Anda di halaman 1dari 15

Pertanyaan

1. Opini publik merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Negara demokratis
menjamin kebebasan HAM, di antara meliputi hak-hak asasi pribadi, hak
asasi di bidang politik dan hak asasi sosial. Jelaskan dan berikan contoh
bentuk opini publik dari tiga jenis HAM tersebut!
2. Akar dari opini adalah persepsi. Faktor penentu persepsi di antaranya latar
belakang budaya, pengalaman masa lalu, nilai-nilai yang dianut dan berita-
berita yang berkembang. Buatlah contoh opini yang didasari dari empat faktor
tersebut!
3. Menurut sifatnya opini publik dibedakan menjadi 1. Opini publik yang statis
dan 2. Opini publik yang dinamis. Jelaskan perbedaan keduanya!

Jawaban

1. Opini public merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia, ini berkaitan dengan
kebebasan mengeluarkan pendapat, menyatakan kehendak, juga
mengeluarkan ide atau gagasan. Kebebasan dalam beropini atau
mengeluarkan pendapat merupakan salah satu bentuk hak pokok yang
dimiliki manusia, selain itu adapula hak untuk berserikat, berkumpul, dan
kemerdekaan lainnya yang diatur dalam UUD 1945.
Contoh Opini Publik tentang Hak-hak Asasi Pribadi
Prinsip Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan
Otto Gusti Dosen Filsafat Politik dan HAM di STFK Ledalero,
Maumere, Flores, NTT | Opini

PERSOALAN seputar kebebasan beragama atau berkeyakinan sudah ada


sejak awal sejarah peradaban umat manusia. Kita ingat kisah dalam kitab suci
Perjanjian Lama tentang pembunuhan Abel oleh saudaranya, Kain. Keduanya
berdebat soal persembahan yang paling pantas di hadapan Tuhan atau dalam
konteks kontemporer tentang agama mana yang paling benar dan mana yang
sesat. Persoalan serupa tetap aktual sampai sekarang. Di Indonesia kasus-
kasus seputar ajaran sesat, penodaan agama, ajaran agama yang paling murni,
pelarangan pembangunan rumah ibadat telah membatasi kebebasan warga
dalam memeluk agama atau keyakinan.   Kondisi di Indonesia Badan Pusat
Statistik (BPS) meluncurkan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2018 pada 29
Juli 2019 dengan nilai 72,39 poin. Artinya, terjadi kenaikan 0,28 poin jika
dibandingkan dengan indeks demokrasi pada 2017, yakni 72,11 (Media
Indonesia (30/7). Akan tetapi, jika ditelusuri lebih jauh kenaikan indeks
demokrasi tersebut belum menjadi alasan cukup untuk bersikap optimis
tentang kualitas demokrasi di Indonesia. Itu karena kenaikan tersebut hanya
disumbangkan perbaikan aspek lembaga demokrasi. Sementara itu, dua aspek
lainnya, yakni kebebasan politik dan hak sipil yang mencakupi kebebasan
beragama dan berkeyakinan mengalami penurunan masing-masing 0,29 dan
0,84. Data ini menunjukkan bahwa kewajiban negara untuk menjamin
kebebasan beragama atau berkeyakinan warga negara masih jauh panggang
dari api. Ancaman atas kebebasan ini diperparah lagi lewat fenomena
menguatnya populisme kanan dalam perkembangan demokrasi di Indonesia
selama empat tahun terakhir. Hal itu terungkap jelas lewat gerakan
pengarusutamaan moralitas agama konservatif dalam diskursus dan praktik
politik (Vedi R Hadiz, 2017). Dominasi tafsiran agama yang konservatif ini
tentu saja berdampak pada pengabaian hak-hak privat warga negara (hak-hak
liberal) dari kelas sosial yang paling rentan, seperti kelompok LGBT atau
menguatnya tendensi iliberalisme dalam demokrasi di Indonesia. Prinsip
kebebasan beragama atau berkeyakinan memberikan jaminan perlindungan
bagi semua manusia untuk memeluk agama atau keyakinan tertentu. Sebagai
hak asasi manusia, kebebasan beragama atau berkeyakinan dapat dipandang
sebagai hak negatif dan positif sekaligus. Sebagai hak negatif, kebebasan
beragama atau berkeyakinan berarti seseorang tidak pernah boleh dipaksa
negara atau pihak mana pun untuk menjalankan praktik keyakinan atau
agama tertentu, bergabung dalam komunitas agama tertentu, berpindah
agama, atau dipaksa tinggal dalam sebuah agama dengan cara melawan
kehendak bebasnya. Sebagai hak positif, kebebasan beragama atau
berkeyakinan mengandung arti bahwa setiap orang berhak memilih agama
atau keyakinan, menjadi anggota komunitas religius tersebut atau mendirikan
sebuah komunitas baru dan menjalankan ibadah serta pelajaran agama baik
secara publik maupun di ruang privat. Hak positif juga berarti seseorang
boleh memilih untuk tidak beragama. Lahirnya konsep kebebasan beragama
atau berkeyakinan berkaitan erat dengan peperangan antarkonvensi yang
beberapa kali melanda Eropa dalam kurun waktu hampir 500 tahun (Bdk
Hans-Georg Ziebertz, 2015). Kekristenan di Barat pada masa itu menolak
konsep kebebasan beragama atau berkeyakinan karena pandangan tersebut
dianggap sebagai ajaran sesat atau heresi oleh Gereja. Prinsip yang berlaku
pada masa itu ialah cuius regio, eius religio atau dapat diartikan dengan
'agama raja ialah juga agama rakyat yang dikuasainya'. Doktrin ini juga
menjadi pegangan bagi gereja pada masa itu yang diperteguh keyakinan
bahwa raja ialah titisan dewa atau utusan Allah. Basis argumentasinya ialah
mengakui konsep kebebasan beragama atau berkeyakinan sama artinya
mengakui bahwa kekeliruan berhak untuk ada atau hidup. Sementara itu,
kebenaran itu hanya mungkin satu dan jalan satu-satunya menuju
keselamatan. Tak mungkin ada pilihan lain. Iman kristiani ialah wahyu benar
satu-satunya dan final tentang Allah, sedangkan gereja ialah jalan satu-
satunya menuju keselamatan. Di luar gereja tak ada keselamatan. Monopoli
gereja atas kebenaran telah menjadikan Eropa sebagai arena pertarungan
berlumuran darah untuk memperjuangkan kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Di balik konflik berdarah tersebut tersembunyi motivasi untuk
mempertahankan homogenitas religius masyarakat dan menjaga hubungan
yang erat antara agama dan politik. Persoalan seputar paksaan untuk pindah
agama, penodaan agama, ajaran sesat mewarnai sejarah Eropa. Peperangan
dan konflik antarkonvensi tersebut kemudian berakhir untuk sementara waktu
pada 1648 yang ditandai dengan Perjanjian Perdamaian Westfilia. Peperangan
antaragama yang menghancurkan hampir seluruh Eropa memaksa para
pemikir politik untuk menjawab pertanyaan dasar: Bagaimana harus
menciptakan sintesis antara atau mempertemukan konsep kebenaran religius
dan kebebasan politik? Pengalaman penderitaan ini telah melahirkan
pandangan tentang pentingnya kebebasan berpendapat dan kebebasan
beragama atau toleransi beragama dalam menata kehidupan politik yang
damai. Hal ini mengakhiri absolutisme dan feodalisme absolut yang
menandai kehidupan sosial politik masyarakat Eropa berabad-abad
sebelumnya. Konsep kebebasan beragama bukan produk dari agama itu
sendiri, melainkan sebuah produk politik atau negara yang mendefinisikan
dirinya secara sekular (Bdk Ernst-Wolfgang Boeckenfoerde, 1990). Dalam
negara sekular agama tidak lagi dipandang sebagai sumber legitimasi hukum
negara dan negara juga dibebaskan dari kewajiban untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan teologis tentang agama yang benar atau yang sesat.
Tugas negara atau politik ialah menata kehidupan warga negara yang berasal
dari latar belakang agama, ideologi, dan etnik yang berbeda-beda. Negara
bersikap netral terhadap persoalan-persoan religius dan agama menjadi
urusan privat setiap citizen. Pemahaman modern tentang kebebasan beragama
berpijak pada pengertian bahwa tatanan moral religius berkaitan dengan
manusia dan relasinya dengan Tuhan. Sementara itu, politik atau hukum
menata hidup bersama manusia dan relasinya dengan kekuasaan negara.
Hukum ialah jaminan perdamaian sosial dan kebebasan dan karena itu
menciptakan prasyarat bagi setiap individu untuk menghayati keyakinan
pribadinya, termasuk kebenaran religius. Hukum memastikan warga negara
menyembah Allah-nya dan beribadat menurut keyakinan masing-masing serta
melindungi hak-hak dasar tersebut dari intervensi instansi luar, termasuk dari
negara. Namun, proteksi tersebut akan berakhir ketika tatanan hidup bersama
yang damai dalam sebuah negara bedara dalam kondisi bahaya.

Contoh Opini Publik tentang Hak Asasi di Bidang Politik

Restorative Justice dan Efektivitas Penegakan Hukum


Haswandy Andy Mas

(Direktur LBH Makassar & Anggota Forum Restorative Justice Kota Makassar)

Menjelang berakhirnya tahun 2019 yang baru saja berlalu, warga net sempat
dihebohkan dengan video viral berdurasi 30 detik berisi rekaman aksi seorang ibu
yang menampar siswi kelas 2 SD di Makassar. Ibu tersebut kemudian diproses
dan menjadi Tersangka. Namun kemudian kasusnya dihentikan karena antara
pelaku dan orangtua korban telah berdamai yang difasilitasi oleh ketua RW
setempat, P2TP2A Kota Makassar dan disetujui oleh pihak kepolisian.

Secara normatif kasus penganiayaan terhadap anak bukan delik aduan, meskipun
ada perdamaian, namun proses hukum tetap berlanjut hingga ke Pengadilan.
Penghentian perkara dalam kasus ini terjadi atas adanya “diskresi” dari penyidik
Kepolisian yang diatur dalam Pasal 18 UU Kepolisian.

Penyelesaian kasus seperti ini disebut Restorative Justice (RJ)atau Keadilan


Restoratif yakni penataan kembali sistem pemidanaan yang lebih adil, baik bagi
pelaku, korban, maupun masyarakat (Bagir Manan, Varia Peradilan, No.
247, 2006). Dalam kasus ini, RJ menghasilkan konsensus yang tetap memberikan
efek jerah bagi pelaku (sesuai jenis dan tingkat kesalahannya) sekaligus
pembelajaran bagi masyarakatdan memenuhi rasa keadilan pihak korban,

Dimana pelakunya sempat menjalani penahanan beberapa hari di Kepolisian, telah


mengaku bersalah disertai rasa penyesalan dan permohonan maaf secara langsung
kepada korban dan orangtuanya serta masyarakat melalui media. Anak yang
menjadi korban telah pula menjalani proses pemulihan (restorative) melalui
layanan rehabilitasi medis dan psikologis.

Beban Anggaran

Kasus tersebut memang tergolong sederhana dan ringan namun bisa dibayangkan
jika berlanjut hingga ke persidangan, tentu akan membutuhkan biaya operasional,
sarana dan prasarana serta tenaga personil dari masing-masing institusi yang
tergabung dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system)mulai
kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilaan yang tentunya akan membebani anggaran
negara.

Padahal beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap tahunnya terjadi


ketimpangan antara besarnya jumlah perkara yang dilaporkan dibandingkan
dengan minimnya jumlah personil, biaya penanganan perkara, sarana dan
praranadi masing-masing institusi aparat penegak hukum. Ketimpangan tersebut
telah mengakibatkan banyaknya perkara yang sama sekali tidak tertangani alias
mandek, beberapa perkara lainnya tertangani namun tidak berkualitas. Minimnya
anggaran penanganan perkara juga membuka peluang terjadinya pemerasan aparat
penegak hukum terhadap para pencari keadilan untuk menutupi biaya operasional
penanganan perkara.

Apalagi jika tersangka/ terdakwa ditahan dan divonis penjara, tentu semakin
menambah beban anggaran negara untuk menjamin ketersediaan petugas, biaya
makan dan operasional lainnya, sarana dan parasarana termasuk gedung dan
kamar-kamar sel (untuk lebih jelasnya, baca Pengantar Analisis Ekonomi Dalam
Kebijakan Pidana di Indonesia, Choky Ramadhan, 2016).

Belum termasuk dampak sosial yang ditimbulkan jika ternyata tahanan dan
narapidana (napi) adalah orangtua sekaligus pencari nafkah satu-satunya dalam
keluarga. Anak-anaknya akan terancam putus sekolah karena kekurangan biaya
dan potensi gangguan psikologis karena ejekan temannya dan stigma masyarakat
yang menyebutnya “anak penjahat”. Hal ini tentu memiliki efek domino terhadap
beban dan tanggungjawab pemerintah dalam pemenuhan hak atas kesejahteraan
dan masa depan terbaik untuk anak

Over Kapasitas

Berdasarkan data pertanggal 31 Desember 2019, jumlah penghuni Rutan


Makassar sebanyak 2.556 orang dari kapasitas yang hanya dapatmenampung
sebanyak 1.000 orang atau terjadi overkapasitas sebesar 156 % dan 50 %
diantaranya adalah tahanan dan napi kasus Narkoba (sumber:
mslap.ditjenpas.go.id/). Hal ini berdampak terhadap kondisi psikologis dan
kesehatan para napi dan tahanan yang memburuk, gangguan keamanan dan
ketertiban yang mengakibatkan terjadinya perkelahian sesama penghuni dan
kerusuhan di rutan dan lapas.

Dampak lainnya, fungsi pelayanan dan pembinaan sehingga proses rehabilitasi


dan reintegrasi sosial bagi napi berpotensi gagal sehingga tahanan dan napi
berpeluang untuk kembali melakukan kejahatan (residivis) bahkan jenis
kejahatannya dapat semakin meningkat, seperti Freddy Budiman yang semula
pencopet kemudian menjadi pengedar narkotika dan beberapa kali keluar-masuk
penjara sebelum menjadi bandar besar/gembong yang membuatnya divonis
hukuman mati.

Optimalisasi RJ

Sudah saatnya optimalisasi penanganan perkara pidana dengan pendekatan RJ


yang dapat diterapkan sebelum dan pada setiap tahapan sistem peradilan pidana
dengan melibatkan para pihak (korban dan pelaku) serta seluruh stakeholder
terkait yakni aparat penegak hukum, instansi pemerintah daerah terkaitdan tokoh
masyarakat setempat termasuk organisasi masyarakat sipil,
Beberapa jenis kasus yang dapat ditangani dengan pendekatan RJ antara lain
kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku lewat mekanisme diversi sebagaimana
yang diatur dalam SPPA, kasus penganiayaan ringan seperti kasus di atas, tindak
pidana moneter seperti pencurian, penggelapan dan penipuan yang nilai kerugian
korban tidak terlalu besar, apalagi pelaku masihdapat mengupayakan mengganti
kerugian korban.

Tidak terkecuali kasus narkoba kategori pengguna karena mereka adalah korban
dari sindikat jaringan peredaran gelap narkoba dan merupakan penghuni
terbanyak di rutan/ lapas. Penerapannya dapat dilakukan lewat rehabilitasi medis
dan rehabilitasi sosial bagi terdakwa melalui vonis hakim dan bagi napi lewat
program Dirjen PAS yang saat ini juga mendorong pemberian Amnesti bagi
pengguna yang telah menjalani pidana selama waktu tertentu dan telah menjalani
rehabilitasi,

Dengan begitu, diharapkan efektivitas penegakan hukum untuk mewujudkan


ketertiban umum dan memenuhi rasa aman serta hakatas keadilan bagi setiap
warga negara yang pada gilirannya anggaran negara dapat digunakan seefisien
mungkin dan dioptimalkan pada program pembangunan yang lebih tepat untuk
mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Amin ya Rabbal Alamin.

Contoh Opini Publik tentang Hak Asasi Sosial


Sekolah Penggerak
Doni Koesoema A Pemerhati pendidikan, anggota Badan Standar Nasional
Pendidikan 2019-2023 | Opini

MERDEKA Belajar episode 7 bertajuk sekolah penggerak merupakan salah


satu jurus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim untuk
mentransformasi pendidikan nasional. Sayangnya, program sekolah
penggerak masih menyisakan residu kebijakan elitis yang telah menjadi
kebiasaan di Senayan. Membangun sistem transformasi yang membuka ruang
partisipasi mandiri, pengembangan talenta, dan kolaborasi
merupakan conditio sine qua non bagi transformasi pendidikan berkelanjutan.
Setiap kali ada kebijakan seleksi yang dikaitkan dengan program
Kemendikbud, apakah itu guru penggerak, kepala sekolah penggerak,
kebijakan ini selalu berciri ad hoc, sifatnya sementara dan demi memenuhi
kepentingan tertentu. Padahal, bisnis utama Kemendikbud ialah transformasi
pendidikan berkelanjutan.   Residu elitisme Residu elitisme program sekolah
penggerak terdapat dalam kegiatan seleksi pelatih ahli, kepala sekolah, dan
sekolah penggerak. Pelatih ahli akan menjadi tim elite yang mendampingi
pengawas dan kepala sekolah. Kepala sekolah yang lolos seleksi akan
menjadi kumpulan kecil orang yang memperoleh privilese melalui program
sekolah penggerak. Tentu saja, sekolah yang kepala sekolahnya terpilih akan
membuat sekolah mereka memiliki label baru, yaitu sekolah penggerak.
Memperoleh label sekolah penggerak bukan cuma menuai kebanggaan karena
masuk kelompok elite dan mendapat banyak keuntungan. Manfaat bagi
sekolah antara lain memperoleh pendampingan pengembangan guru dan
kepala sekolah oleh pelatih ahli, pengembangan pembelajaran, perencanaan
berbasis data, dan digitalisasi sekolah. Pendampingan pun dilakukan selama
tiga tahun. Sekolah penggerak yang tahun ini ditargetkan ada 2.500 sekolah
terpilih akan menjadi sekolah elite dari total 404.807 sekolah yang ada (NPD
2019). Yang menjadi masalah bukanlah isi dan manfaat yang diperoleh
melalui program sekolah penggerak. Bahwa sekolah harus berkembang dan
bertransformasi, kita sepakat. Persoalannya, sementara beberapa kelompok
kecil sekolah didampingi serius dengan menghabiskan anggaran dana besar,
sekolah lain tidak memperoleh intervensi yang sama dari Kemendikbud. Ada
ketidakadilan dalam proses intervensi untuk transformasi pendidikan.
Kebijakan sekolah penggerak, karena sangat elitis, melahirkan ketidakadilan
bagi satuan pendidikan lain yang memerlukan bantuan dan intervensi.  
Implementasi kebijakan Apakah tugas Kemendikbud itu menjalankan
program, atau melaksanakan kebijakan berdasarkan norma, standar, prosedur,
dan kriteria kebijakan yang sudah ditentukan? Pendidikan kita tidak akan
pernah maju bila dalam menerapkan kebijakan Kemendikbud masih memakai
pola program. Logika program berbeda dengan penguatan sistem dalam
rangka implementasi kebijakan. Program hanyalah sesaat, sedangkan sistem
akan berkelanjutan, siapa pun menterinya. Kemendikbud telah membagi
tahapan transformasi sekolah menjadi empat tahap, dengan nantinya
pemilihan sekolah penggerak tidak berdasarkan pada semakin tingginya
tahap, tetapi kondisi awal sekolah. Jadi, sekolah terpilih, apa pun kondisinya,
akan dapat memperoleh manfaat dari program sekolah penggerak. Kepala
sekolah harus memiliki misi, mampu mengambil keputusan strategis, mampu
memimpin perubahan, memiliki kemampuan melaksanakan pelatihan dan
pembimbingan, mampu membangun kerja sama, memiliki orientasi sebagai
pemelajar, memiliki daya juang, kematangan etika, memimpin implementasi
dan mendorong inovasi, serta masih memiliki jabatan untuk paling tidak
melaksanakan transformasi sekolah selama tiga tahun. Kriteria seleksi kepala
sekolah seperti itu biasanya ialah ciri sekolah yang sudah dikelola dengan
baik. Dapat dipastikan bahwa dengan kriteria pemilihan kepala sekolah
seperti itu, akan sangat sedikit sekolah dengan kondisi tahap 1 terjaring.
Sebaliknya, sekolah-sekolah yang sudah baguslah yang akan terseleksi.
Pemerintah daerah dan Kemendikbud selama bertahun-tahun telah memiliki
data tentang sekolah yang berkinerja baik dan tidak. Hasil dari proses
akreditasi, hasil ujian nasional, hasil uji kompetensi guru, dan penilaian dalam
pemetaan mutu pendidikan sebenarnya merupakan instrumen yang
mencukupi untuk menentukan sekolah yang sangat butuh bantuan atau yang
tanpa intervensi pun tetap akan meningkatkan kualitasnya. Bila anggaran
pendidikan terbatas, berikanlah itu untuk sekolah-sekolah yang
membutuhkan. Nadiem tidak perlu memulai dari nol.   Pengembangan karier
Lebih dari itu, tugas utama Nadiem seharusnya ialah membenahi sistem
pengembangan karier baik itu untuk guru, kepala sekolah, maupun pengawas,
melalui proses seleksi yang objektif, transparan, dan meritokratis. Dengan
demikian, kinerja dan kesejahteraan guru, kepala sekolah, dan pengawas
dijamin dalam sebuah sistem pengembangan karier yang berbasis jasa,
kemampuan, kompetensi, inovasi, dan kreasi. Mentransformasi pendidikan di
Indonesia dengan 52 juta siswa, kemudian 3,3 juta guru, dan 2,3 juta tenaga
kependidikan, serta lebih dari 400 ribu satuan pendidikan yang tersebar di
Nusantara, tentu tidak mudah. Sampai 2024, diharapkan sudah ada 40 ribu
sekolah penggerak (10%). Sampai kapan sekolah-sekolah kita semua akan
menjadi sekolah penggerak melalui program seperti ini? Tanggung jawab
Kemendikbud ialah implementasi kebijakan. Itu berarti, kalau lembaga itu
memiliki gagasan untuk mentransformasi satuan pendidikan, apa pun
kondisinya, harus mempersiapkan sebuah sistem yang akan menopang proses
transformasi tersebut. Itu sebuah sistem yang memungkinkan semua sekolah
di Indonesia dalam waktu yang bersamaan mengakses sistem asesmen dan
evaluasi diri, untuk menentukan sekolah mereka berada dalam tahap berapa
dan apa saja yang harus mereka lakukan agar dapat naik kelas ke tahap
berikutnya. Data pendidikan kita yang merupakan data raksasa dapat
diselesaikan melalui bantuan teknologi informasi dan komunikasi. Tugas
Kemendikbud menyediakan sebuah platform bersama untuk memulai proses
transformasi pendidikan pada tahap mana pun sekolah berada, mulai sistem
asesmen sampai proses pendampingan berbasis teknologi digital. Pemerintah
daerah harus diberi kepercayaan mengembangkan berbagai macam program
pelatihan karena mereka yang memiliki anggaran dan memahami kebutuhan
daerah. Tugas Kemendikbud ialah memberikan konsultasi asimetris, seperti
digagas dalam konsep sekolah penggerak, ditopang sistem manajemen digital
yang andal. Lebih dari itu, Kemendikbud memiliki tugas lebih mendesak
untuk membangun sistem rekrutmen dan pengembangan karier bagi pendidik
dan tenaga kependidikan untuk berbagai posisi strategis transformatif, seperti
guru ahli, pemimpin sekolah, pengawas, pengembang kurikulum, para ahli
dalam pendidikan khusus, dan berbagai karier lain yang terbuka untuk diisi
para pelaku pendidikan sesuai dengan minat, bakat, dan kompetensi mereka.
Proses rekrutmen itu haruslah berbasis pada kompetensi dan meritokrasi,
bukan karena senioritas atau kolusi dan nepotisme. Itu semua harus tersedia
dalam sebuah sistem yang tetap, bukan melalui mekanisme seleksi ad hoc.
Dengan memiliki sistem pengembangan talenta pelaku pendidikan seperti itu,
sumber daya manusia terbaik yang dimiliki bangsa Indonesia akan terjaring.
Mereka itulah yang akan menjadi pendorong dan akselerator transformasi
perubahan pendidikan. Pendekatan elitis dan selektif dalam rangka
implementasi kebijakan pendidikan sebaiknya ditinggalkan. Kemendikbud
harus menempatkan diri sebagai katalisator perubahan bagi semua pelaku
pendidikan dengan cara menciptakan sebuah sistem dan sarana yang dapat
membantu tiap sekolah melakukan transformasi secara mandiri dalam jejaring
dengan sekolah-sekolah lain. Teknologi digital pendidikan bisa mempercepat
proses transformasi itu.

2. Judul Opini

“RUU PKS PRO SOLUSI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN


KEKERASAN SEKSUAL”

Kekerasan seksual merupakan isu yang penting dari seluruh peta


kekerasan terhadap perempuan karena ada khas bagi perempuan, seperti dalam
persoalan ketimpangan relasi kuasa yang dimaksud antara laki-laki dan
perempuan. Pelecehan seksual adalah perilaku pendekatan-pendekatan yang
terkait dengan seks yang tak diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan
seks, dan perilaku lainnya yang secara verbal ataupun fisik merujuk kepada seks.
Tindakan ini termasuk siulan, main mata, komentar atau ucapan bernuansa
seksual, mempertunjukkan materi-materi pornografi dan kenginan seksual atau
sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual, sehingga
mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung dan mungkin hingga
menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.

Pelecehan seksual dalam agama Islam dipandang sebagai perbuatan yang


sangat tercela, karena Islam mengajarkan untuk saling menghormati kepada
siapapun tanpa memandang posisi dan jabatan seseorang. Perbuatan seksual
dalam Islam hanya boleh dilakukan melalui jalur yang sah, yaitu pernikahan.
Apabila tanpa melalui pernikahan, maka setiap perbuatan seksual yang dilakukan
merupakan perbuatan zina. Dalam agama Islam, jangankan mencium atau
memegang anggota badan lawan jenis, melihat dengan menimbulkan syahwat saja
tidak boleh karena dikhawatirkan dapat mendekati dan menimbulkan zina.
Hukuman bagi pelaku zina ini dapat berupa hukuman cambuk, rajam dan
pengasingan.
Istilah pelecehan seksual tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), yang ada hanya istilah perbuatan cabul. Perbuatan cabul
dalam KUHP diatur dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang
Kejahatan Kesusilaan (Pasal 281 sampai Pasal 303). Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) menyebut pelaku pelecehan seksual berarti orang yang suka
merendahkan atau meremehkan orang lain, berkenaan dengan seks (jenis kelamin)
atau berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.

Kekerasan seksual di Indonesia menjadi kasus dengan kondisi yang sangat


darurat. Jumlah kasus kekerasan seksual terhadap perempuan setiap tahunnya
terus meningkat. Data Komnas Perempuan menyebut jumlah kekerasan terhadap
perempuan yang dilaporkan dan ditangani pada tahun 2017 berjumlah 348.446
kasus, meningkat drastis dari tahun sebelumnya yang berjumlah 259.150 kasus.
Komnas perempuan melihat bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan, tak
bisa dianggap sebagai tindak kriminal semata, tapi sebagai bentuk kekerasan
berbasis gender. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, kekerasan seksual
menjadi momok paling mengerikan pada daftar kasus kekerasan terhadap
perempuan.

Maraknya kasus pelecehan seksual ini membuat Pemerintah didesak untuk


membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual
(PKS). Korban kekerasan seksual saat ini dirasa tidak mendapatkan keadilan
karena selama ini hanya dijerat oleh UU KDRT dan UU Perlindungan Anak,
sedangkan untuk koban lainnya belum substansial dan masih ada kekosongan
hukum.
Rancangan undang-undang ini sebetulnya sudah diajukan per tanggal 11
Oktober 2016, yang artinya sudah berumur empat tahun enam bulan. Singkatan
PKS dalam RUU ini adalah Penghapusan Kekerasan Seksual. Apa itu
penghapusan kekerasan seksual? Ddi dalam RUU PKS sendiri telah disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan penghapusan kekerasan seksual adalah segala
upaya untuk mencegah terjadi kekerasan seksual, menangani, melindungi dan
memulihkan korban, menindak pelaku dan mengupayakan tidak terjadi
keberulangan kekerasan seksual.
Sebelum membahas lebih dalam mengenai RUU PKS ini, apakah pembaca
sekalian sudah pernah membaca naskah akademik RUU PKS secara keseluruhan?
Jika belum, saya sarankan kepada para pembaca agar membaca naskah akademik
tersebut untuk menghilangkan prasangka-prasangka yang tidak bertanggung
jawab.
Di dalam RUU PKS, tepatnya pada pasal 11 disebutkan bahwa yang
termasuk ke dalam kekerasan seksual ada sembilan jenis, yaitu pelecehan seksual,
eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan,
pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan
penyiksaan seksual. Jenis-jenis kekerasan seksual tersebut yang membuat
banyaknya polemik mengenai RUU PKS.
Dalam perjalanannya, RUU PKS banyak sekali mendapat reaksi pro dan
kontra dari masyarakat. Pihak-pihak yang bersikap kontra terhadap RUU PKS
banyak yang menganggap bahwa jenis-jenis kekerasan seksual yang telah
dijelaskan dalam RUU PKS akan menimbulkan penafsiran yang terlalu meluas
dan dianggap pro LGBT, pro perzinaan dan pro aborsi. Rancangan undang-
undang ini dianggap terlalu mengamini feminisme Barat, sehingga bertolak
belakang dengan prinsip-prinsip sebagian besar masyarakat Indonesia yang
notabene beragama Islam. Sehingga bentuk penyimpangan-penyimpangan seksual
dapat menyebar semakin luas dan bahkan semakin bebas.
Dalam hal ini mungkin bisa kita garis bawahi, bahwa kekerasan seksual
memiliki perbedaan dengan penyimpangan seksual. Penyimpangan seksual datang
dari dalam dorongan seksual seorang individu yang dapat dikatakan menyimpang
dari norma atau susila. Penyimpangan seksual atau disebut juga parafilia adalah
bangkitnya gairah seksual secara terus-menerus terhadap objek, situasi atau
individu tertentu yang tidak lazim. Banyak faktor yang melatarbelakangi
munculnya perilaku penyimpangan seksual seseorang, bisa karena faktor biologis
atau pun psikologis.
Ada banyak jenis dari penyimpangan seksual, di antaranya sebagai
berikut.
 Pedofilia, merupakan penyimpangan seksual yang terjadi saat orientasi
seks penderitanya terfokus pada anak-anak dan bukan orang dewasa.
 Froteurisme, yaitu penyimpangan seksual di mana pelakunya gemar
menggesekkan alat kelaminnya pada tubuh orang yang tidak dikenal untuk
mendapat kepuasan seksual.
 Ekshibisionisme, adalah orang yang senang memperlihatkan alat kelamin
di depan publik atau pada orang yang tidak dikenal.
 Voyeurisme, adalah jenis penyimpangan seksual dengan cara mengintip,
menguntit dan melihat aktivitas seksual orang lain secara diam-diam.
 Nekrofilia, yaitu penyimpangan seksual di mana seseorang memiliki
hasrat bercinta dengan jenazah.
 Homo Seksual, yaitu kelainan di mana seseorang menyukai berhubungan
seksual dengan sesama jenis. Pada laki-laki disebut gay dan pada
perempuan disebut lesbian.
 Zoofilia, yaitu kelainan seksual di mana seseorang merasa terangsang
setelah melihat binatang sedang berhubungan seks.
Sebenarnya masih banyak jenis penyimpangan seksual lainnya seperti
incest, fetithisme, sadomasokisme, sodomi dan lain sebagainya. Khusus untuk
kasus homo seksual, di beberapa negara ada pula yang tidak menganggapnya
sebagai suatu penyimpangan seksual. Negara-negara tersebut di antaranya
Amerika Serikat, Belanda, Belgia, Spanyol, Kanada, Afrika Selatan, Norwegia,
Swedia, Portugal, Meksiko, Islandia, Argentina, Uruguay, Selandia Baru,
Perancis, Denmark, Inggris, Wales, Skotlandia, Brazil, Luxemburg, Finlandia,
Irlandia, dan selanjutnya Vietnam. Negara-negara tersebut bahkan telah
melegalkan pernikahan sesama jenis. Namun, di negara seperti Indonesia,
Malaysia dan Brunei Darussalam sangatlah melarang perilaku tersebut karena
bertolak belakang dengan norma susila yang berlaku.
Penyimpangan seksual salah satunya disebabkan oleh faktor psikologis,
yaitu trauma masa kecil karena pernah menjadi korban pelecehan seksual. Contoh
kasusnya adalah Andri Sobari alias Emon yang terkuak pada 2014 lalu. Emon
merupakan seorang pedofil yang dianggap telah menjadi predator bagi lebih dari
seratus anak di daerah Sukabumi. Setelah dilakukan pemeriksaan, diketahui
bahwa Emon merupakan korban pedofilia oleh dua orang dewasa ketika dia masih
SMP. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat menjadi pemicu
munculnya penyimpangan seksual.
Maka untuk mencegah semakin maraknya penyimpangan seksual di
tengah-tengah masyarakat saat ini, dibutuhkan suatu solusi yang dapat dijadikan
sebagai jalan keluar. Solusi yang tepat untuk itu salah satunya adalah RUU PKS.
Mengapa demikian? Karena di dalam RUU PKS telah disebutkan secara rinci
mengenai upaya-upaya penghapusan kekerasan seksual. Upaya-upaya tersebut
mulai dari upaya pencegahan, penanganan dan pendampingan korban, penjaminan
hak-hak korban, keluarga dan juga saksi, upaya hukum yang harus dilakukan,
serta bagaimana partisipasi masyarakat diatur di dalam RUU tersebut. Jika upaya-
upaya tersebut dapat diterapkan dengan baik dan benar, maka keberulangan
kekerasan seksual dapat diminimalisir.

3. Opini publik statis biasanya tertuang dalam bentuk kebiasaan, adat istiadat
atau norma-norma serta bersifat lebih konservatif dan tradisional. Sedangkan
opini publik yang dinamis ini lebih bersifat rasional dan terbentuk karena seni
persuasi yang berupa kegiatan publisitas yang sistematis dari kejadian pada
waktu itu.

Anda mungkin juga menyukai