Anda di halaman 1dari 8

Latar Belakang dan Sebab Terbentuknya Dinasti Umayah

1. Asal usul Bani Umayyah


Bani umayyah merupakan salah satu kabilah dalam masyarakat Arab Quraisy.
Kabilah ini memegang tampuk kekuasaan politik dan ekonomi pada masyarakat Arab.
Pada saat kekuasaannya tengah memuncak, kabilah ini berhadapaan dengan misi
kerasulan Muhammad saw. Karenan ya mereka menolak ajakan Nabi Muhammad
saw. untuk memeluk agama Islam.
Sebenarnya, Bani Umayyah memiliki hubangan darah dengan Nabi Muhammad saw.
karena keduanya merupakan keturunan Abdi Manaf. Anak Abdi Manaf yaitu Abdi
Syam dan Hasyim menjadi tokoh dalam dan memimpin pada dua kabilah dari suku
Quraisy. Anak Abdi Syam yang bernama Umayyah termasuk salah seorang dari
pemimpin dari kabilah Quraisy di jaman Jahiliyah. Keduanya senantiasa bersaing
untuk merebut pengaruh dan kehormatan dari masyarakat kota Mekah.
Dalam setiap persaingan, ternyata Umayyah selalu berada pada pihak yang unggul. Hal
ini disebabkan karena Umayyah memiliki unsure-unsur yang diperlukan untuku
menjadi seorang pemimpin saat itu, yaitu Umayyah berasal dri keturunan keluarga
bangsawan yang mempunyai harta kekayaan yang cukup. Di antara keturunan
Umayyah yang menjadi khalifah umat islam setelah Ali bin Abi Thalib adalah
Muawiyyah bin Abi Sufyan.

2. Proses dan sebab-sebab berdirinya Dinasti Bani Umayyah


Berdirinya dinasti Umayyah dilatarbelakangi oleh sebuah peristiwa penting di dalam
perjalan sejarah umat Islam, yaitu peristiwa Am al-Jamaah (rekonsiliasi umat Islam)
di Maskin, dekat Madain, Kufah, pada tahun 41 H/661 M. Peristiwa ini merupakan
salah satu peristiwa penting dalam perjalanan sejarah umat Islam. Peristiwa ini di
tandai dengan prosesi penyerahan kekuasaan (khalifah) dari tangan Hasan bin bin Ali
kepada Muawiyah bin Abu Sufyan yang telah berkuasa lebih kurang 6 bulan. Hasan
bin Ali melakukan sumpah setia dan mengskui Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai
pemimpin umat Islam. Pengakuan itu kemudian diikutio oleh para pendukungnya di
kota Kufah, Irak.
Meskipun kekuasaan Hasan bin Ali sangat singkat, peristiwa itu mengundang makna
yang sangat penting di dalam proses perjalanan panjang sejarah politik umat Islam,
karena masa-masa itu merupakan masa peralihan dari pemerintahan kahlifah yang
bersifat demokratis. Menjadi pemerintahan khalifah yang monarchi heridities, yaitu
masa pemerintahan Bani Umayyah (661-750 M). Model atau system seperti ini
kemudian dipakai oleh pemerintahan Islam pada masa pada masa-masa sesudahnya,
seperti bani Abbas, Bani Fathiniyah, Bani Umayyah di Spanyol dan sebagainya.
Walaupun masa-masa pemerintahan khalifah Hasan bin Ali sangat singkat dan prosesi
penyerahan kekuasaan diwarnai gejolak politik, peristiwa-peristiwa yang mengawali
prosesi dan yang memiliki benang merah dengan prosesi penyerahan kekuasaan itu
harus di bahas sebagai bagian penting dalam mencermati pergolakan social politik
umat Islam. Pergolakan social politik itu di awali setelah kematian khalifah Usman bin
Affan pada 656 M.
Setelah kahlifah Usman bin Affan tewas terbunuh di tangan para pemberontak yang
tidak puas terhadap kekhalifahannya yang di anggap nepotis pada 35 H/656 M,
masyarakat Madinah, khusunya para sahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan
Zubair bin Awwam mendatangi Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi
khalifah pengganti Usman bin Affan. Permintaan itu dipertimbangkan dengan matang,
yang pada akhirnya Ali bin Albi Thalib mau menerima tawaran tersebut.
Pernyataan tersebut membuat para tokoh besar di atas merasa tenang yang kemudian
mereka dan para sahabat lain serta para pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan
sumpah setia (baiat) kepada Ali pada 17 Juni 656 M/18 Dzulhijjah 35 H. Pembaiatan
ini mengindikasikan pengakuan umat atas kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin
Abi Thalib merupakan orang yang dianggap paling layak untuk diangkat menjadi
khalifah keempat menggantikan kedudukan Usman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat Madinah
dan sekelompok masyarakat pendukungnya dari Kufah, ternyata di tentang oleh
sekelompok orang yang merasa dirugikan, misalnya Muawiyah bin Abi Sufyan,
Gubernur Syiria dan Marwan bin Hakam yang ketika Usman bin Affan menjabat
sebagai khalifah, ia menduduki jabatan sebagai sekretaris khalifah. Ia menduduki
jabatan sebagai sekretaris khalifah. Kedua tokoh Bani Umayyah ini berusaha
mempengaruhi massa untuk tidak memberikan dukungan kepada pemimpin umat
Islam yang tidak mendapatkan dukungan dari seluruh umat Islam saat itu. Bahkan
ketika terjadi pemberontakan yang menyebabkan khalifah Usman bin Affan terbunuh,
Marwan tampaknya tidak berusaha untuk memberikan perlindungan atau pertolongan
kepada khalifah yang sedang di kepung itu. Ia tidak tampak di tempat pada saat itu.
Hanya saja ketika khalifah sudah terbunuh dan jari istri khalifah terputus, ia berusaha
menemukan jari dan jubah itu untuk dijadikan barang siapa orang pertama yang
menemukan barang bukti berupa jubah dan jari Nailah, istri khalifah Usman bin
Affan.
Dalam catatan yang diperoleh dari khalifah dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan
pergi ke Syam untuk bertemu dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti
berupa jubah Usman yang berlumuran darah dengan jari Nailah, istri Usman yang
terputus, kemudian ia bergabung dengan Muawiyah bin Abi Sufyan di Syam.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan para sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib,
menimbulkan konflik politik berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung
pada pertempuran di Shiffin pada 38 H/657 M. di pihak Muawiyah muncul keinginan
untuk menolak kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib, selain karena situasinya
kurang cocok, juga karena adanya keinginan untuk menuntut balas atas kematian
khalifah Usman bin Affan. Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan
pemimpin umat Islam yang baru, sebelum kasus terbunuhnya khalifah Usman bin
Affan terungkap jelas. Akan tetapi, realitas politik berbeda dengan apa yang
diinginkan Muawiyah dan para sekutunya. Karena beberapa saat setelah kematian
khalifah Usman bin Affan, masyarakat muslim, baik yang ada di Madinah, Kufah,
Basrah dan Mesir, telah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, pengganti
khalifah Usman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidak punya pilihan lain, kecuali
harus mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya.
Namun, Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut, dengan alasan selain seperti
disebutkan sebelumnya, juga karena ada berita yang didengarnya bahwa Ali akan
mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat atau
yang berkuasa pada masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan. Bahkan Muawiyah
mengancan untuk tidak mengakuai (baiat) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali
berhasil mengungkap tragedi pembunuhan khalifah Usman bin Affan, dan
menyerahkan orang yang ditengarai terlibat pembunuhan atas khalifah Usman bin
Affan untuk di hukum.
Keinginan beberapa orang sahabat, seperti Muawiyah bin Abi Sufyan, Thalhah bin
Ubaidillah dan Zubair bin Awwam, untuk melakukan pengusutan secara tuntas tragedi
pembunuhan khalifah Usman bin Affan, bukan tidak ingin dipenuhi oleh khalifah Ali
bin Abi Thalib. Tapi, mengingat situasinya saat itu tidak memungkinkan, karena masih
dalam suasana duka dan keadaan masih kacau dan sebagainya, maka tuntutan itu
tidak dikabulkan. Namun khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikannya
setelah ia berhasil mengamankan situasi dan kondisi di dalam negeri. Sebab, menurut
analisis khalifah Ali, pengusutan tindakan terhadap yang terlibat dalam pembunuhan
khalifah Usman, sama artinya dengan memperkeruh kondisi politik dalam negeri.
Karena kasus ini tidak hanya melibatkan sejumlah kecil individu, juga melibatkan
banyak pihak dari beberapa daerah, seperti Kufah, Basrah dan Mesir. Di sinilah letak
kepiawaian politik Ali dalam menyikapi situasi politik yang sedang kacau. Ia tidak mau
terlalu banyak mengambil resiko dalam menangani persoalan yang tengah terjadi saat
itu.
Permohonan menyelesaikan kasus terbunuhnya khalifah Usman bin Affan, ternyata
tidak hanya datang dari para sahabat yang telah disebutkan di atas, juga datang dari
Aisyah, istri nabi Muhammad. Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bertemu dengan
Aisyah ketika mereka berdua kembali ke Basrah. Mereka menjelaskan situasi politik
yang tengah terjadi di Madinah, sehingga Aisyah pun menginkan hal yang sama, yaitu
agar kasus pembunuhan khalifah Usman segera dituntaskan khalifah Ali bin Abi
Thalib. Namun, keinginan tersebut tidak dapat dipenuhi khalifah Ali bin Abi Thalib
pada saat itu. Khalifah Ali bi Abi Thalib tetap berkeinginan agar kasus itu diselesaikan
dalam situasi yang tepat, yaitu pada saat situasi politik dalam negeri telah aman dan
terkendali, demi menghindari konflik horizontal yang lebih luas lagi.
Akibat lambannya penanganan kasus tebunuhnya khalifah Usman bin Affan, muncul
isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena ia punya
kepentingan politis untuk mengerut keuntungan dalam situasi kritis tersebut. Bahkan
Muawiyah menuduh khalifah Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus pembunuhan
tersebut.
Tuduhan ini tampaknya tidak beralasan, karena pada saat itu, massa yang begitu
banyak dan tidak mampu mengendalikan emosi menyerbu masuk ke rumah khalifah.
Bahkan kedua putra Ali, Hasan dan Husein dengan para mengikutnya, membantu
menjaga kediaman khalifah dari serangan massa yang sedang marah. Namun, sebuan
massa tersebut tidak dapa dibendung. Mereka menerobos rumah khalifah Usman bin
Affan dan memanjat dinding rumah khalifah. Kenyataan ini tidak dapat di atasi oleh
Ali dan para sahabatnya. Akibatnya, khalifah Usman meninggal mengenaskan di
dalam rumah dan di hadapan keluarganya di tangan orang yang tidak diketahui
identitasnya.
Hal yang patut dipertanyakan atau lebih tepatnya dicurigai dalam konteks ini adalah
keberadaan para pembesar istana yang berasal dari keluarga Usman dan Bani
Umaiyah, misalnya Marwan bin Hakam dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada saat
pemborantakan terjadi, tak seorang pun dari mereka berada di dekat khalifah Usman
bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan masalah tersebut.
Muawiyah baru datang ke istana khalifah Usman bin Affan agak terlambat dan
tanpa bala tentara, sesuai surat yang dikirim khalifah kepadanya. Padahal, surat yang
dikirim lewat kurir bernama al-Musawwir bin Makhramah berisikan perintah agar
Muawiyah bin Abi Sufyan mengirim bantuan pasukan secepatnya untuk mengatasi
situasi tersebut. Tapi itu tidak dilakukannya. Dia malah pergi dikawal oleh orang
kepercayaannya yaitu; Muawiyah bin Khudaij, dan Muslim bin Uqbah. Muawiyah
tidak membawa bala bantuan karena ia takut khalifah terbunuh sebelum bala bantuan
itu tiba. Untuk mengatasi persoalan itu, Muawiyah mengusulkan agar khalifah pindah
ke Syam karena di sana ia akan aman di kelilingi orang-orang Muawiyah yang setia.
Tapi usulan itu di tolak khalifah, karena Madinah adalah tempat Hijrahnya, dekat
dengan para sahabat dan makam Nabi Muhammad saw. setelah ia mengambil bantuan
dan meninggalkan khalifah Usman bin Affan menghadapi para pemberontak sendirian,
tanpa di bantu oleh orang-orang terdekatnya.
Di antara factor penyebab kedatangan para pemberontak yang berasal dari Kufah,
Basrah dan Mesir adalah karena ketidaksetujuan mereka atas kebijakan yang
dikeluarkan khalifah tersebut, terutama perilaku politik gubernur Mesir, Abdullah bin
Saad bin Abi Sarah yang dianggap arogan oleh masyarakat Mesir dan berkuasa
sewenang-wenang. Para pemberontak ini menuntut agar ia di ganti. Kemarahan
mereka semakin menjadi ketika di ketahui ada seseorang berkulit hitam semakin
menjadi utusan istana sedang menuju Mesir, ditangkap.
Utusan itu membawa sepucuk surat resmi yang distempel khalifah, yang isinya
memerintahkan gubernur Mesir, Abdullah bin Saad bin Abi Sarah, sepupu khalifah
Usman bin Affan, untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar, gubernur Mesir baru
yang diangkat atas permintaan masyarakat Mesir, menggantikan posisi Abdullah bin
Saad dan para demonstran setibanya mereka di Mesir. Isi surat itu tentunya mereka
semakin marah dan menuduh khalifah Usman bin Affan sengaja mau mencari masalah
baru. Akhirnya mereka tidak jadi kembali ke Mesir, tapi berbalik arah menuju ke
pusat kekuasaan di Madinah untuk mengancam nyawa para sahabat.
Pembawa surat itu di tangkap dan dihakimi massa, sementara surat yang di bawanya
dijadikan sebagai barang bukti kesewenangan khalifah Usman bin Affan yang
mengeluarkan kebijakan untuk menghilangkan nyawa orang lain tanpa sebab yang
jelas dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu, umat Islam Mesir
melakukan protes dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah usman bin
Affan. Amuk massa dan ketidakpantian penjelasan khalifah mengenai penulis surat
tersebut, serta keangganan khalifah untuk menyerahkan pemegang stempel surat
resmi, di tambah dengan ketidaksenangan masyarakat atas system pemerintahan yang
sarat kolusi dan nepotisme, menjadi pemicu utama timbulnya demonstrasi besar-
besaran yang menuntut khalifah Usman bin Affan mundur dari jabatan khalifah.
Akumulasi persoalan yang dihadapi pemerintahan khalifah Usman bin Affan,
merupakan problem rumit yang tidak mudah diselesaikan secepatnya, sesuai tuntutan
para pemberontak. Akibatnya, masyarakat tidak lagi percaya terhadap pemerintah
yang dianggap telah melakukan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang
telah diamanatkan masyarakat muslim kepadanya. Massa yang mengamuk saat itu
tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk ke dalam rumah khalifah,
sehingga khalifah Usman terbunuh dengan cara yang sangat mengenaskan.
Meninggalnya khalifah Usman bin Affan (35/656 M) dan terpilihnya Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah baru, sangat mengguncang keluarga bani Umaiyah. Kelompok ini
merasa kehilangan orang yang selama ini melindungi kepentingan mereka. Karena itu,
mereka berusaha mencari informasi siapa pembunuh khalifah Usman sebenarnya dan
mereka akan menuntut kematiannya dengan cara melakukan balas dendam. Untuk itu,
Muawiyah bin Abi Sufyan dan kelurganya melakukan provokasi kepada massa
pendukung Bani Umaiyah untuk tidak mengakui kepemimpinan khalifah Ali b in Abi
Thalib yang telah disumpah sebagai seorang khalifah baru.
Mereka terus melakukan pelacakan ke berbagai anggota masyarakat mengenai
pembunuh Usman sebenarnya. Akhirnya, mereka mendapatkan informasi bahwa
orang yang terlibat dalam pembunuhan adalah Muhammad bin Abu Bakar. Karena
ketika peristiwa itu terjadi, Muhammad ada di dalam, di dekat khalifah Usman.
Karena itu, mereka menuntut kepada Ali bin Abi Thalib yang telah diangkat menjadi
khalifah, agar Muhammad bin Abu Bakar diserahkan untuk diadili. Namun,
permintaan tersebut ditolak khalifah Ali bin Abi Thalib, karena segala bukti yang
dituduhkan kepada anak angkatnya itu tidak berdasar sama sekali. Justru keberadaan
Muhammad bin Abu Bakar saat itu semata untuk melindungi khalifah Usman dari
kemungkinan terburuk yang akan terjadi saat itu. Hal itu dilakukan karena massa
yang mengamuk tidak dapat dibendung, sehingga mereka akan dengan mudah masuk
ke rumah khalifah Usman dan membunuhnya.
Tuduhan yang diarahkan kepada Muhammad bin Abu Bakar dan khalifah Ali bin Abi
Thalib, sebenarnya bertujuan untuk menjatuhkan kekuasaan khalifah yang sah.
Karena, Muawiyah bin Abu Sufyan dan para pendukungnya tidak menginginkan
mereka berada di bawah kekuasaan khalifah yang dikenal tegas itu. Sebab selama ini
mereka telah mendapatkan hak-hak istimewa pada masa pemerintahan khalifah
Usman bin Affan yang dikenal lemah lembut, sehingga mereka dapat memanfaatkan
keadaan itu untuk kepentingan mereka masing-masing.
Kekhawatiran mereka ternyata ada benarnya. Sebab, tak lam setelah Ali bin Abi
Thalib menjabat khalifah, pertama yang dilakukannya adalah memecat para pemimpin
pemerintahan dan gubernur yang diangkat pada masa pemerintahan khalifah Usman
bin Affan, sekaligus mengirim penggantinya, misalnya Muawiyah bin Abu Sufyan,
gubernur Syam yang digantikan oleh Sahal bin hunaif. Pengiriman gubernur baru ini
ditolak Muawiyah dan masyarakat Syam, karena mereka telah mempunyai seorang
gubernur, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan, gubernur lama yang diangkat pada masa
khalifah Umar bin Al-Khattab.
Pemecatan itu dilakukan khalifah Ali bin Abi Thalib karena menurut pengamatan
khalifah sendiri, penyebab terjadinya berbagai kekacauan dan pemberontakan adalah
akibat ulah muawiyah dan para gubernur lainnya yang bertindak sewenang-wenang
dalam menjalankan pemerintahan. Begitu juga mengenai peristiwa terbunuhnya
khalifah Usman bin Affan, juga karena kelalaian mereka. Buktinya, massa melakukan
pemberontakan, orang-orang dekat khalifah, seperti Muawiyah bin Abu Sufyan dan
Marwan bin Hakam, tidak dapat berbuat banyak, meskipun orang seperti Muawiyah
memiliki pengikut dan kekuatan yang bisa diandalkan untuk menghalau kekuatan
massa saat itu. Inilah yang menjadi dasar kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib untuk
melakukan pemecatan para pejabat yang pernah dibentuk usman bin Affan.
Sebenarnya, para kerabat dan sahabat khalifah Ali bin Abi Thalib, seperti Mughirah
bin Syubah dan Abdullah bin Abbas, telah menasihatinya agar menunda rencana
penggantian para gubernur, karena dikhawatirkan akan memperkeruh situasi politik
dan menambah persoalan baru dalam masa pemerintahannya kelak, misalnya
pemecatan gubernur Syam, Muawiyah bin Abu Sufyan. Menurut mereka, kalau bisa
pemberhentian itu ditunda hingga menunggu waktu yang tepat dan situasi poltik telah
mereda. Sebab, Muawiyah bukan orang sembarangan dan dia bukan diangkat oleh
khalifah Usman bin Affan, melainkan oleh khalifah Umar bin Khattab. Ia tetap
dipertahankan oleh khlaifah Usman pada masa pemerintahannya bukan karena
nepotisme, yaitu pengangkatan seorang pejabat berdasarkan kedekatan hubungan
keluarga, melainkan berdasarkan keahlian yang dimiliki para pejabat tersebut.
Oleh karena itu, Muawiyah dianggap mampu melaksanakan tugasnya sebagai
gubernur Syam dan telah menunjukkan prestasi yang baik dengan hasil-hasil yang
memuaskan menurut khalifah Usman bin Affan.
Dalam perkembangannya kemuadian, ternyata kekhawatiran para sahabat itu
mengenai pemecatan para pejabat yang diangkat sebelumnya, seperti pemecatan
muawiyah bin Abu Sufyan yang dilakukan oleh khlaifah terbukti menimbulkan reaksi
menolak pemberhentiannya dan memerintahkan utusan khalifah kembali ke Madinah.
Muawiyah kemudian mengutus seorang kurir dari bani Absin membawa surat
penolakan tersebut, yang sebenarnya isi surat itu hanya bacaan Basmalah. Dalam
perjalanan menuju Madinah, si kurir itu diperintahkan Muawiyah untuk
mempengaruhi masyarakat di sepanjang jalan yang dilaluinya dengan membawa jubah
khalifah Usman yang berlumur darah. Muawiyah dan penduduk Syam menuduh Ali
bin Abi Thalib terlibat dalm kasus pembunuhan khalifah Usman.
Kebijakan lain yang dilakukan khalifah Ali bin Abi Thalib yang dapat memancing
reaksi dari para mantan penguasa pada orde khalifah Usman adalah soal penarikan
kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan khalifah Usman secara tidak sah kepada
kerabat dekatnya. Di samping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib mengeluarkan kebijakan
ekonomi dengan memberikan tunjangan kepada kaum muslimin yang diambil dari
baitul mal.
Kebijakan ini dilakukan secara merata, tanpa mempertimbangkan senioritas dan
junioritas dalam Islam. Hal ini yang membuat kegusaran para penduduk dan sahabat
yang masih tinggal di Madinah adalah keinginannya untuk memindahkan pusat
pemerintahan sementara ke Kufah pada 656 M/36 H. Meskipun kebijakan untuk
memindahkan pusat pemerintahan ini tidak berlaku permanen, tetap menimbulkan
masalah pada masa kepemimpinannya.
Kemungkinan alasan pemindahan pusat pemerintahan sangat politis sifatnya. Sebab
Ali tidak banyak mendapatkan dukungan kuat dari para sahabat yang masih tinggal di
Madinah, seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam, yang ternyata
kemudian mereka membuat satu kesepakatan dengan Aisyah untuk menentang
kekuasaan khalifah. Selain itu, Kufah letaknya sangat strategis untuk melakukan
serangkaian serangan terhadap para pemberontak, baik di Basrah maupun di Syam,
Damaskus. Serangan itu dilakukan karena antara lain, masyarakat kedua kota tersebut
kurang menyukai kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib.
Langkah-langkah revolusioner yang dilakukan khalifah Ali bin Abi Thalib
menimbulkan reaksi keras dari banyak kalangan masyarakat, terutama mereka yang
terkena langsung akibat kebijakan tersebut. Maka tak heran kalau kemudian khalifah
menghadapi oposisi yang sangat kuat dari berbagai tokoh terkenal, misalnya dari
Thalhah, Zubair dan Aisyah serta Muawiyah bin Abu Sufyan. Meskipun Thalhah dan
Zubair merupakan sahabat besar yang menghendaki Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah.
Namun, karena kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dianggap revolusioner dan
dalam pegmatan mereka berdua tidak akan mampu menyelesaikan masalah, maka
keduanya meminta agar penggantian para gubernur, terutama Muawiyah bin Abi
Sufyan, ditunda terlebih dahulu dan melihat situasi yang memungkinkan untuk
melakukan berbagai kebijakan lainnya.
Sikap dan perasaan tidak suka yang dilakukan Thalhah, Zubair dan Aisyah kepada
khalifah Ali bin Abi Thalib disebabkan oleh berbagai alasan, antara lain
ketidakmampuan khalifah mengatasi kritis politik berkepanjangan dan penyelidikan
kasus pembunuhan khalifah Usman bin Affan yang tidak kunjung usai, karena tidak
dilakukan khalifah Ali. Bahkan kelompok ini menyerukan kepada umat Islam untuk
melakukan balas dendam atas kematian Usman bin Affan dan menyerang khalifah Ali
bin Abi Thalib karena tidak menghukum para pemberontak sebagai pembunuh. Selain
itu, kedua sahabat besar tersebut, sejak awal memperlihatkan keangganan untuk
menentukan sikap mereka, apakah mengangkat atau mengakui Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah atau tidak. Mereka baru mau mengakui kekhalifahan itu setelah
mendapat desakan dari para pemberontak.
Menurut sejarawan muslim bernama Ibnu Atsir, pengakuan mereka terhadap
kekuasaan Ali bin Abi Thalib bukan tanpa pamrih. Mereka tampaknya menginginkan
kedudukan sebagai gubernur, misalnya Thalhah bin Ubaidillah menginginkan jabatan
gubernur di Yaman dan Zubair di Iraq.
Namun keinginan mereka ditolak khlaifah Ali bin Abi Thalib dengan alasan mereka
berdua adalah sahabat besar yang harus membantu khalifah dalam mengatasi berbagai
persoalan yang sedang terjadi di dalam pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Selain itu,
khalifah juga menginginkan agar mereka berdua tidak meninggalkannya, karena ia
memerlukan dukungan dan nasihat kedua sahabat besar tersebut. Penolakan ini tentu
saja sangat mengecewakan kedua sahabat besar itu. Bahkan mereka kemudian
melakukan aksi untuk mempengaruhi masyarakat sebagai pelampiasan kekecewaan
tersebut dengan mengatakan Ali bin Abi Thalib tidak mampu menjalankan
pemerintahan dan gagal menyelesaikan kasus terbunuhnya khalifah Usman. Tindakan
ini dilakukan semata bertujuan untuk menjatuhkan citra kepemimpinan dan
pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.
Banyaknya persoalan yanh dihadapi kedua sahabat besar itu, akhirnya melahirkan
sebuah kenangan pahit bagi mereka. Untuk menghindari terjadinya konflik fisik,
kedua tokoh itu meminta kepada khalifah agar diberikan izin meninggalkan
Madinahnuntuk melaksanakan ibadah Umrah ke Mekkah.
Mendengar permintaan ini, khalifah Ali bin Abi Thalib hanya mengatakan bahwa
kuizinkan untuk melaksanakan Umrah. Namun, demi Allah, bukan itu sebenranya
tujuan utama kalian. Kalian hanya ingin menghindar dari persoalan yang tengah
terjadi. Karena itu, laksanakanlah. Jelasnya, sebenarnya kepergian mereka ke Mekkah
tidak hanya sekedar untuk melaksanakan ibadah Umrah, juga melakukan sesuatu yang
dapat merusak citra kepemimpinan khalifah Alii bin Abi Thalib dengan cara membuat
kekacauan dengan mempengaruhi massa agar tidak mengakui kepemimpinan Ali bin
Abi Thalib, ssebelum khalifah Ali berhasil mengungkap kasus tragedy pembunuhan
khalifah Usman bin Affan secara tuntas.
Di luar kota Madinah, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam bertemu dengan
Aisyah yang baru saja melaksanakan Umrah. Dalam pertemuan itu, Aisyah
menanyakan tentang situasi kota Madinah. Thalhah bin Ubaidillah menjawab,
Madinah rusuh dan Usman di bunuh, kemudian rakyat membaiat Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah. Mendengar berita itu, Aisyah terkejut dan marah. Kemudian ia
bersumpah, demi Allah, meskipun langit akan runtuh, aku tidak akan peduli. Aku akan
menuntut balas atas kematian khalifah Usman bin Affan. Setelah itu, Aisyah tidak jadi
pulang ke Madinah, tapi kembali lagi ke Mekkah.
Di kota mekkah, Thalhah, Zubair dan Aisyah, merencanakan sesuatu untuk melakukan
penyelidikan atas peristiwa terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Selain mereka,
dalam kelompok ini bergabung pula dua orang mantan gubernur yang baru saja
dipecat dari jabatannya oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka adalah Yaali bin
Umayah, mantan gubernur yaman, dan Abdullah bin Amir, mantan gubernur Basrah.
Mereka bersekutu untuk menghadapi khalifah Ali bin Abi Thalib dan menuntutnya
untuk segera menyelidiki kasus terbunuhnya Usman bin Affan. Kelompok ini
kemudian menuju Basrah untuk menghimpun kekuatan.
Namun, tidak semua penduduk kota itu mendukung ajakan Aisyah untuk memerangi
khalifah. Meskipun begitu, mereka berhasil menawan gubernur Basrah, Usman bin
hanief, yang diangkat khalifah Ali. Peristiwa itu memicu gerakan konflik baru diantara
khalifah Ali dengan para penantangnya, termasuk Sitti Aisyah. Pertentangn ini
berujung pada pertempuran yang dikenal dalam sejarah dengan sebutan Perang Jamal
(Unta). Dinamakan Perang Jamal, karena Sitti Aisyah mengendarai Unta ketika pergi
ke medan perang untuk menentang khalifah Ali.
Ada hal penting yang patut dicatat alam konteks ini adalah bahwa Aisyah dipengaruhi
oleh Abdullah bin Zubair yang katanya berambisi untuk menjadi khalifah, agar Aisyah
bersedia bergabung dengan mereka untuk melakukan tindakan menentang khalifah
Ali. Ajakan mereka disambut baikoleh Aisyah, sehingga ia mau terjun ke dalam dunia
politik praktis guna meminta pertanggungjawaban Ali bin Abi Thalib atas terjadinya
kekacauan politik yang melanda umat Islam.
Sebenarnya, pihak khalifah telah mempersiapkan pasukan-pasukan untuk
menggempur kekuatan Muawiyah, seorang gubernur Syam yang membangkang dan
tidak mengakui kekhalifahannya.

Anda mungkin juga menyukai