ilmu etnologi diakui secara resmi
dalam dunia perguruan tinggi di Inggris dengan dibukanya mata kuliah di University Oxford
tahyun 1884 dengan T.B Taylor sebagai dosen pertamanya. Diperancis istilah Ethnologique
lambat laun terdesak oleh istilah sociologique atau sosiologi.
Bab III membahas teori-teori evolusi kebudayaan yang meliputi pembahasan tentang
proses evolusi secara universal, konsep evolusi sosial universal H. Spencer, teori evolusi
keluarga J.J. Bachofen, teori evolusi keluarga di Indonesia, teori evolusi kebudayaan L.H.
Morgan, teori evolusi religi E.B. Tylor, teori J.G. Frazer mengenai ilmu gaib dan religi, serta
menghilangnya teori-teori evolusi kebudayaan.
Menurut konsepsi evolusi sosial universal memandang bahwa masyarakat telah
berkembang lambat (berevolusi) dari tingkat yang rendah berevolusi lebih kompleks yang
dialami oleh seluruh manusia dimuka bumi, walaupun dengan kecepatan yang berbeda-beda.
Konsepsi tentang konsep ini berkembang pada pertengahan abad 19 dan sangat
mempengaruhi cara berpikir cendekiawan mengenai persoalan evolusi keompok keluarga,
evolusi hak milik, evolusi negara, asal mula, dan hukum religi dan sebagainya.
H. Spencer bersama comte termasuk pendukung aliran positivistme,yakni aliran filsafat
yang bertujuan menerapkan metodologi eksak yang telah dikembangkan dalam ilmu fisika
dan alam dalam studi masyarakat manusia.Mereka menggunakan bahan etnografi dan
etnografika secara meluas dan sistematis.Comte yang pertamakali menggunakan istilah ilmu
sosiologi yang menjadi cikal bakal timbulnya ilmu antropologi. Spencer mencetuskan teori
asal mula religi, teori evolusi hukum masyarakat dari hukum keramat menjadi hukum sekuler.
Spencer menekankan bahwa dalam evolusi sosial aturan-aturan hidup manusia serta hukum
yang dapat dipaksakan
kebutuhan para warga masyarakat dimana mereka hidup yaitu : kebutuhan masyarakat yang
paling berkuasa, paling pandai, paling mampu. Pandangan ini dikenal dengan Survival of
The Fittest.
Setelah berbicara tentang proses dan konsep evolusi sosial secara universal,
Koentjaraningrat melengkapi perbincangan tentang evolusi dengan teori evolusi keluarga.
Dalam bukunya Das Mutterecht , Bachoffen menjelaskan bahwa diseluruh dunia keluarga
manusia berkembang dari keluarga inti meluas padaproses perkawinan dan melahirkan
kelompok-kelompok keluarga yang lebih luas dari garis keturunan Ibu 9Matriarchate) maupun
Garis keturunan ayah (Patriarchate).
Teori evolusi kebudayaan, terutama teori evolusi keluarga juga diterapkan terhadap
warna kebudayaan Indonesia oleh ahli antropologi belanda G.A Wilken (1847-1891) dan
menulis tentang sewa tanah dan adat pemberian nama m inahasa , etnografi singkat pulau
Buru, evolusi perkawinan , teori teknonimi tentang hakikat maskawin . Pada umumnya
masalah-masalah serta kebudayaan masyarakat selalu ada hubungannya dengan teori
dasarnya mengenai evolusi keluarga. Karangan-karangannya membahas hukum adat telah
diterbitkan dalam jilid tersendiri, yaitu Opstellen Over Adachtren (1926).
Lewis Morgan dalam karangan etnografinya yang berjudul League of The Ho-de-noSau-nie
or
Iroquois
berpusat
pada
soal
susunan
kemasyarakatan
dan
sistem
kebudayaan manusia melalui delapan tingkat evolusi yang universal, yakni Zaman liar tua,
Zaman Liar Madya, Zaman Liar Muda, Zaman Barbar Tua, Zaman Barbar Madya, Zaman
Barbar Mudaa, Zaman peradaban Purba, Zaman Peradaban Masakini.
Sebagai penutup bab tiga, Koentjaraningrat mengupas tentang hilangnya teori-teori
evolusi kebudayaan. Pada akhir abad 19 bermunculan kritik dari kaum skeptivis tentang cara
berpikir dan bekerja kaum evolusionis. Kecaman terlebih dilontarkan pada lemahnya konsep
dasar tentang teori ini. Penggalian sumber-sumber prehistoris baru yang lebih relevan yang
dilakukan oleh kaum antropolog semakin membuktikan bahwa teori evolusi tak lebih dari
konstruksi-konstruksi pikiran saja. Teori evolusi telah benar benar ditinggalkan pada abad 20
hingga pada akhir 1940-an muncul beberapa ahli antropologi Inggris dan Amerika yang
mencoba
membangun
konstruksi
tentang
konsep-konsep
evolusi
kebudayaaan.
bayangan tentang dirinya sendiri yang dilihatnya dalam mimpi tersebut justru terlalu abstrak.
Ia mengajukan teorinya sendiri tentang asal-muiasal religi manusia dari emosi atau getaran
jiwa yang timbul karena kekaguman manusia terhadap gejala dan kekuatan tertentu dari
alam yang sifatnya luar biasa. Kekuatan yang tak bisa ditangkap nalar disebut kekuatan
supranatural. Ia meyakini manusia purba memiliki bentuk religi tertua yang disebut
praenimism yang lebih tua dari religi animisme dan dinamisme.
Kruyt, seorang pendeta bangsa belanda yang menyiarkan agama
nasrani di Toraja
menyatakan bahwa kepercayaan manusia pada awalnya berupa kepercayaan pada benda
yang memounyai kekuatan, selain itu kepercayaan itu juga berupa percaya akan adanya
makhluk halus(Spiritisme). Kruyt meyakini manusia memiliki zat halus (Zielestof) yang
memberi kekuatan hidup dan gerak alam semesta. Konsep-konsep mengenai asaz religi
diwakilkan oleh pemikiran K.T Preuz, seorang ahli antropolog museum.
Ia menganggap
bahwa wujud religi yang tertua berupa tindakan manusia untuk mengerjakan keperluan
hisupnya yang tak dapat dicapainya secara naluri atau dengan akalnya.Konsepsi mengenai
akal manusia terbatas dan bahwa menschliche Urdummheit ataukebodohan akal manusia
yang asli merupakan pangkal permulaan religi. Analisa Hertz tentang upacara kematian juga
diuraikan dengan detail. Ingti dari penjelasannya adalah bahwa dalam rangka upacara
kematian dari banyak suku bangsa didunia merupakan sebuah inisiasi. Terdapat persamaan
unsur-unsur upacara kematian dengan upacara kelahiran dan pernikahan.
Sebagai penutup bab VI,Terdapat lima komponen dalam religi yang dikembangkan oleh
berbagai ahli, terutama dipengaruhi oleh analisis Soderblom. Yaitu: (1) emosi keagamaan, (2)
sisterm keyakinan, (3) sistem ritus dan upacara, (4) peralatan ritus dan upacara, serta (5)
umat agama. Kerangka Kelima komponen sistem religi digambarkan melalui diagram yang
saling saling berhubungan dengan titik sentralnya terletak pada emosi keagamaan. Kerangka
ini berguna untuk mempermudah analisa gejala religi dalam masyarakat manusia secara
antropologi.
Bab V membahas kelompok lAnnee Sociologique, sebuah perkumpulan majalah yang
anggotanya adalah ahli-ahli sosiologi yang dipimpin oleh Emile Durkheim (18581917).Mereka memiliki ketertarikan mempelajari soal-soal masyarakat perkotaan di
Eropa.Mereka menyebut diri sebagai sosiologi etnografik. Selanjutnya, bab V lebih
memberikan porsi terhadap emile durkheim dan pemikirannya. Ia berpandangan bahwa
manusia dalam berpikir dan bertingkah laku dihadapkan pada gejala-gejala atau fakta-fakta
sosial yang merupakan entitas berdiri sendiri terlepas dari individu dan mempunyai kekuatan
memaksa individu untuk berpikir menurut garis-garis dan bertindak menurut cara-cara
tertentu. Ia juga berpendapat bahwa dalam alam pikiran individu warga masyarakat biasanya
terjadi gagasan-gagasan yang bergabung menjadi gagasan kolektif yang kemudian dijadikan
sarana untuk saling berkomunikasi, berinteraksi dan berhubungan dalam kehidupan
bersama.
Mengenai azas religi, ia mengatakan bahwa ada sistem religi yang lebih tua dari
animisme, yakni totemisme. Lambang totem itu mempunyai kedudukan penting karena ia
seakan-akan menggugah emosi keagamaan dalam jiwa manusia. Emosi keagamaan sebagai
unsur elementer itu bersumber pada kesadaran kolektif para warga Mengenai klasifikasi
primitif, ia berpandangan bahwa kriteria klasifikasi manusia primitif hanya berdasarkan pada
persamaan ciri-ciri lahiriah, seperti bentuk, warna dan bunyi Sedangkan Marcel Mauss (18721950) mengatakan bahwa masyarakat Eskimo pada musim panas berpencar untuk berburu,
tetapi pada musim dingin berkumpul kembali. Mereka kemudian melakukan upacara
keagamaan bersama yang mengandung unsur-unsur tukar menukar harta, makan bersama,
menyanyi serta menari bersama sampai mencapai trance. Aktivitas inilah yang berfungsi
mempertinggi kesadaran kolektif dan mengintensifkan solidaritas sosial (h. 104-105). Adapun
Lucien Levy-Bruhl (1857-1945) mengatakan bahwa masyarakat primitif berpikir dengan
menggunakan mentalitas primitif yang berbeda dengan logika ilmiah pada tiga unsur, yaitu [1]
loi de participation atau kaidah partisipasi, [2] mystique atau sifat yang menganggap seluruh
alam diliputi kekuatan gaib tertentu, dan [3] prelogique atau anggapan bahwa sesuatu hal ada
dan juga tidak ada pada suatu tempat dan saat. Dalam perkembangannya, ternyata ia
menarik teorinya, meskipun hal itu baru diumumkan setelah kematiannya.Pertanyaan
penarikan kembali teorinya itu ditemukan ketika catatan-catatannya dikumpulkan dan
diterbitkan.
Bab VI berisi teori-teori tentang difusi kebudayaan. Gejala persamaan unsur-unsur
kebudayaan di berbagai tempat didunia disebabkan karena persebaran atau difusi dari unsurunsur tersebut. Kebudayaan manusia pangkalnya hanya satu, di tempat tertentu kemudian
menyebar dan pecah dalam berbagai kebudayaan yang baru. Metode klasifikasi unsur-unsur
kebudayaan dari berbagai tempat dimuka bumi diterangkan dalam bukuMethode de
Ethnologie oleh Graebner.Melalui prosedur klasifikasi kultuurkreise umat manusia, akan
tampak gambaran difusi unsur-unsur kebudayaan di masa lampau. Jumlah unsur tersebut
mencapai ribuan sehingga mengakibatkan belum ada ahli yang berhasil mengklasifikasikan
semua kebudayaan didunia. Oleh karenanya proses rekonstruksi juga belum pernah
dilakukan kembali, Inilah kelemahan dari metodeklasifikasi
dari
kebudayaan
bangsa
Indian
yang
tinggal
berpencar
di
Amerika
begitu penting karena lebih banyak menitik beratkan ilmu bahasa dan ilmu kasusasteraan
hingga masa pergerakan Cina komunis di Asia membuat aktivitas penelitian antropologi mulai
meningkat sejak 1956 atas sokongan dari pemerintah. Namun, pada masa Mao Tse Tung,
ahli antropologi budaya mendapat kontrol penuh oleh pemerintah dan mereka lebih mirip
sebagai ahli pencatat folklore daripada peneliti.
Bab ke IX, Koentjaraningrat memaparkan teori-teori fungsional-struktural. Pertama
dijelaskan
mengenai
fungsionalisme
Bronislaw
Malinowski
(18884-1942).
Etnografi
hubungan
mengintegrasikan
diadik
dan
metodologi
hubungan
ilmu
alam
diferensial.
dalam
ilmu
Adapun
sosial
gagasannya
tidak
pernah
untuk
sempat
diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Antropolog Amerika yang terkesan dengan Levis
Strausse adalah C Kluckholm, terutama mengenai pandangan tentang pertentangan dan
klasifikasi dualisme diadik dan konsentrikal dalam analisa mitologi, upacara keagamaan, ilmu
gaib dan sihir. Selain Kluckholm ada pulaa clifford Geertz,dan J.M Fox juga pernah
melakukan penelitian dii Indonesia. J.Fox merupakan tokoh yang benar-benar menunjukkan
jalan untuk lebih lanjut menerapkan metodologi analisa mitologi Levis strauss. Karyanya yang
terakhir tentang biografi antropolog di Nusa Tenggara diterbitkan dengan judulthe Flow of
Life (1980).
Ulasan
tentang
Buku
Sejarah
Teori
Antropologi
Sebagai guru besar antropologi Indonesia, pemikiran Prof Koentjaraningrat hingga
sekarang masih lazim digunakan sebagai dasar buku babon (wajib) bagi peminat didiplin
ilmu-ilmu humaniora. Keunggulan buku ini terletak pada pernyataan-pernyataan yang
tercantum dalam isi buku berkaitan dengani macam teori, konsep-konsep dasar antropologi
disertai dengan pengenalan beberapa tokoh antropologi diseluruh dunia. Selain membahas
fase-fase perkembangan ilmu antropologi, spesialisasi antropologi, hubungan antropologi
dengan disiplin ilmu lain. Kekuatan Prof Koentjaraningrat terletak pada caranya menarasikan
setiap informasi dengan begitu terstruktur, kronologis namun detail.
Terlihat sekali dalam 272 halaman Prof Koentjaraningrat ingin memasukkan segala
pengetahuannya terhadap perkembangan sejarah perkembangan antropologi sehingga isi
buku menjadi begitu padat disertai catatan kaki (footnote) yang tak kalah informatifnya dari isi
buku sendiri.
Footnote ditulis begitu lengkap dan rinci agar dapat menjadi rujukan
penelitian lebih lanjut, tak heran jika buku ini dijadikan pedoman wajib para mahasiswauntuk
memahami isi teks secara komprehensif dan menjadi bahan bacaan akademik yang mudah
dipahami.
Koentjaraningrat tak segan memberikan kritik terhadap berbagai macam teori dari para ahli
yang dihadirkan dalam buku dengan cara membandingkan teori satu tokoh dengan tokoh
antropologi yang lain. Hal ini dilakukan agar pembaca lebih kritis dan tidak terjebak dalam
alur telaah yang monoton dan kering informasi. Tak lupa diakhir Paragraf Prof
Koentjaraningrat selalu memberikan kesimpulan dari setiap bab yang telah diuraikan dengan
analisa-analisa yang mengerucut pada ide/ gagasan utama bab tersebut. Pembaca di ajak
untuk bisa menyelami bagaimana asusmsi dasar dari sebuah teori, lalu pembaca akan mulai
berfikir tentang bagaimana sebuah teori dikembangkan dan bagaimana pembaca bisa
mengaplikasikan dalam sebuah kegiatan penelitian.
Kemudahan lain yang saya temukan dibuku ini kaya akan penyertaan contoh-contoh studi
kasus yang juga dilengkapi dengan bagan, gambar, tabel, serta struktur skema yang
membantu pembaca memahami teks. Contohnya saat menjelaskan tentang metode segitiga
kuliner dan analisis sistem kekerabatan Levis strauss maka Prof Koentjaraningrat
melengkapinya dengan bagan hipotesa asas hubungan kekerabatan juga tabel
sikaphubungan kekerabatan antara enam suku bangsa sekaligus.
Walau demikian, dari sekian banyak kelebihan dari sebuah buku ini, agaknya Kritik
terus-menerus sangat dibutuhkan untuk mengasah ketajaman berpikir dan nurani intelektual.
Kritik adalah oksigen bagi dunia akademik yang telah mengalami banyak sekali polusi yang
menghambat proses demokrasi. Beberapa kritik saya terhadap buku Prof.Koentjaraningrat
ini adalah:
1. Determinasi yang dilakukan Prof Koentjaraningrat dalam memaparkan narasi
perkembangan antropologi khususnya pada saat mengidentifikasi masalah-masalah etnografi
masalah aneka warna manusia serta adat istiadat bangsa bangsa di eropa dan luar eropa
yang dibatasi abad 16 hingga 19 yang terkesan hanya melakukan pilah-pilah seperti
memisahkan buliran padi dari kulitnya, dibedakan baik secara geografis, statistik
kependudukan, mata-pencaharian, agama, anatomi, jenis kelamin yang selanjutnya
dimasukkan ke dalam kolom-kolom yang dikotak kotakkan. Selain itu contoh-contoh laporan
tentang kebudayaan di luar eropa hanya diambil dari informasi expedisi penjelajahan peneliti
barat yang tentu saja menggunakan kacamata eropa centris dalam mempersepsikan
kebudayaan suku bangsa dluar eropa. Sedangkan sumber pembanding yg menguraikan
kebudayaan
non
eropa
dari
masyarakat
indegenous
tidak
dipaparkan.
2. Cover buku terlihat monoton dan tidak menarik. Karena ilustrasi yang ditampilkan adalah
foto Prof.Koentjaraningrat. terlihat sekali betapa penerbit buku ini sadar akan kekuatan dan
kharisma beliau sebagai guru besar antropologi Indoesia sehingga pembaca akan langsung
yakin dengan kualitas isi buku dan segera memutuskan membeli buku ini dan bisa
mendongkrak penjualan buku. Namun over percaya diri tersebut akhirnya menjadikan buku
ini kurang kreatif. lihat saja bagaimana warna cover yang sama monotonnya dengan ilustrasi
yang hanya di block warna hijau. Untuk buku yang memuat perkembangan antropologi yang
begitu menarik maka cover semacam ini sangat buruk. Saran dari saya foto profil cukup
dicantumkan
di
belakang
buku
beserta
biografi
singkat
saja.
3. Masih banyak terdapat istilah asing yang tanpa disertai dengan terjemahan Indonesia, ini
sedikit membingungkan pembaca karena harus mencari maknanya sendiri. Kesalahan Ini
terlihat berulang setiap Prof.Koentjaraningrat mencoba menghadirkan informasi tentang teoriteori, konsep, pandangan dan tulisan tokoh antropologi barat. Mungkin ketiadaan eksplanasi
tersebut dikarenakan estimasi atas efisiensi halaman buku. Karena buku ini memang
ditujukan bagi kaum akademisi khususnya sebagai buku dasar panduan sarjanawan
humaniora maka sengaja tidak di pertebal bukunya dan dibagi dua jilid agar lebih ekonomis
dan dijangkau.
4. Kesalahan Tata bahasa yang tidak baku dan penulisannya tidak sesuai EYD sangat
mengganggu. Terlebih untuk peminat bacaan bacaan ilmiah yang sudah terbiasa dengan struktur
penulisan resmi hal ini sangat memusingkan pembaca. Kekurangan editor juga terlihat dari
beberapa diksi yang tidak efektif serta pengulangan kata yang memiliki makna yang seharusnya
bisa dipadatkan sehingga alur cerita tidak terkesan bertele-teledan pemborosan kata bisa dihindari.
Demikianlah kelebihan dan kekuarangan buku sejarah antropologi Jilid I, dan pasca
penerbitan buku lanjutannya Hampir lebih dari enam tahun dari penerbitan Jilid I, maka buku
Jilid II memang memiliki perbaikan dalam kaidah tata bahasa yang sesuai dengan EYD. Hal
ini menandakan buku jilid I memang telah mengalami revisi dan metode penulisan yang lebih
baik.