Anda di halaman 1dari 7

TEORI HUB.

HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT


A. Teori Receptio In Complexu
- Dikemukakakan oleh seorang warga Negara Belanda yang bernama : VAN DER BERGH

- Teori ini menyatakan bahwa hukum Islam diberlakukan sepenuhnya oleh orang-orang Islam
sebagai pegangan dalam kehidupan beragama.
- Bagi penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing
Maksudnya : - Bagi orang islam yang telah masuk islam berlaku hukum islam
- Bagi orang hindu tunduk pada hukum hindu
- Bagi orang kristen tunduk pada hukum kristen
- sehingga hukum islam di indonesia meresepsi secara keseluruhan( complexu ) sebagai satu
kesatuan.

- Awal mula terjadinya :

Pada abad ke-19 terjadi gerakan dikalangan banyak orang Belanda yang berusaha menghilangkan
pengaruh hukum Islam, dengan jalan antara lain adanya krestenisasi. Karena kalau berhasil menarik
banyak penduduk pribumi untuk masuk agama Kristen, akan sangat menguntungkan kedudukan
pemerintah Hindia Belanda. Dengan asumsi bahwa yang telah menganut agama Kristen akan
menjadi warganegara yang loyal dan patuh kepada pemerintah Kolonial Belanda.

Kemudian pada tahun 1882 dibentuklah pengadilan agama ditempattempat yang terdapat
pengadilan negeri, yakni Pengadilan Agama berkompeten menyelesaikan perkara-perkata
dikalangan umat Islam yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Sehingga
dengan demikian hukum Islam mendapat pengakuan resmi dan pengukuhan dari pemerintah
Belanda sejak didirikannya pengadilan agama tahun 1882 itu.

Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Lodewijk Willen Christiaan Van Den Breg (1845-
1927) yang tinggal di Indonesia menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia pada hakekatnya telah
menerima sepenuhnya hukum Islam sebagai hukum yang mereka sadari, bagi orang Islam nerlaku
penuh hukum Islam, sebab mereka telah memeluk agama Islam walaupun dalam prakteknya terjadi
penyimpangan-penyimpangan. Oleh karena itu muncullah teori yang dikenal dengan "Theorie
Receptie In Complexu"

B. Teori Receptio
- Tokohnya : Snouck Hugronye, Van Vollen Hoven, Ter Haar

- Teori dimana hukum Islam baru diberlakukan apabila dikehendaki atau diterima oleh hukum adat

- Sehingga dapat dikatakan bahwa teori ini menentang teori yang telah berlaku sebelumnya, yaitu
teori Receptie In Complexu

- Teori ini dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgranje (1857-1936). Yakni penasehat pemerintah
Hindia Belanda dalam Urusan Islam dan bukan dan Bumi Putera.

- Menurut Snouck sikap pemerintah Hindia Belanda sebelumnya menerima teori Receptie In
Complexu bersumber dari ketidaktahuannya terhadap situasi masyarakat pribumi, khususnya
masyarakat muslim, menurutnya sikap terhadap umat islam selama ini merugikan pemerintahan itu
sendiri.

- Snock berharap situasi agar orang-orang pribumi rakyat pada umumnya rakyat jajahan jangan s
sampai kuat memegang agama Islam, sebab pada umumnya orang yang kuat memegang agama
Islam (Hukum Islam) tidak mudah mempengaruhi orang peradapan barat.

- Sebagai penasehat pemerintah Hindia Belanda, Snouck memberikan nasehat yang terkenal denan
sebutan “Islam Policy”, isinya adalah terkait dengan usaha-usaha menarik perhatian masyarakat
pribumi agar lebih dekat dengan kebudayaan Eropa dan Hindia Belanda.

- Akhirnya:
- Peranan hukum Islam dalam tata hukum Republik Indonesia mulai baik kembali yakni pada saat
terbentuknya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dimana
pemimpin-pemimpin Islam memperjuangkan berlakunya kembali hukum Islam dengan kekuatan
hukum Islam sendiri tanpa adanya hubungan dengan hukum adat

-Seluruh peraturan perundangan pemerintah Belanda yang berdasarkan teori resepsi tidak berlaku
lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945

C Teori Receptio Exit


- Tokoh : HAZAIRIN dan SAYUTI THALIB

-Teori Receptio A Contrario adalah kebalikan dari teori resepsi.

- Teori ini oleh Hazairin dan Sayuti Thalib sebagai pematah teori receptie.

- Pada teori ini justru hukum adat-lah yang berada di bawah hukum Islam dan harus sejiwa dengan
hukum Islam, sehingga hokum adat baru dapat berlaku jika telah dilegalisasi oleh hukum Islam.

- Sayuti Thalib menyatakan bahwa dalam hukum perkawinan dan kewarisan bagi umat Islam berlaku
hukum Islam.

- Teori ini mengemukakan bahwa hukum adat bisa berlaku bagi orang Islam Manakala tidak
bertentangan dengan hukum Islam

- Hukum Islam pada pelaksanaanya tidak berdasar pada hukum adat.

- Oleh karenanya Presiden Republik Indonesia pertama berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta
menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi. Sedangkan maksud
dari kata “Menjiwai” secara negatif berarti bahwa tidak boleh dibuat peraturan perundangan dalam
negara Indonesia yang bertentangan dengan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dan secara
positif berarti bahwa pemeluk-pemeluk Islam diwajibkan menjalankan syariat Islam. Untuk itu harus
dibuat undang-undang yang akan memberlakukan hukum Islam dalam hukum nasional.

D. Teori Receptio A Contractio


- Prof. Sayuti Thalib
-Pandangan Prof. Hazairin dalam teori Receptio Exit diperkuat oleh Prof. Sayuti Thalib. Menurut Prof.
Sayuti, hukum yang berlaku bagi masyarakat adalah hukum agama yang dipeluknya, hukum adat
hanya berlaku bila tidak bertentangan dengan hukum agama yang dipeluk oleh masyarakat.
Pandangan ini dikenal dengan sebutan teori ‘receptie a contrario

- Menurut Yahya Harahap dalam bukunya Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat Dalam Hukum
Adat (hal. 62) teori atau ajaran penetrasi persentuhan Hukum Islam dan adat secara receptio
contorario, banyak sekali penganutnya di kalangan penulis-penulis hukum.

Sebagaimana pernah dijelaskan oleh Hamka yang dikutip oleh Yahya Harahap (hal. 62) inti pokok
yang terkandung dalam ajaran teori receptio a contrario antara lain:

1. Telah berkembang suatu garis hukum hampir di seluruh kepulauan nusantara;

2. Garis hukum itu: “hukum adat hanya dapat berlaku dan dilaksanakan dalam kehidupan pergaulan
masyarakat jika hukum adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Lebih lanjut Yahya Harahap (hal. 63) menjelaskan jika teori resepsio mengatakan bahwa Hukum
Islam baru dapat dilaksanakan sebagai norma hukum apabila Hukum Adat telah menerimanya
sebagai hukum, maka teori receptio a contrario adalah kebalikannya

- Menurut ajaran ini (receptio a contrario – red), hukum Adat yang menyesuaikan diri ke dalam
Hukum Islam. Atau Hukum Adat yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat adalah norma Hukum
Adat yang sesuai dengan jiwa Hukum Islam. Jika norma Hukum Adat tersebut tidak sejalan dengan
jiwa dan semangat Hukum Islam, maka Hukum Adat tersebut harus dijauhkan dari kehidupan
pergaulan lalu lintas masyarakat.
KOMPLIKASI HUKUM ISLAM
Pengertian Komplikasi Hukum Islam
Kata Kompilasi diambil dari bahasa Latin compilare, yang kemudian berkembang menjadi
compilation dalam bahasa Inggris dan compilatie dalam bahasa Belanda.

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan rangkuman dari berbagai kitab yang ditulis oleh
ulama fikih yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan
dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan .

Kompilasi Hukum Islam berisi tentang hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan sebagai hasil
serangkaian kegiatan penelitian melalui jalur pengkajian kitab-kitab fiqih, wawancara dengan para
ulama, cendekiawan, yurisprudensi Peradilan Agama1 oleh satu panitia yang dibentuk Mahkamah
Agung dan Menteri Agama RI, hasilnya dilokakaryakan di Jakarta pada tanggal 2- 5 Februari 1988 dan
telah diterima para alim ulama Indonesia, sehingga disebut dengan fiqih Indonesia yang mampu
menjawab berbagai persoalan masa kini.

Isi Komplikasi Hukum Islam


Kompilasi Hukum Islam terdiri atas tiga buku, masing-masing Buku I: Tentang perkawinan, Buku II:
Tentang kewarisan, dan Buku III: Tentang perwakafan. Kompilasi Hukum Islam terdiri dari 229 pasal
dengan distribusi yang berbeda-beda untuk masing-masing buku. Hukum Perkawinan terdiri atas 19
bab meliputi 170 pasal (1-170), Hukum Kewarisan termasuk wasiat dan hibah terdiri atas 6 bab
meliputi 43 pasal (171- 214) dan Hukum Perwakafan terdiri atas 5 bab meliputi 13 pasal (215-228),
ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut.

Kedudukan KHI daalm Hukum Nasional


Komplikasi Hukum Islam disusun atas prakarsa penguasa negara, dalam hal ini ketua Mahkam Agung
dan Menteri Agama melalui Surat Keputusan Bersama) dan mendapat pengakuan ulama dan unsur.
Secara resmi KHI merupan hasil konsensus (ijma) ulama dari berbagai golongan melalui media loka
karya yang dilaksanakan secara nasional yang kemudian mendapat legalisasi dari kekuasaan negara.

Penyusunan KHI dilakukan melalui beberapa jalur23 . Jalur pertama telaah 38 kitab fikhi dari
berbagai mazhab mencakup 160 masalah hukum keluarga. Telaah kitab fikhi itu dilakukan para fakar
di tujuh IAIN. Jalur Kedua wawancara, 181 ulama yang tersebar di sepuluh daerah hukum peradilan
tinggi agama (Aceh, Medang, Padang, Palembang, Bandung, Surakarta, Surabaya, Banjarmasin,
Ujung Pandang dan Mataram). Jalur ketiga telaah produk pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama yang terhimpun 16 buku. Ia terdiri atas 4 jenis yakni, himpunan putusan PTA, Yurisprudensi
Pengadilan Agama. Jalur Keempat, kajian perbandingan yang berlaku di maroko, Mesir dan Turki.

Dalam perumusan KHI, secara substansial dilakukan dengan mengacu pada sember hukum Islam
yakni al-Quran dan Sunnh Rasul, dan secara hirarki mengacu pada peraturan perundang- 27 | Jurnal
Hukum Diktum, Volume 10, Nomor 1, Januari 2012, hlm 23-39 undangan yang berlaku. Disamping
itu para perumus KHI memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global serta
memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis dan tatanan hukum Adat, yang memiliki titik temu
dengan tatanan hukum Islam. Berkenaan hal itu, dalam beberapa hal maka terjadi modifikasi
kedalam tatanan hukum lainnya itu kedalam KHI.

Dengan demikian KHI merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di Indonesia. Atau
dengan perkatan lain KHI merupakan wujud hukum Islam yang bercorak ke Indonesiaan.25 KHI yang
tertuang dalam instruksi Presiden Nomor I Tahun 1991, dilaksanakan dengan keputusan Menteri
Agama 154 tahun 1991. Penyusuna KHI mengenai perkawinan didasarkan pada undang-undang
Nomor 32 tahun 1954 dan undang-undang Nomor I Tahun I974. Peraturan Pemerintah Nomor 9
tahun 1975. Sedangkan yang berhubungan bidang kewarisan tidak ditemukan peraturan perundang-
undangan yang dijadikan rujukannya. Namun demikian dapat ditemukan dalam Yurisprudensi yang
memuat hal-hal tertentu dari hukum kewarisan26 . Hal itu menunjukkan bahwa KHI merupakan
hukum positif Islam untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang berlaku. Ia memiliki
konsistensi dengan peraturan perundangungdangan yang kedudukannya lebih tinggi dan dijadikan
rujukan

KHI di jadikan pedoman dalam penyelesaian perkara yang diajukan ke pengadilan dalam lingkungan
peradilan Agama. Hal itu dilatarbelakangi penyusunan KHI dilakukan untuk mengisi kekosongan
suptansial yang dijadikan acuan dalam penyelesaian perkara yang diajukan. Namun demikian, hakim
memiliki kebebasan sepanjang tidak ditemukan rujukannya dalam hukum tertulis.

Jadi, kedudukan KHI dalam sistem adalah merupakan hukum positif Islam untuk melaksanakan
peraturan perundangundangan yang kedudukannya lebih tinggi dan dijadikan rujukan. Dalam
hubungan dengan unsur peradilan, KHI dijadikan pedomam dalam penyelesaian perkara yang
diajukan ke pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Hal ini dilatarbelakangi penyusunan KHI
dilakukan untuk mengisi kekosongan hukum subtansial yang dijadikan rujukan dalam penyelesaian
perkara yang diajukan
Pengadilan Agama
Peradilan Agama adalah salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk
menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara
tertentu antara orang-orang yang beragama islam di
bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah.
[1]
 Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh:

 Pengadilan Tinggi Agama (pengadilan tingkat banding)


 Pengadilan Agama (pengadilan tingkat pertama)
 Pengadilan Khusus
 Mahkamah Syar'iyah
 Mahkamah Syar'iyah Provinsi (pengadilan tingkat banding)
 Mahkamah Syar'iyah Kabupaten/Kota (pengadilan tingkat pertama)

Pengadilan Agama, merupakan Pengadilan Tingkat Pertama yang bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam, dibidang : Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah,
Ekonomi Syariah; memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat hukum Islam kepada instansi
pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta dan memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal serta
penentuan arah kiblat dan waktu sholat serta tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau
berdasarkan Undang-undang (Pasal 49 dan 52 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama)

Fungsi Pengadilan Agama antara lain sebagai berikut : 

1. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili dan


menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat pertama
(vide : Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006).
2. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk kepada pejabat
struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik menyangkut teknis yudicial, administrasi
peradilan, maupun administrasi umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan.
(vide : Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor
KMA/080/VIII/2006).
3. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan tugas dan
tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera Pengganti, dan Jurusita/ Jurusita Pengganti di
bawah jajarannya agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya (vide : Pasal 53
ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006) dan terhadap pelaksanaan administrasi
umum kesekretariatan serta pembangunan. (vide: KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
4. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada
instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. (vide : Pasal 52 ayat (1) Undang-undang
Nomor No. 3 Tahun 2006).
5. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis dan
persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan umum/perlengakapan) (vide :
KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).
6. Fungsi Lainnya :
a) Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait,
seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-lain (vide: Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006).
b) Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya serta memberi akses yang
seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era keterbukaan dan transparansi informasi peradilan,
sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007
tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.

Anda mungkin juga menyukai