Anda di halaman 1dari 13

Biografi Muawiyah bin Abi Sufyan

Nama lengkap Muawiyah bin Abi Sufyan adalah Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb
bin Umayah bin Harb bin Abdi Syams bin Abd Manaf al-Quraisy al-Amawi. Ibunya
bernama Hindun binti Utbah bin Rabi’ah bin Abd Syams bin Abd Manaf. Dari silsilah ini
secara geneologis terjadi pertemuan antara nenek moyang bapaknya dengan nenek moyang
ibunya, yaitu pada Abd Syams. Muawiyah yang dijuluki Abu Abd Al-Rahman, dilahirkan
kira-kira pada tahun ke-5 sebelum kenabian (606 M). Muawiyah dan bapaknya masuk
Islam pada perisrtiwa penaklukan kota Mekkah, ketika ia berusia lebih kurang 23 tahun.
Menurut pengakuan Muawiyah sendiri bahwa ia telah menjadi muslim jauh sebelum fath
al-Mekkah, yaitu pada Yaum Al-Qadla ketika Rasulullah saw. Dan para sahabat
melaksanakan Umrah setelah perjanjian Hudaibiyah. Ketika itu datang menghadap Rasul
dan menyatakan diri sebagai muslim, tetapi keislaman itu ia sembunyikan. Hal itu
dilakukan karena ia mendapat ancaman dari keluarganya, terutama ibunya bahwa kalau ia
masuk Islam, pasokan makanan, warisan dan sebagainya akan dihentikan oleh
keluarganya.
Setelah keislamannnya, ia mendapat kepercayaan dari Rasulullah saw. Untuk
menjadi penulis wahyu. Jabatan ini diberikan kepadanya, selain sebagai bagian dari bentuk
penghargaan atas keluarga Bani Umayah, juga karena Rasulullah saw. Melihat potensi dan
kemampuan menulis dan membaca yang dimilikinya yang perlu dihargai dan
dikembangkan untuk kepentingan pengembangan Islam. Karena pada saat itu, sedikit
sekali orang Arab yang memiliki kemampuan membaca dan menulis. Dari sinilah
kemudian posisi Muawiyah menjadi semakin penting di dalam kehidupan sosial
keagamaan dan politik ketika itu.
Sejak saat itulah tampaknya Muawiyah meniti kariernya, sehingga memiliki karier
politik yang cukup baik di dalam pemerintahan pada masa khulafaur rasyidin, terutama
sejak masa khalifah Umar bin Al-Khattab (13-24 H/634-644 M).
Pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar (11-13 H/632-634 M). Saudara
Muawiyah bernama Yazid bin Abi Sufyan, mendapat kepercayaan untuk menaklukkan
daerah Syams. Dalam situasi yang kritis, Yazid meminta bantuan kepada khalifah untuk
menambah kekuatan perang. Permintaan tersebut dipenuhi. Kemudian khalifah Abu Bakar
as-Shiddiq meminta kepada Muawiyah untuk memimpin pasukan tambahan tersebut. Di
bawah bendera Yazid, Muawiyah bertempur menaklukkan kota-kota di utara, seperti
Sidon, Beirut, dan lain sebagainya.
Dari sinilah sinar kecemerlangan Muawiyah mulai tampak. Karena itu, ketika
khalifah Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah, ia mengangkat Yazid sebagai
gubernur Damaskus, sementara Muawiyah sebagai gubernur Syiria (Yordania) pada bulan
Syawal tahun 19 H, dua wilayah itu digabungkan menjadi satu dan berada di bawah
kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan. Penggabungan ini disetujui khalifah Umar bin
Khattab, karena mengetahui benar bahwa Muawiyah akan mampu menjalankan roda
pemerintahan di wilayah tersebut. Sebab Muawiyah dikenal sebagai seorang pemimpin
yang memiliki kepribadian kuat dan ahli dalam lapangan politik, sehingga khalifah Umar
menyukainya dan menyebutnya sebagai kaisar Arab yang berkuasa di Syiria.
Sebagai bukti pengabdiannya kepada khalifah Umar bin Khattab, Muawiyah setiap
bulan mengirimkan upeti kepada khalifah sebesar 1.000 dinar. Oleh karena itu, posisi
penting ini sebagai gubernur di wilayah ini tetap dipertahankan hingga ia mendapatkan
kekuasaan dari Hasan bin Ali pada tahun 41 H/661 M. Dalam peristiwa Am al-Jama’ah.
Keberhasilan Muawiyah dalam mencapai ambisinya untuk mendirikan kekuasaan
dinasti Bani Umayah, di sebabkan di dalam dirinya terkumpul sifat-sifat penguasa,
politikus dan administrator. Kepandaiannya bergaul dengan berbagai temperamen dan
watak manusia, membuat dirinya mampu menghimpun berbagai percakapan para tokoh
pendukungnya. Bahkan lawan politiknya sekalipun. Misalnya, ia menawarkan kerjasama
Amr bin Ash, seorang diplomat dan politikus kenamaan, untuk menggalang kekuatan guna
mencapai ambisi mereka.
Hal penting yang perlu di catat di sini adalah upaya Muawiyah bin Abi Sufyan yang
dilakukannya selama menjadi penguasa di Syiria. Di antara upaya strategis itu adalah
membangun kekuatan militer untuk memperkuat posisinya dalam upaya perluasan dan
pertahanan wilayah islam, baik pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab maupun pada
masa khalifah Usman bin Affan. Meskipun upaya ini tidak di rencanakan sejak awal untuk
memperkuat posisinya di masa mendatang, tetapi usaha ini cukup efektif untuk
membangun kekuatan dn pertahanan militer yang dapat dipergunakan manakala ia
membutuhkannya.
Dengan posisi dan kekayaan yang dimilikinya, Muawiyah bin Abi Sufyan merekrut
militer sebagai tentara bayaran yang berasal dari penduduk asli Syiria dan masyarakat Arab
yang bermigrasi ke kota tersebut. Kebanyakan yang datang ke kota Damaskus dan
dijadikan tentara atau pejabat penting yang berada di bawah kekuasaannya adalah anggota
keluarganya sendiri. Dengan kemampun yang dimilikinya, ia juga merekrut tentara yang
berasal dari lawan-lawan politiknya. Semua itu merupakan rencana strategis yang
dilakukan Muawiyah untuk menggapai ambisinya menjadi khalifah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan merupakan
salah seorang penguasa lokal (gubernur) yang paling lama berkuasa. Muawiyah berkuasa
di wilayah Arab Utara kurang lebih selama 20 tahun. Oleh karena itu, tak heran kalau
kemudian ia memiliki basis yang sangat kuat untuk membantu melicinkan jalan menuju
kursi kekuasaannya sebagai penguasa pertama dan pediri dinasti Bani Umayah pada tahun
41 H/661 M. Sebuah jabatan yang dipegangnya hingga ia wafat pada bulan Rajab 60 H.
Bahkan dengan dukungan basis massa, militer dan kekayaan yang dimilikinya
Muawiyah bin Abi Sufyan berani menentang ajakan khalifah Ali bin Abi thalib untuk
melepaskan jabatannya sebagai gubernur di Syiria. Muawiyah bin Abi Sufyan menolak
untuk mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah.
Penolakan ini dilakukan karena Muawiyah menganggap khalifah Ali bin Abi Thalib
lah yang berada di balik peristiwa pembunuhan khalifah Usman bin Affan. Muawiyah
tidak mau melakukan bai’at kepada Ali bin Abi Thalib sebelum khalifah Ali berhasil
mengungkap kasus terbunuhnya khalifah Usman dan mengadili pembunuhnya. Bahkan
Muawiyah mengumpulkan massa pendukungnya untuk secara bersama-sama menentang
dan melawan kekuatan khalifah Ali.
Penolakan dan tantangan yang dilakukan Muawiyah dan para pendukungnya tersebut
berakibat pada terjadinya perpecahan di dalam tubuh umat Islam dan konflik horizontal
yang tak berkesudahan. Perpecahan tersebut menimbulkan perang fisik antara khalifah Ali
bin Abi Thalib dengan Muawiyah yang dibantu para pendukung setianya. Perang trsebut di
kenal dalam sejarah Islam dengan sebutan perang Shiffin tahun 657 M.
Peperangan ini menimbulkan dampak politis, karena memperlemah kekuatan politik
umat Islam yang seharusnya bersatu menegakkan agama Islam. Sebagai akibat lain dari
peperangan tersebut adalah munculnya kelompok-kelompok Islam, seperti Khawarij, yaitu
kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib yang telah menyatakan keluar dari barisan
khalifah, karena mereka menolak hasil penyelesaian konflik melalui arbitrase atau tahkim.
Kelompok kedua yaitu kelompok Syi’ah Ali, yaitu kelompok pendukung setia Ali dan
tetap bertahan di dalam barisan khalifah Ali bin Abi Thalib untuk mendukung semua
kebijakan khalifah Ali. Ketiga adalah kelompok Muawiyah, yaitu kelompok pendukung
setia Muawiyah yang selalu berada di belakang Muawiyah untuk mempertahankan
kekuasaan dan membelanya mati-matian. Kelompok-kelompok inilah yang kemudian
banyak memainkan peran di dalam proses perjalanan sejarah umat islam kemudian.
Sikap keras kepala dan keangkuhan Muawiyah bin Abi Sufyan ditunjukkan kembali
ketika masyarakat Kufah, Basrah, Madinah dan sebagian penduduk Persia mengangkat
Hasan bin Ali sebagai khalifah. Muawiyah tetap pada pendiriannya untuk tidak mau
melakukan bai’at kepada Hasan. Usaha tersebut ternyata dengan mudah diperoleh
hasilnya, karena Hasan bin Ali mau menyerahkannya kepad Muawiyah dengan berbagai
persyaratan dan tuntutan yang diajukan Hasan.
Di antara tuntutan yang diajukan Hasan bin Ali supaya ia menyerahkan kekuasaan
khalifah kepada Muawiyah adalah:
1. Bahwa kekuasaan atau khalifah harus diserahkan kepada umat Islam untuk
menentukannya kelak setelah Muawiyah meninggal,
2. Bahwa Muawiyah harus menyerahkan sebagian harta Baitul Mal kepadanya sebagai
bentuk perjanjian dengan Muawiyah,
3. Bahwa Muawiyah tidak lagi mencaci maki bapaknya serta keluarganya. Muawiyah
menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah Dar Ibjirad kepada hasan setiap tahun,
4. Bahwa Muawiyah tidak menarik sesuatu dari penduduk Madinah, Hijaz dan Irak, karena
hal itu telah menjadi kebijakan ayahnya, Ali bin Abi Thalib, sejak ia masih berkuasa.
Sebagai seorang politisi cerdik, semua tuntutan dan persyaratan tersebut dipenuhi
Muawiyah. Dengan dipenuhinya berbagai persyaratan dan tuntutan itu, akhirnya
Muawiyah memperoleh jabatan khalifah dari tangan Hasan bin Ali pada tahun 41 h/661 M.
Dengan demikian, Muawiyah b in Abi Sufyan mencapai puncak karir di dalam dunia
politik sebagai seorang khalifah yang memimpin seluruh umat Islam di dunia ketika itu.
Jabatan khalifah dipegangnya hingga ia meninggal dunia pada tahun 680 M.
Penaklukan negeri-negeri di masa ‘Abdul Malik
Pada waktu terjadinya huru hara dalam negeri yang menyelubungi ‘Abdul Malik, dan
beliau bersungguh-sungguh dan sepenuh tenaga berusaha menyelesaikannya, pada saat
itu pula beliau melanjutkan usaha perluasan wilayah dan jihad di jalan Allah sampai
mencapai daerah yang jauh. Para panglima dikerahkan dan disemangati untuk
menjalankan misi ini.

Di daerah Khurasan, yang dipegang oleh gubernur Al Muhallab bin Abi Shufrah, banyak
melakukan usaha-usaha penaklukan. Beliau menaklukan daerah Khawaqand dan kota
Kusy pada tahun 80 H dan dijadikan sebagai markas komandonya. Dari kota ini beliau
mengirim anak-anaknya untuk menyerang sejumlah negeri.

Setelah Al Muhallab meninggal, pemerintahan di wilayah ini dipegang oleh anaknya


yaitu Yazid dan berhasil menyerang daerah Khawarizmi. Di tengah-tengah
pemerintahannya beliau dikejutkan oleh sejumlah huru hara yang muncul karena sikap
fanatik terhadap suku di Khurasan sehingga tidak mampu lagi menyerang negeri-negeri
lain.

Dalam menghadapi kerajaan Romawi, `Abdul Malik berhasil memanfaatkan waktu untuk
mengadakan gencatan senjata sementara dengan Romawi sehingga kondisi
mendukungnya dan berhasil menyelesaikan perseteruan dari dalam negeri. Ketika telah
selesai menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam dengan berhasil membunuh Mush’ab
bin Az-Zubair di Iraq, ‘Abdul Malik mengerahkan pasukannya ke Romawi dengan penuh
percaya diri dan keberanian. Beliau membagi pasukan yang berperang di musim dingin
pasukan yang berperang di musim panas. Beliau berhasil melebarkan sayap
kekuasaannya di banyak wilayah. Kota Qaliqala berhasil ditaklukan pada tahun 81 H,
kemudian kota Mashishah.

Demikianlah ‘Abdul Malik dalam mengembalikan kemudian kaum muslimin. Lalu beliau
menantang Kerajaan Romawi dengan mengeluarkan mata uang Islam dan melarang
penggunaan mata uang Bizantium. Hal ini menjadi penegak ekonomi di kerajaan Islam
dan menambah pamor dan kemuliaan.

Kematian ‘Abdul Malik dan penghormatan yang beliau peroleh

`Abdul Malik meninggal pada pertengahan bulan Syawal 86 H di Damaskus pada usia 60
tahun. Beliau adalah Amirul Mukminin ‘Abdul Malik bin Marwan bin Al-Hakam Al-
Umawi, bapaknya para raja (setelahnya dari Bani Umayyah). Seorang pemberani dan ahli
perang. Pertama kali memimpin pasukan ke kerajaan Romawi tahun 42 H. Mu’awiyah
radhiyallahu ‘anhu mengangkatnya sebagai gubernur di Madinah padahal usianya baru 16
tahun. Beliau belajar dari para fuqahaa’, ulama, dan ahli zuhud. Beliau meriwayatkan
hadits dari ayahnya, Jabir, Abu Sa’iid Al Khudri, Abu Hurairah, dan Ibnu Umar. Banyak
orang yang mengambil ilmu darinya. Nafi’ mengatakan: “Aku pernah menyaksikan kota
Madinah dan tidak ada di kota itu seorang yang lebih cakap, lebih faqih, lebih pandai
membaca Al Qur’an dari pada `Abdul Malik bin Marwan. Al A’masy menceritakan dari
Abu Zinad, Abu Zinad berkata: Fuqahaa’ (ahli fiqih) di Madinah ada empat orang:
Sa’iid bin Al Musayyab, ‘Urwah bin Az-Zubair, Qabishah bin Dzuaib, dan `Abdul Malik
bin Marwan sebelum masuk ke pemerintahan. “

Mulai memegang kekuasaan pada tahun 65 H di Syam dan Mesir, sedangkan sisanya
berada di bawah pemerintahan ‘Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu sebagai
khalifah yang sah berdasar syari’at, dan ‘Abdul Malik sebagai pihak yang melakukan
pemberontakan. Setelah ‘Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhumeninggal, ‘Abdul
Malik menjadi satu-satunya pemegang kekuasaan pada tahun 73 H.

`Abdul Malik adalah seorang yang cerdas dan pandai mengurusi perkara dunia.. Seorang
yang teguh pendirian, kuat, dan cakap dalam
pidato. Al-‘Ashma’i menceritakan tentang `Abdul Malik: “Abdul Malik ditanya: Uban
cepat sekali tumbuh padamu. ‘Abdul Malik menjawab: Bagaimana tidak cepat tumbuh
sedangkan aku menghadapkan pemikiranku di hadapan rakyat setiap satu jum’at sekali
atau dua kali. Al-‘Ashma’i mengatakan: Pada hari ‘Abdul Malik berkhutbah dengan
khutbah yang lantang, kemudian menangis dengan sekeras-kerasnya, lalu berkata:
Wahai Rabbku, sungguh dosa-dosaku telah banyak sedangkan ampunan-Mu adalah lebih
besar dari pada dosaku. Ya Allah, hapuskanlah dosaku yang banyak dengan sedikit saja
dari ampunan-Mu.” Al-‘Ashma’i berkata: “Hal ini sampai kepada Al-Hasan Al Bashri
kemudian beliau. ikut menangis pula dan berkata: Kalau saja ada perkataan yang ditulis
dengan emas maka sungguh perkataannya akan ditulis dengan emas’. “

Beliau mengatur roda pemerintahan dengan penuh hikmah dan kekuatan. Menundukkan
gerombolan pengacau dan menebarkan keamanan dan stabilitas. Pada masanya
kehidupan kaum muslimin dalam keadaan sentosa. Banyak negeri berhasil ditaklukan,
Islam disebarkan, kekafiran dan orang-orang kafir dihinakan. Beliau memperbaiki negeri-
negeri dan mengatur segala urusannya.

`Abdul Malik meninggal pada tahun 86 H pada usia 60 tahun. Beliau memegang
pemerintahan selama 21 tahun. Selama delapan tahun kekuasaan dibagi dengan
`Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu sedangkan sisa waktu yang lain beliau
memegang sendiri.
Biografi Al Walid Bin Abdul Malik

Al-Walid bin Abdul-Malik bergelar Al-Walid I (lahir pada tahun 668 – meninggal
di Damaskus (kini wilayah Suriah) pada 23 Februari 715 pada umur 46/47 tahun)
ialah Khalifah Bani Umayyah yang memerintah antara 705 - 715. Ia melanjutkan
ekspansi Khilafah Islam yang dicetuskan ayahandanya, dan merupakan penguasa yang
efektif.
Al-Walid I ialah putra sulung Abdul-Malik dan menggantikannya ke kursi kekhilafahan
setelah kematiannya. Al-Walid sendiri melanjutkan pemerintahan yang efektif yang
merupakan ciri-ciri ayahandanya, ia mengembangkan sistem kesejahteraan, membangun
rumah sakit, institusi pendidikan dan langkah-langkah untuk apresiasi seni.

Al-Walid sendiri merupakan penggemar berat arsitektur lalu memperbaiki,


memperluas dan memperbaharui kembali Masjid Nabawi di Madinah tahun 706. Di
samping itu, ia mengubah Basilika Kristen St. Yohanes Pembaptis menjadi mesjid besar,
kini dikenal sebagai Masjid Agung Damaskusatau secara singkat Masjid Umayyah. Al-
Walid juga secara besar-besaran mengembangkan militer, membangun angkatan laut
yang kuat.
Ia juga dikenal karena kesalehan pribadinya dan banyak cerita menyebutkan
bahwa ia terus-menerus mengutip al-Qur'an dan selalu menjadi tuan rumah yang
menyajikan jamuan besar untuk orang-orang yang berpuasa selama bulan Ramadhan. Al-
Walid digantikan saudaranya Sulaiman bin Abdul-Malik.
Ayahnya bernama Abdul Malik. Karena kemanjaan ayahnya kepada Al-Walid
pendidikan bahasa arabnya sangat lemah. Sehingga ia bicaranya kurang fasih. Menurut
riwayat, ayahnya pernah berkata:” Cinta kasih kami kepada Al-walid telah
membahayakan dirinya, sehingga kami tidak mau, mengirimnya kepadang pasir.”
Karya terbesar Al-Walid dalam perbaikan dalam Negeri antara lain adalah ia telah
mengupulkan anak-anak yatim, diberinya jaminan hidup serta disediakan pendidikan
untuk mereka. Bagi orang yang cacat pelayanan khusus, bagi orang-orang buta
disediakan para penuntun,semua orang diberi bayaran yang teratur. Orang yang
berpenyakit kusta ditempatkan dalam rumah khusus, dirawat sesuai dengat syarat
kesehatan, hingga mereka tidak dapat keluar ke tempat yang ramai, mereka juga diberi
jaminan hidup layak dan mereka yang mengurusi diberi gaji.
Keberhasilan Al-Walid lepas dari orang disekitarnnya antara lain: al-Hajaj. Abdul
malik pernah berwasiat kepada puteranya AL-walid, suatu wasiat yang dapat
digambarkian kedudukan AL-Hajaj dalam kerajaan bani Ummayah. Ia berkata:”
pandanglah Al-Hajaj dan muliakanlah dia, karena dialah kerajaan menjadi kokoh.
Dialah pedangmu dan tanganmu, untuk menumpas orang-orang yang benar
membangkangmu. Janganlah engkau dengarkan fitnah orang tentang dirinmya, sebab
engkau memerlukannya, lebih dari ia memerlukan engkau"
Sifat keadilan Al-Walid akibat didikan ayahnya Abdul Malik sehingga rakyatnya
sangat kagum dan mencintai Al-Walid dengan sifat mulianya. Walaupun dia memegang
pemerintah sebagai Khalifah tidah begitu lama.
BIOGRAFI TOKOH - UMAR BIN ABDUL AZIZ

Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang berhasil memimpin umatnya dengan adil. Ia
adalah pemimpin yang sangat wara’, zuhud, bersih, dan peduli pada umatnya. Umar bin
Abdul Aziz disebut para ulama sebagai khulafa’ur rasyidin ke-5, karena kesamaan
manhaj kepemimpinan beliau dengan empat khalifah pertama penerus Rasulullah saw.
Umar bin Abdul Aziz mempunyai keperibadian yang tinggi, wara' yang diwarisi dari
kakeknya Umar bin Al-Khatab. Ia juga sangat berhati-hati dengan harta terutamanya
yang melibatkan harta rakyat. Kisah Umar bin Khattab berkaitan dengan kelahiran Umar
II Menurut tradisi Muslim Sunni, silsilah keturunan Umar dengan Umar bin Khattab
terkait dengan sebuah peristiwa terkenal yang terjadi pada masa kekuasaan Umar bin
Khattab.

"Khalifah Umar sangat terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar
daerah kekuasaannya. Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak
perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin.
Kata ibu “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak
sebelum terbit matahari”
Anaknya menjawab “Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang
kita berbuat begini”
Si ibu masih mendesak “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu”.
Balas si anak “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu”.
Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu.
Ketika pulang ke rumah, Umar bin Khattab menyuruh anak lelakinya, Asim menikahi
gadis itu.
Kata Umar, "Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat
kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”. Asim yang taat tanpa banyak
tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan
bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu
Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz.
Kelahiran Saat itu, Ummi Ashim menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan. Abdul Aziz
adalah Gubernur Mesir di era khalifah Abdul Malik bin Marwan (685 – 705 M) yang
merupakan kakaknya. Abdul Mallik bin Marwan adalah seorang shaleh, ahli fiqh dan
tafsir, serta raja yang baik terlepas dari permasalahan ummat yang diwarisi oleh ayahnya
(Marwan bin Hakam) saat itu. Dari perkawinan itu, lahirlah Umar bin Abdul Aziz. Beliau
dilahirkan di Halawan, kampung yang terletak di Mesir, pada tahun 61 Hijrah. Umar
kecil hidup dalam lingkungan istana dan mewah. Saat masih kecil Umar mendapat
kecelakaan. Tanpa sengaja seekor kuda jantan menendangnya sehingga keningnya robek
hingga tulang keningnya terlihat. Semua orang panik dan menangis, kecuali Abdul Aziz
seketika tersentak dan tersenyum. Seraya mengobati luka Umar kecil, dia berujar,
“Bergembiralah engkau wahai Ummi Ashim. Mimpi Umar bin Khattab insyaallah
terwujud, dialah anak dari keturunan Umayyah yang akan memperbaiki bangsa ini.“
Umar bin Abdul Aziz menuntut ilmu sejak beliau masih kecil. Beliau sentiasa berada di
dalam majlis ilmu bersama-sama dengan orang-orang yang pakar di dalam bidang fikih
dan juga ulama-ulama. Beliau telah menghafaz al-Quran sejak masih kecil. Merantau ke
Madinah untuk menimba ilmu pengetahuan. Beliau telah berguru dengan beberapa tokoh
terkemuka spt Imam Malik b. Anas, Urwah b. Zubair, Abdullah b. Jaafar, Yusuf b.
Abdullah dan sebagainya. Kemudian beliau melanjutkan pelajaran dengan beberapa
tokoh terkenal di Mesir.

Semasa Khalifah Walid bin Abdul Malik memerintah, beliau memegang jawatan
gabernur Madinah/Hijaz dan berjaya mentadbir wilayah itu dengan baik. Ketika itu
usianya lebih kurang 28 tahun. Pada zaman Sulaiman bin Abdul Malik memerintah,
beliau dilantik menjadi menteri kanan dan penasihat utama khalifah. Pada masa itu
usianya 33 tahun.

Umar bin Abdul Aziz mempersunting Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan sebagai
istrinya. Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan adalah putri dari khalifah Abdul Malik
bin Marwan. Demikian juga, keempat saudaranya pun semua khalifah, yaitu Al Walid
Sulaiman, Al Yazid, dan Hisyam. Ketika Fatimah dipinang untuk Umar bin Abdul Aziz,
pada waktu itu Umar masih layaknya orang kebanyakan bukan sebagai calon pemangku
jabatan khalifah.

Kehidupan awal 682 – 715 Umar dibesarkan di Madinah, di bawah bimbingan Ibnu
Umar, salah seorang periwayat hadis terbanyak. Ia tinggal di sana sampai kematiannya
ayahnya, dimana kemudian ia dipanggil ke Damaskus oleh Abdul-Malik dan menikah
dengan anak perempuannya Fatimah. Ayah mertuanya kemudian segera meninggal dan ia
diangkat pada tahun 706 sebagai gubernur Madinah oleh khalifah Al-Walid I

715 – 715: era Al-Walid I Tidak seperti sebagaian besar penguasa pada saat itu, Umar
membentuk sebuah dewan yang kemudian bersama-sama dengannya menjalankan
pemerintahan provinsi. Masa di Madinah itu menjadi masa yang jauh berbeda dengan
pemerintahan sebelumnya, dimana keluhan-keluhan resmi ke Damaskus berkurang dan
dapat diselesaikan di Madinah, sebagai tambahan banyak orang yang berimigrasi ke
Madinah dari Iraq, mencari perlindungan dari gubernur mereka yang kejam, Al-Hajjaj
bin Yusuf. Hal tersebut menyebabkan kemarahan Al-Hajjaj, dan ia menekan al-Walid I
untuk memberhentikan Umar. al-Walid I tunduk kepada tekanan Al-Hajjaj dan
memberhentikan Umar dari jabatannya. Tetapi sejak itu, Umar sudah memiliki reputasi
yang tinggi di Kekhalifahan Islam pada masa itu.
Pada era Al-Walid I ini juga tercatat tentang keputusan khalifah yang kontroversial untuk
memperluas area di sekitar masjid Nabawi sehingga rumah Rasulullah ikut direnovasi.
Umar membacakan keputusan ini di depan penduduk Madinah termasuk ulama mereka,
Said Al Musayyib sehingga banyak dari mereka yang mencucurkan air mata. Berkata
Said Al Musayyib: "Sungguh aku berharap agar rumah Rasulullah tetap dibiarkan seperti
apa adanya sehingga generasi Islam yang akan datang dapat mengetahui bagaimana
sesungguhnya tata cara hidup beliau yang sederhana"

715 – 717: era Sulaiman Umar tetap tinggal di Madinah selama masa sisa pemerintahan
al-Walid I dan kemudian dilanjutkan oleh saudara al-Walid, Sulaiman. Sulaiman, yang
juga merupakan sepupu Umar selalu mengagumi Umar, dan menolak untuk menunjuk
saudara kandung dan anaknya sendiri pada saat pemilihan khalifah dan menunjuk Umar.
Kedekatan Umar dengan Sulaiman
Sulaiman bin Abdul-Malik merupakan sepupu langsung dengan Umar. Mereka berdua
sangat erat dan selalu bersama. Pada masa pemerintahan Sulaiman bin Abdul-Malik,
dunia dinaungi pemerintahan Islam. Kekuasaan Bani Umayyah sangat kukuh dan stabil.

Suatu hari, Sulaiman mengajak Umar ke markas pasukan Bani Umayyah. Sulaiman
bertanya kepada Umar "Apakah yang kau lihat wahai Umar bin Abdul-Aziz?" dengan
niat agar dapat membakar semangat Umar ketika melihat kekuatan pasukan yang telah
dilatih. Namun jawab Umar, "Aku sedang lihat dunia itu sedang makan antara satu
dengan yang lain, dan engkau adalah orang yang paling bertanggung jawab dan akan
ditanyakan oleh Allah mengenainya".

Khalifah Sulaiman berkata lagi "Engkau tidak kagumkah dengan kehebatan pemerintahan
kita ini?"
Balas Umar lagi, "Bahkan yang paling hebat dan mengagumkan adalah orang yang
mengenali Allah kemudian mendurhakai-Nya, mengenali setan kemudian mengikutinya,
mengenali dunia kemudian condong kepada dunia".

Jika Khalifah Sulaiman adalah pemimpin biasa, sudah barang tentu akan marah dengan
kata-kata Umar bin Abdul-Aziz, namun beliau menerima dengan hati terbuka bahkan
kagum dengan kata-kata itu.

Sifat-sifatnya Rasa Takut dan Tangisannya Dari Al Mughirah bin Hukaim, dia berkata,
“Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan, dia berkata kepadaku, “Wahai Mughirah,
mungkin saja ada orang yang lebih baik shalat dan puasanya daripada Umar bin Abdul
‘Aziz, akan tetapi aku belum pernah melihat seorangpun yang lebih banyak takut dan
lebih banyak menangis dihadapan Tuhannya daripada Umar bin Abdul ‘Aziz. Jika dia
masuk ke rumahnya, dia langsung bersujud, dia terus saja menangis hingga kedua
matanya tertidur, kemudian terbangun dan menangis lagi dan lagi. Dia menghabiskan
sebagian besar malamnya seperti itu.”

Kezuhudannya Dari Maslamah bin Abdul Malik, dia berkata, “Aku menemui Umar bin
Abdul ‘Aziz untuk menjenguknya karena sakit. Saat itu dia mengenakan baju yang sudah
jelek dan kotor, kemudian aku berkata kepada Fatimah binti Abdul Malik, isterinya,
“Wahai Fatimah, cucilah baju Amirul Mukminin.” Sang isteri berkata, “InsyaAllah akan
aku lakukan.” Selang beberapa waktu, aku pun kembali menjenguknya dan ternyata
bajunya masih yang itu juga, sehingga aku pun berkata kepada isterinya, “Wahai
Fatimah, tidakkah aku talah memintamu untuk membersihkan dan mengganti pakaian
Amirul Mukminin, karena banyak warga yang ingin menjenguknya?” Fatimah berkata,
“Demi Allah, dia tidak mempunyai baju yang selain itu.”

Dari Malik bin Dinar, dia berkata, “Orang-orang berkata, “Malik bin Dinar adlah orang
yang zuhud,” akan tetapi sebenarnya orang yang bisa dikatakan zuhud itu adalah Umar
bin Abdul ‘Aziz yang dikaruniai kemewahan dunia dengan segala isinya akan tetapi dia
memilih untuk meninggalkannya.” Kewara’annya Ja’wanah berkata, “Ketika Abdul
Malik bin Umar bin Abdul ‘Aziz meninggal dunia, Umar bin Abdul ‘Aziz terlihat
bersyukur karenanya. Kemudian, sesorang berkata kepadanya, “Wahai Amirul
Mukminin, jika dia masih hidup, apakah Anda akan mengangkatnya sebagai putera
mahkota?” Dengan tegas Umar menjawab, “Tidak.” Orang itu bertanya lagi, “Mengapa
tidak, dan Anda malah bersyukur atas kematiannya?” Dia menjawab, “Aku takut dia akan
menjadi perhiasan dimataku (yang dapat menghalanginya dari kebenaran), seperti
perhiasan seorang anak pada orang tuanya.”

Dari Yahya bin Said, dia berkata, “Abdul Humaid bin Abdirrahman menulis sepucuk
surat kepada Umar bin Abdul ‘Aziz. Dalam suratnya itu dia berkata, “Sesungguhnya
telah ada pengaduan kepadaku tentang seseorang yang mencaci Anda, kemudian aku
berniat membunuhnya. Akan tetapi, aku membatalkannya hingga akhirnya aku
berinisiatif menulis surat kepada Anda untuk meminta pendapat Anda.” Umar bin Abdul
‘Aziz memberikan seseorang tidak berhak untuk dibunuh hanya karena mencaci orang
lain, kecuali yang mencaci Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam. Jadi, caci makilah dia
jika kamu menginginkannya, kemudian lepaskan.” Kerendahan Hatinya Dari Raja’ bin
Haiwah, dia berkata, “Aku pernah begadang malam bersama Umar bin Abdul ‘Aziz, tiba-
tiba lampu padam. Lalu aku bergegas untuk berdiri dan memperbaikinya, akan tetapi
Umar bin Abdul ‘Aziz melarangku. Setelah itu, dia memperbaikinya sendiri dan duduk
kembali, lalu dia berkata, “Jika kamu duduk, maka aku tetap Umar bin Abdul ‘Aziz
(orang biasa yang tak perlu diistimewakan). Dan jika kamu berdiri, maka aku juga tetap
Umar bin Abdul ‘Aziz dan celakalah seseorang yang memperkerjakan tamunya.”
Terdapat banyak riwayat dan athar para sahabat yang menceritakan tentang keluruhan
budinya. Di antaranya ialah : At-Tirmizi meriwayatkan bahwa Umar Al-Khatab telah
berkata : “Dari anakku (zuriatku) akan lahir seorang lelaki yang menyerupainya dari segi
keberaniannya dan akan memenuhkan dunia dengan keadilan”
Dari Zaid bin Aslam bahawa Anas bin Malik telah berkata : “Aku tidak pernah menjadi
makmum di belakang imam selepas wafatnya Rasulullah SAW yang mana solat imam
tersebut menyamai solat Rasulullah SAW melainkan daripada Umar bin Abdul Aziz dan
beliau pada masa itu adalah Gabenor Madinah”
Al-Walid bin Muslim menceritakan bahawa seorang lelaki dari Khurasan telah berkata :
“Aku telah beberapa kali mendengar suara datang dalam mimpiku yang berbunyi : “Jika
seorang yang berani dari Bani Marwan dilantik menjadi Khalifah, maka berilah baiah
kepadanya kerana dia adalah pemimpin yang adil”.” Lalu aku menanti-nanti sehinggalah
Umar b. Abdul Aziz menjadi Khalifah, akupun mendapatkannya dan memberi baiah
kepadanya”.
Qais bin Jabir berkata : “Perbandingan Umar b Abdul Aziz di sisi Bani Ummaiyyah
seperti orang yang beriman di kalangan keluarga Firaun”
Hassan al-Qishab telah berkata :”Aku melihat serigala diternak bersama dengan
sekumpulan kambing di zaman Khalifah Umar Ibnu Aziz”
Umar b Asid telah berkata :”Demi Allah, Umar Ibnu Aziz tidak meninggal dunia
sehingga datang seorang lelaki dengan harta yang bertimbun dan lelaki tersebut berkata
kepada orang ramai :”Ambillah hartaku ini sebanyak mana yang kamu mahu”. Tetapi
tiada yang mahu menerimanya (kerana semua sudah kaya) dan sesungguhnya Umar telah
menjadikan rakyatnya kaya-raya”
‘Atha’ telah berkata : “Umar Abdul Aziz mengumpulkan para fuqaha’ setiap malam.
Mereka saling ingat memperingati di antara satu sama lain tentang mati dan hari qiamat,
kemudian mereka sama-sama menangis kerana takut kepada azab Allah seolah-olah ada
jenayah di antara mereka.” Pengangkatan Umar bin Abdul Aziz sebagai Khalifah Atas
wasiat yang dikeluarkan oleh khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz
diangkat menjadi khalifah pada usianya 37 tahun. Beliau dilantik menjadi Khalifah
selepas kematian Sulaiman bin Abdul Malik tetapi beliau tidak suka kepada pelantikan
tersebut. Lalu beliau memerintahkan supaya memanggil orang ramai untuk mendirikan
sembahyang. Selepas itu orang ramai mula berpusu-pusu pergi ke masjid. Apabila
mereka semua telah berkumpul, beliau bangun menyampaikan ucapan. Lantas beliau
mengucapkan puji-pujian kepada Allah dan berselawat kepada Nabi s.a.w kemudian
beliau berkata: “Wahai sekalian umat manusia! Aku telah diuji untuk memegang tugas ini
tanpa meminta pandangan daripada aku terlebih dahulu dan bukan juga permintaan
daripada aku serta tidak dibincangkan bersama dengan umat Islam. Sekarang aku
membatalkan baiah yang kamu berikan kepada aku dan pilihlah seorang Khalifah yang
kamu reda”.

Tiba-tiba orang ramai serentak berkata: “Kami telah memilih kamu wahai Amirul
Mukminin dan kami juga reda kepada kamu. Oleh yang demikian perintahlah kami
dengan kebaikan dan keberkatan”. Lalu beliau berpesan kepada orang ramai supaya
bertakwa, zuhud kepada kekayaan dunia dan mendorong mereka supaya cintakan akhirat
kemudian beliau berkata pula kepada mereka: “Wahai sekalian umat manusia! Sesiapa
yang taat kepada Allah, dia wajib ditaati dan sesiapa yang tidak taat kepada Allah, dia
tidak wajib ditaati oleh sesiapapun. Wahai sekalian umat manusia! Taatlah kamu kepada
aku selagi aku taat kepada Allah di dalam memimpin kamu dan sekiranya aku tidak taat
kepada Allah, janganlah sesiapa mentaati aku”. Setelah itu beliau turun dari mimbar.

Umar rahimahullah pernah menghimpunkan sekumpulan ahli fekah dan ulama kemudian
beliau berkata kepada mereka: “Aku menghimpunkan kamu semua untuk bertanya
pendapat tentang perkara yang berkaitan dengan barangan yang diambil secara zalim
yang masih berada bersama-sama dengan keluarga aku?” Lalu mereka menjawab:
“Wahai Amirul Mukminin! perkara tersebut berlaku bukan pada masa pemerintahan
kamu dan dosa kezaliman tersebut ditanggung oleh orang yang mencerobohnya.” Walau
bagaimanapun Umar tidak puas hati dengan jawapan tersebut sebaliknya beliau
menerima pendapat daripada kumpulan yang lain termasuk anak beliau sendiri Abdul
Malik yang berkata kepada beliau: “Aku berpendapat bahawa ia hendaklah dikembalikan
kepada pemilik asalnya selagi kamu mengetahuinya. Sekiranya kamu tidak
mengembalikannya, kamu akan menanggung dosa bersama-sama dengan orang yang
mengambilnya secara zalim.” Umar berpuas hati mendengar pendapat tersebut lalu beliau
mengembalikan semula barangan yang diambil secara zalim kepada pemilik asalnya.
Sesudah Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah dan Amirul Mukminin, Umar
langsung mengajukan pilihan kepada Fatimah, isteri tercinta. Umar berkata kepadanya,
“Isteriku sayang, aku harap engkau memilih satu di antar dua.”
Fatimah bertanya kepada suaminya, “Memilih apa, kakanda?”
Umar bin Abdul Azz menerangkan, “Memilih antara perhiasan emas berlian yang kau
pakai dengan Umar bin Abdul Aziz yang mendampingimu.”
Kata Fatimah, “Demi Allah, Aku tidak memilih pendamping lebih mulia daripadamu, ya
Amirul Mukminin. Inilah emas permata dan seluruh perhiasanku.”
Kemudian Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerima semua perhiasan itu dan
menyerahkannya ke Baitulmal, kas Negara kaum muslimin. Sementara Umar bin Abdul
Aziz dan keluarganya makan makanan rakyat biasa, yaitu roti dan garam sedikit. Setelah
menjadi khalifah, beliau mengubah beberapa perkara yang lebih mirip kepada sistem
feodal. Di antara perubahan awal yang dilakukannya ialah : menghapuskan cacian
terhadap Saidina Ali b Abu Thalib dan keluarganya yang disebut dalam khutbah-khutbah
Jumaat dan digantikan dengan beberapa potongan ayat suci al-Quran
merampas kembali harta-harta yang disalahgunakan oleh keluarga Khalifah dan
mengembalikannya ke Baitulmal
memecat pegawai-pegawai yang tidak cekap, menyalahgunakan kuasa dan pegawai yang
tidak layak yang dilantik atas pengaruh keluarga Khalifah
menghapuskan pegawai pribadi bagi Khalifah sebagaimana yang diamalkan oleh
Khalifah terdahulu. Ini membolehkan beliau bebas bergaul dengan rakyat jelata tanpa
sekatan tidak seperti khalifah dahulu yang mempunyai pengawal peribadi dan askar-askar
yang mengawal istana yang menyebabkan rakyat sukar berjumpa.

Selain daripada itu, beliau amat menitilberatkan tentang kebajikan rakyat miskin di mana
beliau juga telah menaikkan gaji buruh sehingga ada yang menyamai gaji pegawai
kerajaan.

Beliau juga amat menitikberatkan penghayatan agama di kalangan rakyatnya yang telah
lalai dengan kemewahan dunia. Khalifah umar telah memerintahkan umatnya mendirikan
solat secara berjammah dan masjid-masjid dijadikan tempat untuk mempelajari hukum
Allah sebegaimana yang berlaku di zaman Rasulullah SAW dan para Khulafa’ Ar-
Rasyidin. Baginda turut mengarahkan Muhammad b Abu Bakar Al-Hazni di Mekah agar
mengumpul dan menyusun hadith-hadith Raulullah SAW. Beliau juga meriwayatkan
hadis dari sejumlah tabiin lain dan banyak pula ulama hadis yang meriwayatkan hadis
daripada beliau.

Dalam bidang ilmu pula, beliau telah mengarahkan cendikawan Islam supaya
menterjemahkan buku-buku kedoktoran dan pelbagai bidang ilmu dari bahasa Greek,
Latin dan Siryani ke dalam bahasa Arab supaya senang dipelajari oleh umat Islam.

Dalam mengukuhkan lagi dakwah Islamiyah, beliau telah menghantar 10 orang pakar
hukum Islam ke Afrika Utara serta menghantar beberapa orang pendakwah kepada raja-
raja India, Turki dan Barbar di Afrika Utara untuk mengajak mereka kepada Islam. Di
samping itu juga beliau telah menghapuskan bayaran Jizyah yang dikenakan ke atas
orang yang bukan Islam dengan harapan ramai yang akan memeluk Islam.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang terkenal dengan keadilannya telah menjadikan
keadilan sebagai keutamaan pemerintahannya. Beliau ingin semua rakyat dilayani dengan
adil tidak memandang keturunan dan pangkat supaya keadilan dapat berjalan dengan
sempurna. Keadilan yang beliau perjuangan adalah menyamai keadilan di zaman
kakeknya, Khalifah Umar Al-Khatab.Pada masa pemerintahan beliau, kerajaan
Umaiyyah semakin kuat tiada pemberontakan dalaman, kurang berlaku penyelewengan,
rakyat mendapat layanan yang sewajarnya dan menjadi kaya-raya hinggakan Baitulmal
penuh dengan harta zakat kerana tiada lagi orang yang mahu menerima zakat. Rakyat
umumnya sudah kaya ataupun sekurang-kurangnya mau berdikari sendiri. Pada zaman
pemerintahan Umar bin Abdul Aziz ra, pasukan kaum muslimin sudah mencapai pintu
kota Paris di sebelah barat dan negeri Cina di sebelah timur. Pada waktu itu kekausaan
pemerintahan di Portugal dan Spanyol berada di bawah kekuasaannya.

Wafat Umar bin Abdul ‘Aziz meninggal dunia di Dir Sam’an, pada tanggal 10 atau 5
bulan Rajab tahun 101 Hijriyah. Saat itu dia genap berusia 39 tahun lebih enam bulan. Ia
meninggal setelah memerintah selama 2 tahun 5 bulan dan 2 tahun 5 bulan satu tempoh
yang terlalu pendek bagi sebuah pemerintahan. Meninggalnya karena meminum racun
yang telah direkayasa oleh bani Umayyah sendiri, karena Umar bin Abdul ‘Aziz dikenal
tegas terhadap kezhaliman mereka, mencabut semua kekebalan hukum dan hak istimewa
mereka serta memutus semua sumber dana kekayaan mereka. Dia memang mengabaikan
kehati-hatian dan pengamanan pada dirinya

Anda mungkin juga menyukai