Anda di halaman 1dari 5

1.

Perkembangan Kebebasan Beragama di Indonesia Masa Reformasi


Selama periode Reformasi di Indonesia, yaitu sejak tahun 1998 hingga
saat ini, terjadi perkembangan yang signifikan dalam hal kebebasan beragama.
Reformasi politik yang terjadi setelah jatuhnya rezim otoriter Orde Baru
membuka ruang yang lebih besar bagi kebebasan beragama dan ekspresi
keagamaan di negara ini. Selama masa reformasi, banyak produk hukum lahir
sebagai hasil kontestasi politik etnis dari berbagai kelompok masyarakat, baik
di tingkat nasional maupun daerah. Reformasi ini diikuti oleh upaya legislatif
yang beragam untuk mengisi ruang hukum di Indonesia dengan berbagai
produk hukum. Proses ini terjadi dalam konteks politik dan ekonomi negara
yang kompleks, serta berbagai agenda kepentingan yang berbeda. Sebagai
akibatnya, reformasi menghasilkan beragam produk hukum, mulai dari
undang-undang hingga peraturan daerah (Sustiono, 2022).

Dalam perkembangan kebebasan beragama pada era Reformasi terdapat


tantangan dan peluang yang terjadi apabila dilihat dari berbagai perspektif
yaitu:

1) Perspektif hukum, Banyak regulasi hukum yang dihasilkan pada masa


reformasi sebagai hasil persaingan politik etnis dari berbagai kelompok
masyarakat, baik di pusat maupun di daerah. Reformasi berlangsung
dengan berbagai upaya legislasi untuk mengisi kerangka hukum Indonesia
dengan berbagai produk hukum. Namun, reformasi tersebut dipengaruhi
oleh kondisi politik dan ekonomi negara, serta berbagai agenda
kepentingan lainnya. Akibatnya, sejumlah peraturan hukum telah dibuat,
mulai dari undang-undang hingga peraturan daerah. Namun demikian,
masih terdapat berbagai tindakan kekerasan dan pemaksaan yang
dilakukan oleh kelompok masyarakat dan pemerintah. Jika kita mengacu
pada UUD 1945, hal ini sangat disayangkan. UUD 1945 menegaskan
bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal
28E Pasal 29 ayat 1). Padahal, Pasal 28I UUD 1945 menyatakan bahwa
kebebasan beragama tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun.
Ketentuan ini juga diperkuat dengan Konvensi Internasional Hak Sipil dan
Politik yang mengakui hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal
18), serta Pasal 22 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
2) Perspektif Sosio-Kultural, Di era reformasi setidaknya ada tiga pola
organisasi keagamaan yang dapat diidentifikasi. Pertama, adanya
kelompok eksklusif yang memiliki sikap moderat dan progresif. Dalam
kategori kelompok eksklusif, ada beberapa organisasi yang bisa
disebutkan, seperti Laskar Jihad (yang kini sudah tidak aktif), Front
Pembela Islam (FPI), Front Hizbullah, dan lain-lain. Di sisi lain, peran
moderasi masih dilakukan oleh ormas-ormas besar seperti Nahdlatul
Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Selain itu, ada kelompok keagamaan
yang bercorak sufistik seperti kelompok Majelis Az-zikra. Selain kedua
kelompok tersebut, ada pula kelompok pembangunan yang tidak hanya
terbuka, tetapi juga kritis terhadap isu-isu agama dan sosial. Beberapa
organisasi yang bisa disebutkan di sini antara lain Wahid Institute Jakarta,
Lakpesdam NU, dan Lembaga Dialog Antarfidei (Interfidei) di
Yogyakarta.
3) Ranah Politik; Dampak era reformasi terhadap kehidupan demokrasi di
Indonesia membuat perubahan yang signifikan di bidang politik.
Masyarakat Indonesia mulai menyadari pentingnya menyuarakan pendapat
di depan umum, berorganisasi dan berserikat, bahkan mendirikan partai
politik sebagai wujud dari perubahan ini. Pada pemilihan umum 1999,
terdapat 48 partai politik yang berpartisipasi, namun jumlah ini kemudian
dikurangi menjadi 24 partai pada pemilihan umum 2004. Meski begitu,
jumlah ini masih lebih besar dibanding era Orde Baru. Namun, masalah
kebebasan beragama tidak sepenuhnya diselesaikan hanya melalui
ketentuan konstitusi. Hal ini mungkin karena adanya perbedaan dalam
menemukan dan menerapkan di tingkat implementasi, atau mungkin
karena ketidakjelasan dari pelaksana di lapangan mengenai isi dari
ketentuan tersebut. Yang jelas, beberapa peristiwa yang melanggar konsep
kebebasan beragama atau berkeyakinan terus terjadi hingga saat ini.
Kekerasan berlatar belakang agama masih sering terjadi di berbagai
daerah, mempengaruhi kelompok sosial dan komunitas agama yang
berbeda (Mulia, 2010).

2. Pengaruh Kebebasan Beragama di Indonesia pada Dinamika Sosial


dan Politik Hukum
Kebebasan beragama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
dinamika sosial, politik, dan budaya masyarakat indonesia.

1) Dinamika sosial
Dalam menganalisis situasi Kebebasan Beragama, terlihat bahwa
pelanggaran atau ketiadaan kebebasan beragama dan berkeyakinan
muncul ketika prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) tidak
dihormati, terutama di negara-negara dengan kelompok mayoritas
berdasarkan etnis tertentu. ras dan agama, seperti halnya juga di
Indonesia. Dalam konteks ini, secara teoretis kelompok mayoritas
memiliki kekuatan dominan dalam menentukan wacana sosial, dan
tanpa disadari hal ini dapat menimbulkan intoleransi dan
kewaspadaan terhadap kelompok minoritas. Untuk mengatasi
masalah intoleransi antar umat beragama, perlu dibangun integrasi
sosial yang kuat dalam masyarakat. Integrasi sosial merupakan
langkah yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang lebih
stabil, aman dan berkeadilan bagi seluruh anggota masyarakat.
Dalam upaya mencapai integrasi sosial, setiap individu berperan
aktif dengan hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya masing-
masing. Dalam menganalisis kasus kebebasan beragama dan
berkeyakinan, ada empat hal yang perlu diperhatikan lebih detail.
Prinsip pertama integrasi sosial harus menjadi acuan dalam upaya
memahami dinamika dan tantangan terkait kebebasan beragama.
Kedua, kondisi sosial masyarakat dan hubungan antar individu
harus dipahami secara mendalam, mengingat faktor-faktor tersebut
dapat mempengaruhi dinamika kebebasan beragama. Ketiga, perlu
melibatkan semua pemangku kepentingan terkait, termasuk
pemerintah, masyarakat sipil, kelompok agama dan akademisi,
untuk mencapai pemahaman yang komprehensif dan solusi yang
inklusif. Keempat, perlu adanya lembaga atau lembaga yang
memiliki kapasitas dan keberanian untuk melakukan intervensi
yang efektif dalam mempromosikan dan melindungi kebebasan
beragama dan berkeyakinan (Fauzia, 2011). Dengan
mempertimbangkan aspek-aspek tersebut, diharapkan dapat
diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang kasus
kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta dapat menghasilkan
langkah-langkah yang lebih efektif untuk mengatasi masalah
tersebut.

Terdapat empat prinsip utama yang perlu diperhatikan dalam


menganalisis kasus-kasus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
dengan tujuan untuk memahami praktiknya dan memberikan
masukan yang dapat memastikan bahwa setiap anggota masyarakat
dapat menikmati hak-hak tersebut. Empat prinsip tersebut meliputi
integrasi sosial, kondisi masyarakat dan hubungan sosial, pemangku
kepentingan, dan lembaga intervensi. Untuk mencapai keberhasilan
dalam melaksanakan Kebebasan Beragama, integrasi sosial dalam
masyarakat merupakan syarat penting. Integrasi sosial terjadi ketika
ada hubungan sosial yang melibatkan pertemuan, saling
mengunjungi, dialog komunikasi, interaksi aktif, kerjasama,
kolaborasi, bantuan, dan kepentingan pihak yang berbeda. Melalui
integrasi sosial, terbentuk rasa saling menghargai, toleransi,
solidaritas dan kohesi sosial di antara anggota masyarakat. Ketika
hubungan sosial mencapai tingkat kohesi yang baik, konflik sosial
dapat diatasi, implementasi kebebasan beragama dan berkeyakinan
dapat berjalan dengan baik, dan dakwah agama dapat memiliki
karakter inklusif yang mendorong toleransi dan perdamaian. Oleh
karena itu, penting untuk memperhatikan dan menangkap keempat
unsur tersebut guna mendukung terciptanya lingkungan yang
memungkinkan setiap individu menikmati hak atas kebebasan
beragama dan berkeyakinan ( Fauzia, 2011).
2) Dinamika Politik Hukum
Proses Reformasi konstitusi pasca tumbangnya rezim otoriter
Soeharto seharusnya mampu memperbaiki sistem hukum nasional,
khususnya dalam hal penegakan hak asasi manusia. Namun,
ternyata reformasi ini juga terjebak dalam situasi yang pelik.
Undang-undang lama yang diskriminatif terhadap pelaksanaan hak
kebebasan beragama dan berkeyakinan masih dipertahankan,
terutama melalui interpretasi operasionalnya yang didorong oleh
gagasan superioritas mayoritas yang ternyata juga mempengaruhi
struktur dan politik hukum Mahkamah Konstitusi. Akibatnya,
tindakan pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan
kelompok minoritas terus terjadi secara konsisten dan menyebar ke
berbagai daerah, karena tindakan tersebut telah mendapatkan
legitimasi hukum dan diberdayakan oleh negara (Muktiono, 2012).
Pembatasan hukum atas pelaksanaan hak atas kebebasan beragama
dan berkeyakinan, khususnya bagi kelompok minoritas, seringkali
dilakukan melalui kebijakan administratif yang bias dan tidak sah
menurut prinsip-prinsip umum hak asasi manusia. Namun dalam
praktiknya, solusi ini seringkali terbukti efektif. Hal ini disebabkan
oleh sistem politik dan hukum yang mendukung kepentingan
mayoritas tanpa adanya mekanisme objektif untuk mempersoalkan
keputusan peradilan, yang harus bebas dari campur tangan politik
dan tekanan publik. Hak atas kebebasan beragama dan
berkeyakinan, yang bersumber dari norma-norma internasional,
seringkali bertentangan dengan nilai-nilai agama tertentu di negara
tempat hak tersebut berlaku, terutama jika agama tersebut dianut
oleh mayoritas penduduk. Salah satu cara untuk mengatasi masalah
ini adalah dengan mensosialisasikan norma-norma universal hak
asasi manusia kepada seluruh pemangku kepentingan negara dan
kelompok masyarakat. Melalui proses ini diharapkan terciptanya
perilaku yang sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia
yang universal (Busro, 2008).

Anda mungkin juga menyukai