Anda di halaman 1dari 12

Melihat kondisi Umat Islam sekarang tidak bisa lepas dari rentetan sejarah masa lalu.

Sekarang
kita hidup dimana umat ini terbagi-bagi ke berbagai macam aliran dengan dua arus utama yaitu
sunni (ahlussunnahwal jamaah) sebagai mayoritas dan syiah sebagai minoritas dan mungkin
juga Khawarij.

Lalu bagaimana perpecahan di dalam tubuh Islam ini dimulai. Menilik sejarah Islam kita akan
mendapati sebuah titik sejarah yang sangat mencekam dalam sejarah Umat Islam.

Sejarah Islam tentang Fitnah Kubra

Khalifah ketiga: Utsman Bin Affan

Khalifah kedua, Umar bin khatab, adalah seorang amirul mukminin yang brilian yang mampu
memperluas kekuasaan kekhalifahan dengan cepat bahkan mengalahkan kekuasaan dunia
terbesar saat itu yaitu Persia. Seorang fanatik Persia yang dijadikan budak oleh seorang muslim,
akhirnya menikan umar dari belakang saat Umar mengimami shalat. Umar sekarat dan
meminta para sahabat untuk membuat sebuah tim yang bertugas memilih calon khalifah
penggantinya. Singkatnya, Utsman Bin Affan yang akhirnya menggantikan Umar.

Utsman tak perlu diragukan lagi keshalehannya. Di sisi lain dia adalah seorang yang brilian di
dalam masalah perekonomian. Pada masa Utsman ini tidak lagi mengejar perluasan wilayah, dia
lebih berkonsentrasi untuk membangun di dalam. Ustman menjalankan reformasi ekonomi di
dunia Islam. Utsman percaya pada kebebasan ekonomi. Bahkan ia membiarkan kaum muslim
terkemuka untuk meminjam perbendahaaraan masyarakat. Tak lama kemudian, elite muslim,
termasuk sebagiann besar sahabat mulai mengumpulkan kekayaan dan memperoleh tanah
yang luas di seluruh wilayah Islam.

"Reformasi ekonomi" itu cenderung memperkaya klan Utsman sendiri, yaitu Bani Umayah.
Utsman juga menunjuk kerabatnya untuk banyak posisi politik yang kuat di seluruh wilayah
kekuasaan Islam karena mereka adalah orang-orang yang dia kenal baik dan paling dipercaya.
Ini membuat klan Umayah mendapat kekuasaan yang tidak proposional, baik dalam ekonomi
maupun politik.

Meski Utsman menerapkan gaya hidup zuhud pada dirinya, namun dia tidak menuntut hal
tersebut bagi para pejabat pemerintahannya.

Timbulnya Huru Hara

Menjelang akhir 12 tahun pemerintahan Utsman, mulai terdengar suara ketidakpuasan di


seluruh wilayah kekuasaan Islam. Seperti di Mesir, saudara angkatnya memeras uang rakyat
dengan begitu keras sehingga pecah kerusuhan. Hal serupa juga terjadi di utara, nampaknya
Utsman telah mengecewakan banyak orang.

Para kelompok dari Mesir yang merasa tidak puas dengan pemerintahan Utsman berkumpul di
kota Madinah untuk menyampaikan keluhannya. Awalnya Utsman meminta Ali untuk
menghadapi mereka, namun Ali menolak dan menyarankan Utsman untuk menghadapi keluhan
sah masyarakat itu. Utsman akhirnya menemui mereka dan dia berjanji untuk mengganti
saudara angkatnya yang menjadi gubernur Mesir dan menyuruh mereka pulang ke Mesir.

Ustman dibunuh oleh Massa

Saat perjalanan pulang mereka bertemu dengan seorang budak Utsman. Mereka curiga,
menggeledahnya dan menemukan sebuah surat yang isinya mengatakan kepada Gubernur
Mesir untuk menangkap delegasi orang yang tidak puas itu. Kelompok delegasi dari Mesir itu
kembali ke Madinah dengan Geram.

Mereka menemui Utsman dan memperlihatkan surat itu kepada Utsman dan Ustman terkejut,
bersumpah dia tidak pernah menulis surat itu. Ternyata sepupunya Marwan yang memalsukan
surat itu, kerabat dan sekutu gubernur Damaskus.

Singkatnya, pemohon damai itu berubah menjadai massa yang marah, menuntut agar khalifah
menyerahkan saudara Muawiyah itu kepada mereka, namun ditolak. (Muawiyah sendiri
diangkat oleh Utsman menjadi Gubernur Damaskus, di Damaskus dia menyusun tentara yang
setia kepada dirinya sendiri).

Lalu mereka menuntut agar Utsman mundur dan membiarkan orang yang lebih baik untuk
menggantikannya, Utsman juga menolak karena baginya berhenti dari jabatannya atas perintah
dari suatu massa merupakan penghinaan terhadap Allah. Dia kemudian menarik diri ke kamar
pribadinya, melakukan kebiasaanya saat sedang bingung dan ragu yaitu membaca Al-Qur'an.

Namun amarah massa tak terbendung, mereka memaksa masuk dan menemukan Utsman yang
sedang membaca Al-Quran dibilik kamar itu dan mereka memukul Ustman sampai mati. Massa
pun bergejolak di Madinah selama 4 hari. Setelah keributan mulai menyurut, para pemimpin
massa tetap menolak meninggalkan Madinah sebelum ada khalifah baru yang diangkat.
Akhirnya semua pikiran berpaling pada satu kandidat, Ali, menantu Muhammad saw.

Ali bin Abi Thalib diangkat Menjadi Khalifah

Awalnya Ali menolaknya, namun para pemuka muslim beramai-ramai ke Masjid dan memohon
agar Ali segera mengambil Alih kepemimpin umat ini. Akhirnya Ali menjadi Khalifah keempat.

Keadaan massa masih kacau, hal ini nampaknya dimanfaatkan Muawiyah. Muawiyah menuntut
Ali untuk menangkap para pembunuh Utsman. Tapi bagaimana bisa menangkap dan
menghukum sebuah massa, selain itu mereka itu sendiri awalnya adalah korban ketidakadilan
dan penindasan dan mereka datang ke Madinah dengan keluhan yang sah.

Ali memutuskan untuk fokus pada masalah lain, dia akan menyerang korupsi di tubuh
pemerintahannya. Ali memecat seluruh gubernur yang telah diangkat oleh Ustman, namun tak
ada yang mau turun dari jabatan kecuali gurbernur Yaman yang malah membawa lari
perbendaharaan negara.

Perang Jamal: Ali vs Aisyah

Masalah lain muncul, Aisyah ra (Istri Rasulullah) berada di Mekah saat terjadi huru-hara itu.
Ketika Muawiyah memulai huru hara politiknya, Aisyah berpihak kepada Muawiyah. Singkat
cerita Aisyah mengumpulkan tentara, mengadakan rapat perang dan memimpin pasukannya ke
utara dan menyerbu Basrah. Ali pun menyerukan jihad untuk melawan tentara Aisyah. Umat
bingung, karena Aisyah juga menyerukan Jihad. Terjadilah perang Jamal (Unta), disebut
demikian karena Istri Rasulullah saw itu mengendarai unta langsung ke medan perang dan
mengerahkan pasukannya dari belakang. Ini pertama kalinya perang muslim melawan muslim
terjadi.

Diakhiri dengan ditebasnya unta itu dan Aisyah ditangkap. Sungguh perisitiwa yang memilukan
bagi dunia Islam, Seorang menantu dan istri Rasulullah saw berperang, yang menyebabkan
sepuluh ribuan muslim tewas dan banyak diantaranya adalah sahabat Rasul. Akhirnya terjadi
perdamaian, setelah keduanya membicarakan bersama bagaimana orang dan peristiwa telah
mengkhianati keduanya.

Perang Shiffin

Sementara itu di sisi lain, Muawiyah terus "mengasah pedangnya". Dia menolak kekhalifahan
Ali dan menyatakan bahwa kekhalifahan adalah miliknya. Tahun 36 H/ 657M, Ali berhadapan
dengan Muawiyah dalam perang Shiffin.

Perang shiffin meledak, menurut beberapa sumber, telah menyebabkan 65 ribuan tewas di
medan perang ini. Saat pasukan Ali hampir menang, Muawiyah merancang siasat. Para prajurit
disuruh menancapkan Al-Quran di ujung tombaknya dan berbaris di belakangnya para
penghafal Al-Qur'an yang melantunkan ayat Al-Qur'an dan Ali didesak untuk bernegosisasi.

Negosiasi berlangsung dengan mengirimkan wakil-wakilnya dari masing-masing kubu. Mereka


bersepakat bahwa kedua orang itu setara, masing-masing harus bertanggung jawab atas
wilayah mereka sendiri, Muawiyah memegang Suriah dan Mesir dan Ali memerintah
selebihnya.

Kesepakatan ini membuat marah pengikut Ali atau Syiah Ali. Bagaimana mungkin Ali bisa
bernegosisasi dengan Muawiyah, yang bagi pengikut Ali, dia merupakan perwujudan tertinggi
Materilaisme anti-Islam? Pengikut Ali yang paling fanatik, tidak terima dengan keputusan ini
dan malah memisahkan diri dari Ali. Mereka ini kemudian dikenal sebagai Khawarij, orang-
orang yang memisahkan diri. Kelompok Khawarij ini kemudian merumuskan ulang cita-cita
pengikut Ali menjadi doktrin baru yang revolusioner.

Bagi khawarij, Ali telah menyia-nyiakan haknya dan perlu mundur dari jabatannya. Oleh sebab
Ali tidak mundur, seorang Khawarij muda mendatangi Ali dan membunuhnya.

Dengan Terbunuhnya Ali, maka Muawiyahlah kini yang merasa dirinya menjadi Khalifah satu-
satunya umat Islam. Meski di sisi lain syiah Ali (pengikut Ali) tidak menganggap demikian. Syiah
menunjuk putra Ali pertama, Hassan sebagai pengganti Ali. Tetapi Hassan lebih memilih untuk
melangkang ke pinggir. Maka dimulailah Dinasti Muawiyah.

Inilah sejarah Fitanul Kubra..

Pasca peristiwa besar yang menggoncang umat Islam ini setidaknya memunculkan dua
golongan sempalan yaitu Syiah dan Khawarij. Dengan bergulirnya waktu dan zaman, Syiah
memiliki doktrin tersendiri yang berbeda dengan mayoritas umat Islam, terutama berkaitan
dengan masalah kepemimpinan umat Islam (Imamah).

Doktrin mayoritas umat, mengatakan bahwa Muhammad saw adalah seorang Rasul Allah yang
menyampaikan cara menjalani hidup yang benar. Jika ingin hidupnya dapat mencapai
kebahagiaan di dunia dan Akherat maka teladanilah cara hidup Rasulullah saw. Orang-orang
muslim yang menerima doktrin ini akhirnya disebut dengan Sunni (Ahlusunnah Wal Jama'ah).

Tetapi bagi Syiah, merasa bahwa mereka tidak bisa membuat diri mereka layak masuk surga
hanya dengan usaha mereka sendiri. Mereka percaya bimbingan langsung dari Allah masih
berlangsung di dunia melalui beberapa orang terpilih. Mereka memakai istilah 'Imam' untuk
orang yang mereka percayai sebagai orang terpilih ini.

Bergulirnya zaman dan peristiwa, Doktrin syiah tidak berhenti di situ, Terjadi perselisihan
dikalangan mereka sendiri tentang masalah keimamahan ini.

Sementara itu kaum khawarij jumlahnya lebih sedikit namun sangat radikal. Mereka menuntut
seorang pemimpin yang memiliki kriteria sangat tinggi. Hanya orang yang paling tekun, paling
sholeh yang berhak menjadi pemimpin. Tetapi Khawarij gagal tumbuh karena mereka bersikap
ekstrem dan puritan saat banyak orang memperoleh keuntungan dalam kemakmuran yang
baru saat itu.

A.    Angkatan Pertama
Angkatan yang semasa dengan al-Imâm Abu al-Hasan sendiri, yaitu mereka yang
belajar kepadanya dan mengambil pendapat-pendapatnya, di antaranya: Abu al-Hasan
al-Bahili, Abu Sahl ash-Shu’luki (w 369 H), Abu Ishaq al-Isfirayini (w 418 H), Abu Bakar
al-Qaffal asy-Syasyi (w 365 H), Abu Zaid al-Marwazi (w 371 H), Abu Abdillah ibn Khafif
asy-Syirazi; seorang sufi terkemuka (w 371 H), Zahir ibn Ahmad as-Sarakhsi (w 389 H),
Abu Bakr al-Jurjani al-Isma’ili (w 371 H), Abu Bakar al-Audani (w 385 H), Abu al-Hasan
Abd al-Aziz ibn Muhammad yang dikenal dengan sebutan ad-Dumal, Abu Ja’far as-
Sulami an-Naqqasy (w 379 H), Abu Abdillah al-Ashbahani (w 381 H), Abu Muhammad
al-Qurasyi az-Zuhri (w 382 H), Abu Manshur ibn Hamsyad (w 388 H), Abu al-Husain ibn
Sam’un salah seorang sufi ternama (w 387 H), Abu Abd ar-Rahman asy-Syuruthi al-
Jurjani (w 389 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad; Ibn Mujahid ath-Tha’i, Bundar
ibn al-Husain ibn Muhammad al-Muhallab yang lebih dikenal Abu al-Husain ash-Shufi 
(w 353 H), dan Abu al-Hasan Ali ibn Mahdi ath-Thabari.
 
B.    Angkatan Ke Dua
Di antara angkatan ke dua pasca generasi al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah;
Abu Sa’ad ibn Abi Bakr al-Isma’ili al-Jurjani (w 396 H), Abu Nashr ibn Abu Bakr Ahmad
ibn Ibrahim al-Isma’ili (w 405 H), Abu ath-Thayyib ibn Abi Sahl ash-Shu’luki, Abu al-
Hasan ibn Dawud al-Muqri ad-Darani, al-Qâdlî Abu Bakar Muhammad al-Baqillani (w
403 H), Abu Bakar Ibn Furak (w 406 H), Abu Ali ad-Daqqaq; seorang sufi terkemuka (w
405 H), Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi; penulis kitab al-Mustadrak ‘Alâ ash-
Shahîhain, Abu Sa’ad al-Kharqusyi, Abu Umar al-Basthami, Abu al-Qasim al-Bajali, Abu
al-Hasan ibn Masyadzah, Abu Thalib al-Muhtadi, Abu Ma’mar ibn Sa’ad al-Isma’ili, Abu
Hazim al-Abdawi al-A’raj, Abu Ali ibn Syadzan, al-Hâfizh Abu Nu’aim al-Ashbahani
penulis kitab Hilyah al-Auliyâ’ Fî Thabaqât al-Ashfiyâ’ (w 430 H), Abu Hamid ibn
Dilluyah, Abu al-Hasan al-Balyan al-Maliki, Abu al-Fadl al-Mumsi al-Maliki, Abu al-
Qasim Abdurrahman ibn Abd al-Mu’min al-Makki al-Maliki, Abu Bakar al-Abhari, Abu
Muhammad ibn Abi Yazid, Abu Muhammad ibn at-Tabban, Abu Ishaq Ibrahim ibn
Abdillah al-Qalanisi.
 
C.    Angkatan Ke Tiga
Di antaranya; Abu al-Hasan as-Sukari, Abu Manshur al-Ayyubi an-Naisaburi, Abd al-
Wahhab al-Maliki, Abu al-Hasan an-Nu’aimi, Abu Thahir ibn Khurasyah, Abu Manshur
Abd al-Qahir ibn Thahir al-Baghadadi (w 429 H) penulis kitab al-Farq Bayn al-Firaq, Abu
Dzarr al-Harawi, Abu Bakar ibn al-Jarmi, Abu Muhammad Abdulah ibn Yusuf al-Juwaini;
ayah Imam al-Haramain (w 434 H), Abu al-Qasim ibn Abi Utsman al-Hamadzani al-
Baghdadi, Abu Ja’far as-Simnani al-Hanafi, Abu Hatim al-Qazwini, Rasya’ ibn Nazhif al-
Muqri, Abu Muhammad al-Ashbahani yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Labban,
Sulaim ar-Razi, Abu Abdillah al-Khabbazi, Abu al-Fadl ibn Amrus al-Maliki, Abu al-
Qasim Abd al-Jabbar ibn Ali al-Isfirayini, al-Hâfizh Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain al-
Bayhaqi; penulis Sunan al-Bayhaqi (w 458 H), dan Abu Iran al-Fasi.
 
D.    Angkatan Ke Empat
Di antaranya; al-Hâfizh al-Khathib al-Baghdadi (w 463 H), Abu al-Qasim Abd al-Karim
ibn Hawazan al-Qusyairi penulis kitab ar-Risâlah al-Qusyairiyyah (w 465 H), Abu Ali ibn
Abi Huraisah al-Hamadzani, Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini  penulis kitab at-Tabshîr Fî
ad-Dîn Wa Tamyîz al-Firqah an-Nâjiyah Min al-Firaq al-Hâlikîn (w 471 H), Abu Ishaq
asy-Syirazi; penulis kitab at-Tanbîh Fî al-Fiqh asy-Syâfi’i (w 476 H), Abu al-Ma’ali Abd
al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini yang lebih dikenal dengan Imam al-Haramain (w 478
H), Abu Sa’id al-Mutawalli (w 478 H), Nashr al-Maqdisi, Abu Abdillah ath-Thabari, Abu
Ishaq at-Tunusi al-Maliki, Abu al-Wafa’ Ali ibn Aqil al-Hanbali (w 513 H) pimpinan ulama
madzhab Hanbali di masanya, ad-Damighani al-Hanafi, dan Abu Bakar an-Nashih al-
Hanafi.
 
E.    Angkatan Ke Lima
Di antaranya; Abu al-Muzhaffar al-Khawwafi, Ilkiya, Abu Hamid Muhammad ibn
Muhammad al-Ghazali (w 505 H), Abu al-Mu’ain Maimun ibn Muhammad an-Nasafi (w
508 H), asy-Syasyi, Abd ar-Rahim ibn Abd al-Karim yang dikenal dengan Abu Nashr al-
Qusyairi (w 514 H), Abu Sa’id al-Mihani, Abu Abdillah ad-Dibaji, Abu al-Abbas ibn ar-
Ruthabi, Abu Abdillah al-Furawi, Abu Sa’id ibn Abi Shalih al-Mu’adz-dzin, Abu al-Hasan
as-Sulami, Abu Manshur ibn Masyadzah al-Ashbahani, Abu Hafsh Najmuddin Umar ibn
Muhammad an-Nasafi (w 538 H) penulis kitab al-‘Aqîdah an-Nasafiyyah, Abu al-Futuh
al-Isfirayini, Nashrullah al-Mishshishi, Abu al-Walid al-Baji, Abu Umar ibn Abd al-Barr al-
Hâfizh, Abu al-Hasan al-Qabisi, al-Hâfizh Abu al-Qasim ibn Asakir (w 571 H), al-
Hâfizh Abu al-Hasan al-Muradi, al-Hâfizh Abu Sa’ad ibn as-Sam’ani, al-Hâfizh Abu
Thahir as-Silafi, al-Qâdlî ‘Iyadl ibn Muhammad al-Yahshubi (w 533 H), Abu al-Fath
Muhammad ibn Abd al-Karim asy-Syahrastani (w 548 H) penulis kitab al-Milal Wa an-
Nihal, as-Sayyid Ahmad ar-Rifa’i (w 578 H) perintis tarekat ar-Rifa’iyyah, as-
Sulthân Shalahuddin al-Ayyubi (w 589 H) yang telah memerdekakan Bait al-Maqdis dari
bala tentara Salib, al-Hâfizh Abd ar-Rahman ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan
Ibn al-Jawzi (w 597 H).
 
F.    Angkatan Ke Enam
Di antaranya; Fakhruddin ar-Razi al-Mufassir (w 606 H), Saifuddin al-Amidi (w 631 H),
Izuddin ibn Abd as-Salam Sulthân al-‘Ulamâ’ (w 660 H), Amr ibn al-Hajib al-Maliki (w
646 H), Jamaluddin Mahmud ibn Ahmad al-Hashiri (w 636 H) pempinan ulama
madzhab Hanafi di masanya, al-Khusrusyahi, Taqiyuddin ibn Daqiq al-Ied (w 702 H),
Ala’uddin al-Baji, al-Hâfizh Taqiyyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 756 H), Tajuddin
Abu Nashr Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 771 H), Shadruddin ibn
al-Murahhil, Shadruddin Sulaiman ibn Abd al-Hakam al-Maliki, Syamsuddin al-Hariri al-
Khathib, Jamaluddin az-Zamlakani, Badruddin Muhammad ibn Ibrahim yang dikenal
dengan sebutan Ibn Jama’ah (w 733 H), Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi penulis
kitab Tafsir al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân atau lebih dikenal dengan at-Tafsîr al-
Qurthubi (w 671 H), Syihabuddin Ahmad ibn Yahya al-Kilabi al-Halabi yang dikenal
dengan sebutan Ibn Jahbal (w 733 H), Syamsuddin as-Saruji al-Hanafi, Syamsuddin ibn
al-Hariri al-Hanafi, Adluddin al-Iji asy-Syiraji, al-Hâfizh Yahya ibn asy-Syaraf an-
Nawawi; penulis al-Minhâj Bi Syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj (w 676 H), al-Malik an-
Nâshir Muhammad ibn Qalawun (w 741 H), al-Hâfizh Ahmad ibn Yusuf yang dikenal
dengan sebutan as-Samin al-Halabi (w 756 H), al-Hâfizh Shalahuddin Abu Sa’id al-Ala-i
(w 761 H), Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i seorang sufi terkemuka (w 768 H), Mas’ud ibn
Umar at-Taftazani (w 791 H).
 
G.    Angkatan Ke Tujuh
al-Hâfizh Abu Zur’ah Ahmad ibn Abd ar-Rahim al-Iraqi (w 826 H), Taqiyyuddin Abu Bakr
al-Hishni ibn Muhammad; penulis Kifâyah al-Akhyâr (w 829 H), Amîr al-Mu’minîn Fî al-
Hadîts al-Hâfizh Ahmad ibn Hajar al-Asqalani; penulis kitab Fath al-Bâri Syarh Shahîh
al-Bukhâri (w 852 H), Muhammad ibn Muhammad al-Hanafi yang lebih dikenal dengan
sebutan Ibn Amir al-Hajj (w 879 H), Badruddin Mahmud ibn Ahmad al-Aini;
penulis ‘Umdah al-Qâri’ Bi Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 855 H), Jalaluddin Muhammad
ibn Ahmad al-Mahalli (w 864 H), Burhanuddin Ibrahim ibn Umar al-Biqa’i; penulis kitab
tafsir Nazhm ad-Durar (w 885 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Yusuf as-Sanusi;
penulis al-‘Aqîdah as-Sanûsiyyah (w 895 H).
 
H.   Angkatan ke Delapan 
Al-Qâdlî Musthafa ibn Muhammad al-Kastulli al-Hanafi (w 901 H), al-Hâfizh Muhammad
ibn Abd ar-Rahman as-Sakhawi (w 902 H), al-Hâfizh Jalaluddin Abd ar-Rahman ibn
Abu Bakr as-Suyuthi (w 911 H), Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-
Qasthallani; penulis Irsyâd as-Sâri Bi Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 923 H), Zakariyya al-
Anshari (w 926 H), al-Hâfizh Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan al-
Hâfizh Ibn Thulun al-Hanafi (w 953 H).
 
I.   Angkatan Ke Sembilan Dan Seterusnya
Abd al-Wahhab asy-Sya’rani (w 973 H), Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad yang
dikenal dengan sebutan Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H), Mulla Ali al-Qari (w 1014 H),
Burhanuddin Ibrahim ibn Ibrahim ibn Hasan al-Laqqani; penulis Nazham Jawharah at-
Tauhîd (w 1041 H), Ahmad ibn Muhammad al-Maqarri at-Tilimsani; penulis Nazham
Idlâ’ah ad-Dujunnah (w 1041 H), al-Muhaddits Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal
dengan nama Ibn Allan ash-Shiddiqi (w 1057 H), Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi (w
1098 H), Muhammad ibn Abd al-Baqi az-Zurqani (w 1122 H), as-Sayyid Abdullah ibn
Alawi al-Haddad al-Hadlrami al-Husaini; penulis Râtib al-Haddâd (1132 H), Muhammad
ibn Abd al-Hadi as-Sindi; penulis kitab Syarh Sunan an-Nasâ-i (w 1138 H), Abd al-
Ghani an-Nabulsi (w 1143 H), Abu al-Barakat Ahmad ibn Muhammad ad-Dardir;
penulis al-Kharîdah al-Bahiyyah (w 1201 H), al-Hâfizh as-Sayyid Muhammad Murtadla
az-Zabidi (w 1205 H), ad-Dusuqi; penulis Hâsyiyah Umm al-Barâhîn (w 1230 H),
Muhammad Amin ibn Umar yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Abidin al-Hanafi (w
1252 H). 

1. Tuhan dan Sifat-sifatnya

2. Kebebasan Dalam Berkehendak (free- will)

3. Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk

4. Qodimnya Al-Qur'an

5. Melihat Allah

6. Keadilan
7. Kedudukan Orang Berdosa

Pemikiran-pemikiran Al-Asy'ari yang terpenting adalah berikut ini :

1.    Tuhan dan Sifatnya.

Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah atak dapat dihindarkan


walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-Asy'ari di hadapkan dua
pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujasimah dan kelompok
musyabbihah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain esensinya. Adapun tangan , kaki,
telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara arfiah, melainkan secara simbolis
(berbeda dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-as'ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu
unik sehingga tidak dapat di bandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat
Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi-sejauh dengan menyangkut realitasnya (hagigah) tidak
terpisah dari esensinya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.

2.    Pelaku Dosa Besar

Terhadap dosa besar, agaknya Al-Asy'ari, sebagai wakil ahl As-Sunnah, tidak mengafirkan orang-
orang sujud ke Baitullah (ahl Al-Qiblah) walaupun malakukan dosa besar, seperti bercina dan
mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang
mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besarnya di lakukannya dengan
anggapan bahwa hal ini di bolehkan (halal) dan tidak menyakini keharamannya, ia dipandang telah
kafir.

Adapun balasan di akhirat kelak pelaku dosa besar apabila ia meninggalkan dan tidak dapat
bertaubat, maka menurut Al-asy'ari, hal itu bergantung pada kebijakan tuhan yang maha
berkehendak Mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa itu mendapat
syafaat nabi Saw, sehingga terlepas dari siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa yang
dilakukannya. Meskipun begitu, ia tidak akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir lainnya.
Stelah penyiksaan terhadap dirinya selesai, dia akan di maksudkan kedalam surga.

3.    Iman dan Kufur

Agak pelik untuk memahami makna iman yang di berikan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy'ari sebab, di
dalam karya-karya seperti Maqalat, Al-Ibanah, dan Al-Luma, ia mendefinikan iman secara berbeda-
beda. Dalam Muqallat dan Al-Ibanah di sebutkan bahwa iman adalah qawl dan amal dan dapat
bertambah dan serta berkurang. Diantara defenisi iman yang diinginkan Al-Asy'ari di jelaskan oleh
Asy-Syahrastani, salah seorang teolog Asya'irah. Ia menulis:
Al-Asy'ari berkata: Iman secara esensial adalah tashdiq bin al-janan  membenarkan dengan kalbu.
Sedangkan "mengatakan" (qawl) dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bi al-
arkan) hanyalah merupakan furu cabang-cabang iman. Oleh sebab itu, siapapun yang membenarkan
ke Esaan Tuhan dengan kalbunya dan membenarkan utusanya serta apa yang mereka bawadarinya,
iman orang semacam itu merupakan iman yang sahih dan keimanan seorang tidak akan hilang
kecuali jika ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut

Keterangan Asy-Syahrastani diatas, di samping mengorvergansikan kedua definisi yang berbeda


yang di berikan Al-asy'ari dalam maqalat, Al-Ibanah, dan Al-luma kepada satu titik pertemuan, juga
menempatkan ketiga unsur iaman itu(tashdiq, qawl,amal) pada posisinya masing-masing. Jadi, bagi
Al-Asy'ari dan juga Asy'ariyah, pesyaratan minimal untuk adanya iman hanyalah tasdiq, yang jika
diekspresikan secara verbal berbentuk syahadatain.

4.    PerbuatanTuhan

Menurut aliran Asy-ariyah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik manusia, sebagaimana dikatakan
kaum mu'tazilah, tidak dapat di terima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan
kehendak mutlah Tuhan. Hal ini di tegaskan Al-Ghazali ketika mengatakan bahwa tuhan tidak
berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dengan demikian Tuhan dapat berbuat
dengan sekendak hati-Nya terhadap makhluk. Sebagai mana di katakan Al-Ghazali, perbuatan
bersifat tidak wajib (ja'iz) dan tidak satupun darinya yang mempunyai sifat wajib.

Karena percaya kepada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tidak berkewajiban
apa-apa, aliran Asy-ariyah menerima faham pemberian beban diluar ke mampuan manusia. Al-
Asy'ari sendiri, dengan tegas mengatakan alluma, bawa Tuhan dapat meletakkan yang dapat di pikul
pada manusia.

Aliran Al-asy'ariah berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan
menjalankan ancaman yang tersebut Al-Qur'an dan Hadist. Disini timbullah persoalan bagi
Asy'ariyah karena di dalam Al-Qur'an dikatakan tagas bahwa siapa yang berbuat jahat akan masuk
neraka. Untuk mangatasi ini, kata-kata Arab, "man alaldzina" dan sebainya yang menggambarkan
arti siapa, diberi interpretasi oleh As-Asy'ari, bukan semua orang tetapi sebagian. Dengan demikian
kata siapa dalam ayat "Barang siapa menelan harta anak yatim piatu dengan cara tidak adil, maka ia
sebanarnya menelan api masuk kedam perutnya "mengandung bukan seluruh, tetapi sebagian
orang yang menelan harta anak yatim. Adapun yang sebagian lagi akan terlepas dari ancaman atas
dasar kekuasaan dan kehendak tuhan, dengan interprestasi demikianlah.

5.    Perbuatan Manusia

Dalam faham asy-'ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang
tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat dengan
faham jabariyah  dari pada dengan faham muktazilah. Untuk menjelaskan dasar
pijakannya,asy'ari,pendiri aliran Asy'ariyah, memakai teori al-kasb. Teori al-kasbAsy'ari dapat
dijelaskan sebagai berikut : sehingga menjadi perolehan bagi muktasib  yang memperoleh kasap
utuk melakukan perbuatan. Sebagai konsekuensi dari teori khab ini, manusia kehilangan keaktifan,
sehingga mereka bersifat fasif dalam perbuatanya.

Pada prinsipnya, aliran Asy-ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia di ciptakan Allah,
sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mengujudkan. Allah menciptakan perbuatan
manusia dan menciptakan pula pada diri manusia daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi,
perbuatan di sini adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb bagi manusia.

Mengenai hakikat Al-Quran,aliran Mu'tazilah berpendapat bahwa Al-Quran adalah makhluk


sehingga tidak kekal. Mereka beragumen bahwa Al-Quran itu sendiri tersusun dari kata-kata dan
kata-kata itu sendiri tersusun dari huruf-huruf.Menurut Abd.Al-Jabbar, huruf hamzah umpamanya
dalam kalimat al-hamdulillah, mendahului huruf lam dan huruf lam  mendahului huruf ha, Demikian
pula surat dan ayat pun ada yang terdahulu dan ada yang akan datang kemudian tidaklah dapat
dikatakan qadim.

6.    Kehendak mutlak tuhan dan keadilan tuhan.

Kaum Asy'ariyah, karena percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa


perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-
mata adalah kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau
tujuan yang lain. Mereka mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang
sebenarnya,yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta
mempergunakanya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikian, keadilan tuhan mengandung
arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat
sekehendak hati-Nya. Tuhan dapat memberi pahala kepada hambanya atau memberi siksa dengan
sekehendak hatinya,dan itu semua adalah adil bagi tuhan.

Aliran Asy'ariyah yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak
mempunyai kebebasan atas kehendak dan perbuatanya, mengemukakan bahwa kekuasaan dan
kehendak dan perbuatannya, mengemukakan kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan haruslah
berlaku semutlak-mutlaknya. Al-asy'ari sendiri Tuhan yang dapat membuat hukum serta
menentukan apa yang boleh dibuat Tuhan. Malah lebih jauh di katakan oleh asy'ari, kalau emang
tuhan menginginkan, ia dapat saja meletakkan beban yang tak terpikul oleh manusia.

Karena menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, aliran Asy'ariyah memberi makna
keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak terhadap makhluknya
dan dapat berbuat sekehendak hatinya. Dengan demikian, ketidak-adilan di fahami dalam arti Tuhan
tidak dapat berbuat sekehendaknya terhadap makhluk-Nya atau dengan kata lain di katakan tidak
adil bila di pahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.

Anda mungkin juga menyukai