Anda di halaman 1dari 21

PERSINGGUNGAN (PERTAUTAN) ANTARA HUKUM

AGAMA (ISLAM) DENGAN HUKUM ADAT

TERDAPAT 3 TEORI:
◦ RECEPTIO IN COMPLEXU
◦ RECEPTIE
◦ RECEPTIO A CONTRARIO
 Teori ini diperkenalkan oleh C.F. Winter
dan Salomon Keyzer (1823-1868),
seorang guru besar di Delft dan sekretaris
pada Koninklijk Instituut voor Taal-Lan-en
Volkenkunde van Nederlands Indie, yang
kemudian diikuti oleh L.W.C. van den
Berg (1845-1927), seorang penasehat
untuk bahasa-bahasa Timur dan hukum
Islam di Indonesia di antara 1878-1887.
TEORI RECEPTIO IN COMPLEXU

 Hukum Islam mengikat bagi para penduduk


asli yang beragama Islam.
 Sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya,
hukum yang berlaku bagi golongan bumi
putera tidaklah dibentuk oleh hukum asli
(inheems volksrecht) melainkan oleh hukum
agamanya, karena dengan masuknya
seseorang ke dalam suatu agama, ia
menerima sepenuhnya dan tunduk pada
hukum-hukum agama yang bersangkutan.
 PENERIMAAN SECARA
KESELURUHAN
 Paham ini kemudian dituangkan dalam
Regeeringsreglement (RR) Stbl. Belanda 1854 :
129 atau Stbl. Hindia Belanda 1855:2.
 Dalam Pasal 78 R.R. Stbl. Hindia Belanda
1855 : 2
◦ dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama
orang Indonesia itu, atau yang dipersamakan
dengan mereka, maka mereka tunduk pada
putusan hakim agama atau kepala masyarakat
mereka menurut undang undang agama atau
ketentuan ketentuan lama mereka.
Pasal 75 ayat (3) Regeling Reglement (RR)
merupakan ketentuan yang paling memperlihatkan
pengaruh dan ajaran receptio in complexu ini
 Kecuali bagi mereka yang telah menyatakan
berlakunya (toepasselijk verklaring) atau dalam hal
orang Indonesia asli dan Timur Asing telah dengan
sukarela tunduk (virtueel) pada hukum perdata
Eropa, oleh para hakim untuk orang pribumi
dipergunakan undang-undang agama,
lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan
(godsdiens-tiege wetten, volksinstellingen en
gebruiken) golongan pribumi, sepanjang tidak
bertentangan dengan asas-asas yang diakui
umum tentang kepatutan dan keadilan
(bilijkheid en rechtvaardigheid).
 Terjadi peralihan pikiran para pembuat
dan penentu kebijaksanaan Hukum di
Hindia Belanda.
 van Vollenhoven (1874-1933) dan Snouck
Hurgronye (1857 1936) mengeritik dan
menentang teori Receptio in Complexu dari
van den Berg.
 Penganut: Snouck Hurgronye (1857 1936)
diikuti oleh van Vollenhoven
 Menurut teori ini, bahwa yang sebenarnya
berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli.
 Ke dalam hukum adat memang telah masuk
pengaruh hukum Islam. Hukum Islam baru
mempunyai kekuatan kalau dikehendaki
dan diterima oleh hukum adat dan
dengan demikian lahirlah dia ke luar sebagai
hukum adat, bukan sebagai hukum Islam.
 Teori ini kemudian berkembang dan
akhirnya pada tahun 1929 Pasal 134 (2)
Indishe Staatsregeling (IS) berubah,
menjadi: bahwa “dalam hal terjadi
perkara perdata antara sesama
orang Islam akan diselesaikan oleh
hakim agama Islam apabila hukum
adat mereka menghendaki dan
sejauh tidak ditentukan lain dengan
sesuatu ordonansi”.
 bahwa hukum yang hidup dan berlaku bagi
rakyat Indonesia --terlepas dari agama yang
dianutnya-- adalah Hukum Adat.
 hukum Islam meresepsi ke dalam dan
berlaku sepanjang dikehendaki oleh
Hukum Adat
 hukum Islam dan Hukum Adat adalah dua
entitas yang berbeda atau bahkan kadang-
kadang saling berhadapan (beroposisi).
 bahwa diantara Hukum Adat dengan
hukum Islam kadang-kadang terjadi
konflik kecuali untuk hukum Islam yang
telah meresepsi ke dalam Hukum Adat
Teori ini dikembangkan oleh Ter Haar
 Rekomendasi:
◦ Hukum waris Islam belum diterima sepenuhnya oleh
masyarakat, sehingga hukum waris Islam tidak dapat
dijadikan sebagai dasar hukum dalam penerapannya;
◦ Pencabutan kewenangan mutlak Raad Agama, dalam
mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan
hukum waris, yang dialihkan kepada Landraad;
◦ Struktur birokrasi Raad Agama merupakan Subordinasi
atau berada di bawah pengawasan Landraad;
◦ Putusan yang dikeluarkan Raad Agama harus
mendapatkan penetapan eksekusi (executoir verklaring)
terlebih dulu dari ketua Landraad agar putusan tersebut
dapat dieksekusi.
Contoh:
 Hukum Islam yang telah meresepsi di
seluruh wilayah Indonesia adalah
◦ bidang-bidang hukum perkawinan,
terutama mengenai syarat-syarat sahnya
perkawinan
◦ hukum wakaf
◦ hukum waris untuk beberapa wilayah
tertentu.
Contoh (Pengecualian)
 Minangkabau
adat itu baru dapat berlaku, kalau
bersandar pada agama, seperti kata
pepatah “Adat bersendi syara, syara bersendi
Kitabullah”.
 Setelah kemerdekaan,TEORI RECEPTIE ini mendapat
kritikan pedas dari sekelompok ahli hukum Indonesia,
diantaranya SAYUTI THALIB dan HAZAIRIN

 Teori Receptio A Contrario (Sayuti Thalib/


Hazairin)
Hukum Adat baru berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan hukum Islam
KRITIK TERHADAP TEORI RECEPTIE
• Teori Receptie adalah hasil karya dari mereka yang anti
Islam.
• Teori Receptie adalah suatu ciptaan pemerintah
Belanda untuk merintangi kemajuan Islam di Indonesia,
sehingga bertentangan dengan Quran dan Iman Islam
• Hukum Adat adalah sesuatu yang ada dan tidak dapat
serta tidak boleh dicampur adukkan dengan hukum Islam
sehingga keduanya mesti tetap berpisah.
• Hukum Adat timbul semata-mata dari kepentingan
hidup kemasyarakatan dan dijalankan atas ketaatan
anggota-anggota masyarakat itu atau apabila ada
pertikaian dijalankan oleh penguasa adat sebagai
penguasa dan hakim pada pengadilan negeri
 Putusan Pengadilan Raad Sasak di Praya
No. 71/1950/civil pada 15 Nopember
1950, menganut paham Receptio A Contario
ini.
 berlakunya hukum Islam dan hukum adat
banyak tergantung kepada para pihak
sendiri.
 Mahkamah Agung dalam putusannya
nomor 313K/SIP/1976 tertanggal 2
Nopember 1976 telah menguatkan
Putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan
Negeri, yaitu yang memperlakukan hukum
adat dan bukan hukum Islam dalam hal
warisan di Ambon.
Putusan Pengadilan Agama baru berlaku jika :
1). Para pihak haruslah semuanya beragama Islam;
2). perkara tersebut terbatas pada perkara-perkara
yang ditentukan dalam ayat (1) pasal 4 PP 45/1957;
(nikah, thalaq, rujuk, fasach, mas kawin (mahar),
tempat kediaman (maskan), mut’ah dan hadkanah,
perkara waris mal arism waqaf, hibah, sadaqah,
baitulmal dan lain lain yang berhubungan dengan itu,
demikian juga memutuskan perkara perceraian dan
mengesahkan bahwa syarat ta’lik sudah berlaku;
3). menurut hukum (adat) yang hidup perkara
tersebut dapat dibawa ke pengadilan agama untuk
penyelesaiannya;
4). semua pihak sepakat/setuju bahwa Pengadilan
agama akan menyelesaikan perkara tersebut.
 Dalam putusannya Nomor 1130K/SIP/1972
tanggal 12 Nopember 1974,
 Mahkamah Agung berpendapat bahwa di
daerah Aceh sebelum, perkara mengenai hak
milik antara para ahli waris dapat diperiksa
oleh Pengadilan Umum, haruslah diputus
terlebih dahulu ke ahli warisannya serta
bagian bagian yang menjadi hak dari masing-
masing ahli waris oleh Pengadilan Agama.
 Mahkamah Agung dalam perkara lain telah
membenarkan pula pertimbangan
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi,
yaitu terhadap warga negara, Indonesia
keturunan Arab berlaku hukum Islam
(Putusan Mahkamah Agung No.
990K/SIP/1974)
 UU no. 14 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama
 Kompilasi Hukum Islam, 1991
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai