Anda di halaman 1dari 24

Dinasti Umayyah 

Polemik politik Pada Zaman Dinasti Umayyah


Disusun oleh:
Cayapata Purnama Abyudaya
Renita Ramdhani
UniversitasMuhammadiyah Malang
Cayapata82@gmail.com
Renitaramdhani1@gmail.com

Pendahuluan

Pembentukan Dinasti Ummayah muncul setelah bersatunya umat islam atau lebih
dikenal dengan sebutan “tahun persatuan”, Mu’awiyyah bin Abu Sufyan yang merupakan
khalifah yang pertama dari Bani Umayyah serta sebagai pendirinya setelah masa Hasan bin
Ali bin Thalib dari jabatannya sebagai khalifah. 
Penaklukan kota mekah terjadi ketika Mu’awiyyah masuk kedalam Islam sebelum
Ayahnya yang bernama Abu Sufyan. Mu’wiyyah digambarkan bertubuh tinggi, bekulit putih,
gagah dan sangat bossy. Pada masa pembangunan Dinasti Umayyah, Mu’awiyyah
menerapkan sistem pemerintahan yang beda saat masa pemerintahan Khulafa‟ al-Rasydin. 
Sistem pemerintahan Bani Ummayah tidak dilandasi oleh asas musyawarah, namun
beralih ke sistem monarki. Masa periode kepemimpinan Khalifah Rasyid mendapat petunjuk
yang bermula dari Abu Bakar sampai Ali binAbi Thalib, yang mana memiliki ciri yang
sangat mencolok yaitu khalifaj sangat meneladani sikap serta perilaku Nabi Muhammad.
Setelah periode ini pemerintahan islah berbentuk kerajaan, yang mana kekuasaan akan
diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya sesuai degan garis
keturunan. Para pemimpi Bani Umayyah saat menjalankan pemerintahanya seringkali
bertindak otoriter, tetapi Dinasti Bani Umayyah sudah banyak membawa dampak perubahan
untuk kemajuan islam, serta memperluas wilayah islam melalui berbagai ekspansi yang
dilakukan oleh kaum Bani Umayyah.
Berbagai sejarah, banyak ditemukan berbagai pendapat negatif tentang dinasti ini,
yang paling utama pada sosok Mu’awiyyah bin Abi Sofyan seorang pendiri dan khalifah
pertama serta tentang bagaimana Dinasti Bani Umayyah ini berdiri. Namun beberapa ahli
sejarah juga menggambarkan secara berimbang tentang masa kekhalifahan tersebut, sehingga
tidak dipungkiri bahwa dinasti Bani Umayyah melanjutkan peradaban islah setelah masa
pemerintahan Khulafa-Rasyidin.
Walaupun pada walnya dinasti Bani Umayyah kurang memperoleh simpatik karena
terbentuk berlandasrkan konflik serta terjadinya tipu daya yang dilakukan oleh Mu’awiyyah
yang merupakan pendiri dinasti ini Bersama Khalifah Ali bin Abi Thalib, serta juga karena
terdapat kebijakan perubahan sistem pemilihan khalifah, yang mulanya memakai sistem
demokratis beralih menjadi sistem monarki. Namun, khalifah-khalifah dinasti Bani Umayyah
tersebut banyak melakukan pertolongan yang mampu membangtu pencapaian pembangunan
di berbagai bidang sehingga masyarakat melupakan peristiwa perang saudara serta sejarah
berdarah sebagai latar belakang landasan berdirinya Dinasti Umayyah.
Dari banyaknya keberhasilan yang telah dicapau dalam berbagai bidang dinasti politik
dan ilmu pengetahuan. Pertama dibidang politik, Dinasti Umayyah ialah dinasti yang pertama
kali membuat Lembaga-lembaga politik seperti hukum pemerintahan, dewan Menteri,
secretariat negara, giro dan membentuk penasihat khusus. Pada masa dinasti ini juga
terbentuk sistem pemerintahan baru dan ketatanegaraan yang semakin kompleks.
Pada bidang sains, Dinasti Umayyah yang pertama kali mengembangkan sains dan
memulai aktivitas penerjemah sejarah islam, maka inilah penyebab megapa periode ini
merupakan masa keemasan Islam setelah masa Khulafa al-Rasyidin.. Dinasti Umayyah
memerintah selama 90 tahun, Tidak cukup jika menjaelaskan secara rinci tentang masalah
yang bersangkutang dengan Dinasti Umayyah pada sebuah catatan singkat, serta
membutuhkan banyak refrensi dan kemampuan dari peneliti. Bersangkutan pada hal etrsebut,
maka penulis membatasi objek penelitian atau pembahasan pada masaah ini dibangun dalam
bentuk rumusan masalah sebagai berikut : 1. Awal mula Dinasti Umayyah, 2. Bagiamana
perkembangan politik Dinasti Umayyah, dan 3. Bagaimana perkembangan ilmu penegtahuan
pada masa Umayyah. Berdasarkan urian diatas, untuk mencapai tujuan yang telah diharapkan
pad apenulisan artikel ini, maka perlu dideskripsikan polemic situasi politik dan pemerintah
di bawah Dinasti Umayyah.
Pembahasan
Awal Pembentukan Dinasti Umayyah 
Setelah meninggalnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, maka jabatannya digantikan dan
diambil alih oleh putranya yaitu Hasan. Hasan menjadi master setelah meninggalnya ayahnya
ketika pembantaian oleh orang-orang Kufah di Irak, sebelah barat sungai Fufrat dan mereka
tinggal disana selama enam bulan.
Pada suatu hari Mu’awiyyah bin Abi Sufya mendatangi Hasan untuk merundingkan,
agar Hasan menyutujui untuk menyerahkan kekuasaan Khalifah kepadanya dengan satu
syarat, bahwa tidak ada yang bisa menuntutnua, bahkan orang-orang Medina, Hijaz dan Irak.
Pada masa ayahnya ada masalah dimana Ali bin Abi Thalib melepaskan semua
hutangnya dan Mu'awiyyah menerimanya seperti yang diinginkan Hasan dan akhirnya
membuat kesepakatan damai. Dengan demikian, perjanjian damai ditandatangani antara
kedua belah pihak. Kesepakatan ini akhirnya mampu menyatukan Islam ke arah politik, yaitu
di bawah kepemimpinan Mu'awiyyah bin Abi Sufyan. Di sisi lain, kesepakatan ini juga
menjadikan Mu'awiyyah sebagai penguasa mutlak dalam sejarah pemerintahan Islam. Tempat
tersebut pada tahun 41 H/661 M atau dalam sejarah dikenal dengan “tahun persatuan” atau
tahun persatuan.
Selain itu, tahun penyatuan ini juga menandai berakhirnya era Khulafahal Rasyidun
dan awal pemerintahan kerajaan, terutama dengan dimulainya masa kekuasaan Dinasi
Umayyah dalam sejarah politik islam. As-Suyuti seorang pemikir islam menyatakan tentang
peristiwa itu yang meruapkan perwujudan dari my’jizat nabawiyyah dalam sebuah hasil
dikatakan “Allah SWT akan mendamaikan dua kelompok yang melakukan pertikaian
dikalangan muslim”. Hasan Ali bin Abi Thalib R.A turun sebagai khalifaj pada 41 H di bulan
Rabi’ul awal. Lalu Sebagian berpendapat menyebutkan bahwa Jumadil Awal sebagai
penghindaran dari pertikaian yang sedang terjadi dalam pemerintah islam. Hasan
meninggalkan kota Kuffah menuju Madinnah dan tinggal di kota itu hingga ia wafat karena
diracuni oleh istrinya sendiri yaitu Ja’dah binti Asy’ast bin Qaish yang kemudian diperistri
oleh Yazid bin Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan wafat pada tahun 49 H atau 5 Rabi;ul awal
50 H.
Mu`awiyyah bin Abi Sufyan sebagai janda permaisuri atau kepala dinasti Umayyah
pertama mendirikan pemerintahannya sebagai sistem kerajaan di mana kekuasaan diwariskan
dari generasi ke generasi dan raja-raja berikutnya selalu sewenang-wenang. Mu`awiyyah
adalah anak dari pasangan Sufyan bin Harb dan Hindun binti Utbah bin Rabi`ah, ia adalah
sahabat Rasullah Saw. Ayahnya adalah seorang bangsawan dan sosok orang Quraisy yang
tertindas oleh kebodohan, seorang pemimpin yang disegani, dimuliakan, dan kaya akan harta
Mu'awiyyah adalah salah satu dari sekian banyak sahabat yang akhirnya menjadi
pencatat wahyu. Beliau pernah meminta Rasulullah untuk menikahi sang putrinya yaitu
Azzah binti Abi Sufyan, tetapi hal tesebut tidak tejadi. Ketika wilayah Syam ditaklukkan,
Khaliffah Umar mengangkat Mu’awiyyah sebagai tutor atau gubernur kota Damaskus,
setelah Yazid bin Abi Sufyan dan dilanjutkan pada masa Kekhalifahan Usman bin Affan,
bahkan dalam waktu ini wilayahnya telah diperluas. Pada akhirnya, Mu'awiyyah berhasil
membangun pusat pemerintahan di kota Damaskus dan memerintah selama kurang lebih 40
tahun.
Namun, ketika Khalifah Usman dibunuh, penggantinya Ali bin Abi Thalib memberi
isyarat agar Mu'awiyyah dan pejabat lain yang terlibat dalam pembunuhan Khalifah Usman
mengundurkan diri. Meskipun Mu'awiyyah dipecat dan akhirnya mengundurkan diri sebagai
gubernur Syam, rakyat Syam selalu berpihak padanya dan mendukungnya. Bahkan kaum
Syam menentang Khalifa Ali bin Abi Thalib.
Mu'awiyyah mengatakan dia tidak akan menjadikan Ali bin Abi Khalifah Thalib
sampai orang-orang yang membunuh Khalifah Utsman diserahkan. Mu'awiyyah mengklaim
bahwa Usman dibunuh secara tidak adil, setelah pertempuran Shiffin terjadi ketika keputusan
diserahkan secara hukum oleh agen Ali Abu Musa al-Asy'ari dan wakilnya.Wakil
Mu'awiyyah menunjuk Amr bin Ash untuk tampil. di luar perundingan yaitu yang merugikan
golongan Ali bin Abi Thalib karena Mu'awiyyah yang menolak kesepakatan yang dicapai.
Akibatnya, perselisihan memanas dan menyebabkan beberapa kelompok membentuk
kelompok ketiga, bagian yang frustrasi dari Ali dan Mu'awiyah adalah kelompok Khawarij.
Umat Islam terbagi menjadi tiga golongan. Salah satu khawarij kota Kufah bernama Abd al-
Rahman bin Muljam diketahui telah membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Sahabat dan para pendukung Ali terutama para penduduk Irak membaiat Muawiyyah
sebagai khalifah. Hasan sebagai pemimpon pasukan Irak, sedangkan pasukan Suriah
dipimpin oleh Mu’awiyyah. Saat kedua tim bertemu, maka usaha yang dilakukan untuk
mendapatkan kesepakatan damai. Hasan akhirnya meninggalkan keduduka Khalifah dan
memberikan kekuasaan pada Mu’awiyyah, serta ketika itu juga kekuasaan Khalifah berada
ditangan Mu’awiyyah, yang kemudian dikenal sebagai Tahun Persatuan.
Faktanya yag terjadi sebelum rakyat Suriah bersumpah setia kepada Mu’awiyyah
sebagai raja, yaitu sesudah tragedy wasit atau abitrase pada tahun 37 Hijriah, sedangkan
amandemen biasanya dibuat kemudian perjanjian damai 41 Ah. Mu’awiyyah memberikan
kekuasaan Syam kepada Fadhalah bin Ubaid, kemudian Abi Idris Khaulam Abi Idris
Khaulani. Pengawalan dipimpin oleh Qais bin Hamzah, sedangkan Sarjun bin Manshur Al-
Rumi ditunjuk sebagai sekretaris dan asisten
Mu’awiyyah ialah seorang raja pertama yang mengangkat pengawal dan mendirikan
monarki turun-temurun. Sebenarnya amandemen secara umum (,,am al-jama’ah) tidak lebih
dari pengakuan yang dipaksanakan sebagai upaya untuk menjaga persatuan umat, atau
dengan memasukkan unsur-unsur kekuasaan dan paksaan menggantikan kesukarelaan.
Bebrapa pendapat yang kemudian akan muncul dari beberapa kelompok Muslin
terkait Khalifah Mu’awiyyah. Misalnya, kelompok Ahl Al-Sunnah wa al-Jamaah yang
kekhalifahannya beberapa waktu setelah unifikasi, justru akan terkesan dan dimotivasi oleh
tren menuju realitas, karena mereka menganggap bahwa khilafah Mu’awiyyah belum
terbentuk, berlandaskan kesetiaan liberal dan umum. Penetang dari kelompok ini berasal dari
kaum Syi’ah, yang hanya ingin mengakui raja Ali serta keturunannya, dan menganggap
bahwa kelompok selain Syi’ah merupakan perampas hak-hak mereka.
Hal tersebut merupakan penyebab tentang mengapa mereka sama sekali tidak
mengakui Mu’awiyyah dan khalifah lainnya, seperti yang dikatakan bahwa Mu’awiyyah
sebagai awal dari adanya rezim Umayyah, yang merupakan pendiri monarki sesuai garis
keturunan, bukan demokratis pemerintahan. Berdasarkan sejarah, bisa disimpulkan bahwa
kekuasaan dari Mu’awiyyah tersebut melalui dipromasi, ekekrasan, penipuan, dan bukan
pemilihan mayoritas.
Awal mulanya Mu’awiyyah tidak sanggup untuk berubah. Belia menghargai kekuatan
local, dengan membatasi dirinya pada keseimbangan antara satu kekuatan dengan kekuatan
yang lainnya. Beliay juga sangat memperhatikan kekuatan dari berbagai kelompok suku yang
ada. Seperti pengikut Ali, beliau memperlakukan mereka dengan sangat hormat dan secara
mengejutkan tinggi dan tidak malu-malu, bahkan hingga mendapat dukungan yang
dibutuhkan. Ditandai degan bentuk pemerintahannya. Mu’awiyyah sebenarnya dimaksudkan
untuk meniru monarki Persia dan Byzantium.
Kitab-kitab sejarah menyebutkan tentang gagasan awal pewarisan khilafah yang
berasal dari Al-Mughirah bin Syu’bah, yang mana pada waktu itu ialah gubernur Kufah di
bawah Mu’awiyyah. Dialah yang meyarankan kepada Mu’awiyyah untuk menjadikan
puutrasnya yaitu Yazid menjadi Yazid sebagai khalifah pengganti. Pada saat itu, Mu’awiyyah
juga menanyakan hal tersebut kepada Ziyad yang menjabat sebagai Gubernur Basrah.
Dengan mempertimbangkan Ziyad, Mu’awiyyah tidak teburu-buru saat mengambil suatu
keputusan. Tetapi setelah kematian Ziyad, keinginannya untuk mejadi seorang putra raja.
Tidak dapat disangkal bahwa Mu'awiyah pada masa kepemimpinannya masih
menggunakan istilah "khilafah", tetapi ia menawarkan interpretasi baru atau visi baru dari
kata-kata ini untuk mempertahankan posisi. Dia menyebutnya "utusan Allah", dalam arti
seorang penguasa yang ditunjuk oleh Allah. Pemerintahan Bani Umayyah sekitar 90 tahun
yang lalu. Oleh Mu'awiyah bin Abi Sofyan, ibu kota negara yang dulunya di Madinah
dipindahkan ke Damaskus.
Perpindahan ibu kota dari Madinah ke Damaskus melambangkan era kerajaan baru
dengan memindahkannya selamanya dari pusat Arab, yaitu Madinah, pusat agama dan
politik, menjadi kota ekonomi nasional. Dari kota inilah negara Umayyah semakin
memperluas kekuasaan Muslim dan mengembangkan pemerintahan pusat yang kuat, yaitu
kerajaan Arab. Berhasil memperluas kekuasaan Mu'awiyah ke daerah: Tunisia, Khurasan ke
Sungai Oxus, Afghanistan ke Kabul, kemudian terus ke Bizantium, bahkan ke India dan
mungkin menguasai
Balukistan, Sind dan daerah lain dari Punjab ke Maltan.15 Konsolidasi internal telah
dilakukan sejak masa pemerintahan Mu`awiyah dengan tujuan memperkuat barisan untuk
kepentingan pertahanan dan keamanan dalam negeri, mencegah terjadinya pemberontakan,
serta memperlancar dan memperlancar jalannya program-program pemerintah.
Idealnya, penggabungan ini berfungsi sebagai infrastruktur untuk program dinasti
yang sukses. Ada lima Diwan al-Jund (Departemen Militer), Diwan ar-Rasail (Departemen
Administrasi dan Sekretariat atau Dewan Korespondensi), Diwan al-Barid (Administrasi Pos
atau Dewan Pos), Diwan al-Kharaj (Departemen Artikel). Urusan Keuangan atau Dewan
Keuangan) dan Diwan al-Khatam (Departemen Dokumen atau Dewan Stempel).
Instrumen tertinggi dari pemerintahan hierarkis gaya Arab adalah Syura, sebuah
dewan (kansil), syekh yang ditunjuk oleh khalifah atau gubernur provinsi, dengan fungsi
penasehat dan eksekutif. Mu`awiyah sendiri jarang memberi perintah, namun dalam
menjalankan pemerintahannya cukup melalui proses trust-based trust dan juga proses trust-
based trust, kekuatan dan pengaruh pribadinya.
Banyak jasa pembangunannya di berbagai bidang dilakukan pada masa
pemerintahannya. Muawiyah mendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata,
mencetak mata uang dan jabatan qadhi (hakim), mulai menjadi profesinya sendiri.
Selanjutnya corak atau pola pemerintahan sebelumnya mulai berubah sejak masa Mu'awiyah.
Meski berbentuk kerajaan, Mu'awiyah tetap membuktikan eksistensinya dengan terus
membuat langkah signifikan.
Perkembangan Politik Masa Dinasti Umayyah 
Perseteruan Muawiyah dengan Ali dimulai dengan meninggalnya Usman bin Affan.
Saat itu, Muawiyah adalah gubernur Syam, sedangkan Ali adalah khalifah. Motif Muawiyah
adalah untuk menuntut kematian Khalifah Usman yang terbunuh. Perseteruan ini akhirnya
memuncak dalam peristiwa Perang Siffin dan merupakan tonggak awal yang menjadi cikal
bakal berdirinya Khilafah Umayyah di kemudian hari.
Menurut Ajid Thohir, Dinasti Umayyah mulai terbentuk ketika terjadi peristiwa
tahkim atau arbitrase selama Perang Siffin, khususnya pertempuran untuk membalas
kematian Khalifah Utsman bin Affan. Sebenarnya perang akan dimenangkan oleh pengikut
Ali bin Abi Thalib tetapi melihat tanda-tanda kekalahan, Amru bin Ash, tangan kanan
Muawiyah segera menyarankan agar pengikut Ali kembali ke hukum Allah dengan
mengangkat Alquran. Berkeluyuran dalam kejadian ini, Ali tertipu oleh trik dan taktik
Muawiyah.
Dalam keterangan lain dikatakan bahwa sebenarnya Ali mengetahui apa yang
dimaksud dengan Muawiyah. Namun karena tekanan dari para ahli Quran dan sekte takut
untuk tidak menerima Quran sebagai hukum. Meskipun Ali diberitahu bahwa giliran
Muawiyah, mereka tidak puas dengan jawaban Ali, sehingga berulang kali bersikeras agar
Ali menerimanya dengan paksaan yang besar, kemudian dia mengirim seseorang untuk
menemuinya. . Utusan itu berkata, “Wahai Muawiyah, mengapa kamu mengangkat Mushaf,
Muawiyah menjawab bahwa kamu dan kami harus kembali ke apa yang diperintahkan Allah
dalam kitab-Nya”, sampai Muawiyah menyarankan untuk mengirim utusan kepada mereka
masing-masing untuk berunding dan menandatangani perdamaian. persetujuan.
Di pihak Ali, dikirimlah Abu Musa al-Asyari, seorang lelaki tua yang dikenal sebagai
hakim yang fasih, saleh dan jujur. Sementara dari pihak Muawiyah, diutus Amru bin Ash
yang dikenal sebagai diplomat yang cakap di bidang politik atau ahli konstitusi Islam. Pada
akhirnya, Ali kalah secara politik pada titik ini. Oleh karena itu, peluang Muawiyah lebih
besar dan ia memiliki peluang untuk naik sebagai Khalifah sekaligus Raja. Setelah kematian
Khalifah Ali bin Abi Thalib, ini menandakan berakhirnya kepemimpinan al-Rasyidin atas
Khilafah. Oleh karena itu, bangsa Arab, Irak, dan Iran pada saat itu menunjuk Hasan bin Ali
untuk menggantikan ayahnya agar kemajuan Qois bin Saad dan diikuti oleh rakyat Irak.
Namun masalah muncul karena Muawiyah tidak setuju dengan amandemen tersebut,
sehingga Muawiyah mengirim pasukan untuk menyerang kota dari Irak.
Berkat kebijaksanaan Hasan bin Ali, perang tidak terjadi, itu dilakukan oleh Hasan
untuk menghindari pertumpahan darah lebih lanjut di kalangan umat Islam, tetapi Hasan bin
Ali membuat syarat Muawiyah, antara lain:
1. Agar Muawiyah tidak memiliki dendam terhadap salah satu warga Irak.
2. Pajak tanah Ahwaz dibayarkan setiap tahun kepada Hasan.
3. Muawiyah membayar saudaranya Husein 2 juta dirham.
4. Menjamin perdamaian dan memaafkan kesalahan rakyat Irak.
5. Untuk Bani Hasyim harus lebih dari untuk Banu Abdu Syam.
6. Kedudukan khalifah setelah Muawiyah harus diputuskan berdasarkan musyawarah
umat Islam untuk memilih pemimpin Muslim baru.
Dengan demikian, legitimasi resmi Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai khalifah
menyusul mundurnya Hasan bin Ali dari jabatan khalifah yang mendapat dukungan Syiah
setelah beberapa bulan menjabat. Peristiwa kesepakatan antara Hasan bin Ali dan Muawiyah
bin Abi Sofyan lebih dikenal dengan peristiwa “Am al-Jamaah”, yaitu “tahun persatuan” dan
sekaligus menetapkan garis sempadan antara masa Khulafau al-Rasyidin (632-661 M) dan
Dinasti Umayyah (661 M-750 M).
Setelah menjadi khalifah umat Islam, Muawiyah bin Abu Sufyan mengadopsi gaya
kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi dalam bentuk keturunan atau monarki, suatu
kondisi yang juga menandai berakhirnya model pemerintahan Khulafaual-Rasyidin. Sistem
pemerintahan yang disebut patriarki ini merupakan sistem pemerintahan yang memberikan
hak kepada penguasa untuk mempertimbangkan suatu negara yang dapat diturunkan dari
generasi ke generasi atau sistem garis keturunan. Menurut konsep ini, kekuasaan pemimpin
bersifat mutlak dan aman dari campur tangan pihak lain, terutama hukum tata negara. Tak
hanya itu, mereka menyebut diri mereka wakil Tuhan dan penerus Nabi.
Polemik Politik Pada Masa Dinasti Umayyah 
Sebagaimana dikemukakan bahwa Mu‟awiyah adalah awal kekuatan Bani Umayyah,
yang menerapkan kerajaan turun temurun. Sebagai ganti dari pemerintahan yang demokratis.
Oleh Mu‟awiyah bin Abi Sofyan ibu kota negara yang sebelumnya di Madinah dipindahkan
ke Damaskus. Pemindahan ibu kota dari Madinah ke Damaskus merupakan simbol bahwa
zaman imperium baru dengan menggesernya untuk selama-lamanya dari pusat Arabia, yakni
Madinah yang merupakan pusat agama dan politik kepada sebuah kota yang cosmopolitan.  
Langkah awal Mu‟awiyah memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah
ke Damaskus, kemudian Mu‟awiyah melakukan pergantian sistem kekhalifahan
kepada sistem kerjaan atau Monarki Absolut. Sehingga pergantian pemimpin
dilakukan berdasarkan garis keturunan atau bisa disebut monarki heridetis, bahkan atas
dasar demokrasi. Model pemerintahan yang ditetapkan banyak diambil dari model
Byzantium.  
Seperti disebutkan sebelumnya, Mu'awiyah adalah awal dari kekuasaan Umayyah
yang mendirikan kerajaan genetik. Alih-alih pemerintahan yang demokratis. Mu'awiya bin
Abi Sophian telah memindahkan bekas ibu kota Madinah ke Damaskus. Pemindahan ibu
kota Madinah ke Damaskus melambangkan era kerajaan baru dan selamanya berubah dari
pusat Arab, pusat agama dan politik, Madinah menjadi kota internasional.
Langkah pertama Mu'awiyah adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah
ke Damaskus. Belakangan, Mu'awiyah berubah menjadi sistem yang bekerja secara khilafah
atau monarki absolut. Sehingga pergantian pemimpin berdasarkan silsilah, atau bahkan
demokrasi, bisa disebut monarki turun-temurun. Model pemerintahan yang mapan terutama
diambil dari model Bizantium.
Salah satu konsekuensi kekhalifahannya adalah pendirian kantor catatan sipil dan
dekorasi kantor pos. Pada masa Bani Umayyah, dibentuk Dewan Sekretaris Negara (diwan
al-kitab) dan bertanggung jawab atas berbagai operasi pemerintahan seperti katibar-rasail, al-
kharajj, al-jund, ash-syurtah, dan al-qodi.
Dinasti Umayyah bertahan 90 tahun (41-132H/661-750 M.) Pada masa Dinasti
Umayyah, banyak hal yang dianggap peradaban Islam pada masa itu terukir, dan
perkembangan ilmu pengetahuan berkembang pesat. Seperti filsafat, kedokteran, militer, dll.
Ekspansi timur Umayyah, yaitu Massal, Bukhara, Khwarazm, Fergana, McHand.
Pasukannya mencapai India dan mampu menguasai wilayah Balochistan, Sindh dan Punjab
hingga Malta. Sementara di barat, ia berhasil menguasai Spanyol dan Prancis. Selain
memperluas wilayah khalifah, ia juga membangun prasarana dan sarana seperti jalan,
percetakan uang, panti asuhan, gedung pemerintahan, masjid, rumah sakit, sekolah
kedokteran dan konstruksi lainnya. Mu'awiya ada dalam bentuk kerajaan, namun ia terus
membuat politik dan kemajuan yang signifikan selama pemerintahannya, membuktikan
keberadaannya.
Kepemimpinan Dari Dinasti Umayyah 
Dinasti Umayyah terdiri dari total 14 orang kuat, 41-133 H (661-750 M).
1. Mu'awiya Bin Absophian (41-60 H/661-679 M)
2. Yazid I Bin Mu'awiya (60-64 H/679-683 M)
3. Mu'awiya II Bin Yazid (64 H/683 M) )
4. Marwan I bin Hakam (Höhe 64-65 / 683-684 M)
5. Abd al-Malik Bin Malwan (Höhe 65-86 / 684-705 M)
6. Al Waleed I Bin Abd al-Malik (86-96 ) H/705-714 M)
7. Srimanbin Abd al-Malik (96-99 H/714-717 M)
8. Umalbin Abd al-Malik (99-101 H/717-719 M)
9. Yazid II Bin Abd al-Malik (101-105 H/719) -723 M)
10. Hishanbin Abd al-Malik (105-125 H/723-742 M)
11. Al Waleed II Bin Yazid II (125-126 H)/742-743 M)
12. Yazid III Bin Abd al-Malik (126 H/743 M)
13. Ibrahim Bin Al-Malik II (126-127 H/743-744 M)
14. Malvan II Bin Muhammad (127-132 H/744-750 M)
Banyak yang memerintah hanya pada masa pemerintahan Umal II. Beberapa khalifah
disebut khalifah besar atau pemimpin yang paling berpengaruh. Sementara itu, dalam
bukunya Samsul Munir Amin sepakat bahwa mayoritas sejarawan hanya memiliki tiga
khalifah Umayyah: Muawiyah, Abd al-Malik, Umalbin Abd al-Malik.
Muawiyah Bin Abi Sofyan
Muawiyah bin Abi Sofyan adalah pendiri Dinasti Umayyah. Ia adalah tokoh
pembangunan, namanya tergolong khulafau al-Rasyidin. Meskipun pada awalnya banyak
yang tidak bersimpati dengannya, setelah tindakannya selama Perang Siffin, ia menggunakan
berbagai metode dan strategi yang salah, termasuk kekerasan, diplomasi, dan tipu daya,
seperti pada masa-masa awal pemerintahan. bukan melalui pemilihan umum yang
demokratis.
Namun, Muawiyah masih dianggap sebagai pendiri dinasti Umayyah, yang
menerapkan banyak kebijakan baru di bidang politik, pemerintahan, dll. Bahkan
kesalahannya dalam mengkhianati prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan oleh Islam
dilupakan oleh semua orang karena jasa dan kebijaksanaan politiknya yang mengagumkan.
Adapun yang dilakukan Muawiyah pada awal pemerintahannya yaitu; Pertama,
memindahkan ibu kota negara dari Madinah (Kufah) ke Damaskus, daerah di mana ia
menjabat sebagai gubernur di bawah Khalifah Usman dan Ali. Kedua, memindahkan sistem
pemerintahan demokrasi ke monarki turun-temurun. Hal ini tercermin ketika keberhasilan
kepemimpinan Muawiyah memaksa seluruh rakyatnya untuk menyatakan baiat kepada
putranya Yazid. Muawiyah bermaksud untuk melaksanakan monarki yang ada di Persia dan
Byzantium. Padahal ia masih menggunakan istilah khalifah. Namun, Dia memberikan
interpretasi baru atas kata tersebut untuk menghormati jabatan, menyebutnya sebagai
"khalifah Allah" yang berarti "penguasa yang ditunjuk oleh Allah". seperti pada masa
Khulafau al-Rasyidin, tetapi menggunakan sistem pewarisan sebagai kerajaan. Dengan
demikian, menurut Abu A'la Maududi, mereka tidak pantas menyandang gelar khalifah
seperti Khulafau al Rashidin.
Ketiga, seperti yang dikatakan Ali Husni al-Kharbutily, Muawiyah adalah orang yang
cerdas dan sangat pandai dalam bidang strategi. Dengan demikian, dinasti ini membagi
wilayahnya menjadi 5 front kekuatan politik, yaitu;
1. Front Jazirah Arab meliputi Hijaz, Yaman, Mekah dan Madinah.
2. Front Mesir menutupi seluruh Mesir.
3. Front Irak meliputi Teluk Persia, Aman, Bahrain, Sijistan, Kirman, Khurasan hingga
Punjab di India.
4. Front Asia Kecil meliputi wilayah Armenia dan Azerbaijan
5. Front Afrika meliputi wilayah Barbar, Andalusia dan negara-negara di sekitar Laut
Mediterania.
Untuk semua wilayah ini, sebagaimana dikutip Ajid Thohir, untuk semua wilayah
politik telah diterapkan pengaturan politik yang berbeda, misalnya di front Jazirah Arab-
Mekah, di Madinah dan di front Irak, kebijakan politik lunak diadopsi sebagai penduduk dua
daerah itu milik pendukung akar rumput Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwan.
Banyak pendekatan lain yang juga dianut oleh Muawiyah, antara lain pendekatan
psikologis dan pendekatan kesejahteraan sosial. Hal ini terlihat dari aksi-aksi Muawiyah yang
tidak segan-segan menghabiskan banyak uang untuk rakyat, terutama yang menentangnya,
memberikan otonomi kepada daerah, memberikan jaminan sosial kepada Hasan bin Ali,
memberikan uang kepada Qudamah dan sebagian lainnya. orang Irak. Setiap orang. Semua
ini dilakukan untuk mendapatkan dukungan dan persetujuan rakyat dan untuk menanamkan
kekuatan politik.
Demikian pula, ekspansi berhenti di bawah pemerintahan Usman dan Ali dilanjutkan
oleh dinasti ini. Pada masa Muawiyah, Tunisia dapat ditaklukkan, di timur negara dapat
dikuasai oleh wilayah Khurasan hingga Sungai Oxus dan Afganistan hingga Kabul, di mana
setiap titik yang menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lain tersedia, bangunlah
armada perang pertama. Dalam sejarah Islam, dan pembagian upah prajurit diatur secara
teratur. Selanjutnya, pada masa Muawiyah, jabatan khusus hakim qadhi mulai berkembang
menjadi profesi tersendiri. Muawiyah meninggal pada tahun 60 M di Damaskus karena sakit
dan digantikan oleh putranya Yazid, yang diangkat menjadi putra mahkota pada masa
pemerintahan Muawiyah.
Yazid I Bin Muawiyah 
Yazid adalah raja berikutnya yang menggantikan ayahnya. Namun, Yazid tidak
memiliki pengaruh sebanyak ayahnya dalam pemerintahan, ia menghadapi banyak tantangan,
terutama pemberontakan yang dipimpin oleh Syiah, yang berjanji setia kepada Husain bin Ali
setelah kudeta kematian Muawiyah. Pemberontakan ini masih bermula dari pelanggaran
perjanjian yang dibuat Muawiyah dengan Husain ketika Yazid naik takhta. Pengumuman
pengangkatan Yazid saat ini sebagai putra mahkota menyebabkan munculnya gerakan
perlawanan rakyat yang memuncak dalam perang saudara dalam banyak kasus.
Pada puncaknya, ketika Yazid naik takhta, beberapa orang terkenal di Madinah tidak
mau menyatakan kesetiaan kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada gubernur
Madinah menuntut agar rakyat bersumpah setia kepadanya, dengan cara ini semua orang
dipaksa untuk tunduk kecuali Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair. Pada saat yang sama,
pendukung Syiah atau Ali mengkonsolidasikan atau menyatukan kekuatan mereka sekali lagi
melawan negara Umayyah yang dipimpin oleh Yazid.
Akhirnya terjadi pertempuran di Karbela atau Karbala di wilayah Kufah, sehingga
pertempuran menjadi tidak seimbang, pasukan Husain dikalahkan dan Husain sendiri
terbunuh, kepalanya dipenggal dan dibawa ke Damaskus sementara jenazahnya dikuburkan.
Selain itu, Yazid juga menghadapi tentangan sengit dari para pemberontak di Mekkah dan
Madinah, tembok Ka'bah runtuh setelah terkena manjaniq, alat pelempar batu. Peristiwa ini
merupakan aib besar pada zamannya, meskipun tentara Yazid selalu memenangkan perang.
Perlawanan Syiah, bagaimanapun, tidak dipadamkan oleh pembunuhan Husain bin
Ali, itu lebih besar dan lebih kuat, banyak pemberontakan yang dipimpin Syiah misalnya
pemberontakan yang dipimpin Mukhtar di Kufah pada 685-687 M. Mukhtar memiliki
banyak pengikut di kalangan mawali. Demikian pula, Abdullah bin Zubair, yang mendorong
gerakan oposisi di Mekah dan secara terbuka menyatakan dirinya sebagai raja setelah
pembunuhan Husain bin Ali.
Mendengar pernyataan tersebut, Yazid kemudian menggerakkan pasukannya untuk
mengepung Makkah dimana Abdullah bin Zubair berada, pertempuran pun tak terhindarkan,
dalam pertempuran ini, Abdullah bin Zubair selamat dari berita kematian Yazid. Tentara
Yazid mundur ke Damaskus. Yazid meninggal setelah memerintah selama empat tahun dan
digantikan oleh putranya Muawiyah II. Sementara itu, gerakan Abdullah bin Zubair hanya
bisa dihancurkan di bawah Khilafah Abdullah al-Malik.
Muawiyah II dan Marwan I Bin Al-Hakam 
Muawiyah II memerintah hanya sekitar 40 hari dan berkuasa tiga bulan sebelum
kematiannya. Dia mengalami stres berat karena dia tidak mampu memikul tanggung jawab
posisi khalifah yang sangat tinggi. Dengan wafatnya Muawiyah II, sejarah keturunan
Muawiyah berakhir dengan kelanggengan kekuasaan dan pergantian Bani Marwan.
Muawiyah II digantikan oleh Marwan bin Hakam, Dia adalah pemegang segel
kekhalifahan di bawah Usman bin Affan, adalah gubernur Madinah pada masa Muawiyah
dan penasihat Yazid di Damaskus pada masa pemerintahan Yazid.
Selama pemerintahannya, ia berhasil menekan pemberontakan Khwarij dan Syiah,
sementara juga mengalahkan pemberontakan yang dipimpin oleh suku al-Dahhak bin Qais
dan menguasai Ai.Mesir. Dia memerintah selama sekitar satu tahun dan meninggal pada 65
H dan berturut-turut menamai putranya Abdul Malik dan Abdul Aziz sebagai penggantinya
setelah kematiannya.
Abdul al-Malik 
Khalifah Abdul al-Malik (65-86/684-705 M) adalah orang kedua yang paling penting dan
berpengaruh dalam garis Khalifah Khalifah Umayyah, yang akan menjadi pendiri kedua
kedaulatan Umayyah. Pada masa pemerintahannya tahun, pasukannya sangat berjaya di
medan perang, selain kemajuan ia berhasil memperbaiki saluran air sungai Efrat dan Tigris,
memajukan perdagangan perdagangan, meningkatkan penimbangan, pengukuran dan sistem
keuangan, juga menyempurnakan penulisan naskah-naskah Alquran. dan dengan titik pada
beberapa huruf. Dia juga mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang digunakan di
wilayah yang dikuasai Muslim, dia mencetak mata uangnya sendiri pada tahun 659 M pada
tahun dengan menggunakan kata-kata dan tulisan Arab, berhasil menerapkan reformasi
administrasi pemerintah dan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi Muslim. lembaga
administrasi pemerintah. Khalifah Abdul Malik wafat pada tahun 86 H dan digantikan oleh
putranya al-Walid.
Umar Bin Abdul Aziz 
Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai menteri besar ketiga dinasti Umayyah, ia
adalah menantu Khalifah Abdul Malik raja besar kelima dinasti Umayyah, ia juga gubernur
Madinah pada masa kekhalifahan al. Walid bin Abdul Malik. Meskipun masa
pemerintahannya sangat singkat (sekitar 2 tahun), pemerintahannya tetap dianggap sebagai
"kain putih" dari Bani Umayyah.
Selama pemerintahannya, hubungan antara pemerintah dan oposisi membaik,
terutama dengan kelompok Syiah, ia juga memberikan kebebasan kepada penganut agama
lain untuk beribadah menurut keyakinannya, pengurangan pajak dan status mawali sama
dengan Muslim Arab.
Selanjutnya, ketika dia mulai diangkat sebagai khalifah, dia mengembalikan tanah
yang diberikan kepadanya, menjual barang-barang mewahnya ke Baitul Mal, menaikkan gaji
para gubernurnya, meratakan kemakmuran dengan memberi kompensasi kepada orang
miskin dan membutuhkan, dan berinovasi dalam layanan pos. , mengurangi beban pajak,
berhenti membayar jizyah kepada muslim baru. Dia berdamai antara Amawiyah dengan
Syi'ah dan Khawarij, menghentikan perang dan menghentikan penghinaan terhadap Khalifah
Ali bin Abi Thalib dalam khutbah Jumatnya dan menggantinya dengan pembacaan ayat-ayat
dalam Q.S. al-Nahl / 16; 90
Terjemahan:
Sesungguhnya Allah (kamu) memerintahkan untuk berlaku adil dan berbuat baik,
membiarkan yang dicintai, dan Allah melarang perbuatan buruk, kejahatan dan permusuhan.
dia mengajari Anda sehingga Anda bisa belajar.
Dalam beberapa kebijakan yang ditempuh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, dikatakan
lebih fokus pada pembangunan nasional. Teori ini didukung oleh fakta bahwa pada masa
pemerintahannya tercatat bahwa ia hanya melakukan serangan terhadap Prancis melalui
Pegunungan Piranee yang diperintah oleh Abd al-Rahman Ibn Abdullah al-Ghafiqi pada
waktu itu.
Yazid II Dan Hisyam Ibn Abdul Malik 
Setelah kematian Umar bin Abdul Aziz, kekuasaan Umayyah jatuh di bawah
Khalifah Yazid bin Abdul al-Malik (724-724 M). Ia dikenal sebagai penguasa yang menyukai
kemewahan dan tidak terlalu peduli dengan kesejahteraan rakyatnya. Akibatnya, masyarakat
yang sebelumnya hidup rukun dan damai menjadi kacau balau.
Orang-orang kemudian menyatakan konfrontasi dengannya, timbul perselisihan
antara Mudariyah dan Yamaniyah. Terjadi kekacauan yang berlangsung hingga masa
pemerintahan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Hisyam memang seorang raja yang kuat
dan cakap yang konon telah memerintah selama 20 tahun. Namun, karena perlawanan yang
luar biasa dari gerakan tersebut, yaitu Bani Hasyim yang berasal dari kelompok mawali, ia
menjadi ancaman serius pada masa pemerintahannya.
Al-Walid II, Yazid III, Ibrahim dan Marwan II 
Sepeninggal Hisyam bin Abdul Malik, masih ada empat raja yang
memerintah selama tujuh tahun, yaitu Al-Walid II bin Yazid II, Yazid III bin Al-
Walid, Ibrahim bin Al-Walid dan Marwan bin Muhammad. Namun, raja-raja ini
tidak hanya lemah tetapi juga memiliki moral yang buruk. Ini semakin
memperkuat oposisi. Akhirnya, pada tahun 750 M, negara Umayyah digulingkan
oleh Bani Abbasiyah. Marwan bin Muhammad sebagai Khalifah terakhir
melarikan diri ke Mesir, di mana ia ditangkap dan dibunuh oleh Bani Abbasiyah.
Perkembangan Bidang Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasti Umayyah 
Ketika negara sudah aman, dinasti Umayyah mulai membangun. Beberapa
perkembangan dilakukan di bidang material, kemudian menata kembali sistem pemerintahan,
memperkuat posisi orang-orang Arab di antara negara-negara lain yang dikuasai,
memfasilitasi dan meningkatkan ekonomi, perdagangan, dan mengembangkan sektor budaya.
Salah satu aspek kebudayaan adalah pengembangan ilmu pengetahuan. Jika pada masa Nabi
dan Khulafau al-Rasyidin, perhatian diberikan pada kajian Al-Qur'an dan Hadits Nabi dalam
rangka memperdalam ajaran akidah, akhlak, ibadah, muamalah dan lain-lain kisah dalam Al-
Qur'an, maka Pada masa Dinasti Umayyah, perhatian kemudian diberikan pada ilmu yang
lebih luas, yaitu pada perkembangan ilmu-ilmu yang telah berkembang sebelum datangnya
Islam. Salah satu faktor yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan pada masa itu
adalah bahwa di berbagai daerah di bawah kekuasaan negara Umayyah terdapat pusat-pusat
kebudayaan seperti Yunani, Alexandria, Antiokhia, Harran dan Yunde.Sahpur.
Bahkan para ilmuwan yang beragama Yahudi, Nasrani dan Zoroarter setelah masuk
Islam dilindungi, bahkan ada yang menduduki posisi tinggi di istana khalifah. Ada yang
menjadi dokter pribadi, bendahara atau wasir. Sedemikian rupa sehingga kehadiran mereka
dianggap telah mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan34. Bahkan ada ilmuwan
yang bertahan dalam agamanya, termasuk Yahya al-Damasyqi. Dia adalah pejabat Khalifah
Abdul Malik bin Marwan, dia adalah seorang Kristen yang mencoba untuk melindungi
aqidahnya dengan anggapan "Al-Masih adalah hamba Tuhan yang kedua". Ini mendorong
umat Islam untuk menyelidiki keyakinan mereka dan mempelajari logika mereka untuk
membela Islam dan mematahkan argumen mereka.
Selain itu, Khalid bin Yazid, keponakan Muawiyah, sangat tertarik dengan kimia dan
kedokteran. Dia memberikan beberapa harta dan memerintahkan para sarjana Yunani yang
tinggal di Mesir untuk menerjemahkan buku-buku tentang kimia dan kedokteran ke dalam
bahasa Arab. Upaya ini menjadi terjemahan pertama dari cerita. Sementara itu, Al-Walid bin
Abdul Malik memperhatikan Bimaristan. Demikian pula pada masa pemerintahan Khalifah
Umar bin Abdul Aziz, ia secara resmi memerintahkan para ulama untuk mencatat kisah-kisah
Nabi.
Saat ini ia juga berteman dengan Ibnu Abjar, seorang dokter dari Alexandria yang
kemudian menjadi dokter pribadinya, sehingga diperkirakan hal ini mempengaruhi pemikiran
Khalifah Umar bin Abdul Aziz tentang pengobatan.
Sikap terbuka Kekhalifahan Umayyah terhadap agama lain, khususnya di bawah
Kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, telah memberikan kontribusi positif bagi perkembangan
ilmu pengetahuan, antara lain; IPA terstruktur secara sistematis, sistem hafalan berubah
menjadi sistem tulisan sesuai kaidah sains yang berlaku, para pendukung sains bukan lagi
orang Arab tetapi didukung oleh kelompok non-Arab, bahkan dinilai kelompok yang
berubah sistem ilmiah.
Menurut Musyrifah Sunanto, bahwa pada masa Dinasti Umayyah terdapat bidang ilmu yaitu;
1. Ilmu di bidang agama, yaitu segala ilmu yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadist.
2. Ilmu dalam bidang sejarah, yaitu segala ilmu yang berkaitan dengan proses
kehidupan, cerita dan sejarah.
3. Ilmu bahasa adalah semua ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu, sharaf dan lain-
lain.
4. Ilmu di bidang filsafat, yaitu segala sesuatu yang biasanya berasal dari luar negeri,
seperti ilmu mantiq, kedokteran, kimia, astronomi, aritmatika dan ilmu-ilmu lain yang
berhubungan dengan ilmu ini
Sedangkan menurut Jurji Zaidan (George Zaidan) sebagaimana dikutip oleh Samsul Munir
Amin menyebutkan sejumlah kemajuan dalam bidang pengembangan keilmuan di bawah
Dinasti Umayyah, antara lain:
Pengembangan bahasa Arab 
Para penguasa Umayyah menjadikan Islam daulah, setelah itu bahasa Arab berkembang di
wilayah kekhalifahan. Upaya ini dilakukan dengan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa
resmi administrasi negara dan pemerintahan, sehingga akuntansi dan surat menyurat harus
menggunakan bahasa Arab.
1. Pusat kegiatan ilmiah kota Marbad
Dinasti Umayyah juga mendirikan kota kecil sebagai pusat kegiatan ilmiah dan
budaya. Di kota ini berkumpul para pujangga, filosof, ulama, pujangga dan ulama
lainnya, sehingga kota ini mendapat predikat ukadz Islam.
2. Ilmu Qiraat
Ilmu Qiraat didirikan pada masa Khulafau al-Rasyidin, setelah itu Dinasti Umayyah
berkembang menjadi cabang Syariah yang sangat penting. Pada masa inilah lahir ahli
qiraat terkenal seperti Abdullah bin Qusair dan Ashim bin Abi Nujud.
3. Ilmu Tafsir
Pada saat ini, minat umat Islam terhadap tafsir Al-Qur'an meningkat. Ketika
memelopori ilmu tafsir, ulama yang mencatat ilmu tafsir adalah Mujahid bin Jabbar.
4. Ilmu hadits
Ahli hadits terkenal dari Dinasti Umayyah antara lain al-Auzai Abdurrahman bin
Amru, Hasan Basri, Ibnu Abu Malikah dan Asya'bi Abu Amru Amir bin Syurahbil,
serta al-Zuhry dan Abu Zubair Muhammad bin Muslim bin Muhammad.
5. Ilmu Fiqhi
Para ahli fiqh terkenal pada masa Dinasti Umayyah antara lain Sa'ud bin Musib, Abu
Bakar bin Abdurrahman, Qasim Ubaidillah, Urwah dan Kharijah.
6. Ilmu Nahwu
Pada masa Dinasti Umayyah karena wilayahnya berkembang sangat luas terutama di
luar Arabia, ilmu Nahwu sangat diperlukan pada masa itu. Hal ini menyebabkan
lahirnya seorang ahli bahasa seperti Sibawaih yang karyanya, Al-kitab, menjadi
pedoman tata bahasa Arab. Bersamaan dengan itu, dalam puisi Arab muncul kembali
ketidaktahuan dimana bidang sastra Arab mengalami kemajuan yang pesat. Pada
masa ini, muncul penyair seperti Umar bin Abu Rabiah (w. 719), Jamil al-Uzri, Qayus
bin Mulawwah yang dikenal sebagai Laila Majnun, al-Farazdaq, Jarir dan al-Akhta.
7. Jughrafi dan Kronologi
Jughrafi (tanah dan geografi) dan Kronologi Umayyah telah menjadi ilmu tersendiri.
8. Upaya Penerjemahan
Upaya tentang pentingnya membangun Dakwah Islam, pada masa Dinasti Umayyah,
juga mulai dilakukan penerjemahan buku-buku ilmiah dari bahasa lain ke dalam
bahasa Arab. Dinasti inilah yang pada awal sejarah Islam melakukan penerjemahan,
dan kemudian baru mengalami perkembangan pesat di bawah Dinasti Abbasiyah.
Misalnya, Khalifah Khalid ibn Yazin ibn Muawiyah (meninggal 704/709) adalah
orang pertama yang menerjemahkan buku-buku tentang astronomi, kedokteran, dan
kimia.
Penyebab Runtuhnya Dinasti Umayyah
Perlawanan Khawarij (pemberontakan pertama dipimpin oleh Farwah Ibn Naufal) Al-Asyja'i
pada masa pemerintahan Mu' awiyyah (661-680 M) Asli). Setelah Hasan mengundurkan diri
dan menyerahkan kekhalifahan kepada Mu'awiyyah, dan setelah Mu'awiyyah tiba di Kufah,
Farwah kemudian memohon kepada kaum Khawarij "Sekarang telah terjadi sesuatu yang
tidak diragukan lagi, jadi mari kita berperang dengan Mu'awiyyah, dan berperang
melawannya" Namun, kekuasaan ini akhirnya dipatahkan oleh orang-orang Kufah di bawah
ancaman Mu'awiyyah. Setelah Mu 'awiyyah dan para pahlawan melakukan berbagai upaya
untuk menghadapi dan menekan Khawarij, yaitu.
Perlawanan Syi’ah 
Pada masa pemerintahan Mu'awiyyah, ada upaya untuk mengangkat putranya Yazid
sebagai putra mahkota. Namun keinginan Mu'awiyyah tidak mendapat respon positif dari
Husein, karena menurutnya Yazid adalah orang yang banyak dosa, perselingkuhan dan
kehidupan yang longgar, rakus akan kekayaan.
Namun, Mu'awiyyah tetap bertekad untuk mencapai ambisinya. Akhirnya, Yazid
ditanya apakah orang-orang menyukainya. Setelah Mu'awiyyah wafat, Yazid salat lagi (60-
64H). Ketika Mu'awiyah meninggal, Husein berada di Medina. Salah satu hal yang sangat
penting bagi Yazid adalah agar Hussein bersumpah setia kepadanya, karena Hussein adalah
pemimpin oposisi, tidak ada yang bisa menandinginya dalam hal itu. Karena itu, Yazid
mengirim utusannya ke gubernur Madinah, memintanya untuk mengambil sumpah atas nama
Hussein. Gubernur Madinah saat itu adalah al-Walid Ibn Utbah Ibn Abi Sufyan. Al-Walid
menelepon Hussein dan memintanya untuk berjanji setia. Hussein menjawab: "Ganti aku dan
bersikaplah lembut". Walid menundanya.
Jadi Hussein pergi ke Mekah malam itu dengan istrinya. Di Mekah, ia menerima
banyak surat dari orang-orang Kufah yang mengundangnya ke sana dan berjanji untuk
memberkatinya. hal ini disebabkan banyaknya kekerasan dan penindasan para gubernur
Yazid terhadap mereka.
Sementara itu, Hussein masih mempertimbangkan untuk menerima permintaan
mereka karena dia tidak mengetahui situasi sebenarnya. Hussein berkonsultasi dengan orang
banyak. Saat itu, ada dua aliran pendapat tentang Husein yang meninggalkan Kufah.
Pendapat pertama diwakili oleh Abdullah Ibn Zubeir. Ibn Zubeir menyadari bahwa orang-
orang Hijaz tidak mau tunduk padanya dan tidak mau mengikutinya selama Hussein hadir.
Maka beliau berpesan kepada Husain untuk memenuhi kebutuhan penduduk Kufah. Di sisi
lain, Ibnu Abbas menasihatinya untuk tidak pergi ke sana, karena menurutnya orang Irak
adalah orang-orang yang menipu dan suka mengingkari janji. Tapi Husein mengabaikan
nasihat itu. Ia pun berangkat ke Kufah dengan rombongan kecil.
Dalam perjalanan ke Kufah, rombongan Husein dihadang oleh sekelompok anak
buah Bani Tamim. Kendala ini dapat diatasi dengan mengubah rute perjalanan melintasi
pantai timur Sungai Efrat. Selanjutnya dalam perjalanan, rombongan Husein mendirikan
tenda di lapangan Karbala dengan terpaksa menyerahkan diri kepada gubernur Irak yaitu
Ubaidillah.
Husein menolak keinginan Ubaidillah dan melakukan pertempuran yang dikenal
sebagai perang Karbala, perang yang sangat tragis dan tidak manusiawi.
Cucu Husein adalah korban pertama, bersama dengan kerabat Husein, yang terpaksa
kehilangan nyawa karena kekejaman musuh. Dan Husein-lah yang kepalanya dicabut dari
tubuhnya. Kepala Husein, yang terguling di kaki Ubaidillah, dikirim ke Yazid di Damaskus.
Yazid menggantung kepala Husein di aula istana dan di berbagai tokonya.
Tragedi Karbala tidak hanya menghancurkan kekhalifahan tetapi juga semakin
mengikis prospek unifikasi Muslim yang telah dipromosikan sebelumnya oleh Mu'awiyyah.
Philip K. Hitti mengatakan bahwa garis keturunan Syiah Husein, seperti ayahnya, lebih
bergairah dan panas. Peristiwa Karbela menimbulkan kesedihan mendalam di dalam diri
mereka, hingga balas dendam kuno berkobar.
Pemberontakan al-Mukhtar Ibn Abi Ubaid. Mukhtar adalah orang yang
mendambakan kekayaan dan kekuasaan. Jadi untuk menciptakan semua ini, dia pertama kali
bekerja dengan cara yang sama seperti Ibn Zubeir. Tapi setelah banyak eksploitasi Ibn
Zubeir, dia lupa tentang Mukhtar.
Di Kufah, ia menemukan pemberontakan atau balas dendam atas kematian Hussein.
Dia memanfaatkan situasi dengan menampilkan dirinya sebagai utusan Ibn Hanafi untuk
mengklaim hak-hak anggota kuil dan melindungi mereka yang membunuh Hussein dan
teman-temannya dan mengundang masyarakat untuk bergabung dengannya. Berkat itu, ia
memiliki faktor pendukung untuk meraih kemenangan. Dia kemudian memulai konfrontasi
bersenjata dan mencetak kemenangan. Dia berhasil menghancurkan pengikut 'Abdullah Ibn
Muthi', gubernur distrik Kufah Ibn Zubeir. Ia berhasil menguasai penuh wilayah tersebut,
bahkan memperluas kekuasaannya hingga ke wilayah Mosul. Sementara itu, di Basra, terjadi
pemberontakan yang menguntungkannya.
Setelah menaklukkan Kufah, dia bersiap untuk menyerang Ubaidillah Ibn Ziyad. Ia
mengirimkan pasukan besar di bawah pimpinan Ibnu Asytar pada bulan Zulhijjah tahun 66 H.
Dalam pertempuran itu, Ziyad tewas. Maka Mukhtar mencapai puncak kesuksesannya,
hingga Mosul, Armenia dan Azerbaijan berlutut di hadapannya. Tapi dia segera mencapai
puncaknya dengan
hits.
Banyak faktor yang dapat menggoyahkan kekuasaannya, termasuk banyaknya darah
yang tertumpah di Kufah bersama pasukannya dari orang-orang Maulli dan juga dua
kekuatan besar yang menjadi saingannya, Abdullah Ibn Zubeir di La Mekah dan Abdul Malik
ben Marwan di Damaskus. Abdullah Ibn Zubeir mengangkat saudaranya Mus'ab untuk
menyerangnya dan untuk mencapai kemenangan ini, Mus'ab mengimbau orang-orang Kufah
untuk membalas dendam. Pada akhirnya, kisah Mukhtar dan pengikutnya dalam perang
berakhir. Selain perjuangan yang dilakukan oleh Khawarij dan Syiah, beberapa faktor lain
menyebabkan kejatuhan dan kehancuran dinasti Umayyah.
Diantaranya adalah pemberontakan Abdullah Ibn Zubair, Setelah Husain terbunuh,
Ibn Zubeir memproklamirkan dirinya sebagai raja dan memerintahkan pengunduran diri
Yazid. Orang-orang Mekah memberinya bai'ah. Ini terjadi pada tahun 61 H. Kekuasaannya
meliputi wilayah Arab Mesir, Kufah, Basra, Mekah, serta penduduk Syam dan Semenanjung.
Pemberontakan ini dipadamkan pada masa pemerintahan Abdul Malik. Dia
mengirim komandannya yang pemberani, al-Hajjaj Ibn Yusuf, bersama dengan 2.000 tentara
ke Mekah. Ibnu Zubair tidak menghadapi kekuatan ini, ia hanya berlindung di Masjid. Inilah
mengapa al-Hajjaj menyerang Masjid Suci dengan Majanik. Semua orang meninggalkan Ibnu
Zubair, bersama keluarga dan dua putranya, Hamzah dan Khabib. Semua karena keserakahan
dan kelicikannya. Dia akhirnya meninggal pada tahun 73H dan kepalanya dikirim oleh al-
Hajjaj kepada Khalifah Abdul Malik, sementara tubuhnya disalibkan.
Pemisahan Arabia Utara dan Selatan selama era Yazid juga memunculkan konflik
tradisional antara suku-suku Arab di utara dan suku-suku Arab di selatan.
Yazid didukung oleh Bani Kalb (suku Arab Selatan) dan ketika dia meninggal
putranya Mu'awiyyah II tidak didukung oleh Bani Qays (suku Arab Utara). dan ketika
Marwan bin al-Hakam menjadi khalifah menggantikan Mu'awiyyah II, terjadilah
pertempuran antara Bani Kalb dan Banu Qays pada tahun 684 M. Dalam pertempuran ini,
Bani Kalb dikalahkan. Peristiwa seperti ini selalu terjadi hingga hari-hari terakhir Bani
Umayyah.
Tidak terdapat peraturan yang jelas mengenai suksesi kekhalifahan Setelah Yazid
meninggal digantikan oleh anaknya Mu‟awiyyah II. Tidak banyak yang diperbuatnya ketika
menjabat menjadi Khalifah karena la tidak cakap dibidang ini. la hanya memerintah beberapa
bulan saja. Pada masanya keluarga Dinasti Umayyah berpecah belah dan muncul lah berbagai
ambisi jabatan Khalifah. Selanjutnya pemerintahan dinasti Bani Umayyah digantikan oleh
Marwan (64-66 H). Sebelumnya terjadi proses suksesi yang cukup lama karena Mu‟awiyyah
II tidak meninggalkan anak, sekalipun terdapat saudara laki-lakinya Yazid yang bernama
Khalid.  
Namun, dewan istana mempertimbangkan syarat kehadiran penguasa yang kuat,
sehingga dewan mengangkat Marwan dengan syarat setelah kematian Marwan, kekuasaan
akan dipindahkan ke Khalid. Namun, keadaan menjadi rumit dan rumit ketika Marwan secara
bersamaan mengangkat dua putra mahkota, Abdul Malik dan Abdul Aziz. putra mahkota
pertama dan kedua. Ketika, Abdul Malik berkuasa. dia tidak menyerahkan tahta kepada
saudaranya, Abdul Aziz, tetapi menunjuk putranya sendiri, Walid I, dan mengangkat
putranya yang lain, Sulaiman, untuk menjabat sebagai penerus tahta. Demikian pula, Walid 1
bertindak seperti ayahnya: ia berusaha untuk merebut suksesi Sulaiman atas takhta untuk
menyerahkannya kepada putranya, tetapi upaya ini tidak berhasil. Dengan demikian,
perselisihan kerajaan karena kurangnya mekanisme standar dan aturan suksesi menyebabkan
kehancuran internal Kekaisaran Umayyah.
Diskriminasi / Ashabiah Qaumiyyah, setelah kematian Marwan, Abdul Malik
menjabat sebagai Khalifah (66-86 H). Saat itu, ada perbedaan antara orang Arab dan non-
Arab, yaitu Ajam Ahluzzimmah yang sangat pro Islam yang datang ke kota tersebut. Oleh al-
Hajjaj Ibn Yusuf, semuanya dideportasi untuk kembali ke kampungnya, namun mereka tetap
dituduh jizyah seperti sebelum masuk Islam sehingga orang Ajam berpandangan negatif
terhadap orang Arab.
Rasisme ini paling terlihat saat mengangkat seseorang menjadi PNS, Amir, Sulthan,
Hakim, hingga Imam Sholat. Posisi ini hanya diberikan kepada orang Arab. Hal ini
menyebabkan perlakuan yang berbeda dalam bidang ekonomi dan sosial dibandingkan
dengan Muslim Arab. Apalagi, orang-orang Arab masih melihat kelompok Maulli sebagai
kompi bawahan. Di bawah tekanan ini, kelompok Maulli mengorganisir pemberontakan.
Pangkalan militer mawalli membelot dan bergabung dengan gerakan anti-pemerintah, yaitu
'Abbasiyyab dan Syiah. Mawalli tidak hanya anti-Umayyah pemerintah, tetapi lebih dari itu,
ia mencoba untuk melawan sistem Arabisasi. Dan yang terpenting, pada zaman Sulaiman
(96-99H/715-717M), Yazid II (101-105 H/720-724 M), Walid II (125-126 H/743-744 M), dia
adalah cara hidup yang hedonis dan mudah. Dia lebih suka menghabiskan waktunya berburu
dan minum, dan lebih tertarik pada musik dan puisi daripada Al-Qur'an dan urusan negara.
Karena kekayaan yang melimpah dan jumlah budak yang berlebihan, mereka tidak tahu
bagaimana mengendalikannya.
Kerugian dari peradaban yang khas. terutama yang berhubungan dengan alkohol,
wanita dan lagu mendominasi para pangeran gurun dan menggerogoti semangat hidup
pemuda Arab. Menurut Von Kremer, kekuasaan Bani Umayyah sezamannya sama sekali
tidak dianggap sebagai kelanjutan dari kekuasaan Nabi dan para sahabatnya, juga tidak
berdasarkan Islam yang mendukung raja pertama, yang didasarkan pada penaklukan
kekuasaan. . Ini adalah alasan bagi mereka yang menentang kekuasaan mereka, yang
dibangkitkan atas nama Allah dan Rasul-Nya. Inilah pola hidup raja-raja Umayyah kecuali
Mu'awiyyah, Abdul Malik, Walid I dan, Umar II dan Hisyam.
Penyebab langsung jatuhnya Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang
diluncurkan oleh keturunan 'Abbas bin' Abdul Muthalib pada masa pemerintahan Hisyam.
Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim, Syi'ah dan Maulli yang merasa
terbebani oleh Bani Umayyah.
Propaganda gerakan Abbasiyah sangat menyerang sisi negatif dan kelemahannya
selama pemerintahan Bani Umayyah. Pada akhirnya, gerakan Abbasiyah memberikan
pukulan fatal bagi Kekaisaran yang goyah. Gerakan ini dengan cekatan membuat kaum
Abbasiyah mengklaim khilafah, sebagai keturunan Nabi. Abu Muslim, pemimpin
pemberontakan ini, sangat cocok dengan tugas yang dipercayakan kepadanya oleh Imam
Abbasiyah. Dia adalah orang yang tenang, dan kecelakaan atau kemenangan tidak
mempengaruhi dia sedikit pun. Abu Muslim memanfaatkan arogansi Mudhariyah dan
Himyariyah serta kebencian yang mengobarkan mereka berdua, memungkinkan dia untuk
melaksanakan rencananya dengan kekebalan yang cukup dari kedua belah pihak.
Khurasan menjadi pusat aktivitas Abu Muslim, dan dia dengan bijaksana
memenangkan dukungan dari Muslim non-Arab sebagai pejuang untuk tujuan mereka.
Kekuatan orang-orang Suriah yang setia kepada Bani Umayyah juga dilemahkan oleh
persaingan lama antara orang Arab Hijaz (Mudhariyyah) dan orang Arab Himyariyah
Yaman. Gerakan ini berlanjut hingga akhir pemerintahan Bani Umayyah. Kesimpulan
Nama Bani Umayyah diambil dari nama seorang tokoh suku Quraisy pada zaman
Jahiliyyah, yaitu Umayyah bin Abdl Al-Syam bin Abd Manaf bin Qusay Al-Quraish Al-
Amawiy. Dinasti Umayyah adalah pemerintahan Islam di bawah pemerintahan Umayyah
yang berlangsung dari tahun 661 hingga 750 M. Sepeninggal Ali bin Abi Thalib, sebagian
umat Islam berjanji setia kepada Hasan, putra Ali, untuk menjadi raja, namun posisi ini tidak
bertahan lama. Karena Hasan tidak ingin melanjutkan konflik dengan Bani Umayyah. Dia
berdamai dengan Mu'awiyah dan memberinya kepemimpinan. Dengan demikian,
Mu'awiyyah menjadi satu-satunya atau penguasa tunggal umat Islam pada saat itu.
Keberhasilan kepemimpinan dalam monarki dimulai ketika Mu'awiyyah memaksa
seluruh rakyatnya untuk menyatakan kesetiaan kepada putra Yazid. Mu'awiyyah bermaksud
meniru monarki di Persia dan Byzantium. Ia masih menggunakan istilah khalifah dalam
kepemimpinannya, namun ia memberikan penafsiran baru untuk penggunaan jabatan, ia
menyebutnya khalifatullah dalam arti seorang penguasa yang diangkat oleh Allah SWT.
Pembentukan dinasti Umayyah adalah salah satu ilustrasi pertama yang menunjukkan
bahwa umat Islam pada masa itu mendapatkan kembali identitas mereka sebagai negara
berdaulat, dan juga fase ketiga pemerintahan Islam, yang berlangsung lebih dari satu abad.
Dinasti Umayyah adalah kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Mu'awiyyah bin Abi
Sufyan. Pelopor dinasti ini dilakukan dengan menolak kesetiaan Khalifah Ali bin Abi Thalib,
setelah itu ia memilih untuk berperang dan berdamai bersama Ali dengan strategi politik yang
sangat menguntungkan baginya.
Kekuasaan Bani Umayyah berbentuk pemerintahan demokratis, berubah menjadi
monarki turun-temurun (sistem pemerintahan turun-temurun). Latar belakang lahirnya
Dinasti Umayyah adalah dalam kondisi dan situasi konflik politik antar golongan, yaitu
golongan Syi’ah, golongan Khawairj, golongan Jami’iyah dan golongan Zubaer. Dari konflik
politik antara kelompok-kelompok ini, kelompok Bani Umayyah, yang dimulai oleh
Mu'awiyyah, memperoleh kemenangan, sehingga membentuk pemerintahan Umayyah yang
berdaulat.
Daulat Bani Umayyah lahir dikelilingi oleh musuh dari berbagai golongan, sehingga
kebijakan politiknya menggunakan pendekatan keamanan yaitu militer, sehingga
kekuasaannya menjadi korban dan otoriter.
Mu'awiyyah bin Abi Sufyan dalam mendirikan Daulah Bani Umayyah menggunakan
kebijakan tipu daya, padahal bertentangan dengan ajaran Islam. Dia tidak takut kejahatan.
Membunuh adalah cara yang biasa, hanya untuk mencapai maksud dan tujuan, Abu Sufyan
masuk Islam dan tunduk kepada Nabi Muhammad SAW saat Fathu Makkah. Meski begitu,
Nabi Muhammad tetap memerankan Abu Sufyan sebagai penguasa Mekkah.
Pada saat semua orang Mekah ketakutan, Nabi Muhammad mengatakan bahwa siapa
pun yang memasuki rumah Abu Sufyan, dia akan aman. Artinya keberadaan Abu Sufyan
tetap menjadi penguasa Mekkah, meskipun ia tunduk pada kepemimpinan Nabi Muhammad
SAW. Di bawah kepemimpinan Rasullah dan Khulafar Rasyidin, Bani Umayyah tidak lagi
menjadi penguasa bangsa Arab.
Pada waktu itu para penguasa Muslim dan Arab tidak memperhatikan asal usul suku
dan suku. Proses perekrutan pemimpin didasarkan pada kemampuan dan keterampilan. Meski
Usman bin Affan berasal dari keluarga Umayyah, ia tidak pernah memperkenalkan dirinya
sebagai Umayyah.
Demikian pula, Mu'awiyyah bin Abi Sufyan diangkat menjadi gubernur Suriah oleh
Umar bin Khattab karena bakatnya. Ambisi Umayyah untuk mendominasi muncul kembali
saat mereka memperoleh kekuatan besar. Dengan upaya yang berbeda, mereka membentuk
kekuatan dan merebut Khilafah dari kaum Muslim. Upaya ini akhirnya berhasil setelah Hasan
bin Ali mengundurkan diri dari kekuasaannya dan menyerahkannya kepada Mu'awiyyah bin
Abi Sufyan yang dikenal sebagai Amul Jama'ah.
Daulah Bani Umayyah, yang berbasis di Damaskus, diperintah oleh 14 raja. Di antara
khalifah yang paling penting, bagaimanapun, adalah Khalifah Mu'awiyyah bin Abi Sufyan,
Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin
Abdul Malik.
Dinasti Umayyah berlangsung 91 tahun dengan 14 raja. Berbagai kemajuan dibuat
selama dinasti ini. Misalnya, di bidang administrasi, berbagai lembaga administrasi dan
pemerintahan dibentuk untuk mendukung kepemimpinan tambuk dinasti Umayyah. Banyak
kebijakan yang diterapkan selama ini, termasuk pemisahan kekuasaan, pembagian wilayah,
pemerintahan administratif, organisasi kekuasaan, organisasi formal, peradilan, organisasi
sosial dan budaya, sastra, seni, dan arsitektur.
Perpindahan ibu kota dari Madinah ke Damaskus sebagai simbol zaman kekaisaran
baru dengan memindahkannya selamanya dari pusat Arabia, yaitu Madinah, pusat agama dan
politik, menjadi kota ekonomi nasional. Dari kota inilah penguasa Umayyah terus
memperluas kekuasaan Islam dan mengembangkan pemerintahan pusat yang kuat, yaitu
kerajaan Arab. Ekspansi tidak berhenti di bawah raja Usman dan Ali, yang diambil alih oleh
dinasti Umayyah. Pada masa Bani Umayyah, Tunisia ditaklukkan. Di sebelah timur,
Mu'awiyyah bisa menguasai wilayah Khorasan sampai ke Sungai Oxus dan Afghanistan
sampai ke Kabul.
Angkatan lautnya menyerang ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur
yang dipimpin oleh Mu'awiyyah kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abd al-Malik. Ia
menyeberangi Sungai Oxus dan berhasil menaklukkan Balkh, Bukhara, Khwarizm, Ferghana,
dan MARKHAND.
Pasukannya bahkan sampai ke India dan mampu menguasai daerah Balochistan,
Sindh dan Punjab sampai ke Maltan. Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan
dizaman Walid bin Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman,
kemakmuran dan bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh
tahun tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua
Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah al-Jajair dan Marokko dapat ditaklukkan, Tariq bin
Ziyad, pemimpin pasukan Islam menyebrangi selat yang memisahkan antara Marokko
dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama
Gibraltar atau Jabal Tariq. 
Tentara Spanyol bisa ditaklukkan. Dengan ini, Spanyol menjadi target ekspansi lebih
lanjut. Ibukota Spanyol Cordoba dengan cepat ditangkap. Hal ini diikuti oleh kota-kota lain
seperti Seville, Elvira dan Toledo yang menjadi ibu kota baru Spanyol setelah jatuhnya
Cordoba. Tentara Muslim kemudian menang dengan mudah karena mendapat dukungan dari
penduduk setempat yang telah lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Pada masa Omar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan terhadap Prancis melintasi
Pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman bin Abdullah al Ghafiqi. Dia
mulai menyerang Bodeau, Poitiers. Dari sana dia menyerang Tours, tetapi dalam pertempuran
di luar kota Tours al-Qhafii terbunuh dan pasukannya mundur ke Spanyol. Selain daerah-
daerah tersebut, pulau-pulau di Laut Mediterania juga jatuh ke tangan Muslim pada masa
Bani Umayyah.
Selain melakukan pemekaran wilayah, pemerintahan Dinasti Umayyah juga
memberikan perhatian yang besar pada bidang pendidikan. Berikan dorongan yang kuat bagi
dunia pendidikan dengan menyediakan sarana dan prasarana. Hal ini dilakukan agar para
ilmuwan, seniman, dan cendekiawan siap mengembangkan bidang ilmu yang dikuasainya
dan dapat melanjutkan untuk memperbanyak ilmunya. Di antara ilmu-ilmu yang berkembang
saat ini adalah agama, sejarah dan geografi, linguistik dan filsafat.
Bani Umayyah telah mencapai sejumlah prestasi dalam politik, termasuk
pembentukan lembaga-lembaga politik. Misalnya, pembentukan undang-undang pemerintah,
dewan menteri, organisasi sekretariat, dinas pos, dan rekening giro untuk penasihat khusus di
bidang politik. Kemudian, pada masa Bani Umayyah, sistem pemerintahan baru dan
ketatanegaraan yang semakin kompleks didirikan. Selain membentuk dewan penasehat
sebagai pendamping, beberapa sekretaris juga dilatih, antara lain:
1. Katib al Rasil:
Bertanggung jawab atas administrasi dan korespondensi dengan pejabat lokal.
2. Katib al-Kharraj:
Bertanggung jawab atas organisasi penerimaan dan pengeluaran negara.
3. Katib al-Jundi:
Ditugaskan mengatur berbagai urusan militer atau militer.
4. Katib al-Syurtah:
Bertanggung jawab mengatur berbagai masalah yang berkaitan dengan
keamanan dan ketertiban umum
5. Katib al-Qudat:
Bertanggung jawab untuk menjaga ketertiban hukum melalui otoritas peradilan
lokal dan hakim.
Selain keberhasilan Bani Umayyah dalam memperluas wilayah, Bani Umayyah juga
menorehkan prestasi di bidang pembangunan fisik. Diantaranya:
1. Pembangunan tiang dan penyediaan peralatan yang lengkap. 2. Pembangunan
jalan raya.
2. Cetak uang.
3. Membangun panti asuhan.
4. Pembangunan gedung-gedung pemerintah.
5. Pembangunan masjid.
6. Pembangunan rumah sakit.
7. Pendirian sekolah kedokteran.
Setelah negara aman, dinasti Umayyah mulai dibangun. Beberapa perkembangan
dilakukan di bidang material, kemudian menata kembali sistem pemerintahan, memperkuat
posisi orang Arab di antara negara-negara yang dikuasai lainnya, memfasilitasi posisi orang
Arab. sektor. . Salah satu aspek kebudayaan adalah pengembangan ilmu pengetahuan. Pada
masa Bani Umayyah kemudian perhatian tertuju pada ilmu yang lebih luas, yaitu
perkembangan ilmu terhadap ilmu-ilmu yang berkembang sebelum datangnya Islam.
Salah satu faktor pendukung ilmu pengetahuan saat ini adalah bahwa di berbagai
daerah di bawah kekuasaan negara Umayyah terdapat kota-kota dengan pusat kebudayaan
seperti Yunani, Alexandria, Antiokhia, Harran dan Yunde Sahpur, yang sejak itu menjadi
salah satu penyangga. mengembangkan ilmu pengetahuan saat itu. Bahkan para ilmuwan
yang beragama Yahudi, Nasrani dan Zoroarter setelah masuk Islam mendapat perlindungan,
bahkan ada yang menduduki jabatan tinggi di istana Khalifah.
Selain itu, Khalid bin Yazid, cucu Mu'awiyyah, sangat tertarik dengan kimia dan
kedokteran. Dia memberikan beberapa harta dan memerintahkan para sarjana Yunani yang
tinggal di Mesir untuk menerjemahkan buku-buku tentang kimia dan kedokteran ke dalam
bahasa Arab. Upaya ini menjadi terjemahan pertama dari cerita. Sementara itu, Al-Walid bin
Abdul Malik memperhatikan Bimaristan. Bimaristan adalah rumah sakit yang menjadi tempat
pengobatan dan perawatan orang sakit serta tempat belajar kedokteran.
Demikian pula, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ia secara
resmi memerintahkan para ulama untuk mencatat kisah-kisah Nabi. Saat itu, ia juga berteman
dengan Ibnu Abjar, seorang dokter dari Alexandria yang kemudian menjadi dokter
pribadinya. Oleh karena itu dinilai kurang lebih mempengaruhi pemikiran Khalifah Umar bin
Abdul Aziz tentang kedokteran. Dengan secara sistematis mengubah sistem hafalan ke sistem
penulisan sesuai kaidah ilmu terapan, para pendukung ilmu bukan lagi bangsa Arab, tetapi
juga kelompok pendukung, bukan Arab. Bahkan, kelompok ini dianggap telah mengubah
sistem keilmuan.
Karena keterbukaan para Khalifah Bani Umayyah terhadap agama-agama lain,
khususnya di bawah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, berdampak positif bagi perkembangan
ilmu pengetahuan khususnya ilmu penataan. Sistem penulisan ilmiah. Pendukung ilmu tidak
hanya etnis Arab, tetapi juga non-Arab. Kelompok non-Arab inilah yang dianggap telah
mengubah sistem keilmuan.
Pada masa Dinasti Umayyah, terdapat suatu bidang ilmu, yaitu yang pertama adalah
ilmu agama, yang berisi semua ilmu yang diambil dari Al-Qur'an dan Hadits. Bidang kedua
adalah ilmu sejarah, tubuh pengetahuan yang berkaitan dengan proses kehidupan, cerita dan
sejarah. Kemudian ada ilmu bahasa, yaitu semua ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu,
sharaf dan lain-lain. Dan terakhir ada ilmu filsafat, dimana hal-hal yang sering datang dari
luar negeri, misalnya ilmu mantiq, kedokteran, kimia, astronomi, aritmatika dan ilmu-ilmu
lain yang berhubungan langsung dengan ilmu pengetahuan.
Sementara itu, dalam kata-kata Jurji Zidan yang dikutip Munir Amin, ia mengatakan
bahwa telah terjadi kemajuan dalam perkembangan ilmu pengetahuan di bawah Dinasti
Umayyah. Pertama, perkembangan bahasa Arab. Para penguasa Bani Umayyah menjadikan
Islam daulah, setelah itu bahasa Arab berkembang di wilayah kekhalifahan. Upaya ini telah
dilakukan untuk menjadikan bahasa Arab sendiri sebagai bahasa resmi administrasi negara
dan pemerintahan, sehingga buku-buku dan surat-menyurat harus menggunakan bahasa resmi
yaitu bahasa Arab.
Bani Umayyah juga mendirikan kota-kota kecil yang berfungsi sebagai pusat
kegiatan ilmiah dan budaya. Penyair, filsuf, cendekiawan, penyair, dan cendekiawan lainnya
semuanya berkumpul di kota ini. Kota ini kemudian berganti nama menjadi Muslim ukad-
nya. Kemudian ada ilmu qiraat yang dibangun sejak zaman Khulafah al Rasyidin yang
kemudian pada zaman Bani Umayyah dikembangkan dan diperluas menjadi cabang ilmu
Syari'ah yang sangat penting. Pada masa inilah lahir ahli-ahli qiraat yang terkenal, di
antaranya Abdullah Qusair dan Ashim bin Abi Nujud. Pada masa Bani Umayyah juga lahir
ulama hadits terkenal, seperti al-Auzai Abdurrahman bin Amru, Hasan Basri, Ibnu Abu
Malika dan Asya`bi Abu Amru Amir bin Syuhrabi.
Tidak hanya para ahli hadits saja yang lahir tetapi para ahli fiqhi juga lahir dari masa
Bani Umayyah. Di antara mereka adalah Sa'ud bin Musib, Abu Bakar bin Abdurrahman,
Qasim Ubaidillah dan Urwah dan Kharijah. Bani Umayyah memiliki wilayah perkembangan
yang sangat luas, terutama meluas ke wilayah-wilayah di luar Arabia. Maka ilmu nahwu
sangat dibutuhkan. Hal ini menyebabkan lahirnya ahli bahasa seperti ibawaih, yang
memunculkan karya tulisnya yaitu Injil, yang akhirnya menjadi buku pedoman tentang
masalah tata bahasa Arab. Pada masa Bani Umayyah, ilmu kebumian dan geografi, yang juga
dikenal sebagai ilmu Jughrafi, telah menjadi ilmu tersendiri. Bani Umayyah mulai
mempromosikan dakwah Islam dengan menerjemahkan buku-buku ilmiah dari bahasa lain ke
dalam bahasa Arab. Bani Umayyah adalah yang pertama membuat terjemahan dalam sejarah
Islam.
Dinasti Umayyah menyaksikan kemajuan dan pembentukan peradaban Islam dan
dekade pertama dinasti. Dari masa pemerintahan Khalifah pertama, Mu'awiyyah bin Abi
Sofyan, hingga masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik. Sementara dekade berikutnya,
dinasti menurun. Dinasti Umayyah sedang mengalami kemunduran yang ditandai dengan
melemahnya sistem kekuasaan politiknya. Karena banyaknya masalah yang dihadapi para
penguasa Bani Umayyah. Diantaranya adalah politik, ekonomi dan lain sebagainya. Alasan
kemunduran dinasti Umayyah adalah karena kekuasaan raja yang mutlak atau absolute.
Khalifah tidak tahu bagaimana berkompromi, yang berarti menentang keputusan dan
kehendak Khalifah berarti mempersiapkan kematian. Contohnya adalah pembunuhan Husain
dan pengikutnya di Karbala. Kejadian ini akhirnya mengakibatkan hukuman berat bagi
lawan-lawan Umayyah. Sehingga pada masa pemerintahan Bani Umayyah terjadi kudeta
yang mengganggu situasi dan kondisi di negara dan pemerintahan.
Gaya hidup mewah para kaisar juga menjadi penyebab runtuhnya dinasti Umayyah.
Kebiasaan berpesta dan boros di kalangan keraton menjadi faktor rendahnya moral mereka,
selain mengganggu keuangan negara.
Contohnya adalah Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang dikenal sebagai khalifah
yang mencintai hedon dan menghabiskan banyak uang negara. Sifat inilah yang akhirnya
dibenci oleh masyarakat hingga cepat atau lambat akan melancarkan pemberontakan untuk
menggulingkan atau menggulingkan kekuasaan Bani Umayyah.
Alasan lain kemunduran dinasti Umayyah adalah tidak adanya aturan yang jelas
tentang undang-undang sistem atau penunjukan raja. Hal ini menyebabkan perebutan
kekuasaan antara calon khilafah. Banyaknya gerakan pemberontak dari pertengahan hingga
akhir dinasti Umayyah juga menyebabkan turunnya dinasti ini. Upaya untuk menghancurkan
para pemberontak menghabiskan banyak tenaga dan uang, dan kekuatan Umayyah
berkurang.
Ada juga penyebab lain, yakni konflik antara Arab Utara (Arab Mudhariiyah) dan
Arab Selatan (Arab Himariyah) semakin akut. Sedemikian rupa sehingga para pemimpin
Umayyah merasa sulit untuk menjaga persatuan dan keutuhan negara mereka. Kemudian
alasan terakhir adalah banyak pemuka agama yang frustasi dengan kebijakan penguasa
Umayyah karena tidak berdasarkan syariat Islam.
Akhirnya, pada tahun 750 M, posisi Bani Umayyah dibalikkan oleh Bani Abbasiyah
yang bersekutu dengan Abu Muslim Al-Khurasani. Marwan bin Muhammad, kuda terakhir
Bani Umayyah yang melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh di sana. Pada akhirnya,
kedaulatan Bani Umayyah jatuh, dan kejatuhannya menjadi pelajaran bagi umat Islam.
Mungkin salah satu alasan terpenting adalah dampak pembunuhan yang dilakukan Yazid bin
Muawiyyah terhadap al-Hussein, cucu Nabi.
Bahwa situasi sosial politik pada masa Ali bin Abi Thalib dan Mu`awiyyah tidak jauh
berbeda. Karena pada masa kepemimpinan mereka terjadi pemberontakan. Meskipun
pemberontakan Muawiyyah tidak begitu besar di bawah kepemimpinan Ali. Yang
membedakan kedua sistem ini adalah sistem pemerintahannya, dimana Khalifah Ali
menggunakan sistem demokrasi dan Muawiyyah menggunakan sistem pemerintahan
monarki. Bahwa pemberontakan-pemberontakan itu muncul karena keinginan untuk
memperoleh kekuasaan di pemerintahan. Baik di kekhalifahan Ali maupun di kalangan Bani
Umayyah. Selain itu, ada kekurangan asosiasi di antara Muslim dalam Ikhwanul Muslimin.
Daftar Pustaka
Abdul Syukur Al azizi. (2019). Sejarah terlengkap Peradaban Islam.
Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah,
diterjemahkan dari Al-Alam Al-Islam fi Ashr Al-Umawi oleh Masturi dan Malik
Supar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008)
Abi Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Juz V, (Kairo:
Rawa’i Turats Arabi, 1387/1967), h. 301.

Adenan. (2016). Sistem Politik Islam Periodesasi Bani Umayah di Andalusia (pp. 1– 50).
al-„Abbadiy, Ahmad Mukhtar. (1982). Fi al-Tarikh al-‘Abbasiy wa al- Fatimiy.
Beirut: Dar al-Nahdah al-„Arabiyyah, t.t.
al-Adawiy, Ibrahim Ahmad. (1982). Tarikh al-A’lam al-Islamiy. Juz I. Kairo: 
Ma‟had al-Dirasat al-Islamiyyah.
al-Baqir, Muhammad. (1998). Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Islam
Cetakan VII. Bandung.
al-Din, Rais Muh. Dhiau. (2001). Al-Nazhariyah al-Siyasiyyah al-Islamiyah (Teori Politik
Islam), terj. Abdul Hayyie el-Kattani, dkk. Cetakan VI. Jakarta Gema Insani Press.
Alhikmah Islamic Studies Institute Jakarta. (2012). Maqasid Syari'ah; Menjawab
Problematika Kontemporer. Jakarta: Alhikmah Islamic Studies Institute Press.
Ali Rahmena. (1995). Para Perintis Zaman Baru Islam. Bandung: Mizan.
Al'isy, Yusuf, Dinasti Umayyah, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2013 al-Azizi Abdul Syukur,
Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, Jogjakarta: Saufa, 2014.
Al-Isy, Yusuf. (2009). Al-Daulah Al-Umawiyah wa Ahdast Allati; Sabaqatha
wa  Mahhdat laha, Ibtida’an min Fitnah “Usman. Terjemahan. Imam Nurhidayat
dan Muhammad Khalil, Dinasti Umawiyah. Cetakan. II. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar.
Alkhudhary, Muhammad Daulah Umawiyah, Tharablus: Majlis Idarah Jamiah Mishriyah,
2000.
Amin, Ahmad. (1993). Yaum al-Islam. In Islam dari Masa ke Masa, terjemahan.  Abu
Laila. Cetakan III. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Black, Anthony. (2006). Pemikiran Politik Islam, Diterjemahkan oleh Abdullah dan
Mariana Arieswati. Jakarta: Serambi.
Black, Antony. (2006). Pemikiran Politik Islam: dari Masa Nabi hingga Masa Kini.
Jakarta: Serambi.
Bobbi Aidi Rahman,. (2018). Hedonisme dan Pengaruhnya Terhadap Khalifah Bani
Umayyah.
Harun Nasution. (1992). Ensiklopedi Islam. Jakarta: Djambatan.
Hasan Asari. (1994). Menyingkap Zaman Keemasan Islam. Bandung: Mizan.
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang,
1989), h. 64.
M. Ridwan Lubis dan M. Syahriman. (1993). Perspektif Pembaharuan Pemikiran Islam,
Cetakan I. Medan: Pustaka Widya Sarana.
Mufrodi, Ali. (1997). Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos Press.
Munawir Sjadzali. (1993). Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah,
dan  Pemikiran. Jakarta: UI Press.
Soeyb, Yoesoef. (1999). Sejarah Daulat Umayah I. Jakarta: Bulan Bintang.
Syalabi, Ahmad. (2003). Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 1 Cetakan ke-6. Jakarta:
Pustaka Al-Husna Baru.
Syed Mahmudunnasir. (1988). Islam dan Konsepsi Sejarahnya Terjemahan Adang
Afandi. Bandung: CV. Rosda.
Thohir, Ajid. (2009). Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam; Melacak
Akar-Akar Sejarah, Sosial, Pollitik, dan Budaya Umat Islam. Jakarta: 
Rajawali Press.
W. Montgomery Watt. (2006). Kejayaan Islam Kajian Kritis dari tokoh Orientalis.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Yatim, Badri. (2003). Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT.  Raja
Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai