Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KAIDAH KESHAHIHAN HADIS

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadis

Disusun oleh :

Morinda Marsilea Sidarta (06010521013)


Zahra Syavira Indriyani (06020521069)
Luluk Masluhatil Hasania (06030521074)

Dosen Pengampu :

Ahmad Maskur, S.HI., M.Ag

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2022

1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji syukur bagi Allah SWT yang telah mencurahkan
rahmat dan nikmat serta hidayah-Nya sehingga kami bisa menyusun makalah yang
berjudul “KAIDAH KESHAHIHAN HADIS” ini selesai tepat pada waktunya.

Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad


SAW. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Studi Hadis. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan dan pengetahuan tentang kaidah keshahihan hadis bagi para
pembaca dan juga penulis.

Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Ahmad Maskur, S.HI., M.Ag
selaku dosen pengampu mata kuliah Studi Hadis yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Penulis sangat berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca. Kami sebagai penulis makalah menyadari bahwa
masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Gresik, 1 Mei 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER MAKALAH.....................................................................................................................

KATA PENGANTAR...................................................................................................................

BAB I : PENDAHULUAN............................................................................................................

A. Latar Belakang......................................................................................................................

B. Rumusan Masalah.................................................................................................................

C. Tujuan Penulisan..................................................................................................................

BAB II : PEMBAHASAN.............................................................................................................

A. Memahami Kaidah Otentisitas Hadis (Kritik Sanad Hadis).................................................

1. Sanad Bersambung (Ittiṣal al-Sanad)................................................................................

2. Para Perawi Adil (‘Adālat al-Ruwat)................................................................................

3. Para Perawi ḍabit (ḍawābiṭ al-ruwāt)..............................................................................

4. Tidak mengandung shadz................................................................................................

5. Tidak mengandung ‘illat................................................................................................

B. Kaidah Validitas Hadis (Kritik Matan Hadis)....................................................................

1. Matan Hadits Terhindar dari Shadz................................................................................

2. Matan Hadits Terhindar dari ‘illat..................................................................................

BAB III : PENUTUP...................................................................................................................

A. Kesimpulan.........................................................................................................................

B. Saran...................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Ada beberapa argumen yang mendasari pentingnya penelitian hadis, yakni:


pertama, terkait hadis sebagai sumber Islam ke dua; kedua, terkait dengan historistas
hadis. Argumen historis ini mencangkup alasan karena tidak semua hadis tertulis
pada masa Nabi; secara faktual telah terjadi pemalsuan hadis; bahwa proses
kodifikasi hadis terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama; jumlah kitab hadis
yang banyak dengan metode dan kualifikasi penyusunan yang beragam; serta telah
terjadi proses transformasi hadis secara makna ( riwayat bi al-ma‟na) 1

Dalam literatur-literatur kelasik banyak kita temukan hadits-hadits yang seakan


isinya bertentangan dengan Alquran ataupun dengan hadits yang lainnya. Seperti
hadits tentang siksa kubur bagi seseorang yang keluarganya menangis, meratapi
kematiannya di atas kuburannya.2 Hal ini tentunya membutuhkan kajian lebih
mendalam untuk meluruskan hal tersebut. 

Kritik hadits merupakan salah satu metode yang ditawarkan banyak para pengkaji
hadits ataupun para muhadditsin dari kalangan sahabat ataupun tabiin secara tidak
langsung dalam mengolah sebuah hadits yang terkesan memiliki pertentangan di
dalamanya. Wal hasil metode ini seiring perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan,
terus berkembang dan berkembang sehingga kini menjadi sebuah disiplin keilmuan
yang cukup luas.

Kritik matan hadits merupakan salah satu bagian dalam ilmu kritik hadits, karena
sebagaimana kita ketahui, hadits memiliki tiga komponen inti yaitu: sanad, matan,
rowi. Masing-masing komponen ini memiliki keritik masing-masing. Di antara kritik
komponen hadits ini, adalah kritik matan hadits termasuk kajian yang jarang

1
Umi Sambulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), p. 183
2
Abdullah bin Ali. Musykilatul ahadits annabwiyyah wa bayanuha. Darul Qolam, Birut (1985)., hlm
147

4
dilakukan oleh muhadditsin, jika dibandingkan dengan kegiatan mereka terhadapa
sanad hadits. Hal ini karena mereka lebih condong menekankan pada kajian sanad
dengan asumsi bahwa tidak akan pernah dikatan sebuah hadits jika tidak ada silsilah
yang membawanya kepada rasulullah SAW

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis mengidentifikasi beberapa


rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana penjelasan mengenai kaidah otentisitas hadis (Kritik Sanad


Hadis)?
2. Bagaimana penjelasan mengenai kaidah validitas hadis (Kritik Matan Hadis)?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :

1. Untuk memahami, menganalisis, dan menjelaskan kaidah otentisi


2. tas hadis (kritik sanad hadis)
3. Untuk memahami, menganalisis, dan menjelaskan kaidah validitas hadis
(kritik matan hadis)

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Memahami Kaidah Otentisitas Hadis (Kritik Sanad Hadis)

Dari zaman ke zaman otentisitas keaslian, kandungan, dan hikmah dari hadis itu
sendiri sangat di jaga oleh para ulama. Peran ulama dalam hal ini sangat penting dan
secara khusus menjadi spesialis ulama hadis. Dan dalam hal ini, para ulama hadis
sangatlah selektif dalam menerima hadis.

Ketika hadis telah menyebar luas dan banyakpemalsuan yang dinisbatkan kepada
rasullah SAW, maka para ulama melakukan penelitian dan penilaian terhadap hadis.
Mereka menyusun berbagai kaidah dan metode keilmuan hadis, diantaranya kaidah
yang mereka rumuskan dalam kajian hadis adalah kaidah keshahihan hadis. 3 Terdapat
beberapa kriteria kualitas dan kapasitas periwayat hadis, yaitu :

1. Periwayatan hadis tidak boleh diterima terkecuali yang berasal dari orang-
orang yang dianggap tsiqat.
2. Orang yang akan memberikan riwayat hadis itu harus diperhatikan ibadahnya
serta perilakunya; apabila ibadah dan perilakunya tidak baik maka
periwatannya tidak di terima.
3. Riwayat orang-orang yang berdusta, mengikuti hawa nafsunya, dan tidak
memahami secara benar apa yang diriwayatkan adalah tertolak.
4. Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang-orang yang tidak dikenal
memiliki pengetahuan hadis.
5. Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang ditolak kesaksiaannya.

3
Mahesa, K. R. Menilik Kaidah kesahihan hads melalui kritik sanad (studi komparatif kaidah Imam
al-Syafi'i dan Imam al-Bukhari dalam penetapan hadis sahih) (Bachelor's thesis, Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 22

6
Kriteria-kriteria di atas tertuju pada kualitas dan kapasitas seorang periwayat.
Namun, kriteria di atas belum mencakup secara keseluruhan syarat sanad yang
autentik. Terdapat juga beberapa ulama lain juga menjelaskan mengenai pengertian
dan syarat menganai hadis sahih. Mayoritas ulama hadis mensepakati kriteria hadis
mecakup sanad dan matan.4 Dan telah disepakati oleh mayoritas ulama hadis bahwa
kaidah keashihah sanad hadis ialah sanad bersambung; seluruh periwayatan dalam
bersifat adil (al-‘adl); seluruh periwayatan dalam sanad bersifat dabit; sanad hadis
terhindar dari syuzuz; dan sanad hadis terhindar dari ‘illat.5 Dengan demikian, hadis
dapat dinyatakan shahih apabila memenuhi persyaratannya, yang oleh M. Syuhudi
Ismail, disebut sebagai unsur-unsur kaidah mayor keshahihan sanad hadis yaitu :

1. Sanad (mata rantai periwayatan) bersambung


2. Seluruh perawi dalam sanad hadis tersebut bersifat adil (terpercaya)
3. Seluruh perawi dalam sanad bersifat dhabit
4. Sanad dan matan hadis terhindar dari kejanggalan (shadz)
5. Sanad dan matan hadis terhindar dari cacat yang samar (‘illat)

Sanad dapat diartikan kaki bukit atau kaki gunung atau bisa berarti jalan.
Sedangkan menurut istilah sanad dapat diartikan berita atau informasi tentang jalan
yang dilalui matan, rangkaian orang orang yang meriwayatkan, yang menyampaikan
kepada matan hadis atau jalan yang menyampaikan kepada matan hadis.6 Sanad suatu
hadis merupakan suatu bentuk pertanggung jawaban sumber sejarah atau juga bisa
dikatakan sebagai dokumen periwayatan hadis. Dikatakan demikian sebab dari sudut
pandang ilmu sejarah, hadis itu merupakan fakta sejarah sehingga sanad suatu hadis
dapat dikatakan sebagai sumber sejarah.

Berkaitan dengan istilah sanad, dikenal juga istilah musnad, musnid dan isnad.
Musnad adalah hadis yang disebut lengkap beserta sanadnya sampai kepada Nabi
saw. Kata musnad juga bisa berarti kitab hadis yang disusun berdasarkan sistematika

4
Ibid, 25
5
Ibid, 25
6
Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hadis, UIN Sunan Ampel Press, 283

7
nama pertama misalnya hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas diletakkan
dalam satu bab. Demikian pula hadis yang diriwayatkan 'Aisyah diletakkan dalam
satu bab. Salah satu contoh kitab musnad adalah kitab Musnad Ahmad bin Hanbal
dan Musnad al-Shafi. Sedangkan yang dimaksud dengan musnid adalah orang yang
meriwayatkan hadis lengkap dengan sanadnya, dan kata isnad artinya dijelaskan atau
menjelaskan sanad hadis.

Ada dua peran penting yang dimainkan oleh sanad hadis Nabi, yaitu pertama,
peranannya dalam pendokumentasian hadis Nabi, dan yang kedua peranannya dalam
penentuan derajat hadis, baik dari sisi kuantitas/jumlah sanad (yang menghasilkan
derajat hadis mutawatir dan ahad) dan kualitas sanad (yang menghasilkan kualitas
hadis sahih, hasan atau daif)7

Mengenai keakuratan system sanad tidak ada penjelasan yang akurat. Akan tetapi
tetapi ada sumber yang menyatakan bahwa system sanad digunakan sebelum islam
datang namun tidak ditemukan keterangan lebih lanjut mengenai realitas tersebut.8

Penelitian terhadap keshahihan sanad ditujukan kepada dua aspek, yaitu kualitas
perawi dan kebersambungan sanad. Aspek pertama dilakukan untuk mengetahui
bagaimana ke-tsiqah-an setiap perawi pada setiap thabaqah sanad, yang diarahkan
kepada unsur ke-‘adil-an dan ke-dhabith-an perawi (atau unsur keberagamaan dan
intelektualitas). Adapun aspek kedua dilakukan untuk mengetahui hubungan antar
perawi, yang mencakup faktor kesezamanan dan pertemuan dalam hal periwayatan
hadis.

Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya sebuah sanad, biasanya para


ulama hadis melakukan hal sebagai berikut:
a. Mencatat semua nama perawi dalam sanad yang diteliti.

7
Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hadis, UIN Sunan Ampel Press, 281
8
Mahesa, K. R. Menilik Kaidah kesahihan hads melalui kritik sanad (studi komparatif kaidah Imam al-
Syafi'i dan Imam al-Bukhari dalam penetapan hadis sahih) (Bachelor's thesis, Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 15

8
b. Mempelajari sejarah hidup asing - masing perawi untuk mengetahui ke-
tsiqahan perawi dan hubungan guru murid antar perawi.
c. Meneliti kata-kata periwayatan yang digunakan perawi untuk
menegaskan proses periwayatan hadis (Syuhudi Ismail, Kaedah: 1988,
111).

Jadi, suatu sanad baru dapat dinyatakan bersambung apabila ia


memenuhi unsur kebersambungan yang ditunjukkan dengan adanya kesamaan antar
perawi (mu’asharah) dan hubungan periwayatan hadis berupa pertemuan dalam
penyampaian hadis sebagai guru–murid (liqa’)9

Terdapat Kaidah kesahihan yang berhubungan dengan sanad hadis yaitu sanad
haruslah bersambung, periwayat bersifat adil, dan periwayat bersifat ḍabit, tidak
mengandung syadz dan illat. Uraian tersebut dapat dijelaskan sebagia berikut:

D. Sanad Bersambung (Ittiṣal al-Sanad).

Kebersambungan sanad dalam periwayatan hadis, artinya bahwa seorang perawi


dengan perawi hadis diatasnya atau perawi dibawahnya terdapat pertemuan langsung
(liqā) atau adanya pertautan langsung dalam bentuk relasi murid-murid, mulai dari
awal hingga akhir. Setiap perawi hadis yang bersangkutan benarbenar menerima
hadis dari perawi diatasnya dan begitu juga sebaliknya, sampai dengan perawi
pertama.10

E. Para Perawi Adil (‘Adālat al-Ruwat).

Dalam memberikan pengertian istilah adil yang berlaku dalam ilmu hadis, ulama
berbeda pendapat. Dari berbagai perbedaan pendapat itu dapat dihimpunkan
kriterianya kepada empat butir. Penghimpunan kriteria untuk sifat adil adalah: (1)

9
Nadhiran, H. (2014). Kritik Sanad Hadis: Tela’ah Metodologis. Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji
Doktrin, Pemikiran, Dan Fenomena Agama, 7(1), 91-109.
10
Nurlina, S. (2015). Cinta Dan Benci Karena Allah Studi Analisis Sanad Dan Matan Hadis (Doctoral
dissertation, IAIN SMH Banten), 11

9
beragama Islam. (2) mukalaf. (3) melaksanakan ketentuan agama. dan (4) memelihara
muru’ah. Arti muru’ah ialah kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri
manusia pada tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan-kebiasaan. Jika seorang
perawi tidak termasuk kriteria diatas, bahkan hanya salah satu saja maka hadisnya
adalah hadis yang berkualitas sangat lemah (ḍa’if), yang oleh sebagian ulama
dinyatakan sebagai hadis palsu (hadis mauḍu).11

F. Para Perawi ḍabit (ḍawābiṭ al-ruwāt).

Aspek intektualitas (ḍabit) perawi yang dikenal dalam ilmu hadis dipahami
sebagai kapasitas kecerdasan perawi hadis12. Yang dimaksud ḍabit ada dua yaitu:

a. Periwayat yang bersifat ḍabit adalah periwayat yang (1) hafal dengan
sempurna hadis yang diterimanya; dan (2) mampu menyampaikan dengan
baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain.
b. Periwayat yang bersifat ḍabit adalah periwayat yang mempu memahami
dengan baik hadis yang dihafalnya itu

Berdasarkan definisi di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa periwayat yang


dhabit (kuat hafalannya) adalah periwayat yang mampu merekam dan merekonstruksi
redaksi hadis yang didengarnya dan mampu menyampaikannya kepada orang lain.
Kemampuan hafalan seseorang ada batasnya misalnya karena pikun atau sebab
tertentu lainnya. Periwayat yang mengalami perubahan kemampuan hafalan akan
tetap dinyatakan sebagai periwayat yang dhabit sampai saat sebelum mengalami
perubahan dan akan dinyatakan tidak dhabit pada saat setelah mengalami perubahan.
Ke dhabit an seorang periwayat dapat diketahui melalui kesesuaian riwayatnya
(minimal secara makna) dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang
telah dikenal ke-tsiqah-annya dan sesekali mengalami kekeliruan.13

11
Ibid, 11
12
Ibid, 12
13
Shubial Shahih, Ulum …, 128

10
G. Tidak mengandung shadz

Dalam bahasa yang sederhana, shadz adalah kejanggalan riwayat, dimana


kejanggalan riwayat itu bertentangan dengan banyak riwayat lain yang lebih thiqah.
Dengan demikian, di samping ukuran adalah kualitas riwayat, juga kuantitas
sanadnya, pasti kalah banyak dengan perawi lain yang memiliki riwayat yang
menyelisihinya.14

Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian shadz suatu hadis. Dari
berbagai pendapat yang ada, yang paling populer dan banyak diikuti sampai saat ini
adalah pendapat imam al-Shafi'i (wafat 204 H / 820 M), yaitu hadis yang
diriwayatkan oleh seorang yang thiqah tetapi riwayat tersebut bertentangan dengan
hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga bersifat thiqah. 15 Pendapat
imam al-Shafi'i tersebut dapat dinyatakan bahwa kemungkinan suatu hadis
mengandung shadz, apabila hadis tersebut memiliki sanad lebih dari satu. Apabila
diriwayatkan oleh seorang perawi thiqah saja, dan pada saat yang sama tidak ada
perawi thiqah lainnya yang meriwayatkan, maka hadis tersebut tidak dinyatakan
mengandung shadz. Dengan kata lain, hadis yang memiliki satu sanad saja tidak ada
kemungkinan mengandung shadz

Dengan pengertian bahwa hadis shadz adalah hadis yang memiliki sanad lebih
dari satu, di mana salah satunya diriwayatkan oleh seorang perawi yang thiqah, tetapi
riwayat tersebut bertentangan dengan sanad hadis lainnya yang diriwayatkan oleh
banyak periwayat yang juga bersifat thiqah, maka salah satu langkah penting untuk
menetapkan kemungkinan terjadinya shādz dalam hadis adalah dengan cara
membanding. bandingkan satu hadis dengan hadis lain yang satu tema. Para ulama
mengakui bahwa penelitian tentang shadz ini hanya bisa dilakukan oleh peneliti yang
memiliki kedalaman ilmu di bidang hadis, dan penelitian ini dianggap lebih sulit dari
pada penelitian 'illat hadis.16
14
Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hadis, UIN Sunan Ampel Press, 292
15
Abu 'Abd Allah al-Hakim al-Naysaburi, Ma'rifah 'Ulum al-Hadith (Kairo: Maktabah al-Mutanabbi,
tth), 119
16
Subhi al-Salih, 'Ulum al-Hadith wa Mustalahuh (Beirut: Dar al-'Ilm al-Malayin, 1988), 199

11
Dalam ungkapan yang lebih sederhana, shadz adalah kejanggalan dalam hadis
yang diriwayatkan oleh perawi thiqah. Penyebab kejanggalannya adalah riwayat
tersebut bertentangan dengan hadis lain satu tema yang diriwayatkan oleh banyak
perawi yang lebih thiqah. Dengan demikian, di samping ukurannya adalah kualitas
riwayat, juga secara kuantitas sanadnya, perawi thiqah itu kalah banyak dengan
perawi thiqah lain yang mempunyai riwayat yang menyelisihinya.

Kaitannya dengan shadz ini terdapat wacana bahwa hadis apapun derajatnya,
termasuk hadis mutawatir, jika lahiriahnya bertentangan dengan ajaran al-Qur'an
maka disebut disebut hadis shadz. Pendapat ini tidak popular karena pada hakekatnya
antara hadis sahih dengan al-Qur'an tidak akan terjadi pertentangan, mengingat al-
Qur'an adalah sumber prinsip dari hadis. Adalah tidak mungkin cabang bertentangan
dengan pokoknya. Jika terjadi pertentangan maka kemungkinannya ada dua, yaitu
pemahaman yang kurang luas sehingga tidak mampu memadukan di antara keduanya.
Atau pertentangan yang terjadi sifatnya sepintas bukan pertentangan yang sejatinya.17

H. Tidak mengandung ‘illat

Yang maksud 'illat dalam hal ini adalah sebab-sebab yang tersembunyi yang
merusak kualitas hadis. Dengan demikian, 'illat adalah suatu sebab yang samar dan
tersembunyi yang dapat merusak kesahihan hadis, meskipun secara dzahir
kelihatannya selamat dari cacat. Menurut penjelasan para ulama, 'illat hadis pada
umumnya ditemukan pada:

1) Sanad yang tampak muttasil dan marfu', tetapi kenyataannya mawquf,


walaupun sanadnya dalam kaadaan muttasil,
2) Sanad yang tampak marfu' dan muttasil, tetapi kenyataannya mursal, walaupun
sanadnya dalam kaadaan muttasil.

17
Yusuf al-Qaradawi, Kaifa Nata'amal al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ma'alim wa al-Dawäbit (Rabat:
Dar al-Aman, 1993), 93

12
3) Dalam hadis itu terjadi kerancuan karena bercampur dengan hadis lain dalam
sanad hadis itu terjadi kekeliruan penyebuitan nama periwayat yang memiliki
kemiripan atau kesamaan nama dengan perawi lain yang kualitasnya berbeda.18

Terlepas dari bagaimana hasil akhir penelitian sebuah sanad, harus diakui
bahwa adanya sistem periwayatan seperti inilah yang menyebabkan ajaran Islam tetap
terjaga dan terpelihara hingga sekarang.

B. Kaidah Validitas Hadis (Kritik Matan Hadis)

Jika kritik sanad lazim di kenal dengan istilah krtik ekstern(al-naqd al-
khariji),maka kritik matan lazim di kenal kritik intern (al naqd al-dakhili). Istilah ini
di kaitkan dengan orientasi kritik matan itu sendiri, yakni di fokuskan kepada teks
hadits yang merupakan intisari dari apa yang pernah di sabdakan Rasulullah, yang di
transmisikan ke pada generasi-generasi berikutnya hingga ke tangan para mukharrij
al- hadith, baik secara lafdzi (lafaz) maupun ma’nawi (makna).

Istilah kritik matan hadits, di pahami sebagai upaya pengujian atas keabsahan
matan hadits, yang di lakukan untuk memisahkan antara matan-matan hadits yang
sahih dan yang tidak sahih. Dengan demikian, kritik matan tersebut, bukan di maksud
untuk mengoreksi kelemahan sabda Rasulullah, akan tetapi di arahkan kepada redaksi
dan makna guna menetapkan keabsahan suatu hadits. Karena itu kritik matan
merupakan upaya positif dalam rangka menjaga kemurnian matan hadits, di samping
juga untuk mengantarkan kepada pemahaman yang lebih tepat terhadap hadits
Rasulullah.19

Secara etimologi matan berarti punggung jalan, tanah yang tinggi dan keras.
Adapun matan menurut ilmu hadits adalah isi hadits. Matan hadits terbagi tiga, yaitu
ucapan ,perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad Saw.20 Memang keshahihan

18
Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hadis, UIN Sunan Ampel Press, 295
19
Umi Sumbulah, Kritik Hadits, UIN – Malang Press, hlm.94
20
 http://warokakmaly.blogspot.com/2012/04/kritik-matan-hadits.html

13
hadits tidak menjamin keakuratan (validitas) teksnya. 21  Secara umum kajian kritik
matan hadits dapat disebutkan bahwa lingkup pembahasannya adalah terkait dengan
matan hadits. Matan hadits disini memiliki beberapa kriteria untuk dilakukan kritik
matan terhadapnya :

1) Yang pertama, terkait dengan lafaznya, jika dalam lafaz hadits terdapat
pertentangan dengan Alquran, maka kritik terhadap matan hadits harus
dilakukan sebagaimana apa yang pernah dilakukan oleh Saydatuna Aisyah
tentang sebuah hadits yang menurutnya bertentangan dengan sebuah ayat
alquran.
2) Yang kedua adalah terkait maknanya, jika makna satu hadits bertentangan
dengan hadits yang lain maka harus dilakukan kritik terhadap matan hadits.
Hal ini dilakukan dengan membandingkan redaksi matan antara para ahli
hadits dengan mendengarkan hafalannya masing-masing.22

Dari persyaratan keshahihan hadits di ketahui bahwa matan yang shahih adalah
matan yang selamat dari syudzuz dan illat.

1. Matan Hadits Terhindar dari Shadz

Shadz, dengan arti janggal. Shadz pada matan didefinisikan dengan adanya
pertentangan atau ketidak sejalanan riwayat seorang perawi yang menyendiri dengan
seorang perawi yang lebih kuat hafalan/ingatannya. Berdasarkan pendapat imam al-
Syafi’i dan al- Khalili dalam masalah hadits yang terhindar dari Shadz adalah:

a. Sanad dari matan yang bersangkutan harus mahfud dan tidak ghaib


b. Matan hadits bersangkutan tidak bertentangan atau tidak menyalahi riwayat
yang lebih kuat.

Konsekuensi di atas dalam melakukan penelitihan terhadap matan hadits yang


mengandung syazd adalah bahwa penelitihan tidak dapat terlepas dari penelitihan atas

21
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hadits, IAIN Sunan Ampel Press.
Hlm.165
22

14
kualitas sanad hadits yang bersangkutan. Dengan demikian langka metodologis yang
perlu ditempuh untuk mengetahui apakah suatu matan hadits itu
terdapat syuzudz atau tidak adalah:

a. Melakukan penelitihan terhadap kualitas sanad matan yang di duga


bermasalah.
b. Membandingkan redaksi matan yang bersangkut dengan matan-matan lain
yang memiliki sanad berbeda.
c. Melakukan klarifikasi keselarasan antar redaksi matan-matan hadits yang
mengangkat tema sama.

Dengan kegiatan ini akan di peroleh kesimpulan, mana matan yang mahfudz dan


matan yang janggal ( syadz). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut harus di lakukan
pengglihan data dengan menempuh langka takhrij bi al-maudlu’.23

2. Matan Hadits Terhindar dari ‘illat

Pada bagian ini lebih di tekankan akan kaidah terhindar matan hadits
dari ‘illat. Kaidah minor matan hadits yang terhindar dari ‘illat adalah:

a. Tidak terdapat ziyadah ( tambahan) dalam lafadz.


b. Tidak terdapat idraj ( sisipan) dalam lafadz matan.
c. Tidak terjad idztirab ( pertentangan yang tidak dapat di kompromikan) dalam
lafadz matan hadits.
d. Jika ziyadah, idraj, dan idztirab bertentangan dengan riwayat
yang tsiqat lainnya, maka matan hadits tersebut sekaligus mengandung shadz.

Langka metodologis yang perlu di tempuh dalam melacak dugaan illat pada


matan hadits adalah:

a. Melakukan tahrij ( melacak keberadaan hadit) untuk matan bersangkutan,


guna mengetahui seluruh jalur sanadnya.

23
Ibid, hlm. 166

15
b. Melakukan kegiatan i’tibar guna mengkategorikan muttaba’ tam / qashir dan
meghimpun matan yang bertema sekalipun  berujung pada akhir sanad ( nama
sahabat) yang berbeda ( syahid).
c. Mencermati data dan mengukut segi-segi perbedaan atau kedekatan pada:
nisbah ungkapan kepada nara sumber, pegantar riwayat dan susunan kalimat
matannya, kemudian menentukan sejauh mana unsure perbedaan yang
teridentifikasikan. Selanjutnya akan di peroleh kesimpulan apakah kadar
penyimpangan dalam penuturan riwayat matan hadits masih dalam batas
toleransi ( illat khafifah) atau sudah pada taraf merusak dan memanipulasi
pemberitaan ( illat qadihah).

Secara umum matan hadits dapat dikatakan sahih apabila:

a. Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an.


b. Tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.
c. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, dan sejarah.
d. Susunan bahasanya menunjukkan ciri-ciri lafaz kenabian,yaitu: tidak rancu, 
sesuai dengan kaidah bahasa Arab, fasih.

Dari pejelasan di atas dapat di simpulkan bahwa standar matan yang shahih adalah:24 

a. Sanad periwayatan berkualitas


b. Redaksi matannya terhindar dari illat/ cacat
c. Reaksi matanya terhidar dari shadz
d. Kandungan maknanya tidak bertentangan dengan dalil-dalil dan realitas yang
shahih.

Contoh Kritik Matan Hadits antara lain:

Contoh kritik matan hadis yang dilakukan pada masa sahabat: Dari ‘Aisyah
tatkala mendengar sebuah hadis yang disampaikan oleh Ibn Abbas dari
Umar.25 Rasulullah SAW bersabda:
24
Ibid, hlm. 169
25
http://warokakmaly.blogspot.com/2012/04/kritik-matan-hadits.html

16
‫إن الميت ليعذب ببكاء أهله عليه‬

“ Mayat itu akan disiksa karena ditangisi keluarganya “

Dengan serta merta Aisyah membantah hadits tersebut dengan berkata semoga Umar
dirahmati Allah. Rasulullah tidak pernah bersabda demikian melainkan beliau
bersabda:

‫إن هللا يزيد الكافر عدابا ً ببكاء أهله عليه‬

“ Sesungguhnya Allah akan menambah siksa orang kafir karena ditangisi


keluarganya”.

Hadits di atas menunjukkan bahwa kritik matan hadis sudah dimulai sejak masa
sahabat. Aisyah telah mengkritik matan hadis yang didengar dari Ibn Abbas tersebut
dengan cara membandingkan dan mengkonfirmasikan dengan hadis yang bertema
sama yang pernah didengarnya sendiri dari Rasulullah dan juga nash al-Quran

Oleh karena itu, Istilah kritik matan hadits, di pahami sebagai upaya pengujian
atas keabsahan matan hadits, yang di lakukan untuk memisahkan antara matan-matan
hadits yang sahih dan yang tidak sahih. Dengan demikian, kritik matan tersebut,
bukan di maksud untuk mengoreksi kelemahan sabda Rasulullah, akan tetapi di
arahkan kepada redaksi dan makna guna menetapkan keabsahan suatu hadits. Karena
itu kritik matan merupakan upaya positif dalam rangka menjaga kemurnian matan
hadits, di samping juga untuk mengantarkan kepada pemahaman yang lebih tepat
terhadap hadits Rasulullah. baik secara lafdzi (lafaz) maupun ma’nawi (makna).

Mempelajari Hadis dan Mengajarkannya adalah kewajiban bagi orang islam


mempelajari syariat islam terus menerus. Sumber ajarannya di Al-qur’an dan hadis
Nabi. Maka menyampaikan dan mempelajari ajaran dari sumber tersebut dimana
hadis didalamnya adalah termasuk kewajiban. Dengan demikian aspek memahami
hadist itu merupakan produk ijtihad.

17
 

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kaidah otentisitas hadis (kritik sanad hadis) terdiri dari lima hal, yaitu: sanad
(mata rantai periwayatan) bersambung, seluruh perawi dalam sanad bersifat adil

18
(terpercaya), seluruh perawi dalam sanad bersifat dabit (cermat), sanad dan matan
hadis terhindar dari kejanggalan (syadz) dan terhindar dari cacat samar (‘illat).

Sedangkan kaidah validitas hadis (kritik matan hadis) ada dua, yaitu matan
hadis terhindar dari kejanggalan (shadz) dan matan hadis terhindar dari cacat yang
samar ('illat). Secara umum, suatu matan hadis dapat dikatakan sahih apabila
tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur'an, tidak bertentangan dengan hadis
yang lebih kuat, tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, dan fakta sejarah,
dan susunan bahasanya menunjukkan ciri-ciri lafal kenabian, yaitu tidak rancu,
sesuai dengan kaidah bahasa Arab.

B. Saran

Demikian makalah yang penulis susun. Tentunya penulis menyadari, jika


dalam penyusunan makalah di atas masih banyak ada kesalahan serta jauh dari
kata sempurna. Penulis menerima saran dan kritik dari para pembaca. Mohon
maaf apabila terdapat kesalahan dan terima kasih atas dukungan, saran, dan kritik
yang membangun.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah bin Ali. Musykilatul ahadits annabwiyyah wa bayanuha. Darul Qolam,


Birut (1985)., hlm 147

19
Abu 'Abd Allah al-Hakim al-Naysaburi, Ma'rifah 'Ulum al-Hadith (Kairo: Maktabah
al-Mutanabbi, tth), 119

Bustamin dan Muhammad Isa. Metodologi kritik hadits (2004):59.

Mahesa, K. R. Menilik Kaidah kesahihan hads melalui kritik sanad (studi komparatif
kaidah Imam al-Syafi'i dan Imam al-Bukhari dalam penetapan hadis
sahih) (Bachelor's thesis, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta), 22

Nadhiran, H. (2014). Kritik Sanad Hadis: Tela’ah Metodologis. Jurnal Ilmu Agama:
Mengkaji Doktrin, Pemikiran, Dan Fenomena Agama, 7(1), 91-109.

Nurlina, S. (2015). Cinta Dan Benci Karena Allah Studi Analisis Sanad Dan Matan
Hadis (Doctoral dissertation, IAIN SMH Banten), 11-12

Subhi al-Salih, 'Ulum al-Hadith wa Mustalahuh (Beirut: Dar al-'Ilm al-Malayin,


1988), 199

Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hadis, UIN Sunan Ampel
Press

Umi Sambulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), p. 183

Yusuf al-Qaradawi, Kaifa Nata'amal al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ma'alim wa al-


Dawäbit (Rabat: Dar al-Aman, 1993), 93

20

Anda mungkin juga menyukai