Anda di halaman 1dari 8

TANTANGAN POLITIK IDENTITAS DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI

INDONESIA: PANCASILA
Atiqotul Abiyah
Fakultas Teknologi dan Sains Program Study Ilmu Komputer
Universitas PGRI Wiranegara
atiqotulabiyahh@gmail.com

Abstrak

Tujuan dari artikel singkat ini adalah untuk menjelaskan hambatan Pancasila dan
politisasi identitas sebagai hambatan bagi sistem keberagaman Indonesia. Dengan kata lain,
penelitian ini bertujuan untuk: 1) mempelajari bagaimana Pancasila mempertahankan
kebebasan dan keyakinan; 2) melihat bagaimana kebebasan dan agama di Indonesia
menunjukkan ketegangan interaktif antar identitas agama dan potret intoleransi di kalangan
pelajar; dan 3) mempertimbangkan kebebasan dan keyakinan, potret intoleransi di kalangan
pelajar, dan perspektif politik. Artikel ini ditulis dengan penelitian kualitatif. Studi ini
menemukan bahwa hak kebebasan beragama ditekankan dalam Pancasila, seperti yang
ditunjukkan dalam undang-undang dan ketentuan turunan lainnya. Kedua, gambaran ini
mendorong politik identitas agama, seperti yang ditunjukkan oleh banyaknya pelanggaran
KBB. dan meningkatkan penolakan terhadap berbagai identitas agama di berbagai bidang
politik dan masyarakat. Pada saat yang sama, gambar anak-anak muda yang fanatik di sekolah
menunjukkan bahwa ruang politisasi identitas akan tetap terbuka di masa depan. Semakin
banyak nuansa politik dalam masalah sehari-hari yang dihadapi kaum muda, semakin banyak
identitas yang terlibat dalam penolakan identitas lain. Ketiga, menggunakan identitas agama
sebagai alat politik keagamaan adalah cara yang bijak untuk mendapatkan kekuasaan dalam
politik elektoral. Selain itu, politisasi identitas agama membahayakan integrasi nasional dengan
menimbulkan konflik dan polarisasi politik. Politisasi identitas agama harus diatasi melalui
penerapan dua program makro, yaitu program materil dan struktur, karena ini merupakan
tantangan untuk membangun inklusi politik yang demokratis dan menjaga keberagaman.
Program budidaya yang lebih komprehensif

Kata kunci : Politik, Identitas, Kebebasan beragama, Pancasila.

Abstract

This brief essay aims to clarify how identity politics and Pancasila pose a threat to
Indonesia's diverse systems. The research described in this article specifically attempts to: 1)
investigate how Pancasila defends the right to freedom of belief. In order to generate
opportunities for political identity, 2) examine the state of freedom and belief in Indonesia as
a measure of the degree of conflict and the relationship between religious identity and the
expression of intolerance among students. And 3) think about liberty and conviction, the
perception of intolerance among students, and the possibility of The Indonesian religious
system and the world are being challenged by identity politics. The research techniques used
to write this article are good. Finally, this article review says: First, Pancasila places a strong
emphasis on religious freedom, which is upheld by the constitution as well as by other works

1
of art and laws. Second, by portraying religious resistance as distinct from politics and society,
this image supports the politics of religious identity, which is evident in numerous KBB
violations. In addition, as evidenced by the enthusiastic young people in the school, identity
politics will have more opportunities in the future. The most recurring theme is that the political
climate young people encounter on a daily basis is one of demonising the names of those
engaged in the denial of alternative identities. Third, using religious identity politics to one's
advantage is a prudent way to acquire influence in electoral politics. Furthermore, the political
fragmentation and disintegration brought about by religious identity politics pose a threat to
national unity. The politics of religious identity must be seen as a challenge to preserve
diversity in the construction of democratic politics, and two main events—chemistry and
organization—must be considered. The growth of social opportunities between groups and
society is connected to the practise of social development. Simultaneously, the procedure is
associated with the state's function as the primary determiner of diverse policies within the
democratic political framework.

Keywords: Politics, Identity, Religious Freedom, Pancasila

PENDAHULUAN
Keanekaramana masyarakat Indonesia tidak terbatas pada warna kulit, agama, suku,
adat istiadat, etnis, bahasa daerah, jenis kelamin dan orientasi seksual, status sosial dan kelas
sosial, warna politik, atau ideologi.Lebih dari 276 juta orang tinggal di Indonesia saat ini.
Penduduk yang tinggal di 17.508 pulau terutama tinggal di Jawa, Sumatra, Kalimantan,
Sulawesi, dan papua. Dengan sumpah pemuda 28 oktober 1928 dan proklamasi kemerdekaan
17 agustus 1945, keanekaragaman itu menjadi bagian dari nasionalisme Indonesia. Pasal 86A
UUD 1945, yang menyertakan semboyang Bhinneka Tunggal Ika, secara simbolik menegaskan
fakta bahwa semua orang adalah satu. Idealnya, setiap kelompok identitas yang beragam
diharapkan untuk menerima orang dari kelompok lain sebagai sesama warga Indonesia, tanpa
berusaha untuk mengisolasi mereka dari karakteristik unik mereka. Penduduk Indonesia, yang
berjumlah 4.444 orang, terdiri dari orang India, Cina, Arab, dan Eropa, menunjukkan
nasionalisme Indonesia. Selain itu, banyak kepercayaan dan keyakinan lokal masih
berkontribusi pada penyebaran agama-agama besar.
Selain itu, gagasan dan cita-cita Bissa saja berbeda dari satu suku ke suku lain.
Misalnya, mereka berpikir untuk mengembalikan kediktatoran, mendukung demograsi dan
memurnikan ajaran agama, monopoli agama, dan berpikir untuk mengubah struktur sosial
untuk menghilangkan eksploitasi agama. Siapa yang melakukannya.Keberagaman ruang
bersama di Indonesia tampak indah, tidak hanya dalam harmoni, membangun kehidupan yang
harmonis, dan hidup berdampingan secara damai dalam perbedaan, tetapi juga dalam kesatuan
antar manusia dalam berbagai konteks. Saling membutuhkan agar tidak ada yang merasa
tersisih.

2
Keberagaman dapat menjadi landasan untuk membangun Indonesia yang tangguh
hanya jika ada etos sosial dan etika politik yang kuat yang menerima keberagaman sebagai
tempat di mana orang saling membutuhkan dan bekerja sama. Perbedaan pendapat dan
pendapat tentang perbedaan yang melekat pada masing-masing identitas tidak diungkapkan
dengan kekerasan. Sebaliknya, perbedaan dirangkul dengan keterbukaan, keterbukaan, dan
saling memberi semangat.Namun, dengan memahami makna sila Pancasila, kita dapat
memperoleh gambaran kolektif yang sangat ideal tentang partisipasi politik dalam membangun
demokrasi (rakyat) Indonesia. Hal ini sesuai dengan nilai universal demokrasi, yaitu bahwa
kekuasaan mayoritas harus diimbangi dengan hak minoritas. Dari perspektif ini, setiap
kelompok etnis dan warga negara harus dapat berpartisipasi dalam sistem politik Indonesia
dengan cara yang demokratis. siapa pun yang berpartisipasi dalam proses politik. Konstitusi
kita menyatakan bahwa "semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan
hukum dan pemerintah dan wajib menghormatinya tanpa kecuali."
Dalam hal ini, penguatan prosedur, kelembagaan, dan mekanisme selama
implementasi harus meningkatkan keberagaman dan mengurangi kesenjangan rentan
kelompok kecil dalam sistem yang beragam dalam jumlah dan kualitas. Sebaliknya, tidak ada
yang terjadi. Demokrasi dapat meningkatkan ketegangan, menciptakan polarisasi, dan
memperburuk segregasi. Pada akhirnya, ini akan semakin memperkuat atau bahkan
menghancurkan keberagaman sebagai ruang bersama bagi semua orang yang membentuk
bangsa Indonesia. dan penegakan hukum, serta budaya subjek secara nasional. Identitas
mungkin secara bertahap mendepolitisasi, atau setidaknya menjadikannya tidak efektif, jika
beberapa pilarnya dipecahkan. Sebagai lembaga penyelenggara politik resmi demokrasi kita,
partai politik mungkin merupakan tempat terbaik untuk berharap.
Namun, berdasarkan berbagai penelitian tentang keadaan kebebasan beragama dan
keyakinan (2007-2021) Menurut penelitian yang dilakukan oleh SETARA Institute, partisipasi
partai politik dalam proses politik sama sekali tidak menghasilkan peningkatan kebebasan
beragama dan keyakinan (KBB). Tidak ada upaya yang dilakukan oleh parlemen untuk
mengevaluasi respons pimpinan partai yang terfragmentasi ini terhadap kinerja kementerian
atau lembaga. Selain itu, pernyataan langsung para pendiri bangsa dan negara (founding fathers
and mother) dalam rapat Komisi Persiapan Penyidikan Independen (BPUPK) adalah sumber
utama untuk membaca dan memahami sila pertama Pancasila. Sukarno adalah salah satunya.
Dalam pidatonya yang menghasut pada masa revisi Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945,Tidak
hanya masyarakat Indonesia harus beriman kepada Tuhan, tetapi setiap orang di Indonesia
harus beriman kepada Tuhannya sendiri. Setiap orang harus menyembah Tuhan. Indonesia
3
harus menjadi negara di mana orang-orangnya dapat dengan bebas beribadah kepada Tuhan.
Indonesia harus menjadi negara yang beriman kepada Tuhan, dengan masyarakat percaya
kepada Tuhan secara kultural tanpa "egoisme agama".Pasal 29 UUD 1945 dengan jelas
menyatakan bahwa negara melaksanakan ketertiban dan berdasarkan ketuhanan Yang Maha
Esa. Dunia yang memiliki kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial sebagai pilarnya.
Lebih lanjut, ayat 2 Pasal 29 UUD 1945 menegaskan bahwa Negara menjamin kebebasan
setiap orang untuk menganut agama dan kepercayaan mereka. Dengan demikian, Pasal 29
UUD 1945 memberikan landasan konstitusional yang kokoh mengenai hubungan antara
Negara dan agama. Hak beragama dan beribadah dianggap sebagai hak asasi, dan negara harus
melindungi dan menghormati hak tersebut. Prinsip dasar toleransi dan keberagaman yang ada
di Indonesia juga ditemukan dalam Pasal 29 UUD 1945.
Dengan menjamin kebebasan beragama, negara memberikan ruang bagi perbedaan
agama tanpa mengganggunya. Hal ini sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila, yang menetapkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan negara,
memungkinkan keberagaman agama, dan memberikan ruang untuk keanekaragaman. Untuk
setiap orang mengamalkan agamanya sendiri. Oleh karena itu, Pasal 29 UUD 1945 tidak hanya
menjamin kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat diganggu gugat,
tetapi juga menjadi landasan hukum yang mengatur hubungan negara dengan warga negaranya,
hubungan agama, dan berdirinya negara untuk melindungi dan menghormati hak ini.
Pasal 29 Konstitusi 1945
(1) Negara didirikan atas Tuhan Yang Maha Esa
(2) Negara memberikan kebebasan kepada setiap warganya untuk menganut agama
mereka sendiri dan beribadat menurut agama dan kepercayaan mereka sendiri.Perkembangan
Pasal 29 mencerminkan asas dasar bahwa negara Indonesia didirikan atas dasar ketuhanan
Yang Maha Esa; namun, prinsip ini tidak menghalangi setiap warga negara Indonesia untuk
memilih dan mengamalkan agama atau kepercayaan mereka sendiri. Dengan kata lain, semua
penduduk Indonesia. mempunyai kebebasan untuk memilih agama atau kepercayaan yang
sesuai dengan nilai dan prinsipnya.
Selain itu, Pasal 29 menyatakan bahwa negara memberikan kebebasan setiap orang
untuk beragama dan berpikir secara religius.Dengan Pasal 29 ini, UUD 1945 menetapkan nilai-
nilai dasar Pancasila, seperti Ketuhanan Yang Maha Esa, dan memberikan kebebasan beragama
bagi semua rakyat Indonesia. Untuk menjaga keragaman agama dan kepercayaan dalam
masyarakat Indonesia, artikel ini menciptakan landasan konstitusional. Fakta bahwa ada
perbedaan antara mandat konstitusional yang berasal dari filosofi dasar negara dan bagaimana
4
ia diterapkan dalam kebijakan pemerintahan menunjukkan betapa sulitnya menjaga kebebasan
beragama dan keyakinan di Indonesia. Disparitas tersebut dapat menyebabkan ketidaksesuaian
antara aturan konstitusi dan praktik praktis.
Kebebasan beragama dan keyakinan menjadi bagian penting dari dinamika identitas
politik, terutama dalam hal identitas keagamaan. Politisasi agama dapat menyebabkan konflik
dan memungkinkan pelanggaran kebebasan beragama. Diskriminasi, kebijakan diskriminatif,
dan pentersangkaan penodaan agama adalah beberapa contoh pelanggaran tersebut.Kebebasan
beragama dan keyakinan di Indonesia kurang menggembirakan, menurut data penelitian
longitudinal dari Setara Institute, terutama data tahun 2021. Jumlah 171 peristiwa dan 318
tindakan pelanggaran yang terjadi sepanjang tahun 2020 menunjukkan kompleksitas masalah
yang dihadapi. Gambaran lebih rinci tentang jenis pelanggaran diberikan oleh pembagian
pelanggaran antara aktor negara, seperti diskriminasi dan kebijakan diskriminatif, dan aktor
non-negara, seperti intoleransi, ujaran kebencian, dan penolakan tempat ibadah.Dimungkinkan
untuk melanggar kebebasan beragama atau keyakinan dapat dianggap sebagai cara untuk
belajar tentang efek negatif dari politisasi agama.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kepustakan dan literasi. Metode ini dilakukan
dengan mencari dari beberapa sumber yang kemudian di analisis dan di tarik kesimpulan sesuai
denga apa yang di kaji. Selain dengan analisi data, para penulis juga terlebih dulu menggunakan
uji validasi sumber jurnal dan buku yang akan di analisis terkait dengan penelitian tersebut.

PEMBAHASAN

Pengakuan Pancasila Terhadap Kebebasan Beragama dan Keyakinan: Pancasila,


sebagai dasar negara Indonesia, mengaku bahwa sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha
Esa, memberikan kebebasan untuk beragama atau berkeyakinan apa pun. Namun, ada masalah
ketika ide-ide ini digunakan untuk politisasi identitas. Beberapa kelompok mungkin
menggunakan kebebasan beragama sebagai alat untuk mencapai tujuan politik mereka,
menimbulkan ancaman terhadap keberagaman dan kerukunan di Indonesia Kebebasan Religius
dan Keyakinan di IndonesiaMeskipun Pancasila memberikan kebebasan beragama, kenyataan
di dunia nyata seringkali lebih rumit. Adanya kasus intoleransi agama, diskriminasi, dan
penganiayaan terhadap minoritas agama menunjukkan adanya perbedaan antara idealisme
Pancasila dan bagaimana ia diterapkan. Fenomena ini mungkin menyebabkan konflik di antara
kelompok masyarakat.

5
Pemaknaan Intoleransi dan Persepsi Pelajar Politisasi identitas mahasiswa dicatat
sebagai peristiwa penting, menurut survei yang dilakukan oleh SETARA Institute. interpretasi
tentang situasi kebebasan beragama dan keyakinan serta representasi intoleransi di kalangan
siswa mungkin menunjukkan sejauh mana politisasi identitas mempengaruhi cara mereka melihat dan
memperlakukan keberagaman. Langkah pertama dalam mengatasi tantangan pengelolaan
keanekaragaman adalah menemukan sumber masalah ini.Selain itu, pernyataan langsung para pendiri
bangsa dan negara (founding fathers and mother) dalam rapat Komisi Persiapan Penyidikan
Independen (BPUPK) adalah sumber utama untuk membaca dan memahami sila pertama Pancasila.
Sukarno adalah salah satunya, dalam pidatonya yang menghasut pada masa revisi Pancasila pada
tanggal 1 Juni 1945, terhadap sistem kebinekaan yang ada di Indonesia. Hal ini menggarisbawahi
betapa pentingnya menilai kebijakan pemerintahan dan kebiasaan masyarakat dalam konteks
kebebasan beragama. Ini juga menggarisbawahi betapa pentingnya mengatasi perbedaan antara
kewajiban konstitusional dan bagaimana mereka diterapkan dalam kehidupan nyata.

Oleh karena itu, tindakan yang lebih kuat dapat diambil untuk memperkuat dan melindungi
kebebasan beragama dan keyakinan sebagai nilai utama yang mendasari kebinekaan
Indonesia.Sebagaimana disebutkan sebelumnya, berbagai tantangan keberagaman yang ditunjukkan
oleh perbedaan agama dan kemajuan media saat ini adalah pencapaian yang signifikan dan berharga
dalam sistem pemerintahan demokrasi. Demokrasi memungkinkan kelompok agama atau media yang
terkesan menolak pluralisme untuk tumbuh. Sayangnya, keragaman dan perspektif yang berbeda
seringkali mengarah pada konflik, yang merugikan demokrasi itu sendiri.

KESIMPULAN
Pasal 29 UUD 1945 menekankan bahwa negara menjamin kebebasan agama setiap
orang dan memberikan landasan konstitusional yang kokoh bagi hubungan antara negara dan
agama. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, yang menyatakan
bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan negara yang memungkinkan
keberagaman keyakinan dan memberikan ruang bagi setiap orang untuk memeluk agamanya
sendiri. Oleh karena itu, Pasal 29 UUD 1945 berfungsi sebagai landasan hukum untuk
mengatur hubungan negara dengan agama, agama, dan kedudukan negara dalam urusan
keagamaan, serta menjamin kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat
diganggu gugat. Menghargai dan menjaga hak ini. Secara khusus, Pasal 29 UUD 1945
menunjukkan betapa sulitnya menjaga kebebasan beragama dan keyakinan di Indonesia.
Kebanyakan pelanggaran dilakukan oleh pihak-pihak negara, seperti kebijakan diskriminatif

6
dan diskriminatif, serta pelanggaran yang dilakukan oleh orang non-negara, seperti intoleransi,
ujaran kebencian, dan penolakan tempat ibadah, memberikan gambaran yang lebih rinci
tentang keberagaman. Pelanggaran terjadi karena perilaku melanggar hukum. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya mengevaluasi kebijakan pemerintah dan praktik sosial dalam
konteks kebebasan beragama. Ini juga menunjukkan betapa pentingnya mencoba
menyelesaikan perbedaan antara mandat konstitusi dan bagaimana ia diterapkan dalam
kehidupan nyata. Oleh karena itu, langkah-langkah yang lebih kuat dapat diambil untuk
memperkuat dan melindungi kebebasan beragama dan keyakinan, yang merupakan bagian
penting dari keberagaman Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Alcoff, Linda Martin, et al (eds). (2006). Identity Politics Reconsidered. New York: Palgrave
Macmillan
Buntara, Syera Anggreini dan Hasani, Ismail (2022). Mengatasi Intoleransi, Merangkul
Kebereagaman: Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia Tahun
2021, Pustaka Masyarakat Setara, Jakarta
Ersianto, Kristian Ersianto. 2018. “Setara Institute: Politisasi Agama adalah Cara Terburuk
MeraihKekuasaan”,
Fahyudi Fahyudi, Ahmad Marjuki. "implikasiundang-undang administrasi
kependudukan tentang penghayat kepercayaan menurut putusan mk no.97/puu-
xiv/2016 (kolom agama di e-ktp)",Al Qisthas Jurnal Hukum dan Politik, 2021
Hafiz, Muhammad dan Hasani, Ismail. 2020. Kebebasan Beragama dan Pengutamaan
Stabilitas Politi-Keamanan di Tahun Politik: Kondisi Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2019. Jakarta: Pustaka Masyarakat
Setara, Jakarta
Hasani, Ismail (ed), Dokumen Kebijakan Penghapusan Diskriminasi Agama/Keyakinan,
Pustaka Masyarakat SETARA, Jakarta, hlm. 81.
Hendardi. 2020. “Pluralisme dan Negara” dalam Mengadvokasi Hak Sipil dan Politik. Jakarta:
Kompas https://jurnal.ugm.ac.id/pancasila/article/view/79676
Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.
Jakarta: Gramedia
Rafika, “Sempat Ditolak, GKI Citraland Lakarsantri Akhirnya Bisa Dibangun,” Jawa Pos, 28
Desember 2021, https://www.jawapos.com/surabaya/28/12/2021/sempat-ditolak-

7
kicitraland-lakarsantri-akhirnya-bisa-dibangun/, diakses pada 11 Januari 2022, pk.
16.02 WIB.
Wawan Tunggul Alam (ed.). (2000). Bung Karno Menggali Pancasila. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai