Anda di halaman 1dari 24

Merekam Jejak Pengabdian: Ingatan Para Pengajar Indonesia di

Malaysia 1969-1983 sebagai Sumber Sejarah Lisan

(Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester (UAS) Matakuliah Penelitian Arsip oleh
Dosen Pengampu Dr.Abdul Wahid)

Oleh :

Siti Zainatul Umaroh

NIM. 16/404393/PSA/08114

UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

JURUSAN S2 ILMU SEJARAH

2016/2017
Pendahuluan

Setiap peristiwa memerlukan aspek kronologis untuk merinci setiap peristiwa secara
berkesinambungan. Sehingga mekanisme rekonstruksi ingatan menjadi begitu penting untuk
keberlangsungan peristiwa. Meminjam kalimat menarik Jan Vansina, bahwa Ingatan manusia
(memori) adalah satu keajaiban alami dunia, khususnya bagaimana seseorang mungkin untuk
mengigat secara agak akurat dan untuk mengingat dengan banyak sesuatu yang secara material
sudah tidak ada lagi. .1

Ingatan manusia membentangkan tempat dimasa lalu dan masalalu itu sendiri, tentang
percakapan masa lalu, tentang tindakan masalalu yang pernah dilakukan oleh seseorang namun
sekarang sudah tiada. Sejarah lisan dan tradisi lisan merupakan suara bagi mereka yang tidak
mengenal tulisan, ia memungkinkan sejarah tentang prestasi sebuah peradaban tetap lestari dan
hidup dalam memori kolektif masyarakat.

A. Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan

Penelitian lisan mencakup Sejarah lisan dan Tradisi lisan. Sejarah lisan biasanya
menceritakan suatu peristiwa sejarah dari pelaku sejarah (sumber pertama) atau saksi mata.
Tradisi lisan memiliki jangkauan yang lebih luas. Tradisi merupakan kisah yang diperoleh bukan
dari orang yang mengalami atau menyaksikan peristiwa itu sendiri, tetapi mendengar dan
mewarisinya dari orang lain. Paul Thompson tidak menganggap Sejarah lisan hanya sekedar
metode. Ia memberikan gambaran bahwa ketiadaan data tertulis pada bidang peristiwa tertentu
menyebabkan sebagian sebagian besar data yang dapat digunakan berbentuk lisan.

Diantara berbagai sumber sejarah, tradisi lisan memiliki tempat yang istimewa, dimana
tradisi dimaknai sebagai pesan, tetapi ia adalah pesan yang tidak tertulis, dan pemeliharaan
terhadap kelestariannya merupakan tanggung jawab generasis sesudahnya. Menurut Told an
Pudentia (dalam pudentia 2000:35-36) tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita rakyat,teka-teki,
peribahasa, nyanyian rakyat, mite dan legenda seperti yang diduga oleh kebanyakan masyarakat
pada umumnya, akan tetapi juga berkaitan dengan diskusi tentang sistem kognitif
kebudayaan,seperti sejarah, hukum dan pengobatan yang disampaikan dari mulut ke mulut.

1
Jan Vansina. 2014.Tradisi lisan sebagai sejarah. Yogyakarta: ombak.hlm.vii
Tradisi lisan adalah segala wacana yang diucapkan dan disampaikan secara lisan, termasuk juga
oleh masyarakat yang berkebudayaan aksara.2

Penggambaran kesaksian di masa lalu yang diungkapkan secara lisan juga termasuk
dalam cakupan tradisi lisan. Hal ini senada dengan yang dikatakan Van Sina dalam Endraswara
(2005:5):oral tradition consist of all verbal testimonies which are reported statement
concerning the past.(tradisi lisan merupakan kesaksian lisan mengenai masa lalu. Menurutnya,
aspek kesejarahan yang merupakan hubungan dialogis antara masa lalu dengan masa sekarang
yang terangkum sebagai perencanaan masa depan dapat dikatakan sebagai tradisi lisan.

Geliat perhatian dan kegiatan yang mengarah pada kesadaran sejarah lisan utamanya di
Asia Tenggara, mulai menguat sejak 1960. Sejarah lisan banyak diakui sebagai cara untuk
merekam dan mendokumentasikan perkembangan sejarah dan gejala sosial tertentu. Memori
manusia yang terbatas memungkinkan akan menguap dan hilang tanpa disimpan, sehingga
usaha-usaha membumikan sejarah lisan juga dilihat sebagai upaya menangkap perasaan, jiwa
zaman (zeitgeist) dan pengalaman manusia yang dapat memperdalam pemahaman manusia
terhadap masa lampau. Dengan memposisikan kedudukannya menangkap kenangan dari
pengalaman pelaku, atau saksi peristiwa, sejarah lisan melakukan tugasnya menjalin perjumpaan
antara hubungan masa kini dan masa lampau.3
Di Indonesia, kekosongan arsip mulai disadari oleh kalangan arsiparis juga sejarawan
pada saat peristiwa perang dunia II berkecamuk, dan meluluh lantakkan lembaran arsip statis,
dimana sangat sedkit jumlah dokumen yang merekam tiga setengah tahun pendudukan Jepang,
kecuali sedikit surat kabar. Kedua, periode perjuangan melawan kolonialisme Belanda yang
seringkali dokumen tersebut hanya memuat daftar administrasi kolonial. Sejarah lisan tak hanya
mampu mengisis kekosongan memori masa silam akan suatu peristiwa, namun juga
melengkapi, mengkritisi, membandingkan dan mengekstraksi informasi dari arsip tertulis.
Dengan demikian, sejarah lisan memotret gambaran yang lebih menyeluruh mengenai masa
lampau, yang terkait dengan rasa jatidiri dan masa depan bangsa yang bersangkutan.

2
Pudentia Mpss. Metodologi Kajian Tradisi LIsan (Edisi Revisi). Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia dan Asosiasi Tradisi Lisan.2015: 153
3
P.Lim Pui Huen dkk. Sejarah Lisan di Asia Tenggara: Teori dan Metode.2000. LP3ES hlm.vii
B. Hubungan Ingatan dan Sejarah Lisan
Ingatan merupakan perwakilan dari masa lalu di masa kini. Pertanyaan yang menarik
adalah, dikarenakan besarnya ketergantungan tradisi lisan kepada ingatan (memori) apakah
membuat tradisi lisan kehilangan keabsahannya sebagai sebuah sumber sejarah?
Sejarah, menurut Hans Magnus Enzenberger:adalah sebuah ciptaan dimana kenyataan
memasok bahan-bahan mentah. Bagaimanapun juga, sejarah bukanlah ciptaan yang arbitret
(sewenang-wenang), dan kepentingan tertentu yang diciptakan ini berakar pada kepentingan si
penutur termaksud. 4 Seperti pada beragamnya versi tentang penggagas proyek pengiriman
tenaga pengajar Indonesia ke Malaysia 1969-1970, cerita-cerita itu membuat kita dapat engenal
kepentingan-kepentingan tertentu dari para penutur, dan juga mengenai mimpi-mimpi dan hasrat
yang ada didalamnya.
Walter Benyamin, pernah menulis, untuk sebuah peristiwa yang dialami, sifatnya adalah
terbatas, entah dengan alasan apaun, dan terbatas pada satu bidang pengalaman saja. Sedangkan
untuk sebuah peristiwa yang diingat, sifatnya tidak terbatas, karena ingatan hanyalah sebuah
kunci masuk ke segala hal yang terjadi sebelum dan sesudah peristiwa tersebut.5
Kedudukan sejarah lisan atau ingatan sebagai sumber sejarah dapat dipercaya, akan tetapi
dengan perspektif kepercayaan yang lain. Budi Susanto mencatat bahwa Kesaksian dalam
sejarah lisan tidak terletak pada ketepatan kumpulan pendukung fakta. Kepentingan sejarah
ingatan adalah kesaksian dan kepercayaan yang dipegang sesudah peristiwa itu yang berwujud:
imajinasi, simbolisme, kreativitas penciptaan makna, kuasa sebuah hasrat,dll. 6Masa lalu bukan
untuk diawetkan, dan ingatan yang mengenangkannya diharapkan mampu mengubah apa yang
masih akan terjadi dan apa yang menanti di masa depan.
Paul Thompson mencatat bahwa ingatan-ingatan sejarah, atau ingatan peristiwa dari masa
lalu yang dikumpulkan (melalui wawancara lisan), tetap saja adalah sebuah karya sejarah yang
bernilai. Apabila dihubungkan dengan konteks kaian yang penulis ambil, maka tetap tidaklah
salah membicarakan peristiwa pengiriman tenaga pengajar Indonesia ke Malaysia di masa Orde
Baru itu melalui metode sejarah lisan, meskipun narasumber yang diwawancarai adalah generasi

4
Hans Magnus Enzensberger, La brave estate dell anarchia, dalam Indonesia dimata (mata-i) post
kolonialitas. Editor Budi susanto, Kanisius.hlm.238
5
Walter Benjamin,Figure Proust, Illuminasi, trans.Harry Zohn (New York: Schoken Books, 1969), hlm,
202
6
Budi Susanto,Indonesia dimata-(mata-i) post kolonialitas.Yogyakarta: Kanisius : 2010;35
muda yang lahir setelah tahun tahun tersebut. Hal ini dikarenakan perlu mendengar suara-suara
mereka tentang apa yang diingat, dan cara mengenangnya dimasa kini.7
Dengan tujuan untuk memahami sumber-sumber lisan dari beberapa peristiwa yang mau
didalami, saya akan memulai dari metode pengumpulan sumber lisan tersebut:
1. Metode wawancara
Sejarah lisan, adalah metode pembuatan dokumen baru melalui rekaman tape wawancara,
secara tradisional telah dibagi menjadi tiga jenis: topikal, biografi dan otobiografi. Sejarah lisan
banyak diakui sebagai suatu cara untuk merekam dan mendokumentasikan perkembangan
sejarah pada zamannya. Wawancara menjadi bagian terpenting dala metodologi penelitian lisan.
Wawancara dilakukan dalam konteks disiplin ilmu tertentu, baik individu sebagai seorang
peneliti maupun melalui pendekatan tim.
Terdapat wawancara topikal dalam banyak cara, yang paling mirip dengan wawancara
sosiologis terbuka. pewawancara membawa focus kajian tertentu untuk mengumpulkan
informasi tentang peristiwa tertentu. Pada biografi, sejarah lisan wawancara dicirikan oleh jenis
sama kekhususan, akan tetapi fokusnya adalah sebaliknya, pada individu tertentu, biasanya
tokoh publik. Sedangkan pada wawancara autobiografi, focus diskusi tentang kehidupan individu
yang diwawancarai adalah apa yang menentukan kedua dari dan konten sejarah lisan. bahkan
ketika satu iterviews sekelompok wanita yang berpartisipasi dalam jenis kegiatan yang sama,
pertanyaan akan khusus dibuat untuk setiap pengalaman individu dan informasi akan khusus
dibuat untuk setiap pengalaman individu dan informasi yang akan disimpan sebagai bagian dari
total memoar. dengan kata lain, dalam wawancara biografis dan topikal, sepotong hidup
interviees adalah dieksplorasi, dalam wawancara otobiografi, total sejarah kehidupan dicatatkan.8
Wawancara lisan dapat melengkapi catatan tekstual yang fragmentaris atau tidak lengkap.
Apabila tidak terdapat catattan tetulis, wawancara sejarah lisan mungkin merupakan catatan yang
ada. Wawancara sejarah lisan bisa mengisi bagian-bagian yang tisak lengkap dari caatan tekstual
dengan menjelaskan latar belakang dan maksud serta tujuan catatan tersebut.

7
Paul Thompson. Suara dari Masa Silam.Teori dan Metode Sejarah Lisan. Yogyakarta: Ombak (2012; 27)
8
Susan H. armitage ed. 2002. The frontiers reader. Womens oral history.the Frontiers
publishing,inc..hlm.11
2 Transkipsi hasil wawancara
Setelah melakukan wawancara yang materinya tersimpan dalam resorder, peneliti
memindahkan materi tersebut ke dalam kertas atau dituangkan dalam bentuk tulisan. Tugas yang
demikian ini disebut transkripsi. Betul-betul memindahkan hasil rekaman seperti apa adanya
yang termuat dalam rekaman, boleh dikatakan tidak ada satu katapun yang tertinggal atau
ditinggal. Sedemikian pula, tidak ada sepatah katapun yang ditambahi atau dibubuhi oleh tangan
peneliti, kecuali untuk mendefinisikan makna kata serapan dari bahasa asing yang kurang
dimengerti. Hal ini dilakukan guna menjaga keautentikan transkripsi. Menurut Julianto
(2012:63), agar transkripsi yang berisi dengan pernyataan, kisah, jawaban, dari sumber lisan,
maka pertanyaan dari peneliti sejarah lisan boleh dihapuskan. Dengan demikian yang ada dalam
tulisan murni apa yang dikatakan oleh sumber lisan.
Di dalam ilmu sejarah, muncul penilaian bahwa sumber tertulis lebih obyektif, lebih
akurat, lebih otentik, dan lebih dapat dipercaya kebenarannya daripada sumber lisan. Alasannya,
karena sumber tulisan bersifat tetap dari mulai ditulis hingga ditemukan dan dipergunakan oleh
para sejarawan untuk melakukan rekonstruksi masa lalu. Sebaliknya sumber lisan bersifat tidak
tetap akibat adanya penambahan atau pengurangan informasi sehingga justeru dapat
menyesatkan kerja para sejarawan. Paradigma ini menimbulkan kepercayaan yang berlebihan
terhadap sumber tertulis. Tanpa disadari pekerjaan sejarawan identik dengan mengumpulkan,
menyeleksi, dan menafsirkan sumber-sumber tertulis menjadi sebuah rekonstruksi masa lalu.9
Sebagian besar sejarawan sempat bersepakat dengan pemikiran Charles-Victor Langois
dan Charles Seignobos dari Universitas Sorbone, Paris-Perancis bahwa tidak ada yang bisa
menggantikan fungsi sumber tertulis untuk melakukan rekontsruksi masa lalu. Secara
demonstratif kedua sejarawan ini mempopulerkan adagium no documents, no history (tidak ada
sumber tertulis, tidak ada sejarah).Pemikiran dan adagium yang memuja sumber tertulis tersebut
digugat oleh para sejarawan Amerika. Mereka menyadari bahwa sebagian besar masa lampuanya
tidak ada dalam catatan-catatan tertulis, sehingga timbul usaha untuk merekam pengalaman para
orang tua dalam membangun wilayah Amerika. 10 Dari sinilah cikal bakal kelahiran kembali
sejarah lisan yang dimulai tahun 1930 dan 18 tahun kemudian (1948) berdirilah pusat sejarah

9
Abdul Syukur. Sejarah Lisan Orang Biasa: Sebuah Pengalaman Penelitian. Makalah untuk Konferensi
Nasional Sejarah VIII pada tanggal 14-17 Nopember 2006 di Hotel Millenium, Jakarta. Dosen Jurusan
Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
10
P.Liem Pui Huen,Sejarah Lisan di Asia Tenggara; Teori dan Metode.hlm.111.ibid
lisan di Universitas Columbia, New York. Selanjutnya menyusul pendirian pusat sejarah lisan di
beberapa negara seperti Kanada, Inggris, dan Italia.

3. Membangun Jaringan Informasi melalui metode wawancara

Berdasarkan pengalaman penelitian dilapangan, penulis berasumsi bahwa salah satu


keuntungan peneliti melalui metode penelitian adalah terbukanya akses lebih luas untuk mencari
relasi sumber lainnya. Dengan memanfaatkan informasi dari seorang narasumber, seorang
penelti dapat memiliki modal jaringan sumber lisan lebih banyak. Banyaknya sumber lisan yang
dikatahui oleh peneliti dapat menambah perbendaharaan sumber sejarah serta menambah
peluang akses terhadap informasi pribadi narasumber,dimana setiap narasumber memiliki arsip
pribadi yang bervariasi.
Menurut Rogers and Kinkaid (1981: 62) sebagai jaringan personal yang menyebar (radial
personal network). Model struktur jaringan komunikasi berbentuk pola relasi menurut DeVito
(1997) 11yaitu pola komunikasi yang memiliki pemimpin pada pusat lingkaran dari kelompok
12
aktor. Apabila Aktor dalam hal ini dinyatakan sebagai narasumber, maka analisis jaringan
komunikasi pada level narasumber dapat dilihat dari empat indikator yaitu sentralitas tingkatan,
sentralitas kedekatan, sentralitas keperantaraan dan eigenvektor. Sentralitas tingkatan
memperlihatkan popularitas aktor dalam jaringan. Sentralitas kedekatan menggambarkan
seberapa dekat dengan aktor lainnya. Sentralitas keperantaraan memperlihatkan posisi aktor
sebagai penghubung dengan aktor lain. Eigenvektor menggambarkan seberapa penting orang
yang mempunyai jaringan dengan aktor. Berdasarkan analisis level aktor dengan sentralitas
keperantaraan tertinggi dalam jaringan, dapat disimpulkan peran-peran aktor dalam jaringan.

Sebagai contoh, pada saat penulis mewawancarai Prof.Dr. Sjafri Sairin, 13 diakhir sesi
wawancara beliau memberikan penulis kontak nomer beberapa teman atau relasi kerjanya yang
berhubungan dengan penelitian penulis tentang pengiriman tengaa pengajar Indonesia ke
Malaysia 1969-1983. Dari kontak tersebut, penulis meluaskan relasi dan membangun

11
DeVito JA. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Edisi Kelima. Hunter College of the City University of
New York. Alih Bahasa Agus Maulana. Jakarta
12
Rogers, E.M and L. Kincaid. 1981. Communicaton network: toward a new paradigm for research.
London: Collier macmillan Publisher.
13
Wawancara dengan Prof.Dr.Sjafri Sairin, Guru besar antropologi UGM yang pernah mengajar di
University of Malaya, Malaysia, April 2017, Pukul 11.00 Wib.
komunikasi untuk selanjutnya melakukan wawancara kepada setiap dari narasumber baru
tersebut. Adapun ilustrasi dari hubungan keuntungan relasi yang didapat guna mendorong
perkembangan penelitian penulis dimasa mendatang tersebut sebagai berikut:

Skema I
Alur Relasi Munculnya Narasumber Baru dalam Penelitian Pengiriman Tenaga Pengajar
Indonesia ke Malaysia 1969-1983

Narasumber I
Prof.Dr. Sjafri Sairin
(Guru besar Antropologi UGM0

Prof. Dr.Amri Marzali


Prof.Dr. Irwan Abdullah
Guru besar Antropologi UI
Guru Besar Antropologi UGM)

Nurul Yaqin, Dosen Ekonomi


di University of Malaya

Dr. Emiar Nurben

Dokter yang mengajar di


Universitas Kebangsaan Malaysia

Dr. Zarni Amri

Dosen yang mengajar di


Pak Iman
Fakultas Perubatan, University
Staf KJRI Kota Kinabalu, Kebangsaan Malaysia
Malaysia

Prof Ari Purbyantoro

Atase Pendidikan Kuala Lumpur


Sumber: penelitian yang diolah penulis

B. Pendekatan Etno-History dan Pendekatan fenomenologi

Ethnohistory ialah suatu kaedah pendekatan terhadap kajian mengenai perlakuan sosio-
budaya yang mencantumkan penyelidikan-penyelidikan etnografi dan sejarah. Pendekatan ini
menawarkan suatu perspektif yang berintegrasi mengenai proses sosial yang tidak dapat dicapai
melalui pendekatan yang lain. Sehingga, pendekatan merupakan satu alat metodologi yang
bernilai terhadap kerja ahli antropologi maupun sejarawan yang mengkaji perubahan-perubahan
sosial dan budaya. 14
Hubungan antara sejarah dan Antropologi menimbulkan pertanyaan mengenai sifat
ethnohistory. Metode sejarah dan Antropologi ini mulai terintegrasi dalam 1920-an, yang
menekankan bahwa ethnohistory sebagai pendekatan hanya sebuah sintesis pragmatis antara
metode sejarah dan Antropolog, untuk perumusan generalisasi Etnologi dan akhirnya, menjadi
teori antropologi.
Sedangkan, Pendekatan Fenomenologi digunakan sebagai alternative seorang peneliti
untuk memahami data yang ada dilapangan yang berhubungan dengan manusia (sumber lisan).
Dalam metodologi sejarah lisan, jawaban dari narasumber itu relative atas penafsiran mereka,
sehingga opini-opini itu bermacam macam mewarnai pandangan narasumber sehingga
kemungkinan-kemungkinan lain munculnya jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peneliti
menjadi wajar.
Akan tetapi, meskipun penafsiran atas jawaban dari narasumber itu rumit, lantas kepada
siapa lagi peneliti bergantung informasi jika tidak mengandalkan informasi? Jika tidak dari
narasumber, peneliti dianggap tidak memiliki pegangan. Selain itu, arsip-arsip negara pada
umumnya hanya berpusat pada data statistic dan tidak pernah memiliki data fenomenologi, maka
persoalan reliabilialitas menjadi penting, yakni siapa yang mengambil dan siapa yang
menyimpulkan data. Peneliti harus pandai mengkondisikan bahwa dirinya mampu meyakinkan
narasumber agar informasi keluar.

14
S.M. Childs. Etnohistory; a review of method. And its applicability to the stud rural of
Malaysia. Akademika. Journal of Humanities and Social Sciences The National University of
Malaysia, Vol.4, January,1974.
Pendekatan peneliti dalam mengakses sumber lisan dari pelaku sejarah disini sangat
bergantung pada apa yang dikenal sebagai fenomenologi atau etno metodologi.15Fenomenologi
murni memiliki bahaya-bahayanya sendiri 16 , Hal ini dikarenakan banyak sekali perilaku,
termasuk berbicara, yang bersifat otomatis tanpa direnungkan terlebih dahulu, dan hanya
berdasarkan pemahaman yang jarang sekali telah sampai pada tingkat kesadaran.
Seorang pengamat yang teliti harus memberi penafsiran terhadap perilaku seperti itu yang
tidak sekedar pengulangan pengetahuan partisipan yang hanya berdasarkan rasionalitas saja.
Sebagai sebuah penafsiran, ia harus mempertimbangkan dengan standar lohikanya, ekonominya
dan konsistensinya dengan kenyataan-kenyataan sosial lain yang dikenal. Pelaku-pelaku sejarah
juga dapat memberikan laporan yang saling bertentangan tentang sebuah peristiwa yang
menghadirka keterlibatan mereka sendiri, atau barangkali mereka ingin menyembunyikan
pemahaman mereka ari si pengamat, atau dri antara sesame mereka sendiri. Oleh karena itu,
standart penafsiran yang sama berlaku, meskipun dasarnya diakui tidak meyakinkan.
Pada akhirnya, tidak ada yang dapat dinamakan laporan lengkap dari realitas memori
yang dialami, dan tidak ada pula transkrip verbal sepenuhnya dari pengalaman yang disadari
pengkisah. 17 Kepenuhan transkrip sendiri tentu saja dibatasi oleh persoalan kepentingan-
kepentingan empiris dan analitis dari yang melakukan transkripsi (peneliti).Terhadap diferensiasi
sejarah lisan dan tradisi lisan, Julianto Ibrahim, sejarawan UGM memantik pendapat yang
menarik, sebagai berikut :
Sejarah lisan (oral history) berbeda dengan tradisi lisan (oral traditions).
Dalam tradisi lisan tidak termasuk didalamnya kesaksian mata yang merupakan data
lisan.Juga disini tidak termasuk rerasan masyarakat yang meskipun lisan tetapi tidak
ditularkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Tradisi lisan dengan demikian
terbatas di dalam kebudayaan lisan dari masyarakat.18

Seorang peneliti yang sedang melakukan wawancara dan mentranskrip hasil wawancara
tersebut harus berusaha menguji kebenaran penafsiran dengan memperlihatkan bagaimana
ppenafsiran tersebut menambah informasi,demi penjelasan paling baik yang mampu diberikan
partisipan itu, sebagaimana yang dikemukakan oleh Dunn:

15
Roy Turner,ed. Etnometodology: Selected Readings (Harmondsworth: penguin, 1974)
16
James C Scott. Senjatanya orang-orang yang kalah. Yayasan Obor Indonesia (2000: 63).
17
John Dunn, Practicing History and Social Science on Realist Assumption. Dalam action and
interpretation: studies in the philosophy of the social sciences,ed.C.Hookway dan P.Petit (Cambridge:
Cambridge Univ.Press,1979), hlm.160.
18
Julianto Ibrahim.2012. Modul Sejarah lisan.hlm.9
Apa yang tidak dapat kita lakukan secara tepat adalah mengklaim bahwa kita
memahami dirinya dan aksinya lebih baik daripada apa yang dapat dilakukannya
sendiri, tanpa mendapat akses kesempatan untuk mengetahui deskripsi terbaik yang
dapat diberikannya..19

Terkadang dalam proses transkripsi, karena alasan keterbatasan bahasa, kehadiran


penerjemah sering diperlukan oleh Sejarawan dalam melakukan wawancara, translasi maupun
transkripsi. Namun demikian, yang menjadi penting adalah perlakuan penerjemah terhadap
sumber terkadang sering mensensor dan mengedit informasi. Sikap peneliti terhadap perbedaan
informasi dari beberapa narasumber terhadap satu peristiwa yang sama ialah tidak perlu dicari
versi tunggal yang paling benar serta tidak mencari versi apa yang paling benar, melainkan
mencari versi apa yang ada dilapangan? Oleh karena peneliti tidak boleh mengabaikan
sedikitpun informasi dari narasumber, maka tidak ada versi mayoritas dan versi minoritas dalam
informasi yang diperoleh melalui wawancara dengan pemilik memori (narasumber).
Hal yang sama berlaku terhadap penafsiran peneliti yang terbatas oleh ideology,
rasionalisasi kepentingan pribadi, sikap dan pergaulan sosial sehari-hari, atau bahkan kesopanan
yang dapat mempengaruhi penerimaan dan laporan peserta. Peneliti tidak boleh menggantikan
laporan mereka dengan laporan peneliti sendiri.
Sebuah metodologi untuk menaksir kedalaman validitas hasi wawancara biasanya
mempertimbangkan beberapa faktor, misalnya (1) berapa lama peneliti tinggal bersama dengan
lingkungan pelaku sejarah yang menjadi obyek penelitian? (2), Apakah seorang peneliti tersebut
terampil mengetahui bahasa daerah setempat? (3) Data dari informan meskipun berbeda satu
sama lain dianggap sebagai data obyektif. Walaupun itus ebenarnya subyetif. Sebaliknya, justru
disebut data tersebut subyektif jika yang menafsirkan/ menuliskan adalah peneliti sendiri.
Tradisi lisan dengan demikian menjadi sumber penulisan bagi antropologi dan sejarawan.
Dalam ilmu antropologi lisan sebagai sumber data bagi penelitian dapat dipergunakan adalah hal
yang wajar, akan tetapi dalam ilmu sejarah penggunaan tradisi lisan masih merupakan hal yang
baru. Usaha untuk menarik minat kepada penulisan sejarah dengan memakai sumber tradisi
dalam seminar sejarah nasional III digarap secara khusus dalam panel etno-history.

19
John Dunn, Practicing History and Social Science on Realist Assumption. Dalam action and
interpretation: studies in the philosophy of the social sciences,ed.C.Hookway dan P.Petit (Cambridge:
Cambridge Univ.Press,1979), hlm.165.
C. Profesi Sang Pengkisah
Secara etimologi, Pengkisah berasal dari kata dasar kisah. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kisah mengandung arti cerita tentang kejadian atau riwayat dalam kehidupan
seseorang. Kata turunannya adalah mengisahkan, terkisah, kisahan, dan pengisahan. Tidak
disebutkan tentang turunan kata pengkisah. 20 Menurut Sejarawan Taufik Abdullah, definisi
pengkisah, yaitu orang yang mengisahkan pengalamannya sendiri atau ingatan dari yang
mengalaminya.21
Apakah penting profesi seorang pengkisah terhadap apa yang dikisahkannya? Ataukah
profesi tidak mempengaruhi pengkisah dalam bertutur sama sekali? Menurut pegalaman peneliti
dalam mewawancarai narasumber, bersepakat bahwa profesi si pengkisah sangat berpengaruh
dalam kelancaran waancara.
Misalkan pengkisah dalam hal ini adalah seorang antropolog sekaligus pengajar (dosen)
yang sering berinteraksi dengan orang lain baik dalam bentuk ceramah, dialog, dan debat, serta
memiliki perbendaharaan kata yang lengkap maka sangat memudahkan peneliti untuk menggali
data apa yang ia ketahui dengan bersumber dari ingatan masa lalunya. Peneliti hanya perlu
menjadi pendengar yang setia dan tidak perlu bersukar hati merangkai draft pertanyaan-
pertanyaan yang terstruktur sistematis seperti wawancara pada umumnya. Peneliti cukup
mengingatkan pengkisah tentang suatu permasalahan saja, tidak perlu banyak berbicara maka
pengkisah yang memiliki keahlian merangkai kata dan berorasi tentu akan sangat bersemangat
dalam menuturkan pengalaman masa lalunya yang tak putus-putusnya.
Harus disadari profesi Individu sangat berpegaruh terhadap gaya menarasikan ingatan,
misalkan saja pengalaman peneliti dalam mengorek keterangan kepada Ibu Zarni Amri, dokter
yang dikirim ke Universitas Kebangsaan Malaysia pada tahun 1977-1980. Sebagai seorang
dokter ahli farmakologi, beliau tidak begitu berpanjang lebar dalam berkisah, sangat berbeda
dibandingkan dengan saat mewawancarai Prof. Amri Marzali, dosen Antropologi yang dikirim
mengajar ke University of Malaya ada 1975-1978, atas permintaan dari Prof.Dr.Moh.Taib

20
Lihat keterangan kata dasar wawancara beserta turunan katanya dalam Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balia Pustaka, 1997) cet. Kesembilan, hlm. 505.
21
Taufik Abdullah, Di Sekitar Pencarian Dan Penggunaan Sejarah Lisan, Lembaran Berita
Sejarah Lisan no. 9 bulan Oktober 1982, h. 27-34.
Oesman, Ketua jabatan pengkajian malayu di Universiti Malaya, Kuala Lumpur. 22Prof Amri
lebih bersemangat membagi pengalaman mengajar, sebagai seorang yang memiliki jiwa
pendidik, agaknya beliau memiliki tanggungjawab moral dibalut jiwa sosial yang tinggi agar
apa yang disampaikannya bisa dimengerti oleh peneliti, Sehingga beberapa kali beliau
menanyakan ulang, Ada hal lain yang belum dimengerti?dan kemudian beliau dengan sabar
memulai menarasikan ingatannya kembali secara kronologis.

D. Sejarah Lisan dari Pelaku Sejarah : Sebuah Pengalaman wawancara dengan para
pengajar Indonesia di Malaysia 1969-1983.
Para pelaku sejarah adalah mereka yang terjun atau berkecimpung langsung dalam
sebuah peristiwa bersejarah. Pelaku ini memegang peranan yang cukup penting dalam proses
terjadinya kejadian sejarah. Dengan demikian, seorang pelaku sejarah dapat mengungkapkan
segamblang-gamblangnyasejauh yang masih dapat ia ingatperistiwa yang dialaminya karena
ia aktif dan mungkin cukup tahu latar belakang peristiwa. Di sinilah letak kelebihan seorang
pelaku sebagai sumber sejarah lisan.
Meski demikian, tetap saja penelitian terhadap para pelaku sejarah dapat menimbulkan
keterangan yang subjektif. Ia dapat saja menambahkan atau mengurangi kisah yang sebenarnya
terjadi guna kepentingan pribadi atau golongan atau negaranya. Ada beberapa hal yang sengaja
disembunyikan olehnya karena menyangkut nama baiknya. Atau mungkin pula ia memang lupa
sebagian atau detail peristiwa yang terjadi.

Ada beberpa ciri tersendiri yang penulis temui pada sosok pengkisah wanita, Ibu Zarni
Amri berkisah menjadi dua subyek yang berbeda, yakni langsung sebagai pengajar yang terjun
ke lapangan, maupun tidak langsung dalam konteks sebagai pendamping suami. Hal ini dapat
membangkitkan semangat pengkisah dalam mengingat kegiatan realistis yang pernah dialami
senbagai pelaku sejarah. Pendekatan yang harus dilakukan oleh peneliti terhadap narasumber
perempuan yakni memberikan ruang dan waktu lebih luas agar pengkisah merasa diperhatikan
dan dihargai ceritanya.

22
Korespondensi university Malaya kepada lembaga antropologi universitas Indonesia, 22
september 1975, hlm,1
Gambar 1
Peneliti sedang membangun kedekatan melalui komunikasi dengan Narasumber Ibu Dr.
Zarni Amri, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI)

Sumber: Arsip Penulis

Kedekatan informan dengan peneliti juga menjadi sangat penting. Kedekatan tersebut
bisa muncul dari kesamaan agama, satu almamater, satu daerah dll. Oleh karena itu, sebelum
melakukan wawancara, seorang peneliti diwajibkan melakukan pendekatan komunikasi dan
menjalin relasi baik terhadap pelaku sejarah selama beberapa waktu agar memungkinkan terjadi
penerimaan atas dasar keakraban. Setelah peneliti akrab dengan narasumber sgat menentukan
kualitas sumber informasi yang diperoleh.
Untuk kasus menghadapi narasumber, Emosi dan karakter pengkisah sangat penting
dibaca, utamanya narasumber perempuan juga mudah muncul untuk saat-saat tertentu melalui
perubahan intonasi dan ekspresi wajah saat telah terbawa suasana bertutur. Meski peneliti harus
berempati, namun jebakan terbawa suasana yang sewaktu waktu mudah hadir ini harus segera
dinetralisir dengan mengambil rem kendali yakni mengembalikan pada situasi normal dan
menetralisir keadaan agar menghindari misinformasi narasumber atas keteledoran pembicaraan
yang telah out of the topic.
Sedangkan Prof. Amri Marzali lebih luwes dan mendetail bercerita tentang
pengalamannya mengajar di Malaysia bahkan hingga ke hal-hal yang begitu detail sehingga
memperluas informasi bagi peneliti, Misalkan saja dalam hal mengingat, pada saat berkisah
tentang alasan beliau mengajar di Universitas Kebangsaan Malayu, beliau menyatakan bahwa
sebenarnya yang diminta mengisi jabatan sebagai dosen disana bukanlah dia, melainkan Prof.
Dr.Koentjaraningrat. Namun demikian, dikarenakan padatnya tugas-tugas Prof.
Koentjaraningrat, maka beliau mendelegasikan permohonan pengajar dari Unversiti Malaya
kepada Prof. Amri Marzali untuk masa pengabdian 4 tahun.
D. Dari Kisah Pribadi hingga Arsip Pribadi
Boleh jadi pencapaian besar boleh jadi apabila seorang peneliti beruntung mendapatkan
sumber lisan dari informan sekalaigus mendapatkan bonus arsip tertulis melalui dokumen
dokumen yang dimiliki oleh narasumber.
Gambar 2
Pof.Dr. Amri Marzali sedang bersemangat menunjukkan koleksi arsip pribadinya
selaku pengajar di University of Malaya 1974-1978

Sumber: Arsip penulis


Berbagai dokumen yang mustahil ditemukan di arsip negara (misalnya Arsip Nasional
RI), tersimpan rapi dalam rak-rak arsip pribadi Prof.Dr.Amri Marzali. Dengan sedikit
berkelakar beliau menanyakan gimana mbak, dengan dokumen saya? Lengkap toh? Saya
memang hobi mengadministrasikan dokumen penting, dan enggak semua memiliki orang
koleksi dokumen yang lengkap23
Beberapa dokumen yang dimiliki oleh Prof Amri Marzali diantaranya:Daftar Slip Gaji,
daftar honor penelitian, daftar tunjangan hidup, Daftar peserta yang menjadi pengajar di
University of Malaya, Korespondensi antara University of Malaya dengan Prof Amri terkait
proses pengajuan kerjasama hingga pemberitahuan secara resmi bahwa Beliau diterima menjadi
bagian dari pengajar di universitas tersebut, arsip berua Surat keputusan pengangkatan dirinya
sebagai Staff pengajar/ dosen di Fakultas Kajian Melayu, University of Malaya, Malaysia, serta
arsip tentang korespondensi di akhir-akhir purna masa jabatan sesuai dengan kontrak kerjasama.
Terkadang, keterangan pelaku sejarah sangat baik utuk mengurai sumber primer negara.
Hal ini penulis temukan pada peristiwa pembentukan panitia rekruitmen tenaga kerja Indonesia
ke Malaysia, sebagai respon atas permintaan Malaysia.. Berdasarkan Arsip Negara Republik
Indonesia (ANRI) . Keputusan Dirjen No. 111/1969 tentang penunjukan saudara Hendarsin
Hendamihardja sebagai Project Officer pengiriman para tenaga kerja pengajar Indonesia ke
Malaysia, Keputusan Dirjen No. 1.3.09/ Kep 77 tentang pembentukan panitia seleksi calon
tenaga kerja pengajar yang akan diperbantukan pada pemerintah kerajaan Malaysia
menunjukkan adanya bukti aktivitas pengiriman tenaga pegajar Indonesia ke Malaysia sejak
masa pemerintahan Presiden Soeharto yang dimotori oleh Menteri Pendidikan Nasional Mashuri
Saleh.24 Dibawah kerjasama menteri pengajaran Malaysia Husein Bin Dato bersama pimpinan
Direktur Pendidikan Tinggi Kusnadi Hardjosumantri.
Penjelasan tentang peranan Project Officer yang dijelaskan melalui sumber tertulis
tersebut justru semakin baik dengan disandingkan/dikomparasikan dengan sumber lisan dari
pelaku sejarah. Keterangan dari Prof Amri Marzali saat saya konfrontirkan tentang Arsip ANRI
tersebut, secara tidak terduga respon yang diberikan sangat positif dimana beliau mengkisahkan
Arsip tertulis itu berhbungan dengan peristiwa tahun 1969, Indonesia membentuk proyek
pengiriman tenaga pengajar ke Malaysia dengan melakukan pembentukan panitia Pusat

23
Wawancara dengan Prof. Dr. Amri Marzali.18 Mei 2017
24
. 48 Guru sekolah mengengah ke Malaysia lagi. Sabtu 7 Agustus 1971 halaman 12.
Rekruitmen Tenaga pengajar ke Malaysia melalui jalur G to G (Government to Government)25
dan mengadakan seleksi pengajar lulusan Sarjana secara ketat dikota-kota besar di Indonesia
(Padang, Medan, Jakarta, Surabaya,Mojokerto, Malang, Makassar). 26Selain melalui jalur resmi
G to G, Pengiriman tenaga pengajar ternyata juga dilakukan secara tidak resmi, artinya proses
perekrutan tenaga pengajar tidak melibatkan pemerintah Indonesia namun langsung berkaitan
hubungan Universitas Malaya dengan tenaga pengajar Indonesia.
Pada awal tahun 1970-an, Prof Amri marzali juga menyetujui keterangan saya terkait
prosentase peningkatan jumlah guru-guru berkualitas yang berhasil dikapalkan secara periodik
ke Malaysia untuk mengajar di sekolah/ un iversitas Malaysia yang menggunakan bahasa
pengantar bahasa Melayu, yang say abaca dari salah satu sumber buku27
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kedudukan sumber lisan dari pelaku sejarah
sangat berharga dan begitu penting untuk membangun narasi yang obyektif, serta menambah
khazanah metode penelitian arsip dan sumber sejarah guna proses historiografi.

25
wawancara dengan Dr. Zarni Amri, tenaga pengajar Indonesia dari universtas Indonesia yang
dikirim untuk bertugas sebagai staf dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Kebangsaan Malaya 1978-
1980, Jakarta Utara, Sabtu, 6 Mei 2017
26
Kompas. 48 Guru sekolah mengengah ke Malaysia lagi. Sabtu 7 Agustus 1971 halaman 12.
27
Setyadi Sulaiman, (2012) Rujuk Negara Serumpun: Merekam Jejak Kerjasama Kebahasaan Indonesia-
Malaysia 1966-1985
Gambar 3
Dokumen tawaran Jabatan sebagai dosen di Departemen pengkajian Melayu dikirim oleh
University of Malaya kepada tenaga pengajar Indoesia (Prof.Dr. Amri Marzali, Guru besar
Antropologi UI)

Sumber: koleksi pribadi narasumber


Gambar 5
Dokumen Honor selama mengajar menjadi Dosen di Fakultas Kajian
Melayu, Uniersity f Malaya dalam tahun 1976

Sumber: koleksi pribadi narasumber


E. wawancara dari dari Saksi Tak Sejaman

Pada penelitian ini, wawancara dengan Prof. Dr. Irwan Abdullah dan Prof.Dr. Sjafri
Sairin termasuk dari sumber lisan dari saksi tak sejaman. Meskipun bukan pelaku sejarah, kedua
pengajar ini pernah mengalami menjalani pengabdian sebagai pengajar di University of Malaya
dan Universitas Kebangsaan Malaysia. Sehingga, informasi dari keduanya tidak lantas diabaikan.
Lantas bagaimana kedudukan informasi dari narasumber yang bukan sejaman tapi memiliki
pengalaman mengajar ditempat dan karakteristik yang sama meskipun tak seluruhnya sama
dikarenakan perbedaan waktu? berita atau keterangan dari satu atau dua orang saksi akan
peristiwa sejarah, tentunya dirasakan tak cukup. Diperlukan saksi-saksi yang lain guna
memperjelas duduk permasalahan dan detail peristiwa sejarah yang bersangkutan. Dengan
demikian, kita akan memperoleh penjelasan yang menyeluruh tentang sebuah kejadian
bersejarah yang tengah diteliti.

Saksi merupakan seseorang yang pernah menyaksikan atau melihat sebuah peristiwa
ketika berlangsung. Namun berbeda dengan pelaku, saksi ini bukan pelaksana dan tidak terlibat
langsung dengan jalannya peristiwa. Ia hanya menyaksikan dan bersaksi bahwa peristiwa
tersebut ada dan pernah berlangsung. Sama seperti para pelaku, para saksi sejarah pun dapat
mengungkapkan kesaksiannya secara tak jujur. Ia bisa menutupnutupi atau menambahkan cerita
yang sesungguhnya tak ia lihat atau tak pernah terjadi. Bisa saja ia bersaksi sebelah pihak, berat
sebelah. Ia menceritakan kebenaran sepihak karena apa yang ia beritakan ternyata mengagung-
agungkan salah satu pihak atau pihak-pihak tertentu, dipihak lain menegasikan peran lainnya.
Sehingga mudah dipahami bahwa perbedaan keterangan saksi sejarah adalah sebuah kewajaran.

F. Sejarah Lisan menghidupkan Foto yang Bisu


Kelebihan dari sejarah lisan dibandingkan dokumen statis adalah:Pengumpulan data
dalam sejarah lisan dilakukan dengan komunikasi dua arah sehingga memungkinkan sejarawan
dapat menanyakan langsung bagian yang kurang jelas kepada narasumber. Penulisan sejarah
menjadi lebih demokratis karena memungkinkan sejarawan untuk menggali informasi dari semua
golongan masyarakat. Melengkapi kekurangan data atau informasi yang belum termuat dalam
dokumen. Penelitian sejarah lisan yang dipadukan dengan sumber tertulis dianggap dapat
melengkapi kekurangan sumber-sumber sejarah selama ini.
Selain melengkapi sumber tertulis, Foto juga menjadi salah satu arsip penelitian yang
dapat dikawinkan dengan ingatan pelaku sejarah. Misalnya saja ditemukan sebuah foto tentang
pemberangkatan 70 orang guru Indonesia sebagai tenaga kerja di Malaysia pada masa menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Yoesoef . arsip ini menjelaskan bahwa hingga tahun 80-
akhir masih banyak tenaga pengajar Indonesia yang diperbantukan di negara malaysia.
Informasi ini dapat digunakan penulis untuk menentukan periode kajian penelitian. Dari Arsip
foto tahun 1979 ini penulis dapat melacak lebih jauh keberadaan arsip lain di surat kabar, jurnal,
maupun majalah dengan berpedoman pada tanggal/bulan/tahun yang sama. Penulis juga dapat
meelusuri tokoh yang disebut dalam arsip seperti Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang
menjabat pada masa itu yakni Daoed Joesoef. Pencarian atas kebijakan Menteri dapat dijadikan
alternative dalam membangun kerangka obyek formal dalam tulisan. Sehingga kedudukan arsip
ini sangat penting dalam mengawali proses heuristik ditahun tahun 1979-1983.
Gambar 4.
Para Pengajar mengikuti sambutan sebelum diberangkatkan ke Malaysia tahun 1979

Sumber: Koleksi Arsip Yayasan Idayu, Perpusnas


Foto tersbut memiliki informasi yang sejalan dengan keterangan dari Dr. Zarni Amri
yang menyatakan bahwa Arsip tersebut merupakan bagiandari rangkaian acara pembekalan
tenaga pengajar dari Jalur resmi (Government to Government) sebelum dikapalkan ke Malaysia.
Untuk diketahui bahwa pengiriman tenaga pengajar Indoensia ke Malaysia ini memang
merupakan proyek resmi Pemerintah Indoesia dengan Malaysia, namun selain melalui G to G,
ternyata dari keterangan Dr. Zarni Amri penulis mendapati informasi bahwa ternyata, juga
terdapat perekrutan tenaga pengajar Indonesia ke Malaysia secara non-formal (non G to G).
artinya proses perekrutan tenaga pengajar tidak melibatkan pemerintah Indonesia namun
langsung berkaitan hubungan Universitas Malaya dengan tenaga pengajar Indonesia, dalam hal
ini, narasumber Prof. Dr Amri Marzali adalah contoh yang tepat untuk menunjukkan bahwa
ialah pengajar Indonesia yang menempuh jalan non G to G tersebut, sedang Dr. Zarni Amri
adalah contoh yang tepat sebagai peserta yang dikirim melalui jalur Resmi pemerintah/G to G.

G. Kekurangan Sumber Lisan Sebagai Sumber Sejarah

Di samping memiliki segala kelebihan yang telah penulis jabarkan diatas, sejarah lisan juga
mempunyai beberapa kekurangan atau kelemahan sebagai berikut:

1. Terbatasnya daya ingat seorang pelaku atau saksi sejarah terhadap suatu peristiwa.
2. Subjektivitas dalam penulisan sejarah sangat tinggi. Dalam hal ini perasaan keakuan dari
seorang saksi dari seorang pelaku sejarah yang cenderung memperbesar peranannya dan
menutupi kekurangannya sering muncul dalam proses wawancara. Selain itu,
subjektivitas juga terjadi karena sudut pandang dari masing-masing pelaku dan saksi
sejarah terhadap suatu peristiwa sering kali berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

Jan Vansina. 2014.Tradisi lisan sebagai sejarah. Yogyakarta: ombak.

Pudentia Mpss. 2015. Metodologi Kajian Tradisi LIsan (Edisi Revisi). Yogyakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia dan Asosiasi Tradisi Lisan.

P.Lim Pui Huen dkk. 2000.Sejarah Lisan di Asia Tenggara: Teori dan Metode.. LP3ES

Hans Magnus Enzensberger, La brave estate dell anarchia, dalam Indonesia dimata (mata-i) post
kolonialitas. Editor Budi susanto, Kanisius.hlm.238

Walter Benjamin,1969. Figure Proust, Illuminasi, trans.Harry Zohn.New York: Schoken


Books,

Budi Susanto,2010. Indonesia dimata-(mata-i) post kolonialitas.Yogyakarta: Kanisius Paul


Thompson.

Paul Thompson. Suara dari Masa Silam.2012. Teori dan Metode Sejarah Lisan. Yogyakarta:
Ombak

Susan H. armitage ed. 2002. The frontiers reader. Womens oral history.the Frontiers
publishing,inc..hlm.11

Abdul Syukur. Sejarah Lisan Orang Biasa: Sebuah Pengalaman Penelitian. Makalah untuk
Konferensi Nasional Sejarah VIII pada tanggal 14-17 Nopember 2006 di Hotel Millenium,
Jakarta. Dosen Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

DeVito JA. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Edisi Kelima. Hunter College of the City
University of New York. Alih Bahasa Agus Maulana. Jakarta

Rogers, E.M and L. Kincaid. 1981. Communicaton network: toward a new paradigm for
research. London: Collier macmillan Publisher.

Wawancara dengan Prof.Dr.Sjafri Sairin, Guru besar antropologi UGM yang pernah mengajar
di University of Malaya, Malaysia, April 2017, Pukul 11.00 Wib.

S.M. Childs. 1974.Etnohistory; a review of method. And its applicability to the stud rural of
Malaysia. Akademika. Journal of Humanities and Social Sciences The National University of
Malaysia, Vol.4, January,

Roy Turner,ed. 1974.Etnometodology: Selected Readings (Harmondsworth: penguin,)

James C Scott. 2000. Senjatanya orang-orang yang kalah. Yayasan Obor Indonesia
John Dunn, Practicing History and Social Science on Realist Assumption. Dalam action and
interpretation: studies in the philosophy of the social sciences,ed.C.Hookway dan P.Petit
(Cambridge: Cambridge Univ.Press,1979), hlm.160.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,1997. Kamus


Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balia Pustaka,

Taufik Abdullah, Di Sekitar Pencarian Dan Penggunaan Sejarah Lisan, Lembaran Berita
Sejarah Lisan no. 9 bulan Oktober 1982, h. 27-34.

Korespondensi university Malaya kepada lembaga antropologi universitas Indonesia, 22


september 1975, hlm,1

. 48 Guru sekolah mengengah ke Malaysia lagi. Sabtu 7 Agustus 1971 halaman 12.

Kompas. 48 Guru sekolah mengengah ke Malaysia lagi. Sabtu 7 Agustus 1971 halaman 12.
Setyadi Sulaiman, (2012) Rujuk Negara Serumpun: Merekam Jejak Kerjasama Kebahasaan
Indonesia-Malaysia 1966-1985

Anda mungkin juga menyukai