PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan tasyri’ Islam pra kemerdekaan di Indonesia?
2. Bagaimana pembaharuan hukum di Indonesia?
C. Tujuan
Pada pembahasan ini, agar kita sebagai umat Islam di Indonesia bisa
mengetahui dan memahami perkembangan pembaharuan hukum Islam.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Sampai saat ini, di negara Republik Indonesia berlaku berbagai sistem hukum,
yaitu sistem hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat (baik civillaw maupun
common law atau hukum anglo sakson). Dari ketiga hukum tersebut, tampak bahwa
hukum adat dan hukum Islam mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama,
dan hukum Islam merupakan bagian dari rangkaian struktur agama Islam.
Kata “hukum Islam’, tampaknya tidak ditemukan sama sekali dalam Al-
Qur’an, dan yang ada hanyalah kata-kata syariah, fiqih, dan hukum Allah. Pada masa
sekarang ini, yang dikenal dengan hukum Islam terjemahan dari Islamic Law dari
Literatur Barat. Teori hukum yang tumbuh dan berkembang sejak zaman Yunani
sampai zaman modern sekarang, dalam berbagai variannya, mengakui perlunya
perubahan hukum, baik secara teori maupun praktik. Hukum berasal dan ditemukan
dalam masyarakat. Berlainan dengan hukum Islam yang diklaim bersumber dari
Tuhan (Divine law), sering kali diskursus perubahan berhadapan dengan persoalan.
2
Bidang-bidang hukum Islam yang berlaku ketika itu adalah perkawinan,
perwakafan, kewarisan, infak, dan sedekah. Hukum dikatakan hidup dapa dilihat dari
dua segi, yaitu sosiologis dan yuridis.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia
mulai abad ke-7 dan telah dianut sebagian besar orang Indonesia, baik sebagai agama
maupun sebagai hukum. Setelah masuknya agama Islam, ada pegawai khusus yang
mempunyai keahlian dalam hukum Islam, yang kadang-kadang diserahkan juga
urusan mua’malah, iddah. Hadhanah. Waris, dan lainnya, berupaya untuk
memberlakukan untuk seluruh masyarakat Indonesia. Secara ideologis dan politis,
hukum Islam itu sudah ada di Indonesia sejak abad ke-8 Masehi.
3
bahwa peradilan agama merupakan peradilan Islam. Peradilan agama juga merupakan
simbol pikiran fuqaha yang merupakan sejarah yang panjang.
Dari uraian tersebut dapat dipastikan bahwa secara politis sudah ada bada
peradilan, dan hakim yang mengadilinya menggunakan hukum Islam. Bagaimanapun
wujudnya, tidak usah disangsikan, karena sudah terbentuk dalam masyarakat. Dimana
ada hukum, disitu ada hakim. Dimana ada hakim, tentu saja ada pengadilan. Untuk
mengadili pelanggaran terhadap hak-hak dan kepentingan yang kadang-kadang saling
bertentangan. Sebagaimana diungkapkan Hazairin (1982: 6) bahwa salah satu bukti
politik hukum pada zaman Airlangga terdapat prasasti batu dinding candi-candi
mengenai peradilan yang waktu itu dipegang oleh raja sendiri. Demikian juga pada
zaman Hayam Wuruk yang terkenal dengan Kerajaan Majapahit. Disamping itu, raja,
penghulu, atau kepala suku dalam kesatuan masyarakat pada waktu itu menjalankan
peradilan tidak saja di pulau Jawa, tetapi tempat lain di Indonesia. F.H. Der
Kenderenmengemukakan pada asalnya peradilan sepenuhnya berada ditangan kepala-
kepala suku. Penghulu kampung dan penghulu suku menyelesaikan segala perkara
secara kekeluargaan dan damai.
Ketiga, periode tauliyah. Secara filosofis dapat dilihat abhwa pada periode ini
mulai tampak pengaruh ajaran Trias Politica dari Montesquieu Prancis dan teori-teori
sebelum-sebelumnya seperti J.J. Reuseau, Thomas Hobbes, dan John Lock. Periode
ini diidentifikasikan sebagai delegation of authorithy, yaitu penyerahaan kekuasaan
(wewenang) mengadili pada suatu badan yudikatif yang tidak mutlak, seperti di
4
Minangkabau, ada Pucuk Nagari yang menyelesaikan sengketa dalam masalah
keagamaan. Hal ini dibuktikan dengan kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan
Islam untuk daerah-daerah Cirebon, Semarang, Bone Goa (Makassar) serta Papakem
Cirebon.
a. Periode awal—1945,
b. Periode 1945—1985, dan
c. Periode 1985—sekarang
Tidak megherankan jika beberapa badan dan omite negara, seperti dewan
penasihat dan BPUPKI kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei
1943, komite yang terdiri atas 62 orang ini, hanya 11 orang di antaranya mewakili
kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan, “BPUPKI bukanlah
badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang emokratis, meskipun Soekarno dan
Mohammad Hatta berusaha agar anggota bada ini cukup representatif mewakilli
berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia.”
5
ketuhana dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Menurut Muhammad Yamin, kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan
sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.
Pada zaman VOC, kedudukan hukum Islam dalam bidang kekeluargaan diakui
bahkan dikumpulkan dalam sebuah peraturan yang dikenal dengan Compendium
Freijer. Demikian juga telah dikumpulkan hukum perkawinan dan kewarisan Islam di
daerah Cirebon, Semarang, dan Makassar. `
6
dengan istilah godsdien wetten sebagaimana terlihat pada Pasal 75 (lama) Regeering
Reglemen Tahun 1985. Peradilan yang diperuntukkan bagi mereka yang telah
ditentukan, yaitu Pristerrad (Peradian Agama, Stbl. 1882, No. 152 jo 1937 No. 116
dan 610 untuk Jawa Madura dan kerapatan Qadli; Stbl. 1937 No. 638 dan 639 untuk
Kalimantan Selatan dan Timur). Kemudian setelah merdeka, pengadilan Agama atau
mahkamah syariah (PP No. 45/1957 untuk daerah luar Jawa Madura dan Kalimantan
Selatan dan Timur).
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber sumber hukum
nasional tidak begitu tegas pada masa awal orde ini, namun upaya-upaya untuk
mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad
Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan Muhammadiyah yang mencoba
mengajukan rancanga Undang-Undang Perkawinan Umat Islam dengan dukungan
kuat fraksi-fraksi Islam di DPR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan
dengan mengajukan rancangan hukum frontal yang mengatur lembaga peradilan di
Indonesian pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya
UU No. 14/1970 yang mengakui pengadilan agama sebagai salah satu badan peradilan
yang berinduk pada Mahkamah Agung. Melalui UU ini, menurut Hazairin, hukum
Islam dengan otomatis telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri
sendiri.
7
pencatatan nikah, talak, dan rujuk yang masih diatur dalam beberapa peraturan yang
bersifat propensialistis dan tidak sesuai dengan Negara RI sebagai negara kesatuan.
Peraturan-peraturan tersebut ialah Huwellijksordonnantie S. 1929 No. 348 jo S. 1933
No. 98 dan Huwellijksordonnantie Buitengewesten S. 1932 No. 482.
Pada saat itu terjadi pergeseran beberapa bagian hukum Islam ke arah tertulis
dan termuat dalam beberapa bagian penjelasan UU No. 42 Tahun 1946. Dijelaskan
pula bahwa pada saat itu hukum perkawinan, talak dan rujuk bagi umat Islam sedang
dkerjakan oleh Penyidik Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk yang dipimpin oleh
Mr. Teuku Mohammad Hasan.
Hal ini sesuai dengan surat edaran biro peradilan agama (mahkamah syariah)
diluar Jawa dan Madura. Pada huruf b di sura edaran tersebut dijelaskan bahwa untuk
mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara, maka para
hakim pengadilan agama dianjurkan mempergunakan pedoman 13 kitab, yaitu Al-
Bajuri, Fath Al-Mu’min, Syarqawi ‘ala Al-Tahrir, Qulyubi (Muhalli), Fath Al-
Wahhab, Tuhfah, Targhib Al-Musytaq, Qawanin Sya’iyyah li Al-Sayyid bin Yahya,
qawanin Syar’iyyah li Al-Sayyid Shadaqah Dahlan, Syamsuri fi Al—Fara’idh,
Bughyah Al-Mustarasyidin, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, dan Mughni Al-
Muhtaj. Dengan menunjuk 13 kitab tersebut, langkah menuju kepastian hukum
semakin nyata.
8
Setelah adanya kerja sama dengan Mahkamah Agung, maka kegiatan
Departemen Agama dalam mewujudkan kesatuan hukum serta bentuk hukum tertulis
bagi hukum Islam yang sudah berlaku dalam masyarakat dan sebagian lain asih
merupakan hukumm tidak tertulis; menampilkan diri dalam rangkaian seminar,
simposium, lokakarya, serta penyusunan Kompilasi Hukum Islam bidang hukum
tertentu. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain sebagai berikut.
Ide kompilasi hukum islam timbul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung
membina bidang teknis yutisial peradilan agama. Tugas pembinaan ini didasarkan
9
pada UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman pasal II ayat (1) yang menyatakan bahwa organisasi administrasi, dan
keuangan pengadilan dilakukan oleh departemen masing-masing. Sedangkan
pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh Mahkamah Agung. Meskipun undang-
undang tersebut ditetapkan tahun 1970, namun pelaksanaannya dilingkungan
peradilan Agama baru pada tahun 1983, setelah penandatanganan SKB Ketua
Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI No. 01,02,03 dan 04/SK/1-1983 dan No.
1,2,3 dan 4 tahun 1983. Keempat SKB ini merupakan jalan pintas sambil menunggu
keluarnya undang-undang tentang susunan, kekuasaan dan acara pada peradilan
agama yang merupakan peraturan pelaksanaan UU No.14 tahun 1970 bagi lingkungan
peradilan Agama yang pada saat itu masih sedang dalam proses penyusunan yang
intensif
a. Untuk dapat berlakunya Hukum (islam) di Indonesia, harus ada antara lain hukum
yang jelas dan dapat dilaksankan, baik oleh aparat penegak hukum maupun
masyarakat.
b. Persepsi yang tidak seragam tentang syariat sudah dan akan menyebabkan hal-hal
berikut ini:
1) Ketidakseragaman dalam menentukan apa yang disebut hukum islam itu.
2) Tidak ada kejelasan bagaimana cara menjalankan syariat.
3) Tidak mampu menggunakan sarana dan alat yang telah tersedia dalam UUD
1945 dan perundang-undangan lainnya.
c. Sejarah mencatat bahwa hukum islam pernah diberlakukan sebagai perundang-
undangan Negara, Yaitu sebagai berikut:
1) Di India raja Al-Rajeb membuat dan memberlakukan perundang-undangan
islam yang terkenal dengan fatwa Alamfiri.
2) Dikerajaan Turki Utsmani, dikerajaan ini hukum islam dikenal dengan nama
Majallah Al-Ahkam Al-Adiyyah.
3) Di Sudan pada tahun 1983, hukum islam dinegara ini dikodifikasikan
d. Landasan yuridis
10
Landasan yuridis tentang perlunya hakim memerhatikan kesadaran hukum
masyarakat adalah UU No. 14/1970 pasal 20 ayat (1) yang berbunyi, “hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Sementara itu dalam fiqh ada
kaidah yang mengatakan, “hukum islam dapat berubah karena perubahan waktu,
tempat dan keadaan.”
e. Landasan fungsional
Kompilasi hukum islam adalah fiqh Indonesia yang disusun dengan memerhatikan
kondisi kebutuhan hukum umat islam Indonesia.
b. Pelaksanaan proyek
Pelaksanaan proyek dilakukan melalui empat jalur, yaitu:
1) Jalur penelitian kitab
2) Pengolahan data hasil penelitian
3) Lokakarya
4) Inpres No. 1 tahun 1991
1
Dedi Supriyadi, M. Ag. Sejarah Hukum Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2010) hlm. 291-297
11
C. Teori Eksistensi dan Implementasi Hukum Islam Indonesia
1. Teori Kredo atau Syahadat
Teori kredo atau syahadat di sini adalah teori yang mengharuskan pelaksanaan
hukum Islam oleh mereka yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat sebagai
konsekuensi logis dari pengucapan syahadat tersebut. teori ini diambil dari Al-Qur;an:
Q.S. [1]: 5, Q.S. [2]: 179, Q.S. [3]: 7, Q.S. [4]: 13,1 4, 49, 59, 63, 69, 105, Q.S. [5]:
44, 45, 47, 50, dan Q.S. [24]: 51 dan 52.
Teori ini menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam
sebab telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat
penyimpangan-penyimpangan. Teori ini dibangun oleh Lodewijk Willem Christian
van den Berg (1854-1927). Van Den Berg adalah ahli hukum yang menemukan dan
memperlihatkan berlakunya hukum Islam di Indonesia. Dialah yang mengusahakan
agar hukum perkawinan dan kewarisan Islam dijalankan oleh hakim-hakim Belanda
dengan bantuan para penghulu, qadli. Van Den Berg berkata, “Bagi rakyat pribumi,
yang berlaku bagi mereka adalah hukum agamanya.”
3. Teori Receptie
12
4. Teori Receptie Exit
Bapak teori ini bagi hukum Islam di Indonesia adalah hazairin. Ia adalah Guru
Besar Hukum Universitas Indonesia, yang menentang teori yang dikemukakan oleh
Snouck. Ia menyebut teori receptie sebagai teori iblis karena bertentangan dengan Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Ia menyatakan bahwa teori resepsi telah patah, tidak berlaku
lagi, dan keluar dari tata negara Indonesia sejak tahun 1945 merdekanya Indonesia
dan berlakunya UUD 1945 sebagai dasar negara, hukum agama yang masuk dan
menjadi hukum Indonesia bukan hanya Islam saja, melainkan hukum agama lain pun
berlaku bagi pemeluknya. Hukum agama dibidang hukum perdata dan pidana diserap
menjadi hukum tradisional Indonesia. Pendapat Hazairin ini kemudian dikenal
sebagai teori receptie exit.
Inti teori recoin adalah penafsiran kontekstual terhadap tekstual ayat Al-
Qur’an. Menurut Afdol, teori ini didasarkan pada hasil penelitiannya tentang waris
Islam, misalnya pembagian waris antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki mendapat
dua kali bagian anak perempuan. Dengan kata lain, bagian anak perempuan setengah
bagian anak laki-laki.
Teori ini pada dasarnya berbeda istilah meskipun seubstansinya sama dengan
para pemikir, seperti Hasbi Ash-Shiddieqi dengan fiqh ala Indonesia, Pribumisasi ala
Gusdur, Reaktualisasi-Munawir Sadjali, atau Hermenik-Fazlur Rahman.
13
1. Hukum yang berasal dari Adat istiadat dan norma masyarakat yang diterima
secara turun menurun dan berlangsung sejak lama
2. Hukum yang berasal dari ajarn agama
3. Hukum sebagai keseluruhan aturan kehidupan bersama yang berasal dari
kegislator resmi juga disertai dengan sanksi tertentu dalam hal terjadinya
pelanggaran dan dilaksanakan oleh Negara.
Ketiga aturan hukum diatas terdapat dalam budaya hukum Negara republik
Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945. Seperti yang tlah
disinggung, huku adat dan hukum Islam. Lalu dengan berkembannya agama islam,
hukum islam sebagai hukum yang berhubungan dengan keyakinan agama mendapat
tempat tersendiri dalam kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Setelah proklamasi
kemerdekaan indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 syarat dan dasar berlakunya
hukum islam dan hukum agama-agama yang lain adalah pasal 29 ayat (1) dan (2)
UUD 1945 yang berbunyi:
Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menurut seorang praktisi hukum pada dasarnya
mengandung tiga muatan makna
14
kehakiman. Dalam bagian terakhir tiga tulisan tersebut yang berjudul “Eksistensi
Huku Islam Dan Sumbangannya Terhadap Hukum Nasional.” Beliau menyatakan
“tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar rakyat Indonesia terdiri atas pemeluk
agama islam.”
2
Dedi Supriyadi, M. Ag. Sejarah Hukum Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2010) hlm. 309-318
3
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. Ikhtisar Tarikh Tasyri’ (Jakarta: AMZAH, 2013) hlm. 178-186
4
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. Ikhtisar Tarikh Tasyri’ (Jakarta: AMZAH, 2013) hlm. 187-191
15
BAB III
ANALISIS
Peraturan ini memang tidak hanya memuat pemberlakuan hukum Islam dalam
bidang kekeluargaan (Perkawinan dan Kewarisan) akan tetapi juga menggantikan
kewenangan lembaga-lembaga Islam yang dibentuk oleh para Raja atau Sultan Islam
dengan peradilan buatan Belanda.
16
Melalui Staatsblaad No. 152 1882 dibentuklah Pengadilan Agama
dengan nama Priesterraad, yang wewenangnya adalah menyelesaikan
perkara-perkara antara umat Islam menurut hukum Islam.
17
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Islam sudah masuk ke Indonesia mulai abad ke-7 dan telah dianut sebagian
besar orang Indonesia, baik sebagai agama maupun sebagai hukum. Secara ideologis
dan politis, hukum Islam itu sudah ada di Indonesia sejak abad ke-8 Masehi.
B. SARAN
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari
kata sempurna. Banyak kekurangan disana sini untuk itu mohon kiranya para
pembaca sekalian mau memberikan masukan kritik dan saran guna perbaikan dimasa
yang akan datang.
18
DAFTAR PUSTAKA
19