Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
1. Perkembangan

2. Hukum

3. Islam

4. Orde baru

5. Reformasi

B. Hukum islam
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI TENGAH DINAMIKA SOSIAL
POLITIK ORDE BARU

a. Perubahan haluan cara penegakan hukum islam di indonesia

Lahirnya orde baru ditandai dengan lahirnya surat perintah 11 Maret 1966.
Tumbangnya Orde Lama (umat islam mempunyai peran besar di dalamnya) dan
lahirnya Orde Baru merupakan angin segar yang memberi harapan baru lagi
perkembangan hukum Islam di Indonesia. Beberapa hal yang menandai harapan
baru itu sebagai berikut :

1. Tumbangnya PKI sebagai musuh utama organisasi-organisasi Islam yang


selalu bekerjasama dengan kelompok sekuler untuk menyingkirkan
hukum Islam dalam tata hukum Indonesia.
2. Pengaruh Soekarno dalam percaturan politik kenegaraan yang selalu
menafikan kedudukan hukum islam dalam konstitusi dan perundang-
undangan nasional.
3. Tampilnya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) sebagai
pendobrak Orde Lama yang di backing oleh ABRI.
4. Bersatunya ormas islam dalam perjuangan untuk mengutuk G30SPKI
dan mengusulkan pembubaran PKI dan antek-anteknya.1

Dalam situasi seperti itu, timbul semangat baru, semacam romantisme


kebangkitan gerakan politis Islam. Keinginan lama untuk mendirikan negara
yang berdasarkan islam yang telah gagal, itu lahir karena kelompok umat Islam
merasa bahwa baik dalam pembentukan negara maupun dalam perjuangan
kelahiran Orde Baru, mereka memiliki peranan yang amat besar.2

Keinginan umat Islam untuk merehabilitasi partai politik Islam tersebut


mulai tampak. Misalnya pada saat tasyakuran dalam rangka pembebasan para
pemimpin Masyami dari penjara pada tanggal 15 Agustus 1966 di Masjid Al-

1
Abdulghani H. Roeslan, Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia,(Jakarta: Pustaka Antar
Kata, 1983), hal.45
2
Heru Cahyono. 1992. Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980, dari Pemilu Sampai Malari.
Jakarta: Sinar Harapan. Hal. 74
Azhar dinyatakan bahwa masyumi akan dihidupkan kembali di masa Orde Baru.
Pada Tahun 1967, Mohammad Hatta (mantan Wapres) bersama beberapa
eksponen HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan PII (Partai Islam Indonesia)
bermaksud mendirikan partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). Pada awal
orde baru beberapa tokoh Muhammadiyah bermaksud mengaktifkan kembali
Partai Islam Indonesia (PII).3

Orde Baru, tidak saatnya lagi berbicara tentang ideologi politik, karena
strategi pembangunan diarahkan pada penekanan pembangunan di bidang
ekonomi. Sedangkan pembangunan di bidang politik semata-mata berperan
sebagai penunjang untuk melaksanakan pembangunan ekonomi tersebut.

Harapan baru bagi umat islam untuk memantapkan keberadaan hukum islam
dalam tata hukum di Indonesia pada awal Orde Baru ini juga disertai dengan
kekecewaan baru. Kekecewaan baru muncul karena ternyata setelah
pemerintahan Orde Baru memantapkan kekusaannya, mereka segera melakukan
kontrol yang lebih ketat terhadap kekuatan politik Islam, terutama pada
kelompok radikal yang dikhawatirkan dapat menandingi kekuatan pihak
pemerintah. Pengawasan terhadap politik Islam tersebut terus diperketat, bahkan
disertai dengan isu-isu sensitif trauma masa lalu tentang pembangkangan
pemimpin-pemimpin Islam. 4

Dalam rangka melaksanakan pengawasan itu, pemerintah Orde Baru


mencanangkan pembaruan sistem politik. Pada tanggal 26 November 1996,
melalui amanat presiden, disampaikan RUU kepartian kepada DPRGR, RUU
Pemilu, dan RUU susunan MPR, DPR, dan DPRD. Inti dari RUU itu yakni
penyederhanaan partai politik yang ada. Hasil penyederhanaan itu yakni peserta
pemilu 1971 terdiri atas 10 partai politik.memerhatikan sikap pemerintah yang
semakin ketat dalam pengawasan partai-partai politik seperti itu, para pemimpin
Islam sadar bahwa perjuangan untuk menegakkan hukum Islam melalui jalur
politik tidak selamanya berhasil, bahkan resikonya lebih tinggi. Karena itu, para
pemimpin Islam mulai berubah haluan, perjuangan yang semulanya untuk

3
Nurcholish Madjid. 1987. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Jakarta: Mizan, hal. 205
4
Hazairin dalam Sayuti Thalib. 1985. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI Pres, hal. 163
mewujudkan suatu negara Islam berubah menjadi perjuangan untuk
mewujudkan masyarakat Islam. Perjuangan untuk mewujudkan hukum islam di
Indonesia yang semula di pandang sebagai suatu perjuangan untuk
memproklasmasi suatu negara Islam secara formal berubah menjadi perjuangan
kultural dari bawah, yakni dengan berusaha keras melakukan penerapan praktis
dari hukum Islam dengan tetap bertitik tolak pada “Piagam Jakarta”.

Alasan “Piagam Jakarta” dijadikan landasan berpijak itu, karena dokumen


historis ini telah dikukuhkan oleh Dekrit Presiden Sukarno tanggal 5 juli 1959,
tentang kembali ke UUD 1945. Dalam bagian konsidereran ditegaskan bahwa
“Piagam Jakarta” menjiwai UUD 1945 dan merupakan kesatuan dengan
Undang-Undang Dasar tersebut. Dengan landasan itulah, di Indonesia telah
dibenarkan untuk membentuk perundang-undangan di bidang hukum Islam yang
berlaku khusus bagi orang-orang Islam.

Mohammad Roem berpendapat bahwa kaum Muslimin wajib melaksanakan


hukum Islam, terlepas dari “Piagam Jakarta” tercantum atau tidak dalam
pembukaan UUD 1945, atau dalam dekrit Presiden Sukarno. Kewajiban tersebut
berlaku bagi setiap orang Islam, bukan dalam arti sebagai peraturan perudangan-
undangan yang dapat dipaksakan, tetapi sebagai suatu kewajiban agama yang
pelaksanaannya sangat tergantung kepada tingkat ketaatan seseorang terhadap
ajaran agamanya, sama sekali tidak ada sangkutpautnya dengan pemerintah.
Jadi, “Piagam Jakarta” akan tetap mempunyai nilai abadi bukan dalam arti
yuridis, tetapi dalam arti kerohanian.5

Pendapat Mohammad Roem tersebut menegaskan kepada kita bahwa


pemberlakuan hukum Islam tidak bersandarkan kepada konstitusi, karena hal itu
merupakan kewajiban langsung kepada Allah. Jika disandarkan kepada
konstitusi, maka kehidupan hukum Islam akan sangat tergantung kepada
konstitusi. Ini berarti hukum Islam akan hanya memiliki nilai lokal, padahal
hukum Islam dapat bersifat universal dan abadi.6

5
Halim, Op.Cit, hal 78
6
Sumitro, dkk, politik Hukum Islam, Op.Cit, hal 34
Selain itu, dengan pendapatnyya, Mohammad Roem berharap bahwa nilai
kerohanian yang terdapat dalam Piagam Jakarta itu akan tetap menjadi dokumen
historis bagi bangsa Indonesia, khususnya orang-orang Islam Indonesia untuk
selama-lamanya. Dengan demikian, hukum islam tidak lapuk karena
perkembangan dasar-dasar kenegaraan.

Di dalam perkembangannya, perjuangan untuk mengangkat unsur-unsur


hukum Islam dalam hukum nasional, tetap dilakukan oleh kelompok masyarakat
Muslim. Bidang-bidang hukum Islam yang diperjuangkan waktu itu yakni
hukum perkawinan, hukum kewarisan, hibah, wakaf, dan hukum zakat. Di
antara bidang-bidang hukum yang diperjuangkan itu, hanya bidang hukum
perkawinan yang dapat dikatakan berhasil dalam bentuk Undang-undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Proses pembentukan undang-undang
perkawinan itu pun mengalami rintangan panjang yang sempat menimbulkan
gangguan terhadap stabilitas nasional.7

b. Kelahiran Hukum Positif Islam di Bidang Perkawinan dan Masalah-


Masalahnya
1. Masalah dalam Proses Pembentukan

Proses pembentukan hukum nasional dalam masyarakat yang plural


(beragam) seperti indonesia, ternyata tidak mudah mengalami benturan-
benturan, baik pada proses pembentukan maupun pelaksanaannya. Setelah
Indonesia merdeka, proses pembentukan hukum perkawinan nasional
diawali Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1956 tentang Pencatatan Nikah
Talak Rujuk (NTR) yang berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia
melalui Undang-Undang No.24 Tahun 1964.

Pada tahun 1952, juga telah diatur oleh Menteri Agama tentang wali
hakim di Jawa dan Madura. Ketentuan itu mengatur prosedur pencatatan
nikah, talak, rujuk, serta masalah wali, tetapi undang-undang mengenai
perkawinan sendiri belum ada. Pada tahun 1950, pemerintah membentuk

7
Sultan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hal 125
sebuah panitia yang bernama Panitia penyelidik Peraturan dan Hukum
Perkawinan, Talak dan Rujuk yang diketuai oleh Teuku Mohammad Hasan.
Pada tahun 1952, akhirnya panitia itu telah selesai membuat RUU
Perkawinan. Namun, rencana tersebut tidak jadi dilangsunkan ke DPR pada
waktu itu, karena banyak di kritik oleh beberapa golongan. Panitia tersebut
kemudian menyusun undan-undang perkawinan yang bersifat khusus bagi,
golongan Islam, Katolik, Protestan dan sebagainya. Akhir tahun 1954,
panitia yang dimaksud telah menyelesaikan rencana undang-undang tentang
pernikahan menurut Islam, tetapi pantia tersebut bukan lagi di ketuai oleh
Mr. Mohammad Hasan, melain kan Mr. Purwosutcipto dari Departemen
Agama. Pada tahun 1958, RUU pernikahan Umat Islam ini diajukan ke
DPR, tetapi pada waktu yang bersamaan muncul RUU atas inisiatif
Ny.Sumari dkk. Yang bersifat nasional. Kedua rancangan undang-undang itu
tidak berhasil dijadikan undang-undang dan dikembalikan kepada
pemerintah. Pada tahun 1967, pemerintah kembali mengajukan RUU tentang
pernikaan umat Islam. Rancangan ini dibahas oleh DPRGR pada waktu itu
bersama –sama dengan rancangan undang-undang tentang ketentuan pokok
perkawinan yang diajukan oleh pemerintah.8

Pada waktu berikut nya(1968), RUU perkawinan umat islam dan RUU
yang diajukan oleh pemerntah itu mengalami nasib yang sama seperti RUU
sebelumnya, karena fraksi Katolik yang ada di DPRGR waktu itu menolak
untuk membahas RUU yang ada hubungan dengan agama. Menurut mereka,
berdasarkan dua belah pedang untuk ajaran Nasrani, pemerintah dan DPR
tidak berhak membicarakan RUU tersebut. Yang menjadi inti dari penolakan
itu, yakni orang-orang Katolik di indonesia tidak setuju kalau hukum agama
Islam itu dijadikan hukum positif oleh pemerintah. Atau, mereka tidak setuju
umat islam mempunyai undang-undang perkawinan, sedangkan untuk orang
Katolik atau Kristen telah ada undang-undang yang dimaksud yang dibuat
oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1933, yaitu Ordonansi
Perkawinan Kristen di Indonesia sejak tahun 1917 telah berlaku hukum
perdata Barat dengan sedikit perubahan.
8
Sumitro, dkk, Politik Hukum Islam, Loc.Cit, hal 55
Kedua RUU yang ditolak oleh fraksi katolik itu kemudian ditarik oleh
pemerintah pada tahun 1973, pemerintah memajukan lagi RUU perkawinan.
RUU perkawinan yang sekarang menjadi UU No.1/1974 itu merupakan
RUU perkawinan nasional yang berlaku untuk semua warga negara dengan
ciri khas “sekuler”. Pengambil alihan pasal-pasal yang terdapat dalam B.W.
menimbulkan masalah-masalah dalam proses pembicaraan RUU didalam
DPRGR yang kurang lebih selama satu tahun, terutama dalam bulan Juli,
Agustus, September, Oktober, November dan Desember 1974. Pembicaraan
mengenai RUU Perkawinan menjadi topik yang tidak saja hangat, tetapi
panas, baik di lingkungan DPR maupun di kalangan masyarakat Indonesia.

Partai Katolik yang dulu menentang RUU Perkawinan sebelumnya,


bersedia membicarakan RUU Perkawinan itu, karena memiliki ciri khas
sekuler. Seluruh umat Islam pada waktu itu, baik dalam DPR maupun
masyarakat kompak menolak RUU jiplakan BW tersebut. PPP (Partai
Persatuan Pembangunan) yang dianggap mewakili umat Islam waktu itu
menyatakan bahwa dalam RUU Perkawinan tersebut ada 21 hal yang
bertentangan dengan hukum perkawinan Islam, bahkan ada yang sangat
prinipil, yaitu sahnya perkawinan dan perkawinan antar agama. Mengenai
sahnya perkawinan Pasal 2RUU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan
sah,apabila dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatat di
dalam daftar pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan oleh
pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan undang-undang ini
dan atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan
perkawinan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.9

Mengenai perkawinan antar agama, RUU perkawinan tersebut


menyatakan bahwa “Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara
asal, tempat asal, agama/kepercayaan, dan keturunan tidak merupakan
pengahalang perkawinan”. Selain itu, masalah yang secara prinsipil tidak
bisa diterima oleh umat islam, yaitu mengenai waktu tunggu atau masa
iddah. Dalam pasal 12 RUU itu, waktu tunggu ditetapkan 306 haru, yang

9
Arifin Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, (jakarta: Gema Insani, 2004), hal 90
sepenuhnya mengoper pasal 34 BW yang tidak memperbolehkan seorang
perempuan kawin lagi, kecuali setelah 300 hari semenjak perkawinan terahir
diputuskan.

Masalah lain yang juga dianggap prinsipil pada waktu itu yakni
mengenai kedudukan anak yang lahir diluar perkawinan. Dalam RUU
tersebut anak alam diakui kedudukannya. Pasal ini di pandang sebagai
“legalisasi perzinahan” menurut hukum Islam. Selain itu yang dianggap
prinsipil yakni mengenai kedudukan anak angkat yang statusnya sama
seperti anak kandung yang didalam RUU itu disebut dalam “anak sah” bagi
pasangan suami istri yang mengangkatnya dan telah putus hubungan dengan
orang tua kandungnya.

Keinginan untuk menghapuskan peradilan agama di Indonesia itu jelas


bertentangan dengan pasal 10 UU No.4 Tahun 1970 tentang ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa pengadilan agama merupakan salah
satu lingkungan peradilan yang secara resmi berlaku di Indonesia. Sikap
tersebut sebagai tindak lanjut dari teori Receptie yang bertujuan
memperlemah kedudukan hukum Islam di Indonesia. Untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang krusial diseputar RUU perkawinan, fraksi PPP yang
ada di DPR membentuk dua kelompok yang bertugas khusus mempelajari
RUU perkawinan tersebut.10

Kelompok I disebut kelompok A sampai kepada kesimpulan bahwa RUU


perkawinan yang sedang dibicarakan di DPR itu tidak dapat di terima,
karena selain bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat
bertentangan pula dengan UUD 1945 dan Pancasila yang menjadi landasan
pembentukan undang-undang yang dimaksud Oleh karena itu, FPP pada
waktu itu mengusulkan dua hal berikut.11

10
M. Rusli Karim. Tanpa Tahun. Dinamika Islam di Indonesia, Suatu Tinjuan Sosial dan Politik.
Jakarta: Hanindita, hal. 75
11
Boedi Harsono. 1983. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Jambatan, hal.19
a) RUU tersebut ditarik kembali atau ditangguhkan pembicaraannya
atau dijadikan RUU perkawinan umum tetapi tidak berlaku bagi umat
Islam.
b) Tanpa melegalisasi perzinahan.

Kelompok II mengemukakan beberapa kesimpulan yang pada intinya


menyatakan bahwa RUU perkawinan yang diusulkan itu tidak cocok
dengan kesadaran hukum masyarakat dan hendak menghapuskan yang
selama ini berlaku dalam masyarakat. PPP menolak ikut serta dalam
pembicaraan sidang-sidang biasa menghadapi kemacetan, maka diadakan
lobbying yang sangat intensif antara FPP dengan fraksi ABRI. Dalam
tahap permulaan, telah tercapai beberapa kesesuaian antara FABRI
dengan FPP. Namun didalam perkembangan berikutnya, FABRI
menyatakan bahwa mereka mencabut kembali persetujuannya dengan
FPP.

Pada kondisi dan situasi seperti itu, pimpinan FPP melalui Majelia
Syuro mengambil inisiatif menghadapi presiden Soeharto untuk
menyampaikan keberatannya mengenai isi RUU keperkawinan. Menurut
penilaian FPP, isu RUU tersebut bertentangan dengan nilai-nilai
pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara Republik
Indonesia.

Untuk mencari titik temu, presiden memanggil pimpinan ABRI untuk


membicarakan RUU perkawinan dengan FPP. Pertemuan tersebut
penting untuk meredakan situasi yang panas, karena pada waktu itu para
ulama’, terutama di Jawa Timur sudah berbai’at secara bersama-sama.
Apabila RUU perkawinan itu dijadikan undang-undang, maka umat
islam tidak wajib mengikutinya. Fatwa ini sesuai dengan ajaran dalam
pemikiran politik Islam bahwa rakyat berhak untuk tidak menaati kalau
pemerintah melakukan sesuatu (mengeluarkan undang-undang)
bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadis.12

12
Boland B.J, Pergumulan Islam di Indonesia, (jakarta: Grafiti Pers, 2001), hal.134
Pada saat bersamaan, juga telah terjadi demonstrasi yang dilakukan
oleh organisasi pelajar Islam. Bahkan, reaksi kelompok Islam waktu itu
terjadi dimana-mana. Reaksi umat Islam tersebut disamping karena RUU
perkawinan isinya berbenturan dengan masalah aqidah, juga
dilatarbelakangi oleh situasi politik saat itu, misalnya sebagai berikut :

a) Parpol Islam baru saja kalah dalam Pemilu 1971 dan gejala
depolitisasi Islam tampak sehingga kelompok Islam sangat
mengkhawatirkan keberadaan mereka. Apalagi, waktu itu
pemerintah menghimbau untuk tidak menggunakan kata Islam
dalam PPP hasil fusi.
b) Umat Islam sangat cemas dengan misi kristenisasi yang ramai
sejak tahun 1970-an.13

Memerhatikan situasi yang kritis seperti itu, menteri agama (yang


waktu itu dijabat Mukti Ali) berinisiatif untuk melakukan lobbying
antara fraksi-fraksi. Lobbying antara frkasi melalui kesempatan berbuka
puasa yang dihadiri oleh para menteri, terutama Menteri Agama, Menteri
Kehakiman dan Menteri Sekretaris Negara menghasilkan sikap saling
pengertian mengenai masalah-masalah krusial yang ada dalam RUU
perkawinan yang dibicarakan.

Setelah mengadakan beberapa kali pertemuan, akhirmya tercapailah


konsensus anatar FPP dengan FABRI, yang ada pada intinya adalah
sebagai berikut:

a) Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi dan


diubah.
b) Sebagai konsekuensi dari poin 1 itu, maka alat-alat pelaksanaannya
tidak akan dikurangi atau diubah. Tegasnya, UU No.22/1966 dan UU
No.14/1947 dijamin kelangsungannya.
c) Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam tidak mungki
disesuaikan dengan undang-undang ini didrop.
13
Muthalib Abdul, Prospek Hukum Islam terhadap Hukum Nasional, (Surabaya: Bina Ilmu,
2006), hal. 77
d) Pasal 2 ayat (1) RUU itu disetujui dengan rumusan yakni “ayat (1)
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya. Ayat (2) tiap-tiap perkawinan
yang dicatat demi ketertiban administrasi negara.
e) Mengenai perceraian dan poligami perlu diusahakan adanya
ketentuan-ketentuan guna mencegah terjadinya kesewenang-
wenangan.14

Konsensus tersebut melapangkan jalan bagi pembicaraan mengenai


RUU yang di maksud dan dibentuklah suatu panitia teknis antara FABRI
dan FPP untuk membicarakan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
konsensus tersebut. Akhirnya, dengan mengadakan berbagai perubahan
materi dan perumusan redaksional, maka pada tanggal 18 Desember
1973 selesailah sseluruh pasal RUU Perkawinan itu dibicarakan dan
disepakati. Pada tahun yang sama, tepatnya pada tanggal 19 Desember
1973 juga telah diselesaikan penjelasannya. Setelah itu, pada tanggal 19
Desember 1973, dibicarakan pasal demi pasal oleh semua fraksi di dalam
DPR dan akhirnya, semua fraksi menerima ZRUZU Perkawinan itu
dengan sistematika dan isinya seperti yang ada sekarang.

2. Masalah dalam Penerepan

Banyaknya masalah yang terdapat pada proses pembentukan UU


Perkawinan tersebut, ternyata menyebabkan produk undang-undang yang
tidak sempurna, masalah-masalah yang diatur tidak tuntas, dan
perumusan pasal-pasalnya dapat menimbulkan pengertian dan
pemahaman yang berbeda-beda. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor,
di antaranya perbedaan falsafah hukum yang menjadi dasar pemahaman
terhadap UU Perkawinan yang berlaku bagi warga negara yang plural.
Selain itu, juga kemungkinan perbedaan pengertian hukum ketika orang
membaca rumusan undang-undang tersebut.
14
Mukhtie A. Fadjar. 1991. Transformasi Hukum Syariat kedalaman Hukum Nasional,
Yogyakarta:sinarmas, hal.78
Untuk menghindari kesalahpahaman pengertian terhadap rumusan
UU perkawinan ini, departemen agama menerapkan rambu-rambu seperti
berikut:

1. Sebagai undang-undang nasional, UU Perkawinan harus dipahami


secara keseluruhan sebagai satu kesatuan yang bulat.
2. UU Perkawinan merupakan satu kesatuan sistem hukum. Bab dan
pasal-pasalnya serta ayat-ayat yang akan dikandungnya tidak boleh
ditafsirkan bertentangan antara satu dengan yang lain.
3. Pemahaman dan penafsiran UU Perkawinan itu tidak boleh
bertentangan dengan hukum agama, khususnya agama Islam, sebab
kalau kita pelajari dengan saksama, banyak ketentuan-ketentuan
hukum Islam yang dimuat dalam UU perkawinan itu.
4. UU Perkawinan merupakan hukum nasional baru yang didasarkan
pada Pancasila, oleh karena itu penafsiran terhadapnya harus
berangkat dari sila-sila Pancasila. Ini berarti, bahwa norma-norma
hukum yang bertentangan dengan sila-sila yang terdapat dalam
Pancasila itu harus ditinggalkan.
5. Oleh karena terdapat keanekaragaman hukum yang bersifat
fundamental dalam negara RI, maka pemerintah berkewajiban
memberikan pelayanan hukum tidak hanya berdasarkan norma-
norma hukum buatan manusia saja, tetapi juga berdasarkan norma-
norma hukum bersumber dari ajaran agama yang ddianut oleh warga
negara RI.
6. UU Perkawinan ini mempuyai hubungan dengan hukum perdata
internasional, karena didalamnya diatur hubungan perdata yang
timbul karena perkawinan seorang warga negara Indonesia dengan
orang asing, baik perkawinan itu dilangsungkan di luar maupun di
dalam negeri Indonesia.
c. Konflik Internal dan Dinamika Perkembangan Hukum Islam

Selain situasi politik akibat kasus undang-undang perkawinan yang membuat


hubungan antara umat Islam (yang diwakili ulama dan ormas) dengan
pemerintah semakin renggang. Pada tahun 1970-an, umat Islam dihadapkan
pada persoalan intem, yakni munculnya para pembaru islam di bawah pimpinan
Nurcholish Madjid, dengan ide-ide pembaharuannya yang brilian waktu itu. Ide
Nurcholish Madjid disikapi miring oleh para ulama pesantren karena Nurcholish
Madjid dianggap telah mencanangkan sekularisasi dan liberalisasi terhadap
ajaran Islam dan kebebasan berpikir.

Ide-ide dan konsep-konsep Nurcholish Madjid tentang Keislaman waktu itu,


disatu sisi sempat membuat renggang hubungan di antara internal ulama/pemuka
islam. Namun, di sisi lain membawa dampak positif terhadap dinamika
pemikiran Islam. Alam pemikiran islam menjadilebih semara dalam publik dan
tidak hanya terbatas di lingkungan umat Islam saja, tetapi juga di lingukungan
Non Muslim. Publik Muslim, terutama para ulama yang semula “jumud” dan
tidak sempat berfikir ijtihad tentang masalah-masalah kehidupan dan
kemanusiaan menjadi bergairah lagi untuk berijtihad. Iklim seperti itu
tampaknya membawa pengaruh terhadap dinamika perkembangan pemikiran di
bidang hukum (islam). Saat umat Islam (khususnya ulamanya) mulai bangkit
dalam pemikiran ijtihadnya berkat umpan Nurcholish Madjid dkk. Secara
politis, umat islam dan pemerintah pada masa itu berada dalam hubungan yang
bersifat antagonisti.

Varian konflik Islam dalam era 1970-an semakin meluas sebanding dengan
banyaknya potensi sumber konflik, baik internal maupun eksternal. Keadaan itu
terjadi akibat proses terbentuknya Orde Baru Meskipun umat Isalam dilibatkan
secara aktif dalam memberantas PKI yang berarti pula dilibatkan dalam
pendirian dalam pendirian Orde Baru. Namun, kebijakan politik Orde Baru
menempatkan kelompok agama (Islam) dalam posisi “pinggiran” dan para tokoh
agama pun tidak menduduki posisi strategis dalam kelompok perekayasa
pembangunan. Bersamaan dengan itu, ABRI telah memilih para teknokrat,
ekonom, dan pengusaha Cina sebagai mitranya. Sementara para politisi tidak di
ikutsertakan karena dianggap tidak mendukung modernisasi yang diinginkan.

Semua sumber kekuasaan dalam era itu dikontrol ketat oleh ABRI,
sedangkan corak kehidupan beragama juga dikendalikan oleh kekuatan ABRI
sehingga periode ini disebut juga sebagai periode regulasi kehidupan keagamaan
oleh pemerintah bersama-sama ABRI. Menurut M.Rusli Karim, setidaknya
terdapat 12 corak konflik pada era Orde Baru sebagai berikut:

Pertama, konflik modernis-tradisional berupa taktik memecah belah


kekuatan islam, dengan jalan menggeser dominasi NU di Departemen Agama
bergeser ke kelompok modernis dengan diangkatnya A. Mukti Ali sebagai
Menteri Agama.

Selain itu, pada pembentukan kabinet Pembangunan II pengangkatan Alam


Syah Ratu perwiranegara sebagai Menteri agama pengganti A. Mukti Ali
semakin memperjelas keinginan pemerintah meregulasi kehidupan keagamaan
guna menyokong strategi pembangunan. Konflik itu diperuncing oleh kebijakan
Mendikbud Daoed Joesoef dalam bidang pendidikan, khususnya tentang
pencabutan liburan bulan puasa dan pengangkatan pegawai baru yang dianggap
menguntungkan kelompok Nasrani.

Kedua, isu reaktualisasi yang dimotori oleh Munawir Sadzali telah membuat
polemik yang berkepanjangan. Konflik itu juga tidak terlepas dari kelompok
tradisional yang merasa posisinya disingkirkan.

Ketiga, kekhawatiran terhadap bahaya sekularisasi dengan tindakan


pengiriman dosen-dosen IAIN untuk menempuh pendidikan lanjutan di
perguruan tinggi umum luar negeri (Barat).

Keempat, isu paham Syiah yang dikhawatirkan memengaruhi pola


keagamaan masyarakat. Paham Syiah itu tidak hanya dianggap berbahaya bagi
kemurnian Islam, tetapi juga secara politis berbahaya bagi pemerintah Indonesia.
Dengan konsep imamahnya, paham tersebut dikhawatirkan kembali membentuk
gerakan untuk mendirikan negara Islam.
Kelima, lahirnya ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) di satu sisi
merupakan momentum yang baik untuk sekaligus mengangkat citra Islam di
Indonesia sebagai agama kemajuan. Namun disisi lain, reaksi keras muncul dari
kelompok tradisional yang diwakili oleh Abdurachman Wachid (meskipun
Abdurachman Wachid sendiri bukan termasuk yang tradisional).

Keenam, konflik intem umat Islam, khususnya dalam tubuh dua organisasi
Islam terbesar (NU dan Muhammadiyah) dengan bobot dan nuansa konflik yang
berbeda, serta pola dan cara penyelesaian yang berbeda pula.

Di tengah-tengah konflik, baik yang terjadi di antara internal umat Islam


dengan pemerintah (penguasa), ada iklim yang cera bagi keharmonisan
hubungan antara kekuatan umat Islam dengan pemerintah (penguasa). Iklim itu
setidaknya mengurangi, bahkan menghilangkan kecurigaan pemerintah terhadap
kekuatan umat Islam terutama yang berhubungan dengan pendirian negara
Islam. Iklim yang dimaksud yakni munculnya intekejtualisme Islam baru.
Kelompok ini berusaha mengembangkan format politik Islam yang lebih
memperhatikan isi (substance) dari pada bentuk (form). Dengan model dasar
seperti ini mereka berharap agar soal “keislaman” dan “keindonesiaan” sebagai
dua unsur penting yang memberikan legitimasi kultural dan struktural bagi
kontruksi negara-bangsa, dapat disentesiskan dan diintegrasikan dengan baik.
Mereka mempertanyakan bahkan menggugat ketetapan strategi, taktik, dan cita-
cita politik Islam lama. Bahkan, keberatan terhadap ide bahwa Islam sebagai
sebuah ideologi dalam kaitannya dengan sebuah negara, tercatat nama-nama
tokoh intelektualisme baru di antara sekian banyak tokoh lainnya, dengan model
(paket) pembaruannya yang berbeda-beda. M. Dawam Rahardjo misalnya,
berpendapat bahwa selain sebagai agama, Islam juga memiliki ajaran tentang
sosial politik, dan bukanlah sebuah ideologi karena ideologi Islam itu tidak ada.
Djohan Efendi berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak memproklamasikan
berdirinya sebuah negara Islam.

Beberapa kesimpulan penting dari rangkaian diskusi para intelektual


Muslim, baik yang berada di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) maupun di
limited group, yakni sebagi berikut.
Pertama, tidak ada bukti yang jelas bahwa Qur’an dan sunah mengharuskan
Muslim untuk mendirikan negara Islam. Kedua, ajaran Islam memiliki nilai-nilai
etis atau prinsip-prinsip sosial-politik, namun Islam bukan sebagai suatu
ideologi. Ketiga, karena Islam bersifat permanen dan universal, penafsiran akan
doktrin ajaran Islam tidak dapat dibatasi hanya pada tataran formal dan legal.
Interpretasi yang benar terhadap Islam adalah harus didasarkan atas pemahaman
yang komprehensif atas pemahaman yang komprehensif atas teks doktrin Islam
yang relatif karena hanya Allah yang memiliki kebenaran tersebut. Karena itu,
mengembangkan sikap toleransi dalam memahami Islam merupakan suatu
keharusan bagi Muslimin.

Arah pemikiran tersebut semakin menguat dengan konsep pembaruannya


Nurcholish Madjid yang mendasarkan atas dua prinsip penting dalam Islam,
yaitu (1) konsep tauhid dan (2) konsep manusia sebagai khalifatullah. Dengan
pemahaman dua konsep tersebut Nurcholish mengajukan premis-premis
teologisnya bahwa hanya Allah yang memunyai kebenaran dan transendensi
absolut. Pandangan itu membawa implikasi terhadap kehidupan sosial-politik.
Karena yang memunyai kesakralan absolut itu hanya Allah, maka persoalan
“Negara Islam”, “Partai Islam” atau “Ideologi Islam” di anggap tidak sakral.
Dalam hubungan itulah, Nurcholish Majid mengangkat isu “Islam Yes, Partai
Islam No”, Menurut Nurcholish, jika partai Islam merupakan wadah ide-ide dan
pemikiran islam seperti itu sekarang sedang menjadi absolut yang memfosil dan
kehilangan dinamikanya.

Meskipun pemunculannya dianggap kontroversi, gagasan “sekularisasi”


Nurcholish Madjid setidaknya telah membawa dua pengaruh positif. Pertama,
membawa kemajuan cara berpikir umat Islam di dalam memahami ajaran
agama, yang sebelumnya dogmatis tekstual menjadi lebih transformatif, dan
kontekstual, termasuk ajaran agama di bidang hukum Islam nya. Menurut
Nurcholish Madjid sekularisasi sebagai proses pembebasan diperlukan karena
umat Islam (akibat perjalanan sejarah nya sendiri) tidak mampu lagi
membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islam, maka yang transendental dan
mana yang temporal. Akibatnya, Islam menjadi senilai dengan tradisi. Jadi,
sekularisasi menurut Nurcholish Madjid tidak dimaksudkan sebagai penerapan
sekularisme dan menjadikan Islam sebagai sekularis, tetapi untuk
menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya duniawi dan melepaskan umat
Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya.

Bersamaan dengan pemunculan para intelektual Muslim tersebut, strategi


marginalisasi partai non pemerintah (termasuk partai-partai besar Islam) telah
dilakukan dengan jalan menciutkan kekuatan sosial politik. Pada tahun 1973,
telah dilakukan penyederhanaan partai dari sembilan partai dan satu Golkar
menjadi dua partai politik (PPP dan PDI) dan satu Golongan karya.

Strategi itu dominasi partai pemerintah (Golkar) mencapai kemenangan lagi


pada pemilu 1997 dinilai cepat berhasil meskipun sedikit mengalami penurunan.
Hasil pemilihan umum 1977 sebagai berikut:

a. Golkar mendapatkan 232 kursi (62,11%)


b. PPP mendapat 99 kursi (29,9)
c. PDI mendapatkan 29 kursi (8,6)

Pemilihan umum 1977 ini memiliki nuansa khusus dengan pemilu-pemilu


sebelumnya. Peserta baru sebagai hasil penciutan kepartaian membuat kelompok
kekuatan semakin jelas, terutama kekuatan Islam yang berfungsi dalam PPP
dengan kekuatan di luarnya. Senjata pamungkas PPP dengan ciri dan ideologi
keislamannya membuat pertarungan semakin seru, terutama pertarungan
kekuatan yang mengklaim dirinya mewakili kelompok umat Islam (PPP) dengan
kekuatan pemerintah yang dianggapnya sebagai kekuatan sekularis.

Kampanye pemilihan umum 1977 merupakan pertarungan dua kekuatan


utama, yaitu Golkar dan PPP. Keduanya membuat manuver-manuver kampanye
tersendiri, bahkan saling menuduh bahwa pihak lain bertindak curang. Misalnya,
dari pihak Golkar menuduh PPP memalsukan suara, isu komando jihad, adanya
bantuan asing dan sebagainya. Sedangkan, PPP juga melontarkan tuduhan
kepada Golkar dan patnernya (pemerintah, ABRI) telah melakukan penembakan
anggota PPP di Situbondo, melakukan intimidasi, pemukulan, penahanan dan
ssebagainya sehingga pemilu 1977 lebih banyak diwarnai oleh berbagai
kekerasan.

d. Asas Tunggal dan Penegakan Hukum

Gagasan mengenai asas tunggal pertama kali disampaikan oleh presiden


Suharto dalam pidato kenegaraan di depan sidang pleno DPR tanggal 16
Agustus 1982. Beberapa pertimbangan politis yang mungkin melatarbelakangi
gagasan asas tunggal ini, yaitu sebagai berikut.

1. Dirasakannya semakin membaik hubungan antara umat Islam dengan


pemerintah sebagai akibat pengaruh pemikiran-pemikiran intelektualisme
Islam modern yang mampu memposisikan Pancasila dan agama sebagai
suatu yang tidak bertentangan.
2. Kekhawatiran pemerintah terhadap lahirnya organisasi-organisasi yang
memiliki asas masing-masing yang berbeda. Keadaan itu bisa memperuncing
konflik antar organisasi.

Ide asas tunggal ini pada mulanya hanya berlaku untuk partai politik, seperti
yang tertuang dalam pidato kenegaraan Presiden Suharto tanggal 16 Agustus
1982. Bunyi teksnya antara lain sebagai berikut.

“... yang perlu dibulatkan dan ditegaskan adalah asas yang dianut oleh
setiap partai politik dan Golongan Karya. Semua kekuatan sosial politik
terutama partai politik yang masih menggunakan asas lain selain Pancasila
seharusnyalah menegaskan bahwa satu-satunya yang digunakan adalah
pancasila”.

Di dalam upaya menyosialisasikan gagasan penerapan asas tunggal


Pancasila, Presiden selalu menegaskan kembali di berbagai kesempatan, baik
pada forum yang formal maupun yang nonformal Sosialisasi selanjutnya oleh
Munawir Sadjali yang waktu itu menjabat Menteri Agama Republik Indonesia
dan tercatat sebagai pelopor kelompok Intelektualisme Islam Indonesia. Dengan
menggunakan telahan ijtihad ia sampai pada kesimpulan bahwa penerimaan
Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan sosial politik di Indonesia
tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Ide asas tunggal yang semulanya hanya diterapkan untuk partai politik dan
Golkar, ternyata diterapkan pula pada organisasi kemasyarakatan. Perluasan
tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa Ormas ternyata lebih efektif dan
memiliki pengaruh yang besar dalam membawa massanya.

Perluasan penerapan asas tunggal akhirnya dituangkan dalam Undang-


Undang No.5 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Penerapan asas
tunggal Pancasila ini diharapkan dapat meredam konflik yang ada. Namun,
harapan itu meleset, konflik semakin meluas dan memanas. Sisa-sisa kemarahan
umat yang terjadi pada saat proses penyusunan undang-undang perkawinan
muncuk kembali. Bahkan, konflik asas tunggal mempunyai keistimewaan
sendiri. Konflik tersebut merupakan konflik terparah yang pernah melanda umat
Islam, karena di dalamnya tercakup dimensi internal dan eksternal.

Kekhawatiran kelompok Islam yang tidak setuju dengan asas tunggal bukan
berarti mereka menolak Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup
berbangsa dan bernegara, tetapi mereka tidak sepakat jika Pancasila menempati
derajat yang sama denfan agama. Selain itu, mereka juga khawatir jika misi
organisasi yang dilandasi nilai-nilai keagamaan (ke Islaman) tidak mendorong
angggotanya untuk mencapainya jika tiidak di cantumkan dalam asas organisasi.

Dalam memutuskan asas tunggal Pancasila, NU mengeluarkan deklarasinya


dalam Mukhtamar ke-27 di Situbondo, pada tahun 1983 yang isinya sebagai
berikut.

1. Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah negara Republik Indonesia


bukanlah agama dan tidak dapat menggantikan agama.
2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia
menurut Pasal 29 ayat (1) 1945 menjiwai sila-sila lain yang mencerminkan
tauhid menurut pengertian keimanan dalam islam.
3. Bagi NU, Islam merupakan akidah dan syariah yang meliputi aspek
hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
4. Penerimaan dan pengalaman Pancasila merupakan perwujudan dan upaya
umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan
pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengalamannya yang murni dan
konsekuen oleh semua pihak,

Apabila butir-butir deklarasi tersebut kita amati secara mendalam, ternyata


NU memunyai sikap yang simpatik dan realistis dalam menyikapi
perkembangan sosial politik yang terjadi pada waktu itu.

Butir pertama menjawab keraguan umat tentang kemungkinan mengamalkan


Pancasila. Sedangkan butik kedua meyakinkan umat tentang pemahaman
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang memiliki nilai identik dengan “tauhid”. Butir
ketiga menegaskan bahwa Islam memiliki dimensi yang sangat luas tidak hanya
berdimensi vertikal, tetapi juga berdimensi horizontal dengan sesama manusia.
Buti keempat menegaskan bahwa pilihan terhadap Pancasila tidaklah keliru,
karena justru merupakan syariat agamanya. Butir kelima merupakan kebulatan
tekad organisasi untuk menjaga kebenaran pengertian dan pengalaman Pancasila
secara murni dan kosekuen. Butir terakhir menunjukkan seolah NU ingin
menunjukkan “tidak benar” pendapat sementara orang bahwa NU tidak
mempunyai kemantapan pendirian dalam menyikapi perkembangan politik di
Indonesia.

Penerimaan NU terhadap asas tunggal didasarkan pada paham teologi Ahlu


Sunnah Wal-Jama’ah bahwa karena Pancasila merupakan ideologi negara
merupakan salah satu perlengkapan negara dan menaati pemerintah yang sah
hukumnya “wajib”, maka tidak ada alasan untuk menolak asas tunggal. Selain
itu, juga didasarkan pada tiga konsep, yaitu (1)konsep fitrah, (2) konsep
ketuhanan dan (3) konsep kesejarahan.

Pemerintah menyikapi perkembangan tersebut dengan menerapkan


kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diarahkan pada kesatuan dan persatuan.
Dimantapkanlah kebijakan kerukunan yang meliputi kerukunan antar umat
beragama, kerukunan internal umat beragama, dan kerukunan umat beragama
dengan pemerintahan (ulama dan umaro, untuk umat Islam).

Di samping mengeluarkan kebijaksanaan makro, pemerintah juga membuat


kebijaksanaan mikro dan lebih meyeluruh (tuntas). Kebijakan-kebijakan itu
meliputi bidang struktural, legislatif, infrastruktural dan kultural.

1. Bidang struktural yakni semakin terbukanya kesempatan bagi tokoh-tokoh


Islam untuk berintegrasi dengan negara, baik lewat jalur eksekutif, legislatif,
maupun yudikatif. Wujud konkretnya yakni terbentuknya Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada tahun 1990.
2. Bidang legislatif yakni disahkannya beberapa produk perundang-undangan
yang menyenangkan (memberikan harapan) bagi umat Islam. Produk hukum
tersebut yakni Undang-Undang Pendidikan Nasional tahun 1989 (UUPN),
Undang-Undang Peradilan Agama Tahun 1989, dan Kompilasi hukum Islam
Tahun 1991.
3. Bidang infrastruktur yakni semakin tersedianya infrastruktur-infrastruktur
yang diperlukan umat Islam untuk menjalankan tugas-tugas keagamaannya.
Wujudnya yakni didirikannya masjid-masjid di seluruh wilayah di Indonesia
melalui yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila dan Pembentukan Bank
Mu’amalat Indonesia (BMI) sebagai perangkat kegiatan ekonomi yang
Islami.
4. Bidang kultural yakni tampak pada pemakaian idiom-idiom Islam dalam
perbendaharaan ideologis maupun politik negara.

Di antara bidang-bidang tersebut yang relevan dengan bahasa buku ini dan
akan dibahas yakni tentang berbagai persoalan yang berkaitan dengan masing-
masing kebijakan di bidang legislatif.

PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI ERA REFORMASI

Rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun akhirnya runtuh, dengan
ditandai mundurnya Soeharta dari kursi kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998.
Runtuhnya Orde Baru disusul dengan lahirnya era Reformasi yang di tandai
beberapa tuntuta sekaligus harapan. Tuntutan dan harapan yang relevan dengan
pembahasan ini yakni perubahan sistem politik yang memberikan kebebasan pada
jumlah dan asas yang dianut partai politik. Selain itu, juga terbentuknya hukum
nasional dengan mengakomodasi hukum lokal yang plural, termasuk hukum agama
(hukum Islam).15 Oleh karena itu, pada era Reformasi lahir beberapa perundang-
undangan yang dapat memperkukuh hukum Islam, di antaranya:

A. Peluang Politik dan Sosio-Kultural

Rezim Orde baru berkuasa selama 32 tahun akhirnnya runtuh, ditandai


dengan runtuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998.
Runtuhnya Orde Baru disusul dengan lahirnya Era Reformasi yang ditandai
dengan beberapa runtutan sekaligus harapan. Tuntutan atau harapan yang
relevan dengan pembahasan ini yakni perubahan sistem politik yang memberi
kebebasan pada jumlah dan asas yang dianut oleh partai politik. Selain itu
terbentuknya hukum nasional dengan mengakomodasi berbagai hukum lokal
yang plural, termasuk hukum agama (hukum Islam).

Harapan kebebasan berpolitik dan berorganisasi terwujud dengan


terbentuknya 48 partai politik peserta pemilu 1999. Di antaranya 19 partai yang
dapat dikategorikan sebagai partai Islam dengan identitas nama, asas, atau
lambang yang mengandung unsur Islam. Selain itu, organisasi kemasyarakatan
Islam yang pada rezim Orde baru berasaskan Pancasila karena tekanan dari
pemerintah, pada era reformasi menanyakan diri kembali kepada asas Islam.
Namun, kemunculan beberapa partai Islam tersebut ternyata tidak membawa
pengaruh yang besar terhadap perpolitikan nasional, karena didalam pemilu
1999 masih dimenangkan oleh partai-partai nasionalis yang tidak berpengaruh
bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia, karena orientasi perjuangan
mereka tidak memfokuskan pada hukum Islam, tetapi lebih banyak pada
penemuhan kebutuhan komunitas Islam.

15
Warkum Sumitro, Loc. cit., hal.222
Meskipun hukum Islam tidak berkembang lewat jalur struktural partai,
namun hukum Islam pada era reformasi sebagai kelanjutan dari era sebelumnya
dapat berkembang dengan pesat memalui jalur kultural. Hal itu terjadi sebagai
konsekuensi logis dari kemajuan kaum Muslimin (cultural) di bidang ekonomi
dan pendidikan. Perkembangan Islam Budaya pada era reformasi diikuti
perkembangan hukum Islam secara kultural. Keadaan tersebut ditunjang oleh
lahirnya beberapa undang-undang sebagai hukum positif Islam, yaitu UU No. 17
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan UU No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat.16

Pada pemilu tahun 1999 kelompok Islam modernis lebih memilih partai
yang tidak membawa bendera Islam, tetapi memiliki komitmen terhadap Islam
(hukum Islam) karena mereka menilai bahwa politik bukanlah tujuan melainkan
hanyalah salah satu sarana memperjuangkan aspirasi umat Islam. Mereka
menyatakan bahwa aspirasi umat Islam tidak hanya di bidang politik, tetapi juga
di bidang lain seperti ekonomi dan pendidikan. Kelompok itulah yang menjadi
pendukung utama berkembangnya Islam kultural.17

Kelompok Islam moderis ini tidak memilih partai politik yang berlabel
Islam, tetapi lebih mengutamakan komitmen partai kepada perjuangan Islam.
Karena itu, partai Golkar yang notabene simbol kepentingan Orde Baru,
meskipun awal era reformasi menerima hujatan dari massa, tetapi partai-partai
Islam berada di bawah nya. Fenomena itu terulang pada pemilu legislatif tahun
2004 ketika Golkar menempati urutan dibawah nya. Demikian pula pada pemilu
presiden secara langsung tahun 2004, konstelasi ini tidak berubah, Susilo
Bambang Yudoyono, Megawati, dan Wiranto calon dari kelompok nasionalis
pada putaran pertama berturut-turur menempati urutan pertama, kedua dan
ketiga. Sedangkan Amin Rais dan Hamzah Haz calon dari kelompok agamis
(Islam) berada di posisi bawah. Kenyataan tersebut memperkuat asumsi bahwa
gerakan Islam kutural pada era reformasi masih kuat dan akan mempengaruhi

16
Sudirman Tebba, 2001, Islam Pasca Orde Baru, Yogyakarta, Tiara Wacana, hlm 97.
17
Sudirman Tebba, Op Cit, hlm 57
gerakan reformasi kehidupan umat Islam di bidang-bidang lain termasuk bidang
hukum, ekonomi dan sosial pendidika.

Dengan demikian, keberadaan hukum Islam pada era reformasi tidak hanya
terjadi pada tataran struktural tetapi yang lebih menentukan, yakni pada tataran
kultural. Karena itu, transformasi hukum Islam, selain melalu jalur legislasi
dalam bentuk perundang-undangan yang lebih strategis, justru melalui jalur non
legislasi diluar perundang-undangan, yakni secara kultural. Perkembangan
hukum Islam pada era reformasi ini dapat dilihat dari beberapa fenomena
penting berikut :

1. Kelahiran undang-undang tentang pengelolaan Zakat sebagaimana


berkonfigurasi dalam UU No. 38 Tahun 1999.
2. Kelahiran undang-undang tentang perbankan yang memberi legalisasi
terhadap berperasinya perbankan berdasarkan prinsip syariat sebagaiman
berkonfigurasi dalam UU No. 10 Tahun 1998 dan UU No. 21 Tahun 2008.
3. Kelahiran tentang undang-undang Naggroe Aceh Darusalam yang memberi
otonomi khusus kepada Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam untuk menerapkan syariat Islam sebagaimana
terkonfigurasi dalam UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006.
4. Kelahiran Undan-Undang tentang Wakaf sebagaimana terkonfigurasi dalam
UU No.41 Tahun 2004.
5. Kelahiran Undang-Undang tentang penyelenggaraan Ibadah Haji
sebagaimana terkonfigurasi dalam UU No. 17 Tahun 1999 dan UU No. 13
Tahun 2008.
6. Kelahiran Udang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara
sebagaimana terkonfigurasi UU No.19 Tahun 2008.
7. Kelahiran Undang-Undang tentang Peradilan Agama sebagaimana
terkonfigurasi melalui UU No.3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009.
B. Peluang Yuridis Politis Hukum Islam dengan Lahirnya UU No. 18
Tahun 2001 tentang Nanggroe Aceh Darussalam dan UU No. 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh

Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa. Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan
Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus,
terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Acceh yang
memiliki ketahanan dan daya juang tinggi.

Kehidupan masyarakat Aceh yang demikian terartikulasi dalam perspektif


modern dalam bernegara dan berpemerintahan yang demokratis serta
bertanggung jawab. Tatanan kehidupan yang demikian merupakan perwujudan
di dalam semboyan Bhinneka tunggal Ika. Ketahanan dan daya jang tinggi
tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang
melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi salah satu daerah
modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.

Kehidupan demikian menghendaki adanya implementasi formal penegakan


syaria’at Islam. Itulah yang menjadi bagian dari latar belakang terbentuknya
Mahkamah Syar’iyah yang menjadi salah satu bagian dari anatomi keistimewaan
Aceh. Penegakan syari’at Islam dilakukan dengan asas personalitas ke Islaman
terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan
kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-
batas daerah Provinsi Aceh.

Aspirasi yang dinamis masyarakat Aceh bukan saja dalam kehidupan adat,
budaya, sosial, dan politik mengadopsi keistimewaan Aceh, melainkan Juga
memberikan jaminan kepastian hukum dalam segala urusan karena dasar
kehidupan masyarakat Aceh yang religius telah membentuk sikap, daya juang
yang tinggi, dan budaya Islam yang kuat, Hal demikian menjadi pertimbangan
utama penyelenggaraan keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999. Pembentukan kawasan sabang
dengan undang-undang Nomor 37 Tahun 2000 adalah serangkaian dari upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh, dan menjadi pendorong
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di kawasan Aceh serta modal bagi
percepatan pembangunan daerah lain.

Dalam perjalanan penyelenggaraan keistimewaan provinsi Daerah Istimewa


Aceh dipandang kurang memberikan kehidupan di dalam keadilan atau keadilan
di dalam kehidupan. Kondisi demikian belum dapat mengakhiri pergolakan
masyarakat di Provinsi Daerah istimewa Aceh yang dimanifestasikan dalam
berbagai bentuk reaksi.

Sehingga menuntut lahirnya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Naggroe Aceh


Darussalam yang berfungsi untuk memperkuat bagi berlakunya hukum Islam di
Aceh Darussalam dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Landasan konseptual pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam di dasarkan pada pertimbangan sejarah panjang keberadaan
masyarakat. Aceh sebagai komunitas Muslim yang selama ini di pandang
mampu mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih demokratis, egaliter, dan
menjaga keseimbangan antara kepentingan duniawi dan ukhrowi.

Kekhususan implementasi UU No. 18 Tahun 2001 ini yakni pemberian


kesempatan yang lebih luas kepada Aceh untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya, baik sumber ekonomi, sumber daya alam, maupun sumber daya
manusia menumbuhkan prakarsa, kreativitas, dan demokrasi susai dengan tata
nilai yang berkembang di masyarakat Aceh dengan menerapkan syariat Islam
dalam kehidupan bermasyarakat. Peraturan daerah tentang tata kehidupan
masyarakat Aceh diatur dalam “Qunun” yang disahkan oleh DPRD setempat.18

UU No. 18 Tahun 2001, sebenarnya merupakan penegasan terahdap UU


sebelumnya, yaitu UU No. 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan
18
Yusril Ihza Mahendra. 2002. Mewujudkan Supremasi Hukum Indonesia, Jakarta: Setjen
Depkeh dan HAM, hlm. 142
Keistimewaan kepada Aceh untuk menyelenggarakan (1) kehidupan beragama,
(2) penyelenggaraan kehidupan adat, (3) penyelenggaraan pendidikan dan peran
ulama dalam penetapan kebijakan daerah yang didasarkan ada syariat islam.

Berlakunya hukum Islam di Aceh Darussalam tidak hanya berlaku di


masyarakat, tetapi berlaku juga di dunia peradilan. Peradilan yang berlaku di
Aceh Darussalam, yakni mahkamah syariat yang terdiri atas dua hal berikut:

1. Mahkamah syariat kabupaten/sagoe dan kota/banda sebagai pengadilan


tingkat pertama.
2. Mahkamah syariat provinsi sebagai pengadilan tingkat banding yang berada
di ibu kota provinsi, yaitu di Banda Aceh, Sedangkan di tingkat kasasi, tetap
berada di Mahkamah Agung Hal itu sesuai dengan ketentuan pasal 24 A
UUD 1945 yang telah diamandemen bahwa Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang dan wewenang lain yang
diberikan oleh undang-undang.

Selain itu, permasalahan lainnya adalah berhubungan dengan


ketidaksesuaian antara aturan syariat dalam Qonun dengan hukum nasional yang
berlaku. Untuk itu, diperlukan penjelasan yang lebih tuntas tetapi bijak sehingga
tidak menimbulkan benturan-benturan, lebih-lebih konflik yang pada akhirnya
justru akan menghambat pelaksanaan syariat (hukum Islam) di Aceh. Kondisi itu
diamini oleh Jazuni bahwa sejak kelahirannya, UU tersebut memang lebih kental
nuansa politisnya.

C. Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji

Undang-Undang nomor 17 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Ibadah


Haji disahkan dan diundangkan di Jakarta pada 3 Mei 1999 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 53, Tambahan Lembar Negara Republik
Indonesia Nomor 3832).

Indonesia termasuk negara yang paling banyak jemaah hajinya. Sebab kuota
yang ditentukan oleh Arab Saudi adalah 1 persen dati total jumlah penduduk
suatu negara. Indonesia berpenduduk sekitar 250 juta, maka kuota haji sekitar
250 ribu jiwa.

Agar penyelenggaraan haji bisa berjalan lancar, tidak ada kesulitan, baik di
dalam negeri maupun ketika di luar negeri, maka diperlukan manajemen yang
baik. Apalagi haji dilaksanakan jauh dari negeri Indonesia yaitu lebih dari
10.000 mil, melibatkan banyak orang dan departemen, dilaksanakan serentak
dengan jutaan manusia dari seluruh dunia dalam satu tempat dan waktu yang
sama. Untuk itu pemerintah harus terlibat langsung dalam penyelenggaraannya,
sebab menyangkut nama baik negara Indonesia.

Untuk mendukung upaya penyelenggaraan ibadah haji yang efektif, efisien,


dan terlaksana dengan sukses, maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Kemudia
ditindaklanjuti dengan keputusan Menteri Agama Nomor 224 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh. Sebelum itu, pada masa
penjajahan Belanda pernah berlaku perundang-undangan penyelenggaraan haji,
yaitu Ordonansi Haji Tahun 1922 Nomor 698 termasuk perubahan dan
tambahannya serta Pelgrins Verodening tahun 1938.19

Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji terdiri dari 15 bab dan 30


pasal. Secara global isinya sebagai berikut:

Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1-3), Bab II Asas dan Tujuan (Pasal 4-5), Bab
III Pengorganisasian (Pasal 6-8), Bab IV Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
(Pasal 9-11), Bab V Pendaftaran (Pasal 12-14), Bab VI Pembinaan (Pasal 15),
Bab VII Kesehatan (Pasal 16), Bab VIII Keimigrasian (Pasal 17), Bab IX
Transportasi (Pasal 18-20), Bab X Barang Bawaan (Pasal 21), Bab XI
Akomodasi (Pasal 23-24), Bab XIII Penyelenggaraan Ibadah Umrah (Pasal 25-
26), Bab XIV Ketentuan Pidana (Pasal 27-28), Bab XV Ketentuan Peralihan
(Pasal 29), dan Bab XVI Ketentuan Penutup (Pasal 30).

19
Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dan Tata
Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Mediapratama, 2001), hal. 187
D. Undang-Undang Perbankan Syariah

Sejak lahirnya perbankan syariah, yaitu pada 1991 melalu bank Muamalat
Indonesia (BMI). Perkembangan perbankan syariah di Indonesia berkembang
dengan pesat dan kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan
syariah semakin meningkat. pengaturan mengenai perbankan syariah di dalam
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 belum spesifik, sehingga
perlu diatur dalam Undang-Undang tersendiri, yaitu Undang-Undang No. 21
Tahun 2008 tentang perbankan Syariah.

Undang-undang tentang perbankan syariah diperlukan, karena perbankan


syariah mempunyai kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional.
Salah satu kekhususan tersebut adalah larangan riba dalam berbagai bentuk nya,
dan menggunakan sistem antara lain prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi
hasil, bank syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena
semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan maupun potensi risiko yang
timbul, sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang antara bank dan
nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan mendorong pemerataan
ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak hanya dnikmati oleh pemilik
modal, tetapi juga oleh pengelola modal.

Akan yang digunakan dalam perbankan syariah sebagai berikut.

1. Akad wadi’ah adalah akad penitipan barang atau uang antara pihak yang
mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan
tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau
uang.
2. Akad mudarabah dalam menghimpun dana adalah akad kerja sama suatu
usaha antara pihak pertama (malik, sahibul mal, atau nasabah) sebagai
pemilik dana dan pihak kedua (amil, mudarib, atau bank syariah) yang
bertindak sebagai pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai
dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
3. Akad mudarabah dalam pembiayaan adalah akad kerja sama suatu usaha
antara pihak pertama (malik, sahibul mal, atau bank syariah) yang
menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (amil, mudarib, atau nasabah)
yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha
sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian
ditanggung sepenuhnya oleh bank syariah kecuali jika pihak kedua
melakukan kesalahan yang di sengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
4. Akad musyarakah adalah akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentuu yang masing-masing pihak memberikan porsi
dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana
masing-masing.
5. Akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan
harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang
lebih sebagai keuntungan yang disepakati. Yang dimaksud dengan “akad
salam” adalah akad pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan
pembayaran yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang
disepakati.
6. Akad istishna adalah akad pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati antara pemesan atau pembeli dan penjual atau pembuat.
7. Akad qardh adalah akad pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan
bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu
yang telah disepakati.
8. Akad ijarah adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak
guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa bersarkan transaksi sewa,
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
9. Akad ijarah muntahiya bittamlik adalah akad penyediaan dana dalam rangka
memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan
transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.
10. Akad hawalah adalah akad pengalihan utang dari pihak yang berutang
kepada pihak lain yang wajib menanggung atau membayar.
11. Akad kafalah adalah akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak
kepaa pihak lain di mana pemberi jaminan bertanggung jawab atas
pembayaran kembali utang yang menjadi hak penerima jaminan (makful).
12. Akad wakalah adalah akad pemberian kuasa kepada penerima kuasa untuk
melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi kuasa.

Lahirnya undang-undang tentang perbankan syariah akan menjamin


kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan pada
masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa bank syariah, dan yang tidak
kalah penting diharapkan memobilisasi dana dari negara-negara lain, khusus
negara-negara Timur Tengah yang tunduk kepada prinsip-prinsip ekonomi
syariah.

Undang-undang tentang perbankan syariah mengatur tentang jenis-jenis


usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan
larangan bagi bank syariah maupun Unit Usaha Syariah (UUS), dan diatur pula
kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah meliputi kegiatan
usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, garar, haram, dan zalim.

Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tiidak sah (batil) antara lain
dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas,
dan waktu penyerahan (fadhk), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang
mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang
diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah); maisir,
yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti akan
bersifat untung-untungan; garar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak
dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat
transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah; haram, yaitu transaksi
yang objeknya dilarang dalam syariah; atau zalim, yaitu transaksi yang
menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
Untuk menjamin dari kegiatan-kegiatan usaha yang melanggar prinsip
syariah, dalam undang-undang tentang perbankan syariah diatur mengenai
masalah kepatuhan syariah yang kewenangannya pada Mejelis Ulama Indonesia
(MUI) yang dipresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS).

Untuk menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam


peraturan Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentuk Komite
Perbankan Syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilan dari Bank
Indonesia, Departemen Agama dan unsur masyarakat yang komposisinya
berimbang.

Undang-Undang Perbankan Syariah dalam hal penyelesaian sengketa


menganut asas opsional, yaitu dilakukan melalu peradilan agama (sesuai dengan
ketentuan UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989
tentang peradilan agama) atau melalui pengadilan di lingkungan peradilan
umum sepanjang disepakati di dalam akad oleh para pihak. Selain itu,
penyelesaian sengketa dapat pula diselesaikan melalui musyawarah, mediasi
perbankan, dan lembaga arbitrasi.

Untuk menerapkan subtansi undang-undang tentang perbankan syariah,


maka pengaturan terhadap UUS (Unit Usaha Syariah) yang secara korporasi
masih berada dalam satu entitas dengan Bank Umum Konvensional, di masa
depan, apabila telah berada pada kondisi dan jangka waktu tertentu diwajibkan
untuk memisahkan UUS menjadi Bank Umum Syariah dengan memenuhi tata
cara dan persyaratan yang ditetapkan dengan peraturan Bank Indonesia.

Lahirnya undang-undang tentang perbankan syariah diharapkan dapat


mempercepat tujuan pembangunan nasional, yaitu terciptanya masyarakat adil
dan makmur. Oleh karena itu, diperlukan partisipasi dan kontribusi semua
elemen masyarakat guna mendukung akselerasi ekonomi dalam upaya
merealisasikan tujuan pembangunan nasional, melalui Perbankan Syariah yang
berlandaskan kepada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan dan
keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Sehingga bank syariah menjadi bank yang
sehat, mandiri, andal, dan mampu bersaing di kancah perekonomian
internasional.20

20
Burhanudin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII, 2008), hal.26

Anda mungkin juga menyukai