PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Perkembangan
2. Hukum
3. Islam
4. Orde baru
5. Reformasi
B. Hukum islam
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI TENGAH DINAMIKA SOSIAL
POLITIK ORDE BARU
Lahirnya orde baru ditandai dengan lahirnya surat perintah 11 Maret 1966.
Tumbangnya Orde Lama (umat islam mempunyai peran besar di dalamnya) dan
lahirnya Orde Baru merupakan angin segar yang memberi harapan baru lagi
perkembangan hukum Islam di Indonesia. Beberapa hal yang menandai harapan
baru itu sebagai berikut :
1
Abdulghani H. Roeslan, Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia,(Jakarta: Pustaka Antar
Kata, 1983), hal.45
2
Heru Cahyono. 1992. Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980, dari Pemilu Sampai Malari.
Jakarta: Sinar Harapan. Hal. 74
Azhar dinyatakan bahwa masyumi akan dihidupkan kembali di masa Orde Baru.
Pada Tahun 1967, Mohammad Hatta (mantan Wapres) bersama beberapa
eksponen HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan PII (Partai Islam Indonesia)
bermaksud mendirikan partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). Pada awal
orde baru beberapa tokoh Muhammadiyah bermaksud mengaktifkan kembali
Partai Islam Indonesia (PII).3
Orde Baru, tidak saatnya lagi berbicara tentang ideologi politik, karena
strategi pembangunan diarahkan pada penekanan pembangunan di bidang
ekonomi. Sedangkan pembangunan di bidang politik semata-mata berperan
sebagai penunjang untuk melaksanakan pembangunan ekonomi tersebut.
Harapan baru bagi umat islam untuk memantapkan keberadaan hukum islam
dalam tata hukum di Indonesia pada awal Orde Baru ini juga disertai dengan
kekecewaan baru. Kekecewaan baru muncul karena ternyata setelah
pemerintahan Orde Baru memantapkan kekusaannya, mereka segera melakukan
kontrol yang lebih ketat terhadap kekuatan politik Islam, terutama pada
kelompok radikal yang dikhawatirkan dapat menandingi kekuatan pihak
pemerintah. Pengawasan terhadap politik Islam tersebut terus diperketat, bahkan
disertai dengan isu-isu sensitif trauma masa lalu tentang pembangkangan
pemimpin-pemimpin Islam. 4
3
Nurcholish Madjid. 1987. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Jakarta: Mizan, hal. 205
4
Hazairin dalam Sayuti Thalib. 1985. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI Pres, hal. 163
mewujudkan suatu negara Islam berubah menjadi perjuangan untuk
mewujudkan masyarakat Islam. Perjuangan untuk mewujudkan hukum islam di
Indonesia yang semula di pandang sebagai suatu perjuangan untuk
memproklasmasi suatu negara Islam secara formal berubah menjadi perjuangan
kultural dari bawah, yakni dengan berusaha keras melakukan penerapan praktis
dari hukum Islam dengan tetap bertitik tolak pada “Piagam Jakarta”.
5
Halim, Op.Cit, hal 78
6
Sumitro, dkk, politik Hukum Islam, Op.Cit, hal 34
Selain itu, dengan pendapatnyya, Mohammad Roem berharap bahwa nilai
kerohanian yang terdapat dalam Piagam Jakarta itu akan tetap menjadi dokumen
historis bagi bangsa Indonesia, khususnya orang-orang Islam Indonesia untuk
selama-lamanya. Dengan demikian, hukum islam tidak lapuk karena
perkembangan dasar-dasar kenegaraan.
Pada tahun 1952, juga telah diatur oleh Menteri Agama tentang wali
hakim di Jawa dan Madura. Ketentuan itu mengatur prosedur pencatatan
nikah, talak, rujuk, serta masalah wali, tetapi undang-undang mengenai
perkawinan sendiri belum ada. Pada tahun 1950, pemerintah membentuk
7
Sultan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hal 125
sebuah panitia yang bernama Panitia penyelidik Peraturan dan Hukum
Perkawinan, Talak dan Rujuk yang diketuai oleh Teuku Mohammad Hasan.
Pada tahun 1952, akhirnya panitia itu telah selesai membuat RUU
Perkawinan. Namun, rencana tersebut tidak jadi dilangsunkan ke DPR pada
waktu itu, karena banyak di kritik oleh beberapa golongan. Panitia tersebut
kemudian menyusun undan-undang perkawinan yang bersifat khusus bagi,
golongan Islam, Katolik, Protestan dan sebagainya. Akhir tahun 1954,
panitia yang dimaksud telah menyelesaikan rencana undang-undang tentang
pernikahan menurut Islam, tetapi pantia tersebut bukan lagi di ketuai oleh
Mr. Mohammad Hasan, melain kan Mr. Purwosutcipto dari Departemen
Agama. Pada tahun 1958, RUU pernikahan Umat Islam ini diajukan ke
DPR, tetapi pada waktu yang bersamaan muncul RUU atas inisiatif
Ny.Sumari dkk. Yang bersifat nasional. Kedua rancangan undang-undang itu
tidak berhasil dijadikan undang-undang dan dikembalikan kepada
pemerintah. Pada tahun 1967, pemerintah kembali mengajukan RUU tentang
pernikaan umat Islam. Rancangan ini dibahas oleh DPRGR pada waktu itu
bersama –sama dengan rancangan undang-undang tentang ketentuan pokok
perkawinan yang diajukan oleh pemerintah.8
Pada waktu berikut nya(1968), RUU perkawinan umat islam dan RUU
yang diajukan oleh pemerntah itu mengalami nasib yang sama seperti RUU
sebelumnya, karena fraksi Katolik yang ada di DPRGR waktu itu menolak
untuk membahas RUU yang ada hubungan dengan agama. Menurut mereka,
berdasarkan dua belah pedang untuk ajaran Nasrani, pemerintah dan DPR
tidak berhak membicarakan RUU tersebut. Yang menjadi inti dari penolakan
itu, yakni orang-orang Katolik di indonesia tidak setuju kalau hukum agama
Islam itu dijadikan hukum positif oleh pemerintah. Atau, mereka tidak setuju
umat islam mempunyai undang-undang perkawinan, sedangkan untuk orang
Katolik atau Kristen telah ada undang-undang yang dimaksud yang dibuat
oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1933, yaitu Ordonansi
Perkawinan Kristen di Indonesia sejak tahun 1917 telah berlaku hukum
perdata Barat dengan sedikit perubahan.
8
Sumitro, dkk, Politik Hukum Islam, Loc.Cit, hal 55
Kedua RUU yang ditolak oleh fraksi katolik itu kemudian ditarik oleh
pemerintah pada tahun 1973, pemerintah memajukan lagi RUU perkawinan.
RUU perkawinan yang sekarang menjadi UU No.1/1974 itu merupakan
RUU perkawinan nasional yang berlaku untuk semua warga negara dengan
ciri khas “sekuler”. Pengambil alihan pasal-pasal yang terdapat dalam B.W.
menimbulkan masalah-masalah dalam proses pembicaraan RUU didalam
DPRGR yang kurang lebih selama satu tahun, terutama dalam bulan Juli,
Agustus, September, Oktober, November dan Desember 1974. Pembicaraan
mengenai RUU Perkawinan menjadi topik yang tidak saja hangat, tetapi
panas, baik di lingkungan DPR maupun di kalangan masyarakat Indonesia.
9
Arifin Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, (jakarta: Gema Insani, 2004), hal 90
sepenuhnya mengoper pasal 34 BW yang tidak memperbolehkan seorang
perempuan kawin lagi, kecuali setelah 300 hari semenjak perkawinan terahir
diputuskan.
Masalah lain yang juga dianggap prinsipil pada waktu itu yakni
mengenai kedudukan anak yang lahir diluar perkawinan. Dalam RUU
tersebut anak alam diakui kedudukannya. Pasal ini di pandang sebagai
“legalisasi perzinahan” menurut hukum Islam. Selain itu yang dianggap
prinsipil yakni mengenai kedudukan anak angkat yang statusnya sama
seperti anak kandung yang didalam RUU itu disebut dalam “anak sah” bagi
pasangan suami istri yang mengangkatnya dan telah putus hubungan dengan
orang tua kandungnya.
10
M. Rusli Karim. Tanpa Tahun. Dinamika Islam di Indonesia, Suatu Tinjuan Sosial dan Politik.
Jakarta: Hanindita, hal. 75
11
Boedi Harsono. 1983. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Jambatan, hal.19
a) RUU tersebut ditarik kembali atau ditangguhkan pembicaraannya
atau dijadikan RUU perkawinan umum tetapi tidak berlaku bagi umat
Islam.
b) Tanpa melegalisasi perzinahan.
Pada kondisi dan situasi seperti itu, pimpinan FPP melalui Majelia
Syuro mengambil inisiatif menghadapi presiden Soeharto untuk
menyampaikan keberatannya mengenai isi RUU keperkawinan. Menurut
penilaian FPP, isu RUU tersebut bertentangan dengan nilai-nilai
pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara Republik
Indonesia.
12
Boland B.J, Pergumulan Islam di Indonesia, (jakarta: Grafiti Pers, 2001), hal.134
Pada saat bersamaan, juga telah terjadi demonstrasi yang dilakukan
oleh organisasi pelajar Islam. Bahkan, reaksi kelompok Islam waktu itu
terjadi dimana-mana. Reaksi umat Islam tersebut disamping karena RUU
perkawinan isinya berbenturan dengan masalah aqidah, juga
dilatarbelakangi oleh situasi politik saat itu, misalnya sebagai berikut :
a) Parpol Islam baru saja kalah dalam Pemilu 1971 dan gejala
depolitisasi Islam tampak sehingga kelompok Islam sangat
mengkhawatirkan keberadaan mereka. Apalagi, waktu itu
pemerintah menghimbau untuk tidak menggunakan kata Islam
dalam PPP hasil fusi.
b) Umat Islam sangat cemas dengan misi kristenisasi yang ramai
sejak tahun 1970-an.13
Varian konflik Islam dalam era 1970-an semakin meluas sebanding dengan
banyaknya potensi sumber konflik, baik internal maupun eksternal. Keadaan itu
terjadi akibat proses terbentuknya Orde Baru Meskipun umat Isalam dilibatkan
secara aktif dalam memberantas PKI yang berarti pula dilibatkan dalam
pendirian dalam pendirian Orde Baru. Namun, kebijakan politik Orde Baru
menempatkan kelompok agama (Islam) dalam posisi “pinggiran” dan para tokoh
agama pun tidak menduduki posisi strategis dalam kelompok perekayasa
pembangunan. Bersamaan dengan itu, ABRI telah memilih para teknokrat,
ekonom, dan pengusaha Cina sebagai mitranya. Sementara para politisi tidak di
ikutsertakan karena dianggap tidak mendukung modernisasi yang diinginkan.
Semua sumber kekuasaan dalam era itu dikontrol ketat oleh ABRI,
sedangkan corak kehidupan beragama juga dikendalikan oleh kekuatan ABRI
sehingga periode ini disebut juga sebagai periode regulasi kehidupan keagamaan
oleh pemerintah bersama-sama ABRI. Menurut M.Rusli Karim, setidaknya
terdapat 12 corak konflik pada era Orde Baru sebagai berikut:
Kedua, isu reaktualisasi yang dimotori oleh Munawir Sadzali telah membuat
polemik yang berkepanjangan. Konflik itu juga tidak terlepas dari kelompok
tradisional yang merasa posisinya disingkirkan.
Keenam, konflik intem umat Islam, khususnya dalam tubuh dua organisasi
Islam terbesar (NU dan Muhammadiyah) dengan bobot dan nuansa konflik yang
berbeda, serta pola dan cara penyelesaian yang berbeda pula.
Ide asas tunggal ini pada mulanya hanya berlaku untuk partai politik, seperti
yang tertuang dalam pidato kenegaraan Presiden Suharto tanggal 16 Agustus
1982. Bunyi teksnya antara lain sebagai berikut.
“... yang perlu dibulatkan dan ditegaskan adalah asas yang dianut oleh
setiap partai politik dan Golongan Karya. Semua kekuatan sosial politik
terutama partai politik yang masih menggunakan asas lain selain Pancasila
seharusnyalah menegaskan bahwa satu-satunya yang digunakan adalah
pancasila”.
Ide asas tunggal yang semulanya hanya diterapkan untuk partai politik dan
Golkar, ternyata diterapkan pula pada organisasi kemasyarakatan. Perluasan
tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa Ormas ternyata lebih efektif dan
memiliki pengaruh yang besar dalam membawa massanya.
Kekhawatiran kelompok Islam yang tidak setuju dengan asas tunggal bukan
berarti mereka menolak Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup
berbangsa dan bernegara, tetapi mereka tidak sepakat jika Pancasila menempati
derajat yang sama denfan agama. Selain itu, mereka juga khawatir jika misi
organisasi yang dilandasi nilai-nilai keagamaan (ke Islaman) tidak mendorong
angggotanya untuk mencapainya jika tiidak di cantumkan dalam asas organisasi.
Di antara bidang-bidang tersebut yang relevan dengan bahasa buku ini dan
akan dibahas yakni tentang berbagai persoalan yang berkaitan dengan masing-
masing kebijakan di bidang legislatif.
Rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun akhirnya runtuh, dengan
ditandai mundurnya Soeharta dari kursi kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998.
Runtuhnya Orde Baru disusul dengan lahirnya era Reformasi yang di tandai
beberapa tuntuta sekaligus harapan. Tuntutan dan harapan yang relevan dengan
pembahasan ini yakni perubahan sistem politik yang memberikan kebebasan pada
jumlah dan asas yang dianut partai politik. Selain itu, juga terbentuknya hukum
nasional dengan mengakomodasi hukum lokal yang plural, termasuk hukum agama
(hukum Islam).15 Oleh karena itu, pada era Reformasi lahir beberapa perundang-
undangan yang dapat memperkukuh hukum Islam, di antaranya:
15
Warkum Sumitro, Loc. cit., hal.222
Meskipun hukum Islam tidak berkembang lewat jalur struktural partai,
namun hukum Islam pada era reformasi sebagai kelanjutan dari era sebelumnya
dapat berkembang dengan pesat memalui jalur kultural. Hal itu terjadi sebagai
konsekuensi logis dari kemajuan kaum Muslimin (cultural) di bidang ekonomi
dan pendidikan. Perkembangan Islam Budaya pada era reformasi diikuti
perkembangan hukum Islam secara kultural. Keadaan tersebut ditunjang oleh
lahirnya beberapa undang-undang sebagai hukum positif Islam, yaitu UU No. 17
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan UU No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat.16
Pada pemilu tahun 1999 kelompok Islam modernis lebih memilih partai
yang tidak membawa bendera Islam, tetapi memiliki komitmen terhadap Islam
(hukum Islam) karena mereka menilai bahwa politik bukanlah tujuan melainkan
hanyalah salah satu sarana memperjuangkan aspirasi umat Islam. Mereka
menyatakan bahwa aspirasi umat Islam tidak hanya di bidang politik, tetapi juga
di bidang lain seperti ekonomi dan pendidikan. Kelompok itulah yang menjadi
pendukung utama berkembangnya Islam kultural.17
Kelompok Islam moderis ini tidak memilih partai politik yang berlabel
Islam, tetapi lebih mengutamakan komitmen partai kepada perjuangan Islam.
Karena itu, partai Golkar yang notabene simbol kepentingan Orde Baru,
meskipun awal era reformasi menerima hujatan dari massa, tetapi partai-partai
Islam berada di bawah nya. Fenomena itu terulang pada pemilu legislatif tahun
2004 ketika Golkar menempati urutan dibawah nya. Demikian pula pada pemilu
presiden secara langsung tahun 2004, konstelasi ini tidak berubah, Susilo
Bambang Yudoyono, Megawati, dan Wiranto calon dari kelompok nasionalis
pada putaran pertama berturut-turur menempati urutan pertama, kedua dan
ketiga. Sedangkan Amin Rais dan Hamzah Haz calon dari kelompok agamis
(Islam) berada di posisi bawah. Kenyataan tersebut memperkuat asumsi bahwa
gerakan Islam kutural pada era reformasi masih kuat dan akan mempengaruhi
16
Sudirman Tebba, 2001, Islam Pasca Orde Baru, Yogyakarta, Tiara Wacana, hlm 97.
17
Sudirman Tebba, Op Cit, hlm 57
gerakan reformasi kehidupan umat Islam di bidang-bidang lain termasuk bidang
hukum, ekonomi dan sosial pendidika.
Dengan demikian, keberadaan hukum Islam pada era reformasi tidak hanya
terjadi pada tataran struktural tetapi yang lebih menentukan, yakni pada tataran
kultural. Karena itu, transformasi hukum Islam, selain melalu jalur legislasi
dalam bentuk perundang-undangan yang lebih strategis, justru melalui jalur non
legislasi diluar perundang-undangan, yakni secara kultural. Perkembangan
hukum Islam pada era reformasi ini dapat dilihat dari beberapa fenomena
penting berikut :
Aspirasi yang dinamis masyarakat Aceh bukan saja dalam kehidupan adat,
budaya, sosial, dan politik mengadopsi keistimewaan Aceh, melainkan Juga
memberikan jaminan kepastian hukum dalam segala urusan karena dasar
kehidupan masyarakat Aceh yang religius telah membentuk sikap, daya juang
yang tinggi, dan budaya Islam yang kuat, Hal demikian menjadi pertimbangan
utama penyelenggaraan keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999. Pembentukan kawasan sabang
dengan undang-undang Nomor 37 Tahun 2000 adalah serangkaian dari upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh, dan menjadi pendorong
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di kawasan Aceh serta modal bagi
percepatan pembangunan daerah lain.
Indonesia termasuk negara yang paling banyak jemaah hajinya. Sebab kuota
yang ditentukan oleh Arab Saudi adalah 1 persen dati total jumlah penduduk
suatu negara. Indonesia berpenduduk sekitar 250 juta, maka kuota haji sekitar
250 ribu jiwa.
Agar penyelenggaraan haji bisa berjalan lancar, tidak ada kesulitan, baik di
dalam negeri maupun ketika di luar negeri, maka diperlukan manajemen yang
baik. Apalagi haji dilaksanakan jauh dari negeri Indonesia yaitu lebih dari
10.000 mil, melibatkan banyak orang dan departemen, dilaksanakan serentak
dengan jutaan manusia dari seluruh dunia dalam satu tempat dan waktu yang
sama. Untuk itu pemerintah harus terlibat langsung dalam penyelenggaraannya,
sebab menyangkut nama baik negara Indonesia.
Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1-3), Bab II Asas dan Tujuan (Pasal 4-5), Bab
III Pengorganisasian (Pasal 6-8), Bab IV Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
(Pasal 9-11), Bab V Pendaftaran (Pasal 12-14), Bab VI Pembinaan (Pasal 15),
Bab VII Kesehatan (Pasal 16), Bab VIII Keimigrasian (Pasal 17), Bab IX
Transportasi (Pasal 18-20), Bab X Barang Bawaan (Pasal 21), Bab XI
Akomodasi (Pasal 23-24), Bab XIII Penyelenggaraan Ibadah Umrah (Pasal 25-
26), Bab XIV Ketentuan Pidana (Pasal 27-28), Bab XV Ketentuan Peralihan
(Pasal 29), dan Bab XVI Ketentuan Penutup (Pasal 30).
19
Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dan Tata
Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Mediapratama, 2001), hal. 187
D. Undang-Undang Perbankan Syariah
Sejak lahirnya perbankan syariah, yaitu pada 1991 melalu bank Muamalat
Indonesia (BMI). Perkembangan perbankan syariah di Indonesia berkembang
dengan pesat dan kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan
syariah semakin meningkat. pengaturan mengenai perbankan syariah di dalam
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 belum spesifik, sehingga
perlu diatur dalam Undang-Undang tersendiri, yaitu Undang-Undang No. 21
Tahun 2008 tentang perbankan Syariah.
1. Akad wadi’ah adalah akad penitipan barang atau uang antara pihak yang
mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan
tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau
uang.
2. Akad mudarabah dalam menghimpun dana adalah akad kerja sama suatu
usaha antara pihak pertama (malik, sahibul mal, atau nasabah) sebagai
pemilik dana dan pihak kedua (amil, mudarib, atau bank syariah) yang
bertindak sebagai pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai
dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
3. Akad mudarabah dalam pembiayaan adalah akad kerja sama suatu usaha
antara pihak pertama (malik, sahibul mal, atau bank syariah) yang
menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (amil, mudarib, atau nasabah)
yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha
sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian
ditanggung sepenuhnya oleh bank syariah kecuali jika pihak kedua
melakukan kesalahan yang di sengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
4. Akad musyarakah adalah akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentuu yang masing-masing pihak memberikan porsi
dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana
masing-masing.
5. Akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan
harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang
lebih sebagai keuntungan yang disepakati. Yang dimaksud dengan “akad
salam” adalah akad pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan
pembayaran yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang
disepakati.
6. Akad istishna adalah akad pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati antara pemesan atau pembeli dan penjual atau pembuat.
7. Akad qardh adalah akad pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan
bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu
yang telah disepakati.
8. Akad ijarah adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak
guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa bersarkan transaksi sewa,
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
9. Akad ijarah muntahiya bittamlik adalah akad penyediaan dana dalam rangka
memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan
transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.
10. Akad hawalah adalah akad pengalihan utang dari pihak yang berutang
kepada pihak lain yang wajib menanggung atau membayar.
11. Akad kafalah adalah akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak
kepaa pihak lain di mana pemberi jaminan bertanggung jawab atas
pembayaran kembali utang yang menjadi hak penerima jaminan (makful).
12. Akad wakalah adalah akad pemberian kuasa kepada penerima kuasa untuk
melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi kuasa.
Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tiidak sah (batil) antara lain
dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas,
dan waktu penyerahan (fadhk), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang
mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang
diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah); maisir,
yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti akan
bersifat untung-untungan; garar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak
dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat
transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah; haram, yaitu transaksi
yang objeknya dilarang dalam syariah; atau zalim, yaitu transaksi yang
menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
Untuk menjamin dari kegiatan-kegiatan usaha yang melanggar prinsip
syariah, dalam undang-undang tentang perbankan syariah diatur mengenai
masalah kepatuhan syariah yang kewenangannya pada Mejelis Ulama Indonesia
(MUI) yang dipresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS).
20
Burhanudin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII, 2008), hal.26