1. Pendahuluan
2. Pembahasan
2.1 Pengertian Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu “Demos” dan “Kratos”. Demos
bermakna rakyat atau khalayak, sementara Kratos bermakna pemerintahaan.
Demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang mengijinkan dan memberikan hak,
kebebasan kepada warga negaranya untuk berpendapat serta turut serta dalam
pengambilan keputusan di pemerintahan.
Pengertian demokrasi menurut para tokoh atau ahli :
Rapat
Mufakat
Gotong-royong
Hak mengadakan proses Bersama
Hak menyingkirkan diri dari raja absolute
“Di fase pertama, spirit reformasi itu ada. Fase pertama ini lumayan, menurut
saya positif. Walaupun tidak bisa maksimal, namun sebagai suatu gerakan
dari masyarakat, mahasiswa, serta aktivis telah berkomitmen untuk
mendorong itu semua. Sebagai suatu institusi, pada fase ini kita beranjak
untuk menjadi negara yang memiliki harapan sangat besar terhadap proses
demokrasi,” kata Anam.
Fase kedua reformasi, Anam kembali menerangkan bahwa konsolidasi
kekuasaan mulai dibangun, namun masyarakat sudah mulai melupakan energi
positif reformasi. Semakin lama, negara sebagai satu institusi yang dilahirkan
dalam era reformasi tidak sesuai dengan harapan substansial reformasi. Hasil-
hasil reformasi dan kerja-kerja institusi di fase awal menjadi tidak maksimal.
Di fase kedua ini, muncul kebijakan-kebijakan yang sarat akan diskriminasi,
berbeda jauh dengan semangat amandemen konstitusi yang ada di fase awal.
Di fase kedua ini juga menurut Anam ada kritik di tubuh masyarakat itu
sendiri. Kebencian, intoleransi, ekstremisme dan pengembangan isu Suku,
Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) semakin besar. Akhirnya, publik
juga disibukkan dengan bagaimana mengelola masyarakat agar kembali tertib
pada agenda reformasi dan saling menghormati HAM. Di fase kedua ini,
esensi agenda-agenda perubahan pada akhirnya tidak melahirkan produk-
produk yang substansial terhadap reformasi.
Selanjutnya fase ketiga era reformasi yang kini sedang kita alami. Anam
kemudian memberikan pertanyaan terkait kondisi saat ini, apakah sudah
sesuai dengan agenda reformasi atau malah sebaliknya? Menurut Anam, saat
ini, konsolidasi kekuasaan semakin utuh, namun konsolidasi masyarakat
masih stagnan seperti pada fase kedua. Praktik-praktik atau perilaku
kekerasan pun masih berlangsung, bahkan pada beberapa momentum hal itu
terjadi dengan sangat signifikan. Struktur kebijakan secara substansi yang
pada fase awal itu baik, menjadi tergantikan.
“Pertanyaannya, pada fase ini apakah akan menjadi fase berakhirnya era
reformasi atau bahkan fase dimulainya era yang lain. Ada yang menyebut ini
era oligarki, otoritarianisme ataupun yang lainnya. Oleh karena itu, mari kita
cek bersama-sama. Pertanyaan itu bisa kita cegah sebenarnya dengan cara
seperti fase pertama, konsolidasi masyarakat sipil yang harus kuat,” kata
Anam.
Namun sangat di sayangkan bangsa yang begitu besar ini kekurangan penjahit
konstitusi yang telah tersobek sejak rezim kolonial hingga kini. Konon
katanya kita sudah mereformasi diri menuju pada demokratisasi keadilan
sosial bagi seluruh rakyat indonesia, namun faktanya masih menyisahkan soal
yang tidak kalah pentingnya.Kedaulatan rakyat, kedaulatan ekonomi, politik
dan sosial yang tertuang dalam UUD 1945, hanya menjadi legenda dan cerita-
cerita politisi dan juga akademisi maupun mahasiswa oportunis yang jauh dari
kehidupan rakyat. Kiranya perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat
belum mampu dibendung dan dimanfaatkan dengan baik oleh negara.
Demokratisasi pasca reformasi bisa dikatakan gagal melakukan internalisasi
menuju pada tatanan demokrasi yang berkeadaban, sebab konsepsi demokrasi
dengan sistem ketatanegaraan dan pelembagaan yang tercipta hari ini
berujungtragis.
Untuk kedua kalinya tragedi kekerasan terhadap anak bangsa tercipta, ibarat
piramida kurban manusia dalam membangun negara. Hal itu terlihat dalam
peristiwa bersejarah, semanggi I dan II, trisakti, dan aksi demonstrasi besar-
besaran.
Tidak habis disitu, tragedi demokratisasi atas nama kepentingan umum terus
berlanjut. Dilansir dalam bbc.com yang menyatakan bahwa Data Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komnas HAM
menunjukan setidaknya 52 orang meninggal dunia dalamdemonstrasi
sepanjang tahun 2019. Demo mahasiswa bertajuk ‘reformasi dikorupsi’ di
jakarta pada 24 september 2019 tiga orang meninggal, di kendari pada 26
september 2019 dua orang tertembak dan Aksi anti rasisme di wamena dan
jayapura pada 23-28 september menyisihkansebanyak 37 orang meninggal
tanpa informasi resmi dari negara. Tak ada habisnya represi aparatur negara
membungkam proses demokratisasi di era reformasi menguat dengan
adanyaormas-ormas anti perubahan cenderung memukul balik aksi pro-
perubahan.Revolusi politik yang terjadi di perancis mengajarkan kita tentang
kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, yang lahir dari doktrin salah satu
pemikir kondang asal prancis, JJ. Rouseau dengan konsep radikal demokrasi,
kebebasan menurut Rouseau, merupakan kebebasan warganegara dalam setiap
mengambil keputusan politik dan jika rakyat tidak terlibat dalam konsensus
tersebut maka tak artinya kebebasan itu sendiri. Ia juga mensyaratkan
membangun kehidupan demokratismaka pendidikan sebagai salah satu
kuncinya.
Saat ini proses demokratisasi dianggap bergerak bebas secara liar, padahal
sudah seharusnya menghindari “Demoriter” yang merupakan kekuasaan
didapatkan dengan cara demokratis namun isinya otoriter (Baca: Ali Ridho,
2021, hal 1-5). Demokrasi lokal sebagai salah satu ajang membangun
demokrasi secara nasional, dikebiri dalam tubuh partai poltik dengan
lingkaran oligarki yang membajak demokrasi, model kepemimpinan yang
sentralistik, dan dinasti-dinasti politik. Patronase dan raja-raja baru semakin
subur, membuka banyak persoalan sehingga mengancam proses demokratisasi
indonesia.
Dengan demikian dari uraian singkat era orde lama, orde baru dan reformasi
meninggalkan cerita tragis proses demokratisasi. Tujuan Negara hanya
menjadi berita, cerita dan derita, rakyat yang sudah seharusnya menjadi
tampuk kedaulatan negara, di khianati dalam proses Amandemen UUD 1945
diisi dan dipenuhi oleh orang-orang lama dan baru yang menjadi Raja-raja
baru. Masyarakat selalu menjadi tumbal bagi orang-orang yang rakus dengan
kekuasaan dan slogan kerja, kerja dan kerja menciptakan robot birokrasi yang
lupa terhadap dirinya terpisah jauh dari kesadaran bernegara untuk
membangun negara demokratis berkeadaban. Tak ada lepas landas bagi
Indonesia jika masih dikuasai rantai oligarki yang membajak demokrasi dan
membunuh ruang kritis yang telah tercipta dalam laboratorium pendidikan.
Penulis teringat dengan pesan dari filsuf kontemporer asal prancis, Jean Paul
Satre mengatakan bahwa “manusia modern menemukan diri dan pingsan
dihadapan dirinya”.