Anda di halaman 1dari 24

HUKUM ISLAM DALAM

TATA HUKUM NASIONAL

LAMBANG SISWANDI, S.H.,M.H.


A. Pendahuluan
Sistem Hukum Indonesia sebagai akibat dari
perkembangan sejarahnya bersifat
majemuk. Karena sampai sekarang di
negara Republik Indonesia berlaku
beberapa sistem hukum diantaranya,
sistem hukum adat, sistem hukum Islam,
dan sistem hukum Barat.
Sejak awal kehadiran Islam pada abad ke-
tujuh Masehi tata hukum Islam sudah
dipraktekkan dan dikembangkan dlm
lingkungan masyarakat dan peradilan Islam.
Hamka mengajukan bukti adanya karya ahli
hukum Islam indonesia:
1. Shirat al-Thullab;
2. Shirat al-Mustaqim;
3. Sabil al-Muhtadin;
4. Kartagama;
5. Syainat al-Hukm.
Pada era kekuasaan kesultanan dan
kerajaan-kerajaan Islam peradilan agama
sudah hadir secara formal. Ada yang
bernama peradilan penghulu seperti di
Jawa, Mahkamah Syar’iyah di Kesultanan
Islam di Sumatera, Peradilan Qadi di
Kesultanan Banjar dan Pontianak. Namun
pada waktu itu blm disusun buku hukum
positif yang sistematik.
Baru pada tahun 1760 VOC
memerintahkan D.W. Freijer untuk
menyusun hukum yang kemudian dikenal
dengan Compendium Freijer.
Compendium ini dijadikan rujukan hukum
dalam menyelesaiakan sengketa yang
terjadi di kalangan masyarakat Islam di
daerah yang dikuasai VOC.
Pemerintah kolonial memberikan peluang bagi
berlakunya hukum Islam di Indonesia sebagai
politik hukum kolonial yang kompromis, tapi
kenyataannya hukum Islam memang benar-
benar berlaku dalam masyarakat. Oleh karena
itu Van Den Berg berpendapat bahwa hukum
Islam berlaku secara total di Indonesia,
karena seluruh unsur-unsurnya sudah menjadi
bagian dari kehidupan hukum masyarakat di
nusantara ini. Pendapat ini terkenal dengan
teori Receptio in Complexu.
Sesuai pasal 175 ayat (3) RR (Regerings
Reglement) Staatsblad 1855:2 bahwa
hakim di Indonesia hendaknya
memberlakukan gods diens ivetten
(undang-undang agama) dan kebiasaan
penduduk.
Bahkan dalam ayat 4 dinyatakan bahwa
hukum agama itu harus dipakai oleh para
hakim Belanda, jika perkara yang
bersangkutan di bawa ketingkat banding
(hoger beroep).
Dalam perkembangannya, peraturan-peraturan
tersebut dilakukan perubahan secara
berangsung-angsur oleh pemerintah kolonial
untuk mengurangi berlakunya hukum Islam di
Indonesia. Puncak berubahan yakni dengan
dikeluarkannya pasal 134 ayat (2) IS (Indische
Staats Regeling) yang dinyatakan bahwa
dalam hal terjadi perkara perdata antara
sesama orang Islam akan diselesaikan oleh
hakim agama Islam, apabila keadaan tersebut
telah diterima oleh hukum adat mereka dan
sejauh tidak ditentukan lain oleh Ordonansi.
Bersamaan dengan ketentuan pasal134
ayat (2) IS tersebut, telah muncul teori
“Receptie” oleh Snouck Hurgronje yang
isinya sama dengan pengaturan tersebut.
Theorie Receptie yang sampai sekarang
dirasakan besar pengaruhnya terhadap pola
pikir Sarjana Hukum di Indonesia, yang
tentunya sebagian besar beragama Islam.
Setelah Indonesia merdeka dan berlaku
UUD 1945, Indische Staats Regeling (IS)
digantikan fungsinya oleh UUD 1945 yang
sekaligus mengakhiri berlakunya theorie
Receptie. Menurut Prof. Hazairin Guru
Besar Hukum Adat dan Hukum Islam UI,
sejak proklamasi itulah theorie Receptie
sebagai teori “iblis” secara konstitusional
tidak berlaku lagi di dalam tata hukum di
Indonesia.
Berdasarkan pasal 29 UUD 1945 yang
dijiwai oleh semangat “Piagam Jakarta”,
kedudukan hukum Islam diakui
keberadaannya di dalam sistem hukum di
Indonesia. Ini sejalan dengan pemikiran
Hazairin bahwa sila pertama Ketuhanan
Yang Maha Esa yang terdapat di dalam
pembukaan UUD 1945 dan dijadikan garis
hukum dalam batang tubuh UUD 1945
tersebut dijiwai oleh “Piagam Jakarta”.
Ketentuan pasal 29 ayat (1) UUD 1945
“Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa, itu hanya terdapat enam
kemungkinan penafsiran. Tiga di antaranya
yang berhub dengan bahasan ini sebagai
berikut:
1. Dalam negara Republik Indonesia tidak
boleh berlaku sesuatu yang bertentangan
dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat
Islam, kaidah-kaidah Nasrani bagi umat
Nasrani, kaidah-kaidah Hindu bagi umat
Hindu dst.
2. Negara Republik Indonesia wajib
menjalankan syariat Islam bagi orang
Islam, syariat Nasrani bagi orang
Nasrani, syariat Hindu bagi orang Hindu,
syariat Budha bagi orang Budha, yang
sepanjang pelaksanaannya memerlukan
bantuan kekuasaan negara.
3. Syariat yang tidak memerlukan bantuan
kekuasaan negara, setiap pemeluknya
wajib menjalankan sendiri.
Kebijakan pemerintah republik Indonesia
sejak tahun 1945 bertujuan untuk mencapai
kepastian hukum Islam. Namun, Pemerintah
Republik Indonesia tidak memberikan
wewenang yang luas kepada Pengadilan
Agama. Sebaliknya pemerintah Republik
Indonesia ingin mencabut dan membatasi
wewenangnya.
Kepastian hukum Islam dimulai dengan UU
No. 22 tahun 1946. UU tersebut mengatur
pencatatan nikah, talak, dan rujuk untuk
orang Islam dan mencabut peraturan
perundangan Belanda yang tidak jelas.
Selain itu UU No. 22 tahun 1946
mengandung jadwal penyusunan Kompilasi
Hukum Islam.
Di samping itu, Pasal 35 ayat (2) UU No. 19
tahun 1948 menyatakan, perkara-perkara
perdata antara orang Islam yang menurut
hukum yang hidup harus diperiksa dan
diputus menurut hukum agamanya dan
diputus oleh Pengadilan Negeri yang terdiri
atas seorang Hakim yang beragama Islam
sebagai ketua dan dua hakim ahli agama
Islam sebagai anggota yang diangkat oleh
Presiden atas usul menteri Agama dengan
persetujuan Menteri Kehakiman.
Setelah Indonesia merdeka, walau aturan
peralihan menyatakan bahwa hukum yang
lama masih berlaku selama jiwanya tidak
bertentangan dengan UUD 1945, seluruh
peraturan pemerintahan Belanda yang
berdasarkan teori Receptie tidak berlaku lagi
karena jiwanya bertentangan dengan UUD
1945. teori Receptie harus exit karena
bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah
Rasul.
Hazairin menyebut teori Receptie ini
sebagai teori Iblis. Berdasarkan
pendapatnya ini, Hazairin mengembangkan
teori yang disebutnya teori Receptie Exit.
Pokok-poko pikiran Hazairin adalah:
1. Teori Receptir telah patah, tdk berlaku
dan exit dari tata negara Indonesia sejak
1945 dengan merdekanya bangsa
Indonesia dan mulai berlakunya UUD
1945.
2. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat (1)
maka negara Republik Indonesia
berkewajiban, membentuk hukum nasional
Indonesia yang bahannya hukum Agama.
Negara mempunyai kewajiban kenegaraan
untuk itu.
3. Hukum agama yang masuk yang menjadi
hukum nasional Indonesia bukan hukum
Islam saja, melainkan juga hukum agama lain
untuk pemeluk agama lain. Hukum agama di
bidang hukum perdata diserap dan hukum
pidana diserap menjadi hukum nasional
Indonesia.
Di samping Hazairin, ada seorang tokoh
yang menentang juga teori Receptie yaitu
Sayuti Thalib yang menulis buku Receptie a
Contrario; Hubungan Hukum Adat dengan
Hukum Islam. Teori ini mengandung
pemikiran bahwa, “hukum adat baru berlaku
kalau tidak bertentangan dengan hukum
Islam”. Melalui teori ini jiwa pembukaan dan
UUD 1945 telah mengalahkan pasal 134
ayat (2) Indische Staats Regeling itu.
Menurut Ismail Sunny setelah Indonesia
merdeka dan UUD 1945 berlaku sebagai
dasar negara kendati tanpa memuat tujuh
kata dari Piagam Jakarta maka teori Receptie
dinyatakan tidak berlaku lagi dan kehilangan
dasar hukumnya. Selanjutnya hukum Islam
berlaku bagi bangsa Indonesia yang
beragama Islam sesuai dengan pasal 29
UUD 1945. era ini di sebut Sunny sebagai
periode Penerimaan Hukum Islam sebagai
sumber Persuasif (Persuasive source).
Dengan ditempatkannya Piagam Jakarta
dalam Dekret Presiden RI 5 Juli 1959, maka
era ini dapat dikatakan era penerimaan
Hukum Islam sebagai sumber Otoritatif
(authoritative source). Sehingga sering kali
disebut bahwa Piagam Jakarta menjiwai
UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian
kesatuan dalam konstitusi tersebut.
Kata menjiwai bisa bermakna negatif dalam
arti tidak boleh dibuat perundang-undangan
dalam negara RI yang bertentangan
dengan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya. Secara positif maknanya
adalah pemeluk-pemeluk yang beragama
Islam diwajibkan menjalankan syariat Islam.
Untuk itu diperlukan undang-undang yang
akan memberlakukan hukum Islam dalam
hukum Nasional.
SEKIAN DAN TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai