Anda di halaman 1dari 20

TRANSFORMASI KONFLIK

(CONFLICT TRANSFORMATION)

MAKALAH

Diajuakan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Konflik


Dosen Pengampu, Ns. Cici Kusnadi, S.Kep.,MM

Disusun Oleh :

Tini
Riki
Karmin
Nurhayati
Imron Maulana

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
MUHAMMADIYAH GARUT
2022
TRANSFORMASI KONFLIK
(CONFLICT TRANSFORMATION)

Oleh
Karmin, Imron Mulana, Tini, Riki, dan Nurhayati
Mahasiswa STAI Muhammadiyah Garut

A. Pendahuluan
Naskah makalah yang akan disusun sesuai dengan tema yang diberikan
oleh Dosen pengampu mata kuliah yaitu tentang transformasi konflik, yang
merupakan bagian subtema dari mata kuliah manajemen konflik. Manajemen
Konflik dapat dianggap sebagai suatu pendekatan terhadap pengelolaan
konflik yang menyediakan kerangka kerja strategis untuk mendukung tujuan
dan hasil bisnis jangka pendek hingga jangka panjang. Pendekatan ini
berkaitan dengan konsep konflik dan strategi untuk mengelola konflik secara
dalam.
Transformasi konflik mencakup berbagai proses dan pendekatan yang
diperlukan untuk membawa konflik secara konstruktif dalam konteks dan
tingkatan yang berbeda, dalam jangka waktu panjang ataupun pendek.
Transformasi konflik juga bergerak bersama dengan perjanjian yang terjadi dalam
sebuah konflik, sama seperti pengelolaan dan resolusi konflik.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk agar seluruh mahasiswa
mampu memahami materi sesuai tema yang diberikan oleh dosen, diantaranya
; 1) Memahami dan terampil dalam teori utama konflik dan resolusi dalam
konteks global. Mahasiswa akan dapat belajar bagaimana kritis menilai peran
faktor material, irasionalitas, identitas, dan keadilan subjektif. Mahasiswa juga
akan belajar untuk membedakan antara sumber struktural dan relasional dari
konflik dan efektif membahas dinamika situasi konflik dan teori-teori yang
mendasari perubahan mengenai intervensi potensial. Mereka akan memahami
hubungan dari teori ke praktek dan sebaliknya. 2) Mengembangkan
keterampilan praktis dalam analisis konflik, negosiasi, komunikasi, interaksi
lintas budaya, dan akan memperkuat kemampuan mereka untuk bekerja secara
efektif dengan kelompok-kelompok dalam konteks yang beragam. Mereka
juga akan belajar keterampilan dasar utama dalam mediasi, dialog, fasilitasi,
dan proses inti lainnya di lapangan. 3) Memahami bidang penyelesaian
konflik, sejarah, institusi (termasuk donor, lembaga kebijakan, dan pelaksana),
dan perdebatan etis dan praktis saat ini. 4) Mampu melakukan analisis konflik
dalam masyarakat dan untuk menerapkan teori praktis. Mahasiswa akan
mengembangkan pemahaman tentang peran pihak ketiga, kompleksitas
intervensi dalam situasi konflik, dan etika inti, seperti tidak membahayakan
dan kepekaan budaya. 5) Mampu mengeksplorasi bagaimana
mengintegrasikan keterampilan resolusi konflik dan prinsip-prinsip di
berbagai sektor. Mereka juga akan mendapatkan kemampuan untuk
membahas tantangan dan peluang dalam membangun perdamaian integratif.
6) Mampu mengasah kemampuan membaca, menulis, penelitian, dan
komunikasi lisan mereka. Mereka akan mulai berpikir secara holistik tentang
konflik dan tahu bagaimana untuk mengumpulkan data dari sumber-sumber
primer dan sekunder. 7) Mengenal aspek-aspek dasar dari konflik penelitian
terkait seperti penilaian konflik, pemetaan masyarakat, menjelajahi peran dan
kebutuhan beberapa pihak, dan memeriksa peran intervensi potensial.

B. Metode
Penyususnan makalah ini dikerjakan secara bersama sesuai kelompok
tugas dengan menggunakan pendekatan kualitatif. melalui metode library
research. Pada penyusunan makalah ini yang akan dilakukan dengan
menggunakan teknik pengumpulan dan pengambilan data melalui buku- buku, e-
book, jurnal ilmiah, hasil penelitian, artikel dan opini media cetak, website dan
sumber dokumen tertulis lain yang bisa dijadikan sebagai sumber informasi dan
data untuk bisa dianalisis.
Data yang sudah dikumpulkan dari berbagai sumber berupa buku-buku
teks, e-book, jurnal ilmiah, hasil penelitian, artikel dan opini di media cetak,
website dan sumber dokumen tertulis lain dipisahkan dalam dua klasifikasi, yaitu
kelompok data primer dan kelompok data sekunder. Yang masuk dalam kategori
data primer yaitu data yang bersumber dari buku-buku teks, e-book, jurnal ilmiah
dan artikel ilmiah. Sedangkan data sekunder terdiri dari data yang diperoleh dari
artikel dan opini media cetak, dokumentasi organisasi, dan website.
Analisis data dilakukan melalui tiga prosedur yang biasa dilakukan dalam
penelitian kualitatif, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan verifikasi yang
berakhir pada penarikan kesimpulan. Setelah rangkaian data terkumpul, reduksi
data dilakukan melalui pemilahan dan pengklasifikasian data, klasifikasi data
dilakukan didasarkan jenis data yang terkumpul dari catatan-catatan yang ada
tentang obyek dan materi makalah, selanjutnya data yang sudah dipilah akan
dirangkum dan difokuskan pada persoalan yang akan dianalisis, data yang tidak
terpakai akan disingkirkan agar tidak mempengaruhi data pokok yang akan
diuraikan dalam analisis.
Selanjutnya dilakukan konfirmasi data yang merupakan verifikasi data dan
pendalaman data untuk selanjutnya dilakukan analisis data sesuai dengan
konstruksi pembahasan hasil penyusunan makalah yang diinginkan agar berhasil
ditarik kesimpulan yaang tepat dan mampu menampilakan isi pembahasan sesuai
dengan tema yang diajukan. Pada tahap ini, pengolahan data dianggap optimal
apabila data yang diperoleh sudah layak dianggap lengkap dan dapat
merepresentasikan tema makalah yang disusun.

C. Pembahasan
Makalah ini akan membahas beberapa tema yang berkaitan dengan
keadaan konflik yang biasa terjadi disekitar organisasi mahasiswa, mulai dari
hakikat sampai dengan kejadian konflik secara objektif. Berikut pembahasannya
akan disajikan dalam masing-masing bagian tema yang di kutif dari jurnal
penelitian (Abdul Aziz SR, 2019).
1. Hakikat Konflik
Konflik (conflict) – dari bahasa Latin configere yang berarti saling
memukul – dalam literatur Ilmu-ilmu sosial dan Ilmu Politik secara umum
dipahami sebagai pertentangan atau perselisihan antarkelompok dan
antarwarga dalam kehidupan sosial dan politik karena berbagai sebab dan
kepentingan-kepentingan.
Konflik biasanya melibatkan pertentangan antara dua pihak atau lebih
mengenai nilai, atau anggapan yang dipandang tinggi. Konflik bisa saja
berawal dari perbedaan nilai susila, misalnya. Lalu, konflik sesungguhnya
dapat melibatkan tiga hal yaikni status, kekuasaan, dan sumber daya yang
langka. Akan tetapi, tiga sumber atau akar konflik itu terkadang muncul secara
samar. Karena itu, penjelasaan akar konflik lebih cenderung multiargumen
ketimbang satu argumen saja.
Sosiolog Ted Gurr menyebutkan sedikitnya empat ciri konflik, yaitu:
[1] dua atau lebih pihak yang terlibat; [2] mereka terlibat dalam tindakan yang
saling memusuhi; [3] mereka menggunakan tindakan kekerasan yang
bertujuan untuk menghancurkan, melukai, dan menghalang-halangi lawannya;
dan [4] interaksi yang bertentangan ini bersifat terbuka sehingga bisa dideteksi
dengan mudah oleh para pengamat independent.
Konflik melibatkan berbagai aktor, seperti: para protagonis yang
tercipta dalam konflik; mereka yang memiliki pengaruh besar, termasuk para
pendukung dari berbagai sikap, proses, dan hasil yang terjadi dari konflik;
para penghubung dan mediator (juga termasuk para pedagang senjata, pelaku
pasar gelap dan pemeras, para provokator dan penghasut yang memanipulasi
konflik demi kepentingan pribadi). Sistem nilai budaya yang acapkali
mengelompokkan masyarakat dalam hubungan yang cenderung kompetitif dan
dominatif ketimbang hubungan yang bersifat koperatif; makan atau dimakan,
kalah atau mengalahkan. Proses ini pada akhirnya menumbuhkembangkan
kembali hukum purba, yakni siapa yang kuat dialah yang membuat hukum.
Dasar asumsi ini selanjutnya menggiring pikiran kita pada pengesahan praktik
pembantaian, teror nuklir, perang bintang, dan sebagainya. Ketika kita
berpikir tentang konflik, ingatan kebanyakan tertuju pada bayangan rasa
sakit, penderitaan, dan kematian yang muncul sebagai dampak dari
kekerasan atau peperangan.
Sesungguhnya asumsi ini tidak sepenuhnya benar. Sebab, tidak
selamanya konflik memiliki kaitan erat dengan kekerasan dan penderitaan.
Hingga tingkatan tertentu konflik diperlukan dalam masyarakat, misalnya
untuk menciptakan perubahan-perubahan. Konflik membawa kita pada
klasifikasi pilihan-pilihan dan kekuatan untuk mencari penyelesaiannya.
Konflik selalu memiliki dua sisi. Secara inheren konflik membawa potensi
risiko dan peluang. Konflik juga menciptakan energi. Energi dapat bersifat
destruktif atau kreatif, atau gabungan keduanya.
Konflik mengandung makna “kaleodoskop”. Konflik merupakan
drama yang dapat dianalisis sebagian dengan memahami siapa, apa, di mana,
kapan, dan mengapanya. Kebanyakan konflik itu seperti rashomon. Tidak ada
kebenaran utuh yang berdiri sendiri, melainkan berbagai konstruksi dari realita
satu titik tolak yang sama adalah untuk memahami berbagai makna yang
dikandung oleh sebuah konflik.
Bagi Coser, konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau
tuntutan-tuntutan yang berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber
kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi, di mana pihak-pihak yang
berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan,
melainkan juga memojokkan, merugikan, atau menghancurkan lawan mereka.
Konflik dapat berlangsung antara individu-individu, kelompok- kelompok,
atau individu dengan kelompok.
Dalam konteks ini, konflik memiliki tujuan tertentu yakni untuk
mempertahankan yang selama ini sudah dimiliki sekaligus merupakan
kecenderungan hidup manusia. Manusia ingin memelihara sumber-sumber yang
menjadi miliknya, dan berupaya mempertahankan dari usaha pihak lain untuk
merebut atau mengurangi sumber-sumber tersebut. Yang ingin dipertahankan
bukan hanya harga diri, keselamatan hidup, dan keluarganya, melainkan juga
wilayah/daerah tempat tinggal, kekayaan, dan kekuasaan yang dimiliki. Selain
ingin mempertahankan, juga ingin mendapatkan sumber-sumber itu. Jadi,
dapat disederhanakan bahwa konflik memiliki dua tujuan yakni mendapatkan
dan mempertahankan sumber-sumber yang dimiliki.
2. Teori Konflik
Tokoh-tokoh Darwinisme Sosial menggunakan konsep-konsep
struggle dan survival of the fittest dalam melukiskan kehidupan bersama.
Vilfredo Pareto telah menerangkan pergolakan dunia menjelaskan pergolakan
dunia politik sebagai akibat mekanis pertentangan antara dua tipe individu,
yakni the lions dan the foxes yang keduanya secara bergilir menunggu
kesempatan untuk berkuasa. Lalu, Sumner memunculkan konsep “kerjasama
yang antagonistis” yang diandaikan mewakili inti hakikat masyarakat.
Sementara itu, Marx mencoba memahami seluruh kehidupan sosial-budaya
menjadi ditentukan oleh pertentangan antarkelas yang terlibat dalam proses
produksi yakni kelas kapitalis (yang mengontrol alat-alat produksi) dan kelas
proletariat (yang diandaikan hanya berhak melahirkan keturunan). Tetapi,
Simmel dan juga Weber memandang konflik sebagai sesuatu yang tak
terhindarkan dan turut memainkan peran positif dalam mempertahankan
masyarakat serta memupuk rasa persatuan.
Dalam konteks teori-teori konflik mikro, terdapat asumsi-asumsi kaum
behavioris, misalnya, yang meyakini bahwa akar penyebab perang itu terletak
pada sifat dan perilaku manusia dan keyakinan bahwa ada hubungan yang erat
antara konflik intrapersonal dan konflik yang merambah tata-sosial eksternal.
Kaum behavioris meyakini peran sentral hipotesa stimulus-respons. Penganut
aliran ini berusaha mengukuhkan apakah manusia memiliki karakteristik
biologis atau psikologis yang akan membuat kita cenderung kearah agresi atau
konflik.
Teori pembelajaran sosial (social learning theory) berdasar hipotesa
bahwa agregasi bukanlah sifat dasar bawaan (innate) atau naluri/instink
(instinctual) melainkan hasil pembelajaran melalui proses sosialisasi. Hipotesis
ini adalah pendirian/ pendapat, seseorang memperoleh sifat agresi dengan cara
mempelajari dari rumah, sekolah, dan dari interaksinya dengan lingkungan pada
umumnya. Interaksi dalam masyarakat itu membantu memusatkan dan memicu
sifat agresi yang terpendam terhadap musuh. Konsep ini penting terutama ketika
konflik itu bersifat etno-nasional atau sektarian.
Sementara teori-teori konflik makro, di mana para ahli sependapat
bahwa kekuasaan itu datang dalam berbagai bentuk: ekonomi, politik, militer,
bahkan budaya. Asumsi umum makro atau teori klasik adalah bahwa akar
konflik berasal dari persaingan kelompok dalam pengejaran kekuasaan dan
sumber-sumber. Asumsi-asumsi ini beroperasi pada faktor-faktor motivasi sadar
dalam lingkungan yang berorientasi material. Dalam teori makro terdapat
seperangkat konsep yang dapat diambil dari studi konflik etnis. Di sinilah
letak pentingnya pemahaman konflik etnonasional karena konsep yang sama
dapat diterapkan pada konflik sektarian. Dalam masyarakat yang sangat
terpecah-pecah, persoalan etnis merasuk ke dalam banyak sekali masalah
rencana pembangunan,kontroversi pendidikan, masalah perdagangan,
kebijakan pertanahan, kebijakan ekonomi, dan perpajakan.
Meskipun agama dan kehilangan ekonomi mungkin merupakan faktor
penunjang terhadap timbulnya konflik etnis, maka oposisi terhadap identitas
nasionallah yang menentukan konflik. lnilah yang merupakan pedoman yang
buruk bagi perilaku yang diilhami oleh etnonasional. Salah satu konsep kunci
dan berlawanan untuk perilaku etnonasional adalah tidak digerakkan oleh elit,
sebagaimana fenomena politik lainnya, tetapi hal ini digerakkan oleh massa.
Teori kebutuhan manusia, yang mengacu pada hipotesis bahwa
manusia mempunyai kebutuhan- kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk
memelihara masyarakat yang stabil. Keterlibatan manusia dalam situasi
konflik mendorongnya berjuang di dalam lingkungan kelembagaannya pada
setiap tataran sosial untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primordial dan
universal, seperti keamanan, identitas, pengakuan, dan pembangunan. Mereka
terus berusaha menguasai lingkungannya yang diperlukan untuk menjamin
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Perjuangan ini tidak bisa dikekang,
dan perjuangan ini sifatnya primordial.
Di dalam Sosiologi Konflik, dibedakan dengan tegas antara perasaan-
perasaan subyektif (amarah, kebencian, antipati, keinginan balas dendam, dan
sebagainya) dan relasi-relasi pertentangan yang objektif dan struktural.
Analisis konflik lebih memberi perhatian terhadap relasi-relasi
pertentangan yang objektif dan struktural.

3. Penyebab Terjadi Konflik


Fox, misalnya, mengidentifikasi setidaknya sepuluh faktor penyebab
terjadinya konflik, yakni: [1] masalah atau persoalan tertentu; [2] kebencian
pribadi; [3] pembelaan diri; [4] perluasan dari satu persoalan; [5] kurangnya
komunikasi; [6] budaya “tertutup”; [7] ketegangan; [8] meningkatnya
keraguan; [9] polarisasi; dan [10] diskriminasi, kekerasan, dan gangguan.
Konflik yang merebak di Indonesia merupakan konflik komunal
(horizontal) yang berbasis isu agama dan etnis serta faktor tingkat
kesejahteraan yang tidak merata. Pengalaman di manapun, konflik yang
berbasis isu agama dan etnis sangat mudah menjadi konflik kekerasan dan
menarik keterlibatan aktor lintas regional serta sangat sulit untuk diselesaikan.
Sebabnya, ia cenderung melampaui batas-batas geografis dan tidak mudah
untuk dinegosiasikan, serta tidak rasional.
Berdasarkan studinya tentang konflik di daerah-daerah perbatasan di
Papua, Hendrajaya, et al, menemukan sejumlah faktor penyebab terjadinya
konflik, yakni: [1] ketidakseimbangan pembangunan; [2] pengerukan
sumberdaya alam; [3] kekerasan pada rakyat; [4] kuatnya etnisitas pada
masyarakat setempat; [5] jauh dari pusat pemerintahan; [6] modernisasi yang
keliru atau dipaksakan; [7] distribusi ekonomi, posisi, atau jabatan yang
tidak seimbang; [8] persepsi yang keliru dari pemerintah pusat terhadap
masyarakat lokal. Sementara itu, konflik dapat ditelusuri dari sumber-sumber
terjadinya.
Di tingkat global, konflik setidaknya berasal dari tiga sumber:
[1] keesenjangan yang lebar dan telah berlangsung lama dalam distribusi
kekayaan dunia dan kekuasaan ekonomi; [2] hambatan lingkungan yang
memengaruhi manusia yang diperbudak oleh konsumsi energi yang berlebihan
dalam dunia yang sedang berkembang dan meningkatnya populasi di negara
yang belum berkembang, yang membuat kesejahteraan masyarakat sulit
ditingkatkan oleh pertumbuhan ekonomi konvensional; dan [3]
berlanjutnya militerisasi dalam relasi keamanan, termasuk perkembangan
persenjataan mematikan. Menurut Domer dan Dixon, sebagai akibat dari tiga
sumber konflik global itu, dapat memunculkan tiga jenis konflik, yakni: [1]
konflik sumberdaya yang terbatas antarnegara (minyak, air, ikan, tanah);
konflik identitas-kelompok yang diperburuk oleh perpindahan populasi
berskala besar; dan konflik perampasan-relatif terutama pada tingkat domestik
ketika kesenjangan antara harapan dan kenyataan semakin melebar.

4. Metode Transformasi Konflik


Transformasi konflik, menurut Lederach, adalah suatu impian (envision)
dan upaya merespons terhadap pasang-surut (ebb) dan gelombang dari konflik
sosial sebagai kesempatan yang diberikan oleh kehidupan untuk menciptakan
proses perubahan sosial yang konstruktif di mana dapat mengurangi kekerasan,
meningkatkan keadilan, dalam interaksi langsung dan struktur sosial, berikut
merespons masalah manusia dalam hubungan kemanusiaan. Transformasi
konflik lebih dari sekedar teknik-teknik yang spesifik. Menurut
Lederach, tranformasi konflik merupakan suatu cara untuk melihat konflik
secara utuh dengan menyimak secara sebaik. Dalam pendekatan resolusi
konflik, menurutnya, terkadang para peneliti (dan mediator) lebih cenderung
untuk melihat secara detail terfokus kepada kasus-kasus yang terjadi
sehingga menghalangi pemikiran melihat konteks konflik secara utuh. Untuk
itu diperlukan suatu cara pandang yang berbeda.
Dinamika konflik terutama yang sudah pada tingkatan luas, akan lebih
kompleks dan rumit. Proses perdamaian sendiri selalu membutuhkan waktu.
Tak ada penyelesaian yang cespleng, yang secara instan dapat menciptakan
perubahan. Pada kasus konflik di Irlandia Utara, misalnya, sebuah perjanjian
dinamakan The Good Friday Agreement (Perjanjian Jum’at Agung,
dilaksanakan pada hari kamatian Yesus Kristus) ditandatangani
stakeholders utama konflik setelah berlangsung selama 30 tahun. Demikian
pula dalam kasus Afrika Selatan, pemerintah setempat mempersiapkan komisi
kebenaran dan rekonsiliasi pada 1995. Komisi ini dibentuk dengan tujuan
mempromosikan persatuan dan rekonsiliasi nasional dengan semangat
memahami proses konflik dan perpecahan di masa lalu.

a. Metode Empat Tahap


Secara empirik, transformasi konflik dilakukan dalam empat tahap.
Tahap pertama masih didominasi oleh strategi militer yang berupaya untuk
mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi. Tahap ini disebut de-
eskalasi konflik. Tahap kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk
memulai proses re-integrasi elite politik dari kelompok-kelompok yang
bertikai. Tahap ketiga lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan
problem-solving approach. Tahap keempat memiliki nuansa kultural yang
kental karena tahap ini bertujuan untuk melakukan perombakan-perombakan
struktur sosial-budaya yang dapat mengarah ke pembentukan komunitas
perdamaian yang langgeng.
De-eskalasi konflik. Dalam tahap ini, konflik yang terjadi masih
diwarnai oleh pertikaian bersenjata yang memakan korban jiwa sehingga
pengusung resolusi konflik berupaya untuk menemukan waktu yang tepat
untuk memulai (entry point) proses resolusi konflik. Proses resolusi konflik
dapat dilakukan jika mulai didapat indikasi bahwa pihak-pihak yang bertikai
akan menurunkan tingkat eskalasi konflik.
Intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik. Ketika de-eskalasi
konflik sudah terjadi, maka proses resolusi konflik dapat dimulai bersamaan
dengan penerapan intervensi kemanusiaan untuk meringankan beban
penderitaan korban- korban konflik. Intervensi kemanusiaan dilakukan dengan
menerapkan prinsip mid-war operations. Prinsip ini mengharuskan intervensi
kemanusiaan untuk tidak lagi bergerak di lingkungan pinggiran konflik bersenjata
melainkan harus bisa mendekati titik sentral peperangan. Tahap ini kental dengan
orientasi politik yang bertujuan mencari kesepakatan politik (political
settlement) antar-aktor konflik.
Problem-solving approach. Tahap ini diarahkan untuk menciptakan
suatu kondisi yang baik dan memungkinkan bagi pihak-pihak antagonis untuk
melakukan transformasi suatu konflik yang spesifik ke arah resolusi.
Transformasi konflik dapat dikatakan berhasil jika dua kelompok yang
bertikai dapat mencapai pemahaman timbal-balik (mutual understanding)
tentang cara untuk mengeskplorasi alternatif-alternatif penyelesaian konflik
yang dapat langsung dikerjakan oleh masing-masing komunitas.
Peace-building. Pada tahap ini ada proses transisi, rekonsiliasi, dan
konsolidasi. Tahap ini merupakan yang terberat dan memakan waktu cukup
lama karena memiliki orientasi struktural dan kultural. Ben Reily (2000),
berusaha mengembangkan berbagai mekanisme transisi demokrasi bagi
masyarakat pascakonflik, meliputi: [1] pemilihan bentuk struktur negara;
pelimpahan kedaulatan negara; pembentukan sistem trias-
politica; pembentukan sistem pemilihan umum; pemilihan bahasa
nasional untuk masyarakat multi-etnik; dan [6] pembentukan sistem peradilan.

b. Metode Lima Pendekatan


Solidaritas Perempuan untuk Hak Asasi Manusia menawarkan formula
yang sering digunakan selama ini, termasuk pula yang dianjurkan oleh Miall
et.al, yakni 5 (lima) pendekatan menghadapi konflik, meliputi kompetisi,
akomodasi, menghindar, kompromi, dan kolaborasi.
Kolaborasi, berarti mencari persetujuan yang saling menguntungkan
dalam pemecahan masalah dengan prinsip “dua kepala lebih baik dari satu”.
Konflik dalam konteks ini dipahami sebagai sesuatu yang alami, karena itu
perbedaan harus diterima dan keunikan setiap orang harus dihargai.
Kolaborasi memiliki kelebihan yakni kedua pihak mendapatkan apa yang
mereka inginkan dan perasaan negatif bisa dikurangi. Target yang hendak
dicapai, kedua belah pihak sama-sama menang (win-win solution).
Kompromi, berarti memerhatikan hubungan dengan pihak lain
sekaligus ada tujuan pribadi. Ada kesediaan mengorbankan beberapa tujuan
sambil tetap meyakinkan pihak lain untuk menyerahkan bagiannya sekaligus.
Konflik dalam konteks ini dipahami sebagai perbedaan yang saling
menguntungkan yang bisa dipecahkan dengan cara kerja sama dan
berkompromi. Target yang hendak dicapai adalah koperatif – hasilnya bisa
menang-kalah atau kalah-kalah.
Akomodasi, berarti menerima pandangan dari pihak lain dan
membiarkan pandangan tersebut menang sementara dirinya sendiri menyerah,
mendukung, atau mengaku salah. Ia memutuskan bahwa perbedaan ini bukan
masalah besar atau bukanlah masalah sama sekali. Target yang hendak dicapai
adalah menciptakan situasi menang-kalah untuk pihak lain.
Penghindaran, berarti menunda atau menghindari respons, menarik diri,
mengalihkan perhatian, lebih suka bersembunyi, dan mengabaikan konflik
daripada menyelesaikannya, tidak kooperatif, cenderung mengalah dan
menampilkan tingkahlaku pasif. Prinsipnya adalah “Saya lebih suka tidak
menghadapinya sekarang”. Target yang hendak dicapai adalah menciptakan
situasi kalah-kalah (lose-lose).
Kompetisi, berarti mengontrol hasil akhir, tidak menerima perbedaan
pendapat, memaksakan pandangan, dan berorientasi pada tujuan, sementara
hubungan ditempatkan pada prioritas rendah. Orang-orang ini terkadang tidak
segan menggunakan perilaku agresif untuk memecahkan masalah, tidak kooperatif,
cenderung mengancam dan mengintimidasi, serta sangat membutuhkan
kemenangan sehingga harus mengalahkan pihak lain. Target yang hendak
dicapai adalah menciptakan situasi menang-kalah.

5. Transformasi Konflik: Tahapan dan Proses


Francis, menjelaskan tahap-tahap transformasi konflik diawali dengan
situasi di mana penindasan (pengucilan) yang begitu lengkap sehingga konflik
itu akan tersembunyi (laten), dan kelompok yang tertindas akan tetap bersikap
pasif di hadapan ketidakadilan atau kekerasan struktural. Agar kondisi ini dapat
berubah, beberapa individu atau kelompok perlu merefleksikan dirinya, agar
mengerti dan dapat mengungkapkan pendapatnya tentang apa yang sedang
terjadi dan mendorong orang-orang untuk melakukan hal yang sama. Inilah
yang disebut sebagai “penyadaran hati-nurani”.
Beberapa kelompok yang tertindas memilih untuk menggunakan
kekerasan dalam perjuangannya, karena mereka tidak melihat tindakan selain
kekerasan sebagai pilihan yang praktis. Namun untuk memilih tindakan selain
kekerasan terdapat pilihan yang merupakan strategi murni atau prinsip dari
tindakan anti-kekerasan. Istilah “transformasi konflik” terletak pada pilihan
anti-kekerasan.
Jika kekuatan dan visi mereka meningkat, sementara suara mereka
mulai terdengar, kelompok-kelompok ini akan semakin dilihat sebagai
ancaman bagi pihak penguasa, dan kondisi dari tahapan konfrontasi terbuka
pun tidak dapat terelakkan. Sebuah tahap yang mungkin juga melibatkan
tindakan penindasan, termasuk kekerasan fisik, di pihak penguasa, bahkan
kelompok yang tertindas memiliki pilihan untuk melaksanakan tindakan anti-
kekerasan. Begitu kelompok yang tertindas telah meningkatkan kekuatan
relatifnya, mereka bisa diharapkan untuk dipandang sebagai partner yang
serius dalam dialog.
Pada tahap ini, akan dimulai proses pengelompokan bersama
yang digambarkan sebagai “resolusi konflik”, di mana komunikasi telah terjalin
dan persetujuan telah tercapai sangat mungkin untuk dilaksanakan. Hubungan
positif ini akan dikonsolidasikan dalam proses jangka panjang dari penciptaan
perdamaian, dan diekspresikan dalam berbagai institusi sosial, politik, dan
ekonomi. Namun, masyarakat tidak akan pernah bersifat statis dan pada
kenyataannya, tahap akhir dari “perdamaian” akan menjadi sebuah proses
(terbentuk dari ribuan proses) dari pelestarian kesadaran, pendidikan,
pengelolaan perbedaan, dan penyesuaian serta perjanjian dalam setiap
tingkatan, agar beberapa situasi penindasan yang baru – atau sumber besar
konflik lainnya – tidak terbentuk, dan hubungan yang adil dan damai dapat
dipertahankan.
6. Transformasi Konflik Tidak Simetris
Di dalam konfik yang tidak simetris, transformasi memiliki peran
penting tertentu di mana tujuan utamanya adalah mentransformasikan
hubungan sosial yang tidak adil. Konflik simetris merupa- kan konflik
kepentingan antara pihak-pihak yang relatif sama. Sedangkan konflik tidak
simetris terjadi antara pihak-pihak yang tidak sama sepeti konflik antara
minoritas dan mayoritas, pemerin- tahan yang sudah mapan dan pemberontak,
maji- kan dan karyawannya, dan seterusnya.
Bila terjadi konsensus berarti penyelesaian konflik berhasil dicapai.
Karena itu konsensi merupakan substansi penyelesaian konflik. Kon- sensus
terbentuk bila pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi berhasil mencapai
titik temu, yakni pendapat yang sama sehingga tidak ada masalah dalam
hubungan sosial tersebut dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya sama-
sama mendapat keuntungan/manfaat yang wajar dari hubungan tadi. Duverger
menyebut hal ini sebagai kompromi.
Perserikatan Bangsa-Bangga mencatat sebanyak 75 persen dari konflik
besar yang terjadi di dunia saat ini berakar pada dimensi kultural. PBB pun
mencanangkan dialog untuk menjembatani budaya demi menciptakan
perdamaian. Tindakan sederhana yang disarankan, misalnya merayakan
keberagaman budaya, antara lain mengunjungi pameran kebudayaan serta
mendengarkan musik dari kebudayaan berbeda. Sejak 2002, PBB menetapkan
21 Mei sebagai Hari Dialog dan Keberagaman, berawal saat UNESCO yang
mengeluarkan Deklarasi Universal tentang Keberagaman Budaya.

7. Transformasi Konflik Mahasiswa


Contoh kasus ini diambil dari penelitian (Ragil Setya Budi, 2018) yang
dilakukan di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Menurut Lederach (2003)
Transformasi konflik adalah suatu konsep dalam melihat kondisi konflik
sosial yang pasang surut dalam berkehidupan sosial sehingga menghasilkan
kondisi yang membangun dengan meminimalisir kekerasan, meningkatkan
keadilan dalam interaksi langsung maupun dalam struktur sosial serta melihat
kondisi hubungan antar-manusia. Lederach (2003) juga menjelaskan
pemaknaan transformasi konflik dengan memberikan perumpamaan yang
menarik bahwa transformasi konflik sama seperti proses perjalanan hidup
menjadi manusia yang menggunakan 3H 1L (Head, Heart, Hand and Legs)
untuk mencapai tujuan.
Ada 4 tema besar yang dapat dilihat dari bagaimana proses
transformasi konflik sosial yang dilakukan oleh aktivis organisasi
mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta terhadap isu-isu yang
berkembang di lingkungan sekitarnya, yaitu bagaimana pemahaman para
aktivis organisasi mahasiswa terhadap konflik sosial, adakah emosi-emosi
yang muncul ketika melakukan proses transformasi konflik sosial, adakah
langkah-langkah ataupun kegiatan yang dilakukan aktivis organisasi
mahasiswa dalam proses transformasi konflik sosial, serta bagaimana
komitmen serta landasan yang mendorong keterlibatan para aktivis dalam
proses transformasi konflik sosial.
Dapat dijelaskan bahwa dalam pemahamannya, berdasarkan data yang
telah didapatkan, mayoritas jawaban yang muncul dari informan menunjukkan
bahwa mayoritas aktivis organisasi mahasiswa di Universitas Muhammadiyah
Surakarta paham mengenai aspek-aspek konflik sosial, seperti makna dari
konflik dan konflik sosial, apa saja contoh-contoh konflik sosial yang pernah
terjadi, serta apa saja hal yang dapat memunculkan terjadinya konflik sosial.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik sosial menurut para aktivis
ialah suatu permasalahan-permasalahan yang terjadi ditengah masyarakat.
Hal-hal yang dapat memunculkan konflik sosial tersebut lebih didominasi
oleh komunikasi yang terhambat dari kedua belah pihak. Adapun untuk
contoh konflik sosial yang sering terjadi ditengah masyarakat ialah pertikaian
akibat penggusuran, tawuran antar warga maupun pelajar, hingga pada isu
kekinian seperti ujaran kebencian di media sosial. Hal ini sesuai dengan teori
behaviouristik dari Bloom (dalam Gunawan dan Palupi,2012) yang
menyatakan bahwa dalam proses berperilaku, tahap pertama yang akan dilalui
ialah pada fase kognitif, atau fase dimana seseorang menggunakan
kemampuan berfikirnya terhadap kondisi yang terjadi disekitarnya. Dari data
tersebut juga ditemukan sebagian kecil aktivis mahasiswa yang masih belum
paham mengenai apa itu konflik sosial serta aspek-aspek didalamnya.
Selain itu, dalam proses transformasi konflik sosial para aktivis juga
menggunakan emosi serta perasaannya saat menghadapi kejadian tersebut.
Dari data yang telah diperoleh dapat dilihat bahwa mayoritas aktivis
organisasi mahasiswa menggunakan emosi serta perasaannya dalam proses
transformasi konflik sosial. Dalam hal tersebut dapat dilihat pula ada dua
tipe emosi yang muncul dari aktivis mahasiswa yaitu emosi positif dan emosi
negatif. Adapun emosi positif yang seringkali muncul dari para aktivis ini
ialah seperti perasaan yang tenang dalam menghadapinya, ikhlas dalam
menerimanya, hingga perasaan- perasaan yang memacu dirinya dalam proses
penyelesaiannya. Sedangkan untuk emosi negatif yang muncul seperti, panik,
tidak tenang, hingga takut jika tidak bisa melewatinya. Seperti yang dikatakan
oleh Albin (dalam Setyowati,2005) bahwa emosi juga berarti seluruh perasaan
yang kita alami seperti sedih, gembira, kecewa, semangat, marah, dan cinta.
Sebutan yang diberikan kepada perasaan tertentu mempengaruhi bagaimana
seseorang berpikir mengenai perasaan itu, dan bagaimana ia bertindak.
Dapat dijelaskan pula, dari data yang telah didapatkan bahwa selain
pada aspek pemahaman, mayoritas aktivis organisasi mahasiswa juga telah
melakukan pada aspek tindakan, atau berperan langsung dalam proses
transformasi konflik sosial dengan menjalankan beberapak kegiatan. Adapun
kegiatan yang biasa dijalankan oleh para aktivis organisasi mahasiswa ialah
seperti forum-forum pertemuan, forum-forum tabayyun atau forum kalrifikasi
guna membuka dan membangun komunikasi yang lebih baik. Dari hal itu
aktivis organisasi juga melakukan analisa-analisa guna mencari akar
permasalahan yang menimbulkan munculnya konflik sosial. Selain itu, dalam
proses transformasi konflik sosial para aktivis organisasi seringkali
memposisikan diri dalam dua tempat, yaitu sebagai pioneer atau orang yang
mempelopori dan langsung memberikan kebijakan, maupun sebagai mediator,
atau pihak yang menengahi ketika terjadi konflik sosial. Selain itu juga sesuai
dengan peran mahasiswa yang dikemukakan oleh Fatimah (2013) yang
menyatakan bahwa peran mahasiswa ialah sebagai Agent of Change, Social
Control, dan Iron Stock. Adapun sebagian kecil dari aktivis organisasi
mahasiswa ini memilih utnuk diam dan tidak melakukan apa- apa.
Terakhir ialah, dari data yang didapatkan dapat dijelaskan bahwa
dalam proses transformasi konflik sosial tersebut para aktivis organisasi
mahasiswa selurhnya sepakat bahwa mereka memiliki komitmen, alasan
ataupun landasan dalam keterlibatannya dalam proses transformasi konflik
sosial. Alasan tersebut peneliti melihat ada dua faktor besar munculnya
alasan-alasan tersebut, yaitu faktor internal, yaitu faktor yang muncul dari
dalam diri mereka sendiri, yaitu seperti kepuasan dalam penyelesaiannya,
panggilan hati serta tanggungjawab pribadi. Dan faktor ekternal yang muncul
yaitu lebih dipengaruhi oleh kondisi lingkungan mereka, seperti kepedulian
dengan sesama, sebagai media pendewasaan anggota organisasinya. Hal ini
memiliki kesesuaian dengan teori yang dikemukakan oleh Snyder (dalam
Carr,2013) yang menyatakan bahwa harapan merupakan kemampuan untuk
merencanakan jalan keluar dalam upaya pencapaian tujuan walaupun adanya
rintangan dan menjadikan motivasi sebagai metode dalam mencapai tujuan.

D. Kesimpulan
Konflik terkadang tak terhindarkan, dan ia menjadi bagian dari realitas
sosial dan politik. Konflik, jika kemudian terjadi, tidak kemudian lari darinya
dan membiarkannya menyelesaikan dirinya sediri, melainkan untuk dihadapi,
ditangani, dan ditransformasikan. Menangani dan mentransformasikan konflik
memang tidak semata-mata urusan dan tanggung jawab negara, melainkan juga
tanggung jawab masyarakat. Hanya saja, negara dan/atau pemerintah mesti berdiri
paling depan serta aktif memberikan fasilitasi dalam proses transformasi konflik.
Organisasi merupakan wadah bagi mahasiswa untuk mengaktualisasikan
dirinya. Sebagai aktivis mahasiswa, mereka dituntut untuk peka terhadap kondisi
lingkungan sekitar. Fenomena keorganisasian yang banyak terjadi ialah
bagaimana keterlibatan organisasi dalam mengelola konflik yang terjadi di tengah
masyarakat, atau yang sering dikenal dengan istilah transformasi konflik sosial.
Karena tidak bisa dipungkiri bahwa fungsi dari adanya organisasi dibentuk ialah
memberikan manfaat bagi lingkungan sekitarnya. Secara tanggung jawab moral
selaku anggota organisasi mahasiswa atau sebagai aktivis organisasi mahasiswa
hendaknya memiliki peran, yaitu sebagai Agent of Change, Social Control, dan
Iron Stock.

E. Daftar Pustaka

Adeney-Risakotta, Bernard. 2015. “Mengelola Keragaman”, dalam Bernard


Adeney- Risakota (ed.), Mengelola Keragaman di Indonesia: Agama dan
Isu-isu Globalisasi, Kekerasan, Gender, dan Bencana di Indonesia.
Bandung:
Mizan.
Aziz SR, Abdul. 2019. Transformasi Konflik dan Peran Pemerintah Daerah.
Jurnal of Urban Sociology. Volume 2 Nomor 1
Collins, Randall. 1985. Three Sociological Traditions. Oxford:
Oxford University Press. Coser, Lewis. 1956. The Functions of Social
Conflict. London: Free Press.
Fox, Anne. 2009. Mengendalikan Konflik: Tips, Taktik, Teknik (terjemahan).
Surabaya: Selasar Surabaya Publishing.
Francis, Diana. 2002a. Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial (terjemahan).
Yogyakarta: Quills. Francis, Diana. 2002b. People, Peace and Power:
Conflict Transformation in Action. London: Pluto Press.
Hae, Nur Zain, et al. 2000. Konflik Multikultural: Panduan Meliput bagi
Jurnalis. Jakarta: LSPP, The Asia Foundation, dan USAID.
Miall, Hugh, et al. 2000. Resolusi Damai Konflik Kontemporer:
Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola, dan Mengubah Konflik Bersumber
Politik, Sosial, Agama, dan Ras(terjemahan). Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Rauf, Maswadi. 2001. Konflik dan Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan
Teoritis. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional.
Schellenberg, James A.. 1982. The Science of Conflict. Oxford: Oxford
University Press.
Setya Budi, Ragil. 2018. Pandangan dan Praktik Transformasi konflik Sosial
pada aktivis organisasi mahasiswa universitas Muhammadiyah Surakarta.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.
Veeger, K.J. 1990. Realitas Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wirawan. 2013. Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan
Penelitian. Jakarta: Selemba Humanika.

Anda mungkin juga menyukai