DI INDONESIA
A. Pendahuluan
Islam datang dengan membawa seperangkat norma syara’ yang mengatur
kehidupan di dunia yang harus dipertahankan umat Islam sebagai konsekuensi dari
keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam pandangan masyarakat Indonesia,
hukum Islam merupakan bagian paling penting dari ajaran agama. Demikian juga
halnya hukum Islam di Indonesia, dalam formulasi yang sangat sederhana dapat
dinyatakan bahwa pada hakikatnya hukum Islam di Indonesia adalah norma-norma
hukum yang bersumber dari syariat Islam yang tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat sepanjang sejarah Indonesia.
Kenyataan pada bangsa Indonesia adalah mayoritas beragama Islam. Seseorang
mengaku dirinya Islam adalah dengan mempraktekkan seluruh hukum Islam sebagai
ajaran Islam. Untuk mengaktualkan dan memberlakukan hukum Islam secara kaffah
bagi pemeluknya, maka para pemikir hukum Islam merumuskan teori berlakunya
hukum Islam. Teori-teori ini dirumuskan dengan tujuan dapat menjadi acuan dan
landasan berpikir tentang bagaimana mengaktualkan hukum Islam dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
1
Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad. Formalisasi Syari’at Islam dalam Perspektif tata Hukum
Indonesia. Bogor : Ghalia Indonesia, hal 73.
Van den Berg mengemukakan hukum agama secara umum, namun uraian-
uraiannya lebih memfokuskan hukum Islam bagi umat Islam di Indonesia.
Penganut teori ini memandang bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat
adalah hukum Islam. Van den Berg juga menulis tentang Islam, salah satunya
adalah Beginselen van het Mohammedaansche Recht, volgen de Imam Abu
Hanifah dan Syafi’i (dasar-dasar Hukum Islam menurut Pandangan Imam Abu
Hanifah dan Imam asy-Syafi’i).2
Pada masa VOC menguasai sebagian wilayah nusantara, mereka tetap
mengakui bahwa bagi penduduk pribumi diberlakukannya hukum agamanya.
Maka dari itu, oleh para ahli Belanda dibuatlah berbagai kumpulan hukum untuk
pejabat Belanda yang dikuasai oleh VOC kemudian Nederlandsch Indie. Yang
terkenal adalah sebagai berikut :
a. Compendium Freijer yang merupakan kitab hukum kumpulan hukum
perkawinan dan hukum kewarisan Islam oleh Pengadilan VOC
b. Cirbonsch Rechtboek, dibuat oleh residen Cirebon.
c. Compendium der Voornaamste.
Sebelum van den Berg, ada penulis Belanda yang menulis tentang Islam di
Indonesia, khususnya di Jawa. J.E.W. van Nes pada tahun 1850 menerbitkan
Boedelsscheidengen of Java volgens de kitab Saphi’i. Oleh karena itu, pada waktu
van den Berg di Indonesia, dengan kenyataan hukum yang ada di Indonesia, ia
menegaskan politik hukum yang masih berjalan dengan merumuskan “bagi rakyat
pribumi, yang berlaku bagi mereka adalah hukum agamanya”, teori ini disebut
teori reception in complexu.3
3. Teori Receptie
Teori ini dikemukakan oleh Prof. Christian Snouck Hurgronye (1857-1936),
lalu dikembangkan oleh C. Van Vollenhoven dan Ter Haar. Snouck Hurgronye
2
Yaswirman. Hukum Keluarga : Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau. Jakarta : Rajawali Pers, 2013, hal 66.
3
Rahmat Djatnika, dkk. Hukum Islam di Indonesia : Pengembangan dan Pembentukan. Bandung
PT Remaja Rosdakarya, 1994, hal 120.
adalah seorang penasihat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1898 tentang
soal-soal Islam dan anak negeri.
Secara bahasa, teori ini berarti penerimaan, pertemuan. Hukum adat sebagai
penerima dan hukum Islam sebagai yang diterima. Jadi hukum Islam baru bisa
berlaku jika telah diterima atau masuk ke dalam hukum adat. Menurut teori ini,
hukum bangsa Indonesia pada hakikatnya bukanlah hukum yang berasal dari
negara lain, tetapi hukum yang hidup dan yang dipraktekkan masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari.
Teori receptie menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya
berlaku hukum adat, hukum Islam berlaku apabila norma hukum Islam itu telah
diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Teori ini berpangkal pada
keinginan Snouck Hurgronye agar orang-orang pribumi rakyat jajahan jangan
sampai kuat memegang Islam dan Hukum Islam tidak mudah dipengaruhi oleh
peradaban Barat.4
Snouck Hurgronye mengatakan bahwa hukum adat adalah adat yang
mempunyai akibat hukum sebagai lawan dari kebiasaan lainnya yang tidak
memberikan akibat hukum. Hubungan yang telah dipelajari oleh Snouck
Hurgronye tentang hubungan hukum adat dan hukum Islam diantaranya
melahirkan anjurannya untuk memanipulir kesetiaan masyarakat terhadap agama
dengan mempertentangkannya dengan kesetiaannya terhadap adat.
Snouck Hurgronye dan van Vollenhoven berupaya mengembangkan teori
ini lebih lanjut. Van Vollenhoven sebagai penentang kodifikasi dan unifikasi
hukum yang dirancang oleh Pemerintah Hindia Belanda berusaha
menomorsatukan hukum adat dari sistem hukum lainnya. Sikap van Vollenhoven
bukan menentang kodifikasi hukum bagi semua golongan penduduk Indonesia
Pada mulanya pemerintah Hindia Belanda kurang tanggap terhadap
pemikiran van Vollenhoven karena merasa tidak perlu adanya unifikasi hukum di
negeri jajahan. Tetapi van Vollenhoven dapat meyakinkannya bahwa hukum
Barat dipaksakan berlaku bagi pribumi Indonesia, maka yang akan mengambil
4
Rahmat Djatnika, dkk. Hukum Islam di Indonesia : Pengembangan dan Pembentukan. Bandung
PT Remaja Rosdakarya, 1994, hal 122.
keuntungan adalah hukum Islam. Karena hukum Barat yang tumbuh dan
berkembang dari asas moral dan etika kristen itu tidak disukai oleh kebanyakan
masyarakat Indonesia yang beragama Islam.
Nasihat Snouck Hurgronye kepada pemerintah Hindia Belanda berisi
kebijakan terhadap Islam, yaitu sebagai berikut :
a. Dalam kegiatan agama, hendaknya pemerintah Hindia Belanda memberikan
secara jujur tanpa syarat bagi orang-orang Islam untuk melaksanakan ajaran
agamanya.
b. Dalam lapangan kemasyarakatan, hendaknya pemerintah Hindia Belanda
menghormati adat istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku
Dapat disimpulkan bahwa teori receptie yaitu, hukum Islam dapat berlaku
apabila sudah diterima oleh masyarakat adat sebagai hukum adatnya. Wilayah
Indonesia dikembangkan 19 wilayah hukum adat, dan 19 wilayah hukum adat
tersebut memiliki hukum adat yang berbeda. Dengan adanya teori ini, Snouck dan
van Vollenhoven terlalu menempatkan porsi hukum adat yang luas sehingga
memperkecil porsi hukum Islam.5
5
Yaswirman. Hukum Keluarga : Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau. Jakarta : Rajawali Pers, 2013, hal 83.
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Prof Hazairin juga menyebutkan
bahwa teori recepti adalah teori iblis.
Menurut Hazairin, bahwa teori receptie bertentangan dengan Al-Qur’an dan
As Sunnah serta UUD 1945. Dengan melihat pada pasal 29 ayat 1 bahwa fungsi
besar dalam tata hukum Indonesia dalam kehidupan bernegara tidak boleh ada
hukum yang bertentangan dengan ajaran atau aturan Tuhan Yang Maha Esa.
Hazairin juga mengungkapkan pemikirannya bahwa setelah Indonesia merdeka,
hendaknya orang Islam Indonesia menaati hukum Islam karena hukum itu
merupakan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. .6
Tentang teori receptie, Prof Hazairin menyatakan bahwa;
a. Teori receptie telah patah, tidak berlaku dan exit dari tata negara Indonesia
sejak Tahun 1945 dengan merdekanya bangsa Indonesia dan memulai
berlakunya UUD 1945 dan dasar negara Indonesia. Demikian pula keadaan
itu setelah adanya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali pada
UUD 1945.
b. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 maka negara Republik Indonesia
berkewajiban membentuk hukum nasional Indonesia bahannya adalah hukum
agama. Negara mempunyai kewajiban kenegaraan untuk itu.
c. Hukum agama yang masuk dan menjadi hukum Nasional Indonesia itu bukan
hukum Islam saja, melainkan juga hukum agama lain untuk pemeluk agama
lain. Hukum agama di bidang hukum perdata dan hukum pidana diserap
menjadi hukum nasional Indonesia. Istilah hukum baru Indonesia dengan
dasar Pancasila.7
Dapat disimpulkan bahwa teori receptie harus exit dari sistem hukum
nasional karena dianggap bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah serta tidak
sejalan dengan konstitusi Negara Republik Indonesia.
6
Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad. Formalisasi Syari’at Islam dalam Perspektif tata Hukum
Indonesia. Bogor : Ghalia Indonesia, hal 83.
7
Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum. Jakarta : Tintamas 1974, hal 251.
5. Teori Receptie a Contrario
Teori ini adalah pengembangan ajaran Prof Hazairin, teori receptie exit. Ia
menulis buku Receptie A Contrario : Hubungan Hukum Adat dengan Hukum
Islam, buku ini mengungkapkan bahwa perkembangan hukum Islam dari segi
poitik hukum penjajah Belanda selama di Indonesiasehingga menghasilkan teori
receptie. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sayuti Thalib dalam buku
menyebutkan bahwa
a. Bagi orang Islam berlaku hukum Islam
b. Hal tersebut sesuai dengan cita-cita hukum, cita-cita batin dan moralnya.
c. Hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan agama
Islam dan hukum Islam.8
8
Sajuti Thalib, Receptio A Contratrio, Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam. Jakarta: Bina
Aksara, 1985, hal 69.
a. Pada prinsipnya dalam kaitannya dengan perintah Tuhan dan Rasul adalah
wajib
b. Larangan pada dasarnya adalah ketidakbolehan untuk dikerjakan (haram)
c. Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum selama tidak bertentangan dengan
hukum Islam.
Dari paparan di atas, teori ini lebih mendahulukan hukum Islam dalam
kedudukannya di dasarkan pada A-Qur’an dan Sunnah, jadi bagi masyarakat
Islam berlaku hukum Islam yang berprinsip bahwa keyakinan agama dan
keyakinan hukum merupakan kelanjutan dari keyakinan Tuhan dalam hukum
Islam.9
6. Teori Eksistensi
Teori ini dikemukakan oleh H. Ichtijanto S.A., dosen pengajar di Fakultas
Pascasarjana Universitas Indonesia. Ia berpendapat bahwa teori eksistensi dalam
kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya
hukum Islam di dalam hukum nasional. Teori ini mengungkapkan bahwa bentuk
eksistensi hukum Islam sebagai salah satu hukum nasional ialah sebagai berikut;
a. Ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia
b. Ada dalam arti adanya keberadaan, kemandirian, kekuatan dan wibawanya
diakui oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional
c. Ada dalam hukum nasional Indonesia dalam arti norma hukum Islam
berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia
d. Ada dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional
Indonesia.10
9
Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad. Formalisasi Syari’at Islam dalam Perspektif tata Hukum
Indonesia. Bogor : Ghalia Indonesia, hal 87.
10
S.A.Ichtianto, Pengadilan Agama sebagai Wadah Perjuangan Mengisi Kemerdekaan Bangsa,
dalam kenang-kenangan Seabad Pengadilan Agama. Jakarta: Ditbin Perta, 1994, hal 58.
Tunggal Ika yang mewujud dalam kehidupan beragama dan sistem hukum
Indonesia yang bersumber pada hukum adat, hukum Islam dan hukum barat.
Menurut Ichtijanto, perjuangan dalam merumuskan hukum dan Perundang-
undangan Indonesia telah dipengaruhi oleh ajaran Islam tentang teori penataan
hukum, diantaranya teori receptie in complexu, teori receptie, teori receptie exit,
teori receptie a contrario, yang merupakan suatu bukti bahwa hukum tertulis
Indonesia dipengaruhi dan mengambil ajaran hukum Islam. Hal ini diperkuat
dengan berdirinya Departemen Agama pada tanggal 13 Januari 1946. Kenyataan
ini mendorong ditemukannya teori hubungan antara hukum Islam dan hukum
nasional.11
11
Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad. Formalisasi Syari’at Islam dalam Perspektif tata Hukum
Indonesia. Bogor : Ghalia Indonesia, hal 88.
aturan hukum adat karena budaya aslinya masih kental bagi masyarakat hukum adat
sendiri. Penerapan dalam hukum adat sehari-hari juga sering diterapkan oleh
masyarakat. Bahkan bagi hakim, jika ia menghadap sebuah perkara yang itu kaitannya
dengan adat stempat, maka hakim tersebut harus menemukan hukum yang berlaku
dalam aturan yang hidup dalam masyarakat tersebut. Artinya hakim juga harus
mengerti perihal Hukum.12
Pemerintah belanda berasumsi bahwa hukum adat merupakan sistem hukum
yang hidup dan diaplikasikan dalam masyarakat, sementara hukum Islam tidak lain
hanya sistem yang teoretis saja sifatnya, walaupun sebagian besar masyarakat secara
nominal beragama Islam. Namun hukum adat dan hukum Islam daam masyarakat
Indonesia sejatinya berjalan berdampingan dengan lancarnya secara tipika berjaan
berdampingan sesuai dengan juridiksinya masing-masing.
Hukum adat dan hukum Islam di Indonesia merupakan dua sistem hukum yang
saling memberikan pengaruh satu sama lainnya. Seperti pada Pemerintah Belanda yang
mengangkat Penghulu sebagai penasihat. Pemerintah menginstruksikan kepada para
penghulu tersebut untuk mendasarkan keputusan-keputusan yang di ambil pada hukum
adat. Ini juga berarti bahwa para penghulu hanya dapat merujuk kepada hukum Islam
sejauh hukum tersebut benar-benar bersesuaian dengan hukum adat. Namun demikian,
apa yang terjadi adalah bahwa para penghulu tersebut mengikuti cara akomodatif,
dimana solusi yang damai senantiasa mampu dicapai, terutama ketika terjadi konfik
antara kedua sistem hukum tersebut.
Berikut ini adalah ilustrasi tentang bentuk akomodasi antara hukum Islam dan
hukum adat
a. Taklik talak
Dipraktekkan hampir pada setiap perkawinan. Suami pada hal ini harus setuju
bahwa pada waktu ia meninggalkan istrinya untuk beberapa waktu tertentu
dan ia tidak memberikan nafkah selama waktu tersebut, atau mengakibatkan
istrinya dalam keadaan menderita, dan istrinya tidak rela karenanya kemudia
12
Jimly Asshiddiqie. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta :
Bhuana Ilmu Populer,, 2007, hal 126.
mengadukan tindakan suaminya tersebut pada Pengadilan Agama, maka istri
harus dianggap telah diceraikan.
Dilihat dari kebolehan si istri dalam mengambil inisiatif dalam kasus tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa hukum Islam telah mengadaptasikan dirinya
kepada hukum adat.
b. Dalam kasus perceraian khul. Seorang istri dalam beberapa kasus tertentu
dapat memaksa suaminya untuk menerima pengembalian maharnya sebagai
pembayaran dari perceraian . jika suami menolak untuk menerima perceraian
tersebut, maka hakim diperbolehkan untuk memutuskan bahwa suami
dianggap teak mengucapkan sighat talaknya, atau hakim membubarkan ikatan
perkawinan tersebut.
c. Dalam ordonasi perkawinan yang berlaku untuk pulau-pulau di luar Jawa dan
Madura, ditentukan bahwa para pejabat agama Islam pada masyarakat pantai
barat Sumatera dan Tapanuli dilarang untuk melangsungkan upacara
perkawinan tanpa adanya perizinan tertulis dari ketua masyarakat asi dimana
para pihak yang akan melangsungkan perkawinan tersebut berada. Lebih dari
itu, surat perizinan tersebut harus diberikan keterangan bahwa tidak ada
penolakan dari hukum adat masyarakat bagi para pihak yang bersangkutan
untuk melangsukan perkawinan.
Contoh contoh di atas merupakan bukti keharmonisan hubungan antara hukum
adat dan hukum Islam di Indonesia pada masa kolonial. Bentuk akomodasi semacam
itu diperlukan dalam suatu masyarakat di mana orang-orangnya menerima kevalidan
dalam menerima dua sistem hukum tersebut dalam kehidupan keseharian mereka. 13
Dalam rangka mengupayakan untuk mengharmoniskan antara hukum adat
dengan hukum Islam, dibutuhkan kedewasaan para penafsir dan pihak-pihak yang
berwenang yang mengkolaborasikan teks hukum dengan budaya hukum yang
dipraktekkan yang berasal dari adat istiadat lokal untuk mencapai target yang maksimal
dalam mempraktekkan budaya hukum baru.
13
Ratno Lukito. Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta : INIS, 1998,
hal 43-48.
Islam dan budaya masyarakat Indonesia merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan, meskipun akulturasi budaya masyarakat sangat kuat pada masyarakat
Nusantara. Dalam proses akulturasinya, Islam masuk ke Indonesia tanpa paksaan yang
diawali dengan perdagangan dan perkawinan.
Islam telah berkontribusi besar dalam pembinaan moral bangsa Indonesia baik
dalam bentuk teologis, antropologis, maupun kosmologis. Bentuk teologis Islam telah
membentuk masyarakat Indonesiia yang berketuhanan., hal ini tertuang pada sila
pertama Pancasila. Dalam bentuk antropologisnya, Islam berhasil mencerdaskan
masyarakat Indonesia dalam bercocok tanam dan sebagainya. Dalam kosmoogis, Islam
menanamkan tingkat kepedulian bangsa Indonesia terhadap flora dan fauna yang ada. 14
14
Murdan. Pluralisme Hukum (Adat dan Islam) di Indonesia. Dalam Jurnal Mahkamah : Jurnal
kajian Hukum Islam Volume 1 Nomor 1 Juni 2016, hal 55.
KESIMPULAN
Ada beberapa teori-teori berlakunya hukum Islam Indonesia yaitu sebagai
berikut; Teori Penerimaan Otoritas Hukum yang diperkenalkan oleh seorang orientalis
Kristen, H.A.R. Gibb. Teori reception in complexu dipelopori oleh Lodewijk Willem
Christian van den Berg. Teori Receptie dikemukakan oleh Prof. Christian Snouck
Hurgronye lalu dikembangkan oleh C. Van Vollenhoven dan Ter Haar. Teori Receptie
Exit dikemukakan oleh Prof Hazairin. Teori Receptie a Contrario pengembangan
ajaran Prof Hazairin, teori receptie exit yang dilakukan oleh Sayuti Thalib. Dan Teori
Eksistensi ini dikemukakan oleh H. Ichtijanto S.A.
Hukum nasional Indonesia yaitu kumpulan norma-norma hukum masyarakat
yang berasal dari hukum Islam, hukum adat maupun hukum dari Barat, sehingga dalam
penerapannya di tata negara Republik Indonesia, hukum nasional tidaklah lepas dari
hukum adat maupun hukum Islam itu sendiri, karena saling berkaitan satu dengan yang
lainnya.
Islam dan budaya masyarakat Indonesia merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan, meskipun akulturasi budaya masyarakat sangat kuat pada masyarakat
Nusantara. Dalam proses akulturasinya, Islam masuk ke Indonesia tanpa paksaan yang
diawali dengan perdagangan dan perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Rahmat Rosyadi dan Rais. Formalisasi Syari’at Islam dalam Perspektif tata Hukum
Indonesia. Bogor : Ghalia Indonesia.
Asshiddiqie, Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta :
Bhuana Ilmu Populer,, 2007.
Djatnika, Rahmat, dkk. Hukum Islam di Indonesia : Pengembangan dan Pembentukan. Bandung
PT Remaja Rosdakarya, 1994.
Lukito, Ratno. Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta : INIS, 1998.
Sajuti Thalib, Receptio A Contratrio, Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam. Jakarta: Bina
Aksara, 1985.
Yaswirman. Hukum Keluarga : Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau. Jakarta : Rajawali Pers, 2013.