Anda di halaman 1dari 32

c 


   

³Hukum Islam´ merupakan terminologi khas Indonesia, jikalau kita terjemahkan


langsung kedalam bahasa arab maka akan diterjemahkan menjadi m  m   m, suatu
terminologi yang tidak dikenal dalam al-Qur¶an dan as-Sunnah. Maka padanan yang tepat dari
istilah ³Hukum Islam´ adalah m 
 m  m atau m  m
m m  m , sedangkan dalam
wacana ahli hukum barat digunakan istilah  m
 m‘

Sedangkan terminologi ´Hukum Perdata Islam´ yang menjadi telaah utama makalah ini
dapat penulis uraikan bardasarkan pengertian dari kata-kata penyusunnya, sebagai berikut :

Hukum, adalah seperangkat peraturan-peraturan yang dibuat oleh yang berwenang


(negara), dengan tujuan mengatur tata kehidupan bermasyarakat, yang mempunyai ciri
memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa, serta mengikat anggotanya, dengan
menjatuhkan sanksi hukuman bagi mereka yang melanggarnya.

Sedangkan Hukum Perdata, adalah hukum yang bertujuan menjamin adanya kepastian
didalam hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain kedua-duanya sebagai anggota
masyarakat dan benda dalam masyarakat. Dalam terminologi Islam istilah perdata ini sepadan
dengan pengertian mmm m.

Kemudian frase Hukum Perdata disandarkan kepada kata Islam, Jadi dapat dipahami
menurut hemat penulis bahwa ´Hukum Perdata Islam´ adalah peraturan yang dirumuskan
berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rosul tentang tingkah laku m m  dalam hal
perdata/mm m yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam
(diIndonesia).

Menurut Muhammad Daud Ali, ´Hukum Perdata Islam´ adalah sebagian dari hukum
Islam yang telah berlaku secara yuridis formal atau menjadi hukum positif dalam tata hukum
Indonesia, yang isinya hanya sebagian dari lingkup mm m, bagian hukum Islam ini menjadi
hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Contohnya
adalah hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, zakat dan perwakafan.
u   u  
   


               

Pada masa ini hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir
bisa dikatakan sempurna ¦  , mencakup masalah mu¶amalah, ahwal al-syakhsiyyah
(perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah.

Hukum Islam juga menjadi sistem hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan
Islam nusantar. Tidaklah berlebihan jika dikatakan pada masa jauh sebelum penjajahan belanda,
hukum islam menjadi hukum yang positif di nusantara.

Ñ
        u 

Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat


diklasifikasi kedalam dua bentuk, Ê mm, adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC yang
memberikan ruang agak luas bagi perkembangan hukum Islam.  m, adanya upaya intervensi
Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkan pada hukum adat.

Pada fase kedua ini Belanda ingin menerapkan politik hukum yang sadar terhadap
Indonesia, yaitu Belanda ingin menata kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda,
dengan tahap-tahap kebijakkan strategiknya yaitu:

-   

  (Salomon Keyzer & Christian Van Den Berg [1845-1927]), teori
ini menyatakan hukum menyangkut agama seseorang. Jika orang itu memeluk
Islam maka hukum Islamlah yang berlaku baginya, namum hukum Islam yang
berlaku tetaplah hanya dalam masalah hukum keluarga, perkawinan dan
warisan.

 
  
( Snouck Hurgronje [1857-1936] disistemisasi oleh C. Van Vollenhoven
dan Ter Harr Bzn), teori ini menyatakan bahwa hukum Islam baru diterima memiliki kekuatan
hukum jika benar-benar diterima oleh hukum adat, implikasi dari teori ini mengakibatkan
perkembangan dan pertumbuhan hukum Islam menjadi lambat dibandingkan institusi lainnya. di
nusantara.
ü
         

Menurut Daniel S. Lev Jepang memilih untuk tidak mengubah atau mempertahankan
beberapa peraturan yang ada. Adat istiadat lokal dan praktik keagamaan tidak dicampuri oleh
Jepang untuk mencegah resistensi, perlawanan dan oposisi yang tidak diinginkan.

Jepang hanya berusaha menghapus simbol-simbol pemerintahan Belanda di Indonesia,


dan pengaruh kebijakan pemerintahan Jepang terhadap perkembangan hukum di indonesia tidak
begiti signifikan.


       

Salah satu makna terbesar kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebas dari
pengaruh hukum Belanda, menurut Prof. Hazairin, setelah kemerdekaan, walaupun aturan
peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasar teori
  
 (Hazairin menyebutnya sebagai teori iblis) tidak berlaku lagi karena jiwanya
bertentangan dengan UUD 1945.

Teori   
harus 
 karena bertentangan dengan al-Qur¶an dan sunnah Rosul.
Disamping Hazairin, Sayuti Thalib juga mencetuskan teori   
 m m
, yang
menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.

 
         u 

Pada awal orde baru berkuasa ada harapan baru bagi dinamika perkembangan hukum
Islam, harapan ini timbul setidaknya karena kontribusi yang cukup besar yang diberikan umat
Islam dalam menumbangkan rezim orde lama. Namun pada realitasnya keinginan ini menurut
DR. Amiiur Nurudin bertubrukan denagn strategi pembangunan orde baru, yaitu menabukan
pembicaraan masalah-masalah ideologis selain Pancasila terutama yang bersifat keagamaan.

Namun dalam era orde baru ini banyak produk hukum Islam (tepatnya Hukum Perdata
Islam) yang menjadi hukum positif yang berlaku secara yuridis formal, walaupun didapat dengan
perjuangan keras umat Islam. Diantaranya oleh Ismail Sunny coba diskrisipsikan secara
kronologis berikut ini :

a) Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Politik hukum memberlakukan hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh


pemerintah orde baru, dibuktikan oleh UU ini, pada pasal 2 diundangkan ´Ê m
m
mm m m mm
m 
mm    m
m
 mmm m   m mm

´ dan pada pasal 63 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam UU ini
adalah Pengadilan Agama (PA) bagi agama Islam dan Pengadilan Negeri (PN) bagi
pemeluk agama lainnya.

Dengan UU No. 1 tahun 1974 Pemerintah dan DPR memberlakukan hukum Islam
bagi pemeluk-pemeluk Islam dan menegaskan bahwa Pengadilan Agama berlaku bagi
mereka yang beragama Islam.

b) Undang- undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Dengan disahkanya UU PA tersebut, maka terjadi perubahan penting dan


mendasar dalam lingkungan PA. Diantaranya:

- PA telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya benar-benar telah sejajar dan


sederajat dengan peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha
negara.

- Nama, susunan, wewenang, kekuasaan dan hukum acaranya telah sama dan seragam
diseluruh Indonesia. Dengan univikasi hukum acara PA ini maka memudahkan
terjadinya ketertiban dan kepastian hukum dalam lingkungan PA.

- Terlaksananya ketentuan-ketentuan dam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman 1970.

- Terlaksanya pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara dan berwawasab


Bhineka Tunggal ika dalam UU PA.
c) Kompilasi Hukum Islam Inpres no. 1 tahun 1991 (KHI)

Seperti diuraikan diawal makalah ini bahwa sejak masa kerajaan-kerajan Islam di
nusantara, hukum Islam dan peradilan agama telah eksis. Tetapi hakim-hakim agama
diperadilan tersebut sampai adanya KHI tidak mempunyai kitab hokum khusus sebagai
pegangan dalam memecahkan kasus-kasus yang mereka hadapi.

Dalam menghadapi kasus-kasus itu hakim-hakim tersebut merujuk kepada kitab-


kitab fiqh yang puluhan banyaknya. Oleh karena itu sering terjadi dua kasus serupa
apabila ditangani oleh dua orang hakim yang berbeda referensi kitabnya, keputusannya
dapat berbeda pula, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Guna mengatasi ketidakpastian hukum tersebut pada Maret 1985 Presiden


Soeharto mengambil prakarsa sehigga terbitlah Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua
Makamah Agung dan Departemen Agama.SKB itu membentuk proyek kompilasi hukum
islam dengan tujuan merancang tiga buku hukum, masing-masing tentang Hukum
perkawinan (Buku I), tentang Hukum Kewarisan (Buku II), dan tentang Hukum
Perwakafan (BUKU III)

Bulan Februari 1988 ketiga buku itu dilokakaryakan dan mendapat dukungan luas
sebagai inovasi dari para ulama di seluruh Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1991 Suharto
menandatangani Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 sebagai dasar hukum berlakunya
KHI tersebut.

Oleh karena itu sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan dan
wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah ditetapkan oleh undang-undang yang berlaku
adalah hukum Islam.


     !" 

Era reformasi dimana iklim demokrasi di Indonesia membaik dimana tidak ada lagi
kekuasaan repsesif seperti era orde baru, dan bertambah luasnya keran-keran aspirasi politik
umat Islam pada pemilu 1999, dengan bermunculannya partai-partai Islam dan munculnya
tokoh-tokoh politik Islam dalam kancah politik nasional sehingga keterwakilan suara umat Islam
bertambah di lembaga legislatif maupun eksekutif.

Mereka giat memperjuangkan aspirasi umat Islam terrmasuk juga memperjuangkan


bagaimana hukum Islam ikut juga mewarnai proses pembanguanan hukum nasional.

Diantara produk hukum yang positif diera reformasi sementara ini yang sangat jelas
bermuatan hukum Islam (Hukum Perdata Islam) ini antara lain adalah

- Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

- Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf

- RUU tentang Perbankan Syariah yang saat ini sedang dibahas di DPR.

Ô "  

Nurudin, Amiur dan A Tarigan , „ Ê mm  m 


 
m, Jakarta: Kencana,
2004

Rofiq, Ahmad, „ m


 
m, Jakarta: Rajawali Pers, 2003

Soeroso, Ê mm „, Jakarta: sinar grafika, 2004

Subekti, Asas-Asas Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2005

Tim Penyusun, m mm


 Ê m
m  m 
  
m 

 , Bandung: Ulul
Albab Pres, 1997

Tim Penyusun, Ê m


m mm 
  
m  mm Ê  mm ! mm m
Ê Ê  m"m"m m, Jakarta DEPAG, 2001

UU no. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat

UU no. 41 tahun 2004 tentang Wakaf


Ahmad Rofiq, „ m
 
m, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), h 3

Soeroso, Ê mm „, (Jakarta: Sinar Grafika,2004), h 38

Ibid, h 200

Tim Penyusun, m mm


 Ê m
m  m 
  
m 

 , (Bandung: Ulul
Albab Pres, 1997), h 73

Amiur Nurudin dan Azhari A Tarigan, „ Ê mm  m 


 
m, (Jakarta:
Kencana, 2004), h 8

Ibid, h 14

Ibid, h 14

Ibid, h 17-19

Ahmad Rofiq, Op. cit h 20

Tim Penyusun, mmm


Ê m
m m
 
m

#Op. cit h 43-47

Diposting oleh Yogi Ikhwan, S.T.



     !" 

Era reformasi dimana iklim demokrasi di Indonesia membaik dimana tidak ada lagi
kekuasaan repsesif seperti era orde baru, dan bertambah luasnya keran-keran aspirasi politik
umat Islam pada pemilu 1999, dengan bermunculannya partai-partai Islam dan munculnya
tokoh-tokoh politik Islam dalam kancah politik nasional sehingga keterwakilan suara umat Islam
bertambah di lembaga legislatif maupun eksekutif.

Mereka giat memperjuangkan aspirasi umat Islam terrmasuk juga memperjuangkan


bagaimana hukum Islam ikut juga mewarnai proses pembanguanan hukum nasional.

Diantara produk hukum yang positif diera reformasi sementara ini yang sangat jelas
bermuatan hukum Islam (Hukum Perdata Islam) ini antara lain adalah

- Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

- Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf

- UU Perbankan Syariah.

- direvisinya UU No. 7 /1989 dengan UU No. 3 /2006 tentang Peradilan Agama


#!cc#!c$c#%!%&
%%#!Ôc&cuc!c&
Ôc
%%'cÔÔ #c(&%Ô) c!c&*#

 Ô     +

($   cc  

 '  u    

Banyaknya kasus perceraian ataupun kasus-kasus lain yang berhubungan dengan hukum

keluarga muslim di Indonesia cukup membuat sibuk aparat hukum yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk menjalankan fungsi Peradilan, sehingga kadang-kadang jumlah perkara

yang masuk di Peradilan tidak sebanding dengan jumlah hakim yang menangani perkara itu guna

memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan oleh para pihak pencari

keadilan.

Selain itu jenis perkara yang banyak dan diajukan oleh para pihak pencari keadilan

didominasi oleh kaum perempuan yang seharusnya merasa terlindungi dengan adanya perjanjian

yang berupa ta¶lik talak yang diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah

dilangsungkan, namun kenyataannya justru pelanggaran ta¶lik talak membawa kaum perempuan

mengajukan tuntutan ke Pengadilan Agama di wilayah hukum masing-masing Pengadilan di

Indonesia. Namun ada wilayah hukum tertentu yang jumlah perkaranya sedikit yang oleh karena

mempunyai komunitas tertentu dengan hukum kebiasaan atau tradisi budayanya dibidang

perkawinan yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan sebelum dilaksanakan akad nikah

menurut hukum Islam ternyata dapat mempertahankan perkawinan mereka hingga salah satu dari

pasangannya meninggal dunia.


Masyarakat hukum itu dinamakan masyarakat hukum adat yang tersebar di seluruh

Nusantara dengan agama, bahasa dan adat istiadat yang beraneka ragam sehingga ada beberapa

asas yang membedakan corak / warna budaya Indonesia terakumulasi dalam hukum Adat

secara material, yaitu :

1. Mempunyai sifat kebersamaan / komunal yang kuat, artinya manusia menurut hukum

adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan itu

mencakup lapangan hukum adat.

2. Mempunyai corak magis religius yang berhubungan dengan pandangan hidup alam

Indonesia.

3. Sistem hukumnya diliputi oleh pikiran yang serba kongkrit, artinya memperhatikan

banyaknya peristiwa / kejadian dan berulang-ulangnya perhubungan antara manusia.

4. Hukum adat bersifat visioner, artinya perhubungan-perhubungan hukum dianggap hanya

terjadi oleh karena ditetapkan adanya suatu ikatan yang dapat dilihat.[1]

Dengan demikian apabila boleh berasumsi bahwa perkawinan yang dilaksanakan dengan

suatu perjanjian perkawinan yang bukan merupakan perjanjian ta¶lik talak seperti yang

tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam ternyata lebih dapat menekan lajunya angka

perceraian di suatu wilayah hukum Peradilan, karena perjanjian perkawinan yang dilaksanakan

cenderung memakai asas / hukum Perdata Barat.


 !     

Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang Penulis uraikan di muka, maka

diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakan sebenarnya sistem hukum menurut Hukum Perdata Barat dan Hukum

Islam ?

2. Bagaimanakah perbedaan dan persamaan asas hukum perjanjian perkawinan menurut

Hukum Perdata Barat dengan Hukum Islam ?

 &  

Dalam ruang ini Penulis mencoba menyoroti hal-hal yang berkaitan dengan :

c   
   
  u   


Apabila berbicara tentang sistem hukum maka yang dimaksud terlebih dahulu adalah arti

dari istilah sistem itu sendiri yaitu menurut Satjipto Rahardja dalam bukunya Ilmu Hukum :

Sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat kompleks, terdiri dari bagian-bagian yang

berhubungan dan bekerja secara aktif untuk mencapai tujuan.[2]

Dan secara garis besar makna sistem dapat digambarkan menurut Shrode dan Voich

sebagai berikut :
  $  %m
mm

m 


&
 

&
m 

m  

     #  

   m
      m m 
   
 
 m m

m
 m m mm   
m#  
 m
   mm

 m&  & 
'
       m

  
#    m   &    

m
m m  
 &
   
 m m  m.[3]

Jadi, istilah sistem mengacu pada 2 hal yaitu  , berupa sesuatu wujud ( 
m)

atau benda yang mempunyai tata aturan atau susunan struktural dari bagian-bagiannya, seperti

lembaga pemerintahan, alam semesta, manusia dan  menunjuk pada suatu rencana,

metode, alat atau tata cara untuk mencapai sesuatu, seperti sistem kontrol, sistem transportasi.

Bahwa kedua pengertian ataupun penggunaan tersebut tidaklah mempunyai perbedaan berarti,

karena keteraturan, ketertiban atau adanya struktur itu merupakan hal yang mendasar bagi

keduanya. (terjemahan bebas).

Setelah diketahui makna sistem maka kata tersebut dirangkaikan menjadi sistem hukum

sehingga mengandung pengertian : Suatu kesatuan peraturan-peraturan hukum yang terdiri atas

bagian-bagian (hukum) yang mempunyai kaitan (interaksi) satu sama lain, tersusun sedemikian

rupa menurut asas-asasnya yang berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.[4]

Namun hukum barulah dapat dikatakan sebagai sistem, menurut Filler, jika memenuhi 8

asas yang dinamakannya ³



   m
 ´, yaitu :

a. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan tidak boleh mengandung

sekedar keputusan ad hoc.

b. Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan.


c. Peraturan-peraturan tidak boleh ada yang berlaku surut.

d. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti.

e. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama

lain.

f. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat

dilakukan.

g. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah-ubah peraturan,sehingga

menyebabkan orang kehilangan orientasi.

h. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-

hari.[5]

Di Indonesia, terdapat 3 sistem hukum yang eksis (


'
 m) yaitu :

a. Sistem hukum adat

b. Sistem hukum Islam

c. Sistem hukum Barat (Belanda)[6]

Sistem hukum adat adalah sistem hukum yang tidak tertulis yang tumbuh dan

berkembang serta terpelihara karena sesuai dengan kesadaran hukum masyarakatnya, senantiasa

dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.

Yang berperan melaksanakan sistem hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang
disegani dan berpengaruh dalam lingkungan masyarakat adat demi memelihara ketertiban dan

ketentraman masyarakat.

Sistem hukum Islam dibedakan atas 2 macam yaitu syariat dan fiqh. Syariat bersumber

Al Qur¶an dan Hadist tanpa adanya penafsiran lagi sedangkan fiqh bersumber pada pendapat /

pemikiran ulama (Ijma) dan Qiyas (analogi).

Sistem hukum Barat (Belanda) diwujudkan dalam bentuk Undang-undang yang disusun

secara sistematis dan lengkap dalam bentuk kodifikasi untuk adanya kepastian hukum. Karena

pengaruh jajahan Belanda di Indonesia maka kitab Undang-undang Hukum Perdata di negeri

Belanda berdasarkan asas konkordansi ditiru dalam membuatnya, maka untuk lebih jelasnya

disini akan ditinjau lebih dahulu berdasarkan awal sejarah pembentukannya yang hingga

sekarang ini masih eksis dipergunakan di Indonesia.

Sementara peraturan-peraturan hukum di suatu negara dapat dikatakan sebagai satu

sistem hukum, seperti halnya sistem hukum Indonesia. Dalam sistem hukum Indonesia terdapat

beranekaragam bidang hukum yang masing-masing mempunyai sistemnya sendiri-sendiri

sehingga timbulnya istilah sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum tata

negara dan sebagainya. Lalu dalam sistem perdata (Barat) misalnya terdapat lagi sistem hukum

orang, sistem hukum benda, sistem hukum perikatan dan sistem hukum pembuktian.

Dengan demikian dalam suatu negara mengenal hirarki atau tingkatan sistem hukum.

Semua peraturan hukum positif di Indonesia merupakan sistem hukum sekaligus juga merupakan

sub-sub sistem hukum Nasional.


Sistem hukum adalah sistem abstrak (konseptual) sebab terdiri atas unsur-unsur yang

tidak kongkrit yang tidak menunjukkan kesatuan yang dapat dilihat. Unsur-unsur dalam sistem

hukum memiliki hubungan khusus dengan unsur-unsur lingkungannya. Lain dari itu dikatakan

juga bahwa sistem hukum adalah sistem yang terbuka karena peraturan-peraturan hukum beserta

istilah-istilahnya yang bersifat umum terbuka untuk ruang interprestasi yang berbeda dan untuk

interprestasi yang lebih luas. Sistem hukum bersifat konsisten (tetap) dan bulat, artinya utuh

dalam kesatuannya, tidak boleh bercerai-berai, antara teori dan prakteknya harus ada kecocokan

dan kalaupun terjadi bias atau penyimpangan karena adanya berbagai kepentingan dalam

masyarakat Indonesia yang majemuk maka akan berlaku secara konsisten asas-asas hukum

seperti :

1. !  
m
 m 
  m

2. !  

 m 



3. !  
 m 

 

[7]

Sistem hukum perdata Barat (BW) yang berlaku di Indonesia masih dipengaruhi oleh

sistem hukum Eropa Kontimental yang berkembang di negara-negara Eropa Barat, awal sekali di

Prancis, lalu diikuti oleh negara-negara Eropa Barat lainnya seperti Belanda, Jerman, Belgia,

Swiss, Italia, Amerika Latin dan termasuklah negara Indonesia pada masa penjajahan

pemerintahan Hindia Belanda dahulu.

Prinsip yang ditekankan pada dasar sistem hukum Eropa Kontimental ini adalah Hakim

sebagai corongnya Undang-undang karena hukum sudah tersedia dan ada dalam bentuk Undang-

undang yang lengkap dan tersusun secara sistematis (kodifikasi). Hakim menurut sistem ini tidak
akan dapat secara leluasa untuk menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat

masyarakat, tetapi putusan hakim dalam suatu perkara hanyalah mengikat kepada para pihak

yang bersengketa saja.

Pengertian Hukum Perdata Barat sebenarnya tidak lepas dari konteks sejarah karena

setelah merdeka bangsa Indonesia masih belum memiliki hukum yang bersumber dari tradisinya

sendiri tapi masih memakai peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintah kolonial

Belanda, namun atas dasar nasionalisme peraturan tersebut mengalami perubahan nama menjadi

Kitab Undang-undang Hukum Perdata dari asalnya Burgerlijk Wetboek (BW) sedangkan kata

Barat mengacu pada pengaruh sistem hukum Eropa Barat / kontinental yang masih sangat kental

melekat terhadap materi kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut.

Berbeda dengan sistem hukum Islam yang berlaku di Indonesia berdasarkan teori

  

  [8] maupun teori   
[9] yang keduanya mempunyai hubungan

timbal balik yang tampaknya tidak bisa dipisahkan karena sudah sejak sebelum tahun 1800 dan

tahun-tahun sesudahnya telah diakui bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam sebab penduduk

telah menganut agama Islam walaupun terdapat sedikit bias terhadap pelaksanaannya karena

adanya pengaruh dari teori   


 yang mengatakan bahwa di Indonesia berlaku hukum adat

asli. Kedua teori tersebut tidak terlalu perlu untuk dipertentangkan, namun perlu diambil jalan

tengah oleh para ahli hukum yang berkompeten dibidangnya sehingga tersusunlah suatu kitab

undang-undang hukum perdata (BW) untuk daerah jajahan Hindia Belanda sehingga masih

berlaku di Indonesia hingga kini sesuai aturan peralihan yang terdapat dalam UUD 1945.

u    ,   


  u  u$ 

Tentang perjanjian perkawinan diatur pada Bab VII KUH Perdata (BW) pasal 139 s/d

154. Dan secara garis besar perjanjian perkawinan berlaku mengikat para pihak / mempelai

apabila terjadi perkawinan.

Dengan mengadakan perjanjian perkawinan kedua calon suami isteri berhak menyiapkan

dan menyampaikan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan

harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik dalam tata tertib umum

dengan ketentuan antara lain :

1. Tidak boleh mengurangi hak suami sebagai kepala keluarga.

2. Tanpa persetujuan isteri, suami tidak boleh memindahtangankan barang-barang tak

bergerak isteri.

3. Dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung dan berlaku sejak saat

perkawinan dilangsungkan.

4. Tidak berlaku terhadap pihak ketiga sebelum didaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri

di daerah hukum berlangsungnya perkawinan itu atau jika perkawinan berlangsung di

luar negeri maka di kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukan / diregister.

Sedangkan hukum Islam seperti yang tercantum pada Undang- undang No.1 Tahun 1974

tentang Perkawinan hanya terdiri atas satu pasal saja tentang perjanjian perkawinan, yaitu pasal

29 menyatakan :

³Pada waktu sebelum perkawinan berlangsung kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat

mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana

isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut´.
*  -    c 

Setelah mengetahui dasar yuridis yang terdapat dalam hukum Perdata Barat (BW) dan

hukum Islam tentang Perjanjian Perkawinan, maka sekarang tibalah pada pembahasan dan

analisis sebagai berikut :

c &    


  u    
   



Bahwa untuk melihat Sistem Hukum Perdata Barat dan Sistem Hukum Perdata Islam

dalam suatu perbandingan, maka dapat diketahui berdasarkan sejarah pembentukannya dari

masa ke masa sehingga kini dapat dipakai dan tetap eksis oleh sebagian penduduk Indonesia

berdasarkan penundukan diri mereka terhadap sistem hukum barat tersebut, disamping sejarah

pembentukan hukum Islam yang memenuhi kepentingan umat Islam di Indonesia seperti halnya

Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam merupakan

akumulasi sistem hukum Islam yang materinya sudah tersusun baik dan sudah dianggap dapat

memenuhi kebutuhan umat Islam di Indonesia.

Bagi mereka yang telah menundukkan diri terhadap Hukum Barat tentu juga mempunyai

alasan tersendiri secara pribadi terlepas dari penundukan diri mereka secara diam-diam, secara

sebagian maupun secara keseluruhannya, namun yang jelas berdasarkan kajian buku yang ditulis
oleh Soetandyo Wignjosoebroto dipaparkan bahwa pengaruh perkembangan pendidikan hukum

atau kehakiman pada masa kolonial itu dibagi dalam 3 suasana sosio politik yang dialami oleh

pelajar Indonesia pada waktu itu yakni sebagai berikut :

1. Suasana pendidikan Rechtsschool di awal dasawarsa 1910-an, dimana ketika itu anak-

anak pelajar pribumi tidak mempunyai cita-cita apapun selain untuk menjadi anak asuh

yang baik dibawah perwalian pejabat-pejabat Belanda yang paternalistik, dan kelak bisa

bekerja sebagai Rechtsambtenaren yang profesional.

2. Suasana yang dialami para mahasiswa hukum ketika menempuh pendidikannya di

Universitas Leiden sekitar tahun 1920-an, yakni semasa mereka-sebagaimana dan

bersama-sama mahasiswa pribumi yang menempuh bidang-bidang kajian lain mulai

sadar pada pemikiran ideologi politik dan kenegaraan modern dan karena itu pula lebih

menyadari eksistensi mereka sebagai warga bangsa yang memiliki kebudayaan yang

unggul dan sejarah politik yang sangat bermakna.

3. Suasana yang dialami dalam lingkungan Rechtshoogeschool selepas tahun 1925-an,

yakni semasa selapisan kaum terpelajar elit pribumi yang telah mulai marak dengan ide-

ide nasionalisme dan melahirkan pikiran-pikiran yang serba kritis yang cenderung

menolak kendali-kendali perwalian paternalistik yang pada waktu itu tak hanya

terpandang kolonial akan tetapi juga kolot.[10]

Rechtsschool sebagaimana diharapkan semula didirikan untuk menyiapkan tenaga-tenaga

kehakiman landraad yang berkecerdasan tinggi untuk memahami hukum yang berkembang atau

hukum yang hidup (living law) menurut konsep-konsep dan prosedur yang ditradisikan dalam
budaya Eropa, yang berintegritas tinggi untuk dapat menerapkannya secara jujur dan adil, tetapi

sekalipun demikian tetap juga masih berkemampuan dan berkepekaan untuk mengenali dengan

penuh penghayatan alam budaya simbolik bangsanya sendiri yaitu bangsa pribumi. Namun

kenyataannya tuntutan untuk lebih mengenali formalitas-formalitas dan sistem nilai yang

dijunjung tinggi dalam peradilan model Eropa sangat nyata atau tampak lebih dominan dari

waktu ke waktu, sedangkan substansi-substansi normatif pribuminya agak dikesampingkan

sehingga dalam perkembangannya Rechtsschool tidak lagi setaraf sekolah dengan tingkat yang

sederhana untuk penyelenggaraan peradilan bagi orang pribumi melainkan terkesan pada taraf

yang kian tinggi, apalagi dengan dibukanya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke

Universitas Leiden, tidak hanya ke pendidikan khusus yang sengaja distrukturkan untuk

kepentingan kolonial pada saat itu sehingga mendorong mahasiswa pribumi mengetahui dunia

kehidupan hukum eropa dan peradilan-peradilan lain yang tak terbatas hanya setaraf peradilan

landraad yang untuk orang pribumi itu.

Kenyataan ini sangat jelas menunjukkan bahwa gerak perkembangan intelektual anak-

anak pribumi menuju kepada dunia pemikiran barat semakin bertambah untuk menghasilkan

yuris-yuris akademisi yang dapat diharapkan berfungsi di dalam sistem hukum kolonial. Akan

tetapi yuris-yuris muda pribumi lebih suka mengidentifikasikan dirinya sebagai orang-orang

yang netral dari kepentingan sebuah kekuasaan kolonial. Namun oleh sebab pecahnya perang

Pasifik sekolah tinggi hukum ini ditutup tetapi wawasan falsafah pendidikannya yang liberal

sedikit banyak berpengaruh memaksa dualisme hukum di Indonesia tetap bertahan dan

dipertahankan hingga sekarang ini.


Sekarang tibalah pada pembahasan pembentukan sistem hukum Islam di Indonesia yang

tentu saja tidak lepas dari pengertian syariat dan fiqh yang dikembangkan berdasarkan pendapat

ulama yang terkenal dengan 4 madzhab yaitu Syafi¶i, Maliki, Hanafi dan Hambali. Bahwa ulama

madzhab sepakat tentang pengertian Syariat, yakni nama umum yang diberikan kepada

peraturan-peraturan dalam agama Islam dan oleh ahli-ahli dirumuskan sebagai sesuatu yang

tidak akan diketahui seandainya tidak ada wahyu Ilahi.[11] Definisi dari syariah ini cukup luas

dan termasuk ke dalamnya wahyu-wahyu Ilahi yang diturunkan pada nabi-nabi bangsa Ibrani dan

Nabi Isa dengan ketentuan, bahwa wahyu-wahyu mereka itu hanya berlaku selama dikuatkan

atau dibenarkan lagi oleh wahyu-wahyu yang disampaikan pada Nabi Muhammad. Karena itu

yang terakhir ini menjadi syari¶ah yang terutama. Kesimpulan kedua dari definisi tersebut adalah

bahwa hanya apa yang dengan jelas dicantumkan dalam wahyu Ilahi atau yang boleh

dimasukkan ke dalamnya secara analogi, yang sebetulnya termasuk syari¶ah. Hal-hal yang

ditentukan oleh perkembangan kecerdasan terletak diluar syari¶ah, karena hal itu ditetapkan

dengan akal.

Oleh karena ketentuan-ketentuan yang ada dalam syari¶ah dalam memakai analogi

hukum itu berguna sebagai bukti-bukti dalam menetapkan hukum syari¶ah, maka para ahli

menamainya bukti-bukti syari¶ah. Tentang sumber-sumber dari mana di dapat bukti-bukti

tersebut, maka ahli-ahli menentukan 4 macam bukti syari¶ah itu yakni Al-Qur¶an, Sunnah, Ijma

dan Qiyas.

Hukum syari¶ah atau hukum syar¶i diartikan sebagai ketentuan yang ditetapkan sebagai

hasil dari wahyu Ilahi, misalnya, perbuatan berdusta yang dilakukan oleh seseorang, yang

dilarang menurut syari¶ah, itulah yang menjadi hukum syari¶ahnya.


Ilmu yang memancarkan hukum syari¶ah itu dari pada bukti-bukti syariah adalah ³ilmu

fiqh´ atau fiqh dan orang yang ahli dalam ilmu ini adalah faqih. Fiqh itu diartikan juga secara

khusus sebagai deduksi dari hukum syari¶ah mengenai amal atau perbuatan, masing-masing dari

sudut pandang bukti-bukti khusus. Dengan memakai istilah syari¶ah dimaksudkan untuk

meninggalkan nilai-nilai akal dan pancaindra seperti beriman kepada Allah dan Nabi-Nabi. Kata

amal memisahkan teori yang misalnya mengatakan, bahwa Ijma itu adalah suatu bukti yang sah

untuk menetapkan hukum syari¶ah. Dalam kesimpulan itu tidak termasuk pengetahuan yang di

dapat dari seorang Mujtahid dan sebagai gantinya adalah penyelidikan langsung terhadap bukti-

bukti. Maka menurut ini seseorang tidak dinamai Faqih, apabila dia hanya mengetahui hukum

syari¶ah. Dia hanya dinamai Faqih apabila dia sendiri dengan penyelidikan dan pemikiran

langsung (olehnya sendiri) menyimpulkan hukum-hukum itu. Demikian definisi menurut ahli-

ahli Syafi¶i, sedangkan menurut Hanafi adalah pengetahuan tentang hukum syari¶ah itu saja

adalah fiqh dan orang yang mempunyai pengetahuan ini adalah faqih. Dengan kata l.ain,

seorang faqih itu tidak semestinya seorang mujtahid. Akhirnya istilah khusus itu menunjukkan

bahwa lapangan fiqh itu tidak langsung diperdapat dari keempat bukti-bukti syari¶ah yaitu

Qur¶an, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Bukti-bukti ini sebagaimana adanya, adalah terlalu umum

(Ijmali) dan tidak sesuai dengan maksud fiiqh sebelumnya disimpul;kan lagi oleh suatu ilmu

khusus kepada dalil-dalil yang masuk akal, masing-masing mengenai satu kumpulan hukum

yang khusus.

Pengetahuan yang khusus ini, yang mempersiapkan fiqh itu dinamai penghetahuan

tentang ushul fiqh atau menurut apa yang tertulis dinamai ilmu tentang dasar-dasar fiqh. Dinamai

begitu, karena keempat bukti syari¶ah yang tersebut di atas itu yang merupakan hal yang

dibicarakan, menurut analisa terakhir, adalah keempat dasar pada mana disandarkan kesimpulan-
kesimpulan fiqh. Ilmu ushul fiqh itu dirumuskan oleh ahli-ahli sebagai pengetahuan tentang

dasar-dasar untuk mendapatkan fiqh itu menurut aturan yang sewajarnya atau sebenarnya. Ushul

fiqh itu hanya membahas dasar-dasar yang segera diperlukan untuk mendapatkan fiqh itu dengan

kata lain, ia tidaklah mengenai hal-hal yang kurang langsung seperti bahasa, ilmu nahwu atau

kalam, walaupun hal-hal ini perlu juga. Sebaliknya pernyataan menurut aturan yang sewajarnya

itu dimaksudkan untuk memisahkan hal-hal yang berlawanan.

Fungsi ushul fiqh adalah untuk mempersiapkan pendirian-pendirian yang digunakan

dalam fiqh untuk menetapkan hukum syari¶ah pada kejadian atau peristiwa yang khusus. Jadi

ushul fiqh itu menyelenggarakan keterangan umum (qawaid kulliyah) bagi fiqh sebagai

pendirian-pendirian yang digunakan oleh fiqh dalam mendapatkan hukum yang berguna untuk

kejadian atau peristiwa yang khusus. Dengan singkat dikatakan bahwa ushul fiqh itu membahas

bukti-bukti syari¶ah yakni dasar-dasar fiqh sepanjang yang boleh dipergunakan sebagai bukti-

bukti untuk menetapkan hukum syari¶ah dan hukum syari¶ah itu sepanjang yang disimpulkan

dari bukti-bukti syari¶ah, namun tidak membahas apa yang dinamai hukum syari¶ah itu dalam

peristiwa atau kejadian yang khusus, yaitu fungsi dari fiqh. Bagian-bagian yang menjadi ushul

fiqh dan fiqh itu maupun kedudukan dari keduanya ini dalam lapangan ilmu pengetahuan secara

umum menurut madzhab Hanafi adalah :

1. Akal (aqliyah) yang diperoleh melalui atau menggunakan akal pikiran dan pancaindra.

2. Naluri (naqliyah) yang diperoleh melalui kebiasaan yang turun temurun, yang terbagi

lagi menjadi 2 macam ilmu yaitu : ilmu kesusasteraan dan ilmu syari¶ah. Sedangkan ilmu

syari¶ah itu terbagi lagi atas 2 hal yakni :


a. Asal (asliyah), termasuk :

- Pembacaan al-Qur¶an,

- Penafsiran atau interpretasi al-Qur¶an,

- Hadist atau kebiasaan Nabi (sunnah).

b. Yang disimpulkan (mustanbatah) , termasuk :

- Itiqad, ilmu tentang ke-Esaan dan sifat-sifat Allah (kalam atau ushuludin).

- Yang praktis (amaliyah) atau ilmu fiqh, yang terdiri atas ilmu tentang dasar-dasar

fiqh (ushul fiqh) dan ilmu pemakaian fiqh (furu¶al fiqh atau fiqh).

Akhirnya fiqh itu dapat dimaknai secara luas yang meliputi :

1. Perbuatan-perbuatan seseorang yang kesemuanya termasuk hak-hak Allah, seperti shalat,

puasa, zakat, berhaji ke Mekah, berjuang di jalan Allah dalam konteks melawan

kebatilan, dan hubungan negara dengan kafir dzimmi.

2. Perbuatan-perbuatan seseorang yang kesemuanya termasuk hak-hak perseorangan,

terbagi lagi atas :

a. Perbuatan dari yang hidup :

- Perkawinan dan perceraian (munakahat).

- Hukum sipil atau perdagangan (mu¶amalat).


- Pelanggaran-pelanggaran (uqubat)

b. Perbuatan dari yang wafat/mati, yakni mengenai pusaka dan harta peninggalan

(faraid).

3. Perbuatan-perbuatan seseorang dalam bentuk campuran dari hak-hak Allah dan hak-hak

perseorangan, disinilah dimungkinkan adanya ijtihad hukum dari seorang mujtahid dan

masuknya pendapat para ulama berdasarkan istimbath hukum yang digunakan terhadap

peristiwa/kejadian hukum yang terdapat dalam masyarakat yang belum jelas hukumnya

dari Al-Qur¶an dan As-sunnah/Hadits.

Dengan demikian jika ingin diambil persamaannya maka antara Hukum Perdata Barat

dan hukum Islam itu sama-sama mempunyai kontribusi yang sama terhadap Hukum Nasional

Indonesia. Demikian pula antara Hukum Islam dengan Hukum Adat mempunyai titik pertalian

yang sama tergantung dari sudut mana pandangan diarahkan dengan memperhitungkan

kecenderungan pengaruh yang lebih besar dari Hukum Eropa Barat (BW) ataukah hukum Islam

murni (syariat).

u c 
     ,    
    u   (u$  



Setelah diketahui kedudukan Hukum Perdata Barat (BW) dan Hukum Islam di Indonesia

maka tibalah pada pembahasan yang lebih fokus yaitu berkaitan dengan perikatan Perjanjian

Perkawinan yang terdapat dalam BW maupun hukum perdata Islam.

Dalam Hukum Perdata Barat atau kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) sudah ada

pasal-pasal yang mengatur tentang Perjanjian Perkawinan secara khusus, namun ada kalanya

perlu penafsiran secara umum terhadap peristiwa dan hubungan hukum yang baru apabila pada

ketentuan yang khusus belum ditemukan peraturannya sehingga diperlukan asas hukum yang

berlaku umum, seperti halnya dengan perjanjian perkawinan ini maka akan mengacu pada buku

ketiga tentang perikatan yaitu pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat-syarat yang diperlukan

untuk sahnya suatu perjanjian dengan memenuhi 4 unsur :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Unsur kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak (no.1 dan 2) di atas merupakan

syarat subjektif, sedangkan unsur suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal (no.3 dan 4)

merupakan syarat objektif.

Kemudian untuk isi suatu perjanjian ada asas kebebasan berkontrak yang bisa dipakai

untuk memperjanjikan apa saja dan tentang apa saja perbuatan hukum yang perlu bagi suami

isteri ketika perkawinan berlangsung.


Selanjutnya untuk pelaksanaan perjanjian perkawinan setelah terjadinya suatu

perkawinan antara suami isteri tersebut maka tergantung pada itikad baik kedua belah pihak

terhadap apa isi dari hal-hal yang diperjanjikan tersebut.

Perjanjian perkawinan ini lebih sempit dari pada perjanjian secara umum karena

bersumber pada persetujuan saja dan pada perbuatan yang tidak melawan hukum, tidak termasuk

pada perikatan / perjanjian yang bersumber pada Undang-undang.

Sungguh pun tidak ada definisi yang jelas tentang perjanjian perkawinan ini namun dapat

diberikan batasan bahwa hubungan hukum tentang harta kekayaan antara kedua belah pihak,

yang mana dalam satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal,

sedangkan dipihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut.[12]

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa mereka yang mengikatkan diri dalam

perjanjian perkawinan tersebut akan memperoleh jaminan selama perkawinan berlangsung

maupun sesudahnya sehingga untuk memutuskan perkawinan berarti pula melanggar perjanjian

maka merupakan hal yang sangat jarang terjadi mengingat akibat-akibat hukum yang akan

ditanggung / resiko bila salah satu pihak ingkar terhadap perjanjian perkawinan tersebut,

biasanya ada sanksi yang harus diberlakukan terhadap pihak yang melanggar perjanjian

perkawinan tersebut.

Sedangkan menurut hukum Islam mengutip pendapat Gatot Supramono : Perjanjian

perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dengan calon isteri pada waktu atau

sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh
Pegawai Pencatat Nikah dan isinya juga berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang

diperjanjikan.[13]

Persamaannya antara hukum BW dan hukum Islam adalah dilakukan secara tertulis,

sedangkan perbedaannya terletak pada keabsahan perjanjian perkawinan tersebut, kalau menurut

BW harus dilaksanakan dihadapan notaris sedangkan menurut hukum Islam cukup dihadapan

Pegawai Pencatat Nikah. Kemudian berlaku mengikat terhadap pihak ketiga jika sudah

didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri tempat dimana perkawinan dilangsungkan,

demikian menurut BW, sedangkan menurut hukum Islam berlaku mengikat terhadap pihak

ketiga sepanjang termuat dalam klausula / diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan tersebut.

*       .  

c    

1. Sistem Hukum Perdata Barat adalah apa yang termuat dalam Kitab Undang-undang

Hukum Perdata atau dengan nama Burgerlijk Wetboek (BW) sebelum dinasionalisasikan,

dan sistem hukum Islam adalah apa yang termuat dalam Undang-undang No.1 Tahun

1974 tentang Perkawinan.

2. Perjanjian Perkawinan dalam Hukum Perdata Barat (KUH Perdata) dengan Hukum Islam

mempunyai persamaan yaitu dilakukan secara tertulis, sedangkan perbedaannya terletak

pada keabsahan dan kekuatan mengikatnya terhadap pihak ketiga.

u   .  
1. Perlu diadakan penelitian / pengkajian lebih lanjut tentang kekuatan mengikat Sistem

Hukum Perdata Barat (BW) dengan Sistem Hukum Islam di Indonesia.

2. Perlu diadakan penelitian / pengkajian lebih lanjut tentang institusi Perjanjian Perkawinan

berkaitan dengan tingkat perceraian di suatu Yuridiksi Pengadilan Agama di seluruh

Indonesia.

Ôc/&c!%&cc

    % .  0

- Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

- Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1320.


 u .-

Iskandar, J. Eddy. Tt. Ê mm   „# Banjarmasin : Universitas Lambung


Mangkurat.

P. Aghnides, Nicolas. (trans). 1956. Ê mm „ m. Solo : Sitti Sjamsijah.

Prodjohamidjodjo, Martiman. 2002. „ Ê m


m 
  
m. Jakarta : Indonesia
Legal Center Publising.

Rahardjo, Satjipto. 1991.  „. Cet. III. Jakarta : Citra Aditya Bakti

Shrode, William. Et.al. 1974. (m


)m
 m *mm   + m
    .
Malaysia : Irwin Book Co.

Supomo, R. 1965.
 „
 
m. Jakarta : Pradnjaparamita.

Supramono, Gatot. 1998. 


 
„„m!m,
m. Jakarta : Djambatan.

Syaukani, Imam. Et.al. 2003. -mmmmÊ



„. Jakarta : Citra Aditya Bakti.

Wignjosoebroto, Soetandyo. 1994. -m


„ 
m  „,m
m . Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada.

  
Simorangkir, J.C.T. Et.al. 1980. m„. Jakarta : Aksara Baru.

[1] R. Supomo. 1965.


 „
 
m. Jakarta : Pradnjaparamita. Hal : 107.

[2] Satjipto Rahardja. 1991.  „ #. Jakarta : Citra Aditya Bhakti. Hal : 48.

[3] William A. Shrode - Dan Voich, Jr. 1974. (m


m
 m *mm   + m

   . Malaysia : Irwin Book Co. Hal : 121.

[4] J. Eddy Iskandar. Tahun. Ê mm   „ (mm „). Banjarnasin :
Unlam. Hal : 10.

[5] Ibid. Hal : 11

[6] Imam Syaukani. et.al. 2003. -mmmm Ê



 „. Jakarta : Citra Aditya
Bakti. Hal : 66

[7] J.C.T. Simorangkin, Et.al. 1980. Kamus Hukum. Jakarta : Aksara Baru. Hal : 95

[8] Pencetusnya Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1845 ± 1927). Ahli
Hukum Islam dari Belanda .

[9] Pencetusnya Christian Snouck Horgrnje (1857 ± 1936). Penasehat Pem. Hindia
Belanda tentang soal Islam.

[10] Soetandyo Wignjosoebroto. 1994. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada. Hal : 144.

[11] Nicolas P. Aghnides. 1956. Ê mm „ m¦m. Solo : Sitti


Syamsiyah. Hal : 11-12.

[12] Martiman Prodjohamidjodjo. 2002. „ Ê m


m 
  
m. Jakarta :
Indonesia Legal Center Publising. Hal : 29.

[13] Gatot Supramono. 1998. 


 
 „ „m !m ,
m. Jakarta :
Djambatan. Hal : 39.
Download Arsip :
perjanjian_perkawinan_menurut_hukum_perdata_barat_dan_hukum_islam__di_indonesia_(studi
_comparative).doc


Anda mungkin juga menyukai