Anda di halaman 1dari 15

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO

PERLINDUNGAN DAN KEPASTIAN HUKUM HAK ATAS


TANAH

MAKALAH

Diajukan sebagai salah satu pelengkap tugas ketika perkuliahan online / daring.

ALFIAN PRAMADHIKA PUTRA


172040100046

PRODI HUKUM

FAKULTAS BISNIS HUKUM ILMU SOSIAL

2020
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahim

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-
Nya , saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Penulisan ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu tugas perkuliahan online / daring. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan
dan bimbingan dari Ibu Dosen Mauli Diniari SH, M.Kn, MH. Sangatlah sulit dalam
menyelesaikan tugas ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga tugas ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Sidoarjo, 20 Maret 2020

Alfian Pramadhika Putra

ii
ABSTRAK

Penulisan ini membahas bentuk perlindungan dan kepastian hukum terhadap hak atas tanah.
Penulisan ini dilakukan dengan metode normatif secara deskriptif analisis melalui bahan –
bahan kepustakaan dan mengkutip beberapa jurnal – jurnal yang ada. Penulisan ini lebih focus
terhadap perlindungan hukum terhadap hak atas tanah dan kepastian hukum terhadap hak atas
tanah. Diharapkan hasil penulisan ini menyarankan agar setiap subjek hukum wajib mentaati
perundang-undangan yang berlaku secara benar.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum hak atas tanah, Kepastian Hukum hak atas tanah

iii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………………………………ii


Abstrak ……………………………………………………………………………………iii
Daftar Isi ………………………………………………………………………………….iv
BAB I
Pendahuluan ………………………………………………………………………………1
BAB II
Pembahasan ………………………………………………………………………………4
BAB III
Kesimpulan ……………………………………………………………………………….9
Pustaka …………………………………………………………………………………....10

iv
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah


Dalam Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 28 D ayat (1) disebutkan bahwa “setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Ketentuan ini berlaku juga dalam bidang
pertanahan.
Ketentuan kewenangan pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan mengakar
pada pasal 33 ayat (3) Undang – Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa bumi,air,
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan
bagi sebesar – besarnya kemakmuran rakyat kemudian dikokohkan dalam Undang –
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (Lembaran
Negara 1960 -04) atau disebut juga Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA). Selanjutnya
dapat dilihat diberbagai peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Presiden,
dan peraturan yang diterbitkan oleh pemimpin Instansi teknis di bidang pertanahan.
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok
Agraria atau selanjutnya disebut dengan UUPA sebagai unifikasi hukum tanah atas di
seluruh wilayah Republik Indonesia memberikan ketegasan bahwa ada satu sistem hukum
tanah nasional yang sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UUPA bahwa hukum Agraria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan dan kesatuan
bangsa dengan sosialisme Indonesia serta peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu
dengan mengindahkan unsur – unsur yang bersandar pada hukum agama.1
Kewenangan pemerintah dalam mengatur bidang pertanahan terutama dalam lalu
lintas hukum dan pemanfaatan tanah didasarkan pada ketentuan pasal 2 Ayat (2) UUPA
yakni dalam hal kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah termasuk menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah dan juga menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang - orang dengan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai tanah.2 Atas dasar kewenangan tersebut maka berdasarkan pasal 4

1
Indonesia, Undang – Undang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria , UU 5/1960 Pasal 5.
2
Ibid., ps. 2 ayat(2).

1
UUPA ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan oleh negara
(pemerintah) kepada dan dipunyai oleh subyek hukum.3
Pengaturan hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
UUPA :
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan;
d. Hak Pakai;
e. Hak Sewa;
f. Hak Membuka Tanah;
g. Hak Memungut Hasil Hutan;
h. Hak – hak lain yang tidak termasuk dalam hal – hal tersebut diatas yang akan
ditetapkan di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang, serta hak-hak
yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.4
Hak-hak atas tanah yang diberikan kepada subyek hukum yaitu orang atau badan
hukum yang dipersamakan dengan orang adalah hak-hak atas tanah yang bersifat
keperdataan sebagaimana diatur dalam pasal 16 UUPA.5 Hak – hak penguasaan atas tanah
berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya
untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang dihaki. Hak – hak penguasaan atas tanah dapat
diartikan sebagai Lembaga hukum, artinya belum dihubungkan antara tanah dan subjek
tertentu. Sebaliknya, jika sudah dihubungkan antara tanah dengan subjek tertentu sebagai
pemegang haknya, maka hak-hak penguasaan tanah diartikan sebagai hubungan konkret.
Pemberian atau penetapan hak-hak atas tanah termasuk dalam setiap penyelesaian
masalah pertanahan tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk pemberian jaminan
kepastian hukum bagi pemegang haknya. Dalam rangka memberikan jaminan kepastian
hukum yang merupakan salah satu tujuan pokok UUPA maka Undang-undang
menginstruksikan kepada pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh
wilayah Indonesia yang bersifat Rechskadaster artinya tujuan menjamin kepastian hukum
dan kepastian haknya sebagaimana diatur dalam pasal 19 UUPA.6

3
Ibid., ps 4.
4
Ibid., ps 16.
5
Ibid., ps 16.
6
Ibid., ps 19.

2
Sengketa hukum dalam hukum perdata selain sebagai akibat wanprestasi, yaitu
terjadi sebagai akibat perbuatan melawan hukum (onrecht matige daad) yang dalam hukum
perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, “tiap perbuatan
yang melanggar hukum dan membawa kerugian itu karena salahnya untuk mengganti
kerugian itu.” Pasal ini mengatur perihal apabila seseorang telah menderita suatu kerugian
akibat perbuatan melawan hukum oleh orang lain terhadap dirinya, maka dengan timbulnya
kerugian yang bersangkutan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi atau gugatan ganti rugi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraiakan diatas maka dapat diambil
beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Perlindungan Hukum Hak atas tanah
2. Kepastian Hukum Hak atas tanah
1.3 Tujuan Penulisan
Dari penulisan masalah tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa tujuan dari
makalah ini adalah kita sebagai mahasiswa hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah lebih
tahu tentang bagaimana perlindungan dan kepastian hukum hak atas tanah ini.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini menggunakan metode normatif dimana sumber –
sumber data diambilkan dari UUPA dan peraturan pelaksana dibawah Undang – Undang
sesuai hirarki perundangan yang berlaku di Indonesia. Menurut Johnny Ibrahim, penelitian
hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemupakan kebenaran
berdasarkan logika keilmuan dari sisi normatifnya.

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perlindungan Hukum dan Kepastian Hukum
Perlindungan Hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia
yang dirugikan orang lain dan perlindungan hukum tersebut diberikan kepada masyarakat
agar dapat mereka dapat menikmati semua hak – hak yang diberikan oleh hukum atau dengan
kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat
penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari
gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.7
Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai
dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga
memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.8
Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi
individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma
dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar
sesama manusia. Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yang
melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 9
Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah
dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam
peraturan perundangundangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta
memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan sutu kewajiban.
b. Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum represif merupakan
perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang
diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.10
Untuk perlindungan hak atas atas tanah sendiri disesuaikan kembali dengan hak – hak
yang dimiliki oleh setiap individu yang memiliki hak atas tanah tersebut. Tidak ada

7
Muladi. (2005). Hak asasi manusia: hakekat, konsep, dan implikasinya dalam perspektif hukum dan
masyarakat. Refika Aditama.
8
Setiono. Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta. Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret. 2004. hlm. 3
9
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi investor di Indonesia, (Surakarta; magister Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003), hal 14.
10
Ibid. hlm 20.

4
perlindungan hukum tanpa ada nya legalitas dari tanah terlebih dahulu. Jadi bisa diambil
kesimpulan bahwa legalitas hukum atas tanah berkesinambungan dengan perlindungan
hukum hak atas tanah. Maka dari itu betapa pentingnya proses legalisasi setiap tanah agar
memperoleh kepastian hukum yang sah dan dapat dilindungi oleh hukum dan pemerintah
yang berwenang.
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak
menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem
norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.
Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi
norma, reduksi norma atau distorsi norma.
Didalam UUPA pasal 19 ayat (1) berbunyi “Untuk menjamin kepastian hukum oleh
Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan – ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”.11 Dilanjutkan dengan ayat
(2) pasal 19 dijelaskan yang termasuk dalam pendaftaran yakni :
a. Pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. Pendafataran hak-hak atas tanah dan peralihan hak – hak tersebut;
c. Pemberian surat – surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat.

Ayat (3) Pasal 19 menerangkan bahwa “Pendafataran tanah diselenggarakan dengan


mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluaan lalu lintas sosial ekonomi serta
kemungkinan penyelenggaraannya, serta pertimbangan Menteri Agraria. Ayat (4) dengan
pasal yang sama menerangkan bahwa “Dalam peraturan pemerintah diatur biaya – biaya yang
bersangkutan dengan pendaftaran yang dimaksud dalam angka (1) diatas, dengan ketentuan
bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya – biaya tersebut.12

Adapun tata cara pendaftaran tanah yang sebagaimana dimaksud dalam UUPA yakni
Pemohon melengkapi semua persyaratan yang diminta oleh Badan Pertanahan Nasional/ATR
Kabupaten Kudus. Selanjutnya pihak PPAT/pemohon mendaftarkan ke loket BPN dan
membayar biaya, yang mengacu pada PP No. 46 tahun 2002 tentang tarif dan biaya
pendaftaran tanah. Pemohon/PPAT menunggu BPN untuk pengukuran tanah, apabila ada
pengalihan hak maka disertakan akta yang dibuat oleh PPAT untuk peralihan hak

11
Ibid, ps 19.
12
Ibid, ps 19.

5
berdasarkan peta bidang yang sudah keluar, tetapi apabila tidak ada peralihan hak maka
langsung untuk diproses pembuatan sertipikatnya di BPN dalam kurun waktu + 8 (delapan)
bulan sertipikat sudah selesai diproses dan bisa diambil di Kantor Badan Pertanahan
Nasional/ATR Kabupaten Kudus. Sertipikat Sudah jadi Rangkap dua: satu rangkap disimpan
di kantor BPN sebagai buku tanah, dan satu rangkap dipegang seseorang sebagai tanda bukti
kepemilikan atas tanah dan bangunan. Arsip buku tanah tercantum data detail mengenai
tanah, mencakup data fisik maupun data yuridis.13

Dengan telah terdaftar nya suatu tanah atas nama seseorang ini bertujuan untuk
menjamin kepastian hukum tetapi bukan maksudnya akan menggunakan apa yang disebut
dengan sistem positif. Ketentuan tersebut tidak memerintahkannya digunakan sistem positif,
karena pada umumnya sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat dan bukan alat bukti yang mutlak. Hal ini ditegaskan
dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 bahwa pihak lain yang merasa
memiliki tanah dapat menuntut orang yang namanya tercantum dalam sertifikat dalam waktu
5 tahun sejak dikeluarkannya sertifikat itu. Jadi, pendaftaran hak yang diatur dalam peraturan
pemerintah ini tidaklah mutlak, karena orang yang terdaftar dalam buku tanah tidak
mengakibatkan orang yang sebenarnya berhak atas akan kehilangan haknya. Orang tersebut
masih dapat menggugat orang yang tidak berhak.

Demikian pula dengan penjelasan PP No. 24 Tahun 1997 ditegaskan bahwa dalam
pendaftara tanah, sistem publikasinya adalah sistem negatif yang mengandung unsur – unsur
positif, karena akan menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat. Stesel positif dituangkan di dalam hal – hal berikut :

(1) PPAT diberikan tugas untuk meneliti secara materiil dokumen – dokumen yang
diserahkan dan berhak untuk menolak membuatkan akta
(2) Kantor pertanahan kabupaten/kotamadya berhak menolak melakukan
pendaftaran jika pemilik tidak memiliki wewenang.

Campur tangan PPAT dan kantor pertanahan terhadap peralihan hak atas tanah
memberikan jaminan bahwa nama orang yang terdaftar benar-benar yang berhak tanpa
menututp kesempatan kepada yang berhak sebenarnya untuk masih dapat membelanya dalam
UUPA arti pendaftaran tidak ditafsirkan dalam sistem positif akan tetapi harus dikaitkan

13
https://www.cermati.com/artikel/cara-lengkap-mengurussertifikat-tanah-dan-biayanya, diakses pada
tanggal 21 Maret 2020

6
dengan UUPA itu sendiri. Hal tersebut nampak dari pernyataan dalam pasal 19 ayat (2) huruf
c UUPA, bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat
dan dalam pasal 23, pasal 32, dan pasal 38 UUPA bahwa pendaftaran berbagai peristiwa
hukum merupakan alat pembuktian yang kuat.14 Ketentuan ini bertujuan, pada satu pihak
untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada pihak lain untuk secara
seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak, yang dengan iktikad baik menguasai
sebidang tanah dan didaftar sebagi pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertifikat
sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Kelemahan sistem publikasi negatif adalah bahwa pihak yang namanya tercantum
sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu mengahadapi kemungkinan
gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut
diatasi dengan menggunakan lembaga acquisitieve verjaring atau adverse possession.
Hukum tanah kita yang memakai dasar hukum adat tidak dapat menggunakan lembaga
tersebut, karena hukum adat tidak mengenalnya. Akan tetapi, dalam hukum adat terdapat
Lembaga yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam
pendaftaran tanah, yaitu lembaga rechtsverwerking.

Ada beberapa keuntungan dari sistem publikasi positif yakni :

(1) Adanya kepastian hukum bagi pemegang sertifikat;


(2) Adanya peran aktif dari pejabat yang bersangkutan;
(3) Mekanisme kerja dalam penerbitan sertipikat tanah lebih mudah dimengerti oleh
orang biasa.

Ada beberapa kelemahan dari sitem publikasi pofitif yakni :

(1) Dengan selesai dilakukannya pendaftaran atas nama penerima hak, pemegang
hak yang sebenarnya menjadi kehilangan haknya;
(2) Pemegang hak tidak dapat menuntut pembatalan perbuatan hukum
memindahkan hak tersebut kepada pembeli dan dalam keadaan tertentu
seseorang hanya dapat menuntut ganti rugi kepada negara;

14
Ibid, ps 23,32,38.

7
(3) Peran aktif dari para pejabat yang berwenang membutuhkan waktu yang cukup
lama dan mahal serta kewenangan pengadilan hanya diletakkan pada wewenang
administrative saja.15

Sedangkan untuk sistem publikasi negatif keuntungan dan kekurangannya adalah :

(1) Adanya perlindungan terhadap pemegang hak sejati (Keuntungan)


(2) Peranan pejabat yang pasif dan sistem penerbitan sertifikat yang kurang
dimengerti oleh orang biasa (Kekurangan)16

Untuk penerbitan sertifikat dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah
membuktikkan haknya. Sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat, sebagaimana yang
dinyatakan dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA. Pengertian sertifikat sebagai alat
pembuktian yang kuat adalah bahwa data fisik dan data yuridis yang sesuai dengan data yang
tertera dalam Buku Tanah dan Surat Ukur yang bersangkutan harus dianggap sebagai data
yang benar kecuali dibuktikan sebaliknya Pengadilan.17Penerbitan sertifikat atas tanah ini
terdiri :

a. Salinan Bukut Tanah;


b. Surat Ukur atau gambar situasi18

Selama tidak bisa dibuktikan sebaliknya, maka data fisik dan data yuridis yang
tercantum didalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan
perbuatan hukum sehari – hari, maupun dalam berperkara dipengadilan, sehingga data yang
tercantum benar-benar harus sesuai dengan surat ukur yang bersangkutan, karena data yang
diambil berasal dari surat ukur dan buku tanah tersebut.

15
Arie S Hutagulung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta : Lembaga Pemberdayaan
Hukum Indonesia, 2005), hal. 86.
16
Ibid, hal 87.
17
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 478
18
Ibid

8
BAB III

KESIMPULAN

Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa;

(1) Tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan
hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah;
(2) Sertifikat hak atas tanah adalah sebagai bukti hak yang merupakan perwujudan dari
proses pendaftaran tanah yang dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan
hukum bagi pemegangnya;
(3) Yang dilindungi dengan diadakanya pendaftaran tanah yaitu pemegang sertifikat hak
atas tanah, karena dengan dilakukanya pendaftaran tanah berarti akan tercipta kepastian
hukum, kepastian hak serta tertib administrasi pertanahan sehingga semua pihak
terlindungi dengan baik, baik pemegang sertifikat, pemegang hak atas tanah, pihak
ketiga yang memperoleh hak atas tanah maupun pemerintah sebagai penyeleggara
negara.
(4) Sistem pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem publikasai negatif yang
bertendensi positif. Sistem ini pada dasarnya kurang memberikan kepastian hukum
apalagi perlindungan hukum baik kepada pemegang sertifikat, maupun pihak ketiga
yang memperoleh hak atas tanah. Untuk dapat lebih memberikan kepastian hukum
sebaiknya UUPA menganut sistim publikasi positif.

9
DAFTAR PUSTAKA

Chomzah, Ali Achmad, Hukum Pertanahan, Jakarta: Prestasi Pustaka,2003.

Harsono, Budi, Hukum Agraria Indonesia (Kumpulan Peraturan Hukum Tanah), Jakarta:
Djambatan, 2003.

Harsono, Budi, Hukum Agraria Indonesia (Kumpulan PeraturaN Hukum Tanah), Jakarta:
Djambatan, 2006.

Hutagalung, Arie S. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta: Lembaga
Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005)

Santoso, Urip, Hukum Pengadaan dan Pendaftaran Hak Atas Tanah. Fakultas Hukum
Universitas Airlangga. Surabaya. 2009.

Slaats, Herman dkk, Masalah Tanah di Indonesia Dari Masa ke Masa, Lembaga Studi Hukum
dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta, 2007.

Sumardjono, Maria S.W., Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas,
Jakarta. 2005.

Sumardjono, Maria S.W., Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas,
Jakarta, Januari 2008.

Ismaya, Simun, Pengantar Hukum Agraria, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011.

Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi investor di Indonesia, Surakarta; magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003.

Setiono. Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta. Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 2004.

Muladi. . Hak asasi manusia: hakekat, konsep, dan implikasinya dalam perspektif hukum dan
masyarakat. Refika Aditama. 2005.

Undang-undang Dasar 1945

UUPA

Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

10
Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36
Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 tahun 2007 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

11

Anda mungkin juga menyukai