Anda di halaman 1dari 26

PENGANTAR ILMU SEJARAH

KARYA KUNTOWIJOYO

Oleh:

ETTY SARINGENDYANTI
Npm. 180130150505

RINGKASA BUKU

diajukan sebagai tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Sejarah


Pengampu: Prof. Dr. Nina Herlina, M.S.

Program Pendidikan Doktor


Program Studi Ilmu Sastra
Konsentrasi Ilmu Sejarah

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2016
Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Edisi Baru dari Pengarang dan
Judul yang sama tahun 1995, Cetakan 1, Juli. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kuntowijoyo dilahirkan di Sorobayan, Bantul, Yogyakarta, pada 18


September 1943, dan meninggal pada 22 Februari 2005. Ia adalah seorang
sejarawan, pengamat kebudayaan, serta seorang pengarang novel, drama, dan
puisi. Sejak tahun 1970, ia menjadi dosen Jurusan Sejarah UGM, dan memperoleh
gelar Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM pada 21 Juli 2001,
dengan pidato pengukuhan berjudul, Periodisasi Sejarah Kesadaran Keagamaan
Umat Islam Indonesia: Mitos, Ideologi, dan Ilmu.

Dalam hal pendidikan, ia lulus Sarjana Sastra Jurusan Sejarah Fakultas


Sastra dan Kebudayaan UGM, pada tahun 1969. Ia kemudian melanjutkan studi di
The University of Connecticut USA (M.A., American Studies, 1974). Gelar Ph.D
Ilmu Sejarah diperolehnya di Columbia University dengan disertasi berjudul
Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940.

Banyak sudah karya Kuntowijoyo, baik fiksi maupun non fiksi. Beberapa di
antaranya:

Non FIksi:

1. Dinamika Sejarah Umat Islam (1987).


2. Metodologi Sejarah (1994, Edisi Kedua, 2003).
3. Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas (2002).
4. Raja, Priyayi, dan Kawula (2004)
5. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation) (2008).

Fiksi:

1. Suluk Awang-Uwung (Puisi, 1975).


2. Dilarang Mencintai Bunga-bunga (Kumpulan Cerpen, 1992).
3. Makrifat Daun, Daun Makrifat (Puisi, 1995).
4. Impian Amerika (Novel, 1998).
5. Topeng Kayu (Drama, 2001).
Buku Pengantar Ilmu Sejarah yang ditulis Kuntowijoyo ini dipersembahkan
kepada dua orang gurunya, yaitu Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian, M.A., dan Prof. Dr.
A. Sartono Kartodirdjo. Buku setebal 204 halaman tersebut terdiri dari 12 bab,
berisi pembahasan tentang Apakah Sejarah itu?, Guna Sejarah, Sejarah Penulisan,
Sejarah sebagai Ilmu dan Seni, Pendidikan Sejarawan, Penelitian Sejarah, Sejarah
dan Ilmu-ilmu Sosial, Kekuatan-kekuatan sejarah, Generalisasi Sejarah,
Kesalahan-kesalahan Sejarawan, Sejarah dan Pembangunan, serta Ramalan
Sejarah.

Secara ringkas, isi buku ini akan dipaparkan dalam tulisan berikut:

Bab 1: Apakah Sejarah Itu?

Dalam bab ini dijelaskan tentang Istilah yang memakai kata sejarah,
Pengertian sejarah secara negatif dan positif, serta Definisi sejarah.

A. Istilah yang memakai kata Sejarah

Secara etimologi, sejarah berasal dari Bahasa Arab syajara yang berarti terjadi,
syajarah berarti pohon, syajarah an-nasab berarti pohon silsilah. Sejarah
dalam Bahasa Inggris, disebut history, sedangkan dalam Bahasa Latin dan
Yunani disebut historia. Dalam Bahasa Yunani, histor atau istor yang berarti
orang pandai.

Penggunaan kata sejarah seringkali diasumsikan dengan sesuatu yang telah


terjadi, baik sesuatu yang terjadi di luar pengetahuan manusia (disebut sejarah
obyektif), maupun sesuatu yang terjadi sepengetahuan manusia (disebut sejarah
subyektif). Selain itu, ada pula kata Ilmu Sejarah atau sejarah yang sering
diartikan sebagai ilmu yang akan diajarkan di Jurusan Sejarah. Juga kata
sejarah yang dihubungkan dengan profesi terkait dengan kesejarahan, seperti
guru sejarah, pegawai sejarah, pencatat sejarah, pelaku dan saksi sejarah, serta
peneliti dan penulis sejarah.
B. Pengertian Sejarah secara negatif dan positif

Untuk memahami karakteristik Ilmu Sejarah, perlu diketahui pengertian


sejarah secara negatif dan positif. Dalam pengertian sejarah secara negatif, ada
beberapa hal yang harus dipahami, yaitu:

1. Sejarah itu bukan mitos.


Mitos berasal dari bahasa Yunani mythos yang berarti dongeng. Mitos
memiliki kegunaan tersendiri, tetapi mitos bukan sejarah, dan mitos
berbeda dengan sejarah. Dalam mitos tidak ada penjelasan kapan peristiwa
itu terjadi, sedangkan dalam sejarah, setiap peristiwa harus diceritakan
kapan terjadi. Mitos bersama dengan nyanyian, mantra, syair, dan pepatah
termasuk dalam tradisi lisan, dan tradisi lisan ini dapat menjadi sumber
sejarah sejauh prosedur penelitian sejarah diterapkan atas sumber tersebut.
Beberapa mitos dapat disebutkan, antara lain Babad Tanah Jawi, dan
Lutung Kasarung.
2. Sejarah itu bukan filsafat
Sejarah sebagai ilmu dapat dipandang tidak ilmiah bila dihubungkan
dengan filsafat, karena filsafat berbicara tentang moral dan bersifat abstrak,
sehingga dapat terjadi sejarah dimoralkan dan sejarah sebagai ilmu yang
konkret dapat menjadi filsafat yang abstrak. Oleh karena itu, menurut
Leopold von Ranke (1795-1886) yang berasal dari Jerman, sejarah akan
menjadi obyektif jika dituliskan sesuai dengan peristiwa yang terjadi.
3. Sejarah itu bukan Ilmu Alam
Ilmu terbagi ke dalam ilmu alam dan ilmu kemanusiaan. Ilmu alam
bertujuan menemukan hukum-hukum umum atau bersifat nomotetis. Dalam
bahasa Yunani, nomo berarti hukum, dan tithenai berarti mendirikan.
Dalam ilmu alam, hukum-hukum berlaku secara tetap. Sejarah termasuk ke
dalam ilmu-ilmu manusia (human studies), dan kemudian dipecah ke dalam
ilmu-ilmu sosial (social sciences) dan ilmu-ilmu kemanusiaan (humanities).
Sejarah berusaha menuliskan hal-hal yang khas atau bersifat idiografis.
Dalam bahasa Yunani, idio berarti ciri-ciri seseorang atau idea yang berarti
pikiran, sedangkan graphein berarti menulis, sehingga sejarah adalah ilmu
yang menuliskan pikiran pelaku.
4. Sejarah itu bukan Sastra
Sejarah berbeda dengan sastra, setidaknya dalam empat hal, yaitu cara
kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulan. Dalam sastra tulisan
yang dihasilkan seorang pengarang adalah hasil imajinasi sebagaimana
dimengerti oleh pengarangnya. Kebebasan pengarang demikian besar
sehingga kebenaran dari suatu peristiwa atau suatu cerita secara mutlak ada
di bawah kekuasaannya. Tidak demikian halnya dengan sejarah. Sejarah
harus berusaha memberikan informasi selengkap-lengkapnya, setuntas-
tuntasnya, dan sejelas-jelasnya.

Dalam pengertian sejarah secara positif, ada beberapa hal yang harus dipahami,
yaitu:

1. Sejarah adalah ilmu tentang manusia


Peristiwa masa lalu itu sangat luas. Sejarah bercerita tentang peristiwa
masa lalu manusia secara khusus, bukan cerita tentang masa lalu manusia
secara keseluruhan, karena manusia berupa fosil menjadi obyek penelitian
antropologi ragawi, dan benda-benda menjadi pekerjaaan arkeologi.
Terjadinya alam semesta menjadi obyek penelitian astronomi, dan
pergeseran-pergeseran bumi di masa lalu menjadi pekerjaan geologi.
2. Sejarah adalah ilmu tentang waktu
Sejarah membicarakan masyarakat dari segi waktu, sehingga sejarah adalah
ilmu tentang waktu. Dalam waktu terjadi empat hal, yaitu perkembangan,
kesinambungan, pengulangan, dan perubahan. Agar setiap waktu dapat
dipahami, sejarah membuat pembabakan waktu atau periodesasi. Setiap
periodesasi dibuat menurut jenis sejarah yang akan ditulis.
3. Sejarah adalah ilmu tentang sesuatu yang mempunyai makna sosial
Tidak semua peristiwa penting itu dimaksudkan untuk perkembangan dan
perubahan masyarakat. Namun, sesuatu yang mengandung makna sosial
penting bagi suatu masyarakat, misalnya perempuan pertama yang menjadi
pencipta lagu, atau gedung kesenian pada masa Hindia Belanda memiliki
makna sosial karena merupakan contoh peninggalan suatu masa tertentu.
4. Sejarah adalah ilmu tentang sesuatu yang tertentu, satu-satunya, dan
terperinci
Sejarah adalah sejarah tertentu, particular. Particular berasal dari bahasa
Latin particularis yang berarti tertentu. Dalam hal ini sejarah berbeda
dengan filsafat dan ilmu lainnya. Sejarah itu ilmu mengenai satu-satunya,
unik. Unik, dalam bahasa Inggris unique dan dalam bahasa Latin uniqus
yang berarti satu-satunya, karena sejarah harus menulis peristiwa, tempat,
dan waktu yang hanya sekali terjadi. Sejarah harus terperinci, detail. Dalam
bahasa Peranacis kuno detailer berarti terperinci, dan dalam bahasa Latin
dis berarti terpisah dan talea berarti memotong, sehingga sejarah harus
menyajikan yang kecil-kecil, tidak terbatas pada hal-hal yang besar. Jadi,
Sejarawan adalah master of details.
C. Definisi Sejarah
Sejarah adalah rekonstruksi masa lalu. Sejarawan dapat merekonstruksi apa
saja yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh
orang berdasarkan fakta sejarah.

Bab 2: Guna Sejarah

Sejarah berguna secara intrinsik dan ekstrinsik. Secara intrinsik, guna


sejarah adalah (1) sejarah sebagai ilmu; (2) sejarah sebagai cara mengetahui masa
lalu; (3) sejarah sebagai pernyataan pendapat; dan (4) sejarah sebagai profesi.

Sejarah adalah ilmu yang terbuka. Sejarah sebagai ilmu dapat berkembang
dengan berbagai cara, baik dalam filsafat, teori sejarah, ilmu-ilmu lain, dan
perkembangan dalam metode sejarah. Hal itu berarti bahwa sejarah selalu
responsif terhadap kebutuhan masyarakat akan informasi. Sejarah sebagai cara
mengetahui masa lalu berjalan bersama dengan mitos. Namun, ada perbedaaan di
antara keduanya, yaitu biasanya Bangsa yang belum mengenal tulisan
mengandalkan mitos, dan yang sudah mengenal tulisan mengandalkan sejarah.
Bila orang sudah mengetahui masa lalunya, setidaknya ada dua sikap terkandung
di dalamnya, yaitu melestarikan atau menolak. Selain itu, sejarah berguna pula
untuk menyatakan pendapat dan menjadikan sejarah sebagai profesi.

Sementara itu, secara ekstrinsik, sejarah dapat digunakan sebagai liberal


education untuk mempersiapkan mahasiswa agar mereka siap secara filosofis. Di
Indonesia, sejarah selain diajarkan pada sekolah tingkat dasar, menengah, dan
mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, juga diajarkan pada penataran-penataran P-4.
Secara umum, sejarah berfungsi untuk pendidikan moral, penalaran, politik,
kebijakan, perubahan, masa depan, keindahan dan ilmu bantu, juga berfungsi
sebagai latar belakang, rujukan, dan bukti.

Bab 3: Sejarah Penulisan

Dalam bab ini dikemukakan sejarah penulisan sejarah (historiography)


Eropa, karena sejarah modern selama ini dianggap berasal dari Eropa. Sejarah
historiografi Eropa akan dilihat sebagai gejala yang terikat oleh waktu (time
bound), dan terikat oleh kebudayaan (culture bound) zamannya.

A. Zaman Yunani dan Romawi

Tulisan sejarah di Eropa muncul di Yunani dalam bentuk puisi. Karya Homer
berbentuk puisi itu berdasar pada cerita-cerita lama yang menceritakan
kehancuran Troya pada 1200 SM. Tulisan sejarah dalam bentuk prosa baru
muncul pada abad ke-6 SM di Ionia. Dalam kebudayaan pun muncul filsafat
spekulatif yang mempersoalkan asal usul dan struktur dunia.

Penulis sejarah yang terkenal pada waktu itu adalah Herodotus (ca 484-425
SM), Thucydides (ca 456-396 SM), dan Polybius (ca 198-117 SM). Herodotus
disebut sebagai bapak sejarah, karena tulisannya dianggap sebagai karya
sejarah. Ia melukiskan abad ke-6 dan ke-5, dan menulis tentang apa yang
sekarang disebut sebagai antropologi dan sosiologi. Ia melukiskan perang
Yunani-Persia pada 478 SM, perang antara peradaban Hellenic dan Timur yang
dimenangkan oleh Yunani. Namun, meskipun ia menggunakan kesaksian dan
sumber dari kedua belah pihak dan bersikap netral, sejarahnya dianggap
memiliki cacat, yaitu ia tidak akurat dalam melukiskan perang, dan ia tidak
bisa menghindar dari sebab akibat supernatural.

Thucydides menulis perang antara Athena-Sparta yang dimenangkan oleh


Athena. Ia adalah seorang jendral dan politisi. Tulisannya tentang perang
Peloponnesos (431-404 SM) dianggap sebagai laporan perang yang ditulis oleh
seorang saksi mata yang tidak memihak salah satu pihak, akurat, dan
menghindar dari penjelasan supernatural. Ia adalah orang pertama yang
menyadari bahwa sejarah bisa pragmatis.

Polybius adalah orang Yunani yang besar di Roma. Ia banyak menulis tentang
perpindahan kekuasaan dari Yunani ke Romawi, ia berjasa dalam
mengembangkan metode kritis dalam penulisan sejarah. Dalam metodologi, ia
menemukan bahwa geografi dan topografi penting untuk sejarah. Ia juga
melihat bahwa sejarah itu pragmatis, dan sejarah adalah philosophy teaching
by example.

Sejarah Romawi pada mulanya ditulis dalam bahasa Yunani, baru kemudian
menggunakan bahasa Latin. Penulis sejarah Romawi, di antaranya Julius
Caesar (100-44 SM), Sallustius (ca 86-34 SM), Livius (59 SM-17 M), dan
Tacitus (ca 55-120 M).

Julius Caesar adalah seorang Jendral Romawi yang menulis buku


Commentaries on Gallic Wars. Lukisannya tentang Gallia menjadi sumber
penting dari adat istiadat bangsa itu.

Sallustius (Gaius Sallustius Crispus) menulis History of Rome, Conspiracy of


Catiline, Jugurthine War. Meskipun analisisnya tentang politik tidak memihak,
namun dalam tulisannya itu, ia tidak hati-hati dalam kronologi dan geografi,
karena ia hanya mengandalkan sekretaris.

Livius (Titus Livius) menulis sejarah Romawi sebagai Negara dunia dengan
semangat patriotisme. Kisahnya berdirinya Kota Roma merupakan campuran
antara fantasi dan fakta, sehingga ia mengorbankan kebenaran sejarah demi
retorika.

Tacitus (Publius Cornelius Taticus) menulis Annals, Histories, dan Germanis.


Tulisannya berada antara Livius yang cenderung pada retorika dan Polybius
yang cenderung pada sejarah. Ia mengemukan sebab moral keruntuhan
Romawi. Ia juga menulis tentang bangsa Jerman, dan tulisannya itu merupakan
satu-satunya informasi pada waktu itu.

B. Zaman Kristen Awal dan Zaman Pertengahan

Berbeda dengan penulisan sejarah Yunani dan Romawi, pada zaman Kristen
Awal dan Zaman Pertengahan, penulisan sejarah bertumpu pada agama dan
supernaturalisme, sehingga sejarah dan teologi tidak dapat dipisahkan.
Kemenangan Kristen di Eropa mempunyai pengaruh yang luas, termasuk
dalam penulisan sejarah. Tulisan Augustine (354-430 berjudul The City of God
merupakan filsafat sejarah Kristen yang sangat berpengaruh. Dalam pandangan
Kristen, orang harus memilih antara Tuhan dan setan, dan setiap orang yang
terlibat dalam sejarah suci akan dimenangkan oleh Tuhan. Dengan demikian,
penulisan sejarah terpusat pada gereja dan Negara dengan pendeta dan raja
sebagai pelaku utama. Hasil tulisan pada masa itu berupa annals, chronicles,
sejarah umum, dan biografi.

Karya dari zaman Kristern Awal, adalah tulisan Africanus (Sextus Julius
Africanus, ca 180-ca 250), berupa Chronographia yang melukiskan dunia
sejak diciptakan hingga 221 M. Tulisannya banyak mengambil dari Yahudi,
Yunani, dan Romawi. Eusebius (Eusebius Pamphilus, ca 260- ca 240), yang
menulis Chronicle dan Church History dalam bahasa Yunani. Ia membagi
kronologinya menjadi dua bagian, yaitu sacred yang bercerita tentang Yahudi
dan Kristen, profane yang bercerita tentang pagan (kafir). Orosius (Paulus
Orosius, ca 380-ca 420), lahir di spanyol, kemudian pergi ke Afrika. Ia belajar
dengan Augustine selama 5 tahun. Bukunya Seven Books Against the Pagans,
menceritakan keruntuhan paganisme (Mesir, Yunani, dan Romawi), dan
keruntuhan itu memang sudah kehendak Tuhan.
Zaman Pertengahan berlangsung dari abad ke-5 hingga abad ke-15. Namun,
tidak semua historiografi dapat dilacak. Beberapa di antara yang terlacak
adalah Cassiodorus (Marcus Aurelius Cassiodorus, ca 480-570), yang menulis
History of the Goths ketika ia menjadi pegawai Raja Theodoric dari
Ostrogoths. Procopius (ca 500-565), menulis The History of His Own Time
dalam bahasa Yunani, yang menceritakan Byzantium ketika perang melawan
Persia, Afrika, dan Goths. Ia menyertai seorang jendral Byzantium dalam
perang sehingga ia merupakan saksi mata. Gregory (Bishop Tours, 538-594),
menulis History of the Franks dalam bahasa Latin yang bercerita tentang
sejarah dunia sejak zaman kuno hingga abad ke-5. Sebagai seorang saksi mata,
tulisan Gregory menandai masa peralihan menuju Zaman Pertengahan. Bede
(Venerable Bede, 672-735) menulis Ecclesiastical History of the english
People dalam bahasa Latin, yang bercerita tentang terbentuknya kebudayaan
Anglo-Saxon. Biografi tentang orang-orang yang berjasa dalam misi Kristen di
Inggris, menjadi biografi yang sangat penting dalam buku itu. Mempelajari
sejarah Zaman Pertengahan menjadi penting bagi sejarah Indonesia karena ada
kemiripan antara annals, chronicles, sejarah umum, dan biografi dengan
babad, lontar, lontara, hikayat, dan tambo.

C. Abad Ke-16: Zaman Renaisans, Reformasi, dan Kontra-Reformasi

Historiografi pada masa ini, sebagaimana masa sebelumnya memiliki tema


yang sama, yaitu sejarah agama dan sejarah politik, sekalipun dengan alasan
berbeda.

Pada masa Renaisans, para penulis sejarah menjadikan penulisan sejarah


Yunani dan Romawi sebagai model, dan pada umumnya tulisan mereka
menggunakan bahasa Latin. Historiografi Renaisans seiring dengan
pertumbuhan kebudayaannya lahir di Italia, dan sejarah yang ditulisnya
sebagian besar atas perintah penguasa. Mereka itu, di antaranya Lorenzo Valla
(1407-1457) yang menulis The History of Ferdinand I of Aragon. Buku ini
merupakan sejarah resmi.Ia termasyhur ketika membuktikan kepalsuan Hadiah
Konstantinus yang memberikan hak politik kepada Paus. Konstantinus adalah
Kaisar Romawi (305-337). Penulis sejarah lainnya adalah Guicciardini yang
menulis History of Florence dan History of Italy. Buku yang pertama tidak
diterbitkan sampai tahun 1859 sehingga bukunya itu tidak banyak pengaruhnya
pada historiografi Renaisans. Sementara itu, bukunya yang kedua ditulis
melalui pendekatah geografis. Kedua buku Guicciardini itu merupakan sejarah
universal yang pertama di Italia. Sebenarnya masih banyak historiografi
Renaisans yang ditulis oleh penulis dari Jerman, Belanda, Inggris, dan
Perancis, namun dalam buku ini tidak diuraikan lebih lanjut.

Pada Zaman Reformasi muncul reaksi atas gerakan Renaisans yang ingin
menggantikan wahyu dengan akal, teologi dengan ilmu, kebudayaan teosentris
dengan antroposentris, dan kebudayaan Kristen dengan paganisme. Pada masa
Reformasi, teologi lama ingin digantikan dengan teologi baru. Dalam
historiografi, diwakili oleh Matthias Vlacich Illyricus (1520-1575), yang
menulis Magdeburg Centuries. Buku yang banyak dikecam oleh gerakan
Kontra Reformasi ini berisi serangan terhadap institusi kepausan terutama dari
segi hukum dan konstitusi. Sleidanus (John Sleidan, 1506-1556), menulis
Commentaries on Political and Religious in Reign of the Emperor Charles V,
1517-1555, yang berisi pembelaan atas tahta raja-raja Protestan dari aliran
Lutheranisme, Jerman Utara. Heinrich Bullinger (1504-1575), berasal dari
Swiss dan pengikut Zwingli. Ia menulis History of the Reformation, 1519-
1532, dari berbagai sumber sehingga orang percaya akan kejujurannya.

Pada Zaman Kontra Reformasi, muncul gerakan yang ingin mengembalikan


kewibawaan gereja Katolik yang telah dirusak oleh gerakan Reformasi. Penulis
sejarah dari zaman ini diwakili oleh Cardinal Caesar Baronius (1538-1607) dan
sejarawan-sejarawan Jesuit. Baronius menulis Ecclesistical Annals dalam
beberapa jilid dari berbagai sumber untuk menjawab tuduhan Magdeburg
Centuries. Sejarahnya bersifat apologetic dan memihak, dan sering
mengalihkan isu penting ke isu sekunder dan tidak relevan.

D. Abad Ke-17: Zaman Penemuan Daerah Baru


Penemuan daerah-daerah baru abad ke-15, ke-16, dan ke-17 sangat
berpengaruh bagi perkembangan historiografi Eropa, dan sejarah sosial
menjadi tema utama pada zaman ini. Penulis sejarah pada zaman itu, di
antaranya Marco Polo (1254-1324), menulis Travels ketika ia mengabdi di
Istana China, Travels of Sir John Mandeville, yang terbit setelah pertengahan
abad ke-14. Christopher Columbus (1451-1506) yang berasal dari Genoa
menemukan Amerika pada tahun 1492. Hernndo Cortsz (1485-1547)
menulis laporan ketika ia menjadi saksi mata atas penaklukan Meksiko.
Laporan itu sekaligus sebagai pembelaan atas petualangannya tersebut.

Para penjajah awal datang dari Italia, Spanyol, dan Portugal, kemudian bangsa-
bangsa dari Eropa Utara, seperti Perancis, Belanda, dan Inggris. Beberapa di
antara penulis-penulis sejarah yang menulis sejarah Amerika dan Inggris,
misalnya Gubernur William Bradford (1590-1657) yang menulis History of
Plymouth Plantation dan John Winthrop (1588-1649) yang menulis History of
New England. Tulisan tentang keagamaan ditulis oleh Cotton Mather (1663-
1728), The Ecclesiastical History of New England, yang berisi tentang gereja,
pendidikan seperti Harvard College, dan perang melawan Indian.

E. Abad Ke-18: Zaman Rasionalisme dan Pencerahan

Historiografi pada abad ke-18, dipengaruhi oleh pemikiran Rasionalisme abad


ke-17 yang dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650) dari Perancis, Francis
Bacon (1561-1626) dari Inggris, dan Baruch Spinoza (1632-1677) dari
Belanda. Sikap universal kaum Rasionalis telah meluaskan pandangan orang
Eropa secara geografis dengan topik utama, sejarah peradaban. Tiga aliran
utama dari pemikiran itu, adalah aliran radikal yang dipelopori oleh Voltaire,
moderat dan konservatif yang dipelopori oleh Montesquieu, dan sentimental
yang dipelopori oleh Rousseau. Voltaire (Franois Arouet, 1694-1778) menulis
kehidupan Charles XII dari Swedia. Meskipun ia dapat menggambarkan
pribadi Charles XII, Voltaire kurang mengerti latar belakang kelembagaan dan
logic of evens. Sementara itu, bukunya, The Age of Louis XIV dipandang
sebagai buku sejarah yang sistematis dan disebut the first modern history.
Karya Voltaire yang mewakili zamannya adalah Essay on the Manners and
Spirit of the Nation (1756), yang membeberkan sumbangan bangsa-bangsa
Timur dan Islam dalam hal politik yang berhubungan dengan faktor-faktor
sosial dan ekonomi. Voltaire menolak pemikiran dari zaman sebelumnya, dan
satu-satunya yang dihormati adalah Zaman Rasionalisme.

Berbeda dengan sejarawan Perancis yang cenderung revolusioner, sejarawan


Inggris cukup puas dengan perkembangan institusional.

David Hume (1711-1776) adalah sejarawan Inggris yang menulis History of


England from the Invasion of Julius Caesar to the Revoluion of 1688. Ia
percaya bahwa sejarah adalah catatan dari perkembangan intelektual dan
moral. Edward Gibbon (1737-1794) menulis The Decline and Fall of the
Roman Empire (1776-1788). Meskipun tidak sepopuler Voltaire, ia konsisten
hanya menulis sejarah secara akurat. Ia seorang rasionalis yang juga menulis
agama Kristen di Barat secara obyektif, dan ia juga orang pertama yang
menulis tentang sumbangan Islam dalam peradaban. Baron de Montesquieu
(1689-1755) adalah seorang filsuf politik, dan penulis buku sejarah. Ia menulis
The Causes of the Greatness and the Decadence of the Romans (1734).
Montesquieu berpendapat bahwa institusi ekonomi Romawi tidak dapat
mendukung karena imperium itu terlalu besar. Ia juga berpendapat bahwa yang
penting dalam tulisan sejarah adalah interpretasi. Adam Ferguson (1723-1816)
adalah pengikut Montesquieu. Ia menulis History of Civil Society (1765) dan
History of the Progress and Termination of the Roman Republic (1782).
Bukunya yang pertama merupakan karya sosiologi historis yang menunjukkan
adanya evolusi sosial. Sebagaimana Montesquieu, ia juga melakukan
interpretasi. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) lebih dikenal sebagai filsuf
dan pemikir politik. Ia sangat bersimpati terhadap penderitaan massa di bawah
despotism yang didukung kaum borjuasi. Namun, sampai pecah Revolusi
Perancis, pikiran-pikiran Rousseau tidak populer di Perancis. Pengikut
Rousseau di Jerman adalah Friederich Schiller (1759-1805) yang menulis
History of Rebellion of the Netherland against the Spanish Rule dan The
History of the Thirty Years War. Ia seorang penyair-dramawan-sejarawan.
Pengikut lainnya di Jerman, adalah Johann Gottfried von Herder (1744-1803)
yang dikenal sebagai filsuf sejarah. Dalam bukunya Ideas for the Philosophy of
the History of Humanity, ia merangkum pemikiran Voltaire dan Montesquieu.
Pemikirannya tentang evolusi dan keunikan peradaban nasional, membuat ia
menjadi pendorong penulisan sejarah yang nasionalis.

Sumbangan besar dari abad ke-18 adalah gagasan kemajuan (The Idea of
Progress) yang mengarah bahwa peradaban manusia akan terus bergerak maju,
meskipun di antara tokoh-tokohnya ada perbedaan pendapat, seperti misalnya
Bernard de Fontenelle (1657-1757), Charles Perrault (1628-1703), Abb de
Saint-Pierre (1658-1743), Giovanni Battista Vico (1668-1744), Anne Robert
Jacques Turgot (1727-1781), Marquis de Condorcet (1743-1794), Johann
Gottfried von Herder (1744-1803), Immanuel Kant (1724-1804), William
Godwin (1756-1836), Henri de Saint-Simon (1760-1825), dan Auguste Comte
(1798-1857).

F. Abad Ke-19: Zaman Romantisme, Nasionalisme, dan Liberalisme

Ciri-ciri dari historiografi abad ke-19 adalah; (1) penghargaan kembali


pemikiran pada Zaman Pertengahan; (2) munculnya filsafat sejarah; (3)
munculnya teori orang besar; (4) munculnya nasionalisme, dan (5)
munculnya liberalisme sebagai akibat Revolusi Inggris pada abad ke-17,
Revolusi Amerika, Revolusi Perancis, Perang Kemerdekaan Prusia, serta
revolusi pada tahun 1830 dan 1848.

Romantisme dari historiografi pada zaman ini merupakan kebalikan dari


Rasionalisme. Tokoh-tokohnya, antara lain Francois Auguste Chateaubriand
(1768-1848), yang menulis Historical, Political and Moral Essay on
Revolutions (1797), The Genius of Christianity (1802), dan The Martyrs
(1809). Madame Anne Louise de Stael (1766-1817), menulis Literature in Its
Relation to the Moral and Political Condition of Nations (1800). Sir Walter
Scott (1771-1832), banyak menulis novel sejarah, di antaranya Ivanhoe, dan
The Talismen. Karyanya yang bersifat sejarah adalah Life of Napoleon. Ia
bersama dengan Chateaubriand merupakan pelopor penulisan novel sejarah.
Augustin Thierry (1795-1856), menulis History of the Conquest of England by
the Normans dan Narratives of the Merovingian Period. Ia menulis untuk
kaum borjuasi dan republikanisme. Jules Michelet (1798-1874), menulis
History of France, The People, dan History of the French Revolution. Baginya,
sejarah adalah drama kebebasan manusia. Tulisannya menunjukkan semangat
romantisme dan nasionalisme. Thomas Carlyle (1795-1881), menulis Letters
and Speeches of Cromwell, History of Frederick the Great, dan French
Revolution. Ia merupakan pencetus teori orang besar dalam sejarah, dan
sejarah tidak lain dari biografi kolektif.

Pada abad ke-19 ini juga menghasilkan filsafat sejarah. Para tokohnya, antara
lain Johann Gottfried von Herder (1744-1803), Immanuel Kant (1724-1804),
Johann Gottfried Fichte (1762-1814), Friedrich Wilhelm Joseph von Schelling
(1775-1854), Karl Wilhelm Friedrich vob Schlegel (1772-1829), Geog
Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), Heinrich Karl Marx (1818-1883),
Friedrich Nietzsche (1884-1900), Arnold J. Toynbee (1889-1975).

Sejarah yang bersifat nasionalis ada di Jerman, Perancis, Inggris, dan


sebagainya. Kegiatan sejarah ini selain mengumpulkan sumber juga penulisan
sejarah. Dari Jerman, para tokohnya di antaranya Johann Gustav Droysen
(1804-1884), dan Heinrich von Treitschke (1834-1896). Dari Perancis, antara
lain Francois Guizot (1787-1874), dan dari Inggris, antara lain Thomas
Babington Macaulay (1800-1859).

G. Akhir Abad Ke-19 dan Abad Ke-20: Sejarah Kritis dan Sejarah Baru

Penulisan sejarah kritis sudah lama dirintis oleh Jean Bodin (1530-1596) dalam
bukunya Method for Easily Understanding History (1566), Jean Mabillon
(1632-1707) dalam tulisan De Re Diplomatica, Berthold Georg Nienuhr (1776-
1831) yang menulis Roman History, dan tulisan-tulisan sebelum Leopold von
Ranke (1795-1886) yang menulis, antara lain A Critique of Modern Historical
Writers.sebagai pelopor historiografi modern, Ranke menganjurkan agar
sejarawan menulis apa yang sebenarnya terjadi, wie es eigentlich gewesen,
sebab setiap periode sejarah itu akan dipengaruhi oleh semangat zamannya
(Zeitgeist). Secara terpisah, Theodor Mommsen (1817-1903) mengikuti apa
yang dikerjakan Ranke.

Ranke mulai diragukan kebenarannya, karena menulis sejarah sebagaimana


terjadi itu bertentangan dengan psikologi. Carl L. Becker (1873-1945) dari
Amerika, menyatakan bahwa fakta baik fakta keras (hardfact) maupun fakta
lunak (coldfact) hanyalah ilusi. Fakta sejarah sengaja dipilih oleh sejarawan,
sehingga sejarah yang obyektif itu tidak ada. Kemudian, Harvey Robinson
(1863-1936), juga dari Amerika, mengatakan bahwa sejarah kritis hanya dapat
menangkap permukaan tetapi tidak yang di bawah realitas. Oleh karena
itu, si penulis sulit ataun tidak dapat memahami perilaku manusia.

Dari perdebatan itu, kemudian muncul gagasan tentang perlunya Sejarah Baru.
Para tokoh dari Amerika, antara lain Robinson menulis The New History
(1911) yang memuat secara jelas program Sejarah Baru. Program itu kemudian
dikemukakan kembali oleh Becker pada tahun 1925. Dalam Sejarah Baru
ditekankan pentingnya ilmu-ilmu sosial. Jika historiografi klasik menekankan
retorik, historiografi modern menekankan kritik, Sejarah Baru menekankan
ilmu sosial. Meskipun ada kecenderungan yang menekankan penulisan sejarah
naratif seperti pada sejarah mentalitas dan sejarah kebudayaan, pendekatan
ilmu sosial tetap penting.

Bab 4: Sejarah Sebagai Ilmu dan Seni

Sejarah sebagai ilmu memiliki ciri-ciri (1) bersifat empiris; (2) memiliki obyek;
(3) memiliki teori; (4) memiliki generalisasi; (5) dan memiliki metode.

Meskipun demikian, sebagai sebuah ilmu, sejarah tidak lekang terhadap kritik.
Salah satu kritik yang dilontarkan adalah bahwa menulis sejarah itu cukup dengan
common sense. Oleh karena itu, orang tidak boleh takut menulis sejarah.
Sebenarnya tidak demikian. Para pelaku sejarah dan saksi sejarah perlu
diyakinkan bahwa apa pun peran mereka, catatan sejarah berupa dokumen, atau
rekaman itu penting bagi penulisan sejarah di masa itu. Walaupun sejarah itu ilmu
yang terbuka dan menggunakan bahasa sehari-hari, penulisan sejarah tetap ditulis
secara professional melalui riset. Kritik lainnya adalah sejarah itu akan kering jika
ditulis sebatas substansi. Penulisan sejarah perlu retorika, artinya ketika tulisan
baik, penalaran teratur, sistematis, dan runut, itulah yang dimaksud retorika.
Dengan itu, penulisan sejarah tak akan terasa kering.

Sejarah pada umumnya menggunakan bahasa sehari-hari, sehingga dalam


penulisan, sejarah memerlukan konsep. Selain itu, sejarah pada dasarnya ilmu
diakronis yang memanjang dalam waktu, tetapi dalam ruang yang sempit. Ketika
sejarah bersentuhan dengan ilmu sosial, sejarah menjadi ilmu yang sinkronis.
Artinya, selain memanjang dalam waktu, sejarah juga melebar dalam ruang.
Dengan demikian, sejarah adalah ilmu yang diakronis, dan juga sinkronis.

Sejarah sebagai seni memerlukan intuisi, imajinasi, emosi, dan gaya bahasa.
Namun, jika penulisan sejarah seperti itu, sejarah akan kehilangan ketepatan dan
obyektifitasnya, dan tema-tema sejarah pun akan terbatas. Dalam menyikapi kritik
tersebut, apa yang dapat disumbangkan seni bagi sejarah? Seni memberi
karakterisasi dan struktur yag sangat berguna bagi penulisan sejarah. Karakterisasi
dalam biografi, dan struktur dalam menuliskan alur atau plot dalam suatu
peristiwa sejarah.

Bab 5: Pendidikan Sejarawan

Pendidikan sejarah bagi sejarawan yang akan menjadi penulis sejarah, tergantung
dari kurikulum yang akan dipelajarinya di perguruan tinggi. Berdasarkan
Konsorsium Ilmu-Ilmu Sastra dalam kurikulum S-1 terdapat Mata Kuliah Dasar
Universitas (MKDU, Mata Kuliah Dasar Umum), dan Fakultas (MKDK, Mata
Kuliah Dasar Keahlian), Mata Kuliah Jurusan (MKK, Mata Kuliah Keahlian), dan
Mata Kuliah Pilihan (MKP, Mata Kuliah Pilihan). Dari kurikulum itu, terdapat
mata kuliah yang mencerminkan (1) Kajian Sejarah; (2) Historiografi; (3) Filsafat,
Teori, Metodologi, dan Metode; (4) Bahasa sumber; dan (5) Ilmu bantu.
Setiap orang dapat menjadi sejarawan. Pada umumnya, ada tiga golongan
sejarawan, yaitu sejarawan professional, sejarawan dari disiplin ilmu lain, dan
sejarawan dari masyarakat.

Sejarawan professional merupakan ujung tombak penulisan sejarah. Dengan


banyaknya jurusan sejarah di perguruan-perguruan tinggi, lulusan jurusan sejarah
akan sangat bervariasi. Ibarat pasukan khusus, sejarawan akan survive, dalam arti
bahwa di mana pun mereka akan terus menulis sejarah.

Sejarawan dari disiplin ilmu lain, adalah orang yang menulis sejarah dari bidang
ilmu tertentu, misalnya seorang arsitek yang menulis sejarah arsitektur, atau
seorang ekonom yang menulis sejarah pemasaran di sebuah pabrik gula.

Sejarawan dari masyarakat adalah seseorang yang menulis sejarah dari berbagai
profesi tentang suatu peristiwa, misalnya seorang olahragawan menulis sejarah
olehraga dari cabang tertentu. Atau seorang jurnalis yang menulis biografi dari
seorang tokoh. Sejarawan amatir yang berasal dari masyarakat ini besar
sumbangsihnya bagi penulisan sejarah dengan tema-tema tertentu.

Bab 6: Penelitian Sejarah

Tahapan yang harus ditempuh dalam penelitian sejarah ada lima, yaitu: (1)
pemilihan topik; (2) pengumpulan sumber; (3) verifikasi atau kritik sejarah dan
keabsahan sumber; (4) interpretasi, analisis, dan sintesis; serta (5) penulisan.

Dalam pemilihan topik, sebaiknya dipilih berdasarkan (1) kedekatan emosional,


dan (2) kedekatan intelektual. Kedua syarat itu, subyektif dan obyektif sangat
penting karena seseorang akan bekerja jika ia senang dan mampu. Setelah
memiliki topik, barulah dibuat (3) rencana penelitian.

Kedekatan emosional, artinya dalam memilih topik penelitian seseorang harus


menentukan batasan geografis, yaitu daerah mana yang menjadi obyek penelitian
(where). Setelah itu, menetapkan batas waktu, dalam arti sumber tertulis maupun
lisan cukup tersedia (when). Selanjutnya, siapa saja orang yang terlibat di
dalamnya (who). Kemudian, apa saja yang diperbuat oleh para tokoh tadi sehingga
menjadi suatu kejadian atau peristiwa (what). Lalu dapat pula dipertanyakan
motivasi dari perbuatan masing-masing tokoh tersebut (why), dan proses dari
terjadinya sesuatu itu (how).

Kedekatan intelektual adalah cara untuk mengerti bahwa sejarah merupakan ilmu
empiris yang harus menghindari penilaian subyektif. Oleh karena itu, walaupun
kedekatan emosional itu harus diakui dengan jujur, seorang peneliti tidak boleh
terjebak dalam kedekatan emosional iu dan harus membuka jarak agar tetap
obyektif dan menulis sejarah sesuai dengan fakta sejarah.

Rencana penelitian, sebaiknya berisi (1) Permasalahan, (2) Historiografi, (3)


Sumber sejarah, (4) Garis Besar. Selain itu, harus diperhitungkan juga tentang
pendanaan dan waktu penelitian

Pengumpulan sumber adalah satu kegiatan mengumpulkan sumber. Sumber


sejarah disebut juga data sejarah. Data berasal dari bahasa Inggris datum (bentuk
tunggal), atau data (bentuk jamak), dan dalam bahasa Latin datum berarti
pemberian. Sumber menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua, yaitu tertulis dan
tidak tertulis, atau dokumen dan artefak (artifact). Selain itu, jika akan meneliti
masalah yang memerlukan sumber lisan, maka harus dicari melalui sejarah lisan.
Pada prinsipnya sumber yang dikumpulkan adalah sumber primer, baru kemudian
sumber sekunder, dan seterusnya. Dalam penelitian dengan sub tema tertentu yang
memerlukan angka-angka, harus dicari juga sumber kuantitatif.

Setelah penentuan topik, dan sumber dikumpulkan, tahap berikutnya adalah


verifikasi atau kritik sejarah, atau keabsahan sumber. Verifikasi ada dua macam,
yaitu autentisitas atau keaslian sumber atau kritik ekstern, dan kredibilitas atau
kebiasaan dipercayai, atau kritik intern.

Selanjutnya, dilakukan interpretasi atau penafsiran, yang sering disebut juga


sebagai sumber subyektivitas. Penafsiran itu bisa benar, dan bisa juga salah,
tergantung dari bagaimana sejarawan itu mencantumkan data. Orang lain dapat
melihat kembali dan menafsirkan ulang. Oleh karena itu, subyektivitas penulisan
sejarah diakui, namun sebisa mungkin dihindari. Interpretasi ada dua macam,
yaitu analisis dan sintesis.

Analisis berarti menguraikan, karena kadang-kadang sebuah sumber mengandung


beberapa kemungkinan. Setelah analisis, barulah ditemukan fakta. Fakta berasal
dari bahasa Inggris fact atau factum (bentuk tunggal), facts atau facta (bentuk
jamak); bahasa Latin factus dari facere, yang berarti mengerjakan. Selanjunya
adalah proses sintesis yang berarti menyatukan. Namun, kadang-kadang
perbedaan antara analisis dan sintesis dapat dilupakan, sekalipun keduanya
penting dalam proses berpikir, dan kata itu cukup disebut sebagai interpretasi atau
analisis sejarah, dan jarang sekali digunakan kata sintesis sejarah. Dalam hal
penulisan sejarah, aspek kronologi sangat penting.

Penyajian penelitian dalam bentuk tulisan, memiliki tiga bagian, yaitu: (1)
Pengantar, (2) Hasil Penelitian, dan (3) Simpulan.

Dalam pengantar, selain ditentukan oleh formalitas, dikemukakan permasalahan,


latar belakang berupa lintasan sejarah, historiografi dan pendapat peneliti tentang
tulisan orang lain, pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian,
teori dan konsep yang digunakan, dan sumber-sumber sejarah.

Dalam hasil penelitian, setiap fakta yang ditulis harus disertai data yang
mendukung. Profesionalisme penulis tampak dalam pertanggungjawaban yang
tertulis dalam setiap bab dalam tulisan tersebut.

Dalam simpulan, dikemukakan generalisasi (generalization) dari yang telah


diuraikan dalam bab-bab sebelumnya dan signifikansi sosial penelitian tersebut.
Dari generalisasi itu akan tampak apakah hasil penelitian itu melanjutkan,
menerima, memberi catatan, atau menolak generalisasi yang sudah ada. Demikian
juga dengan signifikansi sosial dari penelitian sejarah local tersebut. Penelitian
sejarah di masa lalu akan membuat orang lebih arif, sehingga diharapkan
kesalahan-kesalahan di masa itu tidak terulang lagi.

Bab 7: Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial


Sejarah dan ilmu-ilmu sosial memiliki hubungan timbal balik, walaupun keduanya
berbeda tujuan. Tujuan sejarah adalah mempelajari hal-hal yang unik, tunggal,
ideografis, dan sekali terjadi. Sementara itu, ilmu-ilmu sosial tertarik kepada yang
umum, ajek, nomotetis, dan merupakan pola. Selain itu, pendekatannya pun
berbeda. Sejarah itu diakronis, dan memanjang dalam waktu, sedangkan ilmu-
ilmu sosial sinkronis, dan melebar dalam ruang. Sejarah mementingkan proses,
sedangkan ilmu-ilmu sosial menekankan struktur.

Sejarah memiliki kegunaan untuk ilmu-ilmu lain, yaitu: (1) sejarah sebagai kritik
terhadap generalisasi ilmu-ilmu sosial, (2) permasalahan sejarah dapat menjadi
permasalahan ilmu-ilmu sosial, (3) pendekatan sejarah yang bersifat diakronis
menambah dimensi baru pada ilmu-ilmu sosial yang sinkronis.

Sementara itu, kegunaan ilmu-ilmu sosial untuk sejarah, bermula dari munculnya
Sejarah Baru yang lahir dari perkembangan ilmu-ilmu sosial, sehingga pengaruh
ilmu-ilmu sosial pada sejarah sangat besar. Pengaruh itu dapat digolongkan ke
dalam empat macam, yaitu: (1) konsep, (2) teori, (3) permasalahan, dan (4)
pendekatan. Meskipun penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam sejarah itu bervariasi.

Konsep, berasal dari bahasa Latin conseptus yang berarti gagasan atau ide.
Penggunaan konsep dari ilmu-ilmu sosial dapat dilihat misalny adari karya Anhar
Gonggong ketika menulis tentang Kahar Muzakar. Ia menggunakan konsep local
politics untuk menerangkan konflik antar golongan di Sulawesi Selatan. Ia juga
menggunakan konsep sirik dari ethno psychology ketika menjelaskan pribadi
Kahar Muzakar.

Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa Yunani. Yang berarti di antaranya,
kaidah yang sudah melalui verifikasi. Misalnya, teori collective behavior dari
Neil J. Smelser yang digunakanoleh T. Ibrahim Alfian dalam buku Perang di
Jalan Allah.

Permasalahan ilmu-ilmu sosial banyak yang dapat diangkat menjadi topik


penelitian sejarah, seperti persoalan mobilitas sosial, kriminalitas, migrasi,
gerakan petani, budaya istana, kebangkitan kelas menengah, dan sebagainya.
Pendekatan ilmu-ilmu sosial digunakan hamper di setiap tulisan sejarah yang
melibatkan penelitian suatu gejala sejarah jangkapanjang (aspek diakronis), dan
penelitian aspek ekonomi, masyarakat, atau politik (aspek sinkronis). Pendekatan
ilmu-ilmu sosial itu, misalnya dari sosiologi, ilmu politik, antropologi, ekonomi,
dan demografi. Dalam buku ini dicontohkan beberapa kasus dari masing-masing
pendekatan ilmu-ilmu sosial tersebut.

Bab 8: Kekuatan-Kekuatan Sejarah

Kekuatan-kekuatan sejarah bagi sebagian orang hampir tak terlihat karena orang
hanya mengenal peristiwa-peristiwa di permukaan, tidak pada apa yang
memungkinkan peristiwa-peristiwa itu terjadi. Carl G. Gustavson, dalam A
Preface of History, mengidentifikasikan enam kekuatan sejarah, yaitu ekonomi,
agama, institusi (terutama politik), teknologi, ideologi, dan militer. Selain itu,
dapat pula ditambahkan kekuatan sejarah berikutnya, seperti individu, seks, umur,
golongan, etnis dan ras, mitos, dan budaya. Dalam buku ini dicontohkan beberapa
kasus dari masing-masing kekuatan sejarah tersebut.

Bab 9: Generalisasi Sejarah

Generalisasi berasal dari bahasa Latin generalis yang berarti umum. Generalisasi
terbentuk dari penyimpulan yang khusus ke yang umum, yang dapat menjadi
dasar penelitian bila sifatnya sederhana, sudah dibuktikan oleh peneliti
sebelumnya, dan merupakan accepted history. Namun demikian, generalisasi
digunakan hanya sebatas hipotetis deskriptif, karena walau bagaimana pun sejarah
tetap empiris. Tujuan generalisasi adalah saintifikasi, dan simplifikasi.

Pada tingkatan saintifikasi, dalam sejarah, generalisasi sama dengan teori bagi
ilmu lain. Generalisasi ini digunakan untuk mengecek teori yang lebih luas,
karena teori pada tingkat makro seringkali berbeda dengan teori tingkat mikro.
Sementara itu, simplifikasi adalah penyederhanaan ruang lingkup penelitian agar
sejarawan dapat lebih mudah mencari data, melakukan kritik sumber, interpretai,
dan penulisan.

Generalisasi ada bermacam-macam, di antaranya generalisasi konseptual,


personal, tematik, spasial, periodic, sosial, kausal, kultural, sistemik, dan
struktural, Masing-masing dari generalisasi ini dijelaskan dalam contoh kasus.

Bab 10: Kesalahan-Kesalahan Sejarawan

Kesalahan-kesalan yang sering dilakukan oleh sejarawan adalah kesalahan


pemilihan topik, kesalahan pengumpulan sumber, kesalahan verifikasi, kesalahan
interpretasi, dan kesalahan penulisan.

1. Kesalahan pemilihan topik, membuat sejarawan harus lebih berhati-hati, karena


memilih topik tidak cukup hanya senang secara emosional atau intelektual saja.
Kemungkinan salah yang sering terjadi dalam pemilihan topik adalah kesalahan
Baconian, kesalahan terlalu banyak pertanyaan, kesalahan pertanyaan yang
bersifat dikotomi, kesalahan metafisik, dan kesalahan topik fiktif.

Kesalahan Baconian bermula dari pernyataan bahwa pendapat yang benar,


adalah sejarah itu empiris. Akibatnya, orang menyimpulkan bahwa metode yang
benar adalah induksi. Francis Bacon (1561-1629) seorang empirisis dari Inggris,
percaya bahwa pengetahuan yang benar dicapai melalui empiri. Disebut
kesalahan Baconian bila seorang sejarawan beranggapan bahwa tanpa teori,
konsep, ide, paradigma, praduga, hipotesis, atau generalisasi lainnya, penelitian
sejarah dapat dilakukan. Anggapan itu tidak tepat karena apa pun jenis sejarah
yang ditulis, apalagi untuk sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial, tidak
dapat berjalan dengan baik.

Kesalahan terlalu banyak pertanyaan terjadi bila orang menanyakan beberapa


pertanyaan sekaligus, sehingga titik pembicaraan akan meluas dan tidak detail,
sehingga sejarah yang ditulisnya akan bersifat umum.

Kesalahan pertanyaan yang bersifat dikotomi bermuara pada seorang sejarawan


yang berpikir hitam putih seolah-olah peristiwa atau tokoh sejarah hanya punya
dua kemungkinan. Jika penulisan menyangkut sejarah yang lebih baru akan
beresiko tinggi. Untuk itu, sebagaimana pendapat Ranke, as it actually happened
atau technical history dengan menggandengkan fakta. Tugas sejarawan bukan
mengadili melainkan melukiskan.

Termasuk kesalahan metafisik adalah topik-topik filsafat, moral, dan teologi.


Bukan tugas sejarawan untuk membahas masalah metafisik.

Kesalahan topik fiktif jika penulisan berdasarkan pada suatu pengandaian.


Topik fiktif bukanlah topik sejarah.

2. Kesalahan pengumpulan sumber, termasuk di dalamnya adalah kesalahan


hollisme, kesalahan pragmatis, kesalahan ad hominem, kesalahan kuantitatif, dan
kesalahan estetis.

Kesalahan hollisme terjadi bila memilih satu bagian yang penting kemudian
menganggap bahwa bagian yang penting itu dapat mewakili keseluruhannya.

Kesalahan pragmatis dapat terjadi bila seseorang mempunyai tujuan tertentu


pada suatu tema penelitian yang sedang ditelitinya, ia hanya mencari sumber
yang mendukung tujuan tertentu tersebut.

Kesalahan ad hominem terjadi bila seseorang ketika melakukan wawancara


memilih orang tertentu berdasarkan otoritas, profesi, pangkat, atau jabatan,
sehingga si peneliti hanya mewawancarai orang tersebut (informan tunggal).

Kesalahan kuantitatif terjadi bila seorang peneliti sejarah percaya pada dokumen
dengan angka-angka daripada testimoni biasa. Padahal tidak semua angka-angka
itu sesuai dengan kenyataannya.

Kesalahan estetis hampir sama dengan kesalan pragmatis. Kesalahan itu bisa
terjadi bila sejarawan hanya memilih sumber-sumber sejarah yang sekiranya
memiliki efek estetis.

3. Kesalahan verifikasi, termasuk di dalamnya adalah kesalahan pars pro toto,


yaitu jika orang menganggap bahwa bukti yang hanya berlaku untuk sebagian
dianggap berlaku untuk keseluruhan.
Selain itu, seringkali juga terjadi kesalahan toto pro pars, yaitu suatu kesalahan
kebalikan dari pars pro toto. Kesalahan lain ketika menganggap pendapat umum
sebagai fakta, menganggap pendapat pribadi sebagai fakta, perincian angka yang
presis, dan bukti yang spekulatif.

4. Kesalahan interpretasi, termasuk di dalamnya kesalahan tidak membedakan


alasan, sebab, kondisi, dan motivasi. Perbedaan dari keempatnya adalah
kedekatan dengan peristiwa. Alasan terjadi dekat dengan peristiwa, sebab terjadi
lebih dekat lagi, kondisi menjadi latar belakang peristiwa, dan motivasi adalah
tujuan peristiwa.

Kesalahan lain adalah post hoc, propter hoc, dan cum hoc, propter hoc.Istilah
dari bahasa Latin ini, kata yang pertama bermakna setelah ini, maka ini,
sedangkan yang kedua bermakna bersama-sama dengan ini,maka ini.

Kesalahan berikutnya adalah reduksionisme, yaitu kesalahan yang sering


dikerjakan oleh sejarawan berideologi, sehingga sejarawan itu menyederhanakan
masalah yang sebenarnya kompleks.

Kesalahan selanjutnya adalah pluralisme yang berlebihan. Dalam hal ini,


sejarawan, akibat dari ketakutan reduksionisme dan monisme, sering tidak
menjelaskan apa-apa, dalam arti tidak menyebutkan factor-faktor yang
menentukan.

5. Kesalahan penulisan. Kemungkinan kesalahan dalam penulisan, dapat terjadi


dalam tiga hal, yaitu kesalahan narasi, kesalahan argument, dan kesalahan
generalisasi.

Bab 11: Sejarah dan Pembangunan

Sejarah memiliki kegunaan pragmatis, seperti pendidikan dan pencarian jati


diri bangsa. Namun, tidak untuk kegunaan praktis, sehingga sejarah tidak
dianggap sebagai bagian dari intelegensi bersama. Oleh karena itu, ketika orang
membicarakan peranan ilmu-ilmu sosial dan pembangunan sejarah tidak
diikutsertakan dalam sesuatu yang bersifat praktis. Padahal tidak demikian.
Sejarah pun sebenarnya dapat berguna secara praktis.

Kegiatan pembangunan, memiliki empat tahap tahap kegiatan, yaitu


perencanaan, pelaksanaan, pengawasan (monitoring), dan penilaian. Sejarah
sebagai ilmu, setidaknya dapat berguna dalam perencanaan dan penilaian,
sedangkan untuk pelaksanaan dan pengawasan, dikembalikan kepada masing-
masing sejarawan.

Bab 12. Ramalan Sejarah

Ramalan sejarah bukan tugas pokok sejarawan. Namun, sejarah memiliki


generalisasi analogi sejarah.(sejarah perbandingan dan paralelisme) dan evolusi
sejarah. Sejarah harus ekstra hati-hati bila ingin membicarakan masa depan, sebab
sejarah tidak punya faktanya. Oleh karena itu, pengertian ramalan sejarah adalah
ekstrapolasi atau perkiraan historical trend.

Ramalan terdiri dari beberapa jenis,seperti ramalan makro, ramalan mikro,


ramalan jangka pendek,jangka menengah,dan jangka panjang. Untuk sejarah dan
ilmu-ilmu sosial lain adalah ramalan makro dan jangka menengah. Dalam
ramalan, sebagaimana ilmu-ilmu sosial lain, ekstrapolasi sejarah penuh
ketidakpastian, karena banyak yang harus diperhitungkan, misalnya perubahan
sosial, perubahan ekonomi, perubahan politik, peristiwa yang mengubah, dan
perubahan kejiwaan para pelaku sejarah, dan kesemuanya itu mempengaruhi masa
depan. Bagaimana Indonesia di masa depan? Berdasarkan beberapa contoh
peristiwa di masa lalu, dapat dilakukan ekstrapolasi sejarah seperti dalam hal
politik, masyarakat, agama, dan budaya.

Anda mungkin juga menyukai