Anda di halaman 1dari 10

TRAGEDI DEMOKRATISASI

REFLEKSI 23 TAHUN REFORMASI INDONESIA

1. Pendahuluan

2. Pembahasan
2.1 Pengertian Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu “Demos” dan “Kratos”. Demos
bermakna rakyat atau khalayak, sementara Kratos bermakna pemerintahaan.
Demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang mengijinkan dan memberikan hak,
kebebasan kepada warga negaranya untuk berpendapat serta turut serta dalam
pengambilan keputusan di pemerintahan.
Pengertian demokrasi menurut para tokoh atau ahli :

a. Menurut Soekarno, demokrasi adalah suatu "pemerintahan rakyat". Lebih


lanjut lagi, bagi Soekarno, demokrasi adalah suatu cara dalam membentuk
pemerintahan yang memberikan hak kepada rakayat untuk ikut serta dalam
proses pemerintahan. Namun, demokrasi yang diinginkan dan dikonsepsikan
oleh Soekarno tidak ingin meniru demokrasi modern yang lahir dari Revolusi
Prancis, karena menurut Soekarno, demokrasi yang dihasilkan oleh Revolusi
Prancis, demokrasi yang hanya menguntungkan kaum borjuis dan menjadi
tempat tumbuhnya kapitalisme. Oleh karena itu, kemudian Soekarno
mengkonsepsikan sendiri demokrasi yang menurutnya cocok untuk Indonesia.
Lebih jelasnya, konsepsi Soekarno mengenai demokrasi tertuang dalam
konsep pemikirannya, yaitu marhaenisme. Marhaenisme yang merupakan
buah pikir Soekarno ketika masih belajar sebagai mahasiswa di Bandung.
Marhaenisme pada hakekatnya sering menjadi pisau analisis sosial, politik,
dan ekonomi di Indonesia. Marhaenisme itu terdiri dari tiga pokok atau yang
disebut sebagai “Trisila”, yaitu: Sosio-nasionalisme, Sosio-
demokrasi, Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Menurut salah satu tokoh bangsa Indonesia, Moh. Hatta, demokrasi harus
terdiri dari 3 unsur penting, yakni sosialisme barat yang membela prinsip
humanisme, ajaran agama, dan berperilaku kolektif. Menurut Moh. Hatta,
demokrasi di Indonesia sudah ada dan diterapkan sejak lama. Penerapan
demokrasi yang dimaksud oleh Moh. Hatta adalah kehidupan masyarakat
Indonesia di desa-desa. Pasalnya menurut Moh. Hatta, desa-desa di Indonesia
sudah melakukan demokrasi dalam berbagai hal, seperti pemilihan kepala
deas, rembug desa, dan perkumpulan-perkumpulan lainnya. Demokrasi desa
juga memiliki 5 unsur penting, seperti.

 Rapat
 Mufakat
 Gotong-royong
 Hak mengadakan proses Bersama
 Hak menyingkirkan diri dari raja absolute

2.2 Reformasi Indonesia

Tercatat 23 tahun sudah berlalu sejak peristiwa reformasi 1998 terjadi.


Hingga saat ini di Indonesia terdapat tiga fase yang menggambarkan keadaan
negara sebagai sebuah institusi. Salah satu unsur penting untuk
mempertahankan semangat reformasi tersebut adalah konsolidasi yang kuat
dari masyarakat sipil.
Demikian poin-poin pemantik diskusi yang disampaikan Komisioner
Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Mohammad Choirul Anam saat
menjadi narasumber pada diskusi publik bertema “Catatan Kelam 23 Tahun
Reformasi: Turbulensi Politik Indonesia Dibalik Distorsi Produk Hukum &
Penegakan HAM.” Diskusi publik daring ini diselenggarakan oleh Universitas
Brawijaya Kamis, 20 Mei 2021.

Fase pertama reformasi yang dijelaskan oleh Anam -- sapaan akrab


Mhammad Choirul Anam -- yaitu fase di mana ada upaya pelaksanaan yang
cukup serius untuk menjalankan amanat reformasi. Fase tumbuh kembangnya
harapan akan terimplementasikannya amanat reformasi. Di satu sisi partisipasi
dari masyarakat besar, namun di sisi lain konsolidasi kekuasaan masih kurang.
Lembaga-lembaga seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial
(KY), penguatan Komnas HAM melalui undang-undang (UU) dan yang
lainnya lahir pada fase ini. Hal ini menjadi satu spektrum bahwa tata kelola
kehidupan bernegara diharapkan menjadi lebih baik dalam infrastruktur
institusi dan norma-norma hukum.

“Di fase pertama, spirit reformasi itu ada. Fase pertama ini lumayan, menurut
saya positif. Walaupun tidak bisa maksimal, namun sebagai suatu gerakan
dari masyarakat, mahasiswa, serta aktivis telah berkomitmen untuk
mendorong itu semua. Sebagai suatu institusi, pada fase ini kita beranjak
untuk menjadi negara yang memiliki harapan sangat besar terhadap proses
demokrasi,” kata Anam.
 
Fase kedua reformasi, Anam kembali menerangkan bahwa konsolidasi
kekuasaan mulai dibangun, namun masyarakat sudah mulai melupakan energi
positif reformasi. Semakin lama, negara sebagai satu institusi yang dilahirkan
dalam era reformasi tidak sesuai dengan harapan substansial reformasi. Hasil-
hasil reformasi dan kerja-kerja institusi di fase awal menjadi tidak maksimal.
Di fase kedua ini, muncul kebijakan-kebijakan yang sarat akan diskriminasi,
berbeda jauh dengan semangat amandemen konstitusi yang ada di fase awal.

“Pada fase kedua ini, muncul tantangan baru, yaitu mengkonsolidasikan


masyarakat. Kelompok-kelompok seperti aktivis HAM, buruh dan yang lain
sedikit ditinggalkan oleh masyarakat. Hal ini karena mereka mulai
berpandangan kembali seperti rezim Orde Baru bahwa mereka merugikan
pembangunan, reformasi kebablasan dan sebagainya. Stigma itu dicerna oleh
publik luas, sehingga partisipasi publik menjadi tidak sekuat di fase pertama.
Semakin lama tingkat kekerasan semakin besar,” ujar Anam.

Di fase kedua ini juga menurut Anam ada kritik di tubuh masyarakat itu
sendiri. Kebencian, intoleransi, ekstremisme dan pengembangan isu Suku,
Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) semakin besar. Akhirnya, publik
juga disibukkan dengan bagaimana mengelola masyarakat agar kembali tertib
pada agenda reformasi dan saling menghormati HAM. Di fase kedua ini,
esensi agenda-agenda perubahan pada akhirnya tidak melahirkan produk-
produk yang substansial terhadap reformasi.

Selanjutnya fase ketiga era reformasi yang kini sedang kita alami. Anam
kemudian memberikan pertanyaan terkait kondisi saat ini, apakah sudah
sesuai dengan agenda reformasi atau malah sebaliknya? Menurut Anam, saat
ini, konsolidasi kekuasaan semakin utuh, namun konsolidasi masyarakat
masih stagnan seperti pada fase kedua. Praktik-praktik atau perilaku
kekerasan pun masih berlangsung, bahkan pada beberapa momentum hal itu
terjadi dengan sangat signifikan. Struktur kebijakan secara substansi yang
pada fase awal itu baik, menjadi tergantikan.
“Pertanyaannya, pada fase ini apakah akan menjadi fase berakhirnya era
reformasi atau bahkan fase dimulainya era yang lain. Ada yang menyebut ini
era oligarki, otoritarianisme ataupun yang lainnya. Oleh karena itu, mari kita
cek bersama-sama. Pertanyaan itu bisa kita cegah sebenarnya dengan cara
seperti fase pertama, konsolidasi masyarakat sipil yang harus kuat,” kata
Anam.

Anam kemudian mengajak mahasiswa dan publik luas untuk kembali


menguatkan konsolidasi masyarakat. “Jadi, teman-teman mahasiswa yang
harus terlibat aktif. Mahasiswa, buruh, akademisi dan kita semua harus
memikirkan bagaimana tata kelola negara ini dengan baik. Kalau tidak ada
partisipasi dan kontrol yang kuat oleh masyarakat, maka kita akan mengalami
berakhirnya masa reformasi atau masuknya era otoriter. Ini bahaya dan
indikasinya ada,” kata Anam. 

2.3 Tragedi Demokratisasi

Proses panjang perjalanan demokrasi indonesia mengalami pasang


surut dalam perkembangan ketatanegaraan di indonesia, yang sampai saat ini
demokrasi cenderung bergerak liar ke arah kebebasan dan pincang pada
persoalan kesejahteraan sosial. Perhelatan panjang demokratisasi di bumi
pertiwi menyisihkan banyak fakta jatuhnya keringat perjuangan, juga jatuhnya
beribu barel darah yang tumpah hanya karena mempertahankan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. 

Namun sangat di sayangkan bangsa yang begitu besar ini kekurangan penjahit
konstitusi yang telah tersobek sejak rezim kolonial hingga kini. Konon
katanya kita sudah mereformasi diri menuju pada demokratisasi keadilan
sosial bagi seluruh rakyat indonesia, namun faktanya masih menyisahkan soal
yang tidak kalah pentingnya.Kedaulatan rakyat, kedaulatan ekonomi, politik
dan sosial yang tertuang dalam UUD 1945, hanya menjadi legenda dan cerita-
cerita politisi dan juga akademisi maupun mahasiswa oportunis yang jauh dari
kehidupan rakyat. Kiranya perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat
belum mampu dibendung dan dimanfaatkan dengan baik oleh negara.
Demokratisasi pasca reformasi bisa dikatakan gagal melakukan internalisasi
menuju pada tatanan demokrasi yang berkeadaban, sebab konsepsi demokrasi
dengan sistem ketatanegaraan dan pelembagaan yang tercipta hari ini
berujungtragis. 

Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan di


negeri ini menyisihkan banyak persoalan dan pertanyaan. Sejauh manakah
kita sudah bernegara? reformasi apa memang di korupsi? ataukah memang
negara hanya konsepsi utopis?Memasuki abad ke-20 manusia-manusia ditata
diatur,dan teralienasi kesadaranya menjadi binatang kapital, penuh dengan
kepentingan pragmatis untuk memuaskan birahi keserakahan. Peradaban barat
yang ditenggarai dengan peralatan modern berimplikasi pada penaklukan atas
wilayah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Di lintasan
penaklukan terjadi pergerakan perdagangan yang atas dasar pengaruh
akumulasi kekayaan disusunlah ketertiban militer, korp militer dengan sistem
subordinasinya dibangun untuk menjaga kestabilan perdagangan dan
akumulasi kapital. Negara hadir untuk menguasai darat, laut, dan udara agar
supaya tujuan bernegara dapat tercapai. Makanya ia diperlengkapi dengan dua
kekuatan, yaitu kekuatan perang dan ancaman kepercayaan tinggi diatas
tujuan bernegara (Baca Mac Iver: Negara Modern).

Kekuatan akal yang di aktualisasikan dalam bentuk teknologi informasi yang


bekerja hari ini tidak selaras dengan kekuatan politik dan kesadaran
bernegara, sehingga para politisi masih banyak mengahayal. Dan, karena
khayalan ini juga membuat pertengkaran di bangsa ini semakin meruncing.
Dimulai kekesalan Bung Karno yang diucapkan dalam 2 pidatonya pada
tanggal 28 Oktober 1956 dan 30 Oktober 1956 di Kongres PGRI, menyatakan
bahwa ada yang menertawakan mimpinya (Baca: Analisis Kekuatan Politik Di
Indonesia, 1985, hal, 204) dimana terjadi pergolakan dalam tubuh parlemen
masa itu. Proses demokrasi kita mengalami pertentangan hebat antara gagasan
demokrasi barat yang di bawa pulang oleh mereka yang belajar di eropa,
seperti Hatta, Syahrir, dan Bung Karno yang belajar di indonesia kemudian
melahirkan “Demokrasi Terpimpin”. Sehingga berakhir tragis ditandai dengan
kesalahan mengurus ekonomi, pemberontakan angakatan bersenjata untuk
merebut Irian Jaya, dan penggulingan kekuasaan pada 1965 yang menjadi
pemicu pembantaian antar anak bangsa secara masal (G30S-PKI).

Kekuatan tunggal yang begitu otoriter berlangsung selama 32 tahun. Bergerak


baik dengan angkatan bersenjata, yang lahir atas didikan di masa pendudukan
Jepang dan perang dengan Belanda mampu meraih simpati rakyat dan
mengakhiri kekuatan lama, dengan digantinya dominasi militer dan
pembangunan ideologi Dwi Fungsi Abri. Asumsi yang dibangun adalah
bahwa angkatan bersenjata berasal dari rakyat pada masa anti penjajahan tidak
dapat dipisahkan sepenuhnya. Pada perkembangannya rezim ini cenderung
sentralistik dan nepotis, sehingga mengakibatkan korupsi yang dilakukan
secara terang-terangan, keterlibatan militer dalam tindak kekerasan terhadap
warga sipil, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. (Baca: Donald L.
Horowizt, 2014). 

Untuk kedua kalinya tragedi kekerasan terhadap anak bangsa tercipta, ibarat
piramida kurban manusia dalam membangun negara. Hal itu terlihat dalam
peristiwa bersejarah, semanggi I dan II, trisakti, dan aksi demonstrasi besar-
besaran.

Reformasi ditandai lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998. Horowitz


menegaskan bahwa reformasi ini menyisihkan sekelompok pemimpin politik
yang tercerai-berai menempuh jalur strategi demokratis yang tak lazim.
Reformasi didominasi oleh orang-orang lama yang merumuskan amandemen
konstitusi tanpa persetujuan rakyat. Upaya ini dilakukan karena desakan untuk
mengadakan pemilu, dengan mempertimbangkan sejarah masa kelam bangsa
indonesia berkaitan dengan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Kehadiran reformasi dengan adanya amandemen UUD 1945,


mendeklarasikan kebebasan yang terpasung lama oleh rezim orde baru.
Kelahiran lembaga negara dan kesenjangan sosial yang begitu tajam,
melahirkan otonomi yang berdasarkan pada desetralisasi dan dekonsentrasi
merebaknya partai politik dengan sistem multi-partai. Semuanya menorehkan
cerita tragis, Poso,kerusuhan terbesar bangsa indonesia 1999 di ambon
merupakan ambisi oknum-oknum politisi poros tengah dan militer, dengan
hasrat dan birahi yang rakus terhadap kekuasaan demi menjaga kepentingan
pragmatisnya (Baca ORANG-ORANG JAKARTA DI BALIK TRAGEDI
MALUKU - TitaStory).Yang menjadi perhatian penulis sebagai manusia yang
lahir di tengah kobaran api membakar rumah-rumah, patut mempertanyakan
siapa dalang dari peristiwa yang mengoyak damai? Maka sudi kiranya
peristiwa ini harus diangkat ke pengadilan internasional agar supaya
kebengisan dan kerakusan oknum-oknum tersebut dapat diadili seadil-adilnya.

Tidak habis disitu, tragedi demokratisasi atas nama kepentingan umum terus
berlanjut. Dilansir dalam bbc.com yang menyatakan bahwa Data Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komnas HAM
menunjukan setidaknya 52 orang meninggal dunia dalamdemonstrasi
sepanjang tahun 2019. Demo mahasiswa bertajuk ‘reformasi dikorupsi’ di
jakarta pada 24 september 2019 tiga orang meninggal, di kendari pada 26
september 2019 dua orang tertembak dan Aksi anti rasisme di wamena dan
jayapura pada 23-28 september menyisihkansebanyak 37 orang meninggal
tanpa informasi resmi dari negara. Tak ada habisnya represi aparatur negara
membungkam proses demokratisasi di era reformasi menguat dengan
adanyaormas-ormas anti perubahan cenderung memukul balik aksi pro-
perubahan.Revolusi politik yang terjadi di perancis mengajarkan kita tentang
kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, yang lahir dari doktrin salah satu
pemikir kondang asal prancis, JJ. Rouseau dengan konsep radikal demokrasi,
kebebasan menurut Rouseau, merupakan kebebasan warganegara dalam setiap
mengambil keputusan politik dan jika rakyat tidak terlibat dalam konsensus
tersebut maka tak artinya kebebasan itu sendiri. Ia juga mensyaratkan
membangun kehidupan demokratismaka pendidikan sebagai salah satu
kuncinya.

Saat ini proses demokratisasi dianggap bergerak bebas secara liar, padahal
sudah seharusnya menghindari “Demoriter” yang merupakan kekuasaan
didapatkan dengan cara demokratis namun isinya otoriter (Baca: Ali Ridho,
2021, hal 1-5). Demokrasi lokal sebagai salah satu ajang membangun
demokrasi secara nasional, dikebiri dalam tubuh partai poltik dengan
lingkaran oligarki yang membajak demokrasi, model kepemimpinan yang
sentralistik, dan dinasti-dinasti politik. Patronase dan raja-raja baru semakin
subur, membuka banyak persoalan sehingga mengancam proses demokratisasi
indonesia. 

Kampus-kampus yang sudah seharusnya menjadi dunia pendidikan humanis,


malah menjadi anak-anak bebek mengikuti induk kekuasaan. Ruang-ruang
kritis dipolitisasi dengan mahalnya pendidikan melahirkan robot birokrasi.
Otonomi ditarik kembali dengan UU Cipta kerja yang membunuh lingkungan,
rakyat, dan juga masa depan bernegara. Mahasiswa sebagai korban
ketidakadilan sosial menjadi bukti sekaligus saksi bisu bahwa negara gagal
membangun reformasi sebagaimana tujuan UUD 1945; melindungi segenap
bangsa indonesia, mensejahterahkan kehidupan umum, dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Hidup di era milineal akan menjadi berkah dan petaka
tergantung pada sumber daya manusianya, apakah ia akan menjadi perangkat
keras seperti robot ataukah perangkat lunak yang bergerak secara otomatis
tanpa memiliki perasaan kemanusian. Sekiranya hidup di era ini kesadaran
dalam bernegara harus dibangun; sadar akan sumber daya alam yang terbatas,
sadar akan membangun inovasi intelektual, dan sadar akan kehidupan yang
membawa kita pada arus globalisasi. Dengan inilah minimal kita dapat
membangun demokrasi yang berkeadaban.

Dengan demikian dari uraian singkat era orde lama, orde baru dan reformasi
meninggalkan cerita tragis proses demokratisasi. Tujuan Negara hanya
menjadi berita, cerita dan derita, rakyat yang sudah seharusnya menjadi
tampuk kedaulatan negara, di khianati dalam proses Amandemen UUD 1945
diisi dan dipenuhi oleh orang-orang lama dan baru yang menjadi Raja-raja
baru. Masyarakat selalu menjadi tumbal bagi orang-orang yang rakus dengan
kekuasaan dan slogan kerja, kerja dan kerja menciptakan robot birokrasi yang
lupa terhadap dirinya terpisah jauh dari kesadaran bernegara untuk
membangun negara demokratis berkeadaban. Tak ada lepas landas bagi
Indonesia jika masih dikuasai rantai oligarki yang membajak demokrasi dan
membunuh ruang kritis yang telah tercipta dalam laboratorium pendidikan.

Penulis teringat dengan pesan dari filsuf kontemporer asal prancis, Jean Paul
Satre mengatakan bahwa “manusia modern menemukan diri dan pingsan
dihadapan dirinya”. 

Sekian dan Selamat berpasrah dan membangun kembali kesadaran bernegara


menuju pada negara indonesia yang demokratis dan berkeadaban.

Anda mungkin juga menyukai