PERKEMBANGAN ISLAM
PADA MASA DINASTI BANI UMAYAH
1
Dalam setiap persaingan, ternyata Umayah selalu berada pada
pihak yang unggul. Hal ini disebabkan karena Umayah memiliki
unsur-unsur yang diperlukan untuk menjadi seorang pemimin saat itu,
yaitu Umayah berasal dari keturunan keluarga bangsawan yang
mempunyai harta kekayaan yang cukup. Selain itu, ia juga memiliki
banyak keturunan. Unsur-unsur tersebut di atas merupakan potensi
besar yang membawa keturunan Umayah menjadi penguasa bangsa
Arab Qurays saat itu. Di antara keturunan Umayah yang menjadi
khalifah umat Islam setelah khalifah Ali Ibn Abi Thalib adalah
Mu’awiyah Ibn Abi Sufyah.
2
pengganti Usman Ibn Affan. Permintaan itu dipertimbangkan dengan
masak, yang pada akhirnya Ali Ibn Abi Thalib mau menerima tawaran
tersebut. Pernyataan kesediaan itu membuat para tokoh besar di atas
merasa tenang yang kemudian mereka dan para sahabat lain serta para
pendukung Ali Ibn Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada
Ali pada 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembaiatan ini meng-
indikasikan pengakuan umat atas kepemimpinannya. Dengan kata lain,
Ali Ibn Abi Thalib merupakan orang yang dianggap paling layak untuk
diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan kedudukan khalifah
Usman Ibn Affan.
Pengangkatan Ali Ibn Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh
masyarakat Madinah dan sekelompok masyarakat pendukungnya dari
Kufah, ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugi-
kan, misalnya Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, gubernur Syria dan Marwan
Ibn Hakam – yang ketika Usman Ibn Affan menjabat sebagai khalifah,
ia menduduki ja batan sebagai sekretaris khalifah. Kedua tokoh Bani
Umayah ini berusaha mempengaruhi massa untuk tidak memberikan
dukungan kepada pemimpin umat Islam yang tidak mendapatkan
dukungan dari seluruh umat Islam saat itu. Bahkan ketika terjadi pem-
berontakan yang menyebabkan khalifah Usman Ibn Affan terbunuh,
Marwan tampaknya tidak berusaha untuk memberikan perlindungan
atau pertolongan kepada khalifah yang sedang dikepung itu. Ia tidak
tampak di tempat saat itu. Hanya saja ketika khalifah sudah terbunuh
dan jari isteri khalifah terputus, ia berusaha menemukan jari dan jubah
itu untuk dijadikan barang bukti pembunuhan khalifah. Namun tidak
diketahui dengan pasti, siapa orang pertama yang menemukan barang
bukti berupa jubah dan jari Nailah, isteri khalifah Usman Ibn Affan.
Dalam catatan yang diperoleh dari K. Ali adalah bahwa Marwan
pergi ke Syam untuk bertemu dengan Mu’awiyah dengan membawa
barang bukti berupa jubah Usman yang berlumuran darah dengan jari
Nailah, isteri Usman, yang terputus, kemudian ia bergabung dengan
Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan di Syam.
Penolakan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan dan para sekutunya ter-
hadap Ali Ibn Abi Thalib, menimbulkan konflik politik berkepanjangan
antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di Shiffin
pada 38 H/657 M. Di pihak Mu’awiyah muncul keinginan untuk
menolak kepemimpinan khalifah Ali ibn Abi Thalib, selain karena si-
tuasinya kurang cocok, juga karena adanya keinginan kelompok ini
untuk menuntut balas atas kematian khalifah Usman Ibn Affan.
Mu’awiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan pemimpin umat
Islam yang baru, sebelum kasus terbunuhnya khalifah Usman Ibn
Affan terungkap jelas. Akan tetapi, realitas politik berbeda dengan apa
yang dinginkan Muwiyah dan para sekutunya. Karena beberapa saat
setelah kematian khalifah Usman Ibn Affan, masyarakat muslim, baik
3
yang ada di Madinah, Kufah, Basrah dan Mesir, telah mengangkat Ali
Ibn Abi Thalib sebagai khalifah, pengganti khalifah Usman. Kenyataan
ini membuat Mu’awiyah tidak punya pilihan lain, kecuali harus
mengakui kekhalifahan Ali Ibn Abi Thalib dan tunduk atas segala
perintahnya.
Namun, Mu’awiyah menolak kepemimpinan tersebut, dengan
alasan selain seperti disebutkan sebelumnya, juga karena ada berita
yang didengan bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru untuk
mengganti seluruh gubernur yang diangkat atau yang berkuasa pada
masa pemerintahan khalifah Usman Ibn Affan. Bahkan Mu’awiyah
mengancam untuk tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali Ibn Abi
Thalib sebelum Ali berhasil mengungkap tragedi pembunuhan khalifah
Usman Ibn Affan, dan menyerahkan orang yang ditengarai terlibat
pembunuhan atas khalifah Usman Ibn Affan untuk dihukum.
Keinginan beberapa orang sahabat, seperti Mu’awiyah Ibn Abi
Sufyan, Thalhah Ibn Ubaidillah dan Zubair Ibn Awwam, untuk
melakukan pengusutan secara tuntas tragedi pembunuhan khalifah
Usman Ibn Affan, bukan tidak ingin dipenuhi oleh khalifah Ali Ibn Abi
Thalib. Tapi, mengingat situasinya saat itu tidak memungkinkan,
karena masih dalam suasana duka dan keadaan masih kacau dan
sebagainya, maka tuntutan itu tidak dikabulkan. Namun khalifah Ali
Ibn Abi Thalib berjanji akan menyelesaikannya setelah ia berhasil
mengamankan situasi dan kondisi di dalam negeri. Sebab, menurut
analisis K. Ali, pengusutan tindakan terhadap yang terlibat dalam
pembunuhan khalifah Usman, sama artinya dengan memperkeruh
kondisi politik dalam negeri. Karena kasus itu tidak hanya melibatkan
sejumlah kecil individu, juga melibatkan banyak pihak dari beberapa
daerah, seperti Kufah, Basrah dan Mesir. Di sinilah letak kepiawaian
politik Ali dalam menyikapi situasi politik yang sedang kacau. Ia tidak
mau terlalu banyak mengambil risiko dalam menangani persoalan
yang tengah terjadi saat itu.
Permohonan penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Usman
Ibn Af fan, ternyata tidak hanya datang dari para sahabat yang telah
disebutkan di atas, juga datang dari Aisyah, isteri Nabi Muhamad.
Thalhah Ibn Ubaidillah dan Zubair bertemu dengan Aisyah ketika
mereka berdua kembali ke Basrah. Mereka menjelaskan situasi politik
yang tengah terjadi di Madinah, sehingga Aisyah pun menginginkan
hal yang sama, yaitu agar kasus pembunuhan khalifah Usman segera
dituntaskan khalifah Ali Ibn Abi Thalib. Namun, keinginan tersebut
tidak dapat dipenuhi khalifah Ali ibn Abi Thalib pada saat itu. Khalifah
Ali ibn Abi Thalib tetap berkeinginan agar kasus itu diselesaikan dalam
situasi yang tepat, yaitu pada saat situasi politik dalam negeri telah
aman dan terkendali, demi menghindari konflik horizontal yang lebih
luas lagi.
4
Akibat lambannya penanganan kasus terbunuhnya khalifah
Usman Ibn Affan, muncul isu bahwa khalifah Ali ibn Abi Thalib
sengaja mengulur waktu karena ia punya kepentingan politis untuk
mengeruk keuntungan dalam siutuasi krisis tersebut. Bahkan
Mu’awiyah menuduh khalifah Ali Ibn Abi Thalib berada di balik kasus
pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tampaknya tidak berasalan, karena pada saat itu,
massa yang begitu banyak dan tidak mampu mengendalikan emosi
menyerbu masuk ke rumah khalifah. Bahkan kedua putera Ali, Hasan
dan Husein dengan para pengikutnya, membantu menjaga kediaman
khalifah dari serangan massa yang sedang marah. Namun, serbuan
massa tersebut tidak dapat dibendung. Mereka menerobos rumah
khalifah Usman Ibn Affan dan memanjat dinding rumah khalifah.
Kenyataan ini tidak dapat diatasi oleh Ali dan para sahabatnya.
Akibatnya, khalifah Usman meninggal mengenaskan di dalam rumah
dan di hadapan keluarganya di tangan orang yang tidak diketahui
identitasnya.
Hal yang patut dipertanyakan atau lebih tepatnya dicurigai
dalam konteks ini adalah keberadaan para pembesar istana yang
berasal dari keluarga Usman dan Bani Umayah, misalnya Marwan Ibn
Hakam dan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan. Pada saat pemberontakan
terjadi, tak seorang pun dari mereka berada di dekat khalifah Usman
Ibn Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan masalah
tersebut. Muwaiyah baru datang ke “istana” khalifah Usman Ibn Affan
agak terlambat dan tanpa bala tentara, sesuai isi surat yang dikirim
khalifah kepadanya. Padahal, surat yang dikirim lewat kurir bernama
al-Musawwir Ibn Makhramah berisikan perintah agar Mu’awiyah Ibn
Abi Sufyan mengirim bantuan pasukan secepatnya untuk mengatasi
situasi tersebut. Tapi itu tidak dilakukannya. Dia malah pergi dikawal
oleh orang kepercayaannya yaitu; Mu’awiyah Ibn Khudaij, dan Muslim
Ibn ‘Uqbah. Mu’awiyah tidak membawa bala bantuan karena ia takut
khalifah terbunuh sebelum bala bantuan itu tiba. Untuk mengatasi
persoalan itu, Mu’awiyah mengusulkan agar khalifah pindah ke Syam
karena di sana ia akan aman di kelilingi orang-orang Mu’awiyah yang
setia. Tapi usulan itu ditolak khalifah, karena Madinah adalah tempat
hijrahnya, dekat dengan para sahabat dan makam Nabi Muhamad Saw.
Setelah ia mendapat jawaban seperti itu, Mu’awiyah kembali ke Syam
untuk mengambil bantuan dan meninggalkan khalifah Usman Ibn
Affan menghadapi para pemberontak sendirian, tanpa dibantu oleh
orang - orang terdekatnya.
Di antara faktor penyebab kedatangan para pemberontak yang
berasal dari Kufah, Basrah dan Mesir adalah karena ketidak setujuan
mereka atas kebijakan yang dikeluarkan khalifah terhadap para sahabat
dan masyarakat muslim di tempat-tempat tersebut, terutama perilaku
5
politik gubernur Mesir, Abdullah Ibn Sa'd Ibn Abi Sarah yang dianggap
arogan oleh masyarakat Mesir dan berkuasa sewenang-wenang. Para
pemberontak ini menuntut agar ia diganti. Kemarahan mereka semakin
menjadi ketika diketahui ada seseorang berkulit hitam yang mengaku
utusan istana sedang menuju Mesir, ditangkap.
Utusan itu membawa sepucuk surat resmi yang distempel kha-
lifah, yang isinya memerintahkan gubernur Mesir, Abdullah Ibn Sa’ad
Ibn Abi Sarah, sepupu khalifah Usman Ibn Affan, untuk membunuh
Muhamad Ibn Abu Bakar, gubernur Mesir baru yang diangkat atas
permintaan masyarakat Mesir, menggantikan posisi Abdullah Ibn Sa’ad
dan para demonstran setibanya mereka di Mesir. Isi surat itu tentu saja
membuat mereka semakin marah dan menuduh khalifah Usman
sengaja mau mencari masalah baru. Akhirnya mereka tidak jadi
kembali ke Mesir, tapi berbalik arah menuju kembali ke pusat
kekuasaan di Madinah untuk menuntut pertanggungjawabkan khalifah
atas kebijakan yang mengancam nyawa para sahabat.
Pembawa surat itu ditangkap dan dihakimi massa, sementara
surat yang dibawanya dijadikan sebagai alat bukti kesewenangan
khalifah Usman Ibn Affan yang mengeluarkan kebijakan untuk
menghilangan nyawa orang lain tanpa sebab yang jelas dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, umat Islam Mesir melakukan
protes dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Usman
Ibn Affan. Amuk massa dan ketidakpastian penjelasan khalifah
mengenai penulis surat tersebut, serta keengganan khalifah untuk
menyerahkan pemegang stempel surat resmi, ditambah dengan keti-
daksenangan masyarakat atas sistem pemerintahan yang sarat kolusi
dan nepotisme, menjadi pemicu utama timbulnya demonstrasi besar-
besaran yang menuntut khalifah Usman mundur dari jabatan khalifah.
Akumulasi persoalan yang dihadapi pemerintahan khalifah Usman Ibn
Affan, merupakan problem rumit yang tidak mudah diselesaikan
secepatnya, sesuai tuntutan para pemberontak. Akibatnya, masyarakat
tidak lagi percaya terhadap pemerintah yang dianggap telah
melakukan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang telah
diamanatkan masyarakat muslim kepadanya. Massa yang mengamuk
saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk ke
dalam rumah khalifah, sehingga khalifah Usman terbunuh dengan cara
yang sangat mengenaskan.
Meninggalnya khalifah Usman Ibn Affan (35H/656M) dan terpi-
lihnya Ali Ibn Abi Thalib sebagai khalifah baru, sangat mengguncang
keluarga bani Umayah. Kelompok ini merasa kehilangan orang yang
selama ini melindungi kepentingan mereka. Karena itu, mereka
berusaha mencari informasi siapa pembunuh khalifah Usman
sebenarnya dan mereka akan menuntut kemati annya dengan cara
melakukan balas dendam. Untuk itu, Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan dan
6
keluarganya melakukan provokasi kepada massa pendukung Bani
Umayah untuk tidak mengakui kepemimpinan khalifah Ali Ibn Abi
Thalib yang telah disumpah sebagai seorang khalifah baru.
Mereka terus melakukan pelacakan ke berbagai anggota masya-
rakat mengenai pembunuh Usman sebenarnya. Akhirnya, mereka men-
dapatkan informasi bahwa orang yang terlibat dalam pembunuhan
adalah Muhamad Ibn Abu Bakar. Karena ketika peristiwa itu terjadi,
Muhamad ada di dalam, di dekat khalifah Usman. Karena itu, mereka
menuntut kepada Ali Ibn Abi Thalib yang telah diangkat menjadi kha-
lifah, agar Muhamad Ibn Abu Bakar diserahkan untuk diadili. Namun,
permintaan tersebut ditolak khalifah Ali Ibn Abi Thalib, karena segala
bukti yang dituduhkan kepada anak angkatnya itu tidak berdasar sama
sekali. Justeru keberadaan Muhamad Ibn Abu Bakar saat itu semata
untuk melindungi khalifah Usman dari kemungkinan terburuk yang
akan terjadi saat itu. Hal itu dilakukan karena massa yang mengamuk
tidak dapat dibendung, sehingga mereka dengan mudah masuk ke ru-
mah khalifah Usman dan membunuhnya.
Tuduhan yang diarahkan kepada Muhamad Ibn Abu Bakar dan
khalifah Ali Ibn Abi Thalib, sebenarnya bertujuan untuk menjatuhkan
kekuasaan khalifah yang sah. Karena, Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan dan
para pendukungnya tidak menginginkan mereka berada di bawah ke-
kuasaan khalifah yang dikenal tegas itu. Sebab selama ini, mereka telah
mendapatkan hak-hak istimewa pada masa pemerintahan khalifah
Usman Ibn Affan yang dikenal lemah lembut, sehingga mereka dapat
memanfaatkan keadaan itu untuk kepentingan mereka masing-masing.
Kekhawatiran mereka ternyata ada benarnya. Sebab, tak lama
setelah Ali Ibn Abi Thalib menjabat khalifah, pertama yang dilakukan-
nya adalah memecat para pemimpin pemerintahan dan gubernur yang
diangkat pada masa pemerintahan khalifah Usman Ibn Affan, sekaligus
mengirim penggantinya, misalnya Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan,
gubernur Syam yang digantikan oleh Sahal Ibn Hunaif. Pengiriman
gubernur baru ini ditolak Mu’awiyah dan ma syarakat Syam, karena
mereka telah mempunyai seorang gubernur, yaitu Mu’awiyah Ibn Abi
Sufyan, gubernur lama yang diangkat pada masa khalifah Umar Ibn al-
Khatab.
Pemecatan itu dilakukan khalifah Ali ibn Abi Thalib karena
menurut pengamatan khalifah sendiri, penyebab terjadinya berbagai
kekacauan dan pemberontakan adalah akibat ulah Mu’awiyah dan para
gubernur lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalan-
kan pemerintahan. Begitu juga mengenai peristiwa terbunuhnya
khalifah Usman Ibn Affan, juga karena kelalaian mereka. Buktinya, ke-
tika massa melakukan pemberontakan, orang-orang dekat khalifah, se-
perti Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan dan Marwan Ibn Hakam, tidak dapat
berbuat banyak, meskipun orang seperti Mu’awiyah memiliki pengikut
7
dan kekuatan yang bisa diandalkan untuk menghalau kekuatan massa
saat itu. Inilah yang menjadi dasar kebijakan khalifah Ali Ibn Abi
Thalib untuk melakukan pemecatan para pejabat yang pernah diben-
tuk khalifah Usman Ibn Affan.
Sebenarnya, para kerabat dan sahabat khalifah Ali Ibn Abi Tha-
lib, seperti Mughirah Ibn Syu’bah dan Ibn Abbas, telah menasihatinya
agar menunda rencana penggantian para gubernur, karena dikhawatir-
kan akan memper keruh situasi politik dan menambah persoalan baru
dalam masa pemerintah annya kelak, misalnya pemecatan gubernur
Syam, Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan. Menurut mereka, kalau bisa pem-
berhentian itu ditunda hingga menunggu waktu yang tepat dan situasi
politik telah mereda. Sebab, Mu’awiyah bu kan orang sembarangan
dan dia bukan diangkat oleh khalifah Usman Ibn Affan, melainkan oleh
khalifah Umar Ibn al-Khatab. Ia tetap dipertahankan oleh khalifah Us-
man pada masa pemerintahannya bukan karena nepotisme, yaitu peng-
angkatan seorang pejabat negara berdasarkan kedekatan hubungan
keluarga, melainkan berdasarkan keahlian yang dimiliki para pejabat
tersebut.
Oleh karena itu, Mu’awiyah dianggap mampu melaksanakan
tugasnya sebagai gubernur Syam dan telah menunjukkan prestasi yang
baik dengan hasil- hasil yang memuaskan menurut khalifah Usman Ibn
Affan.
Dalam perkembangannya kemudian, ternyata kekhawatiran pa-
ra sahabat itu mengenai pemecatan para pejabat yang diangkat sebe-
lumnya, seperti pemecatan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan yang dilakukan
khalifah terbukti menimbulkan reaksi keras dari diri Mu’awiyah dan
para pendukungnya di Syam. Ia menolak pemberhentiannya dan me-
merintahkan utusan khalifah kembali ke Madinah. Mu’awiyah kemudi-
an mengutus seorang kurir dari bani Absin membawa surat penolakan
tersebut, yang sebenarnya isi surat itu hanya bacaan Basmalah Dalam
perjalanan menuju Madinah, si kurir itu diperintahkan Mu’awiyah un-
tuk mempengaruhi masyarakat di sepanjang jalan yang dilaluinya de-
ngan membawa jubah khalifah Usman yang berlumur darah.
Mu’awiyah dan penduduk Syam menuduh Ali Ibn Abi Thalib terlibat
dalam kasus pembunuhan khalifah Usman.
Kebijakan lain yang dilakukan khalifah Ali Ibn Abi Thalib yang
dapat memancing reaksi dari para mantan penguasa pada orde kha-
lifah Usman adalah soal penarikan kembali tanah-tanah yang dibagi–
bagikan khalifah Usman secara tidak sah kepada kerabat dekatnya. Di
samping itu, khalifah Ali Ibn Abi Thalib mengeluarkan kebijakan eko-
nomi dengan memberikan tunjangan kepada kaum muslimin yang di-
ambil dari baitulmal.
Kebijakan ini dilakukan secara merata, tanpa mempertimbang-
kan senioritas dan junioritas dalam Islam. Hal lain yang membuat ke-
8
gusaran para penduduk dan sahabat yang masih tinggal di Madinah
adalah keinginannya untuk memindahkan pusat pemerintahan semen-
tara ke Kufah pada 656 M/36 H. Meskipun kebijakan untuk memin-
dahkan pusat pemerintahan ini tidak berlaku permanen, tetap menim-
bulkan masalah pada masa kepemimpinannya.
Kemungkinan alasan pemindahan pusat pemerintahan sangat
politis sifatnya. Sebab Ali tidak banyak mendapatkan dukungan kuat
dari para sahabat yang masih tinggal di Madinah, seperti Thalhah Ibn
Ubaidillah dan Zubair Ibn Awwam, yang ternyata kemudian mereka
membuat satu kesepakatan dengan Aisyah untuk menentang kekuasa-
an khalifah. Selain itu, Kufah letaknya sangat strategis untuk melaku-
kan serangkaian serangan terhadap para pemberontak, baik di Basrah
maupun di Syam, Damaskus. Serangan itu dilakukan karena antara la-
in, masyarakat kedua kota tersebut kurang menyukai kepemimpinan
khalifah Ali Ibn Abi Thalib.
Langkah-langkah “revolusioner”yang dilakukan khalifah Ali Ibn
Abi Thalib menimbulkan reaksi keras dari banyak kalangan masya-
rakat, terutama mereka yang terkena langsung akibat kebijakan terse-
but. Maka tak heran kalau kemudian khalifah menghadapi oposisi
yang sangat kuat dari berbagai tokoh terkenal, misalnya dari Thalhah,
Zubair, dan Aisyah serta Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan. Meskipun
Thalhah dan Zubair merupakan sahabat besar yang menghendaki Ali
Ibn Abi Thalib sebagai khalifah.
Namun karena kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dianggap
revolusioner dan dalam pengamatan mereka berdua tidak akan mam-
pu menyelesaikan masalah, maka keduanya meminta agar penggantian
para gubernur, terutama Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, ditunda terlebih
dahulu dan melihat situasi yang memungkinkan untuk melakukan
berbagai kebijakan lainnya.
Sikap dan perasaan tidak suka yang dilakukan Thalhah, Zubair
dan Aisyah kepada khalifah Ali Ibn Abi Thalib disebabkan oleh ber-
bagai alasan, antara lain ketidakmampuan khalifah mengatasi krisis
politik berkepanjangan dan penyelidikan kasus pembunuhan khalifah
Usman Ibn Affan yang tidak kunjung usai, karena tidak dilakukan kha-
lifah Ali. Bahkan kelompok ini menyerukan kepada umat Islam untuk
melakukan balas dendam atas kematian Usman Ibn Affan dan menye-
rang khalifah Ali karena tidak menghukum para pemberontak sebagai
pembunuh. Selain itu, kedua sahabat besar tersebut, sejak awal mem-
perlihatkan keengganan untuk menentukan sikap mereka, apakah me-
ngangkat dan mengakui Ali Ibn Abi Thalib sebagai khalifah atau tidak.
Mereka baru mau mengakui kekhalifahan itu setelah mendapat desak-
an dari para pemberontak.
Menurut sejaraan muslim bernama Ibnu Atsir, pengakuan mere-
ka terhadap kekuasaan Ali Ibn Abi Thalib bukan tanpa pamrih. Mereka
9
tampaknya menginginkan kedudukan sebagai gubernur, misalnya
Thalhah Ibn Ubaidillah menginginkan jabatan gubernur di Yaman dan
Zubair di Iraq.
Namun keinginan mereka ditolak khalifah Ali Ibn Abi Thalib
dengan alasan mereka berdua adalah sahabat besar yang harus mem-
bantu khalifah dalam mengatasi berbagai persoalan yang sedang terjadi
di dalam pemerintahan Ali Ibn Abi Thalib. Selain itu, khalifah juga
mengingin kan agar mereka berdua tidak meninggalkannya, karena ia
memerlukan dukungan dan nasihat kedua sahabat besar tersebut.
Penolakan ini tentu saja sangat mengecewakan kedua sahabat besar itu.
Bahkan mereka kemudian melakukan aksi untuk mempengaruhi ma-
syarakat sebagai pelampisan kekecewaan tersebut dengan mengatakan
Ali Ibn Abi Thalib tidak mampu menjalankan peme rintahan dan gagal
menyelesaikan kasus terbunuhnya khalifah Usman. Tindakan ini di-
lakukan semata bertujuan untuk menjatuhkan citra kepemimpin an
dan pemerintahan khalifah Ali Ibn Abi Thalib.
Banyaknya persoalan yang dihadapi kedua sahabat besar itu,
akhirnya melahirkan sebuah kenangan pahit bagi mereka. Untuk
menghindari terjadinya konflik fisik, kedua tokoh itu meminta kepada
khalifah agar diberikan izin meninggalkan Madinah untuk melaksa-
nakan ibadah Umrah ke Makah.
Mendengar permintaan ini, khalifah Ali Ibn Abi Thalib hanya
mengatakan bahwa kalian kuizinkan untuk melaksanakan Umrah. Na-
mun, demi Allah, bukan itu sebenarnya tujuan utama kalian. Kalian
hanya ingin menghindar dari persoalan yang tengah terjadi. Karena itu,
laksanakanlah. Jelasnya, bahwa sebenarnya kepergian mereka ke Mak-
kah tidak hanya sekedar untuk melaksanakan ibadah Umrah, juga me-
lakukan sesuatu yang dapat merusak citra kepemimpinan khalifah Ali
Ibn Abi Thalib dengan cara membuat kekacauan dengan mempenga-
ruhi massa agar mereka tidak mengakui kepemimpinan Ali Ibn Abi
Thalib, sebelum khalifah Ali berhasil mengungkap kasus tragedi pem-
bunuhan khalifah Usman Ibn Affan secara tuntas.
Di luar kota Madinah, Thalhah Ibn Ubaidillah dan Zubair Ibn
Awwam bertemu dengan Aisyah yang baru saja melaksanakan Umrah.
Dalam pertemuan itu, Aisyah menanyakan tentang situasi kota Ma-
dinah. Thalhah Ibn Ubaidillah menjawab, Madinah rusuh dan Usman
dibunuh, kemudian rakyat membai’at Ali Ibn Abi Thalib sebagai kha-
lifah. Mendengar berita itu, Aisyah terkejut dan marah. Kemudian ia
bersumpah, demi Allah, meskipun langit akan runtuh, aku tidak akan
peduli. Aku akan menuntut balas atas kematian khalifah Usman Ibn
Affan. Setelah itu, Aisyah tidak jadi pulang ke Madinah, tapi kembali
lagi ke Makah.
Di kota Makah, Thalhah, Zubair dan Aisyah, merencanakan se-
suatu untuk melakukan penyelidikan atas peristiwa terbunuhnya kha-
10
lifah Usman Ibn Affan. Selain mereka, dalam kelompok ini bergabung
pula dua orang mantan gubernur yang baru saja dipecat dari jabatan-
nya oleh khalifah Ali Ibn Abi Thalib. Mereka adalah Ya’ali Ibn Umayah,
mantan gubernur Yaman, dan Abdullah Ibn Amir, mantan gubernur
Basrah. Mereka bersekutu untuk menghadapi khalifah Ali Ibn Abi Tha-
lib dan menuntutnya untuk segera menyelidiki kasus terbunuhnya Us-
man Ibn Affan. Kelompok ini kemudian menuju Basrah untuk meng-
himpun kekuatan.
Namun, tidak semua penduduk kota itu mendukung ajakan
Aisyah untuk memerangi khalifah. Meskipun begitu, mereka berhasil
menawan gubernur Basrah, Usman Ibn Hanief, yang diangkat oleh
khalifah Ali. Peristiwa ini memicu gerakan konflik baru antara khalifah
Ali dengan para penentangnya, termasuk Siti Aisyah. Pertentangan ini
berujung pada pertempuran yang dikenal dalam sejarah dengan se-
butan Perang Unta. Dinamakan Perang Unta atau Perang Jamal, karena
Siti Aisyah mengendarai Unta ketika pergi ke medan perang untuk me-
nentang khalifah Ali.
Ada hal penting yang patut dicatat dalam konteks ini adalah
bahwa Aisyah dipengaruhi oleh Abdullah Ibn Zubair yang katanya
juga berambisi untuk menjadi khalifah, agar Aisyah bersedia berga-
bung dengan mereka untuk melakukan tindakan menentang khalifah
Ali. Ajakan mereka disambut baik oleh Aisyah, sehingga ia mau terjun
ke dalam dunia politik praktis guna meminta pertanggungjawaban Ali
Ibn Abi Thalib atas terjadinya kekacauan politik yang melanda umat
Islam.
Sebenarnya, pihak khalifah telah mempersiapkan pasukannya
untuk menggempur kekuatan Mu’awiyah– seorang gubernur Syam
yang membangkang dan tidak mengakui kekhalifahannya. Namun,
setelah mendengar berita dari saudaranya, Uqail Ibn Abi Thalib dari
Basrah bahwa Aisyah telah mempersiapkan diri untuk memerangi
khalifah Ali Ibn Abi Thalib, Ali membelokkan pasukannya menuju
Basrah untuk mengatasi pemberontakan terse but. Akhirnya kedua
kekuatan itu bertemu di Kharaibah, dekat Basrah pada tanggal 4
Desember 656 M /10 Jumadil Akhir 36 H.
Menghadapi situasi seperti itu, khalifah Ali Ibn Abi Thalib men-
coba bersikap tegar dengan berupaya menyelesaikan lewat cara-cara
damai. Hal itu dilakukannya semata untuk mencegah terjadinya per-
tumpahan darah di antara kedua belah pihak. Untuk itu, Ali mencoba
berbicara dengan Thalhah Ibn Ubaidillah dan Zubair Ibn Awwam
untuk menyelesaiakan perselisihan tersebut. Pada intinya, kedua saha-
bat besar itu sepakat bahwa persoalan itu harus diselesaikan lewat pe-
rundingan, demi menghindari konflik fisik.
Namun, ternyata para pendukung mereka tidak menginginkan
perdamaian. Mereka terus mendesak agar pertempuran terus dilanjut-
11
kan. Akhirnya tidak ada pilihan lain bagi kedua belah pihak untuk
menyelesaikan persoalan tersebut, kecuali melalui pertempuran. Dalam
pertempuran itu, Thalhah Ibn Ubaidillah dan Zubair Ibn Awwam
tewas terbunuh. Sementara Aisyah selamat dan diperlakukan dengan
baik oleh khalifah dan dikembalikan ke Madinah yang ditemani oleh
saudara laki-lakinya, yaitu Muhamad Ibn Abu Bakar.
Peristiwa peperang unta ini tentu saja merupakan problem po-
litik tersendiri dalam masa pemerintahan khalifah Ali, sehingga Ali ha-
rus ekstra hati-hati dalam menangani setiap kasus dalam krisis politik
yang sedang terjadi. Karena itu, dalam setiap tindakannya kemudian,
Ali sangat kritis dan berhati-hati dalam menghadapi segala bentuk tan-
tangan, meskipun kemudian sikapnya ini banyak merugikan dirinya
karena dimanfaatkan oleh para pendukungnya, misalnya dalam Perang
Shiffin. Peperangan yang terjadi antara khalifah Ali Ibn Abi Thalib de-
ngan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan pada ta hun 657 M. Dampak politis
dan mungkin juga teologis dari peperangan tersebut adalah terpecah-
nya kelompok pendukung Ali Ibn Abi Thalib menjadi beberapa kelom-
pok antara lain pendukung setia Ali (Syi’atu Ali) dan kelompok sem-
palan (al-Khawarij ).
Peperangan tersebut dipicu oleh ketidaksukaan Mu’awiyah Ibn
Abi Sufyan terhadap kepemimpinan Ali Ibn Abi Thalib. Bahkan ia me-
nolak melakukan sumpah setia (bai’at) sebagai pengakuan dirinya atas
kepemimpinan khalifah Ali. Hal itu antara lain disebabkan karena Ali
dianggap ingin menggeser atau mencopot kedudukan Muauwiyah
dari jabatan gubernur Syria yang telah diperolehnya sejak masa peme-
rintahan khalifah Umar Ibn al-Khattab. Selain itu Ali juga dianggap
orang yang paling bertanggungjawab untuk menyelesaikan kasus ter-
bunuhnya khalifah Usman Ibn Affan. Kelambanannya dalam menanga-
ni kasus tersebut, juga menjadi salah satu pemicu terjadinya perang
Shiffin.
Untuk memancing kemarahan dan emosi massa terhadap keti-
dakberhasilan Ali Ibn Abi Thalib dalam menyelesaikan kasus yang
tengah hangat terjadi di tengah-tengah masyarakat, seperti pengung-
kapan kasus tragedi pembunuhan khalifah Usman Ibn Affan,
Mu’awiyah melakukan provokasi dengan membawa baju khalifah
Usman yang berlumuran darah. Lewat orasinya yang hebat dan kelicik-
annya, Mu’awiyah berhasil mempengaruhi massa yang kemudian
mereka berpendapat bahwa Ali tidak mampu menyelesaikan kasus
terbunuhnya khalifah Usman, dan bahkan Ali dianggap gagal
mengatasi kasus tersebut. Dalam hal ini, Ahmad Amin berpendapat
bahwa Mu’awiyah berpendapat bahwa dialah yang paling berhak
menuntut atas kematian khalifah Usman, karena dia adalah
saudaranya.
12
Akhirnya Mu’awiyah mengumpulkan pendukungnya dan
segera mempersiapkan diri untuk memerangi Ali Ibn Abi Thalib.
Dukungan masyarakat dan tentara Syria sangat dimungkinkan, karena
sejak masa kekuasaannya di Syria, Mu’awiyah telah mampu mem-
bangun basis kekuatan militer, di samping berhasil menarik simpati
dari penduduk kota tersebut. Sehingga ketika Mu’awiyah melakukan
mobilisasi massa untuk menyerang pasukan khalifah, masyarakat Syria
memberikan dukungan penuh.
Selain berhasil menarik simpati penduduk Syria, Mu’awiyah
juga berhasil mempengaruhi ‘Amr Ibn al-‘Ash, dengan tawaran jabatan
strategis, seperti gubernur, sehingga ia menyatakan bergabung dengan
pasukan Mu’awiyah.
Melihat keseriusan Mu’awiyah menolak perintah khalifah dan
berusaha membuat makar dengan menggalang kekuatan massa, kha-
lifah Ali Ibn Abi Thalib mengirim Jarir Ibn Abdullah al-Bujali ke Da-
maskus untuk memperingatkan keseriusan khalifah menggempur pa-
sukan Mu’awiyah, bila ia tetap pada pendiriannya semula, yakni tidak
akan melakukan sumpah setia (bai’at) kepada khalifah Ali. Akan tetapi,
utusan khalifah, Jarir Ibn Abdullah, ditahan dalam waktu beberapa
lama. Hal ini, menurut Ibnu Qutaybah, sengaja dilakukan Mu’awiyah
agar ia dapat melakukan konsolidasi kekuatan dan konsultasi dengan
para pembantunya. Di antara mereka yang terlibat dalam konsultasi itu
adalah ‘Amr Ibn al’Ash, politisi yang telah dikenal kelicikannya dalam
berdiplomasi, selain Utbah Ibn Abi Sufyan.
Dalam musyawarah yang dilakukan di kediaman Mu’awiyah
Ibn Abi Sufyan itu, ‘Amr Ibn al-‘Ash berpendapat bahwa bai’at belum
dapat dilakukan oleh Mu’awiyah dan masyarakat Syria, sebelum
khalifah Ali Ibn Abi Thalib menuntaskan tragedi pembunuhan khalifah
Usman Ibn Affan. Bila tidak dapat diselesaikan, maka bukan bai’at yang
terjadi, melainkan perang.
Untuk kepentingan tersebut, dilakukan kordinasi antara
Mu’awiyah dengan ‘Amr Ibn al-‘Ash. Namun, sebelum persetujuan
kerjasama itu disepakati, ada sebuah tuntutan sebagai bagian dari
konpensasi dari persetujuan tersebut yang diminta ‘Amr Ibn al-‘Ash,
yaitu jabatan gubernur Mesir. Persoalan inilah yang membuat negosiasi
berjalan sangat lamban. Kelambanan ini terjadi karena Mu’awiyah
sendiri belum dapat mengeluarkan kebijakan seperti itu, sebab ia
sendiri masih menjabat gubenur Syria. Persoalan itu akan sangat
mungkin diselesaikan segera, bila Mu’awiyah berada pada posisi peng-
ambil kebijakan.
Dalam situasi seperti itu, Utbah Ibn Abi Sufyan, berpendapat
bahwa sebaiknya permintaan ‘Amr Ibn al-‘Ash dipenuhi, agar persoal-
an dalam negeri Syria segera selesai dan upaya untuk pelacakan terha-
dap pelaku pembunuhan khalifah Usman Ibn Affan segera berjalan..
13
Selain itu, kerjasama dengan ‘Amr akan menguntungkan pihak
Mu’awiyah, karena akan menambah kekuatan barisan penentang
khalifah Ali permintaan tersebut akhrinya disetujui Mu’awiyah
dengan catatan bahwa ‘Amr Ibn al-‘Ash harus membantunya dalam
upaya mencapai tujuan politisnya, yaitu keinginan Muwiyah untuk
tetap mempertahankan kedudukannaya sebagai gubernur Syria dan
menentang kebijakan khalifah Ali yang ingin mencopot kedudukannya
tersebut. Bergabungnya ‘Amr Ibn al-‘Ash ke dalam barisan Mu’awiyah
Ibn Abi Sufyan, menambah darah segar bagi kekuatan barisan
Mu’awiyah yang tidak menyukai kepemimpian Ali Ibn Abi Thalib.
Usai bermusyawarah, Jarir Ibn Abdullah al-Bajali, utusan khalifah Ali
Ibn Abi Thalib yang ditahan, diizinkan kembali ke Kufah dengan
membawa in formasi mengenai penegasan kembali Mu’awiyah yang
menolak mengakui kekhalifahan Ali, sebelum ia menuntaskan
penyelidikan atas tragedi pembunuhan khalifah Usman Ibn Affan.
Keputusan dari Syria disampaikan Jarir Ibn Abdullah al-Bujali
kepada khalifah Ali Ibn Abi Thalib di Kufah. Ia menjelaskan situasi
kota Damaskus yang tengah mengadakan konsolidasi kekuatan untuk
menghadapi kemungkinan pahit yang akan terjadi, misalnya perang.
Mendengar infomrasi itu, Ali Ibn Abi Thalib berkesimpulan bahwa
genderang perang tampaknya telah dibunyikan oleh Mu’awiyah, se-
hingga konflik fisik antara dua kekuatan tidak dapat dihindari lagi.
Dalam menghadapi situasi seperti itu, tidak ada pilihan lain bagi
khalifah, kecuali menyelesaikan persoalan tersebut secara langsung
dengan memerangi para pembangkang yang diprakarsai Mu’awiyah
Ibn Abi Sufyan. Dengan persiapan sekitar 90.000 orang pasukan,
khalifah Ali Ibn Abi Thalib pergi menuju Syria untuk memerangi
Mu’awiyah. Tampaknya Mu’awiyah pun tidak kalah sigap. Ia telah
mempersiapkan sekitar 85.000 orang pasukan untuk menghadang
kekuatan khalifah Ali.
Akhirnya kedua pasukan bertemu pada satu tempat di lembah
sungai Eufrat, bernama Shiffin. Di tempat inilah kedua pasukan berte-
mu dan mengadu kekuatan dengan berusaha mengalahkan lawan ma-
sing-masing.
Pertempuran berlangsung sangat sengit, karena kedua kekuatan
men coba mengerahkan kekuatan masing-masing untuk mengalahkan
lawan tem purnya. Pada hari pertama jalannya pertempuran, kedua pa-
sukan saling mengintai kelemahan masing-masing. Namun pada hari
kedua, tampaknya pa sukan Mu’awiyah mulai terdesak, dan ada tanda-
tanda kekalahan berada pa da pihaknya. Menghadapi situasi kritis ini,
‘Amr Ibn al-‘Ash, tokoh politik yang dikenal licik, melakukan tipu
muslihat. Di tengah berkecamuk peperangan, ‘Amr Ibn al-‘Ash pada 28
Juli 657 M mengusulkan agar al-Qur’an diletakan di ujung tombak,
sebagai isyarat penghentian perang.
14
Tindakan ‘Amr ini diikuti pasukan Mu’awiyah, dengan menga-
takan bahwa al-Qur’an ini akan menjadi hakim yang akan
menyelesaikan persoalan ini. Mengeta hui hal itu, sebagian tentara
khalifah Ali Ibn Abi Thalib menghentikan per tempuran. Perbuatan itu
tentu saja mengecewakan khalifah dan sebagian ten taranya yang
mengetahui bahwa pengangkatan al-Qur’an itu hanya sebagai tipu
daya saja. Padahal kemenangan telah menghampiri pasukan khalifah.
Untuk itu, Ali Ibn Abi Thalib mengajak kembali pasukannya agar
meneruskan pertempuran, karena apa yang dilakukan ‘Amr Ibn al-‘Ash
dan pasuk annya hanya merupakan tipuan agar pasukan Ali Ibn Abi
Thalib terpecah be lah.
Namun usaha yang dilakukan khalifah tidak berhasil, bahkan
mereka menuntut agar pertempuran dihentikan dan diselesaikan deng-
an cara-cara damai melalui satu proses yang kemudian dikenal dengan
sebutan Tahkim atau Arbitrase. Karena itu, pertempuran dihentikan un-
tuk membicarakan cara terbaik dalam menyelesaikan krisis politik
militer yang tengah terjadi. Jeda waktu ini dimanfaatkan oleh kedua be-
lah pihak untuk memberi keselamatan kepada masyarakat muslim
mengenai langkah-langkah terbaik yang akan diambil dalam mengatasi
persoalan ini.
Desakan untuk menyelesaikan pertikaian melalui tahkim sema-
kin kuat, sehingga tidak ada pilihan lain bagi khalifah Ali Ibn Abi Tha-
lib kecuali menuruti keinginan orang banyak. Oleh karena itu, kedua
belah pihak merundingkan utusan masing-masing. Dari pihak khalifah,
pada awalnya Abdullah Ibn Abbas yang ditunjuk, tapi ditolak oleh
pengikut Ali karena ia dianggap lemah dalam berdiplomasi melawan
utusan Mu’awiyah. Kemudian atas kesepakatan bersama antara para
sahabat dengan khalifah Ali, akhrnya posisi itu ditempati oleh Abu
Musa al-Asyari yang ditunjuk menjadi delegasi. Awalnya khalifah Ali
kurang setuju atas terpilihnya Abu Musa al-Asy’ary sebagai utusan
perundingan, karena ia tahu bahwa ia bukan termasuk ke dalam
kategori politisi dan militer yang memiliki kemampuan kuat untuk adu
argumentasi dalam berdiplomasi. Abu Musa dikenal sebagai salah
seorang sahabat besar yang tingkat keimanan dan ketaqwaannya tidak
dapat diragukan.
Akan tetapi karena para pendukung Ali telah memlihnya dan
Abu musa sendiri menyetujui, maka tidak ada pilihan lain bagi Ali
kecuali memberikan kesempatan kepadanya untuk menjadi utusan
dalam perundingan tersebut.
Sementara dari pihak Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, ‘Amr Ibn al -
‘Ash yang menjadi utusan. Alasan pilihan itu jatuh kepada ‘Amr ka-
rena ia dianggap orang yang memiliki kemampuan diplomatis yang
sangat kuat dan mempunyai keahlian dalam bidang strategi politik
diplomasi, sehingga dipercaya oleh Mu’awiyah untuk menjadi utusan
15
dalam perundingan tersebut. Untuk kelancaran jalannya perundingan,
maka masing-masing utusan, baik dari pihak khlaifah Ali Ibn Abi Tha-
lib maupun pihak Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, mengirim utusan lain
sebagai saksi, masing-masing 400 orang saksi.
Pertemuan untuk menyelesaikan krisis politik militer antara ke-
kuatan khalifah Ali Ibn Abi Thalib dengan pasukan Mu’awiyah Ibn Abi
Sufyan itu, dilakukan di suatu tempat bernama Dumat al-Jandal (seka-
rang al-Jawf), sebelah Selatan Syria pada 657 M/38 H..
Dalam pertemuan tersebut, kedua belah pihak sependapat bah-
wa pangkal persoalan yang kini tengah melanda umat Islam terletak
pada kedua pemimpin itu, yakni Ali Ibn Abi Thalb dan Mu’awiyah Ibn
Abi Sufyan. Oleh karena itu, cara yang terbaik adalah menurunkan ke-
duanya dari jabatan masing-masing dan membentuk lembaga syura
untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin umat Islam.
Dengan lembaga itu, diharapkan masyarakat akan mampu menentu-
kan pemimpin mereka. Karena itu, ketika mereka memulai melak-
sanakan Tahkim/ arbitrase, ada kesepakatan di antara kedua utusan itu,
yakni baik Ali Ibn Abi Thalib mau pun Mu’awiyah, diminta untuk me-
letakkan jabatan masing-masing dan melepaskan klaim bahwa masing-
masing sebagai pemimpin yang sah.
Dalam kesempatan pertama, Abu Musa al-Asy’ari tampil ke de-
pan dan memutuskan bahwa untuk mengem balikan suasana keda-
maian, Ali Ibn Abi Thalib diminta untuk meletakkan ja batannya se-
bagai khalifah, dan menyerahkannya kepada umat Islam lewat lemba-
ga syura untuk memilih khalifah. Sementara untuk Mu’awiyah diminta
untuk meletakkan jabatannya, agar suasana menjadi aman dan damai.
Ketika tiba giliran ‘Amr Ibn al- ‘Ash tampil ke muka umum, dengan
sangat percaya diri ia meminta Ali Ibn Abi Thalib turun dari jabatannya
sebagai khalifah, sementara Mu’awiyah tetap pada posisi semula, yaitu
gubernur Syria.
Hasil perundingan itu ditolak Ali Ibn Abi Thalib, karena kepu-
tusan tersebut berarti menurunkan Ali Ibn Abi Thalib dari jabatan
khalifah. Sebuah jabatan yang sah menurut versi para pendukungnya.
Hasil kesepakatan ini dalam pandangan para pendukung Ali Ibn
Abi Thalib dipandang sangat tidak adil, karena merugikan posisi Ali
dan menguntungkan posisi Mu’awiyah yang tetap menjadi penguasa
Syria. Disadari sepenuhnya oleh para pengikut setia Ali, bahwa perun-
dingan itu hanya tipu daya yang dilakukan utusan Mu’awiyah, ‘Amr
Ibn al-‘Ash, sehingga mereka menuntut keadilan. Mereka yang kecewa
atas hasil Tahkim ini, terutama dari pihak Ali Ibn Abi Thalib, menya-
takan keluar dari barisan khalifah dan menyatakan sebagai oposan.
Kelompok ini kemudian dikenal dalam sejarah Islam dengan sebutan
khawarij.
16
Kelompok yang keluar dari barisan Ali ini berjumlah lebih ku-
rang 4000 orang. Keluarnya kelompok ini dari barisan Ali tentu saja
memperlemah kekuatan barisan militer Ali Ibn Abi Thalib dan semakin
memperkuat posisi dan kekuatan militer Mu’awiyah. Ternyata, tidak
hanya kelompok Khawarij yang tidak setuju dan kecewa atas hasil
tahkim, juga Abu Musa al–Asy’ary. Setelah terpecahnya kelompok pen-
dukung Ali, ia kemudian menyadari kekeliruannya karena dengan se-
cara terbuka menyatakan Ali Ibn Abi Thablib harus meletakkan jabatan
khilafahnya dan menghilangkan klaim-klaimnya sebagai khalifah. Se-
mentara pihak Mu’awiyah tetap mempertahankan Mu’awiyah sebagai
pejabat yang mendapat dukungan kuat dari mereka dan menurunkan
Ali dari jabatannya.
Kekecewaannya itu didasari atas sebuah kenyataan bahwa ke-
lompok Mu’awiyah telah memanfaatkan moment itu untuk kepen-
tingan mereka sendiri, dan tidak didasari atas hasil kesepakatan bersa-
ma bahwa masalah kepemimpinan akan diserahkan kepada deaan syu-
ra yang akan memilih pengganti mereka. Karena begitu kecewanya
Abu Musa, hingga ia tidak berani melaporkan hasil tahkm kepada kha-
lifah Ali dan ia pergi entah ke mana. Hal itu menunjukkan bahwa se-
benarnya baik khalifah Ali, Abu Musa dan kelompok Khawarij, tidak
setuju atas hasil Tahkim yang telah dilakukan.
Oleh karena begitu kecewanya kelompok al-khawarij atas hasil
keputusan di Dawmatul Jandal, mereka kemudian menyusun rencana
untuk menyelesaikan sendiri persoalan tersebut. Untuk merealisasikan
tujuan tersebut, kelompok khawarij yang berjumlah sekitar 4000 orang
melancarkan demonstrasi besar-besaran menentang penguasa dan
orang-orang yang dianggap paling bertanggungjawab dalam peristiwa
Tahkim. Mereka melancarkan pemberontakan dan melakukan berbagai
kerusuhan di setiap tempat yang dikunjungi. Perjalanan mereka akhir-
nya sampai di Nahrawan, dan di tempat inilah khalifah Ali Ibn Abi
Thalib menumpas pemberontakan mereka.
Meskipun kelompok ini dapat dikalahkan, namun sebagian yang
dapat menyelamatkan diri mencoba menyusun kekuatan kembali un-
tuk mengadakan kerusuhan di Mesir. Wilayah ini menjadi sasaran me-
reka karena menurut pandangan mereka bahwa gubernur Qays tidak
tanggap atas krisis yang tengah melanda umat Islam. Mengetahui an-
caman ini, khalifah Ali Ibn Abi Thalib segera mengganti gubernur Qays
dengan Muhamad Ibn Abu Bakar.
Dalam situasi seperti itu, Mu’awiyah mencoba mengambil ke-
sempatan untuk memperoleh keuntungan dengan mengirim pasukan
di bawah pimpinan ‘Amr Ibn al-‘Ash untuk menyerang wilayah Mesir.
Upaya penyerangan ini berhasil gemilang, bahkan gubernur Mesir te-
was terbunuh dalam serangan tersebut. Terampasnya wilayah Mesir
oleh pasukan Mu’awiyah dan tewasnya gubernur wilayah itu, sekali
17
lagi menandai kekalahan khalifah Ali Ibn Abi Thalib dari Mu’awiyah
Ibn Abi Sufyan. Situasi semakin tidak teratasi. Kekacauan terjadi di
mana-mana, sehingga khalifah Ali Ibn Abi Thalib tidak dapat
melanjutkan pembangunan negeri Islam, sesuatu yang pernah
dilakukan para pemimpin sebelumnya.
Keluarnya kelompok khawarij dari barisan Ali, secara politis
tentu saja memperlemah kekuatan khalifah Ali, dan di sisi lain,
munculnya kelompok sempalan ini membuat pasukan Mu’awiyah
semakin solid. Realitas politik inilah yang kurang disadari sepenuhnya
oleh khalifah Ali Ibn Abi Thalib. Kenyataan pahit tersebut tidak
mungkin akan terjadi kalau saja khalifah Ali mau mendengarkan
nasihat para pendukung setianya, agar tidak tergesa-gesa menge-
luarkan kebijakan politiknya, karena situasinya sedang rawan dan
tidak kondusif.
Setelah peristiwa tahkim dan penyerangan Mesir, kelompok kha-
warij, yang merasa tidak puas atas hasil perundingan tersebut, semakin
menyebar ke berbagai pelosok wilayah Islam. Mereka terus melan car-
kan kerusuhan di mana-mana untuk mengacaukan situasi politik dan
melemahkan kekuatan khalifah Ali Ibn Abi Thalib. Bahkan mereka
telah menyusun rencana untuk membunuh Ali Ibn Abi Thalib, Mu’a-
wiyah Ibn Abi Sufyan dan ‘Amr Ibn al-‘Ash. Mereka adalah orang yang
dianggap paling bertanggung jawab dalam krisis politik yang terjadi.
Abdurrahman Ibn Muljam dikirim ke Kufah untuk membunuh khalifah
Ali, Ibn Bakr dikirim ke Mesir untuk menghabisi nyawa ‘Amr Ibn al-
‘Ash, dan Ibn Abdillah al -Tamimi untuk membunuh Mu’awiyah.
Dari ketiga orang yang ditugasi membunuh para pelaku tahkim,
hanya Abdurrahman Ibn Muljam yang berhasil melakukan tugasnya,
dengan membunuh khalifah Ali Ibn Abi Thalib ketika sedang melaksa-
nakan shalat subuh pada 24 Januari 661 M/15 Ramadhan 40 H. Terbu-
nuhnya khalifah Ali Ibn Abi Thalib menambah catatan hitam dalam se-
jarah Islam, sebab peristiwa pembunuhan itu dilakukan oleh mantan
para pengikutnya yang tidak setuju atas hasil tahkim. Sehingga situasi
politik umat Islam pascakekhalifah an Ali Ibn Abi Thalib semakin tidak
menentu.
18
Mereka yang melakukan sumpah setia (bai’at) sekitar 40.000 orang,
jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran saat itu. orang yang pertama
melakukan baia’t adalah Qays Ibn Sa’ad, yang kemudian diikuti oleh
umat Islam pendukung setia Ali Ibn Abi Thalib lainnya.
Pengangkatan ini bukan merupakan hasil rekayasa para pendu-
kung Ali sebelumnya, tetapi karena mereka tidak punya pilihan lain
yang dapat menjadi tokoh panutan dan pemimpin mereka, kecuali
Hasan Ibn Ali. Mereka menyadari bahwa Hasan Ibn Ali tidak setegas
dan setegar ayahnya dalam hal kepemimpinan, tetapi karena saat itu
mereka membutuhkan seorang figur yang dapat diandalkan kharisma-
tiknya, maka mereka secara bersama-sama membai’at Hasan Ibn Ali
sebagai khalifah, menggantikan kedudukan ayahnya.
Akan tetapi, pengangkatan itu tetap tidak mendapat pengakuan
Mu’awiyah dan para pendukungnya. Karena sebenarnya Mu’awiyah
juga sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi
dalam dunia Islam. Tetapi, ia selalu mendapat rintangan dari para pen-
dukung setia Ali Ibn Abi Thalib. Dengan demikian, semakin panjang
daftar “musuh” Mu’awiyah dan semakin “ sulit” untuk mencapai pun-
cak kekuasaan, kecuali dengan cara-cara yang tidak demokratis, seperti
kudeta atau lainnya.
Perdebatan apapun yang terjadi saat itu, yang jelas bahwa reali-
tas politik menunjukkan bahwa sepeninggal Ali Ibn Abi Thalib, seba-
gian penduduk Kufah, Basrah dan Madinah melakukan sumpah setia
(bai’at) kepada Hasan untuk memegang jabatan khalifah, menggantikan
kedudukan ayahnya yang tewas terbunuh di tangan Ibn Muljam, yang
berasal dari kelompok orang - orang yang tidak suka atas kebijakan Ali
yang melakukan Tahkim. Tapi sayang, ternyata sepeninggal Ali, Hasan
yang diangkat menjadi khalifah, bukan kelompok mereka.
Di sinilah problem puncak banyaknya persoalan politik Islam
setelah kekhalifahan Ali Ibn Abi Thalib. Karena ternyata, umat Islam,
khususnya pendukung Ali telah memiliki calon kuat untuk menduduki
jabatan khilafah. Sementara kelompok Mu’awiyah menginginkan Mu’-
awiyah yang menjadi khalifah, bukan orang lain.
Namun, kenyataan terpilihnya Hasan sebagai khalifah tidak di-
senangi Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, sehingga Mu’awiyah menyusun
kekuatan untuk merebut kekuasan dari tangan Hasan. Taktik dan
strategi yang dimainkan Mu’awiyah merupakan suatu upaya politik
untuk mencapai puncak kekuasaan menjdi khalifah. Untuk kepen-
tingan itu, Mu’awiyah dan para sekutunya menyusun kekuatan untuk
membendung arus massa pendukung al-Hasan Ibn Ali, terutama
masyarakat Kufah dan Basrah yang masih setia kepada Ali Ibn Abi
Thalib. Hal itu bisa saja dilakukan, mengingat Mu’awiyah telah
memiliki posisi dan kekuatan yang cukup besar selama menjabat
19
sebagai gubernur di Syria yang dapat dipergunakan untuk merebut ke-
kuasaan khilafah dari tangan Hasan.
Mendengar berita itu, Qays Ibn Sa’ad Ibn Ubadah dan Abdullah
Ibn Abbas menyarankan agar Hasan melakukan serangan ke Damas-
kus, sebelum diserang pasukan Mu’awiyah. Usulan tersebut diterima
Hasan Ibn Ali dengan mengirim pasukan sebanyak 12.000 orang di
bawah pimpinan kedua tokoh tersebut di atas. Pasukan ini berngkat ke
Damaskus untuk melakukan serangan terhadap pasukan Mu’awiyah.
Namun ternyata, kedatangan mereka telah dinanti-nantikan oleh
pasukan Mjuawiyah, sehingga kedua pasukan bertemu di suatu tempat
bernama Madain. Di tengah sengitnya pertempuran, lagi-lagi Mu’awi-
yah mencoba mengecoh lawan dengan menyebarkan isu kematian
Qays, sebagai baian dari strategi perang urat syaraf (psy war) melalui
opini publik yang dilakukan pihak Mu’awiyah. Perang opini ini sangat
efektif untuk menjatuhkan semangat perang lawan Mu’awiyah, sehing-
ga Hasan Ibn Ali tanpa melakukan penyelidikan secara seksama, telah
mengambil langkah untuk menghentikan gerakan psukannya dan ingin
menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara-cara damai.
Di satu sisi, yakni pihak Mu’awiyah, penyebaran isu tersebut
sangat efektif untuk melemahkan kekuatan lawan dan membangkitkan
semangat juang pasukan Mu’awiyah dalam memenangkan pertem-
puran. Di pihak Hasan, isu itu memiliki dampak psikologis yang sangat
efektif, karena dapat mempengaruhi semangat juang pasukannya yang
pada akhirnya mereka enggan untuk melanjutkan pertempuran mela-
wan pasukan Mu’awiyah.
Dengan demikian, strategi kelompok Mu’awiyah yang melaku-
kan perang urat syaraf (psy war) telah berhasil mengecohkan kekuatan
lawan, sehingga ia berhasil mempengaruhi massa pendukung Hasan
Ibn Ali untuk tidak lagi melanjutkan pertempuran.
Akibatnya, pasukan Hasan yang semula sangat mendukung ge-
rakan Hasan melawan kekuatan Mu’awiyah malah berbalik tidak me-
nyukai Hasan. Bahkan menurut sejarawan muslim, seperti al- Thabary
mengatakan bahwa para pendukung Hasan melakukan tindakan keke-
rasan dengan menyerbu masuk ke rumah Hasan dan merusak kehor-
matan dan merampas harta bendanya, sehingga mereka berani meram-
pas permadani yang sedang diduduki Hasan Ibn Ali. Sehingga al-Tha-
bary memandang bahwa perbuatan mereka sangat biadab, karena
menghianati pemimpinnya sendiri.
Dalam mengatasi gejolak dan krisis politik seperti itu, tampak-
nya Hasan Ibn Ali tidak punya pilihan lain kecuali melakukan nego-
siasi dengan Mu’awiyah untuk mengakhiri perseteruan antara mereka.
Untuk kepentingan itu, Hasan mengirim surat kepada Mu’awiyah me-
lalui ‘Amr Ibn Salmah al—Arhaby yang berisi perdamaian. Hasan ber-
sedia menyerahkan kekuasaan kepada Mu’awiyah dengan beberapa
20
persyaratan antara lain; menyerahkan harta Baiultmal kepadanya untuk
melunasi hutang-hutangnya sebagai bentuk perjanjiann dengan Mu’a-
wiyah. Tidak lagi mencaci maki bapaknya serta keluarganya. Mu’a-
wiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah Dar Ibjirad
kepada Hasan setiap tahun.
Selain itu, setelah Mu’awiyah berkuasa nanti, masalah kepemim-
pinan (kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk me-
milihnya. Hasan juga menuntut agar Mu’awiyah tidak menarik sesuatu
dari penduduk Madinah, Hijaz dan Irak, karena hal itu telah menjadi
kebijakan ayahnya, Ali Ibn Abi Thalib, sejak ia masih berkuasa. Semua
permintaan tersebut disanggupi oleh Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan.
Untuk memenuhi semua persyaratan itu, Hasan Ibn Ali mengu-
tus seorang sahabatnya bernama Abdullah Ibn al-Harits Ibn Nauval
menghadap Mu’awiyah. Sementara Mu’awiyah mengutus orang-orang
kepercayaannya, seperti Abdullah Ibn ‘Amir Ibn Kurayz dan Abdur-
rahman Ibn Samurah Ibn Habib Ibn Abdi Syams untuk menyampaikan
pesan kepada Hasan. Utusan Mu’awiyah tiba di Madain dan membe-
rikan semua permintaan Hasan.
Untuk itu, Hasan kemudian mengirim surat kepada Mu’awiyah
agar mereka bertemu di suatu tempat, yaitu Maskin. Keduanya bertemu
di tempat yang telah disepakati. Di sinilah Hasan Ibn Ali menyerahkan
kekuasaan kepada Mu’awiyah dengan menyatakan sumpah setia
(bai’at) kepada Mu’awiyah.
Usai pembaiatan, Hasan Ibn Ali dan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan
pergi menuju kota Kufah. Di kota inilah kemudian Hasan meminta
para pengikutnya untuk melakukan sumpah setia (bai’at) seperti yang
telah dilakukannya. Permintaan tersebut dipenuhi dan bai’at dilakukan
untuk mendukung kepemimpinan Mu’awiyah.
Keberhasilan Mu’awiyah memperoleh pengakuan di Kufah me-
rupakan bukti kepiawaian Mu’awiyah dalam memainkan peran poli-
tiknya sebagai seorang yang sangat ahlil alam bidang ini. Dengan demi-
kian, ia telah menggapai cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin
umat Islam menggantikan posisi Hasan Ibn Ali sebagai khalifah. Sete-
lah berhasil memperoleh pengakuan dari al-Hasan dan para pendu-
kungnya di kota Kufah dengan kompensasi besar berupa uang sejum-
lah satu juta dirham yang diberikan kepada Hasan Ibn Ali, Mu’awiyah
kemudian pergi ke kota Basrah meminta agar penduduk kota tersebut
melakukan hal yang sama seperti saudara-saudara mereka di Kufah.
Harapan Mu’awiyah agar penduduk kota Basrah mau melakukan
Ba’iat kepada Mu’awiyah gagal, karena mereka menolak untuk melaku-
kannya.
Penolakan mereka didasari atas kenyataan bahwa harta yang
tersimpan di Baitulmal merupakan harta umat Islam yang diperoleh-
nya dari hasil peperangan (fa’i) dan tidak akan diberikan kepada siapa-
21
pun, termasuk kepada Hasan Ibn Ali. Dengan demikian, mereka tidak
mau melakukan perintah Hasan untuk membai’at Mu’awiyah sebagai
pemimpin mereka.
Meskipun tidak mendapat pengakuan secara resmi dari masya-
rakat Basrah, Mu’awiyah tetap melakukan propaganda kepada masya-
rakat di seluruh wilayah kekuasaan Islam agar mereka mau mengakui
dan tunduk kepada khalifah yang baru. Karena pemimpin mereka yang
lama, yakni al-Hasan Ibn Ali telah menyerahkan kekuasaan kepadanya
dan meminta semua pendukung al-Hasan mematuhi segala perintah
dan tunduk atas segala kebijakan yang dibuat Muauwiyah Ibn Abi
Sufyan.
Dengan pengakuan ini, tentu saja jabatan tertinggi umat Islam
secara de jure dan de facto berada di tangan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan.
Suatu jabatan penting yang telah lama dinantikan Bani Umayah. Dalam
hal ini terlepas dari apakah perolehan kekuasan itu dilakukan secara
terpaksa atau tidak, yang jelas pada akhirnya Mu’awiyah diterima se-
bagai khalifah umat Islam. Dengan demikian, berdirilah dinasti baru,
yaitu Dinasti Bani Umayah ( 661-750 M) yang mengubah gaya kepe-
mimpinannya dengan meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan
Romawi berupa perlihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun
temurun. Hal ini juga menandai berakhirnya sistem pemerintahan khi-
lafah yang didasari atas asas “demokrasi” untuk menentukan pemim-
pin umat Islam yang menjadi pilihan mereka.
22
tahan kerajaan Romawi dan Persia, yang mewariskan kekuasaan secara
turun temurun.
Sejak saat itu, sistem pemerintahan dinasti Bani Umayah me-
ninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam.
Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa Bani Umayah kemu-
dian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah
setia (bai’at) di hadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan
para penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi
dan ajaran permusyawaratan Islam yang dilakukan para al-Khulafa al-
Rasyidun.
Selama masa pemerintahan demokratis khulafa rasyidun, para
khalifah selalu didampingi oleh dewan penasihat yang terdiri dari para
pemuka Islam. Seluruh kebijakan yang penting selalu dimusyawarah-
kan secara terbuka. Bahkan rakyat biasa mempunyai hak untuk me-
nyampaikan pertimbangan dalam pemerintahan. Kebebasan berpen-
dapat dan kebebasan menyampaikan kritik terhadap kebijakkan peme-
rintah merupakan corak yang sangat menonjol dalam pola pemerin-
tahan al-khulafa al-rasyidun.
Tradisi musyawarah dan kebebasan menyampaikan pendapat
ini tidak berlaku dalam pemerintahan Bani Umayah. Dewan permu-
syawaratan dan dewan penasihat tidak berfungsi secara baik. Kebe-
basan melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah tidak diboleh-
kan. Hal itu terjadi karena para penguasa Bani Umayah benar-benar
telah menganggap dirinya sebagai raja yang tidak dipilih dan diangkat
oleh rakyat, sehingga semua kebijakan tidak pernah melibatkan rakyat
dan rakyat tidak dibolehkan melakukan kritik.
Ajaran dan usaha Nabi Muhamad Saw yang telah menghapus-
kan fanatisme kesukuan tidak dapat dipertahankan pada masa Bani
Umayah. Mereke memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu de-
ngan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada kelompok terse-
but dan menutup kesempatan kelompok lain.
Kecemburuan dan permusuhan antara keluarga Mughariyah de-
ngan Himyariyah yang telah padam selama masa- masa sebelumnya,
muncul kembali. Persaingan mereka tentu saja melemahkan perstahuan
dan kesatua umat Islam yang pada akhirnya juga melemahkan ke-
kuatan sendi-sendi kekuasaan Bani Umayah.
Pada masa pemerintahan khulafa rasyidun sangat serius dan pe-
duli terhadap tanggungjawab dan tugas mereka. Mereka sering keluar
malam untuk melihat keadaaan masyarakat yang sebenarnya. Mereka
menjalani hidup dan tugas-tugas sesuai dengan prinsip ajaran Islam.
Mereka tidak membangun gedung atau istana megah. Tidak ada
pengawalan khusus bagi para khalifah. Sementara para penguasa Bani
Umayah hidup dalam kemewahan dan dijaga ketat oleh pengawal,
karena mereka khawatir keamanan diri mereka.
23
Selain terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan, pada masa
pemerintahan Bani Umayah juga terdapat perubahan lain, misalnya
masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan khulafa rasyidun, Baitul-
mal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, di mana setiap warga
negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi
sejak pemerintahan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, Baitulmal beralih
kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga raja. Seluruh pengua-
sa dinasti Bani Umayah, kecuali Umar Ibn Abdul Aziz (717-729 M),
memperlakukan Baitulmal sebagai harta kekayaan pribadi yang boleh
dipergunakan untuk apa saja oleh sang penguasa Bani Umayah.
Demikian latar belakang dan proses pembentukan dinasti Bani
Umayah (661-750) dengan sistem dan corak pemerintahan yang ber-
beda dengan sistem pemerintahan khulafa rasyidun. Meskipun begitu,
banyak hal yang dapat diambil hikmah bahwa untuk mendapatkan
sesuatu dan menggapai cita-cita, harus dilakukan dengan tekun dan
sabar, agar semuanya dapat diperoleh dengan baik.
Hal itu dapat ditelusuri dari usaha Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan di
dalam usahanya memperoleh kekuasaan dari Hasan Ibn Ali yang
kemudian ia mendirikan dinasti Bani Umayah. Namun, kita tidak perlu
meniru jejak dan sifat kelicikan yang ada pada dirinya. Hal baik yang
dapat kita manfaatkan dari mempelajari sejarah perjalanan karier
Mu’awiyah, adalah keteguhan hati, kesabaran, keahliannya yang dapat
merangkul musuh-musuh politiknya untuk diajak bekerjasama, patut
menjadi panutan kita. Bukan malah dijauhi dan dihancurkan.
Selain itu, usaha para penguasa Bani Umayah yang terdiri dari
14 orang selama hampir satu abad (661-750 M), telah membawa Islam
pada kemajuan-kemajuan, sehinga Islam dikenal tidak hanya di dunia
Arab, juga di Indus India dan Andalus di Eropa. Berikut keempat belas
khalifah dinasti Bani Umayah yang berkuasa.
1. Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
2. Yazid Ibn Mu’awiyah ( 60-64 H/680-683 M)
3. Mu’awiyah Ibn Yazid ( 64-64 H/683-683 M)
4. Marwan Ibn Hakam (64-65- H/683-685 M)
5.bdul Malik Ibn Marwan (65-86 H/ 685-705 M)
6.Walid Ibn Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
7. Sulaiman Ibn Abdul Malik (96-99H/ 715-717 M)
8.Umar Ibn Abdul Aziz (99-101 H/ 717-720 M)
9. Yazid Ibn Abdul Malik (101-105 H/720-724 M)
10. Hisyam Ibn Abdul Malik ( 105-125 H/724-743 M)
11. Walid Ibn Yzaid (125-`26 H/743-744 M)
12. Yazid Ibn Walid (126-127 H/744-744 M)
13. Ibrahim Ibn Walid (127-127 H/744-745 M)
14. Marwan Ibn Muhamad (127-132 H/744-750 M).
24
Di antara mereka, khalifah yang paling menonjol adalah Mu’a-
wiyah ibn Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M), Abdul Malik ibn Marwan
(65-86 H/ 685-705 M) al-Walid ibn Abdul Malik (86-96 H/705-715 M),
dan Umar ibn Abdul Aziz (99-101 H/ 717-720 M). Untuk mengetahui
lebih jauh mengenai Bani Umayah, kita akan bahas terlebih dahulu
pendiri dinasti ini, yaitu Mu’awiyah ibn Abi Sufyan.
25
kepercayaan untuk menaklukkan daerah Syam. Dalam situasi yang
kritis, Yazid meminta bantuan kepada khalifah untuk menambah ke-
kuatan perang. Permintaan tersebut dipenuhi. Kemudian khalifah Abu
Bakar al-Shiddieq meminta kepada Mu’awiyah untuk memipin pasuk-
an tambahan tersebut. Di bawah bendera Yazid, Mu’awiyah bertempur
menaklukkan kota–kota di utara, seperti Sidon, Beirut, dan lain
sebagainya.
Dari sinilah sinar kecemerlangan Mu’awiyah mulai tampak.
Karena itu, ketika khalifah Umar ibn al–Khattab menjabat sebagai kha-
lifah, ia mengangkat Yazid sebagai gubernur Damaskus, sementara
Mu’awiyah sebagai gubernur Syria (Yordania) pada bulan Syawwal
tahun 19 H. Setelah Yazid meninggal pada bulan Dzul Hijjah tahun 19
H, dua wilayah itu digabungkan menjadi satu dan berada di bawah
kekuasaan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Penggabungan ini disetujui
khalifah Umar ibn al–Khattab, karena khalifah mengetahui benar bah-
wa Mu’awiyah akan mampu menjalankan roda pemerintahan di wila-
yah tersebut. Sebab Mu’awiyah dikenal sebagai seorang pemimpin
yang memiliki kepribadian kuat dan ahli dalam lapangan politik, se-
hingga khalifah Umar menyukainya dan menyebutnya sebagai kaisar
Arab yang berkuasa di Syria. Kariernya terus melonjak, hingga akhir-
nya ia menjadi khalifah.
Mu’awiyah menjadi khalifah setelah secara de jure ia mem-
peroleh pengakuan dari al-Hasan ibn Ali ketika jabatan itu diserahkan
pada tahun 41 H/661 M di Maskin. Dalam sejarah Islam, tahun ini di-
kenal dengan sebutan ‘Am al-Jama’ah. Karena setelah itu, umat Islam
secara de facto dan de jure memiliki pemimpin baru yang diharapkan
dapat mempersatukan umat Islam yang telah terpecah menjadi bebe-
rapa partai politik dan faksi. Sejak saat itu, Mu’awiyah ibn Abi Sufyan
dan para pengikutnya terus melakukan berbagai kegiatan guna
pengembangan Islam ke luar jazirah Arabia.
26
dari ancaman pembunuhan dari orang-orang yang tidak menyu-
kainya.
2. Pembentukan Departemen Pencatatan atau Diwanul Khatam.
Departemen ini mencatat semua peraturan yang dikeluarkan
khalifah dan dicatat di dalam berita acara pemerintahan. Berita
acara atau catatan kebijakan dan surat-surat asli disegel dan
dikirimkan ke alamat yang dituju. Sementara salinannya disimpan.
Kebijakan ini dikeluarkan karena ada kasus yang pernah terjadi,
yaitu ketika khalifah memberikan 1000 dirham kepada seseorang
dari bendahara provinsi. Surat yang berisi perintah itu dicegat di
tengah jalan dan jumlahnya diubah dengan angka yang lebih
tinggi. Dengan pencatatan seperti ini, kahlifah Mu’awiyah
berharap tidak ada lagi penipuan dan tindakan yang merugikan
negara.
3. Pembentukan Dinas Pos atau Diwanul Barid. Mu’awiyah mem-
bentuk pos-pos penjagaan pada tempat-tempat tertenu di sepan-
jang jalan penting dan disediakan kuda lengkap dengan peralatan-
nya. Para pegawai pos mengambil seekor dari kuda itu dan
mengendarainya dengan cepat, sehingga cepat sampai ke pos beri-
kutnya. Di pos itu, pegawai tersebut meninggalkan kuda itu supaya
kuda tersebut dapat beristirahat. Kemudian pegawai itu mengambil
kuda lainnya yang telah tersedia di pos itu untuk menuju tempat
yang dituju.
4. Pembentukan percetakan mata uang. Pembentukan ini dimak-
sudkan untuk mencetak mata uang resmi negara. Meskipun pada
masa pemerintahan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, masih menggu-
nakan mata uang Romawi dan belum menggantinya dengan mata
uang baru yang dikeluarkan pemerintahan Bani Umayah. Peng-
gantian mata uang baru dilakukan pada masa pememrintahan Ab-
dul Malik ibn Marwan.
5. Pembentukan Shahibul al-Kharraj (pemungut pajak). Pajak-
pajak yang berasal dari berbagai provinsi di wilayah kekuaan Bani
Umayah dikumpulkan melalui petugas ini, kemudian dikirim ke
pusat. Pejabat ini ditunjuk langsung oleh khalifah dan
bertanggungjawab kepada khalifah.
27
sukannya untuk mengadakan upaya perluasan wilayah kekuanan. Sa-
lah satunya adalah upaya penaklukan ke wilayah Afrika Utara.Upaya
ini merupakan salah satu peristiwa penting dan bersejarah selama ma-
sa-masa kekuasaannya 661-680 M).
Usaha ini dilakukan Mu’awiyah, karena para penjajah bangsa
Romawi terus melakukan perlawanan di wilayah Afrika Utara. Perla-
wanan bangsa Romawi ini sangat mengganggu usaha dan kerja gu-
bernur ‘Amr ibn al-‘Ash yang sedang memimpin wilayah Mesir. Oleh
karena itu, Mu’awiyah ibn Abi Sufyan memerintahkan ‘Amr ibn
al-‘Ash untuk mengatasi persoalan tersebut. Untuk itu, ‘Amr ibn
al-‘Ash mengirim seorang jenderal bernama Uqbah ibn Nafi’. Usahnya
ini berhasil, sehingga ia dan pasukannya menguasa kota Qairuwan
hingga ke selatan Tunisia pada tahun 50 H/670 M. Kota Qairuwan
kemudian dijadikan sebagai benteng pertahanan dan pusat
pemerintahan provinsi dan pangkalan militer untuk wilayah Afrika
Utara. Dengan kekuatan militer dan pertahanan yang cukup memadai,
akhirnya pasukan Romawi dapat dikalahkan dan terusir hingga ke
sebuah pulau kecil di Afrika Utara. Pulau itu bernama Septah atau
Ceuta.
Meskipun bangsa Romawi berhasil diusir dan dikalahkan pada
tahun 50/670 M, bangsa Romawi berhasil mempengaruhi bangsa Bar-
bar untuk melakukan perlawanan terhadap bangsa Arab Muslim. Oleh
karena itu, Uqbah ibn Nafi’ melakukan serangan kembali. Namun
sebelum usaha itu berhasil, Mu’awiyah mengganti gubernur Uqbah ibn
Nafi. Posisi Uqbah kemudian digantikan oleh Abul Muhajir. Di bawah
kepemimpinan Abul Muhajir, pasukan muslim berhasil menaklukkan
suku Barbar dan mengajak mereka untuk masuk Islam.
28
Sumber: Wiikipedia
Keterangan:
2. Penaklukkan Konstatinopel.
29
Setelah berhasil menaklukkan pulau-pulau di Laut Tengah, pa-
sukan umat Islam mempersiapkan diri di bawah pimpinan Sufyan ibn
‘Auf untuk menaklukkan Konstantinopel. Dalam rombongan pasukan
ini, ikut pula Abu Ayyub al-Ashary, Abdullah ibn Zubeir, Abdullah
ibn Umar, Abdullah ibn Abbas, selain Yazid ibn Mu’awiyah. Tiba di
dekat kota Konstantinopel, pasukan Islam melakukan pengepungan
selama lebih kurang 7 tahun. Tetapi karena kuatnya benteng perta-
hanan dan pasukan Islam diserang dari berbagai arah, akhirnya usaha
penaklukkan kota tersebut mengalami kegagalan. Dalam misi ini, salah
seorang tokoh Islam gugur, yaitu Abu Ayyub al-Anshary. Usaha pe-
naklukkan kota ini terus dilakukan pada masa-masa sesudahnya, dan
baru dapat dikuasai umat Islam pada masa pemerintahan dinasti Us-
mani, ketika Muhamad al-Fatih menaklukkan kota itu pada tahun 1453
M.
30
fatnya. Di bawah asuhannya Abdul Malik menjadi orang yang cerdas,
baik dan bijaksana.Abdul Malik ibn Marwan dilahirkan pada tahun 26
H, pada masa pemerintahan khalifah Usman ibn Affan. Seperti tercatat
di dalam sejarah bahwa Abdul Malik tumbuh dan berkembang sebagai
seorang pemberani dan suka menolong. Selai itu, ia juga dikenal se-
bagai seorang pujangga, penasihat dan sebagai orang yang berani da-
lam menegakkan kebenaran. Ia tidak takut dicela karena keberanian
dan kehetabannya itu. Sejak kecil ia telah menghafal al-Qur’an dan
menguasai berbagai ilmu agama lainnya, seperti ilmu hadis, fiqih, taf-
sir, dan lain-lain. Semua ilmu itu ia pelajari dari para ulama dan tokoh
terkenal di Madinah, terkenal, seperti ia belajar meng hafal al-Qur’and
ari khalifah Usman ibn Affan. Belajar hadis dari Abu Hurairah, Abu
Sa’id al-Khudry, Jabir ibn Abdullah dan dari sahabat Rasulullah Saw
lainnya.
Maka tidak heran apabila kemudian ia menjadi seorang faqih
(ahli ilmu fiqih) setaraf dengan Sa’id ibn Musayyab dan Urwah ibn
Zubair, ulama fiqih terkenal di Madinah saat itu dan sebagai seorang
pemimpin yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Abdul Malik juga
dikenal sebagai penyair dan kritikus sastra terkenal. Untuk mendis-
kusikan berbagai ilmu pengetahuan, ia membangun kelompok (klub)
diskusi untuk bertemu dan mendiskusikan berbagai ilmu dan sastra
terkenal, seperti kitab al-Kamil, karangan al-Mubarrad. Kitab ini selalu di-
diskusikan bersama-sama teman-teman dan tokoh lainnya.
Selain itu, Abdul Malik bahkan dikenal sebagai teman diskusi
yang baik dan tempat orang bertanya tentang sesuatu kepadanya. Al-
Sya’bi bahkan bercerita bahwa saya tidak pernah berteman dengan
orang yang lebih pandai dari dari Abdul Malik ibn Marwan. Saya
selalu mendapatkan tambahan ilmu bila berdiskusi dengannya. Abdul
Malik ibn Marwan dikenal sebagi seorang yang fasih berbicara dan
lugas pemicaraannya. Setiap kalimat yang keluar dari ucapannya
selalu mengandung hikmah.
31
b. Penggantian mata uang.
Kebijakan lain yang dikeluarkan Abdul Malik ibn Marwan ada-
lah penggantian mata uang. Ia mengeluarkan mata uang logam
Arab. Sebelumnya, pada masa Nabi Muhamad Saw dan khalifah
Abu Bakar, mata uang yang dipakai sebagai alat tukar atau alat
bayar adalah mata uang Romawi dan Persia. Mata uang ini pada
masa pemerintahan sesudahnya, khususnya pada masa khalifah
Umar ibn al-Khattab telah banyak yang rusak. Untuk kepen-
tingan itu, khalifah Abdul Malik ibn Marwan mendirikan pabrik
percetakan uang di Damaskus.
c. Pembaharuan ragam tulisan bahasa Arab.
Kebijakan khalifah Abdul Malik lainnya adalah pembaharuan
dalam ragam tulisan bahasa Arab. Hal ini dilakukan karena ber-
dasarkan penilaiannya terdapat dua kelemahan di dalam bahasa
Ara. Pertama, bahasa Arab hanya mengandung huruf konsonan
(huruf mati), yang dapat diucapkan dalam beberapa bunyi
vokal. Kenyataan ini menyulitkan bagi masyarakat muslim yang
bukan berasal dari bangsa Arab di dalam memahami dan
mengucapkan bahasa Arab.
Sumber: Wikipedia
32
e. Pengembangan sistem pos.
Ketika Abdul Malik ibn Marwan berkuasa, ia berusaha mengem-
bangkan sistem pos yang telah dibangun pada masa Mu’awiyah
ibn Abi Sufyan. Sistem pos ini menghubungkan kota-kota pro-
pinsi dengan pemerintahan pusat. Para petugas pos mengen-
darai kuda dalam menjalankan tugasnya, khususnya tugas me-
nyampaikan informasi penting dari pemerintah pusat ke pe-
merintah proponsi.
sumber: Wikipedia
33
C. Khalifah al-Walid ibn Abdul Malik
34
3. Usaha-usaha khalifah Al-Walid ibn Abdul Malik
Setelah naik tahta pada tahun 86 H/705 M, banyak langkah
kebijakan yang dilakukan khalifah al-Walid, baik kebijakan dalam
negeri maupun luar negeri.
a. Perbaikan-perbaikan di dalam Negeri
1. Jaminan sosial bagi anak-anak Yatim dan penderita cacat.
Di antara usaha perbaikan di dalam negeri yang dilaku-
kan khalifah al-Walid adalah pemeliharaan anak-anak ya-
tim. Mereka diberi jaminan hidup dan fasilitas lainnya,
seperti pendidikan dan sebagainya. Selain pemberian ja-
minan sosial dan pendidikan bagi anak-anak yatim, kha-
lifah al-Walid juga melakukan kebijakan yang sangat
populer, yaitu memberikan perlindungan dan jaminan
khusus bagi para penderita cacat. Bagi para penderita
cacat, mereka disediakan pelayan khusus untuk memban-
tu aktifitas mereka sehari-hari. Bagi para penderita tuna
netra, disediakan penuntun khusus yang akan membim-
bing mereka ke mana mereka mau pergi. Para penuntun
dan penunjuk jalan ini digaji oleh pemerintah.
35
Sumber: Wikipedia
36
takan bersedia membayar pajak kepada pemerintahan pusat di Damas-
kus.
Selesai menaklukan Turkiskan, Qutaibah melanjutkan penakluk-
an ke wilayah Bukhara. Setelah melalui pertempuran kecil, Qutaibah
berhasil menguasi negeri Bukhara tersebut. Kemudian sekitar tahun
710 M, Qutaibah menyeberangi Selat Oxus dana berhasil mengalahkan
raja Khawarizm.
Ketika mendengar adanya gerakan pemberontakan di wilayah
Khurasan, ia kembali ke Khurasan dan berhasil mengatasi para pembe-
rontak yang ingin memisahkan diri dari pmerintahan diniasti Bani
Umayah. Selama lebih kurang dua tahun, Qutaibah berhasil menak-
lukan dan menguasai wilayah Timur lainnya. Sehingga seluruh kota di
wilayah Farghana dan perbatasan daratan Cina dapat dikuasainya dan
menjadi wilayah jajahan dinasti Bani Umayah. Kemudian pada tahun
714 M Qutaibah melakukan serangan ke negeri Cina-Turkistan dan
berhasil menguasai kota Yashgar. Namun setelah kematian khalifah al-
Walid pada tahun 96 H/715 M, wilayah ini melepaskan diri dari
pemerintahan dinasti Bani Umayah. Usaha merebut kota ini kemudian
dilanjutkan pada masa-masa pemerintahan Islam lainnya.
37
Penaklukan Spanyol merupakan peristiwa penting dalam per-
jalanan sejarah umat Islam, khususnya pada masa pemerintahan dinasti
Bani Umayah (661-750 M). Penaklukan Spanyol dapat dilakukan pada
masa pemerintahan khalifah al-Walid ibn Abdul Malik. Spanyol me-
rupakan wilayah bagian kerajaan Romawi. Ketika penguasa setempat
dikalahkan oleh pasukan Gothic, Spanyol memasuki periode pemerin-
tahan yang lalim dan korup. Para penguasanya menindas dengan ke-
jam masyarakat yang kebanyakan para petani. Para petani ini dibebani
dengan pajak yang sangat berat. Sementara kelas menengah-atas, yang
kebanyakan kaum bangsawan dan orang kaya, dibebaskan dari
berbagai pungutan pajak. Kaum budak benar-benar tertindas. Mereka
tidak memiliki kebebasan sama sekali. Bahkan mereka tidak diberi
kesempatan untuk melakukan pernikahan.
Sementara itu, para pemeluk agama Yahudi dipaksa untuk me-
meluk agama Kristen. Mereka yang melakukan perlawanan dan pem-
berontakan dibantai habis. Pendek kata, para penguasa ketika itu
sangat berindak di luar batas kemanusiaan. Para penguasa memak-
sakan kehendaknya untuk kepuasan pribadi. Masyarakat dibiarkan
menderita dan sengsara. Kenyataan ini sangat berbeda dengan kenya-
taan yang ada di wilayah-wilayah Islam.
Keberhasilan Roderick menguasai wilayah Spanyol membuat
dirinya berambisi untuk menguasai wilayah Afrika Utara. Sehingga
kepulauan Ceuta (Septah) yang dikuasai De Graft Julian dikuasai
Roderick. Terusirnya raja Julian dari wilayah Ceuta, membuat dirinya
tidak punya pilihan lain kecuali meminta bantuan kepada penguasa
Afrika Utara, yaitu gubernur Musa ibn Nushair. Julian meminta ban-
tuan kepada Musa ibn Nushair untuk mengusir Roderick dari wilayah
kekuasaannya. Permintaan itu disambut dengan baik oleh Musa ibn
Nushair. Tetapi sebelum ia melancarkan serangan guna membantu
Julian, Musa ibn Nushair meminta ijin kepad khalifah al-Walid ibn
Abdul Malik. Permohonan tersebut dikabulkan oleh khalifah al-Walid.
Sebelum melakukan serangan ke wilayah Spanyol, Musa ibn
Nushair terlebih dahulu mengutus orang kepercayaannya bernama
Tharif ibn Malik untuk menyelidiki keadaan di Spanyol. Penyelidikan
ini mendapat bentuan dari Julian berupa peminjaman kapal layar
untuk berlayar ke Spanyol. Dari hasil penyelidikan itu, Tharif membe-
rikan data dan informasi penting mengenai keadaan sebenarnya dan
dari daerah mana tentara Islam akan masuk.
Dari data dan informasi itu, Musa ibn Mushair mempersiapkan
pasukan sekitar 7.000 tentara untuk melakukan penyerangan ke Spa-
nyol. Untuk memimpin penyerangan itu, Musa ibn Nushair membe-
rikan keprcayaan kepada Thariq ibn Ziyad. Berbekal informasi dan
data yang diperoleh Tharif ibn Malik, akhirnya Thariq ibn Ziyad ber-
hasil memasuki wilayah benteng pertahanan Spanyol di sebuah selat,
38
yang kemudian selat ini dikenal dengan sebutan Selat Jabal Thariq atau
Giblaltar. Penaklukan ini terjadi pada tahun 711 M.
Dari selat Giblaltar ini, Thariq ibn Ziyad dan pasukannya me-
rangsek masuk ke wilayah kekuasaan Roderick di Spanyol. Roderick
terdesak hingga ke teibng sungai Guadalete. Karena terdesak, Roderick
mencerburkan diri ke sungai tersebut dan tewas. Setelah berhasil
mengalahkan Roderick, Thariq dan pasukannya menguasai Sidonia,
Carmona dan Granada.
Setelah berhasil menguasai wilayah tersebut, Thariq membawa
pasukannya untuk menguasai Cordova dan Toldo, ibu kota pemerintahan
Spanyol. Jadi dalam waktu yang singkat, Thariq ibn Ziyad dan pasu-
kannya berhasil dengan mudah menguasai Spanyol. Keberhasilan Tha-
riq ibn Ziyad menguasai Spanyol membangkitkan keinginan Musa ibn
Nushair mengunjungi wilayah itu. Karena itu, sekitar tahun 712 M,
Musa ibn Nushair membawa 18.000 pasukannya ke Spanyol dan men-
darat di wilayah itu pada bulan Juli 712. Dengan mudah Musa menak-
lukan wilayah Seville dan sejumlah kota kecil lainnya. Di dekat kota
Toledo, Musa ibn Nushair menjumpai Thariq ibn Ziyad. Pada kesem-
patan itu, Musa ibn Mushair memarahi Thariq yang tidak melaporkan
harta rampasan perang. Tetapi akhirnya keduanya mencapai kesepa-
katan untuk bekerjasama dan membentuk pasukan gabungan Islam gu-
na melancarkan serangan lebih jauh ke wilayah Spanyol lainnya. Pa-
sukan gabungan ini berhasil menguasai Sarragosa, Terragona, dan Bar-
celona. Setelah itu, pasukan Musa ibn Nushair mengerahkan pasukan-
nya untuk menaklukan wilayah Eropa lainnya.
39
Namun, sebelum ia berhasil menguasai Eropa, Musa ibn Nu-
shair dipanggil ke istana khalifah al-Walid. Sebab khalifah mendengar
adanya informasi mengenai perlakuan kasar yang dilakukan Musa
kepada Thariq. Khalifah memanggilnya untuk kembali dan menemui-
nya di Damaskus. Tetapi sebelum ia meninggalkan Spanyol, Musa ibn
Nushar menetapkan akanya yang bernama Abdul Aziz sebagai raja
muda di Spanyol. Abdullah sebagai gubernur Afrika Utara dan Abdul
Malik sebagai gubernur Maroko. Dengan membawa harta rampasan
yang banyak, Musa ibn Nushair pergi menuju Damaskus untuk menye-
rahkan harta rampasan tersebut. Namun sebelum Musa sampai di Da-
maskus, khalifah al-Walid meninggal dunia pada tahun 96 H/715 M.
Terlepas dari konflik antara Musa ibn Nushair dengan Thariq
ibn Ziyad, yang keberhasilan tentara Islam di bawah pimpinan Thariq
ibn Ziyad dan Musa ibn Nushair ini membawa citra bagi umat Islam.
Sebab penaklukan Spanyol membuka lembaran baru dalam perjalanan
sejarah politik militer umat Islam, khususnya pada masa dinasti Bani
Umayah (661 –750 M). Karena umat Islam telah membebaskan ma-
syarakat Spanyol dari kekejaman dan kelalimaman penguasa Roderick.
Jatuhnya Spanyol dan beberapa kota penting di negeri itu,
membuka jalan baru bagi upaya umat Islam untuk menyebarkan Islam
ke seluruh Eropa. Namun sayang, konflik intern kemudian menjadi pe-
nyebab utama kehancuran penguasa Islam di Spanyol dan menye-
babkan mereka terusir dari negeri itu ada tahun 1492 M.
40
D. Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
Umar ibn Abdul Aziz merupakan khalifah Bani Umayah ke-8. Ia
naik tahta pada tahun 99-101 H/717-720 M. Meskipun ia berkuasa tidak
lebih dari tiga tahun, namanya tercatat sebagai salah seorang khalifah
yang dikenang sepanjang masa karena kepribadian dan kebijakannya
yang pro rakyat dan keinginannya yang kuat untuk mengembangkan
ilmu agama Islam, ilmu-ilmu umum dan lain-lain. Di masanya inilah
terjadi usaha pembukuan hadis-hadis yang sebelumnya tidak dilaku-
kan secara sistematis. Inilah jasanya yang sangat monumental (berse-
jarah) yang patut dikenang. Untuk mengetahui siapa Umar ibn Abdul
Aziz sebenarnya, berikut uraian boiografi singkatnya.
41
Qur’an dengan Ubaidillah ibn Abdullah. Pendidikan ini dilaluinya
hingga menjelang dewasa.
Setelah ayahnya meninggal dunia, Umar ibn Abdul Aziz diminta
oleh khalifah Abdul Malik ibn Marwan untuk datang ke Damaskus. Di
kota inilah Umar ibn Abdul Aziz menikah dengan Fatimah, anak kha-
lifah Abdul Malik ibn Marwan. Dari kota inilah ia meniti karier poli-
tiknya sebagai pejabat penting pemerintahan. Sebab ketika al-Walid ibn
Abdul Malik menjadi khalifah, ia diberi kepercayaan untuk menjadi
gubernur di Hijaz, yakni Makah dan Madinah. Kariernya berjalan ba-
gus tanpa cacat sedikitpun. Tetapi karena difitnah oleh Hajjaj ibn Yusuf
yang menuduhnya melindungi para pemberonntak yang berasal dari
Irak, Umar ibn Abdul Aziz dipecat. Pemecatan ini tidak diambil pusing
oleh Umar ibn Abdul Aziz, karena memang ia sendiri tidak berambisi
untuk menjadi penguasa. Hal dapat dilihat dari pembicaraan Khalifah
Sulaiman ibn Abdul Malik dengan Raja ibn Haiwah. Ketika Khalifah
Sulaiman sakit, ia meminta pendapat Raja mengenai Umar ibn Abdul
Aziz. Siapakah yang patut ditunjuk untuk menjadi khalifah setelah
Khalifah Sulaiman. Khalifah Sulaiman memuji kepribadian dan sifat-
sifat yang dimiliki Umar ibn Abdul Aziz. Raja menganjurkan Khalifah
Sulaiman agar ia mengangkat Umar ibn Abdul Aziz sebagai penggan-
tinya kelak. Tetapi pembicaraan kedua orang itu didengar oleh Umar,
sehingga setelah Raja keluar, Umar meminta kepadanya untuk tidak
menyebut namanya bila Khalifah Sulaiman membicarakan peng-
gantinya. Permintaan itu diabaikan oleh Raja, bahkan Raja menipunya
dengan mengatakan apakah mengira keluarga Khalifah Sulaiman akan
mengikut sertakan engkau dalam masalah khilafah ini. Raja menga-
takan sekali lagi, tidak.
Mendengar jawaban ini Umar ibn Abdul Aziz senang dan ha-
tinya merasa tentram. Sebab ia tidak akan diajak untuk memikul beban
berat umat dengan menjadi khalifah. Dengan strategi yang diatur oleh
Khalifah Sulaiman dengan Raja ibn Haiwah, dibuatlah surat wasiat
siapa yang akan menjadi khalifah. Di dalam catatan itu disebutkan bah-
wa yang akan menggantikan kedudukan khalifah Sulaiman adalah
Umar ibn Abdul Aziz, dan meminta Yazid ibn Abdul Malik diminta
untuk menggantikan kedudukan khalifah Umar ibn Abdul Aziz kelak.
Setelah pembuatan surat itu, khalifah Sulaiman meninggal dunia
dengan tenang, karena ia telah memberikan kekuasaan kepada orang
yang paling tepat dn dapat dipercaya. Tetapi kematian khalifah Sulai-
man dirahasiakan oleh Raja ibn Haiwah, karena takut ada kepanikan.
Untuk menghilangkan kecemasan dan kepanikan itu, sekali lagi Raja
ibn Haiwah mengumumkan pengangkatan Umar ibn Abdul Aziz dan
meminta masyarakat melakukan bai’at sebagai buktin kesetiaan mereka
terhadap khalifah baru. Permintaan tersebut dipenuhi oleh masyarakat.
42
Dengan demikian, Umar ibn Abdul Aziz telah sah menjadi khalifah
pengganti Sulaiman ibn Abdul Malik.
Setelah Umar ibn Abdul Aziz tahu bahwa masyarakat telah me-
nyatakan sumpah setia kepadanya, ia berucap inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un. Kemudian keluar dan mengucapkan kalimat pendek. Hadirin
sekalian, aku telah dibebani tugas dan tanggungjawab yang sangat
berat tanpa terlebih dahulu meminta pendapatku. Jabatan ini bukan
pula atas permintaanku. Karena itu, aku membebaskan kalian dari
bai’at yang kalian telah lakukan. Pilihlah orang yang kalian paling
sukai untuk menjadi khalifah.
Akan tetapi baru saja ia turun dari mimbar. Tiba-tiba semua
yang hadir di situ secara serempak berkata: Kami memilih Anda. Ke-
mudian mereka mendatangi Umar ibn Abdul Aziz dan melakukan
bai’at kembali.
Dalam satu riwayat diceritakan bahwa setelah kembali ke ru-
mahnya, Umar ibn Abdul Aziz menangis sedih. Ketika itu khalifah
Umar ditanya oleh isterinya. Mengapa sedih? Jawab Umar. Aku telah
dipilih untuk mengurusi kepentingan umat Muhamad. Terbayang oleh-
ku, nasib masyarakat miskin yang kelaparan, orang-orang sakit yang
tersia-sia, gembel yang berpakaian compang camping, orang-orang
yang tertindas dan teraniaya, orang-orang asing dan tawanan perang
dan orang-orang tua yang sudah tidak mampu lagi bekerja. Aku tahu
Tuhan akan menanyaiku tentang mereka semua. Aku khawatir kalau
aku tidak dapat memikul semua beban itu. Itulah sebabnya aku
menangis.
Dari situlah mulai terjadi perubahan sikap dan gaya hidup Umar
ibn Abdul Aziz. Sebab sebelum ia menjadi khalifah, Umar ibn Abdul
Aziz termasuk orang yang suka kemewahan dan musik. Tetapi setelah
ia menjadi khalifah, semua itu ditinggalkannya. Bahkan harta yang di-
milikinya dipergunakan untuk kepentingan masyarakat umum. Semen-
tara ia sendiri hidup dalam kesederhanaan dan kesehajaan.
43
a. Menghapuskan kelas-kelas sosial antara muslim Arab dan
muslim non Arab.
44
Langkah ini diambil khalifah karena banyak tanah orang Kristen
yang sudah menjadi miliki orang-orang Islam. Sehingga banyak
umat Kristen tidak memiliki lahan untuk digarap. Hal ini
berakibat pada meningkatnya jumlah petani penggarap yang
tidak memiliki lahan sendiri.
45
penduduk Afrika Utara, termasuk bangsa Barbar yang suka
memberontak, menjadi muslim yang taat. Usahsa ini cukup
berhasil, karena kemudian bangsa Barbar masuk Islam dan men-
jadi muslim yang taat.
c. Membukukan hadis.
Jasa yang paling penting yang hingga saat ini menjadi ingatan
banyak orang adalah usahanya melakukan pembukuan hadis.
Usaha ini dilakukannya atas dasar pertimbangan bahwa banyak
ahli hadis yang gugur dalam berbagai medana pertempuran,
selain banyaknya hadis palu. Bila tidak dilakukan pembukuan
hadis, maka dikhawatirkan hadis akan hilang atau karena
banyaknya hadis palsu, sulit untuk menentukan mana yang
benar-benar dari Rasul dan mana yang bukan.
46
gubernur di daerah. Meskipun khalifah Umar belum sempat melihat
hasil kerja al-Zuhry karena ia keburu meninggal dunia, usaha yang
dilakukan al-Zuhry cukup berhasil.
Usaha pembukuan hadis terus dilakukan oleh para ulama dan
para khalifah Bani Umayah sesudah khalifah Umar ibn Abdul Aziz.
Kegiatan penulisan dan pembukuan hadis ini bersamaan dengan
pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu lainnya pada abad ke-2 H.
Karena itu, periode ini disebut dengan periode pembukuan hadis
(kodifikasi atau tadwinul hadis). Di antara ulama yang menghimpun hadis
pada abad ke-2 H adalah Ibnu Juraij (w.150 H) di Makah. Muhamad ibn
Ishak (w.151 H) di Madinah. Sa'id ibn Abi Urwah (w.156 H) di Basrah.
Sufyan al-Saury (w.161 H), di Kufah. Al-Awza'i ( w. 157 H), di Syria.
Usaha ini terus dilakukan pada masa- masa selanjutnya.
47
Oleh karena itu, pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayah
terdapat sistem organisasi politik yang cukup mapan. Organisasi itu
meliputi; jabatan khilafah, kepala negara; wizarah, kementerian, kitabah,
kesekretariatan, dan hijabah, pengawal pribadi khalifah. Kepala negara
disebut khalifah, yang memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan
jabatan-jabatan dan jalannya pemerintahan. Wizarah, memiliki tugas
dan fungsi membantu atau mewakili khalifah dalam melaksanakna
tugasnya sehari-hari. Sedang kitabah, atau sekretariat negara memiliki
tugas dan fungsi menjalankan hal-hal yang berkaitan dengan masalah
kesekretariatan negara, seperti mencatat dan melaporkan kegiatan-
kegiatan di istana, dan lain-lain. Sementara hijabah, memiliki tugas dan
fungsi dalam memberikan keamanan dan perlidungan kepada khalifah
dan keluarga istana dari berbagai kemungkinan buruk yang akan
menimpa. Kalau digambarkan seperti sekarang, hijabah ini sama
dengan pasukan pengawal pengamanan presiden (paspampres).
Untuk kelancaran pekerjaan pemerintah, dibentuk lembaga ad-
ministrasi negara, seperti diwanul kitabah, yang membawahi bidang-bi-
dang seperti, katib al-rasail, yaitu sekretaris bidang keuangan. Katibul
Jund, sekretaris militer. Katib al-syuhtah, sekretaris bidang kepolisian,
dan katib al-Qadhi, sekretaris bidang kehakiman.
48
b. Diwanul rasail, yaitu departeman pos dan persuratan yang
bertugas menyampaikan berita atau surat-menyurat dari dan
ke suluruh wilayah kekuasaan dinasti Bani Umayah.
c. Diwanul musytaghillat, yaitu departemen yang bertugas
menangani berbagai kepentingan umum.
d. Diwanul khatim, yaitu departemen yang bertugas menyimpan
berkas-berkas atau dokumen-dokumen penting negara.
49
membiayai pembangunan dan gaji para pegawai dan pejabat negara,
selain untuk kepentingan keluarga istana.
50
c. al-Nadhar filmadlami, yaitu mahkamah tinggi atau
mahkamah banding, semacam mahkamah agung di
Indonesia.
51
11. Asya Rabiah (w.85 H).
52
bangunan masjid yang ditutup atapnya dengan kubah. Selain itu,
Abdul Malik juga membangun masjid al-Aqsa yang tidak kalah tinggi
nilai seni arsitekturnya.
Sebuah masjid indah dengan gaya arsitaktur tiggi juga terdapat
di Damaskus yang dibangun oleh al-Walid ibn Abdul Aziz sebagai
masjid istana. Ruangan masjid ini dihiasi berbagai ornamen yang ter-
buat dari batu pualam (marmer) dengan bentuk mosaik yang indah.
Contoh tulisan kaligrafi Arab dari Persia Abad ke-11 M
Sumber: Wikipedia
53
tahuan agama yang berkembang adalah ilmu hadis, yang sudah dirintis
sejak masa Nabi Muhammad Saw. Di antara sahabat yang menulis
hadis adalah Abdullah ibn Abbas, Abu Hurairah dan Ali ibn Abi Thalib.
Tradisi ini terus dikembangkan pada masa-masa sesudahnya, seperti
yang dilakukan Basyir ibn Nahik dan Hammam ibn Munabbih. Keduanya
adalah murid Abu Hurairah.
Kemudian pada tahun 70 H pada masa pemerintahan khalifah
Abdul Malik ibn Marwan (65-86 H), tabi’in mulai memakai metode
athraf, yaitu menulis awal hadis sebagai petunjuk untuk menulis materi
hadis seluruhnya. Orang pertama yang melakukan ini adalah Ibnu
Sirin.Perkembangan periwayatan hadis semakin pesat pada masa
tabi’in dengan berkembangnya gerakan rihlah ilmiah, yaitu pengemba-
raan ilmiah yang dilakukan para muhadisin dari satu kota ke kota lain.
Mereka melakukan itu untuk mendapatkan suatu hadis dari sahabat
yang masih hidup dan tersebar di berbagai kota. Pencarian hadis ini
dilakukan oleh mereka hanya untuk membuktikan keaslian suatu
hadis. Usaha yang mereka lakukan ini menimbulkan suatu kajian hadis
yang kemudian berkembang menjadi ‘ulumul hadis.
Dalam perkembangan selanjutnya, kritik hadis dan upaya pen-
carian keaslian hadis dirasa tidaklah cukup. Karena itu, pada masa pe-
merintahan khalifah Umar ibn Abdul Aziz (99-102 H), dilakukan upaya
pembukuan hadis-hadis yang tersebar di berbagai tempat dan diba-
nyak naskah milik para para tabi’in. Untuk mewujudkan keinginan
tersebut, khalifah Umar ibn Abdul Aziz memerintahkan kepada para
gubernurnya dan para ulama terkemuka untuk mengumpulkan dan
membukukan hadis untuk disebarkan kepada masyarakat Islam. Kha-
lifah Umar ibn Abdul Aziz mengirim surat perintah kepada gubernur
Madinah bernama Abu Bakar ibn Muhamad ibn Amr ibn Hazm (wafat ta-
hun 117 H). Karena, selain gubernur, ia juga seorang ulama. Di antara
tugas yang diembannya adalah mengumpulkan hadis-hadis yang ada
pada Amrah ibnti Abdurrahman dan al-Qasim ibn Muhamad ibn Abi
Bakar. Karena Amrah adalah anak angkat Siti ‘Aisyah dan orang yang
paling dipercaya untuk menerima hadis dari Siti ‘Aisyah tersebut.
Selain itu, khalifah Umar ibn Abdul Aziz juga memerintahkan
Ibnu Syihab az-Zuhri (wafat tahun 124 H) dan ulama lainnya untuk
mengumpulkan, dan membukukan hadis yang ada pada mereka serta
mengirimkannya kepad khalifah. Bahkan khalifah Umar ibn Abdul
Aziz sendiri ikut terlibat di dalam mendiskusikan dan menghimpun
hadis-hadis. Az-Zuhri adalah seorang ulama terkemuka di Hijaz dan
Syria pada masa itu. Usaha itu cukup berhasil, dan telah meram-
pungkannya dengan baik, meskipun khalifah Umar ibn Abdul Aziz be-
lum melihat secara langsung hasilnya. Karena khalifah sangat percaya
dengan kemampuan dan keahlian mereka di bidang hadis.
54
Selain mengirim surat perintah kepada para gubernur, khalifah
Umar ibn Abdul Aziz juga memerintahkan Ibn Syihab az- Zuhri (wafat
tahun 124 H) dan ulama lainnya untuk mengumpulkan dan mem-
bukukan hadis yang ada pada mereka serta mengirimkannya kepad
khalifah. Bahkan khalifah Umar ibn Abdul Aziz sendiri ikut terlibat di
dalam mendiskusikan dan menghimpun hadis-hadis.
Usaha pembukuan hadis terus dilakukan setelah masa kepe-
mimpinan khalifah Umar ibn Abdul Aziz (102H). Di antara para ulama
yang terus berjuang mengumpulkan dan membukukan hadis adalah
Ibnu Juraij (wafat tahun 150 H), di Makah. Muhamad ibn Ishak (wafat
tahun 151 H) di Madinah. Said ibn Urwah (wafat tahun 156 H) di Bas-
rah. Sufyan As-Saury (wafat tahun 161 H) di Kufah dan al-Awza’i (wa-
fat tahun 157 H) di Syria.
Usaha pembukuan hadis ini kemudian melahirkan ilmuan hadis,
seperti:
a. Imam Bukhari (wafat tahun 256 H) karyanya adalah Shahih
Bukhari
b. Imam Muslim (wafat tahun 261H) karyanya adalah Shahih
Muslim.
c. Imam Nasa’i (wafat tahun 303 H) karyanya adalah Sunan
an-Nasa’i.
d. Imam Abu Dawud (wafat tahun 275 H) karyaya adalah
Sunan Abi Dawud.
e. Imam Turmudzi (wafat tahun 267 H) karyanya adalah
Sunan Turmudzi.
f. Imam Ibnu Majah (wafat tahun 273 H) karyanya adalah
Sunanibnu Majah.
Dari merekalah kemudian kita banyak memperoleh informasi
mengenai perkembangan ilmu hadis hingga kini. Mereka amat berjasa
di dalam upaya melestarikan hadis-hadis Nabi Muhamad Saw. Karya-
karya mereka menjadi bahan rujukan para ulama untuk mengambil
sebuah keputusan hukum Islam. Karena hadis merupakan sumber
hukum kedua setelah al-Qur’an.
2. ilmu tafsir
Tafsir merupakan salah satu ilmu agama Islam yang menda-
patkan perhatian serius dari umat Islam. Karena dengan mempelajari
ilmu tafsir, mereka akan mudah memahami makna-makna yang ter-
surat dan tersirat al-Qur’an. Ada satu riwayat yang yang diperoleh dari
Siti Aisyah bahwa Nabi Muhamad Saw tidak menafsirkan sesuatu
apapun dari al-Qur’an melainkan terhadap ayat-ayat yang telah diper-
siapkan maknanya oleh malaikat Jibril. Hal ini menunjukan bahwa
Rasulullah menjadi mufassir pertama mengenai ayat-ayat al-Qur’an,
55
meskipun semua makna mengenai ayat-ayat tersebut telah dipersiap-
kan oleh malaikat Jibril.
Dalam perkembangan selanjutnya, terutama ketika umat Islam
semakin majemuk dan tidak lagi hanya berasal dari kalangan bangsa
Arab, maka ada keperluan mendesak untuk memahami ayat-ayat al-
Qur’an. Karena itu, sebagian para sahabat terkemuka seperti ‘Ali ibn
Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Mas’ud dan Ubay ibn Ka’ab,
mulai menafsirkan al-Qur’an dengan bersandar atas apa yang mereka
dengar dari Rasulullah Saw, atau berdasarkan pada pemahaman yang
mereka terima. Mereka dianggap sebagai pendiri mazhab tafsir dalam
Islam. Langkah mereka kemudian diikuti oleh para tabi’in, seperti Sa’id
ibn Jubeir dan lain-lain.
Meskipun begitu, terdapat sahabat yang tidak mau melakukan
penafsiran terhadap al-Qur’an, seperti Umar ibn al-Khattab, yang tidak
mau melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Sikap se-
perti itu terjadi karena al-Qur’an dianggap sebagai kitab suci yang ti-
dak boleh dilakukan penafsiran. Mereka berpendapat bahwa pemba-
hasan dalam tafsir al-Qur’an merupakan sesuatu yang berada di luar
perintah agama.
Oleh karena itu, orang-orang taqwa pada masa pemerintahan
dinasti Bani Umayah menilai seputar tafsir dengan sikap seperti yang
dinyatakan oleh sebagian di antara mereka, seperti sikap yang ditun-
jukan oleh Syafiq ibn Salamah al-Asadi, seorang yang sejaman dengan
Ziyad ibn Abihi dan Hajjaj ibn Yusuf as-Tsaqafi. Apabila ia ditanya ten-
tang suatu ayat dari al-Qur’an, ia hanya menjawab: “Allah Maha Benar
dengan yang Dia maksud. Maksud dari jawaban ini adalah bahwa ia ti-
dak berkeinginan untuk membahas makna dari ayat yang ditanyakan
kepadanya.
Kemudian Ubaidah ibn Qays al-Kufi ketika ditanya mengenai se-
bab-sebab turunnya beberapa ayat al-Qur’an, ia hanya menjawab:”
Kamu harus bertaqwa kepada Allah dan memohon petunjuk. Sungguh
orang-orang yang mengetahui tentang diturunkannya al-Qur’an telah
berlalu. Hal ini juga menunjukan bahwa ia tidak mau membahas
mengenai pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Pada masa pemerintahan dinasti bani Umayah terdapat salah
seorang ahli tafsir bernama Sa’id ibn Jubeir (wafat tahun 95 H) diminta
untuk menafsirkan beberapa ayat al-Qur’an. Tetapi ia tidak mau mela-
kukannya, bahkan ia lebih memilih kehilangan salah satu anggota tu-
buhnya daripada harus menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang diminta.
Dalam hal ini Sa’id berkata: “Sungguh bagiku kehilangan sebahagian
anggota tubuhku lebih baik dari pada aku harus melakukan hal itu.
56
Hukum Islam atau fiqih di jaman awal Islam hingga masa al-
khulafa al-rasyidin dibangun melalui proses ijtihad. Meskipun demikian,
pada saat itu belum dibentuk dasar ijtihad dan pembukuan pedoman
pokok dalam berijtihad. Dasar dan pedoman pokok yang telah dibu-
kukan itu kemudian disebut ilmu ushulul fiqih. Ilmu ini tidak lepas dari
dasar iman, sehingga ilmu ushulul fiqih ini tidak dapat dipisahkan dari
ilmu Islam lainnya, seperti ilmu kalam, ilmu bahasa Arab dan konsep
hukum syari’at itu sendiri.
Tradisi ilmiah Rasulullah Saw dan al-khulafa al-rasyidun terus
berlangsung pada jaman sahabat. Para fuqaha diutus ke negeri yang
telah menganut Islam. Di jaman Nabi Muhamas Saw, ulama dan fuqaha
dari kalangan sahabat di utus ke negeri Yaman, Bahrain, dan Mekah.
Rujukan ijtihad mengacu pada pernyataan seorang faqih pada jaman
Rasulullah Saw, yang bernama Mu’adz ibn Jabal, ketika ia diutus oleh
Nabi Muhamad ke negeri Yaman. Ia akan menggunakan nalarnya di
dalam memutuskan perkara jika tidak terdapat rujukan dalam al-
Qur’an dan hadis. Dari sinilah kemudian berkembang konsep ijtihad
hukum (fiqh) yang melahirkan fuqaha kenamaan, di antaranya adalah
Ibnu Mas’ud, Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Umar, dan Abdullah ibn Abbas.
Gejala terpenting pada paruh kedua abad pertama hijriah di-
tandai dengan semakin memuncaknya perbedaan pendapat para fu-
qaha Hijaz dengan Irak hal pengambilan ra’yu sebagai argumen. Para
fuqaha Hijaz berpegang pada atsar (ketetapan hukum yang pernah di-
lakukan oleh para sahabat) sebagai argumentasi hukum. Mereka tidak
memiliki kecenderungan menitikberatkan pada penggunaan ra’yu. Se-
baliknya, para fuqaha Irak lebih cenderung menitikberatkan penggu-
naan ra’yu. Kelompok pertama menganggap bahwa kelompok kedua
mengabaikan sunnah dan lebih mengutamakan ra’yu. Sementara itu,
kelompok kedua menganggap bahwa kelompok pertama menganut
pemikiran jumud, yaitu pemikiran kolot dan tradisional.
Aktivitas keilmuan terus dilakukan oleh para tabi’ittabi’in. Kare-
na mereka adalah murid-murid para tabi’in. Pengambilan dasar hukum
yang mereka lakukan didasari atas metodologi para pemikir pendahu-
lunya. Fuqaha terkenal generasi ini adalah Abu Hanifah, Ibnu Laili (Ku-
fah) Ibnu Juraij (Mekah) Malik serta Ibnu al-Mahisyun (Madinah) Usman
al-Buti serta Sawar ( Basra), al-Auza’i (Syam) dan Laits (Mesir). Masalah
ijtihad pemikir ahli fiqih generasi ini terkadang tidak terdapat di ling-
kungan negeri mereka, tetapi terdapat di negri lainnya. Dalam hal
hukumnya, langkah metodologis ijtihad dan istinbath diwarisi dari pe-
mikir fiqih sebelumnya.
Oleh karena itu, secara umum bila mereka menjumpai hadis
yang bertentangan, mereka akan merujuk kepada pendapat para saha-
bat kemudian tabi’in. jika pendapat para sahabat dan tabi’in berbeda
dalam suatu masalah, mereka memilih pendapat pemikir fiqih nege-
57
rinya masing-masing. Imam Malik lebih mendahulukan mazhab Umar,
Usman, Ibnu Umar, Aisyah, ibnu Abbas, Zaid ibn Sabit, dan muridnya se-
perti Sa’id ibn Musayyab (wafat tahun 94 H/713 M). Mereka meng-
anggap para pemikir fiqih tersebut sebagai yang paling tepat untuk
diikuti.
Adapun Imam Abu Hanifah lebih mendahulukan mazhab Abdullah
ibn Mas’ud dan muridnya, atau keputusan Ali ibn Abi Thalib, Syuraih ibn
Haris al-Qadi, as-Sya’bi, dan fatwa Ibrahim an-Nakha’i, karena pendapat
pemikir fiqh tersebut dianggap tepat untuk negeri Kufah.
58
Ilmu ini juga mengalami perkembangan yang cukup baik pada
masa ini. Salah seorang sejarawan yang telah berhasil mencatat berba-
gai peristiwa sejarah yang terjadi pasa masa pemerintahan sebelumnya
dan masa pemerintahan dinasti Bani Umayah adalah ubaid ibn Syaryah
al-Jurhumi. Ia diperintah oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan untuk menulis
buku sejarah masa lalu dan masa Bani Umayah. Di antara karyanya
adalah Kitab al-Muluk wal akhbar al-Madhi (Buku catatan sejarah raja-raja
masa lalu). Selain Ubaid ibn Syaryah al-Jurhumi, terdapat sejarawan lain,
yaitu Shuhara Abdi, yang menulis buku kitabul amsal.
2. Ilmu kedokteran.
Ilmu ini belum mengalami kemajuan berarti pada masa peme-
rintahan dinasti Bani Umayah. Tetapi pada masa pemerintahan al-
Walid ibn Abdul Malik telah terjadi perkembangan yang cukup baik
dalam bidang ilmu kedokteran, karena pada tahun 88 H/706 M, ia
telah berhasil mendirikan sekolah tinggi kedokteran. Al-Walid meme-
rintahkan kepada para dokter untuk melakukan berbagai kegiatan riset
dengan anggaran yang cukup. Para dokter yang bertugas di lembaga
tersebut digaji oleh negara. Al-Walid melarang para penderita penyakit
kusta menjadi pengemis di jalan-jalan. Untuk itu, bahkan khalifah telah
menyediakan dana khusus bagi para penderita penyakit kusta.
Untuk pengembangan ilmu kedokteran ini, khalifah Bani Uma-
yah meminta bantuan kepada para dokter yang ada di Jundisaphur, Per-
sia, untuk membantu pengembangn ilmu kedokteran ini. Di lembaga
inilah kemudian al-Haris ibn Kildah dan puteranya, An-Nazhar meraih
ilmu kedokteran. Setelah itu banyak ahli kedokteran menjadi dokter
pribadi khalifah yang bekerja di istana khalifah. Di antara dokter istana
yang dipercaya untuk menjadi dokter pribadi khalifah adalah Atsal,
seorang Nasrani, Hakam al-Dimisyqi, dan lain-lain.
59
kedudukan ayahnya sebagai khalifah. Sistem penunjukkan ini menan-
dai era baru dalam sistem pemilihan kepemimpinan Islam.
Sistem pemerintahan yang bersifat monarchi herediteis yang dite-
rapkan pada masa awal pemerintahan Mu’awiyah, berimplikasi pada
perkembangan sistem politik pemerintahan sesudahnya. Sebab para
khalifah Bani Umayah sesudahnya tetap teus mempertahankan sistem
tersebut dengan mengabaikan cara-cara demokratis seperti yang per-
nah diterapkan pada masa pemerintahan khuafaurrasyidin. Meskipun
banyak pihak yang tidak setuju atas sistem yang diterapkan Mu’awi-
yah, ia tetap pada pendirian bahwa ia akan terus menjalankan peme-
rintahan dengan sistem kerajaan yang diterapkannya. Mu’awiyah ibn
Abi Sufyan atas anjuran al-Mughirah ibn Syu’bah agar pemerintahan
Bani Umayah tetap langgeng, maka Mu’awiyah harus merubah sistem
pemilihan khalifah. Al-Mughirah mengusulkan agar Mu’awiyah meng-
angkat Yazid ibn Mu’awiyah sbagai penggantinya kelak, seperti yang
diterapkan oleha para raja di Persia dan Romawi Timur.
Demi menjaga kelangsungan kekuaaan dan stabilitas sosial po-
litik, akhirnya Mu’awiyah menyetujui saran dan usul gubernur Kufah
ini yang sejatinya akan dicopot. Menurut al-Mughirah, belajar dari
pengalaman masa lalu bahwa penggantian umat Islam dengan pemi-
lihan secara langsung banyak mengandung risiko. Risikonya antara
lain, terjadi pertumpahan darah yang berdampak pada ketidakstabilan
negara. Bila negara dalam keadaan seperti itu, maka akan mudah
dihancurkan.
Oleh karena itu, masyarakat yang tidak setuju atas sistem baru
yang diterapkan dalam pemilihan kepala pemerintahan atau khalifah,
akan dihadapi oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan dengan cara-cara ke-
kerasan. Bahkan tak segan ia mengancam akan membunuh siapa saja
yang menolak atas pengangkatan Yazid sebagai putera mahkota yang
akan menggantikan kedudukannya kelak. Cara-cara kekerasan inilah
yang diterapkan Mu’awiyah dalam mengatasi lawan politiknya yang
tidak setuju atas berbagai kebijakan yang dikeluarkannya.
Dalam hal ini, banyak sejarawan menyatakan bahwa meskipun
Mu’awiyah tetap mempertahankan gelar khalifah, tetapi dalam men-
jalankan politik pemerintahannya ternyata ia lebih mengacu pada sis-
tem pemerintahan kerajaan atau monarchi. Hal ini ditandai dengan
kuatnya pengaruh khalifah dalam segala hal, bahkan Mu’awiyah sen-
diri pernah menyatakan dirinya sebagai raja pertama dari raja-raja
Arab.
Pernyataan ini menandakan adanya perubahan sistem kepemim-
pinan politik dan pemerintahan. Sistem yang akan diterapkan Mu’a-
wiyah dalam menjalankan pemerintahan adalah sistem kerajaan, bukan
sistem syura, seperti yang pernah diterapkan dalam masa-masa peme-
rintahan al-khulafa al-rasyidin. Dengan demikian, sistem pemerintahan
60
yang ada pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayah merupakan
sistem pemerintahan monarchi heredities yang absolut. Sebab kewe-
nangan ada pada diri sang khalifah. Setiap kebijakan yang dikeluar-
kannya tidak dapat ditentang, sebab ia adalah raja, bahkan ia menya-
takan dirinya bagai bayang-bayang tuhan di muka bumi.
Setelah Mu’awiyah berkuasa, ia melakukan beberapa perom-
bakan besar-besaran dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan.
Mu’awiyah mendirikan lembaga-lembaga politik yang bertujuan untuk
mempermudah pelaksanaan program pemerintahan, di antara lembaga
negara yang dibentuknya adalah al-nidlam al-siyasi. Lembaga ini me-
miliki tugas untuk mengkaji masalah jabatan khalifah. Selain itu, di-
bentuk pula lembaga kementerian (wizarah), yang bertugas menangani
masalah-masalah yang ada di departemen-departeman. Di samping itu,
dibentuk pula lembaga kesekretariatan negara (kitabah), dan lembaga
keamanan pribadi khalifah (hijabah). Lembaga ini bertugas menjaga
keamanan diri dan keluarga khalifah dari berbagai kemungkinan
negatif yang datang dari pihak luar. Sistem hijabah ini ternyata cukup
efektif untuk menangkal berbagai kemungkinan datangnya serangan
ke dalam istana dan keluarga khalifah.
Berbagai lembaga negara yang dibentuk pemerintahan dinasti
Bani Umayah, merupakan hal baru dalam sistem pemerintahan Islam,
karena tidak pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya, terutama
pada masa pemerintahan al-khulafa al-rasyidin. Dengan pembentukan
lembaga-lembaga ini, para khalifah dinasti Bani Umayah dapat menja-
lankan pemerintahan dengan efektif dan menimbulkan dampak positif
dalam perkembangan peradaban Islam pada masa itu.
61
wazirnya. Konon dalam beberapa catatan sejarah diketahui bahwa Zaid
ibn Abihi adalah saudara Mu’awiyah. Ia terlahir dari seorang ibu yang
pernah dinikahi ayahnya, yaitu Abu Sufyan. Kelebihan yang terdapat
di dalam diri Zaid inilah yang dimanfaatkan oleh Mu’awiyah untuk
membantunya dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul
pada masa-masa awal pemerintahannya. Pada masa pemerintahan
khalifah Ali ibn Abi Thalib, Zaid ibn Abihi pengikut Ali dan pernah
menjadi salah seorang gubernur. Sejak Mu’awiyah berkuasa, ia
bekerjasama untuk membangun kerajaan Bani Umayah.
62
diri dari para pakar atau para ahli di bidang masing-masing yang
dibutuhkan pemerintahan dinasti Bani Umayah. Lembaga ini memiliki
tugas untuk melakukan kajian atas berbagai persoalan yang di hadapi
pemerintah, dan mencari solusi terbaik untuk memecahkan berbagai
problem yang dihadapi pemerintah; seperti probem sosial, politik,
ekonomi, kebudayaan, pertahanan dan keamanan, serta problem-prob-
lem lain. Hasil kajian mereka kemudian dijadikan rumusan sebagai
bahan pembuatan kebijakan pemerintah dinasti Bani Umayah. Apapun
hasil temuan dan rumusan mereka, keputusan terakhir ada di tangan
khalifah. Khalifahlah yang menentukan apakah hasil temuan dan
rumusan mereka akan diterima atau ditolak. Itulah sistem monarchi
absolute yang diberlakukan oleh pemerintahan dinasti Bani Umayah.
Pembentukan dan keredaan kelembagan ini hanya merupakan bentuk
akomodasi dari aspirasi umat Islam dan masyarakat yang adai di ba-
wah kekuasaannya. Hal itu hanya untuk menciptakan citra positif
pemerintahan dinasti Bani Umayah di masyarakat, agar tidak terkesan
otoriter dan absolut.
Sedang Qadli al-Qudlat atau kelembagaan kehakiman yang
terdiri dari para ahli hukum Islam dan hukum ketatanegaraan,
memiliki tugas, fungsi dan wewenang untuk membantu khalifah dalam
membuat keputusan hukum dalam pemerintahan. Para pakar yang
duduk di lembaga ini melakukan kajian hukum-hukum dan bebagai
perkara yang ada di masyarakat, kemudian menyelesaikannya sesuai
perkara yang ada. Hasil pemikiran dan konsep-konsep hukum dise-
rahkan kepada khalifah. Setelah hasilnya diserahkan kepada khalifah,
keputusan untuk menerapkan atau menolaknya, tetap ada di tangan
khalifah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ketiga lembaga terse-
but di atas telah memiliki tugas, fungsi dan wewenang sendiri di dalam
menjalankan program-program kelembagaannya. Tetapi, apapun hasil
dan konsep yang dibuat oleh masing-masing lembaga, keputusan ter-
akhir tetap berada di tangan khalifah.keberadaan lembaga-lembaga ini
hanya untuk membantu pemenerintah dinasti Bani Umayah untuk
membantu meringankan pekerjaan khalifah dan jajarannya dalam men-
jalankan roda pemerintahan.
63
1. Departemen perpajakan (diwanul kharraj). Departemen ini
bertugas mengatur dan mengelola administrasi pajak tanah
di daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan dinasti
Bani Umayah.
2. Departemen pos dan perhubungan (diwanul rasail).
Departemen ini bertugas menyampaikan berita atau
informasi dan surat-surat dari dan ke daerah-daerah
kekuasaan dinasti Bani Umayah.
3. Departemen pekerjaan umum (diwanulmusytaghillat).
Departemen ini bertugas menangani berbagai kepentingan
umum masyarakat.
4. Departemen kearsipan (diwanul khatim). Departemen ini
bertugas menyimpan berbagai dokumen penting negara
yang telah selesai diproses. Lembaga ini sangat penfing,
selain karena menyimpan arsip-arsip, juga mengurus surat-
surat lamaran khalifah, menyiarkannya, menyetempel deng-
an cara dibungkus dengan kain, kemudian dibalut dengan
lilin, kemudian distempel pada bagian atasnya.
64
Ada hal yang menarik yang terjadi pada masa pemerintahan di-
nasti Bani Umayah, yaitu pembentukan pengawal khlaifah yang
disebut hijabah. Bentuk pengawalan ini diterapkan oleh Mu’awiyah ibn
Abi Sufyan sebelum ia menjadi khalifah, yaitu semasa ia menjabat
sebagai gubernur di Damaskus. Pembentukan pasukan pengawal
pribadi khalifah ini bertujuan untuk memberikan perlindungan dan
keselamatan sang khalifah dari berbagai kemungkinan buru yang akan
menimpa diri khalifah. Pembentukan lembaga ini merupakan sesuatu
yang baru, karena lembaga ini belum pernah ada pada masa
pemerintahan khulafaurrasyidin, apa lagi diterapkan. Karena pada masa
itu semua orang percaya atas keamanan diri khalifah, meskipun banyak
ketiga orang khalifah meninggal dengan cara mengenaskan karena
tidak mendapat pengawalam ketat dari para sahabat lainnya.
65
Yusuf al-Saqafi, berhasil menaklukkan wilayah India di bawah
komandan pasukan Muhamad ibn Qasim. Sementara wilayah Asia
Tengah, kekuatan Islam di bawah komandan pasukan Qutaibah ibn
Muslim al-Bahili, berhasil memasuki wilayah Transoxania dan wilayah
Asia Tengah lainnya, seperti Azerbeijan, Sijikstan, Balkh, Bukhara dan
lain-lain.
Keberhasilan pasukan militer dinasti Bani Umayah dalam me-
nakalukkan wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan dinasti Bani
Umayah ini, menunjukkan kehebatan militer Islam. Keberhasilan ini
tentu saja hasil strategi petinggi Bani Umayah dan petinggi militernya
yang melakukan pembaharuan dalam bidang kemiliteran. Mereka
banyak belajar dari pengalaman bertempur selama mereka melakukan
penyebaran dan perluasan wilayah kekuasaan di luar jazirah Arabia.
Bagaimana mengaturn strategi perang dan membangun kekuatan mi-
liter yang tangguh. Selain itu, para panglima perang juga melakukan
pembenahan dan peningkatan mutu alat tempur dengan membuat per-
alatan tempur sendiri. Untuk keperluan itu, para khalifah bani Uma-
yah, khususnya khalifah al-Walid ibn Abdul Malik membangun pabrik-
pabrik senjata, seperti yang dibangun di wilayan Afrika Utara. Pem-
banguan kapal perang di teluk Raudlah di laut tengah, mempermudah
pasukan untuk menaklukkan negara-negara yang berada dekat di laut
tengah.
Banyaknya pengalaman bertempur, menambah wawasan penge-
tahuan dan keterampilan para panglima perang dalam usaha mem-
perbaiki sistem pertahanan. Strategi dan kekuatan bersenjata Bani
Umayah semula hanya memiliki dua strategi dan formasi kekuatan
perang, yaitu kekuatan belakang dan kekuatan depan. Dari formasi itu
kemudian dikembangkan menjadi lima barisan. Pasukan barisan inti
atau tengah, disebut qalbuljaisyi, barisan kanan disebut al-maimanah,
barisan kiri disebut al-maisarah, barisan depan disebut al-muqaddimah,
dan barisan belakang disebut saqahal-jaisyi.
Perkembangan sistem pertahanan ini merupakan keberhasilan
pemerintah dinasti Bani Umayah dalam mengembangkan formasi
pasukan. Sehingga sistem pertahanan militer semakin tangguh. Dengan
kekuatan dan strategi ini, pasukan dinasti Bani Umayah mampu
menguasai seluruh wilayah yang ada di jazirah Arabia, Afrika Utara,
Asia Tengah dan Asia Selatan hingga Eropa.
Pasukan pengintai atau talailah yang dibentuk pemerintah Bani
Umayah ternyata cukup efektif untuk mengintai kekuatan musuh.
Salah seorang panglima intelejen yang dikirim untuk memata matai
pasukan dan kekuatan musuh adalah Tharif ibn Malik. Ia bekerjasama
dengan De Graff Julian berhasil menyelinap ke wilayah Andalusia untuk
mencari berbagai informasi mengenai kekuatan yang dimiliki raja
Roderick yang berkuasa ketika itu. Setelah ia berhasil mengumpulkan
66
berbagai informasi, barulah dikirim pasukan di bawah komando Thariq
ibn Ziyad, yang kemudian mendarat di sebuah selat yang kemudian
dikenal dengan sebutan Jabal Thariq atau Jiblaltar. Keberhasilan Thariq
ibn Ziyad mendarat dan menaklukkan Andalusia membuktikan
kehebatan militer Bani Umayah.
Gambar Peta Wilayah Kekuasaan Islam
pada masa Bani Umayah
67