Anda di halaman 1dari 10

BAB I

KEPEMIMPINAN MUAWIYAH BIN ABI SUFYAN

A. Biografi Muawiyah bin Abi Sufyan (19 th 3 bln 41 H / 661 M : 60 H / 681 M)


Muawiyah bin Abi Sufyan merupakan pendiri Dinasti bani Umayyah. Muawiyah
masuk Islam pada saat peristiwa Fathu Makkah. Muawiyah lahir lahir empat
tahun menjelang Rasulullah menjalankan dakwah di kota Makkah. Riwayat
lain menyebutkan ia lahir dua tahun sebelum diutusnya Muhammad Saw
menjadi Nabi. Beberapa riwayat menyatakan bahwa Muawiyah memeluk
Islam bersama ayahnya, Abu Sufyan bin Harb dan ibunya Hindun binti Utbah
tatkala terjadi Fathu Makkah. Namun riwayat lain menyebutkan, Muawiyah
masuk Islam pada peristiwa Umrah Qadha’ tetapi menyembunyikan
keislamannya sampai peritistiwa Fathu Makkah.
Di masa Rasulullah Saw, ia diangkat sebagai salah seorang pencatat
wahyu setelah bermusyawarah dengan Malaikat Jibril. Ambillah dia sebagai
penulis wahyu karena dia jujur,” kata Jibril.
Pada masa Khulafaur Rasyidin, Muawiyah diangkat menjadi salah seorang
panglima perang di bawah komando utama Abu Ubaidah bin Jarrah. Kaum
Muslimin berhasil menaklukkan Palestina, Syria (Suriah), dan Mesir dari
tangan Imperium Romawi Timur. Berbagai kemenangan ini terjadi pada
masa pemerintahan Umar bin Al-Khathab. Ketika Utsman bin Affan menjabat
sebagai khalifah menggantikan Umar, Muawiyah diangkat sebagai gubernur
untuk wilayah Syria dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus
menggantikan Gubernur Abu Ubaidah bin Jarrah. Pada masa pemerintahan
Ali, terjadi beberapa konflik antara kaum Muslimin. Di antaranya Perang
Shiffin. Perang yang terjadi antara Ali dan Muawiyah ini berakhir dengan
perdamaian. Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib terbunuh, kaum Muslimin
sempat mengangkat putranya, Hasan bin Ali. Namun melihat keadaan yang
tidak menentu, setelah tiga bulan, akhirnya Hasan mengundurkan diri dan
menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah bin Abi Sufyan.
Serah terima jabatan itu berlangsung di kota Kufah. Tahun inilah yang
dalam sejarah dikenal dengan Amul Jama’ah (Tahun Kesatuan). Dengan
demikian, Muawiyah resmi menjadi khalifah. Beberapa kalangan ada yang
menyebut Muawiyah dengan julukan yang jauh dari akhlak islami. Padahal
walau bagaimanapun ia tetap sahabat Rasulullah, yang telah banyak
memberikan sumbangan untuk Islam. Ia ikut di berbagai peperangan, baik di
masa Rasuullah atau Khulafaur Rasyidin. Mengenai tudingan yang
menjelekkannya, tidak semuanya bisa diterima begitu saja. Bahkan
beberapa kebijakan yang oleh sebagian sahabat dianggap ‘menyimpang’
masih bisa dimaklumi. Kendati pun ada, hal itu wajar mengingat ia adalah
manusia biasa yang kadang khilaf atau dipengaruhi orang-orang sekitarnya.
Semua itu tidak mengurangi keutamaannya sebagai sahabat, bahkan masih
terbilang keluarga dekat Rasulullah Saw.

Berikut biografi Muawiyah :


Nama : Muawiyah
Julukan : Abu Abdurrahman
Lahir : tahun 606 M ( tahun ke-5 sebelum kenabian)
Ayah : Abu Sufyan
Ibu : Hindun
Silsilah ayah dan ibu bertemu pada : Abdu Syam
Silsilah Muawiyah dan Nabi Muhammad bertemu pada : Abdi Manaf

B. Pengangkatan Menjadi Kholifah


Karier Politik Muawiyah dimulai sejak ia masuk Islam yaitu :
● Pada masa Nabi Muhammad : menjadi anggota penulis wahyu
● Pada masa Kholifah Abu Bakar : Panglima perang di wilayah Syam
● Pada masa Kholifah Umar : Gubernur Syiria
● Pada Masa Kholifah Utsman : Gubernur Damaskus dan Syiria
● Pada masa Kholifah Ali : Ia di copot dari jabatan gubernur.

Muawiyah melakukan pemberontakan pada masa pemerintahan Kholifah Ali,


dengan alasan menuntut balas kematian Utsman, bahkan ia menuduh bahwa Ali
terlibat dalam peristiwa pembunuhan Kholifah Utsman.Sedangkan Ali
beranggapan bahwa kepemimpinan Muawiyah sebagai gubernur Damaskus
banyak melakukan penyelewengan, selain itu Muawiyah juga berambisi
menduduki jabatan Kholifah oleh karena itu Ali mencopot Muawiyah dari
jabatannya sebagai Gubernur Damaskus. Karena merasa sakit hati maka
Muawiyah melakukan pemberontakan sehingga terjadilah Perang Shiffin, dalam
peperangan ini diakhiri dengan perdamaian / Arbitrase / Tahkim. Namun sayang
dalam peristiwa tahkim ini, pihak Muawiyah melakukan tipu muslihat atas saran
dari Amr bin Ash.Setelah peristiwa tahkim, pihak Ali merasa dirugikan dan
pendukunh Ali terpecah menjadi 2 kelompok yaitu Syi’ah dan Khawarij.Orang-
orang khawarij melakukan rencana hendak membunuh 3 orang yang dianggap
sebagai dalang perpecahan umat Islam yaitu (Muawiyah bin Abi Sufyan, Amr
bin Ash, dan Ali bin Abi Tholib). Namun rencana tersebut gagal hanya orang
yang bertugas membunuh Ali yang berhasil. Setelah Ali terbunuh, orang-orang
Syi’ah mengangkat Hasan bin Ali sebagai Kholifah, namun pihak muawiyah
menolak. Disisi lain Hasan tidak berambisi menjadi Kholifah dan tidak mau
terjadi perpecahan berlanjut di tubuh umat Islam, akhirnya Hasan bersedia
menyerahkan kekuasaan kekholifaha kepada Muawiayah.
Hasan bersedia menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah dengan beberapa
syarat yaitu :
1. Muawiyah tidak menarik pajak dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak
2. Muawiyah tidak lagi mencacimaki Ali dan keluarganya
3. Muawiyah menyerahkan sebagian harta Baitul Mal kepada Hasan
4. Setelah kekholifahan muawiyah berahir, jabatan Kholifah diserahkan kepada
umat Islam.

Muawiyah berjanji memenuhi syarat tersebut, akhirnya Muawiyah secara resmi


diangkat sebagaiKholifah pada tahun 661 H.
C. Gaya Kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan
Sistem pemerintahan yang dijalankan pemerintahan bani Umayyah
adalah Monarchi Heridities. Yaitu system pemerintahan kerajaan / turun temurun,
hal ini dibuktikan setelah Muawiyah wafat ia menyerahkan kekuasaan
kekholifahan kepada putranya yaitu Yazid bin Muawiyah. Hal inilah yang
menyebabkan pemberontakan yang dilakukan oleh Husain bin Ali (saudara
Hasan). Sehingga terjadi perang di padang Karba’ Irak. Dalam perang ini Hasan
beserta seluruh keluarganya terbunuh. Dalam menjalankan pemerintahan
Muawiyah memang terkenal keras dan otoriter. Namun gaya kepemimpinan inilah
yang menjadikan pemerintahan Islam berjalan stabil karena ia selalu berusaha
menumpas para pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah.
Sejalan dengan watak dan prinsip Muawiyah tersebut serta pemikirannya yang
perspektif dan inovatif, ia membuat berbagai kebijaksanaan dan keputusan politik
dalam dan luar negeri. Dan jejak ini diteruskan oleh para penggantinya dengan
menyempurnakannya.
Pertama, pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus.
Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan politik dan alasan keamanan. Karena
letaknya jauh dari Kufah pusat kaum Syiah pendukung Ali, dan jauh dari Hijaz
tempat tinggal mayoritas Bani Hasyim dan Bani Umayah, sehingga bisa terhindar
dari konflik yang lebih tajam antara dua bani itu dalam memperebutkan
kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus yang terletak diwilayah Syam (Suria) adalah
daerah yang berada di bawah gengaman pengaruh Muawiyah selama 20 tahun
sejak ia diangkat menjadi Gubernur di distirk itu sejak zaman Khalifah Umar bin
Khatab.
Kedua, Muawiyah memberi penghargaan kepada orang-orang yang berjasa dalam
perjuangannya mencapai pundak kekuasaan. Seperti Amr bin Ash ia angkat
kembali menjadi Gubernur di Mesir, Al-Mughirah bin Syu’bah juga ia diangkat
menjadi Gubernur diwilayah Persia. Ia juga memperlakukan dengan baik dan
mengambil baik para sahabat terkemuka yang bersikap netral terhadap berbagai
kasus yang ditimbul waktu itu, sehingga mereka berpihak kepadanya.
Ketiga, Menumpas orang-orang yang beroposisi yang dianggap berbahaya jika
tidak bisa dibujuk dengan harta dan kedudukan, dan menumpas kaum
pemberontak. Ia menumpas kaum Khawarij yang merongsong wibawa
kekuasaannya dan mengkafirkannya. Golongan ini menunduhnya tidak mau
berhukum kepada Al-Qur’an dalam mewujudkan perdamaian dengan Ali diperang
Shiffin melainkan ia mengikuti ambisi hawa nafsu politiknya.
Keempat, membangun kekuatan militer yang terdiri dari tiga angakatan, darat,
laut dan kepolisian yang tangguh dan loyal. Mereka diberi gaji yang cukup, dua
kali lebih besar dari pada yang diberi pada yang diberikan Umar kepada
tentaranya. Ketiga angkatan ini bertugas menjamin stabilitas keamanan dalam
negeri dan mendukung kebijaksanaan politik luar negeri yaitu memperluas
wilayah kekuasaan.
Kelima, meneruskan wilayah kekuasaan Islam baik ke Timur maupun ke Barat.
Perluasan wilayah ini diteruskan oleh para penerus Muawiyah, seperti Khalifah
Abd al-Malik ke Timur, Khalifah al-Walid ke Barat, dan ke Perancis di zaman
Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Perluasan wilayah dizaman Dinasti ini
merupakan ekspansi besar kedua setelah ekspansi besar pertama di zaman Umar
bin Khattab. Daerah-daerah yang dikuasai umat Islam dizaman Dinasti ini
meliputi Spanyol, Afrika Utara, Suria, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak,
sebahagian dari Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut
Pakistan, Rurkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah dan pulau-pulau yang
terdapat di Laut Tengah, sehingga Dinasti ini berhasil membangun Negara besar
di zaman itu. Bersatunya berbagai suku bangsa di bawah naungan Islam
melahirkan benih-benih peradaban baru yang bercorak Islam, sekalipun Bani
Umayah lebih memusatkan perhatiannya kepada pengembangan kebudayaan
Arab. Benih-benih peradaban baru itu kelak berkembang pesat di zaman Dinasti
Abbasiyah sehingga Dunia Islam menjadi pusat peradaban dunia selama berabad-
abad.
Keenam, baik Muawiyah maupun para penggantinya membuat kebijaksanaan
yang berbeda dari zaman Khulafa al-Rasyidin. Mereka merekrut orang-orang non-
musim sebagai pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat,
administrator, dokter dan dikesatuan-kesatuan tentara. Tapi di zaman Khulafaur
Umar bin Abd al-Aziz kebijaksanaan itu ia hapuskan. Karena orang-orang non-
Muslim (Yahudi, Nasrani, Majusi) yang memperoleh privilege di dalam
pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam bahkan menganggap
rendah mereka. Didalam Al-Qur’an memang terdapat peringatan-peringatan yang
tidak membolehkan orang-orang mukmin merekrut orang-orang non-muslim
sebagai teman kepercayaan dalam mengatur urusan orang-orang mukmin.
Ketujuh, Muawiyah mengadakan pembaharuan dibidang administrasi
pemerintahan dan melengkapinya dengan jabatan-jabatan baru yang dipengaruhi
oleh kebudayaan Byzantium.
Kedelapan, Kebijaksanaan dan keputusan politik penting yang dibuat oleh
Khalifah Muawiyah adalah Mengubah system pemerintahan dari bentuk Khalifah
yang bercorak Demokratis menjadi system Monarki dengan mengankat putranya,
Yazid, menjadi putra Mahkota untuk menggantikannya sebagai Khalifah
sepeninggalnya nanti. Ini berarti suksesi kepemimpinan berlansung secara turun-
temurun yang diikuti oleh para pengganti Muawiyah. Dengan demikian ia
mempelopori meninggalkan tradisi di Zaman Khulafa al-Rasyidin dimana
Khalifah ditetapkan melalui pemilihan oleh umat. Lebih dari itu Muawiyah telah
melanggar asas musyawarah yang diperintahkan oleh Al-Qur’an agar segala
urusan diputuskan melalui musyawarah. Karena itu keputusan politik Muawiyah
itu mendapat protes dari umat Islam golongan Syi’ah, pendukung Ali, Abd al-
Rahman bin Abi Bakar, Husein bin Ali, dan Abdullah bin Zubeir. Bahkan
kalangan tokoh masyarakat Madinah mengadakan dialog dengan Muawiyah.
Mereka menyarankan agar ia mengikuti jejak Rasulullah atau Abu Bakar dan
Umar dalam urusan Khalifah tidak mendahulukan kabilah dari umat. Muawiyah
tidak mengubris saran ini. Alasan yang dikemukakan karena ia khawatir akan
timbul kekacauan, dan akan mengancam stabilitas keamanan kalau ia tidak
mengangkat putra mahkota sebagai penggantinya. Keputusan ini direkayasa oleh
Muawiyah seolah-seolah mendapatkan dukungan dari para pejabat penting
pemerintah. Ia memanggil para Gubernur datang ke Damaskus agar mereka
membuat semacam “kebulatan tekad” mendukung keputusannya. Ia meminta
salah seorang gubernur yang bernama Al-Dhahhak bin Qais al-Fahri agar, setelah
ia (Muawiyah) berpidato dan memberi nasehat dalam suatu pertemuan, minta izin
berbicara dengan memuji Allah dan menyatakn, Yazid adalah orang yang pantas
memangku jabatan khalifah setelah Muawiyah. Kepada para Gubernur lain
diminta oleh Muawiyah agar membenarkan ucapan Dhahhak. Mereka memenuhi
perintah itu, kecuali Gubernur Ahnaf bin Qais. Walaupun Muawiyah mengubah
system pemerintahan menjadi monarki, namun dinasti ini tetap memakai gelar
khalifah. Bahkan Muawiyah menyebut dirinya sebagai Amir al-Mu’minin. Dan
status jabatan Khalifah diartikan sebagai “Wakil Allah” dalam mempimpin umat
dengan menggantikannya kepada Al-Qur’an (surat al-Baqarah ayat 30). Atas
dasar ini Dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan khalifah didasarkan
atas perkenaan Allah. Siapa yang menentangnya adalah kafir. Pengelolaan
administrasi pemerintahan dan struktur pemerintahan Dinasti Bani Umayah
merupakan penyempurnaan dari pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang
diciptakan oleh Khalifah Umar. Wilayah kekuasaan yang luas itu, sebagaimana
pada periode Negara madinah, dibagi menjadi beberapa wilayah provinsi. Setiap
provinsi dikepalai oleh Gubernur dengan gelar wali atau amir yang diangkat oleh
Khalifah. Gubernur didampingi oleh seorang atau beberapa katib (sekretaris),
seorang hajib (pengawal) dan pejabat-pejabat penting lain, yaitu shahib al-kharaj
(pejabat pendapatan), shahib al-syurthat (pejabat kepolisian), dan qadhi (kepala
keagamaan dan hakim). Pejabat pendapatan dan qadhi diangkat oleh khalifah dan
bertanggung jawab kepadanya. Di tingkat pemerintahan pusat dibentuk beberapa
lembaga dan departemen, al-katib, al-hajib dan diwan. Lembaga al-katib terdiri
dari katib al-rasail (Sekretaris Negara), katib al-kharaj (sekretaris Pendapatan
Negara), katib al-jund (sekretaris militer) katib al-syurthat (sekretaris kepolisian)
dan katib al-qadhi (panitera). Katib al-rasail dianggap paling penting posisinya.
Karena itu pejabatnya selalu orang terpercaya dan pandai serta dari keluarga
kerajaan. Para katib betugas mengurus administrasi Negara secara baik dan rapih
untuk mewujudkan kemaslahatan Negara. Al-Hanib (pengawal dan kepala rumah
tangga istana) bertugas mengatur para pejabat atau siapapun yang ingin bertemu
dengan khalifah. Lembaga ini belum dikenal dizaman Negara Madinah.
Karenanya siapa saja boleh bertemu dan berbicara langsung dengan khalifah tanpa
melalui birokrasi. Tapi ada tiga orang yang boleh langsung bertemu dengan
khalifah tanpa hijab, yaitu muzin untuk memberitahukan waktu shalat kepada
khalifah. Shahib al-barid (pejabat pos) yang membawa berita-berita penting untuk
khalifah, dan shahib al-tha’am, petugas yang mengurus hal-ihwal makanan di
istana. Lembaga al-syurthat yang dipimpin oleh shihab al-syurthat bertugas
memilihara keamanan masyarakat dan Negara. Lembaga lain adalah dibidang
pelaksanaan hukum, yaitu Al-Nidham al-qadhai terdiri dari tiga bagian, yaitu al-
qadha, al-hisbat dan al-mazhalim. Badan al-qadha dipimpin oleh seorang qadhi
yang bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang digali langsung
dari al-Qur’an, Sunnah Rasul, atau Ijmak dan atau Ijtihad. Badan ini bebas dari
pengaruh penguasa dalam menetapkan keputusan hukum terhadap para pejabat,
pegawai Negara yang melakukan pelanggaran. Pejabat badan al-hisbat disebut al-
muhtasib, tugasnya menangani krimininal yan perlu penyelesaian segera. Pejabat
badan al-mazhalim disebut qadhi al-mazhalim atau shahib al-mazhalim.
Kedudukan badan ini lebih dari al-qadha dan al-hisbat. Karena badan ini bertugas
meninjau kembali akan kebenaran dan keadilan keputusan-keputusan hukum yang
dibuat oleh qadhi dan muhtasib. Bila ada suatu kasus perkara yang keputusannya
dianggap perlu ditinjau kembali baik perkara seorang rakyat maupun pejabat yang
menyalagunakan jabatannya, badan ini menyelenggarakan mahkamat al-mazhalim
yang mengambil tempat di masjid. Sidang ini dihadiri oleh lima unsur lengkap,
yaitu para pembantu sebagai juri, para hakim, para fuqaha, para katib dan para
saksi, yang dipimpin oleh qadhi al-mazhalim. Berarti pemerintahan Dinasti
Umayah, sebagaimana pada periode Negara Madinah, peradilan bebas tetap
dilaksanakan. Didalam tubuh organisasi pemerintahan Dinasti Umayah juga
dibentuk beberapa diwan atau departemen.
Diwan al-Rasail, departemen yang mengurus surat-surat Negara dari Khalifah
kepada para Gubernur atau menerima surat-surat dari Gubernur. Departemen ini
memiliki dua sekretariat, untuk pusat menggunkan bahsa Arab, dan untuk daerah
menggunakan bahasa Yunani dan bahasa Persia. Tapi pada masa Khalifah Abd al-
Malik diadakan arabisasi, yaitu hanya menggunakan bahasa Arab dalam surat-
surat Negara. Politik arabisasi ini berlanjut pada masa putranya, Khalifah Al-
Walid, yaitu penggunaan bahasa Arab sebagai linguafranca dan bahsa ilmu
pengetahuan untuk seluruh wilayah pemerintahan. Pengaruhnya berlanjut sampai
sekarang. Misalnya Mesir dan Irak menggunakan bahasa Pahlawi dan Kpti, dan
Damaskus bahasa Greek, kini menggunakan bahasa Arab. Kebijaksanaan ini
mendorong seorang ulama, sibawaih, untuk menyususn Al-Kitab yang selanjutnya
menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab.
Diwan al-Khatim, departemen pencatatan yang bertugas menyalin dan
meregistrasi semua keputusan khalifah atau peraturan-peraturan pemerintah untuk
dikirim kepada pemerintahan di daerah. 3). Diwan al-Kharaj, usyur, zakat, jizyah,
fa’I dan ghanimah dan sumber lain. Semua pemasukan keuangan yang diperoleh
dari sumber-sumber itu disimpan di Baitul Mal (kantor perbendaharaan Negara. 4)
Diwan al-Barid, departemen pelayanan pos bertugas melayani informasi tentang
berita-berita penting di daerah kepada pemerintahan pusat dan sebaliknya,
sehingga khalifah dapat mengetahui apa yang terjadi di daerah dan
memudahkannya untuk mengontrol jalannya pemerintahan di daerah. 5).
Diwanul al-jund, departemen pertahanan yang bertugas mengornisir militer.
Personilnya mayoritas orang-orang Arab.

D. Jasa Peninggalan Kholifah Muawiyah bin Abi Sufyan


Pada masa Umayyah, baitul Mal = Lembaga pemerintahan yang bertugas
mengurus masalah keuangan Negara, beralih fungsi dari harta hak seluruh rakyat
menjadi harta kekayaan pribadi kholifah.
Adapun kebijakan-kebijakan yang dilakukan pada masa pemerintahan Kholifah
Muawiyah antara lain adalah :
1. Pembentukan Diwanul Hijabah
Bertugas memberikan pengawalan khusus terhadap Khlifah, hal ini
dikarenakan kekhawatiran muawiyah melihat 3 kholifah sebelumnya
meninggal karena terbunuh
2. Pembentukan Diwanul Khatam
Bertugas mencatat semua kebijakan Kholifah mengantisipasi peristiwa
pembunuhan Kholifah Utsman yang disebabkan Surat misterius
3. Pembentukan Diwanul Barid
Departemen pos yang bertugas mengantarkan surat-surat resmi pemerintah
4. Pembentukan Shohibul Kharaj
Bertugas memungut pajak dari rakyat.
Daftar Pustaka

Pulungan, J Suyuthi . 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. PT.
RajaGrafindo Persada: Jakarta
Syalabi, Ahmad. 1998. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jilid I. terjemahan
Muchtar Yahya dan Sanusi Latif. Pustaka Al-Husna: Jakarta.
Nasution, Harun. 1986. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid I. UI-Press:
Jakarta.
Islam. Jilid I. Departemen Agama RI.

Anda mungkin juga menyukai