Anda di halaman 1dari 4

Tugas Pengantar Sosiologi A1

Argumen dan Opini Mahasiswa Terhadap Isu di Masyarakat

Nama : Alfina Nur Rohmah

NIM : 200910101023

Prodi : Ilmu Hubungan Internasional

Dosen : Diah Ayu Intan Sari, S.Sos., M.I.Pol.

1. Gerakan Sosial merupakan suatu istilah di dalam sosiologi dimana penyebab paling
mendasarnya adalah ketika suatu kelompok dalam masyarakat menginginkan adanya
suatu perubahan dari hal lama dalam hal ini bisa terkait kebijakan publik yang dianggap
kurang atau tidak efektif menuju kebijakan yang baru. Namun, perlu diingat bahwa
gerakan sosial berbeda jauh dengan aksi-aksi anarkis untuk menggulingkan suatu
pemerintahan atau tujuan-tujuan tertentu seperti kerusuhan, pemborantakan, dan lain-
lain. Seperti menurut Singh (2001:36-37), menurutnya gerakan sosial adalah mobilisasi
untuk menentang negara juga sistem pemerintahannya, namun tidak dengan
menggunakan kekerasan dan pemberontakan bersenjata. 1
Gerakan sosial ini dapat terjadi jika dipicu oleh tiga hal, yaitu sifat pemerintahan
suatu negara, adanya situasi yang mendorong perubahan sehingga timbul gerakan sosial,
dan karakter pemimpin. Perlu diperhatikan lagi terkait gerakan sosial yang dalam
kuantitas yang besar dan luas ini dapat terjadi pada semua negara tidak hanya yang
masih memerlukan banyak pembenahan di setiap bidangnya, tetapi juga negara yang
sudah mapan terutama bidang politiknya. Seperti yang pernah terjadi pada Filipina ketika
dipimpin oleh Ferdinand Marcos dan di Indonesia sendiri pernah terjadi hal yang serupa
pada masa pemerintahan Soeharto yang menuntut reformasi 1998.
Mari berfokus pada gerakan sosial di Indonesia dimana selain reformasi ternyata
pernah terjadi gerakan yang masif dan berpengaruh besar juga, yaitu perlawanan
masyarakat di Toba Samosir. Bahkan yang terjadi baru-baru ini pada bulan Oktober
2020, mahasiswa, pelajar, dan masyarakat di hampir setiap provinsi di Indonesia tergerak

1
Dimpos Manalu, “Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik Kasus Perlawanan Masyarakat Batak vs PT.
Inti Indorayon Utama, di Porsea, Sumatera Utara”. Populasi. 18(1), 2007, hal 31.
untuk turun ke jalan melakukan aksi protes menolak terkait UU Cipta Kerja. Jika dilihat
dari tiga hal yang mampu memicu terjadinya gerakan sosial, maka menurut saya demo
penolakan UU Cipta Kerja ini di dalamnya terdapat setidaknya dua hal, yaitu sifat
pemerintahan dan adanya situasi yang mendorong terjadinya gerakan sosial.
Sifat pemerintahan dapat dikaitkan dan menjadi salah satu sebab gerakan sosial ini
dapat terjadi dikarenakan dapat dilihat dalam beberapa bulan terakhir sebelum
meletusnya aksi protes diberbagai daerah di Indonesia sudah muncul tagar-tagar dan
dikampanyekan mosi tidak percaya rakyat kepada pemerintah khususnya ditujukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini menunjukkan ada sifat pemerintahan yang
dianggap kurang kompeten, kurang transparan, dan kurang mendengarkan aspirasi
masyarakat. Logika sederhananya jika masyarakat terutama para buruh yang pasti akan
terkena dampak langsung dari UU ini semua merasa aspirasinya tidak didengar, lantas
sebenarnya suara siapa dan kepentingan yang mana yang ingin didahulukan oleh
pemerintah. Kemudian berbicara tentang pelajar yang dianggap hanya terima ikut aksi
demo tanpa paham betul mengapa mereka turun, menurut saya setidaknya di situ
menandakan bahwa mereka ingin menambah jumlah atau kuantitas dan tetap membawa
rasa bahwa ada yang salah di dalam pemerintahan. Seperti yang pernah dikatakan oleh
M.Atiatul Muqtadir, mantan Presma UGM, “Peningkatan kuantitas dan kualitas tuntutan
dari aksi mahasiswa, sejalan dengan menurunya pengelolaan pemerintah”. Dan masih
seputar sifat pemerintahan yang kurang jelas dalam menyediakan informasi terkait draft
UU dan juga sikap yang daripada menerima kritik dan masukan kemudian
mengevaluasinya justru memilih melontarkan alasan-alasan kurang masuk akal kepada
masyarakat. Lalu situasi yang terjadi sehingga menimbulkan gerakan sosial ini yang
sebenarnya merupakan kelanjutan atau memiliki hubungan dengan sifat pemerintahan itu
tadi dimana dalam pengesahan UU juga terdapat kejanggalan seperti disahkannya begitu
tiba-tiba atau secara diam-diam ditambah disaat malam hari yang dimana saat itu
masyarakat beristirahat dan berbagai drama ketika pelaksanaan sidang pengesahan.
Sehingga membuat situasi semakin memanas, tidak kondusif, dan mengikis kepercayaan
rakyat terhadap pemerintah dengan bentuk legitimasi terhadap UU yang rendah.
Kemudian hal-hal ini tadi yang semakin menguatkan para pejuang keadilan
khususnya mahasiswa yang juga mewakili para buruh atau pekerja untuk tergerak turun
ke jalan dan menyuarakan protes karena dirasa hanya ini satu-satunya cara agar para
pembuat kebijakan mampu melihat, mendengar, dan menyadari bahwa ada masyarakat
yang sedang memperjuangkan yang terbaik untuk hidup mereka kedepannya.
Menyinggung sedikit tentang karakter pemimpin yang menurut saya tidak
termasuk sebagai pemicu terjadinya gerakan sosial penolakan UU Cipta Kerja adalah
dilihat dari peristiwa-peristiwa masa lalu, yaitu pada saat Orde Baru yang dipimpin oleh
Presiden Soeharto dan juga negara Filipina saat kepemimpinan Ferdinand Marcos.
Keduanya memiliki karakter yang otoriter kemudian berpengaruh juga kepada kebijakan-
kebijakan yang ditetapkan, sehingga menimbulkan aksi protes meski sebelumnya selalu
dibungkam. Dan saya rasa karakter pemimpin dewasa ini tidak demikian sehingga tidak
cukup kuat menjadi pemicu timbulnya gerakan sosial.
2. Menurut Parekh (1997:183-185) multikulturalisme dibagi menjadi lima jenis,
diantaranya multikulturalisme otonomis, multikulturalisme akomodatif, mutikulturalisme
isolasionis, multikulturalisme kosmopolitan, dan multikulturalisme kritikal atau
interaktif.2 Dan multikultularisme atau paham yang menghendaki penerimaan atas
keberagaman atau perbedaan ini tentunya tidak dapat lepas dari bangsa Indonesia yang
senantiasa melekat dengan kebhinekaannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia
secara geografis terbentang dari Sabang sampai Merauke, sehingga keberagaman pasti
ada dan kompleks dari mulai suku, ras, etnis, agama, dan masih banyak yang lainnya.
Kemudian, jika multikultur atau kemajemukan yang terjadi di Indonesia
dihubungkan dengan pembagian multikulturalisme menurut Parekh, walaupun
pemerintah Indonesia belum secara resmi menetapkan multikulturalisme mana yang
dianut oleh Indonesia, namun saya berpendapat bahwa terdapat dua multikultularisme,
yaitu multikulturalisme otonomis dan multikulturalisme akomodatif. Multikulturalisme
otonomis yang secara garis besar dimana kelompok kultural menginginkan keseteraan
dengan menantang kelompok dominan sehingga semua masyarakat kultur dapat eksis
sebagai mitra sejajar, sedangkan multikulturalisme akomodatif berarti kemauan kultur
dominan membuat akomodasi bagi kaum minoritas seperti melalui ditetapkannya hukum,
sehingga kaum minoritas tetap mampu menjalankan kebudayaan dan tidak menentang
kaum dominan. Dapat disimpulkan dari dua pengertian multikulturalisme tersebut bahwa
akan tetap ada kelompok dominan atau mayoritas dan juga kelompok yang minoritas.
Kedua jenis multikulturalisme ini saya rasa sedang ada dan terjadi di Indonesia
dikarenakan meskipun Indonesia tidak bisa dihindarkan dari sebuah perbedaan, namun
setiap yang beda tersebut dapat terus melaksanakan kehidupannya. Sebagai contoh untuk
multikulturalisme otonomis di Indonesia dimana kelompok minoritas baik secara suku,

2
Dra. Ana Irhandayaningsih, M.Si., “Kajian Filosofis Terhadap Multikulturalisme Indonesia”, Humanika, 15(9),
hal 2.
ras, agama, dll. senantiasa menginginkan kesetaraan agar mereka tetap terus eksis
bersamaan dengan kelompok dominan di Indonesia. Dapat dilihat dalam pelayanan
fasilitas publik atau umum yang senantiasa semua masyarakat Indonesia mendapatkan
hak yang sama, meskipun masih ada beberapa oknum yang nakal dan kurang dalam
bertoleransi antar suku, ras, agama, dll. Lalu multikulturalisme akomodatif yang ada di
Indonesia dapat kita lihat melalui beberapa peraturan atau pasal di dalam undang-undang
yang mendukung multikulturalisme di Indonesia. Salah satu contohnya adalah Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis, yakni
pasal 2 ayat 1 yang berbunyi “Penghapusan diskriminasi ras dan etnis dilaksanakan
berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang
universal”. Pembuatan pasal ini mengindikasikan sebagai usaha pemerintah yang rata-
rata diduduki oleh kaum mayoritas atau dominan di Indonesia agar kehidupan tetap terus
berjalan damai tanpa perbedaan perlakuan khususnya dalam masalah ras dan etnis.
Meskipun, jika dilihat pada realitanya dewasa ini masih terjadi kasus penyangkalan
multikulturalisme ini di Indonesia seperti yang terjadi beberapa kasus intoleran yang
dilakukan oleh oknum fanatis dan kasus-kasus lainnya. Sehingga bisa dikatakan
multikulturalisme akomodatif memang belum sepenuhnya terlaksana dengan baik di
Indonesia, namun bukan tidak mungkin jika Indonesia akan seratus persen menganut
multikulturalisme ini seperti beberapa negara di Eropa di masa depan. Jadi, pentingnya
menumbuhkan sikap toleransi yang dapat dimulai dari diri sendiri bahwa dengan adanya
perbedaan di Indonesia bertujuan untuk saling melengkapi. Seperti halnya pelangi,
mengapa harus sama jika dengan berbeda dapat bersatu dan bersama kemudian menjadi
sesuatu yang luar biasa.

Anda mungkin juga menyukai