Anda di halaman 1dari 3

Studi tentang sejarah kepulauan seringkali lolos dalam pengamatan karena penulisan

sejarah cenderung didominasi oleh peristiwa-peristiwa di daratan, khususnya di pusat.


Historiografi yang berpretensi pada sejarah di darat tak jarang mengabaikan pengalaman dari
pinggiran. Padahal, penulisan sejarah Indonesia harus mampu memadukan domain darat dan
laut, atau apa yang dikenal dengan sejarah “Tanah Air” 1. Adrian B. Lapian menyatakan bahwa
pendekatan sejarah maritim harus bisa melihat unsur maritim sebagai unsur pemersatu ribuan
pulau yang terpisah-pisah sebagai “Sea System” dari aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Pelayaran dan perdagangan di Nusantara, selain sangat bergantung pada adanya angin
muson juga dipengaruhi oleh konektivitas. Terdapat tiga hal utama yang mendorong adanya
konektivitas yakni migrasi, perdagangan, dan kolonisasi. Bahkan, ketiga hal ini menjadi kunci
untuk memahami proses globalisasi di abad modern 2. Adanya interaksi sosial antara penduduk
lokal dan pedagang asing telah memperkaya khazanah budaya setempat. Abdurachman 3 dan de
Castro4 secara cermat melihat persilangan budaya antara bangsa Barat dan Nusantara, yang
tercermin dari benturan budaya dan agama akibat pluralitas sosial dan kepentingan ekonomi. 5
Selain itu jaringan perdagangan antarpulau terbentuk akibat aktivitas perdagangan antar wilayah,
atau antar kelompok agama yang sama. Jaringan perdagangan juga dibentuk karena adanya
persekutuan dagang yang terus menerus berlangsung yang menghasilkan penguasaan kapital.6
Perkembangan pemukiman di suatu kota biasanya dimulai dari pusat aktivitas
masyarakat. Pusat aktivitas itu dapat berupa pasar, pusat kerajaan (keraton), pelabuhan dan
masjid sebagai tempat ibadah. Wilayah ini menjadi pusat aktivitas bila didukung oleh kondisi
alam dan lingkungan fisik yang baik 7. Pelabuhan Manado sebagai kekuatan laut pantai Timur

1
Adrian B. Lapian. 2011. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX.
Depok: Komunitas Bambu, hlm. 1.
2
Konektivitas juga terwujud dalam perpindahan manusia, persebaran penyakit, komoditas,
wisatawan, dan informasi; dan persebaran elemen kultural, religi, dan ideologi. Lihat, Michael Pearson.
2013. The Indian Ocean. London & New York: Routledge, hlm. 3.
3
Paramitha R. Abdurachman. 2008. Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-Jejak Kebudayaan
Portugis di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
4
Joaquim Magalhaes de Castro. 2019. Lautan Rempah Peninggalan Portugis di Nusantara. Jakarta:
Elex Media Komputido.
5
Gerrit J. Knaap. 1987. Kruidnagelen en Christenen de Verenigde Oost-Indische Compagnie en de
bevolking van Ambon 1656-1696. Dordrecht: Foris Publications.
6
Pierre Bordieu. 2000. Les Structures Sociales de I’economie, Collection Liber, hlm. 12.
7
Heru Soekadri K. 1996. “Partisipasi Pelabuhan Niaga Hujunggaluh dalam Lintasan Jalan Sutera
(Suatu Kajian Awal)”. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Surabaya: IKIP Surabaya, hlm. 7.
Indonesia, sebenarnya adalah kota tua yang memiliki kedudukan sebagai penyangga wilayah
pusat pedalaman. Pelabuhan Manado sengaja ditata secara sistematis membentuk sistem
pemukiman.
Posisi Manado sebagai kota pedagangan dapat dijelaskan dengan teori pusat
pertumbuhan. Teori itu menyatakan bahwa apabila suatu daerah terletak di daerah yang aman,
mudah dijangkau, memiliki sumber daya ekonomi yang memadai, dan mempunyai lingkungan
dasar yang baik untuk menunjang aktivitas ekonomi, maka daerah itu akan maju dibanding
dengan daerah yang sumber dayanya terbatas8.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Palmer, eksistensi pelabuhan membutuhkan
sumber daya modal, infrastruktur, dermaga, kargo, penyimpanan, juga sebagai tempat kerja yang
membutuhkan tenaga modal manusia9. Pelabuahan Manado dalam hal ini memenuhi unsur teori
itu karena memiliki daerah hinterland yang memiliki sumber daya ekonomi dan pemerintahan
untuk mengendalikan dan menjaga keamanan daerah itu. Kay Anderson menyebut strategi
kontrol pemerintah kolonial dalam membangun struktur kelas sosial dalam masyarakat
multirasial semacam ini sebagai bentuk hegemoni budaya yang memanipulasi dan
mengendalikan berbagai macam aspek dari lingkungan kolonial untuk melanggengkan
kekuasaan10.
Max Weber menyebut munculnya pemukiman di kota pelabuhan banyak dibentuk dari
aktivitas penduduknya hidup dari perniagaan. Kebutuhan ekonomi dan politik kerajaan dapat
mendorong orang melakukan perdagangan guna memenuhi permintaan yang hanya dapat ter-
laksana dengan bekerja ataupun dengan tukar menukar barang. Penduduk memenuhi sebagian
besar ekonominya sehari-hari di pasar lokal, kebanyakan dengan barang dagangan yang dihasil-
kan oleh penduduk setempat atau daerah terdekat.
Multikulturalisme Kota Manado terbentuk dari persentuhan berbagai budaya yang
berintegrasi dan berdampingan dalam jangka waktu lama. Sebagai kota dagang, Manado
bersikap terbuka pada semua kalangan dan bangsa. Kebudayaan di Kota Manado adalah produk
8
Soegijanto Soegijoko. 1976. “Growth Centered Development Within the Framework of Prevailing
Development Policies in Indonesia”, dalam UNCRD. Grouwth Pole Strategy and Regional Development in Asia.
Nagoya: UNCRD, hlm. 6.
9
Sarah Palmer. 2020. “History of the Ports, “ dalam International Journals of Maritime History, Vol.
32, No. 2, hlm. 427.
10
Kay J. Anderson. 1988. “Cultural Hegemony and the Race-Definition Process in Chinatown,
Vancouver: 1880-1990”, dalam Environment and Planning D: Society and Space, Vo.6, hlm. 28.
kumulatif dari sejarah kolektif, rangkaian makna yang kompleks dan hasil dari sedimentasi dari
kota pelabuhan sendiri.
Analisis etnisitas dapat digunakan untuk menjelaskan proses pembentukan etnis dan
proses terbentuknya kemajemukan Manado. Menurut Andaya 11, proses pembentukan etnis tidak
dapat dilepaskan dari pengaruh kuat aktivitas perdagangan. Kehadiran para pedagang dan
pelancong asing banyak memengaruhi kehidupan kelompok bumiputra. Demi memperoleh
keuntungan yang melimpah, kaum bumiputra tidak segan untuk bergabung dengan jaringan
komunitas yang jumlahnya lebih besar dan lebih luas. Pandangan ini sangat memungkinkan
digunakan sebagai acuan dalam menjelaskan kemajemukan di Kota Manado. Kemajemukan
Manado memicu adanya interaksi sosial yang bersifat global, di mana terjadi saling serap budaya
global dalam proses historis.
Analisis etnisitas ternyata tidak hanya membawa kita dalam membuka ruang-ruang
pembentukan etnis, tetapi juga menyoroti watak atau identitas etnis itu sendiri12. Identitas
diteoretisasikan oleh Pierre Bordieu sebagai objektivikasi mental melalui praksis-praksis pelaku
sosial dan subjektivikasi penanda (sign) melalui strategi simbolik. Kontruksi identitas orang-
orang Manado dilakukan melalui pertarungan kekuasaan dan perebutan simbol untuk
memperoleh kuasa simbolik. Atribut simbolik ini berkaitan erat dengan sistem simbol seperti
bahasa, seni, religi, dan ilmu pengetahuan13. Identitas itu ditampilkan melalui atribut simbolik
dalam kegiatan yang bersifat seremonial untuk melegitimasi sekaligus menantang relasi
dominasi dalam struktur kekuasaan objektif. Identitas itu biasanya dipahami sebagai elemen-
elemen budaya seperti gaun, pakaian, makanan, bahasa, dan agama. Elemen-elemen budaya ini
seringkali digunakan sebagai penanda dan pembeda antara satu etnis dengan etnis lainnya. Meski
ternyata tidak menutup kemungkinan antara satu etnis dan etnis lainnya memiliki kemiripan
elemen budaya. Hal ini wajar terjadi karena kelompok etnis bersifat cair dan dinamis; terus
berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan perubahan situasi dan berlapis-lapis14.

11
Leonard Y. Andaya. 2019. Selat Malaka: Sejarah Perdagangan dan Etnisitas. Depok: Komunitas
Bambu, hlm.xix
12
Identitas terkait dengan persoalan apa yang dimiliki atau tentang apa yang menjadi kebiasaan
dan apa yang membedakan seorang individu dengan individu lain, atau etnik satu dengan etnik lainnya.
Lihat, Gusnelly. 2014. Studi Dinamika Identitas di Asia dan Eropa. Yogyakarta: Ombak, hlm. 4.
13
Pierre Bourdieu. 1991. Language and Symbolic Power, First Published. Cambridge: Polity Press,
hlm. 165.
14
Leonard Y. Andaya. 2019. Opcit, hlm. xxii-xxxi.

Anda mungkin juga menyukai