Anda di halaman 1dari 13

STUDI KASUS KETUHANAN YANG MAHA ESA

DIMENSI NORMATIF

Kasus yang diteliti : 44 dari 100 Siswa SMA Bandung Terindikasi Radikalisme

Tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Riset Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
menemukan fakta bahwa 44 dari 100 siswa tingkat menengah atas di Kota Bandung telah
terindikasi memiliki paham radikalisme. Hal itu ditemukan dalam penelitian yang dilakukan
pada Juli-Agustus 2021. Menurut Dawinsha radikalisme adalah sikap dari jiwa yang membawa
kepada tindakan yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan kemapanan dan
menggantinya dengan gagasan baru.

Secara umum dari hasil penelitian yang dilakukan dengan metode mixed methods ditemukan,
bahwa sebesar 35 persen diduga terindikasi tipe radikal secara agama, yang terbagi atas 16
persen berkarakteristik radikal ISIS dan Al-Qaeda; 15 persen berkarakteristik dengan gerakan
keagamaan garis keras secara fisik; 4 persen berkarakteristik radikal secara ideologi dan sebesar
2 persen diduga terindikasi paham radikal kriminal bersenjata.

Dalam penelitian itu, ditemukan juga bahwa propaganda di media sosial merupakan salah satu
sumber terbesar penyebar paham radikal di kalangan siswa di Kota Bandung. Ketua Tim PKM
Riset UPI Muhammad Nur Imanulyaqin mengatakan penelitian ini dilatarbelakangi oleh
berbagai riset yang menyatakan siswa SMA kerap menjadi sasaran dari penyebaran paham
radikal, bahkan paparannya hingga masuk ke ruang kelas.

"Maka dari itu perlu dilakukan deteksi secara masif untuk mengetahui apakah siswa SMA di
Kota Bandung juga banyak yang terpapar atau tidak. Selain itu, menurutnya penanganan
radikalisme yang efektif adalah penanganan yang mampu membedakan antara yang sudah
terpapar dan yang tidak," ujar Iman dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Rabu
(25/8/2021)

Iman mengatakan penanganan bagi siswa yang terpapar pun harus disesuaikan dengan motif dan
proses radikalisasinya. Pasalnya setiap individu memiliki proses radikalisasi yang berbeda-beda.
"Oleh karena itu diperlukan deteksi untuk mengkategorikan siswa-siswa tersebut." ujar Iman
yang juga mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi 2017 UPI itu.

Dosen pembimbing tim PKM Riset UPI Asep Dahliyana mengatakan, penelitian ini sangat
penting mengingat kasus radikalisme di Indonesia selalu mengalami gejolak setiap tahunnya.
"Selain itu, kasus teror pun selalu terjadi tiada henti. Jika radikalisme ini tidak segera ditangani
dengan baik maka sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI," ujar Asep.

Ia mengatakan setiap karakteristik radikal yang ditemukan memiliki ciri-ciri tersendiri. Sehingga
penanganan atau deradikalisasi perlu dilakukan dengan cara yang berbeda. Artinya tidak bisa
dipukul rata dengan satu penanganan deradikalisasi. "Sebab jika penangananya tidak tepat bukan
tidak mungkin paham radikal akan semakin menyebar luas," katanya

Radikalisasi muncul ketika seseorang merasa golongannya lebih baik dari golongan orang lain.
Mereka merasa bahwa golongan orang lain itu salah sehingga patut untuk diperangi dan bahkan
orang radikal menganggap orang yang bukan golongannya adalah orang kafir . Masih ada
kelompok masyarakat Indonesia yang kurang memahami istilah keTuhan-an dalam sila pertama
Pancasila. Hal ini menunjukkan bahwa kita belum mengalami pembauran dalam komunitas
plural yang mengakibatkan kecenderung memiliki nilai-nilai agama yang sempit dan primitive.
Masih ada sebagian penganut agama yang tidak menghormati penganut kepercayaan orang lain.
Masih adanya pelanggaran hukum agama oleh warga negara indonesia meskipun telah menganut
suatu agama. Masalah ini tidak terlepas dari kesenjangan pemahaman agama di Indonesia. Maka
dari itu pancasila hadir di Indonesia sebagai jawaban dari permasalahan yang sedang terjadi

Yang perlu kita ketahui yaitu : pertama, kata ketuhanan tidak boleh difahami dari aspek agama
tertentu saja dalam kemajemukan di Indonesia. Kedua, ketuhanan berarti sifat-sifat yang
mengindahkan Tuhan sebagai tampilan antropomorfis oleh agama manapun. Ketiga, Ketuhanan
merupakan hasil sejarah perumusan sila pertama Pancasila dengan kesadaran akan bhineka
sebagai realita yang harus dirawat, dijunjung tinggi dan dihormati dalam berbagai aspek hidup
melebihi agama.

Pada sila pertama pancasila memilki arti bahwa Indonesia adalah negara berketuhanan. Indonesia
tidak dipimpin oleh satu agama atau golongan tertentu. Indonesia adalah representasi nilai dari
keragaman agama. Melalui sila pertama ini menegaskan bahwa keragaman agama adalah
kekuatan kebangsaan. Toleransi merupakan urat-urat penting dalam membangun kebangsaan
yang adidaya. Nilai dari sila pertama adalah perwujudan penghargaan kepada agama-agama.
Tidak ada agama satupun yang menjadi hukum ataupun ideologi negara. Semua agama telah
membuat kesepakatan budaya dan politik bahwa pancasila adalah satu-satunya ideologi negara.

Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam sila pertama antara lain sebagai berikut :

1. Keyakinan terhadap adanya Tuhan yang Maha Esa dengan sifat-sifatnya yang
Mahasempurna.
2. Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dengan cara menjalankan semua perintah-
Nya, dan sekaligus menjauhi segala larangan-Nya.
3. Saling menghormati dan toleransi antara pemeluk agama yang berbeda-beda.
4. Kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

Pasal 28 E juga memberikan kebebasan untuk memilih dan menjalankan agama, serta kebebasan
untuk menyatakan atau mengeluarkan pikiran, pendapat atau sikap.

Sila pertama dan Pasal 29 tersebut menegas- kan pentingnya norma-norma agama dalam
pelembagaan hukum nasional/peraturan perundang- undangan. Secara konstitusional,
pelembagaan norma agama, terutama agama Islam, yang lahir dari tradisi kebanyakan
masyarakat Indonesia dalam hukum nasional adalah sah karena be- berapa alasan: Pertama,
secara filosofis, norma agama Islam sebagai ideologi keagamaan mayoritas masyarakat
Indonesia. Kedua, secara sosiologis, masyarakat Indonesia memiliki cita- cita dan kesadaran
hukum yang bersendikan norma agama yang aplikatif. Ketiga, secara yuridis, pelembagaan
norma agama dalam sistem hukum nasional diatur dalam pasal-pasal 24, 25 dan 29 UUD-NRI
1945.

Menurut Pancasila negara adalah berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa atas dasar
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini termuat dalam penjelasan Pembukaan UUD 1945
yaitu pokok pikiran keempat. Rumusan demikian menunjukkan pada kita bahwa negara
Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah bukan negara sekuler yang memisahkan negara
dengan agama, karena hal ini tercantum dalam Pasal 29 ayat (1), bahwa negara adalah
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti bahwa negara sebagai persekutuan
hidup adalah Berketuhanan yang Maha Esa. Konsekuensinya segala aspek dala pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara harus sesuai dengan hakikat nilai-nilai yang berasal dari Tuhan. Nilai-
nilai yang berasal dari Tuhan yang pada hakikatnya adalah merupakan hukum Tuhan adalah
merupakan sumber material bagi norma-norma, terutama bagi hukum positif di Indonesia

Demikian pula makna yang terkandung dalam Pasal 29 ayat (1) tersebut juga mengandung suatu
pengertian bahwa negara Indonesia adalah negara yang bukan hanya mendasarkan pada suatu
agama tertentu atau ukan negara agama dan juga bukan negara theokrasi. Negara Pancasila pada
hakikatnya mengatasi segala agama dan menjamin kehidupan agama dan umat beragama.

Pasal 29 ayat (2) memberikan kebebasan kepada seluruh warga negara untuk memeluk agama
dan menjalankan ibadah sesuai dengan keimanan dan ketaqwaan masing-masing. Negara ke-
bangsaan yang berketuhanan yang Maha Esa adalah negara yang merupakan penjelmaan dari
hakikat kodrat manusia sebagai individu makhluk, sosial, dan manusia adalah sebagai pribadi
dan makhluk Tuhan yang Maha Esa.

Mengapa sila pertama pancasila itu ”Ketuhanan Yang Maha Esa?

Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan RI suku-suku bangsa di kawasan Nusantara ini telah
hidup bersama dalam kondisi penuh persaudaraan dan damai. Tak terbilang jumlahnya berapa
jumlah suku bangsa yang ada di kawasan ini. Konon jumlahnya meliputi lebih dari 300 suku
bangsa. Lalu karena hidup dalam kawasan yang sama, apa saja kira-kira yang bisa kita ambil
sebagai alasan adanya kesamaan dalam kehidupan mereka? Tata cara dalam struktur
masyarakat yang berbeda etnis ini hampir semua mendahulukan kesepakatan atau musyawarah
dalam mencari solusi dari semua problem yang mereka hadapi dalam kehidupan terutama kalau
itu menyangkut pertikaian, pelanggaran nilai ataupun norma yang disepakati secara tertulis
ataupun sebagai aturan tak tertulis dalam komunitas mereka. Dalam berbagai etnis yang ada
terdapat aturan yang disepakati bersama, apabila ada nilai yang dilanggar, maka orang yang
melanggar mendapat hukuman dari para tetua atau orang yang dituakan masyarakatnya dan
bentuk hukumannya pun ditentukan bersama. Dalam perbedaan etnik yang ada, ada sebuah
kesamaan bahwa mereka sama-sama yakin terhadap adanya Sang Maha Pencipta yang
dikemudian hari setelah suku-suku bangsa yang berada dalam satu kawasan ini sepakat menjadi
sebuah bangsa, yang secara formal di awali di tahun 1908 dan dilanjutkan di tahun 1928 sebagai
bangsa yang berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu Indonesia yang selanjutnya
memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai Republik Indonesia,
maka landasan pertamanya adalah ke Tuhanan Yang Maha Esa.

Mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh? karena setiap
sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Prof. Notonagoro melukiskan sifat
hirarkis-piramidal Pancasila dengan menempatkan sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai
basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh
sila "Ketuhanan Yang Maha Esa". Secara tegas, Dr. Hamka mengatakan: "Tiap-tiap orang
beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu
dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari sila
pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa."

Kaum Kristiani menyatakan bahwa Tuhan ada dalam diri setiap orang. Kaum Hindu/Budha
menyatakan, bahwa diri manusia merupakan rumah Tuhan yang harus dijaga kebersihannya dan
dijauhkan dari hal-hal yang bertentangan dengan agama. Sedang kaum Islam sesuai dengan
Firman Tuhan (Allah) dinyatakan, bahwa "Allah ada sangat dekat dengan dirimu, tidak lebih dari
kedua urat nadi lehermu". Keberadaan dan keesahan Tuhan ini, mendasari suatu kesepakatan
untuk menempatkan "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai Sila Pertama, yang menjiwai semua
sila-sila dibawahnya. Di sinilah terletak jiwa dari Pancasila itu. Memang benar bahwa sila ini
adalah bersangkut paut dengan kemajemukan agama di Indonesia dan karena itu mengenai
kebebasan serta toleransi beragama. Tapi ia lebih dari itu. Sebab bila kebebasan serta toleransi
agama yang hendak kita tonjolkan, maka sila-sila lain telah menjaminnya (sila 2, 3, 4,
khususnya, bahkan 5 sekalipun).

DIMENSI HISTORIS

Kasus yang diteliti : Kesalahan dalam Mengartikan Sila Pertama Pancasila

Sejarah mengatakan bahwa Pancasila dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lahir
pada 1 Juni 1945. Pancasila lahir didasarkan pada pemikiran tokoh proklamator yang tidak lain
adalah Bung Karno. Mungkin banyak di antara kita yang tidak mengetahui apa dasar pemikiran
Bung Karno pada waktu mencetuskan ide dasar negara hingga tercetuslah ide Pancasila. Dasar
pemikiran Bung Karno dalam mencetuskan istilah Pancasila sebagai Dasar Negara adalah
mengadopsi istilah praktek praktek moral orang Jawa kuno yang di dasarkan pada ajaran
Buddhisme. Dalam ajaran Buddhisme terdapat praktek-praktek moral yang disebut dengan Panca
Sila (bahasa Sanskerta/Pali) yang berarti lima (5) kemoralan yaitu : bertekad menghindari
pembunuhan makhluk hidup, bertekad menghindari berkata dusta, bertekad menghindari
perbuatan mencuri, bertekad menghindari perbuatan berzinah, dan bertekad untuk tidak minum
minuman yang dapat menimbulkan ketagihan dan menghilangkan kesadaran.

Sila pertama dari Pancasila Dasar Negara NKRI adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalimat
pada sila pertama ini tidak lain menggunakan istilah dalam bahasa Sanskerta ataupun bahasa
Pali. Banyak di antara kita yang salah paham mengartikan makna dari sila pertama ini. Baik dari
sekolah dasar sampai sekolah menengah umum kita diajarkan bahwa arti dari Ketuhanan Yang
Maha Esa adalah Tuhan Yang Satu, atau Tuhan Yang jumlahnya satu. Jika kita membahasnya
dalam sudut pandang bahasa Sanskerta ataupun Pali, Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah
bermakna Tuhan Yang Satu.

Kata "maha" berasal dari bahasa Sanskerta/Pali yang bisa berarti mulia atau besar (bukan dalam
pengertian bentuk). Kata "maha" bukan berarti "sangat". Jadi adalah salah jika penggunaan kata
"maha" dipersandingkan dengan kata seperti besar menjadi maha besar yang berarti sangat
besarKata "esa" juga berasal dari bahasa Sanskerta / Pali. Kata "esa" bukan berarti satu atau
tunggal dalam jumlah. Kata "esa" berasal dari kata "etad" yang lebih mengacu pada pengertian
keberadaan yang mutlak atau mengacu pada kata "ini" (this-Inggris). Sedangkan kata "satu"
dalam pengertian jumlah dalam bahasa Sankserta maupun bahasa Pali adalah kata "eka". Jika
yang dimaksud dalam sila pertama adalah jumlah Tuhan yang satu, maka kata yang seharusnya
digunakan adalah "eka", bukan kata "esa".

Setelah kita mengetahui hal ini kita dapat melihat bahwa sila pertama dari Pancasila NKRI
ternyata begitu dalam dan bermakna luas, tidak membahas apakah Tuhan itu satu atau banyak
seperti anggapan kita selama ini, tetapi sesungguhnya sila pertama ini membahas sifat-sifat luhur
/ mulia yang harus dimiliki oleh segenap bangsa Indonesia. Sila pertama dari Pancasila NKRI ini
tidak bersifat arogan dan penuh paksaan bahwa rakyat Indonesia harus beragama yang percaya
pada satu Tuhan saja, tetapi membuka diri bagi agama yang juga percaya pada banyak Tuhan,
karena karena yang ditekankan dalam sila pertama Pancasila NKRI ini adalah sifat-sifat luhur /
mulia. Dan diharapkan Negara di masa yang akan datang dapat membuka diri bagi keberadaan
agama yang juga mengajarkan nilai-nilai luhur dan mulia meskipun tidak mempercayai adanya
satu Tuhan.

MGR. John Liku-Ada mengatakan, "ketuhanan dalam Pancasila tidak dijabarkan secara rinci dan
sistematis oleh Sukarno dalam risalah-risalah teoritis. Dengan demikian ia tidak maksudkan
untuk membuat suatu pernyataan tentang hakikat ke-Allah-an atau paham ketuhanan dalam
agama tertentu.

DIMENSI RASIONAL

Kasus yang diamati : Peristiwa 10 November Mempersatukan Umat

Dalam konteks lokal ke sejarah Indonesiaan kita, peristiwa resolusi jihad NU merupakan
peristiwa pergerakan kemerdekaan yang dijiwai semangat keagamaan yang kuat dalam
mendorok pemeluknya untuk cinta terhadap tanah air yang kembali dijajah yang berdampak pada
perlawanan rakyat terjajah kepada bangsa lain yang menjajah. Resolisi Jihad ini, dalam
sejarahnya merupakan seruan KH. Hasyim Asyarie Tebu Ireng dengan segenap jejaring tokoh
sentral agama Islam lainya untuk berjuang bersama membela tanah air dalam suasana Jihad
(sebuah perang suci yang digerakan melalui spirit ketuhanan dalam Islam). Mereka tampil secara
gagah berani melawan kembalinya para penjajah kala itu, sehingga pecah pertempuran besar 10
November di Surabaya.

Buku Pertempuran Surabaya (1985) karya Nugroho Notosusanto menyebut, Pertempuran


Surabaya merupakan pertempuran paling menegangkan dengan semangat patriotisme tinggi yang
ditunjukkan bangsa Indonesia. Hal itu juga tergambar dari komentar Ricklefs dalam bukunya A
History of Modern Indonesia Since C. 1200 bahwa Surabaya menjadi pertempuran paling sengit
pada masa Revolusi. Pihak Inggris sendiri memandang pertempuran tersebut laksana inferno,
neraka. Rencana Inggris untuk menguasai Surabaya paling lambat 26 November terlambat dua
hari karena kegigihan para pejuang di Surabaya.

Meskipun kemudian Surabaya secara keseluruhan jatuh ke tangan Inggris, Pertempuran


Surabaya juga mengubah cara pandang Inggris dan Belanda terhadap Indonesia. Inggris semakin
mulai mempertegas posisinya sebagai pihak yang netral, tak perlu mendukung Belanda. Di sisi
lain, Belanda mulai menyadari perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia
mendapatkan dukungan yang luas dari rakyat, tak seperti gambaran mereka selama ini, hanya
berasal dari kelompok pengacau sporadis (ekstremis).

Saat itu sumberdaya masyarakat utamanya kalangan santri tumpah ruah melakukan perlawanan
di kota Surabaya. Tak hanya para santri yang berjuang untuk melawan penjajah, bahkan seluruh
masyarakat dari berbagai golongan agama, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar
yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara
Inggris di Indonesia. Meraka bahu-membahu menghalau kembalinya penjajah belanda yang
membocengi tentara sekutu Inggris di Surabaya, sehingga dalam pertempuran dahsyat ini
mengakibatkan tewasnya salah satu jendral tentara sekutu. Peristiwa ini merupakan wujud
dahsyatnya kekuatan dogma ketuhanan melalui konsep jihad Islam dalam menggerakkan
kekuatan sosial masyarakat untuk melakukan perlawanan dan perubahan sosial.

Kesadaran para pendiri bangsa akan dahsyatnya kekuatan penghayatan atas ketuhanan dalam
setiap agama yanga ada di Indonesia telah dibaca dengan apik, agar dimasa kini dan mendatang
jangan sampai agama justru menjadi kekuatan kontra produktif dalam membangun kebersamaan
berbangsa Indonesia, kesejahteraan bersama dan keutuhan persatuan bangsa ini. Maka Konsep
ketuhanan disepakati sebagai modal dasar utama membangun bangsa ini, agar ketuhanan itu
menjadi daya dorong pembentuk masyarakat yang berbudi luhur sebagaiamana tujuan setiap
agama yang ada di Indonesia, yaitu cinta, kasih, keadilan dan budi pekerti yang sifatnya
universal, bukan sebaliknya.

Dalam pidato pancasila 1 juli 1945 Soekarno mengatakan, bahwa “…menyusun Indonesia
Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yaitu Prinsip Ketuhanan!”, yang
maksudnya adalah kurang lebih pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia disusun
dengan prinsip ketuhanan, yang wujudnya adalah ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya Soekarno berharap “Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing
orang Indonesia hendaknya bertuhan dengan Tuhannya sendiri”, yang artinya tidak hanya
Negara Kesatuan Republik Indonesia saja yang mengakui ketuhanan, tetapi warganya juga
terjamin dalam meyakini setiap Tuhan dari agama-agama yang mereka yakini.

Sehingga maksut berTuhan dengan Tuhannya sendiri itu dicontohkan oleh Soekarno dengan
mengatakan: ”…Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam
bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya
menurut kitabkitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya berTuhan”.

Lanjutan dari pidato itu yang tak kalah pentingnya adalah kalimat: “…Segenap rakyat hendaknya
berTuhan secara kebudayaan, yakni dengan tidak adanya “egoisme agama”. Disini Soekarno
menjelaskan harapanya bahwa standar bertuhannya setiap pemeluk agama itu hendaknya dengan
berkebudayaan, yaitu tanpa adanya “egoisme-agama”.

Dan nampaknya usulan dari Ir. Soekarno inilah yang disepakati oleh para pendiri bangsa,
sehingga Negara Indonesia ini, merupakan negara yang tidak mungkin dikatakan sebagai negara
sekuler (anti agama) dan tidak pula negara agama (pro terhadap satu agama saja), akan tetapi
Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Melalui sila pertama inilah, Pertama ; Bangsa Indonesia bersepakat bersepadu menyatakan
kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dimana corak ketaqwaan
itu sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab. Kedua ; Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara
pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda, dan Membina kerukunan
hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan. Ketiga ; bangsa Indonesia secara insaf
dan sadar bahwa Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu
merupakan kewajiban bersama untuk mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, tanpa memaksakan suatu
agama dan kepercayaan kepada orang lain.

DIMENSI AKTUAL

Kasus yang diamati : Simpatisan Organisasi Teroris di Indonesia Capai 17 Ribu Orang

Negara mendorong setiap agama dengan semangat ketuhanan masing masing untuk
berpartisipasi aktif bersinergi bersama sama (gotong royong) membangun moralitas publik
kebangsaan (etika berbangsa) yang berkeadaban dalam persatuan kemanusian dan keadilan sosial
bagi Indonesia. Realisasi dari sila petama tersebut, membuat pancasila dan agama tidak mungkin
untuk bisa dipertentangkan, keduanya berbeda dan berada pada fungsinya masing masing,
keduanya harus harmoni dan saling melengkapi dalam keadaan mutualisme. Dengan diferensiasi,
fungsi antara institusi agama dan negara masing-masing bisa mengoptimalkan perannya dalam
usaha pengembangan dan penyehatan kehidupan publik.

Institusi agama lebih bertanggung jawab dalam mengembangkan tatanan kehidupan masyarakat
(civil society) yang beradab dengan dukungan keberadaan negara. Pancasila lebih bertanggung
jawab dalam mengembangkan tatanan kehidupan negara (political society) yang beradab dengan
dukungan masyarakat yang juga beradab dan demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, menurut
Mochtar Pabotinggi, “Kita memerlukan kehidupan agama yang menghormati mekanisme dan
kebijakan demokrasi dan kita memerlukan demokrasi yang menghargai ritus, amal, dan terutama
kebijakan agama.”

Dengan demikian tantangan terbesar implementasi Ketuhanan sila pertama sebagaimana yang
diidealkan Soekarno “Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang
luhur, Ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain” adalah problem empiris agama yang
sebagaimana Soekarno istilahkan dengan “egoisme agama”. Mengenai egoism-agama, kita dapat
meminjam istilah Charles Kimball yang mengindentikasi lima tanda egoisme-agama yang perlu
diwaspadai, yaitu tanda-tanda ketika pemahaman agama telah melenceng sehingga akan
membawa bencana bagi kehidupan berbangsa dan acaman ketuhan dalam kemajemukan di era
kekinian.

Kelima tanda itu antara lain : Pertama; klaim kebenaran tunggal mutlak yang di paksakan dibawa
keruang publik yang manjemuk atas nama tuhan. Kedua; kepatuhan buta yang membabi buta
dengan kekuatan dogma yang bertolak belakang dengan semangat kemajemukan, ketiga; utopia
membangun zaman ideal (tatanan ideal) atas nama Tuhan, keempat; fanatisme tujuan yang
menghalalkan segala cara yang minciderai kemanusia, dan Kelima; menyerukan ‘perang suci’
untuk mememarangi yang berbeda. Jebakan lima sikap egoesme-agama di atas hanya
menggunakan agama sebagai alat pembenaran bagi tindakan mereka yang sebenarnya berada di
luar semangat universal ketuhanan agama-agama manapun yaitu keluhuran budi (akhlaqul
Karimah).

Lima hal menurut Kimball di atas adalah fakta sosial yang terjadi di tengah-tengah tengah semua
bangsa didunia membangun keharmonisan global, yang harus diwaspadai bersama dengan
penguatan pancasila terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Fajar globalisasi, seperti
dikatakan Schreiter, memang salah satunya ditandai oleh tegangan budaya (cultural tension)
dalam wujud kebangkitan tribalisme yang mematikan (lethal) 31. Satu misal adalah kasus teror
dan kekerasan didunia atas nama agama,sebagamana wajah global dari beberapa propaganda
jihad yang salah dan mengatas namakan Islamyang di lakukan oleh beberapa kelompok radikal,
seperti berita yang baru-baru ini sedang hangat diperbincangkan, Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan jumlah simpatisan beberapa organisasi
teroris di Indonesia sudah mencapai sekitar 17 ribu orang. Direktur Pencegahan BNPT Brigjen
Ahmad Nurwahid mengatakan belasan ribu orang itu termasuk keluarga dari beberapa jaringan
teroris seperti, Jemaah Islamiyah (JI),Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Mujahidin Indonesia
Timur (MIT), dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).

Ahmad mengatakan pihaknya selalu memonitor jaringan teror belasan ribu orang tersebut. BNPT
juga mencermati kelompok yang berpotensi melakukan tindak pidana teror dan melakukan upaya
pencegahan dengan cara menyerang duluan atau preventive strike dan preventive justice. Ia
mengimbau agar mereka segera bertaubat dan menyerah ke pemerintah. Ia juga mengimbau agar
anggota MIT yang tersisa beragama secara moderat dan tidak esktrem. Menurut Ahmad, teroris
yang memiliki paham takfiri (mengafirkan), cenderung bersikap reaktif, memiliki kebencian, dan
juga memendam dendam.

Kelompok-kelompok tersebut, dengan tensi egoism keagamaan yang mereka bangun atau
bahkan pola fanatisme kesukuan yang tinggi, selalu gagal menempatkan Ketuhanan Yang Maha
Esa berikut empat sila lainya, sebagai bahasa kesadaran luhur dalam membangun kebersamaan
ditengah perbedaan lintas Agama dan praktek-praktek ketuhanan yang berbeda. Padahal dari
perspektif Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menghedaki Teologi berbangsa yang cair dan terbuka
yang kekayaan penafsiranya selalu merajut harmoni untuk hidup bersama, tanpa harus
mencampur adukkan masing-masing praktek dan ajaran agama-agama yang memang berbeda
satu dengan lainya.

Melalui Ketuahan Yang Maha Esa, manusia Indonesia melangkah dari sekadar sadar atau tahu
bahwa di dalam keIndonesiaan itu, kita menyadari bahwa Tuhan dalam agama kita, memang
satu-satunya Tuhan yang harus kita sembah. akan tetapi disisi yang lain dalam ruang sosial
kewarganegaraan, secara bersamaan kita sadar sesadar-sadarnya bahwa Tuhan kita bukan satu-
satunya konsep ketuhanan yang ada dan di yakini oleh seluruh anggota warga masyarakat
Indonesia, ada sebagian kecil atau sebagain besar anggota warga masyarakat yang lain dengan
konsep ketuhanan yang lain.

Maka mengamalkan dasar keindonesian yaitu Pancasila dalam ruang bersama yang bernama
Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak hanya berisi kesadaran ditataran teologis filosofis mengenai
variasi identitas yang tumpang tindih (overlapping identity) satu dengan yang lain, yaitu di satu
sisi sebagai pemeluk agama yang taat dan disisi lain sebagai warga negara yang baik, yang
memiliki agama yang berbeda, kultur yang berbeda, atau bahkan tafsir peribadatan yang
impelementasinya berbeda.

Sekali lagi, didalam ruang besar Ketuhanan Yang Maha Esa itu, setiap anak bangsa memang
berbeda dengan yang lain, bisa dalam agama, budaya, ras atau bahkan suku yang berlainan, lalu
kita berusaha saling menemukan titik temu, dan setelah itu kita membentuk sebuah simbol atau
bahasa bersama untuk meluaskan diri, melampaui perbedaanperbedaan itu sekaligus bersedia
membangun dialog karya nyata untuk keadaban dan keluhuran bangsa Indonesia

Referensi :

https://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Surabaya

https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/sejarah-hari-pahlawan-pertempuran-
surabaya-10-november-1945

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210921084356-12-697114/bnpt-simpatisan-
organisasi-teroris-di-ri-capai-17-ribu-orang

Jurnal Teologi “Cultivation”Vol. 2, No.1 (Desember 2017): 290-303 pISSN:2581-0499; eISSN:


2581-0510 : ANALISIS DAN MAKNA TEOLOGI KETUHANAN YANG MAHA ESA
DALAM KONTEKS PLURALISME AGAMA DI INDONESIA

Robert J Schreiter, The New Catholicity: Theology between the Global and the Local (New
York: Orbis Books, 1998), 44-45.

Mochtar Pabotinggi ,Pancasila dan Demitologi, Prisma No 8, Ags 1977, 119-126.


Morinda Marsilea Sidarta (06010521013)-PBI

Anda mungkin juga menyukai