Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tasryi’ memiliki sejarah pertumbuhan dan perkembangan dari masa ke masa,


setapak demi setapak menujuu kesempurnaannya dan selalu sesuai dengan kondisi
masyarakatnya. Sejarah tasyri’ berkembang sejak adanya Islam, yaitu sejak masa
Rasulullah SAW sampai dengan sekarang. Tasyri’ terbentuk sesuai dengan keperluan
yang dibutuhkan masyarakat untuk mengatur kehidupan demi mencapai kesejahteraan
hidup, baik di dunia maupun di akhirat.

Kebutuhan akan adanya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia bagi peradilan


agama sudah lama ditunggu dan menjadi catatan sejarah bagi Kementian Agama RI
yang dahulunya disebut Departemen Agama RI. Keluarnya Surat Edaran Kepala Biro
Peradilan Agama No. B/1/735, tanggal 18 Februari 1958 tentang Pelaksanaan PP No.
45 Tahun 1957 yang mengatur tentang pembentukan peradilan agama atau mahkamah
syariah di luar Pulau Jawa dan Madura menunjukkan salah satu bukti tentang hal
tersebut.

Upaya pemenuhan kebutuhan akan adanya Kompilasi Hukum Islam bagi


peradilan agama merupakan rangkaian pencapaian sebuah cita-cita bangsa Indonesia
yang menyatu dengan sejarah pertumbuhan peradilan agama itu sendiri. Pergeseran
hukum Islam ke arah kesatuan hukum secara tertulis dari beberapa bagian hukum
Islam menjadi kewenangan peradilan agama. Dalam perkembangannya, hukum Islam
di Indonesia mengalami tiga periode yang berbeda.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan tasyri’ Islam pra kemerdekaan di Indonesia?
2. Bagaimana pembaharuan hukum di Indonesia?

C. Tujuan

Pada pembahasan ini, agar kita sebagai umat Islam di Indonesia bisa
mengetahui dan memahami perkembangan pembaharuan hukum Islam.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kronologis Hukum Islam di Indonesia

Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik dengan


kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pancasila adalah dasar ideal negara dan Undang-
Undang Dasar Negara 1945 adalah dasar struktural negara yang
menggambarkannegara Indonesia adalah negara yang menghargai dan menghormati
kehidupan beragama.

Sampai saat ini, di negara Republik Indonesia berlaku berbagai sistem hukum,
yaitu sistem hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat (baik civillaw maupun
common law atau hukum anglo sakson). Dari ketiga hukum tersebut, tampak bahwa
hukum adat dan hukum Islam mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama,
dan hukum Islam merupakan bagian dari rangkaian struktur agama Islam.

Kata “hukum Islam’, tampaknya tidak ditemukan sama sekali dalam Al-
Qur’an, dan yang ada hanyalah kata-kata syariah, fiqih, dan hukum Allah. Pada masa
sekarang ini, yang dikenal dengan hukum Islam terjemahan dari Islamic Law dari
Literatur Barat. Teori hukum yang tumbuh dan berkembang sejak zaman Yunani
sampai zaman modern sekarang, dalam berbagai variannya, mengakui perlunya
perubahan hukum, baik secara teori maupun praktik. Hukum berasal dan ditemukan
dalam masyarakat. Berlainan dengan hukum Islam yang diklaim bersumber dari
Tuhan (Divine law), sering kali diskursus perubahan berhadapan dengan persoalan.

Indonesia adalah salah satu negara yang secara konstitusional tidak


menyatakan diri sebagai negara Islam, tetapi mayoritas penduduknya menganut
agama Islam. Sebagian hukum Islam telah berlaku di Nusantara sejak zaman
kerajaan-kerajaan Islam. Adanya Peradilan Agama dalam Papakeum (kitab) Cirebon
merupakan salah satu bukti. Demikian pula, Kerajaan Sultan di Aceh, Kerajaan Pasai,
Pagar Ruyung dengan Dang Tuanku Bundo Kanduang, Padri dengan Imam Bonjol
(Minangkabau), Demak, Pajang, Mataram, bahkan juga Malaka dan Brunei
Semenanjung Melayu.

2
Bidang-bidang hukum Islam yang berlaku ketika itu adalah perkawinan,
perwakafan, kewarisan, infak, dan sedekah. Hukum dikatakan hidup dapa dilihat dari
dua segi, yaitu sosiologis dan yuridis.

Secara sosiologis, hukum Islam dapat dikatakan berlaku di Indonesua sebab


sebagian hukum Islam telah hidup dan berkembang di masyarakat sejak zaman
kerajaan-kerajaan Islam, masa penjajahan kolonial Belanda hingga zaman
kemerdekaan. Secara yuridis, sebagian hukum Islam telah dilaksanakan. Namun,
penerapan prinsipnya berangsur-angsur dalam pengundangan hukum Islam di
Indonesia.

Sementara itu, Kennet W. Morgan menerangkan bahwa berita yang dapat


dipercaya tentang permulaan Islam di Indonesia adalah berita Marco Polo. Dalam
perjalanannya kembali ke Venezia pada tahun 692 (1292 M), dan setelah bekerja pada
Kubilai Khan di Tiongkok, Marco Polo singgah di Perlak, sebuah kota di Pantai Utara
Sumatra. Menurut Marco Polo, penduduk Perlak ketika itu diislamkan oleh pedagang
yang disebut olehnya kaum Saracen. Wilayah-wilayah di sekitar Perlak didiami oleh
penyembah berhala yang belum beradab. Di Samara, Marco Polo menanti angin yang
baik selama lima bulan. Di situ, ia dan anggota rombongannya harus menyelamatkan
diri dari serangan orang-orang biadab di daerah itu dengan mendirikan benteng yang
dibuatnya dari pancang-pancang. Kota Samara menurut Marco Polo, dan tempat yang
tak jauh dari situ, yang disebutnya Basma, kemudian dikenal dengan nama
Samuderan dan Pasai, dua buah kota yang dipisahkan oleh Sungai Pasai, yang tidak
jauh letaknya di sebelah utara Perlak.

Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia
mulai abad ke-7 dan telah dianut sebagian besar orang Indonesia, baik sebagai agama
maupun sebagai hukum. Setelah masuknya agama Islam, ada pegawai khusus yang
mempunyai keahlian dalam hukum Islam, yang kadang-kadang diserahkan juga
urusan mua’malah, iddah. Hadhanah. Waris, dan lainnya, berupaya untuk
memberlakukan untuk seluruh masyarakat Indonesia. Secara ideologis dan politis,
hukum Islam itu sudah ada di Indonesia sejak abad ke-8 Masehi.

Selanjutnya, perkembangan hukum Islam, dapat ditinjau dari sudut Peradilan


Agama dari masa ke masa. Fenomena ini selaras dengan pikiran Cik Hasan Bisri

3
bahwa peradilan agama merupakan peradilan Islam. Peradilan agama juga merupakan
simbol pikiran fuqaha yang merupakan sejarah yang panjang.

Pada pra-pemerintahan Hindia Belanda dikenal tiga periode Peradilan Agama:


Pertama, periode tahkim, dalam masalah pribadi yang mengakibatkan pembenturan
antara hak dan kepentingan dalam tingkah lakunya. Bertahkim kepada seorang
pemuka agama yang ada ditengah-tengah kelompok masyarakatnya. Misalnya,
seorang wanita yang mempunyai wali bertahkim keada seorang penghulu sebagai wali
yang berhak menikahkan pria idamannya. Kedua, periode ahlul halli wa aqdi. Pada
periode ini, seorang ulama dibaiat, diangkat menjadi qadhi untuk menyelesaikan
setiap perkara yang terjadi diantara mereka. Di Minangkabau dikenal adat nan
di’adatkan yang usang ditinggalkan berangsur-angusr dan akidah Islam dimasukkan,
kemudian hukum syara menanjak, adat menurun. Akhirnya, adat bersendi syara, syara
bersendi kitabullah.

Dari uraian tersebut dapat dipastikan bahwa secara politis sudah ada bada
peradilan, dan hakim yang mengadilinya menggunakan hukum Islam. Bagaimanapun
wujudnya, tidak usah disangsikan, karena sudah terbentuk dalam masyarakat. Dimana
ada hukum, disitu ada hakim. Dimana ada hakim, tentu saja ada pengadilan. Untuk
mengadili pelanggaran terhadap hak-hak dan kepentingan yang kadang-kadang saling
bertentangan. Sebagaimana diungkapkan Hazairin (1982: 6) bahwa salah satu bukti
politik hukum pada zaman Airlangga terdapat prasasti batu dinding candi-candi
mengenai peradilan yang waktu itu dipegang oleh raja sendiri. Demikian juga pada
zaman Hayam Wuruk yang terkenal dengan Kerajaan Majapahit. Disamping itu, raja,
penghulu, atau kepala suku dalam kesatuan masyarakat pada waktu itu menjalankan
peradilan tidak saja di pulau Jawa, tetapi tempat lain di Indonesia. F.H. Der
Kenderenmengemukakan pada asalnya peradilan sepenuhnya berada ditangan kepala-
kepala suku. Penghulu kampung dan penghulu suku menyelesaikan segala perkara
secara kekeluargaan dan damai.

Ketiga, periode tauliyah. Secara filosofis dapat dilihat abhwa pada periode ini
mulai tampak pengaruh ajaran Trias Politica dari Montesquieu Prancis dan teori-teori
sebelum-sebelumnya seperti J.J. Reuseau, Thomas Hobbes, dan John Lock. Periode
ini diidentifikasikan sebagai delegation of authorithy, yaitu penyerahaan kekuasaan
(wewenang) mengadili pada suatu badan yudikatif yang tidak mutlak, seperti di

4
Minangkabau, ada Pucuk Nagari yang menyelesaikan sengketa dalam masalah
keagamaan. Hal ini dibuktikan dengan kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan
Islam untuk daerah-daerah Cirebon, Semarang, Bone Goa (Makassar) serta Papakem
Cirebon.

B. Perkembangan Pembaruan Hukum di Indonesia

Ada tiga periode perkembangan pembaruan hukum Islam di Indonesia yaitu :

a. Periode awal—1945,
b. Periode 1945—1985, dan
c. Periode 1985—sekarang

Periode pertama, hukum Islam mengalami pergeseran dalam kedudukannya


dalam sistem hukum yang berlaku periode kedua, terjadi pergeseran dalam bentuk
hukum yang tertulis. Sementara itu, periode ketiga terjadi perubahan menuju periode
taqnin¸kompilasi hukum Islam sebagai embrionya.

1. Periode Awal—1945 : Pergeseran Dalam Hukum Yang Berlaku

Meskipun pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada


para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya mereka mengubah arah kebijakan
dan membukakan jalan untuk kemerdekaan Indonesia. Mereka mulai “melirik” dan
memberi dukungan kepada para tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, tampaknya
Jepang lebih mempercayai golongan tersebut untuk memimpin Indonesia di masa
depan.

Tidak megherankan jika beberapa badan dan omite negara, seperti dewan
penasihat dan BPUPKI kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei
1943, komite yang terdiri atas 62 orang ini, hanya 11 orang di antaranya mewakili
kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan, “BPUPKI bukanlah
badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang emokratis, meskipun Soekarno dan
Mohammad Hatta berusaha agar anggota bada ini cukup representatif mewakilli
berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia.”

Perdebatan panjang tntang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhri


dengan lahirya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromistis yang
paling penting dalam Piagam Jakarta terdapat pada kalimat negara berdasar atas

5
ketuhana dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Menurut Muhammad Yamin, kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan
sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.

Dengan rumusan semacam ini, lahir sebuah implikasi ang mengharuskan


adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan syariat islam bagi
pemeluk-pemeluknnya. Akan tetapi, rumusan kompromistis Piagam Jakarta itu
akhirnya gagal diterapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh
PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Namun, semua versi
mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen
di Indonesia Timur. Hatta mengatakan bahwa ia mendapat informasi tersebut dari
seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945.

Namun, letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui


Hatta pada saat itu menyangkal hal tersebut. ia bahkan menyebutkan justru
Laturharhary yang menyampaikan keberatanitu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu
dipertanyakan menginga Laturharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh
Kristen dari Indonesia Timur lainnya, telah menyetujui rumusan kompromistis itu saat
sidang BPUPKI.

Hukum Islam di Indonesia merupakan gabungan tiga hukum yang berlaku,


yaitu hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat. Kedudukannya disebutkan dalam
peraturan perundang-undangan yang dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dan
praktik peradilan. Hukum Islam masuk di Indonesua bersamaan dengan masuknya
agama Islam. Kerajaan-kerajaan Islam yang kemudian berdri melaksanakan hukum
islam di wilayahnya masing-masing. Kerajaan-kerajaan itu, misalnya samudra Pasai
di Aceh Utara pada akhir abad XIII; diikuti di antaranya Demak, Jepara, Tuban, dan
Gresik.

Pada zaman VOC, kedudukan hukum Islam dalam bidang kekeluargaan diakui
bahkan dikumpulkan dalam sebuah peraturan yang dikenal dengan Compendium
Freijer. Demikian juga telah dikumpulkan hukum perkawinan dan kewarisan Islam di
daerah Cirebon, Semarang, dan Makassar. `

Pada masa penjajahan Belanda mula-mula hukum Islam bertumpu pada


pikiran Sholten van Haarlem diakui oleh pemerintahan Hindia Belanda secara tertulis

6
dengan istilah godsdien wetten sebagaimana terlihat pada Pasal 75 (lama) Regeering
Reglemen Tahun 1985. Peradilan yang diperuntukkan bagi mereka yang telah
ditentukan, yaitu Pristerrad (Peradian Agama, Stbl. 1882, No. 152 jo 1937 No. 116
dan 610 untuk Jawa Madura dan kerapatan Qadli; Stbl. 1937 No. 638 dan 639 untuk
Kalimantan Selatan dan Timur). Kemudian setelah merdeka, pengadilan Agama atau
mahkamah syariah (PP No. 45/1957 untuk daerah luar Jawa Madura dan Kalimantan
Selatan dan Timur).

Meskipun pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1937 mengeluarkan bidang


kewarisan dan kewenangan pengadilan agama di Jawa dan Madura dengan
dikeluarkan Stbl. 1937 No. 116, namun secara de facto hukum Islam masih tetap
menjadi pilihan umat Islam di Jawa dan Madura intuk menyelesaikan masalah
kewarisan mereka melalui pengadilan agama. Namun demikian, terjaminnya
kedudukan hukum Islam dalam Negara RI sebagai negara hukum berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 tidaklah otomatis memberikan bentuk kepada hukum Islam
sebagaimana hukum tertulis.

2. Periode 1945—1985 : Pergeseran Bentuk Ke Hukum Tertulis

Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber sumber hukum
nasional tidak begitu tegas pada masa awal orde ini, namun upaya-upaya untuk
mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad
Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan Muhammadiyah yang mencoba
mengajukan rancanga Undang-Undang Perkawinan Umat Islam dengan dukungan
kuat fraksi-fraksi Islam di DPR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan
dengan mengajukan rancangan hukum frontal yang mengatur lembaga peradilan di
Indonesian pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya
UU No. 14/1970 yang mengakui pengadilan agama sebagai salah satu badan peradilan
yang berinduk pada Mahkamah Agung. Melalui UU ini, menurut Hazairin, hukum
Islam dengan otomatis telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri
sendiri.

Pemerintah RI menemukan kenyataan bahwa hukum Islam yang berlaku itu


tidak tertulis dan terserak di beberapa kitab yang menjadi perbedaan antarumat Islam.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 dan No. 23 Tahun 1954 dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan mendesak akan adanya kesatuan dan kepastian hukum dalam

7
pencatatan nikah, talak, dan rujuk yang masih diatur dalam beberapa peraturan yang
bersifat propensialistis dan tidak sesuai dengan Negara RI sebagai negara kesatuan.
Peraturan-peraturan tersebut ialah Huwellijksordonnantie S. 1929 No. 348 jo S. 1933
No. 98 dan Huwellijksordonnantie Buitengewesten S. 1932 No. 482.

Pada saat itu terjadi pergeseran beberapa bagian hukum Islam ke arah tertulis
dan termuat dalam beberapa bagian penjelasan UU No. 42 Tahun 1946. Dijelaskan
pula bahwa pada saat itu hukum perkawinan, talak dan rujuk bagi umat Islam sedang
dkerjakan oleh Penyidik Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk yang dipimpin oleh
Mr. Teuku Mohammad Hasan.

Hal ini sesuai dengan surat edaran biro peradilan agama (mahkamah syariah)
diluar Jawa dan Madura. Pada huruf b di sura edaran tersebut dijelaskan bahwa untuk
mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara, maka para
hakim pengadilan agama dianjurkan mempergunakan pedoman 13 kitab, yaitu Al-
Bajuri, Fath Al-Mu’min, Syarqawi ‘ala Al-Tahrir, Qulyubi (Muhalli), Fath Al-
Wahhab, Tuhfah, Targhib Al-Musytaq, Qawanin Sya’iyyah li Al-Sayyid bin Yahya,
qawanin Syar’iyyah li Al-Sayyid Shadaqah Dahlan, Syamsuri fi Al—Fara’idh,
Bughyah Al-Mustarasyidin, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, dan Mughni Al-
Muhtaj. Dengan menunjuk 13 kitab tersebut, langkah menuju kepastian hukum
semakin nyata.

Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 28 Tahun


1977 tentang Perwakafan Tanah Milik merupakan pergeseran bagian-bagian dari
hukum Islam ke arah hukum tertulis. Namun demikian, bagian-bagian lain di
antaranya tentang perkawinan dan kewarisan wakaf menjadi kewenangan peradilan
agama masih berada diluar hukum tertulis.

Dalam rangka mencapai keseragaman tindak antara Mahkamah Agung dan


Departemen Agama dalam pembinaan badan peradilan agama sebgai salah satu
langkah menuju terlaksananya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Di samping itu, untuk menghindari perbedaan
penafsiran dalam pelaksanaan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, pada tanggal 16
September 1976 telah dibentuk panitia kerja sama dengan Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung NO. 04/KMA/1976 yang disebut PANKER MAHAGAM (Panitia
Kerja Sama Mahkamah Agung Departemen Agama).

8
Setelah adanya kerja sama dengan Mahkamah Agung, maka kegiatan
Departemen Agama dalam mewujudkan kesatuan hukum serta bentuk hukum tertulis
bagi hukum Islam yang sudah berlaku dalam masyarakat dan sebagian lain asih
merupakan hukumm tidak tertulis; menampilkan diri dalam rangkaian seminar,
simposium, lokakarya, serta penyusunan Kompilasi Hukum Islam bidang hukum
tertentu. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain sebagai berikut.

1. Penyusunan Buku Himpunan dan Putusan Peradilan Agama, 1976.


2. Lokakarya tentang pengacara pada pengadilan agama, 1977.
3. Seminar tentang hukum waris Islam, 1978.
4. Seminar tentang pelaksanaan UU Perkawinan, 1979.
5. Simposium beberapa bidang hukum Islam, 1982.
6. Simposium Sejarah Peradilan Agama, 1982.
7. Penyusunan Himpunan Nash dan Hujah Syariyah, 1983.
8. Penyusunan Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Peradilan Agama,
1981.
9. Penyusunan Kompilasi Hukum Acara Peradilan Agama I, 1984.
10. Penyusunan Kompilasi Hukum Acara Peradilan Agama II, 1985.
11. Penyusunan Kompilasi Hukum Acara Peradilan Agama III, 1986.
12. Penyusunan Kompilasi Hukum NTCR I dan II, 1985.

Dalam kegiatan-kegiatan tersebut telah diikutsertakan ahli dan beberapa


kalangan hukum terkait, seperti hakim, pengacara, notaris, kalangan perguruan tinggi,
Departemen Kehakiman, IAIN, ulama, para tokoh masyarakat, dan para tokoh
terkemuka.

3. Periode 1985-Sekarang: Menuju Periode Taqnin

Periode ini dimulai sejak ditandatangani surat keputusan bersama ketua


Mahkamah Agung dan menteri Agama RI tentang penunjukan pelaksana proyek
pembangunan hukum islam melalui Yurisprudensi No. 07/KMA/1985 dan No.25
tahun1985 tanggal 25 maret 1985 di Yogyakarta.

1. Latar Belakang Gagasan Kompilasi Hukum Islam

Ide kompilasi hukum islam timbul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung
membina bidang teknis yutisial peradilan agama. Tugas pembinaan ini didasarkan

9
pada UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman pasal II ayat (1) yang menyatakan bahwa organisasi administrasi, dan
keuangan pengadilan dilakukan oleh departemen masing-masing. Sedangkan
pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh Mahkamah Agung. Meskipun undang-
undang tersebut ditetapkan tahun 1970, namun pelaksanaannya dilingkungan
peradilan Agama baru pada tahun 1983, setelah penandatanganan SKB Ketua
Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI No. 01,02,03 dan 04/SK/1-1983 dan No.
1,2,3 dan 4 tahun 1983. Keempat SKB ini merupakan jalan pintas sambil menunggu
keluarnya undang-undang tentang susunan, kekuasaan dan acara pada peradilan
agama yang merupakan peraturan pelaksanaan UU No.14 tahun 1970 bagi lingkungan
peradilan Agama yang pada saat itu masih sedang dalam proses penyusunan yang
intensif

2. Gagasan Dasar Kompilasi Hukum Islam.

Gagasan dasar kompilasi hukum islam dikemukakan oleh prof. H. Busthanul


Arifin, S.H., yang memaparkan sebagai berikut:

a. Untuk dapat berlakunya Hukum (islam) di Indonesia, harus ada antara lain hukum
yang jelas dan dapat dilaksankan, baik oleh aparat penegak hukum maupun
masyarakat.
b. Persepsi yang tidak seragam tentang syariat sudah dan akan menyebabkan hal-hal
berikut ini:
1) Ketidakseragaman dalam menentukan apa yang disebut hukum islam itu.
2) Tidak ada kejelasan bagaimana cara menjalankan syariat.
3) Tidak mampu menggunakan sarana dan alat yang telah tersedia dalam UUD
1945 dan perundang-undangan lainnya.
c. Sejarah mencatat bahwa hukum islam pernah diberlakukan sebagai perundang-
undangan Negara, Yaitu sebagai berikut:
1) Di India raja Al-Rajeb membuat dan memberlakukan perundang-undangan
islam yang terkenal dengan fatwa Alamfiri.
2) Dikerajaan Turki Utsmani, dikerajaan ini hukum islam dikenal dengan nama
Majallah Al-Ahkam Al-Adiyyah.
3) Di Sudan pada tahun 1983, hukum islam dinegara ini dikodifikasikan
d. Landasan yuridis

10
Landasan yuridis tentang perlunya hakim memerhatikan kesadaran hukum
masyarakat adalah UU No. 14/1970 pasal 20 ayat (1) yang berbunyi, “hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Sementara itu dalam fiqh ada
kaidah yang mengatakan, “hukum islam dapat berubah karena perubahan waktu,
tempat dan keadaan.”
e. Landasan fungsional
Kompilasi hukum islam adalah fiqh Indonesia yang disusun dengan memerhatikan
kondisi kebutuhan hukum umat islam Indonesia.

3. Realisasi Kompilasi Hukum Islam


a. Proses pembentukan kompilasi hukum islam

Pembentukan kompilasi hukum islam dilaksanakan oleh tim pelaksana proyek


yang ditunjuk dengan SKB Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No.
07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985. Dalam SKB tersebut,
ditentukan para pejabat MA dan Depag yang ditunjuk beserta jabatannya masing-
masing dalam proyek. Pimpinan umum dipegang oleh Prof. H. Buatanil Arifin, ketua
muda MA RI urusan lingkungan peradilan Agama dan H. Zainul Dahlan, M.A
sebagai wakilnya.

Tugas pokok proyek adalah melaksanakan usaha pembangunan hukum Islam


melalui yurisprudensi dengan jalan kompilasi hukum. Sasarannya adalah mengkaji
kitab-kitab yang dipergunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim agar sesuai
dengan perkembangan masyarakat Indonesia menuju hukum nasional.

b. Pelaksanaan proyek
Pelaksanaan proyek dilakukan melalui empat jalur, yaitu:
1) Jalur penelitian kitab
2) Pengolahan data hasil penelitian
3) Lokakarya
4) Inpres No. 1 tahun 1991

1
Dedi Supriyadi, M. Ag. Sejarah Hukum Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2010) hlm. 291-297

11
C. Teori Eksistensi dan Implementasi Hukum Islam Indonesia
1. Teori Kredo atau Syahadat

Teori kredo atau syahadat di sini adalah teori yang mengharuskan pelaksanaan
hukum Islam oleh mereka yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat sebagai
konsekuensi logis dari pengucapan syahadat tersebut. teori ini diambil dari Al-Qur;an:
Q.S. [1]: 5, Q.S. [2]: 179, Q.S. [3]: 7, Q.S. [4]: 13,1 4, 49, 59, 63, 69, 105, Q.S. [5]:
44, 45, 47, 50, dan Q.S. [24]: 51 dan 52.

2. Teori Receptie in Complexu

Teori ini menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam
sebab telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat
penyimpangan-penyimpangan. Teori ini dibangun oleh Lodewijk Willem Christian
van den Berg (1854-1927). Van Den Berg adalah ahli hukum yang menemukan dan
memperlihatkan berlakunya hukum Islam di Indonesia. Dialah yang mengusahakan
agar hukum perkawinan dan kewarisan Islam dijalankan oleh hakim-hakim Belanda
dengan bantuan para penghulu, qadli. Van Den Berg berkata, “Bagi rakyat pribumi,
yang berlaku bagi mereka adalah hukum agamanya.”

3. Teori Receptie

Teori resepsi dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronye (1857-1936),


yang kemudian dikembangkanoleh C. Van Valenhoven dan Ter Haar. Snouck adalah
penasihat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1898 tentang Islam. Teori ini
menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat. Hukum
Islam berlaku kalau norma hukum Islam telah diterima oleh masyarakat sebagai
hukum adat. Teori ini berpangkal dari Snouck yang berkeinginan bahwa orang-orang
pribumi jangan sampai kuat memegang ajaran Islam, sebab kalau kuat, mereka akan
sulit untuk dipengarui oleh peradaban Barat.

Upaya penyebran teori ini dilakukan dengan cara mengembangkan negara


Indonesia menjadi 19 wilayah hukum adat yang antara adat satu dan yang lainnya
berbeda-beda.

12
4. Teori Receptie Exit

Bapak teori ini bagi hukum Islam di Indonesia adalah hazairin. Ia adalah Guru
Besar Hukum Universitas Indonesia, yang menentang teori yang dikemukakan oleh
Snouck. Ia menyebut teori receptie sebagai teori iblis karena bertentangan dengan Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Ia menyatakan bahwa teori resepsi telah patah, tidak berlaku
lagi, dan keluar dari tata negara Indonesia sejak tahun 1945 merdekanya Indonesia
dan berlakunya UUD 1945 sebagai dasar negara, hukum agama yang masuk dan
menjadi hukum Indonesia bukan hanya Islam saja, melainkan hukum agama lain pun
berlaku bagi pemeluknya. Hukum agama dibidang hukum perdata dan pidana diserap
menjadi hukum tradisional Indonesia. Pendapat Hazairin ini kemudian dikenal
sebagai teori receptie exit.

5. Teori Recoin (Receptio Contextual Interpretario)

Inti teori recoin adalah penafsiran kontekstual terhadap tekstual ayat Al-
Qur’an. Menurut Afdol, teori ini didasarkan pada hasil penelitiannya tentang waris
Islam, misalnya pembagian waris antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki mendapat
dua kali bagian anak perempuan. Dengan kata lain, bagian anak perempuan setengah
bagian anak laki-laki.

Teori ini pada dasarnya berbeda istilah meskipun seubstansinya sama dengan
para pemikir, seperti Hasbi Ash-Shiddieqi dengan fiqh ala Indonesia, Pribumisasi ala
Gusdur, Reaktualisasi-Munawir Sadjali, atau Hermenik-Fazlur Rahman.

Teori-teori diatas pada memperlihatkan bahwa hukum Islam pun memiliki


teori sedari awal dan berbagai teori itu pula yang menunjukkan eksistensi hukum
Islam begitu kuat di Indonesia. Meskipun demikian, teori implementasi tersebut
terbatas pada bidang-bidang tertentu.

D. Kedudukan Hukum Islam Di Indonesia

Bersama dengan adat istiadat, agama juga memainkan peranan dalam


membentuk pengertian dan citra hukum bangsa Indonesia sepanjang sejarah. Oleh
karena itu hukum di Indonesia dapat dilihat dari beberapa hal.

13
1. Hukum yang berasal dari Adat istiadat dan norma masyarakat yang diterima
secara turun menurun dan berlangsung sejak lama
2. Hukum yang berasal dari ajarn agama
3. Hukum sebagai keseluruhan aturan kehidupan bersama yang berasal dari
kegislator resmi juga disertai dengan sanksi tertentu dalam hal terjadinya
pelanggaran dan dilaksanakan oleh Negara.

Ketiga aturan hukum diatas terdapat dalam budaya hukum Negara republik
Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945. Seperti yang tlah
disinggung, huku adat dan hukum Islam. Lalu dengan berkembannya agama islam,
hukum islam sebagai hukum yang berhubungan dengan keyakinan agama mendapat
tempat tersendiri dalam kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Setelah proklamasi
kemerdekaan indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 syarat dan dasar berlakunya
hukum islam dan hukum agama-agama yang lain adalah pasal 29 ayat (1) dan (2)
UUD 1945 yang berbunyi:

1) Negara berdasar atas ketuhanan yang maha esa


2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan keyakinannya itu.

Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menurut seorang praktisi hukum pada dasarnya
mengandung tiga muatan makna

1. Negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan


kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada tuhan yang
maha Esa
2. Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan
kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada tuhan yang
maha Esa
3. Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang melarang
siapapun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama.

Sebuah penelitian tentang tasawuf menyebutkan bahwa beberapa raja dan


sultan di Nusantara berusaha memasyarakatkan ajaran islam. Hukum pada masa ini
merupakan sebuah fase penting dalam sejarah hukum diIndonesia. Mengenai
kedudukan hukum islam, secara khusus telah pula disebutkan oleh menteri

14
kehakiman. Dalam bagian terakhir tiga tulisan tersebut yang berjudul “Eksistensi
Huku Islam Dan Sumbangannya Terhadap Hukum Nasional.” Beliau menyatakan
“tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar rakyat Indonesia terdiri atas pemeluk
agama islam.”

Penegasan terhadap berlakunya hukum islam semakin jelas ketika UU No. 14


tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan
usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum islam dibidang-bidang tertentu.
Upaya ini membuahkan hasil pada bulan februari 1989, ketika soeharto selaku
presiden menerima hasil kompilasi itu dan menginstruksikan penyebarluasannya
kepada menteri Agama. Soeharto akhirnya jatuh, demokrasi dan kebebasan
bergemuruh diseluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang, di era ini
setidaknya hukum islam mulai menempati posisinya secara perlahan tetapi pasti.
Lahirnya Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum danm tata urutan
peraturan perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-
undang yang berlandaskan hukum islam. Terutama pada pasal 2 ayat (7) yang
menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus
dari suatu daerah diindonesia dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan
berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.

2
Dedi Supriyadi, M. Ag. Sejarah Hukum Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2010) hlm. 309-318
3
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. Ikhtisar Tarikh Tasyri’ (Jakarta: AMZAH, 2013) hlm. 178-186

4
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. Ikhtisar Tarikh Tasyri’ (Jakarta: AMZAH, 2013) hlm. 187-191

15
BAB III

ANALISIS

HUKUM ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA

Pada tahun 1760, VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) sebuah


organisasi yang merupakan gabungan perusahaan dagang dan Belanda yang
merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten, Jawa Barat dengan tujuan untuk
berdagang yang kemudian berubah untuk menguasai kepulauan-kepulauan Indonesia.
Karena hali ini kemudian menerima sebuah ringkasan kitab hukum untuk dijadikan
pegangan bagi peradilan-peradilan yang berada di wilayah kekuasaannya dalam
mengatasi persengketaan di kalangan umat Islam. Kitab ini dikenal dengan nama
Compendium Freijer (Diterbitkan pada tanggal 25 Mei 1760) yaitu suatu ringkasang
yang berisikan hukum perkawinan dan kewarisan Islam yang disusun oleh D. W.
Reijer atas permintaan pemerintahan VOC dan mendapatkan perbaikan serta
penyempurnaan dari penghulu dan ulama Islam. Keputusan VOC untuk
memberlakukan beberapa aspek dari hukum Islam ini disebabkan karena sebelumnya
hukum Belanda yang diberlakukan di kota Jakarta dan sekitarnya tidak dapat
dilaksanakan, sehingga akhirnya dengan keterpaksaan VOC harus memberikan
perhatiannya terhadap hukum yang telah hidup dan dijalankan oleh rakyat pribumi di
dalam kesehariannya (Living Law).

Peraturan ini memang tidak hanya memuat pemberlakuan hukum Islam dalam
bidang kekeluargaan (Perkawinan dan Kewarisan) akan tetapi juga menggantikan
kewenangan lembaga-lembaga Islam yang dibentuk oleh para Raja atau Sultan Islam
dengan peradilan buatan Belanda.

L. W. C Van Den Berg dalam masa ini, menamakannya dengan teori


Reception in Complexu (Penerimaan hukum Islam secara utuh/Kompleks). Teori ini
tersebut bisa dilihat dari bukti-bukti sebagai berikut :

 Statu Batavia 1642—yang menyebutkan bahwa—Sengketa warian


antara orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan
mempergunakan hukum Islam.
 Pada tahun 1760, VOC mengeluarkan peraturan senada yang disebut
dengan Resolutie der Indische Regeering.
 Dikeluarkannya Stbl. No. 22 ayat 13 pada tahun 1820 yang
menentukan bahwa Bupati wajib memperhatikan soal-soal agama
islam dan untuk menjaga supaya para pemuka agama dapat melakukan
tugas mereka sesuai dengan kebiasaan orang Jawa seperti dalam soal
perkawinan, pembagian pusaka dan sejenisnya.
 Van Den Berg mengonsepkan Staatsblaad 1882 nomor 152 yang berisi
ketentuan bahwa bagi rakyat pribumi atau rakyat jajahan berlaku
hukum agamanya yang berlaku pada lingkungannya.

16
 Melalui Staatsblaad No. 152 1882 dibentuklah Pengadilan Agama
dengan nama Priesterraad, yang wewenangnya adalah menyelesaikan
perkara-perkara antara umat Islam menurut hukum Islam.

Teori Reception in Complexu ditentang oleh Cornelis Van Valonhoven dan


Christian Snouck Hurgronye yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat
diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Adat. Jadi, dengan
demikian menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum Islam harus diresapi
terlebih dahulu oleh hukum Adat. Oleh karenanya, menurut teori tersebut seperti
hukum kewarisan Islam tidak dapat diberlakukan, karena belum diterima atau
bertentangan dengan hukum Adat. Jadi, yang berlaku bagi Umat Islam adalah hukum
Adat.

Teori Reception in Complexu berpijakpada asumsi dari pemikiran bahwa kalau


orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan yang sama atau dekat dengan
kebudayaan eropa, penjajahan atas Indonesia dapat berjalan dengan baik dan tidak
mendapati hambatan dan goncangan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
Oleh karena itu, pemerintah Belanda mendekati golongan-golongan yang akan
menghidupkan Hukum Adat, membrikan dorongan kepada mereka untuk
mendekatkan golongan hukum Adat kepada pemerintah Belanda. Dengan demikian,
maka pada masa ini hukum Islam mengalami kemunduran sebagai rekayasa Belanda,
dimana letak kekuatan moral Umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada
komitmennya terhadap ajaran Islam.

Bila diperhatikan, perjalanan sejarah penjajahan Belanda sebenarnya memiliki


agenda untuk menghapuskan hukum Islam dari Indonesia demi melanggengkan
kekuasaannya, sehingga dilakukan pengawasan yang ketat terhadap eksistensi hukum
Islam beserta pengadilannya untuk mereduksi setiap ada kesempatan dan secara
perlahan semua hal yang menguntungkan Islam. Dan selain itu juga dapat dilihat
bahwa hukum Islam yang diberlakukan juga bukan merupakan keseluruhan dari
hukum Islam, tetapi hanya sebagian kecil yaitu yang merupakan bidang hukum
perdata saja dan itu pun juga hanyalah diseputar persoalan hukum keluarga,
perkawinan dan kewarisan.

17
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Islam sudah masuk ke Indonesia mulai abad ke-7 dan telah dianut sebagian
besar orang Indonesia, baik sebagai agama maupun sebagai hukum. Secara ideologis
dan politis, hukum Islam itu sudah ada di Indonesia sejak abad ke-8 Masehi.

1. Perkermbangan hukum islam diindonesia ada tiga periode


a. Periode Awal 1945 : pergeseran dalam hukum yang berlaku
b. Periode 1945-1985 : pergeseran bentuk ke hukum tertulis
c. Periode 1985-sekarang : menuju periode taqnin
2. Teori eksistensi dan implementasi hukum islam diindonesia
a. Teori kredo atau syahadat
b. Teori receptie in complexu
c. Teori receptie
d. Teori receptie exit
e. Teori recoin
3. Kedudukan hukum islam diindonesia
Dengan berkembannya agama Islam, hukum islam sebagai hukum yang
berhubungan dengan keyakinan agama mendapat tempat tersendiri dalam kerajaan-
kerajaan Islam Nusantara. Setelah proklamasi kemerdekaan indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945 syarat dan dasar berlakunya hukum islam dan hukum agama-agama
yang lain adalah pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945.

B. SARAN
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari
kata sempurna. Banyak kekurangan disana sini untuk itu mohon kiranya para
pembaca sekalian mau memberikan masukan kritik dan saran guna perbaikan dimasa
yang akan datang.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Dedi Suprayadi, M. Ag. 2010, Sejarah Hukum Islam (Bandung: CV PUSTAKA


SETIA)
2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag.2013, Ikhtisar Tarikh Tasyri’ (Jakarta: AMZAH)

19

Anda mungkin juga menyukai