Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH SEJARAH ISLAM PERIODE PERTENGAHAN 1

TENTANG “DINASTI IDRISIYAH”


DISUSUN OLEH:

Nama NIM

Anni Kholila Siregar (0602181007)

Siti Nadia (0602183050)

Muhammad Wafi (0602183081)

Dosen Pengampu: Laila Rohani, M.HUM

PRIODI SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA


MEDAN

2019
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh.

Segala puji dan syukur kami ucapkan kehadiran Allah SWT yang telah memberikan
karunia rahmat dan hidayah-Nya. Swalawat beserta salam tidak lupa kami sanjungkan kepada
junjungan umat islam Rasulullah SAW. Kami sangat bersyukur karena telah menyelesaikan
makalah tentang “Dinasti Idrisiyah” sebagai tugas mata kuliah Sejarah Islam Periode
Pertengahan 1.

Kami menyampaikan terimah kasih sebesar-besarnya kepada ibu Laila Rohani, M.HUM.
selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Islam Periode Pertengahan 1 serta berterimah kasih
kepada semua pihak yang telah mambantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Atas kerja sama kelompok Alhamdulillah makalah ini bisa terselesaikan yang insyaalloh
sesuai dengan yang diharapkan. Kami mengharap kritik dan saran agar kami dapat memperbaiki
kekurangan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan dapat membuahkan
ilmu yang berguna bagi kita semua.

Wassalamualaikum warohmatullohi wabarokatu.

Medan, September 2019

Kelompok 3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………...

DAFTAR ISI………………………………………………………………………..

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………..

A. Latar Belakang………………………………………………….
B. Rumusan Masalah………………………………………………
C. Tujuan Makalah………………………………………………...

BAB II DINASTI IDRISIYAH…………………………………………………….

A. Sejarah Berdirinya Dinasti Idrisiyah……………………………


B. Latar Belakang Berdirinya Dinasti Idrisiyah …………………..
C. Penyebab Masa Kemunduran dan Kemajuan Dinasti Idrisiyah.
D. Upaya Khalifah Abbasiyah untuk Melenyapkan Dinasti
Idrisiyah…………………………………………………………
E. Usaha Mempertahankan Eksistensi Dinasti Idrisiyah………….
F. Pendirian Kota Fez Sebagai Ibu Kota Baru…………………….

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………

A. Kesimpulan……………………………………………………..
B. Saran…………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan semakin melemahnya pemerintahan Abbasiyah yang ditandai dengan
menurunnya kharisma istana, ketidakjelasan mekanisme politik dan administrasi Negara,
kemorosotan ekonomi, serta munculnya berbagai pemborontakan- membawa peluang baru
berupa tuntutan otonomisasi dan disintegrasi wilayah-wilayah propinsi yang dikepalai oleh
seorang gubernur.
Tidak banyak diduga oleh kalangan umum, ternyata di sisi kebebasan Abbasiyah-Bagdad
(132-656 H./749-1258 M.) lahir pula dinasti-dinasti kecil yang memenuhi kurun waktu antara
tahun 172-394 H./788-1003 M. (lebih dari dua abad).
Dinasti-dinasti tersebut bermunculan untuk pertama kalinya di Barat Baghdad. Di
Maroko berdiri dinasti idrisi (172-311 H/788-932 M).Yang mana disintegrasi di bidang politik
sebenarnya sudah muncul sejak berakhirnya pemerintahan Bani Umayah, tetapi dalam sejarah
politik Islam terdapat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayah dan Pemerintahan
Abbasiyah.
Di antara perbedaan-perbedaan tersebut ialah jika pada masa pemerintahan Bani
Umayah, wilayah kekuasaan sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam (mulai
berdirinya sampai pada masa kehancurannya), pada masa pemerintahan Abbasiyah, wilayah
kekuasaannya tidak pernah diakui di daerah Spanyol dan Afrika Utara, kecuali Mesir yang
bersifat sebentar-sebentar, bahkan pada kenyataannya terdapat banyak daerah yang tidak
dikuasai oleh khalifah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Berdirinya Dinasti Idrisiyah?
2. Bagaimana Latar Belakang Berdirinya Dinasti Idrisiyah?
3. Apa Penyebab Masa Kemunduran dan Kemajuan Dinasti Idrisiyah?
4. Apa Upaya Khalifah Abbasiyah untuk Melenyapkan Dinasti Idrisiyah?
5. Bagaimana Usaha Mempertahankan Eksistensi Dinasti Idrisiyah?
6. Bagaimana Pendirian Kota Fez Sebagai Ibu Kota Baru?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk Mengetahui Sejarah Berdirinya Dinasti Idrisiyah
2. Untuk Mengetahui Latar Belakang Berdirinya Dinasti Idrisiyah
3. Untuk Mengetahui Penyebab Masa Kemunduran dan Kemajuan Dinasti Idrisiyah
4. Untuk Mengetahui Upaya Khalifah Abbasiyah untuk Melenyapkan Dinasti Idrisiyah
5. Untuk Mengetahui Usaha Mempertahankan Eksistensi Dinasti Idrisiyah
6. Untuk Mengetahui Pendirian Kota Fez Sebagai Ibu Kota Baru
BAB II DINASTI IDRISIYAH
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Idrisiyah (789-926 M.)
Dinasti ini didirikan oleh seorang penganut Syi’ah, yaitu Idris bin Abdullah pada tahun 172
H./789 M. Dinasti ini merupakan Dinasti Syi’ah pertama yang tercatat dalam sejarah berusaha
memasukkan Syi’ah ke daerah Maroko dalam bentuk yang sangat halus1.
Muhammad bin Idris merupakan salah seorang keturunan Nabi Muhammad SAW., yaitu cucu
dari Hasan, putra Ali bin Abi Thalib2. Dengan demikian, dia mempunyai hubungan dengan garis
imam-imam syi,ah. Dia juga ikut ambil bagian dalam perlawanan keturunan Ali di Hijaz
terhadap Abbasiyah pada tahun 169/789, dan terpaksa pergi ke Mesir, kemudian ke Afrika Utara,
di mana prestise keturunan Ali membuat para tokoh Barbar Zeneta di Maroko menerimanya
sebagai pemimipin mereka. Berkat dukungan yang sangat kuat dari suku Barbar inilah, Dinasti
Idrisiyah lahir dan namanya dinisbahkan dengan mengambil Fez sebagai pusat pemerintahannya.
Paling tidak, ada dua alasan mengapa Dinasti Idrisiyah muncul menjadi dinasti yang kokoh
dan kuat, yaitu karena adanya dukungan yang sangat kuat dari bangsa Barbar, dan letak geografis
yang sangat jauh dari pusat pemerintahan Abbasiyah yang berada di Baghdad sehingga sulit
untuk ditaklukkannya.
Pada masa Kekhalifaan Bani Abbasiyah dipimpin oleh Harun Ar-Rasyid, (menggantikan Al-
Hadi), Harun Ar-Rasyid merasa posisinya terancam dengan hadirnya Dinasti Idrisiyah tersebut,
maka Harun Ar-Rasyid merencanakan untuk mengirimkan pasukannya dengan tujuan
memeranginya. Namun, faktor geografis yang berjauhan, menyebabkan batalnya pengiriman
pasukan. Harun Ar-Rasyid memakai alternatif lain, yaitu dengan mengirim seorang mata-mata
bernama Sulaiman bin Jarir yang berpura-pura menentang Daulah Abbasiyah sehinngga
Sulaiman mampu membunuh Idris dengan meracuninya. Taktik ini disarankan oleh Yahya
Barmaki kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Terbunuhnya Idris tidak berarti kekuasaan Dinasti Idrisiyah menjadi tumbang karena bangsa
Barbar telah bersepakat untuk mengikrarkan kerajaan yang merdeka dan independen.
Dikabarkan pula bahwa Idris meninggalkan seorang hamba yang sedang mengandung anaknya.
Dan ketika seorang hamba itu melahirkan, kaum Barbar memberikan nama bayi tersebut dengan
nama Idris dan mengikrarkan sumpah setia kepadanya sebagaimana yang pernah diikrarkan
kepada bapaknya. Dan Idris inilah yang melanjutkan jejak bapaknya (Idris bin Abdullah) dan
disebut sebagai Idris II.
Idris ibn Idris ibn Abdullah (Idris II) datang menggantikan ayahnya sebagai amir (177
H./793M.). Pada masa kepemimpinannya Dinasti Idrisi berkembang pesat. Pusat pemerintahan
yang semula dari Walila dipindahkan ke Fes sebagai ibukota baru (192 H.). Dengan demikian,
Idris II inilah yang dianggap sebagai pendiri yang sebenarnya Dinisi Idris.
Idris I dan putranya Idris II telah berhasil mempersatukan suku-suku Barbar, imigran-imigran
Arab yang berasal dari Spanyol dan Tripolotania di bawah satu kekuasaan politik, mampu

1 Philip K. Hitti. History of the arab, The Mac Millan Press, 1974, h. 450
2 C.E. Bosworth. Dinasti-dinasti Islam, Terj. Ilyas Hasan, 1980, h. 42
membangun kota Fez sebagai kota pusat perdagangan, kota suci, tempat tinggal Shorfa (orang-
orang terhormat keturunan Nabi dari Hasan dan Husain bin Ali bin Abi Thalib), dan pada tahun
1959 di kota ini, telah didirikan sebuah masjid Fathima dan Universitas Qairawan yang
terkenal3.
Pada masa kekuasaan Muhammad bin Idris (828-836 M.), Dinasti Idrisiyah telah membagi-
bagi wilayahnya kepada delapan orang saudaranya, walaupun ia sendiri tetap menguasai Fez dan
memiliki semacam supremasi moral terhadap wilayah-wilayah lainnya4. Setelah ia memerintah
selama masa yang cukup tenang, putranya yang bernama Ali menggantikannya sebagai raja.
Pada masa Ali bin Muhammad (836-849M.), terjadi konflik antarkeluarga dengan kasus yang
klasik, yaitu terjadi penggulingan kekuasaan yang pada akhirnya kekuasaan Ali pindah ketangan
saudaranya sendiri, yaitu Yahya bin Muhammad.
Pada masa Yahya bin Muhammad ini, kota Fez banyak dikunjungi imigran dari Andalusia
dan daerah Afrika lainnya. Kota ini berkembang begitu pesat baik dari segi pertumbuhan
penduduk maupun pembangunan gedung-gedung megah. Di antara gedung yang dibangun pada
masa itu ialah masjid Qairawan dan masjid Andalusia. Tapi ada pendapat lain bahwa di kota
tersebut didirikan pula sebuah masjid yang diberi nama masjid Fathima yang merupakan benih
dari masjid dan Universitas Qairawan yang terkenal pada tahun 859 M. tepat pada tahun 863 M.,
Yahya bin Muhammad meninggal dan kekuasaannya berpindah ke tangan putranya yaitu Yahya
II.
Pada masa pemerintahan Yahya II ini terjadi kemerosotan yang disebabkan oleh
ketidakmahiran Yahya II dalam mengatur pemerintahannya, sehinnga terjadilah pembagian
wilayah kekuasaan. Keluarga Umar bin Idris I tetap memerintah wilayahnya, sedangkan Dawud
mendapat wilayah yang lebih luas kea rah timur kota Fez. Keluarga Kasim menerima sebagian
dari sebelah kota Fez bersama-sama dengan pemerintah wilayah suku Luwata dan Kutama.
Husain (paman Yahya II), menerima bagian wilayah selatan kota Fez sampai ke pegunungan
Atlas. Di samping ketidakmampuan mengatur pemerintahannya, Yahya juga pernah terlibat
perbuatan yang tidak bermoral terhadap kaum wanita. Sebagai akibatnya, ia harus melarikan diri
karena diusir oleh penduduk Fez dan mencari perlindungan di Andalusia sampai akhir
hayatnyapada tahun 866 M5.
Dalam suasana yang mengecewakan rakyat, seorang penduduk Fez bernama Abdurrahman
bin Abi Sahl Al-Judami mencoba menarik keuntungan dengan jalan mengambil alih kekuasaan.
Namun, istri Yahya (anak perempuan dari saudara sepupunya), Ali bin Umar berhasil menguasai
wilayah Kawariyyir (Qairawan) dan memulihkan ketentraman dengan bantuan ayahnya. Menurut
cerita lain bahwa setelah Yahya II diusir oleh penduduk kota Fez, Ali bin Umar (paman dari

3 Opcit, hal 451


4 Moh. Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam,(Cet. I; Malang: UMM Pers, 2003), h. 8-9

5 Dedi Supriyadi. Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 159
ayah tiri Yahya) diangkat untuk menduduki tahta yang tak lama kemudian harus dilepaskan lagi
akibat satu pemberontakan6.
Pada masa Yahya III, pemerintahan yang semrawut ditertibkan kembali sehingga menjadi
tentram dan aman. Namun, setelah Yahya III memerintah dalam waktu cukup lama, ia terpaksa
harus menyerahkan kekuasaan kepada teman kerabatnya yang diberi nama Yahya IV.
Yahya IV ini berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kerabat-
kerabat yang lainnya, dan sejak itu Dinasti Idrisiyah terlibat dalam persaingan antara dua
kekuatan besar, yaitu Bani Umayah dari Spanyol dan Dinasti Bani Fatimiah dari Mesir dalam
memperebutkan supremasi dari Afrika Utara. Sebagaimana diketahui bahwa dinasti tersebut
mempunyai aliran yang berbeda, yang satu beraliran Sunni (Bani Umayah), sementara yang
satunya lagi (Bani Fatimiyah) beraliran Syi’ah. Kedua kekuatan tersebut, secara hati-hati
menghindari bentrokan sehingga Fez dan wilayah-wilayah Idrisiyah pada waktu itu menjadi
daerah pertikaian mereka.
Setelah masa Yahya IV, saat kota Fez dan wilayah-wilayah Idrisiyah menjadi pertikaian,
seorang cucu Idris II, yang bernama Al-Hajjam berhasil menguasai Fez dan daerah sekitarnya.
Akan tetapi, ia kemudian mendapatkan pengkhianatan dari seorang pemimpin setempat sehinnga
kekuasaannya hilang dan hidupnya berakhir pada tahun 962 M., sedangkan anak-anaknya dan
saudara-saudaranya mengundurka diri ke daerah sebelah utara (suku Barbar Gumara). Di sana,
keluarga Idris dari kelompok Bani Muhammad mendirikan benteng di atas bukit yang diberi
nama Hajar An-Nashr. Di benteng tersebut, mereka bertahan sampai lima puluh tahun sambil
mengamat-amati kubu pertahanan Daulah Umawiyah dan Daulah Fatimiah.
Ada juga riwayat yang menerangkann bahwa jatuhnya Dinasti Idrisiyah disebabkan oleh
Khalifah Muhammad Al-Muntashir yang membagi-bagikan kekuasaannya kepada saudara-
saudaranya yang cukup banyak, sehingga mengakibatkan pecahnya Idrisiyah secara politis.
Perpecahan tersebut merupakan faktor yang membahayakan keberadaan Dinasti Idrisiyah karena
dalam waktu bersamaan, dating pula serangan dari Dinasti Fatimiah7.
Pada masa kepemimpinan Yahya III, Dinasti Idrisiyah ditaklukan oleh Fatimiyah dan yahya
terusir dari kerajaan hinnga wafatnya di Mahdiyah. Dengan akhirnya Yahya, berakhir pula
dinasti Idrisiyah8.

B. Latar Belakang Berdirinya Dinasti Idrisiyah

Pertempuran Fakh yang berlangsung pada tahun 786 di Hijaz, menorehkan jejak panjang
dalam sejarah Syiah. Pertempuran itu melibatkan simpatisan Ali (Syiah) melawan kekhalifahan
Abbasiyah. Dalam pertempuran tersebut golongan Syiah yang memberontak mengalami
kekalahan.

6 Ibid., h. 160.

7 Ensiklopedi IslamI, Jilid II, h. 178


8 Ibid., h. 583
Pemberontak Syiah luluh lantah pascapertempuran, akan tetapi terdapat dua keturunan Ali
yang berhasil selamat dari pertempuran itu. Mereka adalah Yahya bin Abdullah bin al-Hasan
yang pergi ke Dailam dan saudaranya yang bernama Idris bin al-Hasan yang pergi ke Afrika
Utara.

Idris berhasil sampai ke Maghrib al-Aqsha ditemani oleh orang kepercayaannya bernama
Rasyid pada tahun 786 M. Setibanya di Maghrib, idris segera mencari dukungan dari tokoh-
tokoh Maroko untuk membangun suatu koalisi politik.

Situasi dan kondisi kawasan utara Maghrib al-Aqsha sendiri sangat mendukung bagi
terbukanya jalan untuk sebuah kepemimpinan politik. Kondisi ini muncul akibat konflik internal
yang memecah belah wilayah itu.

Konflik tersebut melibatkan kabilah-kabilah Barbar, antara suku-suku Shanhajiyah


(Sanhadja), Masmudiyah (Masmouda) yang masih memegang teguh as-Sunnah, dengan suku
Burghuathah (Berghwata), yang menciptakan sebuah ideologi agama baru.

Agama baru Burghuathah sudah jauh menyimpang dari akidah Islam dan lebih dekat kepada
Zindiq. Oleh karena itu, di kawasan Maghrib tersebar pandangan yang memvonis kabilah
Burghuathah dengan ideologi barunya tersebut sebagai orang-orang kafir.

Sulu-suku Mashmudiyah mengkhawatirkan akidah sesat suku Burghuathah. Mereka mencoba


bertahan menghadapi penindasan suku Burghuathah. Akan tetapi, situasi, dan kondisi internal
mereka yang juga kacau dan tidak stabil membuatnya membutuhkan seorang pemimpin yang
dapat mempersatukan mereka di bawah satu bendera untuk membebaskan dari hegemoni
Burghuathah.

Di tempat lain, Idris dan Rasyid yang telah melakukan pengembaraan selama dua tahun tiba
di kota Tangier, ibu kota Maghrib al-Aqhsa saat itu. Di kota tersebut, Rasyid mulai
mempropagandakan pengangkatan seorang amir Alawi yang mampu mengangkat panji Islam
dan membebaskan masyarakat dari penindasan, dan kezindiqan.

Propaganda yang menyerukan pengangkatan seorang pemimpin dari keturunan ahlul bait
ternyata mampu menarik dan menggalang banyak dukungan. Dalam waktu yang relatif singkat,
banyak masyarakat bergabung berkat usaha Rasyid yang begitu gencar mempromosikan ide dan
gagasannya di tengah-tengah kabilah Awarba. Mayoritas simpatisan itu berasal dari daerah
Wallili (Volubilis) yang waktu itu menjadi pusat perdagangan kabilah-kabilah Maroko.

Setelah persiapan dan pendukung telah siap dan solid, maka Rasyid pun mengajukan Idris
untuk diangkat sebagai pemimpin kabilah-kabilah Maroko. Usulan itu segera mendapatkan
sambutan hangat dari pemuka Awarba, karena mereka melihat bahwa Idris adalah sosok terbaik
yang dapat menyelamatkan mereka dari pengaruh Kabilah Burghuathah dan memperjuangkan
nasib mereka.
Selanjutnya, Idris pun datang ke Walili pada Agustus 788 M, lalu diangkat oleh para
penduduknya sebagai pemimpin mereka sekaligus ketua kabilah Awarba Maghrib. Cabang-
cabang Awarba lain yang sudah muak dengan Burghuathah segera menyusul bergabung, di
antaranya Lawatah, Miknsah, dan Zuwarah

C. Penyebab Masa Kemajuan dan Kemunduran Dinasti Idrisiyah


1. Masa Kemajuan

Kurang lebih satu setengah abad Dinasti Idrisiyah berkuasa di Maroko, dan telah dipimpin
oleh sembilan orang raja, yaitu Idris I (788-793), Idris II (793-828), Muhammad al-Muntasir
(828-836), Ali I (836-849), Yahya I, Yahya II, Ali II, dan Yahya III (849-904), Yahya IV (904-
922).

Masa kemajuan Dinasti Idrisiyah mulai tercapai pada masa pemerintahan Idris I dan Idris II.
Keberhasilan yang dicapai pada masa itu adalah penyebaran Islam ke seluruh masyarakat dengan
mudah. Di samping itu, pertahanan dan keamanan cukup kuat, terbukti adanya Idris dan
pasukannya dapat menahan pasukan Romawi dan mempertahankan wilayahnya.
Setelah Idris II meninggal pada tahun 828, ia meninggalkan pemerintahan yang stabil dan telah
menguasai sebagian besar muslim Barbar. Tiga raja berikutnya, Muhammad, Ali I, dan Yahya I
adalah penguasa-penguasa yang kuat, yang lebih memapankan pemerintahan Idrisiyah.
Sepanjang pemerintahan Yahya I, Fez telah mencapai puncak kemakmurannya dengan menjadi
salah satu pusat perdagangan yang menghubungkan antara Afrika dan Eropa. Selama
pemerintahan Yahya yang damai, banyak imigran dari Andalusia dan daerah Afrika lainnya
berdatangan ke Fez. Kota ini lalu berkembang dengan pesat, baik dari segi penduduk maupun
pembangunan gedung-gedungnya. Di antara gedung yang dibangun pada masa itu ialah dua
masjid, Qarawiyyin dan Andalusia, yang didirikan pada tahun 859 M. Kota Fez kemudian
dianggap sebagai kota suci, tempat tinggal kaum syorfah (kaum syurafa’ atau orang-orang
mulia)keturunan istimewa Nabi. Ira M. Lapidus mengatakan, bahwa meskipun wilayah
pemerintahannya relatif kecil, Dinasti Idrisiyah merupakan negara Maroko-Islam yang pertama,
dan merupakan pusat perjuangan Islam yang aktif.
Yahya I bin Muhammad meninggal pada tahun 863 M, ia kemudian digantikan oleh
putranya, Yahya II, yang pemerintahannya kurang sukses. Pada masanya mulai terjadi
disintegrasi dengan terjadinya pemberontakan dari bangsa Barbar yang memaksanya untuk lari
bersembunyi. Dari sinilah awal kemunduran Dinasti Idrisiyah.
Kemajuan yang pernah dicapai oleh Dinasti Idrisiyah dapat mengangkat citra umat Islam
pada umumnya, dan Afrika khususnya, dan telah memperlihatkan bahwa manajemen
pemerintahan sangat penting untuk mengatur negara dan wilayah kekuasaan. Hal itulah yang
dilakukan oleh Idris I sampai pada Yahya I, sehingga kemajuan itu dapat dicapai.
Namun setelah itu, saat kepemimpinan beralih, maka kondisinya berbeda akibat tipe pemimpin
berikutnya tidak belajar dari sejarah pendahulunya, sehingga dalam sejarah dicatat bahwa setelah
Yahya I, Dinasti Idrisiyah mengalami kemunduran.

2. Masa Kemunduran

Salah satu penyebab kemunduran Dinasti Idrisiyah adalah karena kelemahan pemerintahnya
yang tidak dapat dipungkiri. Kelemahan itu kelihatan pada ketidakmampuan mengontrol daerah-
daerah pedalaman dan pesisir. Akibat dari kelemahan itu, Dinasti Idrisiyah sama sekali tidak
mampu, baik secara geografis maupun ideologis untuk memperlebar wilayah perbatasan yang
telah dirintis dan dikoordinasi oleh Idris I.
Seperti telah dijelaskan, bahwa Yahya II tidak mampu melanjutkan kesuksesan para
pendahulunya. Pemberontak Barbar telah memaksanya untuk melarikan diri ke Andalusia
sampai akhir hayatnya. Setelah kematian Yahya II, keadaan pemerintahan cenderung anarki
dengan terjadinya perebutan kekuasaan antara anak cucu Idris. Kondisi chaos ini diperparah
dengan terjadinya pemberontakan kaum Khawarij melawan pemerintahan Idrisiyah yang Syi’ah.
Perdagangan menjadi berkurang, kemakmuran mengalami decline, kemelaratan merajalela di
mana-mana.

Selanjutnya, pada tahun 881 sebuah gempa bumi yang dahsyat melanda negara,
menghancurkan bangunan-bangunan dan mengubur banyak penduduk di bawah puing-puing
bangunan, sementara itu ketakutan dan penyakit melanda desa-desa. Saat itu sungguh menjadi
era miring bagi pemerintahan Dinasti Idrisiyah, yang mana kondisi politik sangat
membingungkan, sehingga para sejarahwan pun sulit menentukan tahun yang pasti pada
pemerintahan Idrisiyah antara Yahya I dan Yahya IV.
Pada tahun 904, Yahya IV memproklamirkan diri sebagai raja dan imam yang secara berangsur-
angsur memulihkan kekuasaan (rezim) Idrisiyah. Selama masa pemerintahannya, keadaan relatif
stabil dan keamanan berhasil dipulihkan di Afrika Utara, perdagangan kembali maju dan
kemakmuran mulai tumbuh kembali di Fez. Namun demikian kemakmuran tersebut hanya
berlangsung singkat, dengan kemunculan Dinasti Fatimiyah, gerakan Syi’ah (keturunan Ali)
yang lain, di pusat Afrika Utara, di bawah pimpinan Ubaydillah al-Mahdi. Pada tahun 919,
hanya lima belas tahun setelah pelantikannya sebagai pemimpin rezim Idrisiyah, Yahya IV harus
berperang melawan tetangganya, Dinasti Fatimiyah. Menyadari posisinya yang lemah, Yahya IV
memilih untuk mengadakan perundingan damai dengan Fatimiyah, yang telah menyetujui
dirinya untuk melanjutkan pemerintahannya di Fez, tapi dengan catatan harus membayar upeti
kepada khalifah Fatimiyah.

Pada tahun 922, tiba-tiba Fatimiyah memutuskan untuk memecat Yahya IV dan
memasukkan wilayah Magrib kedalam kekuasaannya, yang mengakhiri masa kekuasaan Dinasti
Idrisiyah yang telah memerintah di Afrika Utara selama sekitar seratus empat puluh tahun.
Juga di antara faktor yang membawa kepada surutnya kekuasaan Dinasti Idrisiyah adalah setelah
Khalifah Harun al-Rasyid mengangkat Ibrahim bin Aglab (800-811) – pendiri bani Taglib
(Dinasti Aglabiyah) – sebagai gubernur Afrika Utara yang beraliran Sunni. Ibrahim bin Aglab
sengaja diangkat oleh Khalifah Harun al-Rasyid untuk membendung bahaya Dinasti Idrisiyah
dan kaum Khawarij.

D. Upaya Khalifah Abbasiyah untuk Melenyapkan Dinasti Idrisiyah

Berpusat di Walili, Idris terus aktif melakukan perluasan pengaruh. Usahanya membuahkan
hasil, hampir seluruh kawasan utara Mahrib al-Aqsha tunduk kepadanya. Ia lantas melakukan
ekspansi untuk menundukkan kabilah-kabilah lainnya dengan cara diplomasi atau jika terpaksa
menggunakan kekerasan.

Pada tahun 789 M, Idris telah berhasil memperluas wilayah kekuasannya mulai dari
Qairuwan hingga Samudera Atlantik. Dalam perluasan itu, ia banyak merebut wilayah kekasaan
Daulah Abbasiyah.

Khalifah Abbasiyah, Harun ar-Rasyid marah setelah mendengar kemunculan Dinasti


Idrisiyah yang telah menjelma sebagai ancaman bagi kekuasaan Daulah Abbasiyah di kawasan
Ifriqiya (wilayah yang mencangkup Tunisia, Tripolitania, dan Constantinois). Kemunculan
kekuatan Syiah di dunia Islam mana pun merupakan persoalan yang tidak akan didiamkan begitu
saja oleh Daulah Abbasiyah. Oleh karena itu, Khalifah mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk melenyapkan Daulah Idrisiyah beserta pemimpinnya.

Dalam hal, Yahya al-Barmaki, salah satu Wazir Khalifah mengusulkan suatu cara untuk
menyingkirkan Idris, yaitu dengan menugaskan seseorang yang licik untuk melaksanakan misi
pembunuhan terhadap Idris.

Khalifah menyetujui ide tersebut. Selanjutnya, ia menunjuk seorang tabib bernama Sulaiman
bin Jarir yang terkenal dengan julukan Asy-Syamakh al-Yamami untuk menjalakan misi itu.

Sulaiman pun segera berangkat ke Ifriqiya sambil membawa surat untuk gubernur Ifriqiya
waktu itu, Ibrahim bin al-Aghlab. Surat tersebut berisikan instruksi agar gubernur
memfasilitasinya untuk menjalankan misi dari khalifah.

Ibrahim lantas mempersilahkan Sulaiman menyeberangi batas wilayah kekuasaannya untuk


pergi menuju ke Maghrib al-Aqsha. Setelah ia menyeberangi Ifriqiya, Sulaiman akhirnya
berhasil bertemu dengan Idris dan berpura-pura ingin mengabdi kepadanya.

Setelah berpura-pura sebagai orang Syiah, akhirnya ia berhasil memperoleh kepercayaan


Idris. Sembari ia berpura-pura mengabdi kepada Idris, ia juga menunggu waktu yang tepat untuk
melancarkan aksinya. Pada bulan Juli tahun 791 M, ia mulai bergerak untuk melakukan
pembunuhan. Usahanya itu berhasil, setelah ia berhasil membunuh Idris menggunakan racun.
Pasca terbunuhnya pemimpin Dinasti Idrisiyah, ia pun melarikan ke Ifriqiya dan melapor
kepada Ibrahim bin al-Aghlab bahwa misinya sudah selesai, dan laporan itu kemudian
diteruskan Ibrahim kepada Khalifah Harun ar-Rasyid.

E. Usaha Mempertahankan Eksistensi Dinasti Idrisiyah

Dengan meninggalnya Idris, maka terjadi kekosongan kekuasaan di pemerintahan


Idrisiyah. Rasyid selaku orang kepercayaan Idris, dan pengelola Dinasti Idrisiyah berusaha
mempertahankan kendali pemerintahan agar tetap berada di tangan keluarga Idris.

Idris meninggalkan seorang istri yang berasal dari bangsa Barbar bernama Kanzah yang
sedang mengandung. Rasyid yang mengetahui hal tersebut, segera membuat kesepakatan dengan
pemimpin kabilah-kabilah lain untuk menunggu sampai Kanzah melahirkan.

Apabila Kanzah melahirkan seorang bayi laki-laki, maka bayi itu akan menjadi
pemimpin mereka menggantikan ayahnya. Dua bulan kemudian, ia melahirkan bayi laki-laki,
para pengikut Idris lantas memberikan bayi laki-laki itu nama yang sama dengan ayahnya, yaitu
Idris.

Sejak saat itu, Rasyid menjadi wali bagi Idris II hingga ia berusia 10 tahun. Pada tahun
802 M, Rasyid secara resmi mengangkatnya sebagai pemimpin dinasti itu. Tidak lama berselang,
ia sendiri meninggal dunia setelah menjadi korban dari konspirasi yang dilancarkan Gubernur
Ifriqiya, Ibrahim al-Aghlab. Gubernur tidak ingin Rasyid memimpin Dinasti Idrisiyah yang
sedang mengalami fase kebangkitan.

F. Pendirian Kota Fez Sebagai Ibu Kota Baru

Terbunuhnya dua pendiri Dinasti Idrisiyah, ternyata tetap tidak mampu melemahkan
kekuatan dinasti itu. Idris II yang masih kecil kemudian diasuh oleh salah satu pemimpin bangsa
Barbar bernama Abu Khalid Yazid bin al-Abbas al-Ubbadi.

Satu tahun kemudian, Abu Khalid memperbaharui kembali pelantikan Idris sebagai
pemimpin Dinasti Idrisiyah. Setidaknya terdapat 4 kabilah yang masih loyal kepada keluarga
Idris, yakni Kabilah Zanatah, Awarba, Shanhajah, dan Mashmudah.

Pada tahun 808 M, Idris II mulai menjalankan kepemimpinan secara independen. Banyak
bangsa Arab yang datang dan bergabung dengannya, hal itu membuat kekuatannya semakin
meningkat. Akan tetapi muncul permasalah dalam kebijakannya yang menjadikan orang-orang
Arab sebagai orang kepercayaannya dan mengesampingkan orang dari bangsa Barbar. Bangsa
Barbar yang merasa didiskriminasi menyulut kembali konflik lama antara Arab dengan Barbar.
Di sisi lain, Idris II memang ingin mengikis dominasi bangsa Barbar dan
menyeimbangkan pemerintahannya. Selain itu, ia juga berorientasi untuk keluar dari Walili
(Volubilis). Konflik rasial yang menyebabkan terbunuhnya Ishaq bin Abdul Hamid, kepala
kabilah Awarba, semakin membulatkan tekad Idris untuk keluar dari kota Walili dan menetap di
sebuah lembah bernama Fez.

Pada tahun 809 M, Idris II mulai membangun sebuah kota kecil di kawasan tersebut.
Kota itu dikenal dengan nama, ‘Udwah al-Qarawiyyin (tepi lembah orang-orang Qairuwan),
alasan pemberian nama itu adalah karena ia menempatkan orang-orang Arab yang bermigrasi
dari Qairuwan di kota tersebut.

Setelah kota pertama berdiri, datang gelombang imigran dari Andalusia yang ingin
bergabung dengan mereka. Idris II lantas mendirikan sebuah perkampungan di samping kota itu,
untuk menjadi tempat tinggal para imigran tersebut. Ia menamai perkampungan itu ‘Udwah al-
Andalusiyyin (tepi lembah orang-orang Andalusia).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dinasti Idrisiyah atau Adarisiyah adalah dinasti Islam pertama yang berdiri di Maghrib al-
Aqsha (Maroko). Selain sebagai dinasti Islam pertama di Maroko, Idrisiyah juga merupakan
dinasti Islam pertama yang berupaya memasukkan doktrin Syiah, meskipun dalam bentuk lunak
ke wilayah Maroko. Meskipun wilayahnya kecil, dinasti ini merupakan pusat perjuangan Islam
di Maroko, yang dikelilingi oleh pemerintahan lokal dengan bermacam-macam kepercayaan.

Dinasti ini didirikan oleh Idris bin Abdullah bin al-Hasan bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib
di Maghrib al-Aqsha pada tahun 788, dan dapat bertahan cukup lama hingga tahun 927 M.
Sebagai Daulah kedua (pertama Umayyah di Andalusia) yang tidak terikat dengan kekhalifahan,
Idrisiyah dapat bertahan dalam waktu yang relatif lama.

Setidaknya terdapat dua faktor pendukung eksistensi Dinasti Idrisiyah. Pertama,


pemerintahannya memperoleh dukungan penuh dari kabilah-kabilah Barbar yang terkenal kuat.
Kedua, pusat pemerintahannya yang jauh dari kota Baghdad, sehingga khalifah Abbasiyah ragu-
ragu untuk menyerang langsung Dinasti Idrisiyah.

B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan pada pembaca adalah harap untuk membaca dan
mengulas lebih banyak tentang Dinasti Idrisiyah. Dan mudah-mudahan makalah ini bisa
menambah wawasan bagi pembaca. Disamping itu penulis menyadari bahwa mungkin masih ada
kekurangan dalam makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Hitti, Philip K. History of The Arabs, Cet. I; New York: The Mac Millan Press, 1974

Noerhakim, Moh, Sejarah Peradaban Islam, Cet. I; Malang: UMM Pres, 2003

Supriyadi, Dedi, Sejarah Perdaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008

Anda mungkin juga menyukai