Anda di halaman 1dari 7

DINASTI UMAYYAH

Setelah khalifah Ali meninggal dunia bulan Ramadhan 40 H, penduduk Kufah mengangkat putranya,
Hasan menjadi khalifah mereka walaupun sebenarnya dia tidak berbakat menjadi khalifah. Sementara
itu, penduduk Syam pun telah mengangkat Muawiyah menjadi khalifah mereka semenjak peristiwa
tahkim. Berbeda dengan Hasan, dia didukung oleh tentaratentara militan yang keperluan finansial
mereka ditanggung Muawiyah, apalagi tanah Syam yang kaya raya mendukung Muawiyah untuk hal itu.

Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan ra.
Perintisan dinasti ini dilakukan dengan cara menolak pembaiatan terhadap khalifah Ali ibn Abi Thalib,
kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan strategi politik yang
sangat menguntungkan baginya.
Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang
membangkang dari Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun demikian tampuk kekuasaan dipegang oleh
putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya
kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan menyerahkan
kepemimpinan kepada Muawiyah, namun dengan perjanjian bahwa pemilihan kepemimpinan sesudahnya
adalah diserahkan kepada umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 41 H/661 M dan dikenal
dengan tahun perdamaian (am al jama'ah) karena perjanjian ini mempersatukan umat Islam menjadi satu
kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola kepemimpinan menjadi kerajaan.
Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru dalam kemajuan peradaban
Islam. Hal ini dibuktikan dengan sumbangan-sumbangannya dalam perluasan wilayah, kemajuan
pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya.
A. BIOGRAFI MUAWIYAH IBN ABI SUFYAN R.A
Muawiyah ibn Abi Sufyan ra adalah sahabat Nabi dari suku Quraisy keturunan Bani Umawi. Ayahnya
bernama Shakhar ibn Harb yang lebih dikenal dengan panggilan Abi Sufyan dan ibunya bernama Hindun
bint Utbah ibn Rabiah. Saudarinya bernama Habibah bint Abi Sufyan yang ikut hijrah ke Abisinia
bersama suaminya, Ubaidillah ibn Jahsy. Namun, Ibn Jahsy pindah keyakinan menjadi pemeluk Nasrani,
sering minum arak, dan kemudian mati dalam keadaan kafir. Setelah masa iddah Habibah habis,
Rasulullah saw. mengutus seseorang kepada raja Najasi untuk melamarnya. Sejak itu, Habibah resmi
menjadi Ummul Mukminin.
Muawiyah dipanggil dengan nama Abu Abdurrahman. Lahir di Mekkah sekitar April 602 M, atau sekitar
20 tahun sebelum hijrah Nabi ke Yasrib. Muawiyah ibn Abi Sufyan ra ibn Harb ibn Umayyah dari
keluarga Bani Umayyah yang dipinpim oleh ayahnya, Abu Sufyan. Mereka merupakan keluarga
pedagang besar dari kabilah besar Quraisy yang berpusat di Mekkah. Pada mulanya mereka memang
sangat menentang Islam, dan baru menerimanya setelah pembebasan Mekkah pada tahun ke-8 sesudah
hijrah, sehingga dengan demikian Muawiyah serta ayahnya dan yang lain disebut kaum tulaqa'; "orang-
orang yang dibebaskan" dari hukuman perang. Kemudian mereka menjadi para administrator terkemuka
di bawah Nabi dan para khalifahnya.
Muawiyah turut serta dalam Perang Hunain bersama Rasulullah. Kaum muslimin memenangi peperangan
itu dan Rasulullah memberikan seratus ekor unta dan empat puluh uqiyah emas kepada Muawiyah dari
bagian harta rampasan. Muawiyah dan ayahnya adalah mualaf. Meskipun di masa Jahiliah mereka sangat
keras memusuhi Rasulullah, setelah bersyahadat mereka menjadi muslim yang taat (Muhammad Raji
Hasan Kinas, 2012: 547-548)
B. Berdirinya Dinasti Bani Umayyah
Sebagaimana tercatat oleh sejarah, lahirnya Dinasti Umayyah dimulai dari peristiwa tafkhim setelah
pecahnya perang Shiffin di Daumatul Jandal. Dikisahkan bahwa Hasan yang menggantikan ayahnya, Ali
bin Abi Thalib, mengadakan perjanjian damai dengan Mu'awiyah agar gejolak dan pemberontakan yang
terjadi tidak sampai menghancurkan keutuhan umat Islam.
Dalam upaya perdamaian, Khalifah Hasan bin Ali mengirimkan surat melalui Amr bin Salmah al-Arabi
yang berisi pesan perdamaian. Dalam perundingan ini, Khalifah Hasan mengajukan syarat bahwa ia
bersedia menyerahkan kekuasaan kepada Mu'awiyah dengan beberapa ketentuan sebagaimana berikut:

 Mu'awiyah menyerahkan harta Baitul Mal kepadanya untuk melunasi utang-utangnya kepada
pihak lain.
 Mu'awiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib beserta
keluarganya.
 Mu'awiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah Bilinad kepada Hasan setiap tahun.
 Setelah Mu'awiyah berkuasa, maka masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan
kepada umat Islam untuk melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
 Mu'awiyah tidak boleh menarik sesuatu pun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Sebab, hal
itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang sahabat yang bernama Abdullah
bin al-Harits bin Nauval untuk menyampaikanisi tuntutannya kepada Mu'awiyah. Sementara, Mu'awiyah
sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat yang diajukan oleh Hasan mengutus orang-orang
kepercayaannya, seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama.
Setelah kesepakatan damai Ini, Mu'awiyah mengirimkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi
tanda tangannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu, ia menulis, "Aku mengakui bahwa karena
hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan khalifah. Dan, sekiranya aku yakin kemampuan
Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia
kepadamu."
Itulah salah satu kehebatan Mu'awiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonik, dan
seolah-olah bijak. Surat ini merupakan salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaannya
dari tangan pemimpin sebelumnya.
Akhirnya, pada bulan Rabi'ul Awwal tahun 41 H/661 M, terjadi kesepakatan damai antara Hasan dan
Mu'awiyah, yang kemudian kenal dengan Aam Jama'ah, karena kaum muslimin sepakat untuk memilih
satu pemimpin saja, yaitu Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari
Hasan ke Mu'awiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah
kepemimpinan khalifah pertama, Mu'awiyah bin Abu Sufyan.
Proses penyerahan kekuasaan dari Hasan bin All kepada Mu'awiyah bin Abu Sufyan dilakukan di suatu
tempat yang bernama Maskin, dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, Mu'awiyah
telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari
Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun Mu'awiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Basrah, usaha ini tidak
henti-hentinya dila kukan oleh Mu'awiyah sampal akhirnya secara de facto dan de jure jabatan tertinggi
umat Islam berada di tangannya. Dengan demikian, maka secara resmi berdirilah dinasti baru, yaitu
Dinasti Bani Umayyah (661-750 M).
Dalam pengelolaan pemerintahan, Muawiyah mendirikan dua departemen yaitu pertama, diwanul khatam
yang fungsinya adalah mencatat semua peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah. Kedua, diwanulbarid
yang fungsinya adalah memberi tahu pemerintah pusat tentang perkembangan yang terjadi di semua
provinsi.
Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan inilah suksesi kekuasaan bersifat Monarchiheridetis
(kepemimpinan secara turun temurun) mulai diperkenalkan, dimana ketika dia mewajibkan seluruh
rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, yaitu Yazid bin Muawiyah. Pada 679 M, Mu'awiyah
menunjuk puteranya Yazid untuk menjadi penerusnya. Muawiyah bin Abu Sufyan menerapkan sistem
monarki dipengaruhi oleh sistem monarki yang ada di Persia dan Bizantium. Dalam perkembangan
selanjutnya, setiap Khalifah menobatkan salah seorang anak atau kerabat sukunya yang dipandang sesuai
untuk menjadi penerusnya. Sistem yang diterapkan Mu'awiyah mengakhiri bentuk demokrasi.
Kekhalifahan menjadi monarchi heridetis (kerajaan turun temurun), yang diperoleh tidak dengan
pemilihan atau suara terbanyak.

3. Faktor Keberhasilan Bani Umayyah


Ada beberapa faktor keberhasilan Muawiyah dalam mendirikan Dinasti Umayyah, yaitu:
1. Dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani Umayyah sendiri.
2. Sebagai administrator, Muawiyah mampu berbuat secara bijak dalam menempatkan para
pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Amr ibn Ash, Mughirah ibn Syu'ban, dan Ziyad ibn
Abihi.
3. Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat
(hilm) sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu, yang mana
seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil
keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi Samsul Munir
Amin, 2010: 119). maka dari itu semakin kokohlah pemerintahan bani Umayyah yang berpusat di
kota Damaskus

Khalifah Bani Umayyah


Dinasti Bani Umayah berkuasa selama 90 tahun dari tahun 41 H s.d 132 H atau 661 M sd 750 M. Selama
dinasti Bani Umayah terdapat 14 khalifah antara lain : Masa pemerintahan Dinasti Umayyah berlangsung
selama 90 tahun dengan 14 khalifah. Dimulai oleh kepemimpinan Muawiyah ibn Abi Sufyan ra dan
diakhiri oleh kepemimpinan Marwan ibn Muhammad. Adapun urutan Khalifah Daulah Bani Umayyah
adalah sebagai berikut.
1. Muawiyah ibn Abi Sufyan ra (661-861)
2. Yazid ibn Muawiyah (681-683)
3. Muawiyah II ibn Yazid (683-684) d. Marwan ibn Al-Hakam (684-685)
4. Abdul Malik ibn Marwan (685-705)
5. Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715)
6. Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717)
7. Umar ibn abdul Aziz (717-720) i. Yazid ibn Abdul Malik (720-724)
8. Hisyam ibn abdul Malik (724-743)
9. Walid ibn Yazid (743-744)
10. Yazin ibn Walid (744)
11. Ibrahim ibn Malik (744)
12. Marwan ibn Muhammad (744-750)

Asal Mula terbentuknya Sistem Pemerintahan Monarki

Muawiyah sebagai khalifah pertama melakukan pemindahan ibu kota negara dari Kufah (pusat
kekuasaan Ali) ke Damaskus karena dia sudah 22 tahun menjadi gubernur di daerah ini. Selain itu dia
mempunyai pendukung yang dapat diandalkan di sana, sedangkan di Kufah hanya terdapat pendukung
Ali yang beraliran Syi’ah. Selain itu Muawiyah untuk pertama kali dalam pemerintahan Islam
mempergunakan tenaga Body-Guard (pengalaman pribadi) untuk alasan keamanan, juga Muawiyah
membangun tempat khusus untuk dirinya di dalam mesjid yang disebut dengan Maqsurah. Muawiyah
juga memperkuat pemerintahan dengan mengembangkan armada angkatan laut sehingga ketika itu dia
telah memiliki 1.700 buah kapal. Dia pernah menyerahkan angkatan laut itu di bawah pimpinan
puteranya Yazid untuk merebut Konstantinopel (668 – 669 M). Akan tetapi usaha ini gagal karena
pertahanan kota tersebut sangat kokoh. Akibatnya banyak yang menderita korban jiwa dan kapal,
sekaligus karena pihak musuh tetap dapat menggunakan “Bom Yunani”.118 Hasan Ibrahim Hasan, J.1,
op.cit., h. 496

Menjelang wafatnya dia mengangkat puteranya Yazid sebagai putera mahkota yang mendapat
dukungan dari para gubernurnya, tetapi dia mendapat tantangan dari para tokoh sahabat di Madinah,
antara lain Husein bin Ali, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Zubeir, karena hal itu
bertentangan dengan janjinya pada Hasan dahulu.

Al-Mughiroh bin Syu’bah adalah orang pertama yang mengusulkan kepada Muawiyah agar mengangkat
anaknya Yazid menjadi khalifah sepeninggalnya. Karena dia akan dipecat Muawiyah dari jabatannya
sebagai gubernur Kufah, maka dia pergi ke Syam menemui Yazid bin Muawiyah dan mengatakan: bahwa
sesungguhnya para sahabat pilihan Nabi telah berpulang ke rahmatullah demikian juga para pembesar
Quraisy yang berpengaruh, sekarang tingga para puteranya, sedangkan engkau adalah yang paling
utama di antara mereka, saya tidak mengerti mengapa Amirul Mukminin tidak mengangkat engkau
menjadi khalifah sesudahnya. 119 Ibid., h. 9-10.

Muawiyah yang diberitahu anaknya Yazid tentang pemikiran al-Mughiroh itu memanggil al-Mughiroh
untuk menanyakan kebenaran pemikirannya itu. Maka al-Mughiroh menjawab: Ya Amirul Mukminin
sesungguhnya saya telah menyaksikan pertumpahan darah sepeninggal Utsman maka alangkah baiknya
bila engkau mewariskan kekhalifahan itu kepada Yazid, sungguh Yazid lebih berhak menjadi khalifah
sesudahmu nanti. Akhirnya, al-Mughiroh tidak jadi dipecat Muawiyah, malahan disuruh untuk
mempersiapkan bai’at bagi penobatan. Yazid menjadi putera mahkota. Missi al-Mughiroh berhasil dan
dapat menggalang penduduk Kufah untuk mendukung Yazid menjadi putera mahkota sepeninggal
Muawiyah nanti.120 Ibid., h. 10-11.

Pemikiran al-Mughiroh itu diterima Muawiyah, dengan menunjuk puteranya Yazid menjadi khalifah
sepeninggalnya, karena dia berkeinginan agar umat Islam tidak terlibat lagi dalam suatu pertempuran
karena memperebutkan jabatan khalifah. Sebab, belum lama lagi umat Islam berperang sesamanya
dalam Perang Jamal, Perang Shiffin dan mereka belum dapat melupakan malapetaka tersebut
disebabkan adanya keinginan orang-orang tertentu menduduki jabatan khalifah.121Al-Thabari, Tarikh
Al-Thabari, J. 4 (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1963), h. 224.

Oleh sebab itu Muawiyah mengirim surat kepada Gubernur Madinah Marwan bin al-Hakam, sebagai
berikut: “Aku ini telah lanjut usia, tulangku telah lemah, aku khawatir akan terjadi perpecahan di
kalangan umat Islam sepeninggalku. Dan aku berpendapat kini sebaiknya aku memilih untuk umat
seseorang yang akan menjadi khalifah mereka sesudahku..”122 Ahmad Syalabi, J. 2, op.cit., h. 47-48.

Keinginan Muawiyah itu mendapat sokongan dari para gubernurnya, kecuali Ziyad, gubernur Basrah
yang menganjurkan kepada Muawiyah agar tidak tergesa-gesa melaksanakan cita-citanya itu. Tetapi
setelah Ziyad meninggal, Muawiyah mendapat dukungan dari anaknya Ubaidillah bin Ziyad yang
menggantikan ayahnya. Hal ini berarti keinginan Muawiyah itu mendapat sokongan penuh dari kalangan
Bani Umaiyah, tetapi ditentang oleh keturunan Bani Hasyim.

Tantangan keras datang dari Abdurrahman bin Abi Bakar, dengan tegas dia berkata “…kamu hendak
menjadikan khalifah itu sebagai ‘Heracliusisme’, bila seorang Heraclius meninggal dunia maka digantikan
oleh Heraclius yang lain…” Sikap Abdurrahman itu mendapat sokongan dari pemimpinpemimpin lainnya
di Madinah seperti Husein bin Ali, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubeir, dan lain-
lainnya.

Tantangan dari Bani Hasyim dan sahabat-sahabat yang tinggal di Madinah dihadapi Muawiyah dengan
tangan besi. Dia datang ke sana dan mengumpulkan rakyat dan sahabatsahabat tersebut di masjid.
Muawiyah mngancam, siapa yang berani memotong pembicaraannya, algojo telah siap memenggal
lehernya. Dalam pidatonya disebutkan bahwa tokoh-tokoh kalian telah setuju mengangkat Yazid sebagai
khalifah sepeninggalku, apakah kalian setuju? Disambut rakyat dengan suara bulat, setuju.

Dengan demikian Muawiyah yang sudah berkuasa selama dua puluh tahun telah mendapat persetujuan
dari seluruh wilayah untuk mengangkat putranya Yazid sebagai khalifah sepeninggalnya. Hal itu berarti
telah merubah wajah pemerintahan Islam dari system demokrasi menjadi monarchi dengan
mendudukkan Bani Umaiyah di semua jabatanjabatan penting Negara. Khalifah Usman pun telah
melakukan hal tersebut sebelumnya, bedanya, pada masa khalifah Usman penuh dengan protes dari
masyarakat, sementara di masa khalifah Muawiyah tidak seorang pun yang berani memprotes walaupun
rakyat tidak sepenuhnya setuju dengan tindakan Muawiyah tersebut. Dalam keadaan seperti ini,
andaikan dari kalangan Bani Hasyim ada yang diangkat menjadi khalifah , Husein misalnya, maka dapat
diperhitungkan bila dia memecat para pejabat yang diangkat Muawiyah, seperti khalifah Ali memecat
gubernur yang diangkat Usman sebelumnya, maka dikhawatirkan akan terjadi perang yang lebih dahsyat
dari perang Jamal, dan perang Shiffin.

Selain itu, dari segi politik jika Bani Hasyim memprotes Muawiyah mengangkat anaknya Yazid sebagai
khalifah sepeninggalnya, mengapa mereka tidak memprotes orang yang mengangkat Hasan sebagai
khalifah menggantikan Ali? Bukankah itu masih dalam sistem turuntemurun juga. Hal ini berarti Bani
Hasyim tidak setuju dengan sistem pemerintahan monarchi untuk Bani Umaiyah dan menyetujui untuk
Ali bin Abi Thalib.

Kalau begitu, esensi masalah pada saat itu bukan terletak pada sikap Muawiyah yang membentuk
pemerintahan daulah dengan sistem Monarchi, akan tetapi lebih disebabkan persaingan sengit antara
Bani Hasyim dan Bani Umaiyah. Terbukti setelah Bani Hasyim tidak dapat membendung keinginan
Muawiyah membentuk Daulah Umaiyah, Bani Hasyim melakukan hal yang sama secara turun-temurun.
Masalah berikutnya andaikata Muawiyah tidak menunjuk anaknya Yazid menjadi khalifah sesudahnya,
adakah yang sanggup memegang jabatan khalifah, selain Bani Umaiyah. Orang yang mampu
mengendalikan pemerintahan Islam tanpa pertumpahan darah. Husein misalnya, tidak mempunyai kaki
tangan yang kuat untuk menegakkan pemerintahan. Hal yang sama terjadi juga pada diri Abdullah bin
Zubeir. Dengan demikian yang benar-benar ada persiapan matang dan terbaik melanjutkan
pemerintahan adalah orangorang Bani Umaiyah, khususnya para gubernur yang telah berpengalaman
dalam pemerintahan.

Oleh sebab itu, tindakan Muawiyah membentuk daulah tidak sepenuhnya dapat disalahkan, jika
dikaitkan dengan kondisi riil pemerintahan Islam pada saat itu, agar kaum Muslimin terhindar dari
pertumpahan darah karena memperebutkan jabatan khalifah.

D. MASA KEMAJUAN DINASTI BANI UMAYYAH

Pada masa Dinasti Bani Umayah, banyak perkembangan dan kemajuan yang terjadi di semua bidang
kehidupan. Perkembangan tersebut mempengaruhi terhadap perkembangan peradaban dan
kebudayaan Islam. Peranan para khalifah memiliki kontribusi besar dalam kemajuan Islam. Beberapa
langkah pengembangan Kebudayaan yang dilakukan oleh Para Khalifah Bani Umayah antara lain:

1) Administrasi Pemerintahan

Dalam bidang Administrasi pemerintahan, Bani Umayah menerapkan beberapa kebijakan, antara
lainAdministrasi pemerintahan Setidaknya ada empat diwan (departemen) yang berdiri pada
Daulah Bani Umayyah, yaitu:

1. Diwan Rasail
Departemen ini mengurus surat-surat negara kepada gubernur dan pegawai di berbagai
wilayah
2. Diwan Kharraj
Departemen ini mengurus tentang perpajakan. Dikepalai oleh Shahibul Kharraj yang
bertanggung jawab lansung kepada khalifah.
3. Diwan Rasail
Departemen ini mengurus surat-surat negara kepada gubernur dan pegawai di berbagai
wilayah.
4. Diwan Kharraj
Departemen ini mengurus tentang perpajakan. Dikepalai oleh Shahibul Kharraj yang
bertanggung jawab lansung kepada khalifah
5. Diwan Jund
Departemen ini mengurus tentang ketentaraan negara. Ada juga yang menyebut dengan
departemen perperangan.
6. Diwan Khatam
7. Departemen ini disebut juga departemen pencatat. Setiap peraturan yang dikeluarkan
disalin pada sebuah register kemudian disegel dan dikirim ke berbagai wilayah.
1) Lambang Negara

Muawiyah menetapkan bendera merah sebagai lambang negara di mana sebelumnya pada masa
Khulafa Rasyidin belum ada. Bendera merah ini menjadi diri khas Daulah Bani Umayyah.

2) Bahasa Resmi Administrasi Pemerintahan

Pada pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan, bahasa Arab dijadikan bahasa resmi
administrasi pemerintahan.

Anda mungkin juga menyukai