Anda di halaman 1dari 168

COVER

HUKUM KONTRAK DAN


PERANCANGAN KONTRAK
(DALAM HUKUM PERDATA DAN HUKUM
ISLAM)
UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta
Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4
Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf
a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral
dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23,
Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku terhadap:
i Penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau
produk Hak Terkait untuk pelaporan peristiwa aktual
yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan
informasi aktual;
ii Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait
hanya untuk kepentingan penelitian ilmu
pengetahuan;
iii Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait
hanya untuk keperluan pengajaran, kecuali
pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan
Pengumuman sebagai bahan ajar; dan
iv Penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan
pengembangan ilmu pengetahuan yang
memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak
Terkait dapat digunakan tanpa izin Pelaku
Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga
Penyiaran.

Sanksi Pelanggaran Pasal 113


1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan
pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa
izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d,
huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
HUKUM KONTRAK DAN
PERANCANGAN KONTRAK
(DALAM HUKUM PERDATA DAN HUKUM
ISLAM)
FADILLAH MURSID, SHI., MH

Penerbit

CV. MEDIA SAINS INDONESIA


Melong Asih Regency B40 - Cijerah
Kota Bandung - Jawa Barat
www.medsan.co.id

Anggota IKAPI
No. 370/JBA/2020
HUKUM KONTRAK DAN PERANCANGAN KONTRAK
(DALAM HUKUM PERDATA DAN HUKUM ISLAM)
FADILLAH MURSID, SHI., MH
Editor:
Rintho R. Rerung

Tata Letak:
Dina Verawati
Desain Cover:
Syahrul Nugraha
Ukuran:
A5 Unesco: 15,5 x 23 cm
Halaman:
iv, 150
ISBN:
978-623-362-593-7
Terbit Pada:
Juli 2022

Hak Cipta 2022 @ Media Sains Indonesia dan Penulis

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang keras menerjemahkan,


memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit atau Penulis.

PENERBIT MEDIA SAINS INDONESIA


(CV. MEDIA SAINS INDONESIA)
Melong Asih Regency B40 - Cijerah
Kota Bandung - Jawa Barat
www.medsan.co.id
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah berkat rahmat Hidayah dan Ma’unah nya


penulis dapat menyelesaikan buku ini. Salawat dan salam
penulis kirimkan kepada nabi Muhammad Sallallahu
alaihi wasallam, kepada keluarganya, sahabatnya, dan
umatnya yang setia mengikuti acaranya hingga akhir
zaman.

Hukum kontrak di Indonesia didasarkan pada beberapa


ketentuan perundang-undangan. Di antaranya
didasarkan pada buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) yang merupakan terjemahan dari
BW yang sangat dipengaruhi sistem hukum civil law.
Ketentuan tersebut sampai hari ini masih merupakan
hukum positif yang masih berlaku di Indonesia.

Selain hukum kontrak yang didasarkan pada Kitab


Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), hukum
kontrak Islam juga mulai banyak diperlakukan dalam
praktik bisnis di Indonesia. Hal ini terjadi seiring dengan
makin berkembangnya system perdagangan dan
pembiayaan yang didasarkan pada ekonomi syariah.
Apalagi pasca disahkannya Undang-Undang 3 tahun 2006
tentang Perubahan Atas UU 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, ketentuan pasal 49 huruf I secara legal
formal telah memberikan legitimasi terhadap semakin
berkembang nya kontrak kontrak di bidang ekonomi
syariah.

i
Berkaitan dengan hal itu, penulis dalam buku yang
berjudul hukum kontrak dan perancangan kontrak dalam
hukum perdata dan dalam hukum Islam mencoba untuk
menjelaskan bagaimana hukum kontrak baik dalam
hukum perdata maupun dalam hukum Islam. Penulis
sadar bahwa buku ini jauh dari kesempurnaan, penulis
menerima saran konstruktif dari pembaca demi
kesempurnaan buku ini di kemudian hari dan penulis
berharap semoga aku ini bermanfaat.

Palembang, 6 Juni 2022


Fadillah Mursid, SHI., MH., MH

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................i
DAFTAR ISI .................................................................... iii
BAB 1 KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN
(KONTRAK) .............................................................1
Istilah dan Pengertian Perjanjian (Kontrak) .............1
Subjek Perjanjian (Kontrak)...................................10
Objek Perjanjian (Kontrak) ....................................12
Asas-Asas Perjanjian (Kontrak) .............................14
Asas-Asas Perjanjian Dalam Hukum Islam ...........30
BAB 2 LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK) ..................43
Syarat Sahnya Perjanjian (Kontrak).......................43
Perjanjian (Kontrak) Baku .....................................66
BAB 3 PELAKSANAAN PERJANJIAN (KONTRAK) ..........83
Pengertian, Bentuk dan Syarat Prestasi ................83
Pengertian dan Bentuk Wanprestasi .....................93
Keadaan Memaksa (Overmacht) ............................99
BAB 4 HAPUSNYA PERJANJIAN (KONTRAK)...............103
Hapusnya Perikatan dalam Hukum perdata ........103
Hapusnya Perjanjian dalam Hukum Islam ..........119
BAB 5 PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT
DRAFTING) ......................................................... 123
Struktur atau Anatomi Perjanjian (Kontrak) ........125
Tahapan Penyusunan Perjanjian (Kontrak) .........146
DAFTAR PUSTAKA ......................................................151

iii
iv
BAB 1
KERANGKA DASAR HUKUM
PERJANJIAN (KONTRAK)

Istilah dan Pengertian Perjanjian (Kontrak)

Kontrak atau perjanjian ini merupakan suatu hukum di


mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang
saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Biasanya kalau seorang berjanji kepada orang
lain, kontrak tersebut merupakan kontrak yang biasa
diistilahkan kontrak sepihak di mana hanya seorang yang
wajib menyerahkan sesuatu kepada orang lain,
sedangkan orang yang menerima penyerahan itu tidak
memberikan sesuatu sebagai balasan (kontra prestasi)
atas sesuatu yang diterimanya. Sementara itu, apabila
dua orang saling berjanji, ini berarti masing-masing pihak
berhak untuk menerima apa yang dijanjikan oleh pihak
lain. Hal ini berarti bahwa masing-masing pihak dibebani
kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan.1

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah


“persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh
dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan

1
Ahmad Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak , edisi. 1,
cet. 6, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 1.

1
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.” 2


Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah
“persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih,
tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk
menaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.” 3

Dalam Bahasa Arab diksi perjanjian sering dikenal dengan


istilah akad (al-aqd). Secara harfiah, akad (perjanjian)
memiliki arti ikatan (al-robth), mengokohkan atau
meratifikasi, dan persetujuan atau kesepakatan (al-
ittifaq). Secara istilah, Akad adalah pertalian atau
pertautan antara pernyataan kehendak (ijab) dari satu
pihak dan pernyataan penerimaan persetujuan (qabul)
dari pihak lain yang berpengaruh terhadap obyek Akad.4
Secara terminologi fiqh, akad didefinisikan dengan
pertalian ijab dan kabul sesuai dengan kehendak syariat
yang berpengaruh kepada objek perikatan.5 Adapun
makna akad secara syar’i yaitu hubungan antara ijab dan
kabul dengan cara yang dibolehkan oleh syariat yang
mempunyai pengaruh secara langsung.6

2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesi
Edisi Ketiga, Jakarta :
Balai Pustaka. 2005. h. 458
3
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 363.
4
Hasanudin dan Jaih Mubarok, Teori Akad Mu’amalah Maliyyah,
(Bandung: Simbiosa Rekatma Media, 2020), hlm. 25.
5
Abdul Rahman Ghazah, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2018), 51.
6
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah,
2014), hlm. 17.

2
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

Para ilmuan Dalam ilmu hukum perdata mendefinisikan


tentang pengertian perjanjian dengan berbagai macam.
Menurut Djumadi, perjanjian adalah suatu peristiwa di
mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana
dua orang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal.7 Menurut R. Subekti, “Perjanjian adalah suatu
peristiwa di mana ada seorang berjanji kepada orang lain
atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal”.8

Hubungan antara kedua orang yang melakukan


perjanjian mengakibatkan timbulnya suatu ikatan yang
berupa hak dan kewajiban kedua belah pihak atas suatu
prestasi. Perikatan adalah suatu rangkaian perkataan
yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang
diucapkan atau ditulis.9 Janji yang dinyatakan tertulis
pada umumnya disebut dengan istilah perjanjian. Sebagai
perwujudan tertulis dari perjanjian, perjanjian adalah
salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain undang-
undang yang dapat menimbulkan perikatan. Perikatan
adalah suatu keadaan hukum yang mengikat satu atau
lebih subjek hukum dengan kewajiban-kewajiban yang
berkaitan satu sama lain.10

7
Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), hlm. 2.
8
Syahmin, Hukum Perjanjian Internasional, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006), hlm. 1.
9
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 1987),
hlm. 6.
10
Ibid, hlm. 12.

3
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

Menurut M. Yahya Harahap, “Suatu perjanjian adalah


suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau
lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak
untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan
pada pihak lain untuk melaksanakan prestasi.11
Sedangkan menurut Sudikno Metokusumo, Perjanjian
yaitu perbuatan berdasar kesepakatan di mana seorang
atau lebih saling mengikatkan dirinya untuk
menimbulkan akibat hukum. Definisi tersebut
menunjukkan adanya asas konsensualisme, asas
kepercayaan, dan asas keseimbangan. Bahwa atas dasar
kesepakatan dan kepercayaan, kedua pihak saling
mengikatkan dirinya dalam perjanjian sehingga ada
perjanjian dan keseimbangan hukum diantara
keduanya12

Pendapat lain dikemukakan oleh Rutten dalam Prof.


Purwahid Patrik yang menyatakan bahwa perjanjian
adalah perbuatan yang terjadi sesuai dengan formalitas-
formalitas dari peraturan hukum yang ada tergantung
dari persesuaian kehendak dua atau lebih orang-orang
yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum dari
kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau

11
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian. Cetakan Kedua,
(Bandung: Alumni, 1986), hlm. 6.
12
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),
(Yogyakarta: Liberty, 1995), hlm. 97

4
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

demi kepentingan masing-masing pihak secara timbal


balik.13

Dalam Buku III Bab Kedua KUHPerdata Indonesia


ditemukan istilah perjanjian yang atau persetujuan
(contract or agreement) yang memiliki maksud sama
dengan perngertian perjanjian, yakni suatu peristiwa di
mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang
saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.14 Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, “Suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih”.

Definisi pasal 1313 tersebut dianggap tidak lengkap dan


terlalu luas dengan berbagai alasan sebagaimana berikut.
Dikatakan tidak lengkap, karena definisi tersebut hanya
mengacu kepada perjanjian sepihak saja hari yang terlihat
dari rumusan kalimat “yang terjadi antara satu orang atau
lebih mengikat kan dirinya pada satu orang atau lebih”.

Mengingat kelemahan tersebut, J. Satrio mengusulkan


agar rumusan diubah menjadi “perjanjian adalah suatu
perbuatan yang terjadi antara satu atau dua orang atau
lebih mengikat kan dirinya terhadap orang lain atau di
mana kedua belah pihak saling mengikatkan dirinya”.
Lebih lanjut J. Satrio membedakan perjanjian dalam arti

13
Purwahid Patrik, Hukum Perdata II, Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian dan Undang-undang, (Semarang: FH Undip, 1988), hlm. 1-3.
14
Ahmad Miru, Op. cit, hlm. 2.

5
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

luas dan sempit. Dalam arti luas, suatu perjanjian berarti


setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum
sebagai yang dikehendaki oleh para pihak, termasuk di
dalamnya perkawinan, perjanjian kawin. Dalam arti
sempit perjanjian hanya ditujukan kepada hubungan
hubungan hukum dalam lapangan hukum harta
kekayaan saja sebagaimana diatur dalam buku III
KUHAPerdata.15 Substansi dari definisi definisi perjanjian
(kontrak) di atas adalah adanya mutual agreement atau
persetujuan (assent) para pihak yang menciptakan
kewajiban yang dilaksanakan atau kewajiban yang
memiliki kekuatan hukum.16

Dalam bahasa Indonesia dan peraturan perundang-


undangan di Indonesia, banyak kata atau istilah yang
secara sekilas dipahami oleh masyarakat umum
mempunyai arti yang sama, seperti perikatan, perjanjian,
dan kontrak, Padahal dalam pendekatan akademik, kata
atau istilah tersebut mempunyai pengertian tersendiri.
Untuk itu, akan dijelaskan istilah atau kata-kata yang
dimaksud.

Istilah perikatan digunakan untuk melukiskan suatu


pengertian dari bahasa Belanda Verbintenis, yaitu suatu
hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya hak dan
kewajiban. Satu pihak menuntut sesuatu, dan di pihak

15
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,
Buku I, (Bandung Citra Aditia Bhakti 1995), hlm. 28-30.
16
Ronald A. Andreson dalam Ridwan Khairandy, Op. cit, hlm. 63-64.

6
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.


Dengan ungkapan lain, perikatan adalah “suatu
hubungan hukum (mengenai harta kekayaan benda)
antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu
untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya,
sedangkan orang yang lainnya itu diwajibkan memenuhi
tuntutan itu” 17

Sedangkan kata perjanjian yang merupakan terjemahan


dari Bahasa Belanda overeenkomst sebagaimana yang
telah banyak dijelaskan oleh para ahli di atas, yaitu suatu
peristiwa di mana dua orang atau pihak saling
menjanjikan sesuatu. Berdasarkan KUHPerdata pasal
1313, perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih”.18

Dari definisi tersebut, Subekti menegaskan bahwa


perkataan perikatan mempunyai arti yang lebih luas dari
perjanjian, karena perjanjian hanya merupakan salah
satu sumber hukum dari perikatan, di samping lahir dari
undang-undang. Disamping itu pula, perikatan
mengandung suatu pengertian abstrak, sedangkan
perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang konkret.
Dengan demikian, perjanjian dan undang-undang

17
Subekti, Op. cit, Hukum Perjanjian, hlm. 120.
18
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002), hlm.65.

7
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

merupakan peristiwa konkret yang melahirkan perikatan


sesuatu yang abstrak.19

Perbedaan perikatan yang bersumber dari perjanjian dan


perikatan yang berasal dari undang-undang adalah
perikatan yang lahir dari perjanjian menimbulkan
hubungan hukum yang memberikan hak dan meletakkan
kewajiban kepada para pihak yang membuat perjanjian
berdasarkan atas kemauan dan kehendak sendiri dari
pihak yang bersangkutan yang mengikat diri tersebut,
sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang
adalah perikatan yang terjadi karena adanya suatu
peristiwa tertentu sehingga melahirkan hubungan hukum
yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara para
pihak yang bersangkutan melainkan diatur dan
ditentukan oleh undang-undang”.20

Istilah berikutnya adalah kontrak. Pemahaman yang


dimaksud dari kata ini tidak seperti pengertian
percakapan sehari-hari, seperti kontrak rumah, kontrak
gudang, dan lain-lain yang juga sering diidentikkan
dengan sewa, seperti sewa gudang, sewa rumah, dan lain-
lain. Istilah konrak berasal dari Bahasa Inggris, yaitu
contract. Menurut Black’s Law Dictionary, kontrak
diartikan sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau
lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau

19
Subekti, Op. cit, Hukum Perjanjian, hlm. 120.
20
I.G.Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, (Jakarta:
Megapoin.2003), hlm.20.

8
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

tidak berbuat sesuatu hal yang khusus (contract is an


agreement between two or more persons which creates an
obligation to do or not to do a peculiar things). Ada tiga
unsur dari kontrak yaitu:21

1. Adanya kesepaktan tentang fakta antara kedua belah


pihak (the fact between the parties);

2. Persetujuan tersebut dibuat secara tertulis (the


agreement is written), dan;

3. Adanya orang-orang yang berhak dan berkewajiban


untuk membuat kesepakatan dan persetujuan
tertulis.

Berdasarkan pengertian dan unsur-unsur kontrak


tersebut, mengenai definisi kontrak ini, ada yang menilai
memiliki arti yang sama dengan perjanjian (overeekomst),
tetapi ada yang menilai kontrak adalah suatu perjanjian
yang dituangkan dalam tulisan atau perjanjian tertulis
atau surat. Singkatnya kontrak adalah perjanjian
tertulis.22 Dengan demikian, istilah kontrak ini memiliki
konotasi yang lebih sempit, yakni terbatas pada
perjanjian-perjanjian tertulis dan bahkan lebih menjurus
kepada pembuatan suatu akta. Sebagai padanan dari kata
perjanjian, kadang-kadang juga digunakan istilah
persetujuan. Namun, istilah persetujuan ada yang
berpendapat, lebih mengacu pada proses terjadinya suatu

21
Henry Campbel, Black’s Law Dictionary, (West Publisching
Co.1979), hlm.291-292.
22
Subekti, Op. cit., Hukum Perjanjian, hlm. 120.

9
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

perjanjian, sedangkan istilah perjanjian lebih ditujukan


kepada hasil dari proses itu.

Subjek Perjanjian (Kontrak)

Subjek hukum adalah segala seuatu yang dapat menjadi


penyandang hak dan kewajiban. Ilmu hukum mengenal
adanya 2 (dua) pihak yang bertindak sebagai subjek
hukum, yakni:23

1. Manusia sebagai natuurlijk persoon, yakni subjek


hukum alamiah dan bukan hasil kreasi manusia,
tetapi ada kodrat.

2. Badan hukum sebagai rechtpersoon, yaitu subjek


hukum yang menghasilkan kreasi hukum, seperti
Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, Koperasi.

Dalam setiap perjanjian terdapat 2 (dua) macam subjek


yaitu pertama seorang manusia atau suatu badan hukum
yang mendapat beban kewajiban untuk sesuatu dan
kedua seorang manusia atau suatu badan hukum yang
mendapat hak yang mendapat hak atas pelaksanaan
kewajiban itu. Subjek yang berupa seorang manusia
harus memenuhi syarat umum untuk dapat untuk
melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus
sudah dewasa, sehat pikirannya dan tidak oleh peraturan
hukum dilarang atau diperbatasi dalam melakukan

23
Munir, dkk., Pengantar Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Zahir
Publishing, 2021), hlm. 117.

10
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

hukum yang sah, seperti peraturan pailit, peraturan


tenatang orang perempuan berkawin dan sebagainya.24

Subjek yang berupa manusia harus sama syarat umum


untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara
sah, itu harus sudah dewasa, sehat pikirannya, dan tidak
oleh peraturan hukum dilarang atau dibatasi dalam
melakukan perbuatan hukum yang sah, seperti belum
cukup umur, orang atau anak yang berada dalam
perwalian.25

Subekti berpendapat yang dikatakan subjek perjanjian


adalah:26

1. Yang membuat perjanjian (orang) sudah cakap atau


sanggup melakukan perbuatan hukum tersebut.

2. Para pihak yang membuat perjanjian harus


melaksanakan perjanjian dengan dasar kebebasan
menentukan kehendaknya. Artinya dalam membuat
perjanjian tidak ada paksaan dari pihak manapun,
tidak ada kehilafan, atau penipuan. Karena sepakat
diantara keduanya akan mengikat mereka.

24
Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang, (Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press, 2014), hlm. 13.
25
A. Rahim, Dasar-Dasar Hukum Perjanjian Perpektif Teori dan
Praktik, (Makassar: Humanities Genius, 2022), hlm. 31.
26
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Pembimbing Masa,
1970), hlm. 16.

11
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

Objek Perjanjian (Kontrak)

Objek hukum adalah benda-benda yang dapat dijadikan


objek hak milik dari subjek hukum. Para penstudi hukum
umumnya mengatakan bahwa yang menjadi objek
hukum adalah benda (zaak).27 Menurut Utrecht, objek
hukum ialah segala sesuatu yang berguna bagi subjek
hukum (manusia atau badan hukum) yang dapat menjadi
pokok (objek) suatu hubungan hukum (dapat juga disebut
hak) karena hal itu dapat dikuasai oleh subjek hukum.28

Objek dalam suatu perjanjian dapat di artikan sebagai hal


yang diperlakukan oleh subjek berupa suatu hal yang
penting dalam tujuan yang di maksud dengan membentuk
suatu perjanjian. Oleh karena itu, objek dalam
perhubungan hukum perihal perjanjian ialah hal yang
diwajibkan kepada pihak berwajib (debitor), dan hal
terhadap mana pihak berhak (kreditor) mempunyai hak.29

Objek perjanjian adalah suatu prestasi menurut


ketentuan pasal 1234 KUHPerdata prestasi dapat berupa
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat
sesuatu. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang
telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian
pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian

27
Dominikus Rato, Dasar-Dasar Ilmu Hukum: Memahami Hukum
Sejak Dini (Jakarta: Kencana, 2021), hlm. 63.
28
Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Penerbit dan
Balai Buku Indonesia, 1955), hlm. 195.
29
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung:
Mandar Maju, 2011), hlm. 19.

12
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

tersebut.30 Agar perjanjian sah, maka objek suatu


perjanjian harus memenuhi beberapa syarat tertentu,
yaitu:31

1. Objeknya harus tertentu atau dapat ditentukan (Pasal


1320 sub 3 KUHPerdata)

2. Objeknya diperkenankan oleh undang-undang (Pasal


1335 dan 1337 KUHPerdata)

3. Prestasinya dimungkinkan untuk dilaksanakan.

Agar perjanjian tersebut memiliki kekuatan mengikat,


maka perjanjian tersebut haruslah memiliki objek
tertentu (Pasal 1320 sub 3 dan 4 KUHPerdata) dan
diperkenankan oleh undang-undang serta tidak
bertentangan dengan ketertiban umum dan tata susila,
adapun prestasi yang harus dilaksanakan debitur harus
benar-benar sesuatu yang “mungkin” dapat
dilaksanakan. Sehubungan dengan itu perlu dibedakan
ketidakmungkinan (onmogelijk) objektif dan subjektit.
Pada ketidakmungkinan objektif tidak akan timbul
perikatan, karena perjanjian tersebut tidak mungkin
dapat dilaksanakan, hal ini sudah menjadi prinsip umum
dalam kehidupan hukum bahwa “Impossibilium mulla
obligation est” (ketidakmungkinan meniadakan

30
Aleksander Goldstajn Dalam Huala Adolf, Hukum Perdagangan
Internasional Prinsip-Prinsip Dan Konsepsi Dasar, Bandung: Refika Aditama,
2004, hlm 7.
31
R Setiawan, Pokok-Pokok Hokum Perikatan, Bandung:Binacipta,
1979, hlm 3 .

13
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

kewajiban), sedangkan pada ketidakmungkinan subjektif


tidak menghalangi terjadinya perjanjian atau tidak
menyebeabkan perjanjian batal, melainkan perjanjian
tetap sah. Prestasi pada ketidakmungkinan objektif tidak
dapat dilaksanakan oleh siapa pun, misalnya menempuh
jarak Palembang-Jakarta dengan mobil dalam waktu 3
jam, sedangkan ketidakmungkinan subjektif hanya
anggapan debitur yang bersangkutan.32

Asas-Asas Perjanjian (Kontrak)

Asas berarti dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan


berpikir atau berpendapat) yang berwujud abstrak bukan
konkret. Asas merupakan latar belakang sekaligus
sebagai cita-cita dari suatu peraturan hukum tak
terkecuali dalam hukum perjanjian. Dalam hukum
perjanjian terdapat kesepakatan para pihak guna
merealisasikan kepentingannya, asas hadir untuk
menjaga kepentingan para pihak terwujud secara nyata
dan seimbang.

Asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari


hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap
berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas-asas
hukum berfungsi sebagai pembangun sistem. Asas-asas
itu tidak hanya mempengaruhi hukum positif, tetapi juga
dalam banyak hal menciptakan suatu sistem. Suatu

32
Joni Emirzon dan Muhamad Sadi Is, Hukum Kontrak Teori dan
Praktik, (Jakarta: Kencana, 2021), hlm. 22.

14
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

sistem tidak akan ada tanpa adanya asas-asas.33 Asas


menjadi sebuah dasar dari suatu hukum yang ada. Asas
hadir untuk memberi arah kemana hukum akan lahir dan
hidup, karena sesungguhnya arti penting dari asas itu
sendiri adalah menjaga peraturan hukum agar terwujud
sebagaimana telah dicita-citakan oleh umat manusia.

Dari beberapa teori dan praktek, baik kontrak dagang


maupun bentuk lainnya, ada beberapa Asas atau prinsip
perjanjian yang jadi dasar penyusunan perjanjian
(kontrak) yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas
konsensualisme, asas mengikat nya perjanjian (pacta sun
servanda) , asas kebiasaan, asas itikat baik, asas
kepercayaan, asas persamaan hukum, asas peralihan
resiko, asas ganti kerugian, asas kepatuhan, asas system
terbuka (as is where is), asas kewajaran (fairness), asas
ketepatan waktu, asas kerahasiaan (confidentiality), asas
keadaan darurat, asas pilihan hukum, dan asas
penyelesaian perselisihan.34

Dari sekian banyak asas-asas yang digunakan baik dalam


hukum perdata maupun hukum Islam, penulis akan
menjelaskan beberapa saja asas yang lazim digunakan
dalam hukum perjanjian (kontrak).

33
Ridwan Khairandy, Kebebasan Berkontrak & Pacta Sunt Servada
Versus Itikad Baik : Sikap Yang Harus Diambil Pengadilan,(Yogyakarta:
Penerbit FH UII Press, 2015), hlm 16.
34
Joni Emirzon dan Muhamad Sadi Is, Op.Cit., hlm. 25-42.

15
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata di


Indonesia dapat ditemukan dalam pasal 1338
HUHPerdata. “Semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”. Subekti menyimpulkan bahwa
dari ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata tersebut
dikandung suatu asas kebebasan dalam membuat
perjanjian (kebebasan berkontrak). Perkataan
“semua” mengandung pengertian tentang
diperbolehkannya membuat suatu perjanjian apa saja
(asalkan dibuat secara sah) dan perjanjian itu akan
mengikat mereka yang membuatnya, seperti undang-
undang, sedangkan pasal-asal lainnya dari hukum
perjanjian hanya berlaku bila atau sekadar tidak
diatur atau tidak terdapat dalam perjanjian yang
dibuat itu.35

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu


asas yang penting dalam hukum perjanjian. Asas
kebebasan berkontrak yang di anut hukum Indonesia
tidak lepas kaitannya dengan sistem terbuka yang di
anut buku III KUHPerdata yang merupakan hukum
pelengkap yang tidak boleh dikesampingkan oleh para
pihak yang membuat kontrak. Bahkan menurut

35
R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Cet. Ketiga puluh sembilan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), hlm.
342.

16
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

Rutten, hukum kontrak seluruhnya didasarkan pada


asas kebebasan berkontrak.36 Asas ini merupakan
perwujudan manusia yang bebas, pancaran hak asasi
manusia.

Gagasan utama dari kebebasan berkontrak berkaitan


dengan penekanan akan persetujuan dan maksud
atau kehendak para pihak serta berkaitan dengan
pandangan bahwa kontrak adalah hasil dari pilihan
bebas (free choice). Dengan mendasarkan pada hal
tersebut, muncul paham bahwa tidak seorang pun
terkait pada kontrak sepanjang tidak dilakukan atas
dasar adanya pilihan bebas untuk melakukan
sesuatu.37 Pada kebebasan berkontrak, doktrin dasar
yang melekat adalah kontrak sebagai perwujudan
kebebasan kehendak para pihak yang membuat
kontrak.

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak


adalah adanya paham individualisme yang secara
embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan
oleh kaum epicuristen dan berkembang pesat dalam
zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran
Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan
Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap

36
Purwahid Patrik, Asas Iktikat Baik dan Kepatutan dalam
Perjanjian, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1986), hlm.
3.
37
Ridwan Khairandy, Itikat Baik dalam Kebebasan Berkontrak,
(Yogyakarta: UII Pers, 2003), hlm. 1.

17
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

orang bebas untuk memperoleh apa yang


dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini
diwujudkan dalam “Asas kebebasan berkontrak”.38

Dalam pelaksanaannya asas tersebut dilaksanakan


dengan mutlak tanpa pembatasan apapun namun, di
zaman sekarang asas kebebasan berkontrak tidak lagi
berlaku mutlak, terdapat berbagai pembatasan. Asas
kebebasan dalam membuat perjanjian baik dalam
hukum Islam maupun KUHPerdata berkaitan dengan
tiga aspek yaitu: Kebebasan dalam menetapkan
materi perjanjian, kebebasan dalam menentukan cara
pelaksanaannya, dan kebebasan dalam menetapkan
cara penyelesaian sengketa yang terjadi.39

Sutan Remy Sjahdenini menyimpulkan ruang lingkup


asas kebebasan berkontrak sebagai berikut:40

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat


perjanjian;

b. Kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia


ingin membuat perjanjian;

c. Kebebasan untuk menentukan isi perjanjian,


pelaksanaan dan persyaratannya; dan

38
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak,
(Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004), hlm. 9.
39
Yasardin, Asas Kebebasan Berkontrak Syariah, (Jakarta: Kencana,
2018), hlm. 180-181.
40
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan
Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Di Indonesia,
(Jakarta: Institute Banker Indonesia, 1993), hlm. 47.

18
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

d. Kebebasan untuk Menentukan bentuknya


perjanjian, yaitu tertulus atau lisan.

e. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi


ketentuan peraturan perundang-undangan yang
bersifat opsional.

Dalam hukum Islam asas kebebasan berkontrak


dikenal dengan sebutan asas kebebasan berakad
(Mabda’ Hurriyah at- Ta’aqud). Hukum Islam
mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip
hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat
membuat akad jenis apapun tanpa terikat kepada
nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-
undang Syariah dan memasukkan klausal apa saja ke
dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan
kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta
sesama dengan jalan batil. Maknanya para pihak
dibebaskan untuk membuat suatu Akad atau
perjanjian kebebasan ini juga meliputi kebebasan
untuk menentukan jenis perjanjian atau objeknya,
bebas untuk menentukan para pihak serta bebas
untuk menentukan mekanisme penyelesaian
sengketa nya. Walaupun demikian, Asas ini dibatasi
dengan ketentuan syarat Islam, dan dalam

19
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

pelaksanaannya perjanjian juga bebas dari adanya


paksaan, ancaman, kekhilafan maupun penipuan.41

Adanya asas kebebasan berakad dalam hukum Islam


didasarkan kepada beberapa dalil antara lain
adalah:42

a. Firman Allah, Wahai orang-orang beriman,


penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian)” (QS.
5:1).

b. Sabda Nabi Saw. “Orang-orang muslim itu


senantiasa serta kepada syarat-syarat (janji-janji)
mereka.”

c. Sabda Nabi Saw., “Barang siapa menjual pohan


korma yang sudah dikawinkan, maka buahnya
adalah untuk penjual (tidak ikut terjual). Kecuali
apabila pembeli mensyaratkan lain.”

d. Kaidah hukum Islam, pada asasnya akad itu


adalah kesepakatan para pihak dan akibat
hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan asas
diri mereka melalui janji.

2. Asas Konsensualisme

41
Nanda Amalia, Hukum Perikatan, (Aceh: Unimal Press, 2012),
hlm. 76.
42
Muhammad Ardi, Asas-Asas Perjanjian (Akad), Hukum Kontrak
Syariah dalam Penerapan Salam dan Istisna, Jurnal Hukum Diktum, Volume
14, Nomor 2, Desember 2016, hlm. 268.

20
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

Asas konsensualisme berasal dari kata latin yaitu


consensus yang berarti sepakat. Pengertian Asas
konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan
perikatan yang timbul sudah dilahirkan sejak
tercapainya kesepakatan. Berdasarkan pengertian
Asas konsensualisme tersebut dapat dikatakan bahwa
suatu perjanjian tidak memerlukan bentuk maupun
formalitas tertentu. Selain itu sebuah perjanjian dapat
dianggap sah apabila sudah terjadi kesepakatan
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pokok
perjanjian.

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam pasal


1320 ayat (1) KUHPerdata. Dalam pasal itu ditentukan
bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu
adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas
konsensualisme merupakan asas yang menyatakan
bahwa perjanjian padsa umumnya tidak diadakan
secara formal, tetapi cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan
merupakan perseusaian antara kehendak dan
pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Berdasarkan asas konsesnualisme itu, dianut paham
bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah
bertemunya kehendak (convergence of wills) atau
konsensus para pihak yang membuat kontrak.43

43
Ridwan Khirandy, Op.Cit. Iktikat Baik, hlm. 27.

21
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

Asas konsensualisme muncul diilhami dari Hukum


Romawi dan Hukum Jerman. Di dalam Hukum
Jerman tidak dikenal asas konsesualisme, tetapi yang
dikenal adalah perjanjian riil dan perjanjian formil.
Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat
dan dilaksanakan secara nyata (kontan dalam hukum
adat). Sedangkan yang disebut perjanjian formil
adalah suatu perjanjian yang tleah ditentukan
bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta autentik
maupun akta di bawah tangan). Dalam hukum
romawi dikenal istilah contractus vervis literis dan
contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya
perjanjian apabila memenuhi bentuk telah
ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal di
dalam KUHPerdata adalah berkaitan dengan bentuk
perjanjian. Bentuk perjanjian, dapat dibuat dalam
bentuk lisan, di samping tertulis.44

3. Asas Mengikatnya Perjanjian (Pacta Sun Servanda)

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan


asas kepastian hukum. Perjanjian sebagai suatu figur
hukum harus mengandung kepastian hukum.
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat
perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para
pihak. Asas ini berhubungan akibat perjanjian. Asas

44
M. Muhtarom, Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan
Dalam Pembuatan Kontrak, Jurnal SUHUF, Vol. 26, No. 1, Mei 2014, hlm.
51.

22
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas


kepastian hukum merupakan asas di mana hakim
atau pihak ketiga harus menghormati substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana
layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak
yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda
atau disebut juga dengan asas kepastian hukum
dapat disimpulkan pada pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang”.

Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal di


dalam Hukum Gereja. Di dalam Hukum Gereja itu
disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian yang
diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan
yang sakral dan dikaitkan unsur keagamaan. Namun,
dalam perkembangannya asas pacta sunt servanda
diberi arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu
dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas
lainnya. Sedangkan nudus pactum sudah cukup
dengan sepakat saja.

4. Asas Iktikat Baik

Asas iktikad, baik yang dalam Bahasa Inggris disebut


dengan the principle of good faith, sedangkan dalam
Bahasa Belanda disebut dengan het berginsel van
geode trouw dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat
(3) KUHPerdata. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata

23
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

berbunyi: “perjanjian harus dilaksanakan dengan


iktikad baik”. Asas iktikad merupakan asas di mana
para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau
kemauan baik dari para pihak.45

Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu:46

a. Iktikad baik nisbi; dan

b. Iktikad baik mutlak.

Pada iktikad baik nisbi, orang memerhatikan sikap


dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad
baik yang mutlak, penilaiannya terletak pada akal
sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif
untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak)
menurut norma-norma yang objektif.

Dalam hukum perikatan Islam memang tidak secara


jelas disebutkan ada Asas iktikat baik. Namun
demikian dalam hukum perikatan Islam ada satu asas
yang secara substansial mencerminkan prinsip iktikat
baik. Dalam hukum perikatan Islam dikenal adanya
asas kejujuran dan kebenaran (Ash-Shidq), yang
menekankan pada para pihak yang melakukan
perjanjian untuk tidak berdusta, menipu, dan

45
Salim H.S., Teknik Pembuatan Akta Satu, (Jakarta: Radja Grafindo,
2015), hlm. 12
46
Salim H.S., Op.Cit, Hukum Kontrak, hlm.3.

24
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

melakukan pemalsuan.47 Karena jika hal-hal tersebut


dilakukan maka akan merusak legalitas akad itu.
Prinsip untuk tidak melakukan penipuan pemalsuan
dan manipulasi dalam membuat satu perjanjian
secara esensial adalah nilai dari itikat baik para pihak.

Dalam pelaksanaan perjanjian, asas itikad baik


mempunyai dua pengertian yaitu:

a. Itikad baik dalam pengertian subyektif.


Merupakan sikap batin seseorang pada saat
dimulainya suatu hubungan hukum berupa
perkiraan bahwa syarat-syarat yang telah
diperlukan telah dipenuhi, di sini berarti adanya
sikap jujur dan tidak bermaksud
menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dapat
merugikan pihak lain.

b. Itikad baik dalam pengertian obyektif. Ini


merupakan tindakan seseorang dalam
melaksanakan perjanjian yaitu pada saat
melaksanakan hak dan kewajiban dalam suatu
hubungan hukum.Artinya bahwa pelaksanaan
perjanjian harus berjalan di atas ketentuan yang
benar, yaitu mengindahkan norma-norma
kepatutan dan kesusilaan.Asas itikad baik ini
diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang
menentukan bahwa persetujuan harus dilakukan

47
Abd Shomad, Op.Cit, hlm. 83.

25
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

dengan itikad baik.Dari ketentuan di atas, hakim


diberi wewenang untuk mengawasi pelaksanaan
perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu
melanggar kepatutan dan keadilan.

5. Asas Personalitas

Asas kepribadian atau asas personalitas merupakan


asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk
kepentingan perseorangan saja.48 Hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315
KUHPer menegaskan: “Pada umumnya seseorang
tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian
selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah
jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian,
orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya
sendiri. Pasal 1340 KUHPer berbunyi: “Perjanjian
hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal
ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang
dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka
yang membuatnya.

Ketentuan pasal 1340 KUHPer itu terdapat


pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam
Pasal 1317 KUHPer yang menyatakan: “Dapat pula
perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga,
bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri,

48
M. Muhtarom, Op.Cit, hlm. 53.

26
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

atau suatu pemberian kepada orang lain,


mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini
mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat
mengadakan perjanjian/ kontrak untuk kepentingan
pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang
ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPer,
tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri,
melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan
untuk orang-orang yang memperoleh hak
daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu,
maka Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang
perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal
1318 KUHPer untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli
warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari
yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317
KUHPer mengatur tentang pengecualiannya,
sedangkan Pasal 1318 KUHPer memiliki ruang
lingkup yang luas.

6. Asas Persamaan Hukum

Salah satu prinsip atau asas penting dari suatu


negara hukum ialah asas persamaan di hadapan
hukum (equality before the law). Asas tersebut
menegaskan bahwa setiap warga negara bersamaan

27
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

kedudukannya di hadapan hukum dengan tidak ada


pengecualian.49

Asas ini menempatkan para pihak di dalam


persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun
ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan,
jabatan dan lain lain. Masing masing pihak wajib
melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan
kedua pihak untuk menghormati satu sama lain
sebagai manusia ciptaan Tuhan. Persamaan hanya di
hadapan hukum saya akan memberi sinyal di dalam
nya secara sosial dan ekonomi orang boleh tidak
mendapatkan persamaan, perbedaan perlakuan,
perbedaan warna kulit dan lain sebagainya namun
dalam rancang suatu kontrak semua orang dianggap
sama dan memiliki kepentingan yang sama untuk
saling dihargai.

7. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan


melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini
merupakan kelanjutan dari Asas persamaan. Kreditur
mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan
jika diperlukan dapat menuntut Pelunasan prestasi
melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul
pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu

49
Jonaedi Efendi, dkk., Kamus Istilah Hukum Popular, (Jakarta:
Kencana 2016), hlm.65.

28
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

dengan iktikat baik. Dapat dilihat di sini bahwa


kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan
kewajiban untuk memperhatikan itikat baik, sehingga
kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh


Agus Yudho Hernoko mengenai asas keseimbangan
dalam kontrak komersial, secara singkat dapat
disimpulkan bahwa keseimbangan berlaku sepanjang
proses pembuatan kontrak sampai pelaksanaan
kontrak. Hal ini dikarenakan agar terjamin proses
negosiasi yang fair, kesetaraan hak, terjamin
distribusi pertukaran hak dan kewajiban sesuai
proporsinya, dan sebagai pengukur kadar berat
ringannya beban pembuktian.50

8. Asas Moral

Asas moral juga terlihat dalam perikatan wajar di


mana suatu perbuatan suka rela dari seseorang tidak
menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra
prestasi dari pihak debitur. Juga hal ini terlihat di
dalam zaakwaarneming di mana seorang yang
melakukan suatu perbuatan dengan suka rela (moral)
yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum
untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatan nya
juga sini terdapat dalam pasal 1339 KUHPerdatata.

50
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas
dalam Kontrak Komersial (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm. 323.

29
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

Faktor -aktor yang memberikan motivasi pada yang


bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu
berdasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai
panggilan dari hati Nurani nya

9. Asas Kepatutan

Asas kepatutan dituangkan dalam pasal 1339


KUHPerdata. Asas kepatututan ini berkaitan dengan
ketentuan mengenai isi perjanjian. Menurut Mariam
Darus Badrulzaman asas kepatutan ini harus
dipertahankan, karena melalui Asas ini ukuran
tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan
dalam masyarakat.

10. Asas Kebiasaan

Asas ini diatur dalam pasal 1339 Jo 1347 KUHPerdata


yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang
secara tegas diatur, akan tetapi juga hal hal yang
dalam keadaan dan kebiasaan yang lazim diikuti.

Asas-Asas Perjanjian Dalam Hukum Islam

Hukum Perjanjian dalam Islam juga mengenal bebera


asas yang digunakan dalam perjanjian atau perikatan
Islam, Menurut Gemala Dewi dijelaskan ada delapan asas
dalam hukum Islam yang lazim digunakan dalam
perjanjian Islam yaitu asas kebebasan berkontrak (Al-
Hurriyah), konsensualisme (Al-Ridha’iyyah), persamaan

30
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

hukum (Al-Musawah), Keadilan (Al-Adalah), kejujuran


dan kebenaran (Ash-Shidq), manfaat, saling
menguntungkan (Al-Ta’awun), tertulis, (Al-Kitabah).51

51
Abd Shomad, Hukum Islam Penomoran Prinsip Syariah Dalam
Hukum Indonesia, (Jakarta Kencana, 2012), hlm. 82-83.

31
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

1. Asas Kebebasan Berkontrak (Al-Hurriyah)

Asas ini merupakan prinsip dasar dalam hukum Islam


dan merupakan prinsip dasar pula dalam Akad
(perjanjian). Pihak pihak yang melakukan kkad
mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian,
baik dari segi materi atau isi yang diperjanjikan,
menentukan pelaksanaan dan persyaratan
persyaratan lainnya, melakukan perjanjian dengan
siapa pun, maupun bentuk perjanjian (tertulis atau
lisan) termasuk menetapkan cara-acara penyelesaian
bila terjadi sengketa. Kebebasan membuat perjanjian
ini dibenarkan selama tidak bertentangan dengan
ketentuan syariat Islam.

Dengan kata lain, syariaat Islam memberikan


kebebasan kepada siapa saja orang yang melakukan
Akkad sesuai yang diinginkan, tetapi yang
menentukan akibat hukumnya adalah ajaran agama.
Tujuannya untuk menjaga agar tidak terjadi
penganiayaan antar sesame manusia melalui Akkad
dan syarat syarat yang dibuatnya. Asas ini pulang
hindari semua bentuk paksaan, tekanan, dan
penipuan dari pihak manapun. Perbuatan perbuatan
tersebut merupakan bagian ketertiban umum,
sehingga apabila dilanggar maka termasuk melanggar
ketentuan umum dan atau kesusilaan. Adanya unsur
pemaksaan tanpa pemasungan kebebasan bagi pihak-
pihak yang melakukan perjanjian, maka legalitas

32
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

perjanjian yang dilakukan bisa dianggap meragukan


bahkan tidak sah.

Landasan asas kebebasan (Al-Hurriyah) ini di antara


lain didasarkan pada ayat Al-Quran dan Hadis
Rosulullooh. Ayat Al-Quran tersebut diantaranya
terdapat dalam Al-Baqoroh ayat 256, Al-Ma’idah ayat
1, Al-Hijr ayat 29, Al-Rum ayat 30, Al-Tin ayat 30, dan
Al-Ahzab ayat 72.

2. Asas Konsensualisme (Al-Ridha’iyyah)

Dalam hukum Islam Asas konsensualisme lebih


dikenal dengan asas Kerelaan (al-ridha). Menurut asas
kerelaan (al-ridha), bahwa segala transaksi yang
dilakukan harus ada dasar kerelaan atau keridoan
antara masing masing pihak, dengan kata lain
kesepakatan dalam perjanjian itu harus didasarkan
pada kesepakatan bebas dari para pihak dan tidak
boleh ada unsur paksaan, penipuan, dan mis-
statemen.52 Dasar hukum adanya Asas Kerelaan
dalam pembuatan perjanjian terdapat dalam Qur’an
surah An-Nisa ayat 29 yang artinya sebagai berikut:

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu


saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang

52
Abdul Ghofur Ansori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2018), hlm. 33.

33
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.


Dan janganlah kamu membunuh dirimu”

Kata suka sama suka menunjukkan bahwa dalam hal


membuat perjanjian, khususnya dalam ranah
Perniagaan harus senantiasa didasarkan pada Asas
Kerelaan atau kesepakatan para pihak secara bebas
tanpa ada paksaan. Sebab jika hal ini terjadi, dapat
membatalkan perbuatan tersebut. Unsur suka rela ini
menunjukkan keikhlasan dan itikat baik dari para
pihak.53

Asas ini menyatakan bahwa semua perikatan yang


dilakukan oleh para pihak harus didasarkan kepada
kerelaan semua pihak yang membuatnya. Kerelaan
para pihak yang berperikatan adalah jiwa setiap
perikatan yang islami dan dianggap sebagai syarat
terwujudnya semua transaksi. Jika dalam suatu
perikatan asas ini tidak terpenuhi, maka perikatan
yang dibuuatnya telah dilakukan dengan cara yang
batil (al-akd bil bathil). Perikatan yang dilakukan itu
tidak dapat dikatakan telah mencapai sebuah bentuk
usaha yang dilandasi saling rela antara pelakunya,
jika di dalamnya terdapat unsure tekanan, paksaan,
penipuan, atau ketidakjujuran dalam pernyataan.

53
Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2005), hlm. 30

34
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

3. Asas Persamaan Hukum (Al-Musawah)

Asas ini memberikan landasan bahwa kedua belah


pihak yang melakukan perjanjian mempunyai
kedudukan yang sama antara satu dan lainnya. Pada
saat menentukan hak dan kewajiban masing masing
didasarkan pada Asas persamaan atau Kesetaraan ini.
Dasar hukum Asas ini adalah Al-Quran surat Al-
Hujarat ayat 13. Asas persamaan atau Kesetaraan
sering dinamakan juga Asas keseimbangan para
pihak dalam perjanjian.

Asas ini menunjukkan bahwa diantara sesama


manusia masing masing memiliki kelebihan dan
kekurangan. Untuk itu, antara manusia yang satu
dan yang lainnya hendaknya saling melengkapi atas
kekurangan nya yang lain dari kelebihan yang
dimilikinya. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki
kesempatan yang sama untuk melakukan suatu
kontrak. Dalam melakukan kontrak ini, para pihak
bebas menentukan hak dan kewajibannya masing
masing yang didasarkan kepada Asas persamaan dan
Kesetaraan ini dan tidak boleh ada kezaliman yang
dilakukan oleh satu pihak dalam pembuatan kontrak
tersebut.

Asas ini tidak menutup kemungkinan bahwa salah


satu pihak lebih proaktif untuk menyiapkan atau
membuat rumusan Aitem Aitem kesempatan dalam
suatu kontrak, namun rumusan kontra itu

35
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

hendaknya bukan merupakan rumusan final yang


tidak boleh ditawar lagi oleh pihak lainnya. Pihak lain
perlu diberi cukup waktu untuk mempertimbangkan
dan melakukan negosiasi terhadap rumusan itu
sebelum disepakati. Dengan kata lain, salah satu
pihak menyiapkan draf kontrak yang sifatnya hanya
merupakan usulan (‘ardh al-syuruth) dan bukan
bersifat final yang harus dipatuhi pihak lainnya (fardh
al-syuruth), kemudian dimusyawarahkan dan apabila
sudah ada kecocokkan barulah kontrak itu disetujui
oleh para pihak yang melakukan kontrak itu.54

4. Asas Keadilan (Al-‘Adalah)

Perkataan adil adalah termasuk kata yang paling


banyak disebut dalam Al-Qur'an, Adil adalah salah
satu sifat Tuhan dan Al-Qur'an menekankan agar
manusia menjadikannya sebagai ideal moral. Pada
pelaksanaannya, asas ini menuntut para pihak yang
berakad untuk berlaku benar dalam pengungkapan
kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang
telah mereka buat, dan memenuhi semua
kewajibannya.55

Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh


semua hukum. Dalam hukum Islam, keadilan

54
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif
Kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 76-77.
55
Gemala Dewi dan Widyaningsih, Hukum Perikatan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Grop, 2005), hlm. 33.

36
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

langsung merupakan perintah al-Qur’an yang


menegaskan, “Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa” [QS. Al-Maaidah [5]: 8]. Keadilan
merupakan sendi setiap perjanjian yang dibuat oleh
para pihak. Sering kali di zaman modern akad ditutup
oleh satu pihak dengan pihak lain tanpa ia memiliki
kesempatan untuk melakukan negosiasi mengenai
klausul akad tersebut, karena klausul akad itu telah
dibakukan oleh pihak lain. Tidak mustahil bahwa
dalam pelaksanaanya akan timbul kerugian kepada
pihak yang menerima syarat baku itu karena didorong
kebutuhan. Dalam hukum Islam kontemporer telah
diterima suatu asas bahwa demi keadilan syarat baku
itu dapat diubah oleh pengadilan apabila memang ada
alasan untuk itu.56

5. Asas Kejujuran Dan Kebenaran (Ash-Shidq)

Asas kebenaran dan kejujuran (ash-shidq), yaitu para


pihak yang berakad mesti bertransaksi secara jujur
dan benar. Hal ini berarti mengungkapkan berbagai
segi transaksi apa adanya tanpa ada manipulasi dan
penipuan. Jika kejujuran tidak diterapkan dalam
suatu akad atau perjanjian, maka akan merusak
legalitas perjanjian itu sendiri.57

56
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 27.
57
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2007), hlm.37.

37
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

Kejujuran adalah suatu nilai etika yang mendasar


dalam Islam. Islam adalah nama lain dari kebenaran.
Islam dengan tegas melarang kebohongan dan
penipuan dalam bentuk apapun nilai kebenaran ini
memberikan pengaruh pada pihak pihak yang
melakukan perjanjian untuk tidak berdusta, menipu
dan melakukan pemalsuan. Pada saat Asas ini tidak
dijalankan, maka akan merusak pada realitas Akkad
yang dibuat. Di mana pihak yang merasa dirugikan
karena pada saat perjanjian dilakukan pihak lainnya
tidak mendasarkan pada Asas ini, dapat
menghentikan proses perjanjian tersebut.58

6. Asas Manfaat (Al-Manfa’ah)

Asas kemanfaatan maksudnya adalah bahwa akad


yang dilakukan oleh para pihak bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak
boleh menimbulkan kerugian atau keadaan
memberatkan. Kemanfaatan ini antara lain berkenaan
dengan obyek Akad. Tidak semua obyek dalam
pandangan Islam dapat dijadikan obyek Akad Islam
mengharamkan Akad yang berkaitan dengan hal hal
yang bersifat mudharat atau mafsadat, seperti jual
beli benda benda yang diharamkan dan atau benda
benda yang tidak bermanfaat apalagi yang

58
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam
Transaksi Di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika 2012), hlm.
23-24.

38
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

membahayakan. Dengan kata lain, barang atau usaha


yang menjadi obyek Akad dibenarkan (halal) dan baik
(toyib) dasar dari obyek yang bermanfaat ini antara
lain al-Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 168 dan Quran
surat An-Nahl ayat 114.59

7. Asas Tertulis, (Al-Kitabah)

Prinsip lain yang tidak kalah pentingnya dalam


melakukan akad adalah agar akad yang dilakukan
benar-benar berada dalam kebaikan bagi semua
pihak yang melakukan akad, maka akad itu harus
dilakukan dengan melakukan kitabah (penulisan
perjanjian, terutama transaksi dalam bentuk kredit).
Di samping itu juga diperlukan adanya saksi-saksi
(Syahadah) seperti pada rahn (gadai) atau untuk
kasus tertentu dan prinsip tanggung jawab individu.60
Maksud dari asas ini adalah keharusan untuk
menuliskan akad/ perjanjian dalam hitam di atas
putih dihadiri oleh saksi-saksi, apabila transaksi
tidak secara tunai maka dapat dipegang suatu benda
sebagai jaminan, agar tidak terjadi permasalahan di
kemudian hari. Asas ini bersumber dari surat al-
Baqarah 282-283 yang artinya:

59
Fathurrahman Djamil, Op. Cit, hlm. 24-25.
60
Miriam Darus Badruzaman, Kompilasi Hukum Perikatan,
(Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 2011), hlm. 250.

39
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu


bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan
(apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang
itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-
saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis
hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di
sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih
dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara

40
KERANGKA DASAR HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu


tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling
sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian),
maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (QS al-Baqarah: 282)

41
42
BAB 2
LAHIRNYA PERJANJIAN
(KONTRAK)

Syarat Sahnya Perjanjian (Kontrak)

Salah satu persoalan penting di dalam hukum perjanjian


atau kontrak adalah penentuan keabsahan suatu
perjanjian. Tolak ukur keabsahan perjanjian tersebut di
dalam system hukum perjanjian Indonesia ditemukan
dalam pasal 1320 KUHPerdata. Dalam naskah asli
(Bahasa belanda) pasal 1320 KUHPerdata tidak
dirumuskan dengan kata-kata “syarta shanya perjanjian”,
tetapi dengnan kata-kata “syarat adanya perjanjian”
(bestaanbaarheid der oveerenkomsten). perumusan
kalimat “syarat adanyan perjanjian” tersebut kurang
tepat. Dikatakan tidak tepat karena ada kalahnya suaru
perjanjian tidak memenuhi salah satu syarat yang
ditentukan pasal 1320 KUHPerdata tersebut, tetapi tidak
mengakibatkan batalnya atau tidak sahnya perjanjian.61

Dalam hal kontrak mengandung cacat kehendak, karena


adanya kesepakatan mengandung paksaan, penipuan,
kekeliruan, atau penyalahgunaan keadaan hanya

61
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak di Indonesia Dalam prespektif
Perbandingan, (Yogyakarta:FH UII Press), hlm. 167.

43
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

membuat akibat dapat dibatalkan. Demikian juga hal


dalam perjanjian dibuat oleh pihak yang tidak cakap
membuat perjanjian tidak berakibat batalnya perjanjian
batalnya itu. Sepanjang tidak ada pembatalan perjanjian,
perjanjian tersebut tetap sah.

Dengan demikian, menurut J. Satrio, benar sekali jika


kata beestanbaarheid diterjemahkan sebagai “sahnya”.
Kata “sahnya” ini lebih tepat karena lebih sesuai
substansi yang dikandung pasal 1320 tersebut.62 Secara
umum kontrak lahir pada saat tercapainya kesepakatan
para pihak mengenai hal yang pokok atau unsur esensial
dari kontrak tersebut. Sebagai contoh, apabila dalam
kontrak jual beli telah tercapai kesepakatan tentang
barang dan harga, lahirlah kontrak, sedangkan hal-hal
yang tidak diperjanjikan oleh para pihak akan diatur oleh
undang-undang.

Walaupun dikatakan bahwa kontrak lahir pada saat


terjadinya kesepakatan mengenai hal pokok dalam
kontrak tersebut, namun masih ada hal lain yang harus
diperhatikan, yaitu syarat sahnya kontrak sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 BW, yaitu:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya (de


toestening van degenen die zich verbinden)

62
J. Satrio, Op.Cit, Buku I, hlm.164.

44
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de


bekwaanheid om eene verbintenis aan te gacn)

3. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp) dan

4. Suatu sebab yang tidak terlarang (eene geoorloojde


oorzaak)

Keempat syarat ini oleh Subekti dikelompokkan kedalam


syarat subyektif untuk dua syarat yang pertama, dan
syarat obyektif untuk dua syarat yang terakhir.63 Syarat
pertama dan syarat kedua dari keempat syarat tersebut
merupakan syarat subjektif, di mana syarat tersebut
merupakan terapan dari para pihak yang melakukan
perjanjian atau tepatnya syarat yang mengatur para pihak
dalam perjanjian. Jika dalam syarat subjektif tidak
terpenuhi dalam pembuatan perjanjian maka perjanjian
tersebut tidak akan mengakibatkan perjanjian itu batal
sepanjang para pihak yang karena ketidak cakapan atau
ketidak bebasnya dalam memberikan sepekatnya tidak
mengajukan upaya pembatalan kepada hakim
(vernitigbaar). Syarat yang ketiga dan keempat dalam
Pasal 1320 merupakan syarat objektif, jika syarat tersebut
tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan perjanjian itu
tidak pernah ada atau batal demi hukum.

Keempat syarat tersebut biasa juga disingkat dengan


sepakat, cakap, hal tertentu, dan sebab yang halal.

63
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermesa, Jakarta, 1986),
hlm. 11.

45
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

Keempat syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur


dalam Pasal 1320 BW tersebut di atas akan diuraikan
lebih lanjut sebagai berikut.

1. Kesepakatan

Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak


untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini
dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang
paling penting adalah adanya penawaran dan
penerimaan atas penawaran tersebut. Supaya kontrak
atau perjanjian menjadi sah maka para pihak harus
sepakat terhadap segal hal yang terdapat di dalam
perjanjian.64

Cara-cara untuk terjadinya penawaran dan


penerimaan dapat dilakukan secara tegas maupun
dengan tidak tegas, yang penting dapat dipahami atau
dimengerti oleh para pihak bahwa telah terjadi
penawaran dan penerimaan. Beberapa contoh yang
dapat dikemukakan, sebagai cara terjadinya
kesepakatan/terjadinya penawaran dan penerimaan
adalah:65

a. Dengan cara tertulis:

b. Dengan cara lisan;

c. Dengan simbol-simbol tertentu; bahkan

64
Sudargo Gautama, Indonesian Business Law (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1995), hlm. 76.
65
Ahmad Miru, Op. Cit, hlm. 14.

46
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

d. Dengan berdiam diri.

Berdasarkan berbagai cara terjadinya kesepakatan


tersebut di atas, secara garis besar terjadinya
kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak
tertulis, yang mana kesepakatan yang terjadi secara
tidak tertulis dapat berupa kesepakatan lisan, simbol-
simbol tertentu, atau diam-diam. Seseorang yang
melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya
dilakukan baik dengan akta di bawah tangan maupun
dengan akta autentik.

Di samping lahirnya kontrak dengan cara-cara


tersebut di atas, dapat pula terjadi suatu kontrak
dengan perantaraan elektronik yang walaupun
penawaran dan penerimaan atau kesepakatan terjadi
secara tertulis (dapat dibaca), namun ke dudukannya
berbeda dari kontrak tertulis sebagaimana disebutkan
di atas karena tulisan tersebut tujuannya tidak dibuat
untuk pembuktian di kemudian hari, tetapi hanya
merupakan sarana untuk menyampaikan Isi
penawaran dan penerimaan antara para pihak.

Kesepakatan secara lisan merupakan bentuk


kesepakatan yang banyak terjadi dalam masyarakat,
namun kesepakatan secara lisan ini kadang tidak
disadari sebagai suatu perjanjian padahal sebenarnya
sudah terjadi perjanjian antara pihak yang satu
dengan pihak lainnya, misalnya seorang membeli
keperluan sehari-hari di toko maka tidak perlu ada

47
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

perjanjian tertulis, tetapi cukup dilakukan secara


lisan antara para pihak.

Kesepakatan yang terjadi dengan menggunakan


simbol-simbol tertentu sering terjadi pada penjual
yang hanya menjual satu macam jualan pokok,
misalnya penjual soto, pembeli hanya mengacungkan
jari telunjuknya saja. Maka, penjual soto akan
mengantarkan satu mangkok soto. Cara terjadinya
kesepakatan dengan simbol-simbol tertentu ini
mungkin juga banyak terjadi pada perjanjian-
perjanjian yang terlarang, misalnya jual beli narkoba
dan hal-hal terlarang lainnya.

Pada dasarnya kata sepakat adalah pertemuan atau


persesuaian kehendak antara para pihak di dalam
perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan
persetuajuan atau kesepakatannya jika ia memang
menghendaki apa ynag disepakati. Di dalam
pembentukan kata sepakat (toesteming) terdapat
unsur penawaran dalam (offer,offerte) dan penerimaan
(acceptance, acceptatie. Kata sepakat pada prinsipnya
adalah terjadi-terjadinya persesuaian antara
penwaran dan penerimaan. Kata sepakat itu sendiri
pada dasaranya adalah pertemuan antar dua
kehendak.66

66
Ridwan Khairandy, Op.Cit Hukum Kontrak Indonesia, hlm. 169.

48
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

Penawaran adalah pernyataan dari satu pihak


mengenai usul suatu ketentuan perjanjian atau usul
untuk menutup perjanjian kepada pihak lainnya yang
menerima penawaran. Adapun penerimaan adalah
persetujuan akhir terhadap suatu penawaran.
Penawaran itu harus dirumuskan sedemikian rupa
sehingga dapat dikomunikasikan kepada pihak
lainnya. Apabila penawaran itu telah diterima atau
disetujuai oleh pihak lainnya, Maka terjadi
penerimaan. Disini terjadi persesuian kehendak
anatara kedua belah pihak. Saat penerimaan itulah
yang menjadi unsur penting dalam menentukan
perjanjian.

Persesuaian kehendak saja tidak akan menciptakan


atau melahirkan perjanjian. Kehendak itu harus
dinyatakan. Harus ada pernyataan kehendak.
Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan
bahwa yang bersangkutan menghendaki timbulnya
hubungan hukum. Kehendak itu harus nyata bagi
orang lain, dan harus dapat dimengerti oleh pihak
lain.67

Pernyataan kehendak itu harus disampaikan kepada


pihak lawannya. Pihak lawan tersebut harus mengerti
kehendak tersebut. Kemudian jika pihak lawannya
menyatakan menerima atau menyetujui kehendak,

67
Satrio, Op.Cit, Buku I, hlm.175.

49
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

baru terjadi kata sepakat. Dengan demikian dapat


dikatakan bahwa suatu pernyataan adalah suatu
penawaran, kalau pernyataan itu kepada orang
diberikan penawaran, sedang pernyataan itu sendiri
haris diartikan Sebagai suatu tanda yang dapat
diketahui dan dimengerti oleh mitra janji.
Konsekuensinya, jika penawaran tersebut diterima
secara keliru dan ada akseptasi yang menyimpang
dari penawaran tersebut, maka pada dasarnya tidak
lahir perjanjian atau kontrak.

Menghadapi kemungkinan adanya masalah “tidak


mengetahui” apa disepakati, maka harus dipakai
suatu anggapan bahwa orang menandatangani suatu
kontrak atau perjanjian tahu dan karenanya
menghendaki isi perjanjian tersebut. Berkaitan
dengan bentuk pernyataan kehendak tersebut, pada
dasarnya KUHPerdata bentuk pernyataan kehendak,
kecuali untuk perjanjian atau kontrak formal yang
mensyaratkan kontrak harus dituangkan dal bentuk
tertentu (tertulis) seperti perjanjian perdamaian
(dading).

Pernyataan kehendak tersebut. Selain ditujukan


kepada pihak lain, juga ditujukan kepada akibat
hukum yang diharapkan timbul dari perbuatannya
itu. Sehubungan dengan hal itu, J. Satrio memberikan

50
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

contoh sebagai berikut:68 Pernyataan kehendak itu


sendiri dapat diungkapkan dalam berbagai cara.
Dapat secara tegas dan dapat pula secara diam-diam.
Di dalam pernyataan secara tegas pernyataan
kehendak diberikan eksplisit dengan berbagai cara,
yakni tertulis, lisan atau dengan tanda. Pernyataan
kehendak secara tertulis dapat dilihat dari adanya
tandatangan dari para pihak. Adanya tandatangan
tersebut secara tegas menyatakan bahwa para pihak
telah bersepakat mengenai isi perjanjian atau
kontrak.

Pernyataan kehendak secara tegas dapat pula


diwujudkan secara lisan. Pernyataan kehendak secara
lisan ini dapat dinyatakan dengan kalimat sempurna
maupun dengan kalimat yang tidak sempurna, tetapi
dapat dimengerti mitra kontrak. Misalnya A
menawarkan sepeda kuno miliknya kepada B dengan
harga Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Apabila B setuju dengan penawaran A tersebut dapat
menyatakan dengan kalimat Sebagai berikut: “saya
setuju milik A dengan harga RP 20.000.000,00”. B
dapat juga menyatakan dengan kalimat yang tidak
lengkap Sebagai berikut: “YA, saya setuju”.

Pernyataan secara tegas dapat dinyatakan dengan


tanda, misalanya dengan contoh sama seperti di atas

68
J. Satrio, Op.Cit, Buku I, hlm.191-192.

51
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

, apabila para pihak telah mendapat kata sepakat,


tidak ada satu kalimat pun yang diucapkan para
pihak, tetapi para pihak saling berjabat tangan. Jabat
tangan tersebut merupakan tanda bahwa para pihak
telah bersepakat. Contoh lain dapat dikemukakan
contoh penjualan barang secara lelang. Apabila salah
satu peserta lelang setuju dengan harga yang
ditawarkan ia mengangkat tangan. Mengangkat
tangan tersebut tanda berarti setuju. Menggelengkan
kepala dapat berarti tidak setuju.

Kesepakatan dapat pula terjadi dengan hanya


berdiam diri, misalnya dalam hal perjanjian
pengangkutan. Jika kita mengetahui jurusan mobil-
mobil penumpang umum, kita biasanya tanpa
bertanya mau ke mana tujuan mobil tersebut dan
berapa biayanya, tetapi kita hanya langsung naik dan
bila sampai di tujuan kita pun turun dan membayar
biaya sebagaimana biasanya sehingga kita tidak
pernah mengucapkan sepatah kata pun kepada sopir
mobil tersebut, namun pada dasarnya sudah terjadi
perjanjian pengangkutan.

Kesepakatan yang merupakan penentu terjadinya


atau lahirnya perjanjian, berarti bahwa tidak adanya
kesepakatan para pihak, tidak terjadi kontrak. Akan
tetapi, walaupun terjadi kesepakatan para pihak yang
melahirkan perjanjian, terdapat kemungkinan bahwa
kesepakatan yang telah dicapai tersebut mengalami

52
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak


atau cacat kesepakatan sehingga memungkinkan
perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh
pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut.

Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapat terjadi


karena terjadinya hal-hal di antaranya: 69

a. Kekhilafan atau kesesatan;

b. Paksaan;

c. Penipuan; dan

d. Penyalahgunaan keadaan.

Tiga cacat kehendak yang pertama diatur dalam BW


sedangkan cacat kehendak yang terakhir tidak diatur
dalam BW, namun lahir kemudian dalam
perkembangan hukum kontrak. Ketiga cacat
kehendak yang diatur dalam BW dapat dilihat dalam
Pasal 1321 dan Pasal 1449 BW yang masing-masing
menentukan sebagai berikut.

Pasal 1321 BW:

Tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu


diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya
dengan paksaan atau penipuan.

Pasal ini menerangkan tentang kesepakatan yang


cacat. Walaupun dikatakan tiada sepakat yang sah,

69
Ahmadi Miru, Op.Cit., hlm. 17.

53
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

tetapi tidak berarti perjanjian itu batal karena


sebenarnya telah terjadi kesepakatan, hanya saja
kesepakatan yang telah dicapai tersebut mengalami
Kecacatan karena kesepakatan terjadi karena adanya
kekhilafan, paksaan atau penipuan. Kehilafan tidak
menjadi sebab kebatalan sebagaimana yang diatur
dalam pasal 1322. Intinya tidak dapat dijadikan
alasan pembatalan perjanjian jika salah satu pihak
khilaf bukan mengenai hal pokok dalam perjanjian.
Demikian pula kekhilafan tidak dapat dijadikan
alasan pembatalan perjanjian jika seseorang hanya
film tentang sup jek perjanjian, kecuali kalo yang
menjadi obyek perjanjian adalah ke ahlian orang
tersebut. Dengan demikian, kekhilafan terhadap
subjek perjanjian hanya dapat dijadikan alasan
pembatalan jika perjanjian itu mengenai perjanjian
untuk berbuat sesuatu yang sangat terkait dengan
keahlian orang tersebut.70

Sebagai contoh saya bermaksud mengadakan


perjanjian untuk dibuatkan lukisan oleh seorang
pelukis yang bernama Ahmad karena dia sudah
sangat terkenal karena keahliannya melukis, tetapi
karena saya khilaf maka saya mengatakan perjanjian
tersebut dengan Ahmeed yang juga pelukis, tetapi
tidak sepintar Ahmad. Kalau terjadi demikian saya

70
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op.Cit., hlm. 70.

54
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

dapat meminta pembatalan perjanjian dengan


Ahmeed.

Pitlo membagi kekhilafan atau kesesatan menjadi dua


yaitu kesesatan semu dan kesesatan. Kesesatan semu
terjadi jika cetusan dari kehendak tidak sesuai
dengan kehendaknya, sedangkan kesesatan terjadi
jika cetusan dari kehendak itu sesuai dengan
kehendaknya, tetapi kehendak itu tidak ditentukan
secara murni.71

Pasal 1449 BW:

Perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan


atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk
membatalkannya.

Pasal ini menerangkan kembali tentang cacat


kehendak, yaitu tentang perjanjian yang lahir dari
adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan, dapat
dimintakan pembatalan. Namun demikian, bukan
hanya ketika hal tersebut yang merupakan nggak
makan juga termasuk Penyalahgunaan keadaan.72

Secara sederhana keempat hal yang menyebabkan


terjadi. nya cacat pada kesepakatan tersebut secara
sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:73

71
Pitlo, A, Tafsiran Singkat tentang Beberapa Hal dalam Hukum
Perdata, Alih bahasa, M. Moerasad, (Jakarta: Intermasa, 1979)
72
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op.Cit., hlm. 154.
73
Ahmadi Miru, Op, Cit, hlm. 18.

55
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

a. Kekhilafan terjadi jika salah satu pihak keliru


tentang apa yang diperjanjikan, namun pihak lain
membiarkan pihak tersebut dalam keadaan
keliru.

b. Paksaan terjadi jika salah satu pihak memberikan


kesepakatannya karena ditekan (dipaksa secara
psikologis), jadi yang dimaksud dengan paksaan
bukan paksaan fisik karena jika yang terjadi
adalah paksaan fisik pada dasarnya tidak ada
kesepakatan.

c. Penipuan terjadi jika salah satu pihak secara aktif


memengaruhi pihak lain sehingga pihak yang
dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau
melepaskan sesuatu.

d. Penyalahgunaan keadaan terjadi jika pihak yang


memiliki posisi yang kuat (posisi tawarnya) dari
segi ekonomi maupun psikologi
menyalahgunakan keadaan sehingga pihak lemah
menyepakati hal-hal yang memberatkan baginya.
Penyalahgunaan keadaan ini disebut juga cacat
kehendak yang keempat karena tidak diatur
dalam BW, sedangkan tiga lainnya, yaitu
penipuan, kekhilafan, dan paksaan diatur dalam
BW.

2. Kecakapan

56
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

Syarat sahnya perjanjian kedua menurut pasal 1320


KUHPerdata adalah kecakapan untuk membuat
perjanjian (kontrak) (de bekwaamheid om eene
verbentenis aan te gaan). Pasal 1329 KUHPerdata
menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk
membuat perjanjian, kecuali apabila menurut
undang-undang dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330
KUHPerdata tidak menentukan siapa yang cakap
melakukan perbuatan untuk mengadakan perjanjian,
tetapi menentukan secara negative yaitu siapa yang
tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Orang-
orang tidak cakap tersebut, yaitu:74

a. Orang yang belum dewasa (minderjarigen);

b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan (die


onder curatele gesteld zijn); dan

c. Perempuan yang telah kawin dan hal-hal yang


telah ditentukan undang-undang, dan pada
umumnya semua orang yang oleh undang-
undang yang dilarang untuk membuat perjanjian
tertentu (getrouvde vrouwen, in de gevallen bij de
wet voorzien, in, in het algemeen, alle degenen aan
wie de wet het aangaan van zekere
overeenkomsten verboden heft).

Hukum perikatan Indonesia sama sekali tidak


menentukan tolak ukur atau Batasan umur agar

74
Ridwan Khairandy, Op.Cit Hukum Kontrak Indonesia, hlm. 176.

57
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

seseorang dinyatakan dewasa. Buku III KUHPerdata


tidak menentukan tolak ukur kedewasaan tersebut.
Ketentuan tentang Batasan umur ditemukan dalam
buku I KUHPerdata tentang orang.

Berdasarkan buku I pasal 330 KUHPerdata, seseorang


dianggap dewasa jika dia telah berusia 21 (dua puluh
satu) tahun atau telah menikah. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa hukum perjanjian
Indonesia tidak menentukan Batasan umur untuk
menentukan kedewasaan. Batasan umur Sebagai
tolok ukur kedewasaan tersebut diatur dalam hukum
perorangan atau hukum keluarga.

Kemudian belakangan, pengaturan mengenai batas


kedewasaan juga ditemukan dalam UU No. Tahun
1974 tentang perkawinan. Sekalipun undang-undang
tersebut diberi judul undang-undang tentang
perkawinan, tetapi di dalamnya sebenarnya diatur
hukum keluarga. Sekalipun tidak secara tegas
mengatur “umur dewasa” berdasar undang-undang
perkawinan.75 Pasal 47 jo pasal 50 UU No. 1 Tahun
1974 menyatakan bahwa kedewasaan seseorang
ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan
orang tua atau wali sampai dia berusia 18 tahun.

75
Ade Marman Suherman dan J. Satrio, Penjelasan Hukum Tentang
Batasan Umur Kecakapan Dan Kewenangan Bertindak Berdasarkan Batas
Umur, (Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010), hlm. 13.

58
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

Pasal 47 ayat (1) UU No. 1 tahun 1947 menyatakan


bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut kekuasaannya.
Kemudian oleh ayat (2) pasal yang sama ditentukan
lagi bahwa orang tua mewakili anak tersebut
mengenai perbuatan hukum di dalam dan diluar
pengadilan.

Pasal 50 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 menentukan


bahwa anak yang mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun atau belum melangsungkan perkawinan, yang
tidak berada dibawah kekuasaan orang tua berada
dibawah kekuasaan wali. Kemudian ayat (2) pasal 50
tersebut ditentukan bahwa perwalian itu mengenai
pribadi anak maupun bendanya.

Ketentuan pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut


dengan secara tidak langsung menetapkan batas
umur kedewasaan ketika menetapkan anak yang
belum mencapai delapan belas tahun atau belum
melangsungkan perkawinan ada di bawah
pengawasan orang tua mereka dewasa. Demikian pula
mereka yang berada dibawah kekuasaan wali
sebagaimana ditentukan pasal 50 UU No.1 Tahun
1974.76

76
Herlin Boediono, hukum perjanjian dan penerapan nya di bidang
Kenotariatan, (Bandung Citra Aditia Bhakti, 2010), hlm. 103

59
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

Peraturan undang-undang di atas mengatur


substansi yang sama dan terkait dengan hukum
perorangan dan kelurga. UU No. 1 Tahun 1974 lebih
baru daripada KUHPerdata dan bersifat nasional yang
berlaku untuk semua golongan penduduk yang
berkebangsaan Indonesia. Sesuai dengan asas lex
posteriori derogate lege priori, maka undang-undang
yang terbarulah yang harus dijadikan dasar untuk
menentukan Batasan umur kedewasaan tersebut.
Karena undang-undang ini bersifat nasional, maka
tidak relavan lagi untuk mendikotomikan antara
kedewasaan yang tunduk pada KUHPerdata dan
hukum adat. Dengan demikian, Batasan umur
kedewasaan itu semestinya adalah 18 (delapan belas)
tahun.

Khusus berkaitan dengan perjanjian dibuat di


hadapan notaris (akta notaris), telah ada pula aturan
khusus (lex specialis), yakni UU No.30 tahun 2004
tentang jabatan notaris juga menentukan batas
kedewasaan tersebut adalah 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 39 ayat (1) UU No.30 Tahun 2004 menentukan
bahwa para penghadap harus memenuhi syarat
sebagai berikut:

a. Paling sedikit berumur 18 (delpan belas) tahun


atau telah menikah dan

b. Cakap melakukan perbuatan hukum

60
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

Dengan demikian, kecakapan untuk melakukan


perjanjian dibuat tidak hanya dikaitkan dengan
batasan umur kedewasaan, tapi juga dikaitkan tolok
ukur yang lain, misalnya tidak berada di bawah
pengampunan. Tidak hanya dewasa, tetapi cakap
melakukan perbuatan hukum.77

Akibat hukum jika dari para pihak tidak cakap dalam


membuat perjanjian adalah:78

a. Jika dilakukan oleh anak yang belum dewasa,


perjanjian akan batal demi hukum. (Pasal 1446
ayat (1) KUHPer jo. Pasal 1331 ayat (1) KUHPer).

b. Jika dilakukan oleh orang yang berada di bawah


pengampuan maka perjanjian tersebut batal demi
hukum (Pasal 1446 ayat (1) KUHPer jo. Pasal 1331
ayat (1) KUHPer).

c. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh wanita yang


bersuami hanyalah batal demi hukum (Vide pasal
1446 ayat (2) KUHPer jo. Pasal 1331 ayat (1)
KUHPer).

d. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh anak di


bawah umur yang telah mendapatkan status
disamakan dengan orang dewasa hanyalah batal

77
Ridwan Khairandy, Op.Cit Hukum Kontrak Indonesia, hlm. 179.
78
Munir Fuady, Hukum Kontrak Buku Kesatu, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2015), hlm. 49

61
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

demi hukum (Vide pasal 1446 ayat (2) KUHPer jo.


Pasal 1331 ayat (1) KUHPer).

e. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh orang yang


dilarang oleh undang-undang untuk melakukan
perbuatan tertentu, maka mereka dapat
menuntut pembatalan perjanjian tersebut,
kecuali ditentukan lain oleh undang-undang
(Pasal 1330 ayat (3) KUHPer)

3. Hal Tertentu

Syarat sahnya perjajian yang ketiga adalah adanya


suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp).suatu
perjanjian harus memiliki objek tertentu, suatu
perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu
(certainty of terms). Jika undang-undang berbicara
tentang objek perjanjian (hel onderwerp der
overeenkomst), kadang yang dimaksudnya yakni
pokok perikatan (het voorwerp der verbintenis)dan
kadang juga diartikan Sebagai pokok prestasi (het
voorwerp der prastatie). 79

Suatu hal tertentu yang dimaksud pasal 1320


KUHPerdata adalah kewajiban debitor dan hak
kreditor. Ini berarti bahwa hal tertentu itu adalah apa
yang diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban kedua
belah pihak.

79
Herlin Boediono, Op. Cit, hlm. 107.

62
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata menentukan, bahwa


suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu
benda yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.
Zaak dalam Bahasa belanda tidak hanya berarti
barang dalam arti sempit, tetapi juga berarti yang
lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Sebagaiamana
telah dijelaskan di awal bahwa objek perikatan adalah
prestasi, maka perjanjian atau kontrak sebagai bagian
dari perikatan, juga memiliki objek yang sama yaitu
prestasi. Pokok persoalan di dalam kontrak adalah
prestasi. Prestasi harus tertentu atau setidak-
tidaknya harus dapat ditentukan.80

J. Satrio juga menyatakan bahwa objek perjanjian


adalah isi prestasi yang menjadi pokok perjanjian
yang bersangkutan. Jika pasal 1333 dan KUHPerdata
berbicara tentang zaak yang menjadi objek perjanjian,
maka zaak disini adalah objek perjanjian. Zaak
dimaksud dalam pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata,
adalah zaak dalam arti prestasi berupa “perilaku
tertentu” hanya mungkin untuk perjanjian yang
prestasinya adalah untuk memberikan sesuatu.
Misalnya diperjanjian jual beli, pembeli memiliki
prestasi tertentu yaitu pembayaran, pembayaran itu
dengan mata uang apa dan jumlahnya berapa,
misalnya Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Menurut J.Satrio makna zaak yang dimaksud pasal

80
Ridwan Khairandy, Op.Cit Hukum Kontrak Indonesia, hlm. 186.

63
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

1333 ayat (1) KUHPerdata tidak mungkin diterapakan


untuk perjanjian untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu tidak mungkin diterapkan.
Sebenarnya prestasi yang ditentukan itu tentu dapat
diterapkan dalam perjanjian berupa berbuat
sesuatu.81 Misalnya di dalam kontrak kerja jasa
konstruksi, pihak penyedia jasa memiliki prestasi
untuk membangun bangunan dimaksud dalam
Rencana kerja dan Syarat-syarat (RKS). Prestasinya
tertentu, mislanya berupa luas bangunan yang harus
ia bangun, misal 20.000 (dua puluh ribu) meter
persegi dengan spesifikasi yang dimaksud dalam RKS.

KUHPerdata menentukan bahwa barang yang


dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nanti
dapat dihitung atau ditentukan. Sebagai contohnya
perjanjian untuk panen tembakau dari suatu ladang
dalam tahun berikutnya adalah sah.

81
J. Satrio, Op. Cit, Buku II, hlm. 32.

64
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

4. Kausa Halal

Suatu sebab yang halal berkaitan dengan isi


perjanjian tersebut. Dalam hal ini, isi perjanjian tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan. Artinya isi perjanjian tersebut menurut
pasal 1337 KUHPer, tidak dilarang oleh undang-
undang, tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan
dalam masyarakat. Adanya suatu sebab yang halal
dalam pasal 1320 KUHPer, bukan sebab yang
mendorong orang membuat perjanjian, melainkan isi
perjanjian itu sendiri menjadi tujuan yang akan
dicapai para pihak.

Undang-undang tidak mempedulikan apa yang


menjadi sebab para pihak mengadakan perjanjian,
tetapi yang diawasi oleh perjanjian adalah “isi
perjanjian” sebagai tujuan yang hendak dicapai para
pihak.82 Dalam pasal 1355 KUHPer, menyatakan
bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau perjanjian
yang telah dibuat karena suatu sebab atau perjanjian
yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu
atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Pada
perjanjian jual beli, isi perjanjian yaitu pembeli
menghendaki hak milik atas suatu benda dan penjual
menghendaki sejumlah uang. Pada isi perjanjian

82
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung:
PTCitra Aditya Bakti, 2014), hlm. 303.

65
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

tersebut terdapat tujuan yang hendak dicapai oleh


para pihak yaitu hak milik atas benda diserahkan
kepada pembeli dan penjual mendapat sejumlah uang
sebagai imbalannya.

Dalam pasal 1335 KUHPer, menyatakan bahwa suatu


perjanjian tanpa sebab atau perjanjian yang telah
dibuat karena suatu sebab atau perjanjian yang telah
dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau
terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Pasal ini
sebenarnya hanya memper tegas kembali tentang
salah satu syarat objektif dari keabsahan perjanjian,
yaitu mulai sebab yang halal, bagaimana kalau suatu
perjanjian bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian
tersebut tidak mempunyai kekuatan atau yang lazim
disebut batal demi hukum.83

Perjanjian (Kontrak) Baku

1. Pengertian Perjanjian (Kontrak) Baku

Menurut Abdul Kadir Muhammad, istilah perjanjian


baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam
bahasa Belanda yaitu “standard contract”. Kata baku
atau standar artinya tolak ukur yang dipakai sebagai
patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang
mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha,

83
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op.Cit., hlm. 77.

66
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

yang dibakukan dalam perjanjian baku ialah meliputi


model, rumusan, dan ukuran.84

Para ahli juga memiliki definisi masing-masing terkait


perjanjian baku. Sutan Remi Sjahdeni menjelaskan
perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir
seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh
pemakainya dan pihak lain pada dasarnya tidak
mempunyai peluang untuk merundingkan atau
meminta perubahan. Yang belum dibakukan
hanyalah beberapa hal, misalnya yang menyangkut
jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan
beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang
diperjanjikan.85

Abdulkadir Muhammad menjelaskan perjanjian baku


adalah perjanjian yang menjadi tolak ukur yang
dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap
konsumen yang mengadakan hubungan hukum
dengan pelaku usaha, yang distandarisasikan atau
dibakukan adalah meliputi model, rumusan dan
ukuran tanpa membicarakan isinya dan lazimnya

84
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2006), hlm. 87.
85
Sutan Remi Sjahdeni, Kebebasan Bebasan Berkontrak Dan
Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank
Indonesia, (Jakarta: PT. Pustak Utama Grafiti, 2009), hlm 74.

67
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

dituangkan ke dalam sejumlah perjanjian tidak


terbatas yang sifatnya tertentu.86

Sedangkan Munir Fuady menjelaskan yang dimaksud


dengan kontrak baku adalah suatu kontrak tertulis
yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam
kontrak tersebut. Bahkan sering kali kontrak tersebut
sudah tercetak dalam bentuk formulirformulir
tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini
ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya
para pihak hanya mengisikan data-data informatif
tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan
dalam klausul-klausulnya. Pihak lain dalam kontrak
tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya
sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau
mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh
salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak
baki sangat berat sebelah.87

Pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan


kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap
untuk bertindak demi hukum untuk melaksanakan
suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan
aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan,

86
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung:
Alumni, 1994), hlm 47.
87
Munir Fuandy, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis,
Buku Kedua, (Bndung, Citra Aditya Bakti, 2003), hlm 76.

68
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku


dalam masyarakat luas. Namun adakalanya
kedudukan dari kedua belah pihak dalam suatu
negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya
melahirkan suatu perjanjian yang tidak terlalu
menguntungkan bagi salah satu pihak.

Dalam praktik dunia usaha juga menunjukan bahwa


keuntungan kedudukan tersebut sering
diterjemahkan dengan pembuatan klausula baku
dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat
oleh salah satu pihak yang lebih dominan dari pihak
lainya. Take it or leave it. Tidak adanya pilihan bagi
salah satu pihak dalam perjanjian ini cenderung
merugikan pihak yang kurang dominan tersebut.
Terlebih lagi dengan sistem pembuktian yang berlaku
di negara Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi
pihak yang cenderung merugikan tersebut untuk
membuktikan tidak adanya kesepakatan pada saat
dibuatnya perjanjian baku tersebut, atau atas
klausula baku yang termuat dalam perjanjian yang
ada.88

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan para ahli,


dapat disimpulkan bahwa perjanjian baku secara
esensial adalah suatu perjanjian tertulis yang

88
Gunawan Wijaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan
Konsumen, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 53.

69
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

didalamnya terdapat klausul baku. Sedangkan


klausul baku pada Pasal 1 butir 10 Undang-undang
Perlindungan Konsumen dijelaskan klausula baku
adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-
syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.

Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang


perlindungan konsumen terdapat beberapa ketentuan
yang harus dipatuhi dalam pencantuman Klausul
Baku pada suatu perjanjian (kontrak) yaitu sebagai
berikut:89

a. Pelaku usaha dalam menawarkan barang


dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila:

1) Menyatakan pengalihan tanggung jawab


pelaku usaha

2) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak


menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen

89
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.

70
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

3) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak


menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;

4) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen


kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan
dengan barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran;

5) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya


kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen;

6) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk


mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi
obyek jual beli jasa;

7) Menyatakan tunduknya konsumen kepada


peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan
jasa yang dibelinya;

8) Menyatakan bahwa konsumen memberi


kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau

71
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh


konsumen secara angsuran.

b. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula


baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau
tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.

c. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh


pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi
hukum.

d. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku


yang bertentangan dengan undang-undang ini

Selain ketentuan di atas, dalam hal berkaitan dengan


Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) ada beberapa
hal yang dilarang dalam pembuatan klausul baku jika
memuat hal hal sebagai berikut:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau


kewajiban PUJK kepada Konsumen;

b. menyatakan bahwa PUJK berhak menolak


pengembalian uang yang telah dibayar oleh
Konsumen atas produk dan/atau layanan yang
dibeli;

c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen


kepada PUJK, baik secara langsung maupun tidak

72
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

langsung, untuk melakukan segala tindakan


sepihak atas barang yang diagunkan oleh
Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut
dilakukan berdasarkan peraturan perundang-
undangan;

d. mewajibkan Konsumen untuk membuktikan dalil


PUJK yang menyatakan bahwa hilangnya
kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli
oleh Konsumen bukan merupakan tanggung
jawab PUJK;

e. memberi hak kepada PUJK untuk mengurangi


kegunaan produk dan/atau layanan atau
mengurangi harta kekayaan Konsumen yang
menjadi obyek perjanjian produk dan layanan;

f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada


peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau
perubahan yang dibuat secara sepihak oleh PUJK
dalam masa Konsumen memanfaatkan produk
dan/atau layanan yang dibelinya; dan/atau

g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa


kepada PUJK untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas
produk dan/atau layanan yang dibeli oleh
Konsumen secara angsuran.

73
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

2. Ciri-Ciri Perjanjian (Kontrak) Baku

Salah satu ciri perjanjian baku yang dikemukakan


oleh Menurut Mariam Darus Badrulzaman, yaitu
bahwa debitur sama sekali tidak menentukan isi
perjanjian itu, juga tidak dapat dibenarkan, karena
perjanjian baku pada umumnya dibuat dengan tetap
memungkinkan pihak lain (bukan pihak yang
merancang perjanjian baku) untuk menentukan
unsur essensial dari perjanjian, sedangkan klausula
yang pada umumnya tidak dapat ditawar adalah
klausula yang merupakan unsur aksidentalia dalam
perjanjian.90

Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian baku


dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:91

a. Perjanjian baku sepihak atau perjanjian adhesi


adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh
pihak yang kuat kedudukannya didalam
perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini ialah pihak
kreditur yang lazimnya mempunyai posisi
(ekonomi) kuat dibandingkan pihak debitur.

90
Ahmad Miru. Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen di Indonesia. (Surabaya: Program Pasca Sarjana Universitas
Airlangga. 2000), hlm.160-161.
91
Mariam Darus Badrulzaman, Kumpulan Pidato Pengukuhan.
(Bandung: Alumni, 1991), hlm. 99.

74
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

b. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian


baku yang isinya ditentukan oleh kedua pihak,
misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya
terdiri daripihak majikan (kreditor) dan pihak
lainnya buruh (debitor). Kedua pihak lazimnya
terikat dalam organisasi, misalnya pada
perjanjian buruh kolektif.

c. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah,


ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan
pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan
hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian
yang mempunyai obyek hak-hak atas tanah
(bentuknya tertulis).

d. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan


notaris atau advokat adalah perjanjian-perjanjian
yang konsepnya sejak semula sudah disediakan
untuk memenuhi permintaan dari anggota
masyarakat yang minta bantuan notaris atau
advokat yang bersangkutan (dipersiapkan terlebih
dahulu secara massal dan kolektif)

75
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

3. Jenis-Jenis (Perjanjian) Kontrak

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


dikenal beberapa macam perjanjian diantaranya
yaitu:92

a. Perjanjian Timbal Balik Perjanjian timbal balik


adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban
pokok bagi kedua belah pihak misalnya perjanjian
jual beli, perjanjian sewa menyewa dan lain
sebagainya.

b. Perjanjian Cuma-Cuma dan perjanjian atas


beban. Berdasarkan Pasal 1314 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dijelaskan
bahwa suatu persetujuan dibuat dengan Cuma-
cuma atau atas beban dan pada ayat (2) dijelaskan
bahwa suatu persetujuan dengan cuma-cuma
adalah suatu persetujuan dengan mana pihak
yang satu memberikan suatu keuntungan kepada
pihak lain tanpa menerima manfaat bagi dirinya
sendiri. Contohnya perjanjian hibah. Perjanjian
Atas Beban Berdasarkan Pasal 1314 ayat (3) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan
bahwa suatu perjanjian atas beban adalah suatu
perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak

92
Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang Undang Hukum
Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung:
Alumni, 2011), hlm. 90-93.

76
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

berbuat sesuatu artinya bahwa dalam perjanjian


atas beban terhadap prestasi pihak yang satu
selalu terdapat kontra prestasi dari pihak yang
lain. Contohnya perjanjian jual beli, sewa
menyewa, dan lain sebagainya. Suatu perjanjian
Timbal balik selalu merupakan suatu perjanjian
atas beban, akan tetapi tidak selalu perjanjian
atas beban merupakan suatu perjanjian Timbal
balik contoh suatu perjanjian pinjam ganti dengan
bunga.93

c. Perjanjian Bernama atau perjanjian Khusus


(benoemd) dan Perjanjian Tidak Bernama atau
perjanjian umum (onbenoemd). Perjanjian
bernama adalah perjanjian yang mempunyai
nama sendiri, maksudnya ialah bahwa perjanjian-
perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh
pembentuk undang-undang. Perjanjian Tidak
Bernama atau perjanjian umum (onbenoemd)
Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang
tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan terdapat di dalam masyarakat dan
tetapi jumlah perjanjian ini disesuaikan dengan
kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya,
seperti perjanjian kerja sama, perjanjian
pemasaran dan perjanjian pengelolaan. Lahirnya

93
Joni Emirzon dan M. Sadi Is, Op. Cit, hlm. 54.

77
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

perjanjian ini berdasarkan asas kebebasan


berkontrak.

d. Perjanjian Kebendaan (Zakelijk) dan Perjanjian


Obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah
perjanjian dengan mana seorang menyerahkan
haknya atas suatu benda kepada pihak lain, yang
membebankan kewajiban (oblige) pihak itu
menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain
(levering, transfer). Penyerahannya itu sendiri
merupakan perjanjian kebendaan. Dalam hal
perjanjian jual 35 beli benda tetap, maka
perjanjian jual belinya disebutkan pula perjanjian
jual beli sementara (voorlopig koopcontract).
Perjanjian Obligatoir adalah perjanjian di mana
pihak-pihak sepakat, mengikatkan diri untuk
melakukan penyerahan suatu benda kepada
pihak lain. Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata perjanjian jual beli saja tidak
mengakibatkan beralihnya hak milik atas suatu
benda dari penjual kepada pembeli. Fase ini baru
merupakan kesepakatan (konsensual) dan harus
diikuti dengan perjanjian penyerahan (perjanjian
kebendaan). Untuk perjanjian jual beli benda-
benda bergerak maka perjanjian obligatoir dan
perjanjian kebendaannya jatuh bersamaan.

e. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Riil.


Perjanjian konsensual adalah persesuaian

78
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

kehendak untuk mengadakan perikatan di mana


diantara kedua belah pihak telah tercapai
kesepakatan. Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata perjanjian ini sudah mempunyai
kekuatan mengikat (vide Pasal 1338 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata). Perjanjian Riil
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya
berlaku sesudah terjadi penyerahan barang,
misalnya perjanjian penitipan barang ( vide Pasal
1694 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata),
pinjam pakai (vide Pasal 1740 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata). Perjanjian yang terakhir
ini dinamakan perjanjian riil.

f. Perjanjian Liberatoir Perjanjian di mana para


pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada,
misalnya pembebasan utang (kwijtschelding)
Pasal 1438 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.

g. Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomst)


Perjanjian di mana para pihak menentukan
pembuktian mana yang berlaku diantara mereka.
Menurut Subakti perjanjian pembuktian adalah
perjanjian yang mengatur tentang pembuktian

79
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

yang akan berlaku antara para pihak yang


mengadakan perjanjian tersebut.94

h. Perjanjian Untung-untungan adalah Perjanjian


yang objeknya ditentuikan kemudian, suatu
perjanjian untung-untungan adalah suatu
perbuatan yang hasilnya, mengenai untung
ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi
sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian
yang belum tentu. Misalnya perjanjian asuransi
Pasal 1774 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.

i. Perjanjian Publik adalah keluruhan perjanjian


atau sebagian perjanjian yang dikuasai oleh
hukum publik, di mana salah satu pihak yang
bertindak adalah pemerintah dan pihak lainnya
swasta. Keduanya terdapat hubungan atasan
dengan bawahan, (Subordinated) dan tidak
berada dalam kedudukan yang sama (Co-
ordinated), misalnya perjanjian ikatan dinas.

j. Perjanjian Campuran (Contractus Sui Generis)


Perjanjian campuran ialah perjanjian yang
mengandung berbagai unsur perjanjian,
perjanjian campuran itu ada berbagai paham
yaitu:95

94
Subekti, Op. cit., Hukum Perjanjian, hlm. 95.
95
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit, hlm. 90-91.

80
LAHIRNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

1) Paham pertama mengatakan bahwa


perjanjian khusus diterapkan secara analogis
sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus
tetap ada (contractus kombinasi).

2) Paham kedua mengatakan ketentua-


ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-
ketentuan dari perjanjian yang paling
menentukan (teori absorbsi)

3) Paham ketika mengatakan bahwa ketentuan-


ketentuan undang-undang yang diterapkan
terhadap perjanjian campuran itu adalah
ketentuan undang-undang yang berlaku
untuk itu (teori kombinatie).

81
82
BAB 3
PELAKSANAAN PERJANJIAN
(KONTRAK)

Pengertian, Bentuk dan Syarat Prestasi

Prestasi adalah satu unsur perikatan adalah prestasi


(prestatie, performance). Prestasi adalah kewajiban yang
harus dipenuhi seorang debitor. Istilah lain dari prestasi
adalah utang. Utang bermakna sebagai kewajiban yang
harus dipenuhi debitor. Debitor sendiri adalah orang yang
melakukan suatu prestasi dalam suatu prikatan.

Di dalam kontrak atau perjanjian, prestasi adalah


kewajiban kontraktual (contractual obligation), kewajiban
kontraktual tersebut dapat berasal dari:96

1. Kewajiban yang ditentukan peraturan perundang-


undangan

2. Kewajiban yang diperjanjikan para dalam perjanjian


atau kontrak

3. Kewajiban yang harus dilakukan oleh kepatutan dan


kebiasaan.

96
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung:
Alumni, 1986), hlm. 56.

83
PELAKSANAAN PERJANJIAN (KONTRAK)

Kewajiban kontraktual yang pertama dapat berasal dari


peraturan perundang-undangan. Misalnya kontrak
kerjasama yang didasarkan pada kontrak bagi hasil
dibidang minyak gas aadan bumi, selain kewajibabn para
pihak ditentukan oleh kontrak dimaksud, dalam undang-
undang minyak, tetapi juga kewajiban yang ditentukan
dalam undang-undang minyak dan gas bumi.

Kemungkinan lainnya adalah apabila ada dua orang


mengadakan perjanjian sewa menyewa rumah, perjanjian
secra lisan, di dalam kesepaktan hanya diatur mengenai
jangka waktu dan harga sewa. Dalam keadaan demikian,
pengaturan prestasi atau kewajian kontraktual selain
yang disepakati para pihak, demi hukum pengaturan
kewajiban dan hak yang timbul dari perjanjian sewa
menyewa tersebut tunduk pada ketentuan buku III
KUHPerdata. Ini dapat terjadi karena sebagian besar isi
ketentuan buku III KUHPerdata adalah bersifat hukum
pelengkap. Dengan kata lain, sepanjang para pihak tidak
mengatur lain atau tidak mengatur secara lengkap hak
dan kewajiban yang timbul dari perjanjian dimaksud,
maka demi hukum perjanjian itu tunduk pada buku III
KUHPerdata.

Bentuk kewajiban kontraktual yang kedua adalah berasal


dari kesepakatan atau kontrak yang dibuat oleh para
pihak. Dengankata lain, prestasi tersebut berasal dari
kewajiban yang disepakati oleh para pihak dalam
perjanjian. Sehubungan hal tersebut. Pasal 1338 ayat (1)

84
PELAKSANAAN PERJANJIAN (KONTRAK)

KUHPerdata menentukan bahwa semua perjanjian yang


dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Selanjutnya pasal 1338 ayat
(2) KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian
tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan
keduabelah pihak atau berdasar alasan-alasan yang oleh
undnag-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Bentuk kewajiban kontraktual yang ketiga adalah


kewajiban yang ditentukan oleh kepatutan dan kebiasaan.
Berkaitan dengan hal ini pasal 1339 KUHPeradata
menentukan bahwa suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dan tegas dinyatakan
didalamnya, tetapi juga untuk segalah sesuatu yang
menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh keputusan,
kebiasaan dan undang-undang. Misalnya A memiliki
tanah beserta rumah yang ada di atas nya, danbermaksud
menjualnya. Untuk maksud itu A memberikan kuasa
kepada B untuk menjualkan tanah dan rumah tersebut.
Pada waktu A memberikan kuasa kepada B, tidak ada
komitmen A memberikan upah atau “komisi” kepada B
apabila tanah dan rumah dimaksud. Berdasarkan
kepatuhan dan kebiasaan yang terjadi di masyarakat,
apabila kuasa ynag diberikan tanpa disertai penentuan
upah atau “komisi” sebesar 2,5 % dari nilai transaksi.
Kewajiban pemberi untuk menberi upah atua komisi yang
demikian ditentukan oleh kepatutan dan kebiasaan.

85
PELAKSANAAN PERJANJIAN (KONTRAK)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prestasi


adalah pemenuhan kewajiban-kewajiban yang timbul dari
hubungan perjanjian. Kewajiban itu kewajiban
kontraktual. Kemudian kewajiban kontraktual tersebut
dapat berasal dari peraturan perundang-undangan,
kontrak perjanjian yang dibuat para pihak, kepatutan dan
kebiasaan.97

Para pihak di dalam kontrak atau perjanjian adalah


debitor dan kreditor. Debitor pihak yang memiliki
kewajiban. Debitor ini yang harus melaksanakan prestasi.
Kreditor, merupakan pihak yang memiliki hak atau
menuntut pemenuhan prestasi drai debitor. Di dalam
perjanjian yang bersiafat timbal-balik (bilateral)
kewajiban ada pada keduabelah pihak. Debitor dilihat dari
sisi kewajiban. Di dalam kontrak jual beli, pembeli jika
dilihat dari sisi kewajiban untuk melakukan pembayaran,
pembeli berkedudukan sebagai debitor. Penjual dilihat
dari segi kewajiban untuk menyerahkan barang yang
dijulanya kepada pembeli, dalam hal ini penjual juga
berkdudukan sebagai dbeitor.

Di dalam perjanjian kerja, pekerja memiliki kewajiban


untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu. Dalam posisi
ini, pekerja berkdudukan sebgaai debitor. Majikan juga
memiliki kewajiban untuk memberikan upah kepada

97
Ridwan Khairandy, Op. Cit, Hukum Kontrak hlm.269-271.

86
PELAKSANAAN PERJANJIAN (KONTRAK)

karyawan. Dalam posisi ini, majikan juga berkedudukan


sebagai debitor.

Kemudian berkaitan dengan bentuk-bentuk prestasi


dalam kontrak, pasal 1234 KUHPerdata membedakan
prestasi kedalam 3 (tiga) bentuk prestasi, yaitu:98

1. Memberikan Sesuatu

Wujud prestasi dalam memberikan sesuatu kepad (te


geven, give something) berupa kewajiban bagi debitor
untuk memberikan sesuatu kepada kreditor. Wujud
memberikan sesuatu, misalnya dalam perjanjian jual
beli adalah kewajiban penjual untuk menyerahkan
barang yang dimaksud dalam perjanjian jual beli. Peril
dicatat, bahwa kewajiban untuk memberikan sesuatu
tidak harus beruap penyerahan untuk dimiliki oleh
pihak yang menerima, tetapi juga dapat berupa
penyerahan untuk sekedar dinimkati atau dipakai
seperti kewajiban orang yang menyewakan untuk
menyerahkan objek sewa kepada penyewa.99

Menurut pasal 1235 KUHPerdata, di dalam perikatan


untuk memberikan sesuatu tercakup didalamnya
kewajiban debitor untuk menyerahkan kebendaan
yang besrangkutan dan merawatnya sebagi seorang
bapak rumah yang baik (als goed huisvader) sampai

98
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan (Penjelasan
Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW), (Jakarta: Rajagarfindo Perdasa, 2008),
hlm. 4.
99
Ridwan Khairandy, Op.Cit Hukum Kontrak Indonesia,, hlm. 272.

87
PELAKSANAAN PERJANJIAN (KONTRAK)

saat penyerahannya. Mengenai perikatan untuk


memberikan sesuatu ini, KUHPerdata tidak
merumuskan gambaran yang semepurna. Namun,
demikian, dari ketentuan di atas dapat dirumuskan
bahwa perikatan untuk memberikan sesuatu adalah
perikatan untuk menyerahkan (leveren, transfer) dan
merawat benda sampai saat penyerahan yang
dilakukan.

2. Melaksanakan Sesuatau

Sebenarnya memberikan sesuatu sama dengan


melakukan atau berbuat sesuatu. Penentuan batas
antara memberikan sesuatu dan melakukan suatu
tidak jelas. Walaupun menurut tata bahasa memberi
adalah berbuat, tetapi pada umumnya yang diartikan
dengan memberi adalah menyerahkan hak milik atau
memberi kenikmatan atas suatu atas suatu benda.
Misalnya, penyerahan hak milik atas suatu rumah
atau memberi kenikmatan atas barang yang disewa
kepada penyewa. Adapun yang dimaksud dangan
berbuat adalah setiap prestasi yang bersifat positif
tidak berupa memberi, misalnya melukis atau
menebang pohon.100

Di dalam kontrak kerja kontruksi ada dua pihak


yakni penyedia jasa (perusahaan jasa akontruksi) dan
pengguna jasa (Pemilik projek), penyedia jasa wajib

100
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung:
Binacipta, 1986), hlm. 16.

88
PELAKSANAAN PERJANJIAN (KONTRAK)

membangun bangunan atau pekerjaan yang


ditentukan dalam perjanjian. Melakukan pekerjaan
membangun tersebut masuk dalam kategori berbuat
atua melakukan sesuatu.

3. Tidak Berbuat atau Melaksanakan Sesuatu

Mengenai perikatan untuk tidak berbuat sesuatu


tdiak menibulkan masalah, karena prestasi debitor
hanya berupa tidak melakukan sesuatu atau
membiarkan orang lain berbuat sesuatu. Misalnya
tidak akan mendirikan bangunan atau tidak
menghalangi orang untuk mendirikan bangunan.101
Contoh lain: PT X adalah sebuah perusahaan
pengembang (develover) yang membangun perumahan
di suatu kawasan perumahan ketika menjual rumah-
rumah itu, penjual membuat ketentuan yang isinya
melarang pembeli untuk membangun bangunan
tambahan di rumah tersebut.

Prestasi itulah yang menjadi objek perikatan. Dalam


konteks kontrak atau perjanjian, presatsi tersebut
menjadi objek perjanjian. Prestasi itu pula yang
menjadi esendi perjanjian atau kontrak.

Kemudian prestasi sebagai objek perikatan harus


memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu:

101
Ibid, hlm. 15.

89
PELAKSANAAN PERJANJIAN (KONTRAK)

1. Harus Tertentu atau Setidaknya Dapat ditentukan

Prestasi dalam perikatan harus tertentu. Prestasi yang


harus tertentu dapat diberikan contoh dalam prestasi
untuk membayar, tertentu itu dapat beruap mata
uangnya, misalnya rupiah (Rp) dan berapa
jumlahnya, misalnya Rp 100.000.000.00 (seratus juta
rupiah). Contoh lainnya, dalam perjanjian jual beli
jeruk, penjual wajib untuk melakukan penyerahan
jeruk, jenis jeruknya harus tertentu, misalnya jeruk
medan dan berapa kilogram (kg) jumlahnya, misalnya
100 kg (sertaus kilogram). Namun demikian, dapat
juga prestasi tidak tertentu, tetapi hanya dapat
ditentukan. Sehubunghna dengan hal itu pasal 1333
KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian
harus mempunyai poko suatu benda (zaak) yang
paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.

Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu dan


suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal
tertentu (certainty of termsI), berarti bahwa yang
diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban keduabelah
pihak. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian
paling sedikit dapat ditentukan jenisnya
(determinable).

Istilah barang yang dimaksud disini yang dalam


bahasa belanda disebut sebagai zaak. zaak dalam
bahasa belanda tidak hanya berarti barang dalam arti
sempit, tetapi juga berarti yang lebih luas lagi, yakni

90
PELAKSANAAN PERJANJIAN (KONTRAK)

poko persoalan. J. Satrio menyimpulkan bahwa apa


yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam
perjnajian adalah objek prestasi. Isi prestasi tersebut
harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan
jenisnya.102

KUHPerdata menentukan bahwa barang yang


dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nati dapat
dihitung atau ditentukan. Mislanya perjanjian untuk
panen tembakau dari suatu ladang dalam
tahunbreikutny adalah sah.

Prestasi pembeli dalam perjanjian jual beli adalah


membayar, maka “terntentu” dalam pembayaran
harus jelas, mislanya memakai mata uang rupiah dan
berapa besarnya. Dalam perjanjian kerja kontruksi,
prestasi pemakai jasa konsturksi harus tertentu,
mislanya menyelesaikan pekerjaan 1.000,00 (seribu)
meter persegi atau harus bekerja selama 30 (Tiga
puluh) hari kerja.

Jika prestasi tersebut berwujud pembayaran


sejumlah uang, tertentu berarti harus tertentu jenis
mata uangnya, misalnya rupiah dan berapa
jumlahnya, mislanya 100.000.000,00 (sertaus juta
rupiah). Tertentu disini bermakna pretasi tersebut
sudah pasti.

102
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Lahir Dari Perjanjian,
Buku II, (Bandung: Citra Aditia Bhakti 1995), hlm. 41

91
PELAKSANAAN PERJANJIAN (KONTRAK)

“Dapat ditentuakan”, dapat terjadi mislanya: Budi,


seorang petani menjual buah jeruk yang baru dapat
dipanen 4 (empat) bulan mendatang kepada suryadi.
Pernjanjian jual beli terjadi pada 1 April 2011,
padahal panen diperkirakan baru dapat dilaksanakan
pada 1 Juli 2011. Tentu kewajiban Budi untuk
menyerahkan buah jeruk tersebut dapat diketahui
secara pasti, tetapi dapat diperkirakan atau diprediksi
jumlah buah yang dapat dipanen dengan berpatokan
pada hasil panen tahun seblumnya.

2. Objeknya Diperkenankan oleh Hukum

Prestasi dalam perikatan harus diperbolehkan oleh


hukum. Dengan kata lain, prestasi tersebut tidak
boleh bertentangn dengan haukum. Dalam bahasa
Indonesia biasa disebut tidak bertentangan dengan
kuasa (causa) hukum yang halal. Menurut pasal 1335
Jo 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu kuasa
dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

Suatu kuasa dinyatakan bertentangan dengan


undang-undang, jika kuasa di dalam perjanjian yang
bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-
undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah
suatu kuasa perjanjian bertentangan dengan
kesusilaan (geode zeden) bukanlah hal yang mudah,
karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstarak ,
yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang

92
PELAKSANAAN PERJANJIAN (KONTRAK)

satu dengan daerah yang lainnya atau antara


kelompok satu dengan kelompok yang lainnya. Selain
itu penilaian orang terhadap kesusilaan pula
berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jaman.

PT X sebuah produsen minyak goreng sawit membuat


perjanjian dengan PT Y yang juga adalah produsen
minyak goreng. Perjanjian tersebut berisi kesepakatan
untuk menjual minyak goreng kepada konsumen
untuk harga yang sama. Perjanjian itu termasuk
“penetapan harga”. Perjanjian demikian dilarang oleh
undang-undang Antimonopoli dan persaingan.
Karena itu, perjanjian ini bertentangan kuasa hukum
yang dibenarkan hukum.103

Pengertian dan Bentuk Wanprestasi

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa para pihak


yang membuat perjanjian wajib melaksanakan kewajiban
yang timbul perjanjian tersebut. Kewajiban yang harus
dipenuhi oleh para pihak dalam perjanjian, baik karena
perjanjian, Karena undang-undang, atau keputusan dan
kebiasaan disebut sebagai prestasi.

Pemenuhan prestasi adalah hakikat dari suatu perjanjian.


Kewajiban memenuhi prestasi dari debitor selalu disertai
dengan tanggung jawab, artinya debitor mempertaruhkan

103
Ridwan Khairandy, Op.Cit, Hukum Kontrak, hlm. 276.

93
PELAKSANAAN PERJANJIAN (KONTRAK)

harta kekayaannya sebagai jaminan pemenuhan


untungnya kepada kreditor.

Dalam melaksanakan prestasi tersebut, adakalanya


debitor tidak dapat melaksanakan prestasi atau
kewajibannya. Ada penghalang ketika debitor
melaksanakan prestasi dimaksud. Tidak terpenuhinya
kewajiban itu ada dua kemungkinan alasannya yaitu:

1. Karena kesalahan debitor, baik karena kesengajaan


maupun karena kelalaian.

2. Karena keadaan memaksa (force majeure, overmacht),


sesuatu yang terjadi di luar kemampuan debitor,
debitor tidak bersalah.

Apabila tidak terpenuhinya kewajiban prestasi


disebabkan oleh kesalahan debitor, baik karena
kesengajaan maupun karena kelalaian, dan kesemuanya
itu dapat dipersalahkan kepadanya, maka dikatakanb
bahwa debitor melakukan wanprestasi. Istilah lain dari
wanprestasi dalam bahasa Indonesia adalah cidera janji
atau ingkar janji.

Wanprestasi atau cidera janji adalah suatu kondisi di


mana debitor tidak melaksanakan kewajiban yang
ditentukan di dalam perikatan, khusunya perjanjian
(Kewajiban Kontraktural). Wanprestasi dapat juga terjadi
di mana debitor tidak melaksanakan kewajibannya yang
ditentukan dalam undang-undang.

94
PELAKSANAAN PERJANJIAN (KONTRAK)

Wanprestasi dalam hukum perjanjian mempunyai makna


yaitu debitor tidak melaksanakan kewajiban prestasinya
atau tidak melaksanakannya sebagaimana mestinya
sehingga kreditor tidak memperoleh apa yang dijanjikan
oleh pihak lawan. Adapun pengertian umum tentang
wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak
tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut
selayaknya.

Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa


belanda “wanprestatie”. Wan berarti buruk atau jelek dan
prestatie berarti kewajiban yang harus dipenuhi oleh
debitor dalam setiap perikatan. Jadi, wnaprestasi adalah
prestasi yang buruk atau jelek. Secara umum artinya
tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam
perikatan yang timbul karena perjanjian maupun
perikatan yang timbul karena undang-undang.104

Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, wanprestasi


yaitu hal di mana tidak memenuhi suatu perutangan
(perikatan). Wanprestasi memiliki dua macam sifat yaitu
pertama-tama dapat terdiri atas hal bahwa prestasi itu
menang dilakukan tetapi tidak secara sepatutnya.
Kemudian prestasi itu tidak dilakukan pada waktu yang
tepat.105

104
Ibid, hlm. 278-279.
105
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perlu Tangan, Bagian A,
(Yogyakarta: Sesi Hukum Perdata Facters Hukum Universitas Gajah Mada
1990), hlm. 11.

95
PELAKSANAAN PERJANJIAN (KONTRAK)

Menurut J.Satrio, wanprestasi yaitu kalau debitor tidak


memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana
mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan
kepadanya.106 Sementara menurut M Yahya Harahap,
wanprestasi yaitu pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat
pada waktunya atau dilakukan tidak menurut
selayaknya. Menurutnya seorang debitor disebutkan dan
berada dalam keadaan wanprestasi apabila dia dalam
melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai
sehingga terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan
atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut
sepatutnya / selayaknya.107

Secara lebih sepesefik Meijers menyatakan bahwa


wanprestasi adalah perbuatan yang tidak melaksanakan
kewajiban yang timbul dari perjanjian. Wanprestasi
adalah konsep perikatan karena perjanjian. Dalam
praktik di negeri Belanda, gugatan dengan kualifikasi
wanprestasi harus berdasar pada tidak dipenuhinya
suatu perjanjian.

Bentuk Wanprestasi

Wanprestasi adalah keadaan di mana debitor tidak


memenuhi kewajiban prestasinya dalam perjanjian atau
tidak memenuhi sebagaimana mestinya atau menurut
selayaknya. Unsur-unsur dari wanprestasi adalah debitor
sama sekli tidak berprestasi, debitor keliru berprestasi,

106
J. Satrio, Op. Cit, Buku II, hlm. 122.
107
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 60.

96
PELAKSANAAN PERJANJIAN (KONTRAK)

atau debitor terlambat berprestasi. Sementara unsur-


unsur dari wanpresatsi adalah sebagai berikut:108

1. Debitor sekali tidak berprestasi; atau

2. Debitor keliru berprestasi; atau

3. Debitor terlambat berprestasi

Subekti, menyebutkan bahwa wanprestasi debitor dapat


berupa:109

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan


dilakukannya.

2. Melaksanakn apa yang diperjanjikan, tetapi tidak


sebagaiamana yang diperjanjikan.

3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat.

4. Melakukan sesuatau yang menurut perjanjian tidak


boleh dilakukan.

Berikut akan dijelaskan lebih detail terkait bentuk-bentuk


wanprestasi

1. Debitor Sama Sekali Tidak Berprestasi

Dalam hal ini dbeitor sama sekali tuidak memberikan


prestasinya. Hal iti bisa disebabkan karena debitor
menang tidak mau berprestasi atau bisa juga
disebabkan karena memang kreditor objek tidak ada
gunanya lagi untuk berprestasi. Pada pristiwa yang

108
Ridwan Khairandy, Op.Cit, Hukum Kontrak, hlm 280.
109
Subekti, Op. Cit Hukum Perjanjian,, hlm. 45.

97
PELAKSANAAN PERJANJIAN (KONTRAK)

pertama memang kreditor tidak bisa lgi berprestasi,


sekalipun ia mau.

2. Debitor Keliru Berprestasi

Di sini debitor memang dalam pemikirannya telah


memberikan prestasinya, tetapi dalam kenyataannya,
yang diterima kreditor lain daripada yang
diperjanjikan. Kreditor membeli bawang putih,
ternyatabyang dikirim bawang merah. Dalamhal
demikian kita tetap beranggapan bahwa debitor tidak
berprestasi. Jadi dalam kelompk ini (tidak berprestasi)
termasuk “penyerahan yang tidak sebagaimana
mestinya” dalam arti tidak sesuia dengan yang
diperjanjikan.

3. Debitor Terlambat Berprestasi

Disini debitor berprestasi, objek prestasinya betul,


tetapi tidak sebagaimana diperjanjikan. Sebagaiaman
sudah disebutkan di atas , debitor digolongkan
kedalam kelompok “terlmabat berprestasi” kalau
objek prestasinya masih berguna bagi kreditor. Orang
yang terlambat berprestasi dikatakan dalam keadaan
lalai atau mora.110

Wanprestasi dan Kaitannya Kesalahan Debitor

Timbulmya wanprestasi berasal dari keslahan (schuld)


debitor, yakni tidak melaksnakan kewajiban kontruktural

110
Ibid, hlm. 133.

98
PELAKSANAAN PERJANJIAN (KONTRAK)

yang seharusnya ditunaikan. Kesalahan tersebut adalah


kesalahan dalam arti luas, yakni berupa kesengajaan
(opzet) atau kealfaan (onachtzaamheid). Dalam arti sempit
kesalahan hanya bermakna kesngajaan.

Kesalahan dalam wanprestasi adalah keslaahan yang


menimbulkan kerugian bagi kreditor. Perbuatan berupa
wanprestasi tersebut menimbulkan kerugian terhadap
kreditor, dan perubahan itu harus dapat dipersalahakan
kepada debitor.

Kerugian tersebut harus dapat dipersalahakan kepada


debitor. Jika unsur kesengajaan atau kelalaian dalam
pristiwa yang menimbulkan kerugian pada diri kreditor
dan dapat dipertangungjawabkan pada debitor. Kerugian
yang diderita kreditor tersebut dapat berupa biaya-biaya
(ongkos-ongkos) yang telah dikelurkan kreditor, kerugian
yang menimpa harta benda milik kreditor, atau hilangnya
keuntungan yang diharapkan.111

Keadaan Memaksa (Overmacht)

Pengertian Overmacht berasal dari bahasa Belanda yang


berarti suatu keadaan yang merajalela dan menyebabkan
orang tidak dapat menjalankan tugasnya.112 Dalam
kamus hukum Overmacht mempunyai arti keadaan
memaksa, yaitu keadaan yang menghalangi penunaian

111
Ridwan Khairandy, Op.Cit, Hukum Kontrak, hlm 281.
112
S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, (Jakarta : PT.
Ikhtiar Baru-Van Hoevo, 1990), hlm. 478.

99
PELAKSANAAN PERJANJIAN (KONTRAK)

perikatan yang membebaskan seseorang dari kewajiban


mengganti biaya, kerugian dan bunga. Dalam bahasa
Perancis disebut dengan istilah Force de Majeure yang
artinya sama dengan keadaan memaksa.113

Ketentuan dalam KUHPerdata mengenai ketentuan umum


force majeure terdapat pada Pasal 1244 dan 1245
KUHPerdata, Pada dasarnya ketentuan tersebut hanya
mengatur masalah force majeure dalam hubungan
dengan pergantian biaya rugi dan bunga saja. Force
majeure dalam hukum perdata diatur dalam buku III B.W
dalam pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata

Pasal 1244 KUHPerdata:

Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum


mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat
membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu
yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan
suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun
jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.

Pasal 1245 KUHPerdata:

Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila


lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian
tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau

113
Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986),
hlm. 425.

100
PELAKSANAAN PERJANJIAN (KONTRAK)

berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal


yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang

Rumusan kausa force majeure dalam KUHPerdata dapat


dirinci sebagai berikut:114

1. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure


tersebut haruslah “tidak terduga“ oleh para pihak,
atau tidak termasuk dalam asumsi dasar (basic
assumption) pada saat para pihak membuat kontrak
itu (Pasal 1244 KUHPerdata)

2. Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung


jawabkan kepada pihak yang harus melaksanakan
presentasi (pihak debitur) tersebut (Pasal 1244
KUHPerdata)

3. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure


itu diluar kesalahan pihak debitur, (Pasal 1244
KUHPerdata)

4. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure


tersebut bukan kejadian yang disengaja oleh Debitur.
Ini merupakan perumusan yang kurang tepat, sebab
yang semestinya tindakan tersebut “diluar kesalahan
para pihak (Pasal 1545 KUHPerdata), bukan tidak
sengaja”. Sebab, kesalahan para pihak baik yang

114
Thomas S. Bishoff and Jeffrey R. Miller, Force Majeure and
Commercial Impractiability: Issues to Consider Before the Next Hurricane or
Matural Disaster Hits, The Michigan Business Law Journal,Volume 1, Issue
1, Spring 2009, hlm. 17.

101
PELAKSANAAN PERJANJIAN (KONTRAK)

dilakukan dengan sengaja ataupun yang tidak


sengaja, yakni dalam bentuk “kelalaian” (negligence)

5. Para pihak tidak dalam keadaan itikat buruk (Pasal


1244 KUHPerdata)

6. Jika terjadi force majeure, maka kontrak tersebut


menjadi gugur, dan sedapat mungkin para pihak
dikembalikan seperti seolah–olah tidak pernah
dilakukan perjanjian (Pasal 1545 KUHPerdata);

7. jika terjadi force majeure, maka para pihak tidak boleh


menuntut ganti rugi. Vide Pasal 1244 juncto Pasal
1245, juncto Pasal 1553 ayat (2) KUHPerdata. Akan
tetapi karena kontrak yang bersangkutan menjadi
gugur karena adanya force majeure, maka untuk
menjaga terpenuhinya unsur-unsur keadilan,
pemberian restitusi atau quantum merit tentu masih
dimungkinkan; dan

8. Resiko sebagai akibat dari force majeure, beralih dari


pihak kreditur kepada pihak debitur sejak saat
seharusnya barang tersebut diserahkan (vide Pasal
1545 KUHPerdata). Pasal 1460 KUHPerdata mengatur
hal ini secara tidak tepat (di luar sistem)

102
BAB 4
HAPUSNYA PERJANJIAN
(KONTRAK)

Hapusnya Perikatan dalam Hukum perdata

Hapusnya perikatan dalam kontrak yang timbul dari


persetujuan maupun dari undang-undang diatur dalam
bab ke-IV buku ke-III KUHPerdata, yaitu pasal 1381. Pada
pasal tersebut mengatur berbagai cara hapusnya
perikatan dan cara cara yang ditunjukkan oleh
pembentuk undang-undang itu tidaklah bersifat
membatasi para pihak untuk menciptakan cara yang lain
untuk menghapuskan suatu perikatan. Juga cara cara
yang tersebut dalam pasal 1381 KUHAP perdata itu
tidaklah lengkap karena tidak mengatur misalnya
hapusnya perikatan karena meninggal nya seseorang
dalam suatu perjanjian yang prestasinya hanya dapat
dilaksanakan oleh salah satu pihak.115

Pasal 1381 kau ha perdata mengatur 10 cara hapusnya


perikatan. Lima cara pertama yang tersebut dalam pasal
tersebut menunjukkan bahwa kreditur tetap menerima

115
Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang Undang Hukum
Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung:
Alumni, 2011), hlm. 155-156.

103
HAPUSNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

prestasi dari debitur. Dalam cara keenam yaitu


pembebasan utang, maka kreditur tidak menerima
prestasi, bahkan sebaliknya yaitu secara suka rela
melepaskan haknya atas prestasi. Pada empat cara
terakhir maka kreditur tidak menerima prestasi, karena
perikatan tersebut gugur ataupun dianggap telah gugur.
Berikut beberapa cara hapusnya suatu perikatan
berdasarkan pasal 1381 KUHPerdata, yaitu:116

1. Pembayaran
Dengan berlakunya pembayaran oleh si pembeli dan
sebaliknya si penjual menyerahkan barang, maka
perjanjian tersebut dianggap sudah berakhir. Yang
wajib membayar suatu utang tidak saja si berutang
tetapi juga seorang kawan si berutang dan seorang
penanggung utang (borg). Bahkan perjanjian dapat
dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang
mempunyai kepentingan, asal saja pihak ketiga itu
bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si
berutang, atau, jika ia bertindak atas namanya
sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si
berpiutang (Pasal 1382 ayat 2 KUHPerdata). Di mana
pembayaran dapat dilakukan, menurut ketentuan
Pasal 1393 KUHPerdata diterangkan sebagai berikut:

116
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan (Penjelasan
Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW), (Jakarta: Rajagarfindo Perdasa, 2008),
hlm. 109.

104
HAPUSNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

“Pembayaran harus dilakukan di tempat yang


ditetapkan dalam persetujuan, jika dalam persetujuan
tidak ditetapkan suatu tempat, maka pembayaran
yang mengenai suatu barang yang sudah ditentukan,
harus terjadi di tempat barang itu berada sewaktu
persetujuannya dibuat.”

“Di luar kedua hal tersebut, pembayaran harus


dilakukan di tempat tinggal si berpiutang, selama
orang ini terus-menerus berdiam dalam keresidenan, di
mana ia berdiam sewaktu persetujuan dibuat, dan di
dalam hal-hal lain di tempat tinggal berpiutang.”

2. Penawaran pembayaran diikuti oleh penyimpanan


Istilah yang lebih dikenal untuk sistem pembayaran
ini adalah “konsinyasi”. Sistem konsinyasi diatur
dalam Pasal 1383-Pasal 1403 KUHPerdata. Sistem ini
baru dapat dilaksanakan apabila si berpiutang
(kreditur) menolak pembayaran, dengan cara: Barang
atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan
secara resmi oleh seorang notaris atau seorang juru
sita pengadilan, apabila kreditur menerima tawaran
tersebut, maka berakhirlah perjanjian itu, namun,
apabila tidak, maka notaris atau juru sita akan
mempersilahkan kreditur untuk menandatangani
proses-verbal tersebut, jika menolak juga, maka hal
tersebut akan dicatat oleh notaris/juru sita di atas
surat proses perbal sebagai alat bukti penolakan.
Selanjutnya si berutang di muka pengadilan negeri

105
HAPUSNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

dengan permohonan kepada pengadilan supaya


mengesahkan penawaran pembayaran yang telah
dilakukan itu. Setelah pengesahan, maka barang atau
uang yang akan dibayarkan disimpang atau dititipkan
kepada panitera pengadilan negeri dan semenjak saat
itu hapuslah perjanjian utang piutang tersebut.117

3. Pembaruan utang (inovati)


Ada dua macam pembaruan atau novasi, yaitu novasi
objektif dan novasi subjektif. Novasi objektif yaitu hal
yang diperbarui adalah objek perjanjian, sedangkan
novasi subjektif hal yang diperbarui adalah subjek
atau orang-orangnya dalam perjanjian. Jika yang
diganti debitur, maka novasi tersebut novasi subjektif
pasif, sedangkan apabila yang diganti adalah
krediturnya disebut novasi aktif mengenai novasi ini
dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1413-Pasal
1424 KUHPerdata. Menurut Pasal 1413 KUHPerdata,
ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu
pembaruan utang atau novasi, yaitu118:

a. Apabila seorang yang berutang membuat suatu


perikatan utang baru guna orang yang
mengutangkannya, yang menggantikan utang
lama yang dihapus karenanya;

117
Joni Emirzon dan Muhamad Sadi Is, Op.Cit, hlm 102-103.
118
Ibid, hlm 103.

106
HAPUSNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

b. Apabila seorang berutang ditunjuk untuk


menggantikan orang berutang lama, yang oleh si
berutang dibebaskan dari perikatan; dan

c. Apabila Sebagai akibat suatu perjanjian baru,


seorang kreditur baru ditunjuk untuk
menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si
berutang dibebaskan dari perikatan.

Pembaruan utang hanya dapat terlaksana antara


orang-orang yang cakap untuk mengadakan
perjanjian.

4. Perjumpaan Utang atau Kompensasi


Perjumpaan utang adalah suatu cara hapusnya
perikatan dengan jalan memperhitungkan utang
piutang secara timbal balik antara kreditur dan
debitur. Para pihak, yaitu kreditur dan debitur saling
mempunyai utang dan piutang satu sama lain. Dalam
KUHPerdata, kompensasi diatur dalam Pasal 1425-
Pasal 1435. Terjadinya perjumpaan utang apabila dua
orang saling berutang satu pada lain, dengan mana
utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan
dengan cara memperjumpakan atau
memperhitungkan utang piutang secara timbal balik
antara kreditur dan debitur. Perjumpaan utang
hanyalah terjadi antara dua utang yang kedua-
duanya berpokok sejumlah uang atau sesuatu barang
yang dapat dihabiskan, dari jenis yang sama, dan

107
HAPUSNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

yang kedua-duanya dapat ditetapkan serta ditagih


seketika.

5. Percampuran utang
Percampuran utang terjadi, apabila kedudukan
sebagai orang berpiutang (kreditur) dan seorang
berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka
terjadilah demi hukum suatu percampuran utang
dengan mana utang piutang itu dihapuskan.119
Percampuran utang adalah percampuran kedudukan
dari pihak pihak yang mengadakan perjanjian,
sehingga kualitas sebagai kreditur menjadi satu
dengan kualitas dari debitur, dalam hal ini demi
hukum hapuslah perikatan yang semula ada di antara
kedua belah pihak tersebut. Percampuran kedudukan
tersebut dapat terjadi berdasarkan Alas hak umum
misalnya bila kreditur meninggal dunia dan sebagai
satu-satunya ahli waris yang ditinggalkannya ialah
debitur atau sebaliknya atau percampuran
kedudukan itu dapat terjadi berdasarkan alasan
khusus misalnya pada jual beli120

Dengan demikian terjadinya percampuran utang


tersebut secara otomatis. Percampuran utang yang
terjadi pada saat dirinya si berutang utama, berlaku
juga untuk keuntungan para penanggung utangnya,

119
Pasal 1436 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
120
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit, Perikatan Dengan
Penjelasan, hlm. 186-187.

108
HAPUSNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

tetapi apabila percampuran yang terjadi pada dirinya


di penanggung utang (borg), tidak mengakibatkan
hapusnya utang pokok. Percampuran yang terjadi
pada dirinya salah satu dari orang-orang yang
berutang secara tanggung-menanggung, tidak
berlaku untuk keuntungan teman-temannya
berutang secara tanggung-menanggung hingga
melebihi bagiannya dalam utang yang ia sendiri
menjadi orang berutang.121

6. Pembebasan utang
Hapusnya perjanjian, apabila si berutang dengan
tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi
dari si berutang dan melepaskan haknya atas
pembayaran atau pemenuhan perjanjian. Namun
pembebasan utang tersebut tidak dipersangkan,
tetapi harus dibuktikan (Pasal 1438 KUHPerdata).
Pengembalian sepucuk surat tanda piutang asli
secara sukarela oleh si berutang kepada si berutang
merupakan suatu bukti tentang pembebasan
utangnya, bahkan terhadap orang-orang lain yang
turut berutang secara tanggung-menanggung (Pasal
1439 KUHPerdata).122

121
Joni Emirzon dan Muhamad Sadi Is, Op.Cit, hlm 104.
122
Ibid, hlm 104-105.

109
HAPUSNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

7. Musnahnya barang yang terutang.


Jika barang tertentu yang menjadi bahan
persetujuan, musnah, tak lagi dapat diperdagangkan,
atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak
diketahui apakah barang itu masih ada, maka
hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau
hilang di luar kesalahan di berutang dan sebelum ia
lalai menyerahkannya. 123

Apabila barang yang menjadi obyek perikatan Musnah


atau hilang, maka Hapuslah perikatan tersebut. Hal
ini digantungkan pada dua syarat, yaitu:124

a. Musnahnya barang tersebut bukan karena


kelalaian debitur.
b. Debitur belum lalai menyerahkan kepada kreditur
Apabila debitur lalai menyerahkan barang yang
menjadi obyek perjanjian kepada kreditur, asal
debitur dapat membuktikan bahwa barang tersebut
walaupun telah diserahkan kepada kreditur akan
tetap usah dengan cara yang sama, perikatan tersebut
tetap hapus. Hal ini akan berlaku jika debitur tidak
menanggung kejadian kejadian tak Terduga, dan
debitur lah yang membuktikan kejadian tak Terduga
tersebut dalam hal terjadi pencurian, bagaimanapun
penyelesaian antara debitur dan kreditur tidak

123
Pasal 1444 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
124
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op. Cit, hlm 105

110
HAPUSNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

membebaskan pencurian dari kewajiban untuk


mengganti barangnya.

8. Kebatalan atau pembatalan


Apabila terjadi pembatalan perjanjian yang
disebabkan kekuarangan syarat subjektif, maka hal
ini dapat dilakukan dengan du acara yaitu pertama
secara aktif menuntut pembatalan perjanjian yang
demikian di depan hakim, kedua secara pembelaan,
yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim
untuk memenuhi perjanjian dan di situlah baru
mengajukan kekurangannya perjanjian itu. Mengenai
hal ini Pasal 1446 KUHPerdata menegaskan bahwa:

“Semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang belum


dewasa atau orang-orang yang ditaruh di bawah
pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas
mereka penuntutan yang dimajukan oleh atau dari
pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata
atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya.”

Lebih lanjut Pasal 1449 KUHPerdata menentukan


bahwa “perikatan yang dibuat dengan paksaan,
kekhilafan atau penipuan menerbitkan suatu
tuntutan untuk membatalkannya. Akibat dari
batalnya perikatan berdasarkan ketiga hal di atas,
barang dan orang-orangnya dipulihkan dalam
keadaan sewaktu sebelum perikatan dibuat.
Pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi syarat

111
HAPUSNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

subjektif tidak dapat dilakukan begitu saja, tetapi


melalui prosedur hukum, yaitu dapat dilakukan
dengan du acara, yaitu:

a. Secara aktif

Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian di


depan hakim. Menurut Pasal 1454 KUHPerdata,
bahwa dalam semua hal di mana suatu tuntutan
untuk pernyataan batalnya suatu perikatan tidak
dibatasi dengan suatu ketentuan undang-undang
khusus hingga suatu waktu yang lebih pendek,
waktu itu adalah lima tahun waktu tersebut mulai
berlaku:125

1) Dalam hal kebelumdewasaan, sejak hari


kedewasaan;

2) Dalam hal pengampuan, sejak hari


pencabutan pengampuan;

3) Dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu


telah berhenti;

4) Dalam hal kekhilafan atau penipuan, sejak


hari diketahuinya kekhilafan atau penipuan
itu;

125
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit, Perikatan Dengan
Penjelasan, hlm. 196.

112
HAPUSNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

5) Dalam halnya perbuatan seorang perempuan


yang bersuami, yang dilakukan tanpa kuasa
si suami, sejak hari pembubaran perkawinan;

6) Dalam hal kebatalan, yang dimaksud dalam


Pasal 1341 KUHPerdata, sejak hari
diketahuinya, bahwa kesadaran yang
diperlukan untuk kebatalan itu ada.

Waktu yang disebutkan di atas ini, yang


ditetapkan untuk mengajukan tuntutan, tidaklah
berlaku terhadap kebatalan yang dimajukan
selaku pembelaan atau tangkisan yang mana
selalu dapat dikemukakan.

b. Secara pembelaan

Pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di


depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan
disitulah baru mengajukan kekurangan
perjanjian itu. Dalam hal ini tidak diadakan
pembatasan waktu.

Namun demikian, tuntutan untuk pernyataan


gugur, aoabila orang belum dewasa, orang yang
ditaruh dibawah pengampuan, “perempuan yang
bersuami yang bertindak tanpa bantuan suami”,
atau orang yang dapat memajukan adanya
paksaan, kekhilafan atau penipuan secara tegas
atau secara diam-diam telah menguatkan

113
HAPUSNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

perikatannya setelah ia menjadi dewasa, setelah


penghapusan pengampuannya, setelah
pembubaran perkawinannya, setelah paksaan
berhenti, atau setelah diketahui tentang adanya
kekhilafan atau penipuan (Pasal 1456
KUHPerdata).126

9. Berlakunya Suatu Syarat Batal


Pasal 1265 KUHPerdata menjelaskan bahwa suatu
syarat-batal adalah syarat yang apabila dipenuhi,
menghentikan perikatan, dan membawa segala suatu
kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak
pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak
menangguhkan pemenuhan perikatan hanyalah ia
mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang
telah diterimanya, apabila peristiwa yang
dimaksudkan terjadi.127

Berikatan dengan syarat batal yang dimaksudkan


dalam pasal ini hanya tepat untuk perikatan yang
terjadi dengan seketika, tetapi tidak tepat untuk
perikatan yang berlangsung dalam waktu lama seperti
halnya dengan perjanjian sewa menyewa karena
apabila perjanjian yang digantungkan pada syarat
tersebut adalah Penyewa, maka tentu saja kreditur

126
Joni Emirzon dan Muhamad Sadi Is, Op.Cit, hlm 105-107.
127
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit, Perikatan Dengan
Penjelasan, hlm. 54.

114
HAPUSNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

tidak berkewajiban untuk mengembali128kan uang


yang telah diterimanya kecuali sekedar uang tersebut
melebihi perbandingan jangka waktu kenikmatan
barang oleh pihak Penyewa. Jadi perikatan ini tidak
dapat di katakana fatal tetapi berakhir atau gugur.
Demikian, syarat batal pada contoh di atas tidak tepat
untuk tingkatan syarat batal melainkan sarat
berakhir.

10. Lewatnya Waktu (Daluarsa) (diatur dalam buku ke


IV, BAB 7)
Suatu perjanjian akan berakhir apabila lamanya
waktu yang diperjanjikan berakhir atau lewat, maka
perjanjian tersebut berakhir. Menurut Pasal 1946
KUHPerdata, kadaluwarsa adalah suatu alat untuk
memperoleh sesuatu atau untuk di bebaskan dari
suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu
tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang lebih lanjut Pasal 1947 KUHPerdata
menegaskan bahwa tidak diperkenankan seorang
melepaskan daluwarsa sebelum tiba waktunya,
namun, bolehlah ia melepaskan suatu daluwarsa
yang sudah diperolehnya. Mengenai tenggang waktu
daluwarsa. Pasal 1967 KUHPerdata menentukan:

“Segala tuntutan hukuman, baik yang bersifat


perbendaan maupun yang bersifat perseorangan,

128
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op. Cit, hlm. 28-29.

115
HAPUSNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

hapus karena daluwarsa dengan lewat waktunya


waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang
menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah
mempertunjukkan suatu alas hak, lagi pula tak
dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan
yang didasarkan kepada iktikadnya yang buruk.”

Dengan demikian, apabila lewat waktu sebagaimana


ditentukan Pasal 1967 KUHPerdata maka hapuslah
setiap perikatan hukum dan tinggal suatu perikatan
bebas (natuurlijke verbintenis). Daluwarsa untuk
mendapatkan hak milik atas suatu barang dinamakan
daluwarsa acquisitir, sedangkan daluwarsa untuk
membebaskan dari suatu perikatan dinamakan
daluwarsa extinctif.

Darwan Prinst menyatakan bahwa daluwarsa


(verjaring) atau lewat waktu adalah “suatu alat untuk
memperoleh sesuatu atau dibebaskan dari suatu
perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan
atas syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-
undang (Pasal 1946 KUHPerdata). “Seseorang
tidaklah dapat memperoleh sesuatu hak karena
daluwarsa, bila waktunya belum tiba. Akan tetapi,

116
HAPUSNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

seseorang dapat melepaskan sesuatu hak yang


diperolehnya karena daluwarsa.”129

Menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar


Oeripkartawinata, dalam buku Keempat BW
(Burgerlijk Wetboek), antara lain siatur tentang
daluwarsa, bahwa:130

a. Daluwarsa menyebabkan seseorang dibebaskan


dari suatu kewajiban atau yang mennyebabkan
hak menuntut seseorang menjadi gugur,
praescriptio dan extinctieve verjaring.

b. Daluwarsa menyebabkan seseorang memperoleh


suatu hak tertentu. Daluwarsa ini mengharuskan
adanya iktikad baik dari orang yang akan
memperoleh hak tersebut, usucapio (Bahasa
Latin) dan acquistieveverjaring (Bahasa Belanda).

C.S.T. Kansil menyatakan bahwa lewat waktu


(daluwarsa) dapat dibedakan sebagai berikut:131

a. Lewat waktu untuk memperoleh hak milik. Dalam


hukum perbendaan, seorang bezitter yang jujur

129
Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan
Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 73.
130
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara
Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hlm. 205.
131
C. S. T Kansil, Modul Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita,
2006), hlm. 257.

117
HAPUSNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

atas semua benda yang tidakbergerak lama


kelamaan dapat memperoleh hak milik atas
benada tersebut. Apabila ia dapat menunjukkan
suatu titel yang sah, maka dengan lewatnya waktu
dua puluh tahun lamanya sejak ia mulai
menguasai benda tersebut, ia menjadi pemilik
yang sah dari benda tersebut.

b. Lewat waktu untuk dibebaskan dari suatu


tuntutan. Oleh undang-undang ditetapkan bahwa
lewatnya waktu tiga puluh tahun, setiap orang
dibebaskan dari semua penagihan tuntutan
hukum. Hal ini berarti bila seseorang digugat
untuk membayar utang yang sudah lebih dari tiga
puluh tahun lamanya, ia dapat menolak gugatan
itu dengan hanya mengajukan bahwa ia selama
tiga puluh tahun belum pernah menerima
tuntutan atau gugatan itu.

Menurut M. Yahya Harahap, daluwarsa “menjadi


landasan hukum untuk membebaskan seorang dari
suatu perikatan setelah lewatnya jangka waktu
tertentu.”132 Adapun Sudikno Mertokusumo
berpendapat “pengarus lampau waktu terhadap
tuntutan hak, apabila seseorang tidak lagi
mempunyai sesuatu hak, apabila haknya karena
sesuatu hal lenyap, maka ikut lenyap pulalah

132
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta Sinar Grafika
2012), hlm. 456.

118
HAPUSNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

tuntutan haknya.” Hak atau hubungan hukum dapat


hapus atau lahir karena lampaunya waktu. Dengan
demikian pula tuntutan hak atau gugatan dapat
kadaluwarsa atau dapat hapus karena lampaunya
waktu. Hak yang oleh undang-undang diberikan
untuk waktu tertentu akan hapus dengan lampaunya
waktu yang ditetapkan undng-undang (decheance).
Hak ini berhenti atau hapus dengan sendirinya (ex re)
setelah lewatnya waktu yang ditentukan oleh undang-
undang.133

Hapusnya Perjanjian dalam Hukum Islam

Menurut hukum islam, akad berakhir karena sebab-sebab


terpenuhinya tujuan akad (tahqiq gharadh ‘al-aqad),
Pemutusan akad (fasakh), putus dengan sendirinya
(infisakh), kematian dan tidak memperoleh izin dari pihak
yang memiliki kewenangan dalam akad mauquf. Berikut
penjelasan dari masing-masing dimaksud.

1. Terpenuhinya Tujuan Akad

Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai


tujuannya. Dalam akad jual beli akad dipandang telah
berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada
pembeli dan harganya telah menjadi pemilik penjual.

133
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 105-106.

119
HAPUSNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

Dalam akad gadai dan peranggungan (kafalah), akad


dipandang telah berakhir apabila utang telah dibayar.

2. Terjadinya Pembatalan / Pemutusan Akad


(Fasakh)

Pembatalan / pemutusan akad (fasakh), terjadi


dengan sebab-sebab berikut:134

a. Adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’,


seperti terdapat kerusakan dalam akad (Fasad Al-
‘aqdi). Misalnya jual beli barang yang tidak
memenuhi kejelasan (jahalah) dan tertentu
waktunya (mu’aqqat).

b. Adanya khiyar, baik khiyar rukyat, khiyar ‘aib,


khiyar syarat atau khiyar majelis.

c. Adanya penyesalan dari salah satu pihak (iqalah).


Salah satu pihak yang berakad dengan
persetujuan pihak lain membatalkan karena
merasa menyesal atas akad yang baru saja
dilakukan. Hal ini didasarkan pada Hadist Nabi
Riwayat Baihaqi dari Abi Hurairah yang
mengajarkan bahwa barang siapa mengabulkan
permintaan pembatalan orang yang menyesal atas
akad jual beli yang dilakukan, Allah akan
menghilangkan kesukarannya pada hari kiamat

134
Fathurrahman Djamil, Op. Cit, hlm. 59.

120
HAPUSNYA PERJANJIAN (KONTRAK)

kelak (man aqala naadiman bai’atuhu aqalallahu


‘atsratuhu yaumal qiyamah).

d. Adanya kewajiban dalam akad yang tidak


dipenuhi oleh pihak-pihak yang berakad (li’adami
tanfidz) .

e. Berakhirnya waktu akad. Karena habis waktunya,


seperti dalam akad sewa menyewa yang berjangka
waktu tertentu dan tidak dapat diperpanjang.

3. Salah Satu Pihak Meninggal Dunia

Kemudian salah satu pihak yang mengadakan akad


mengakibatkan berakhirnya akad. Hal ini terutama
yang menyangkut hak-hak perorangan dan bukan
hak-hak kebendaan. Kematian salah satu pihak
menyangkut hak perorangan mengakibatkan
berakhirnya akad seperti perwalian, perwakilan dan
sebagainya.

4. Tidak Ada Izin dari yang Berhak

Dalam hal akad Maufuq (akad yang keabsahannya


bergantung pada pihak lain), seperti akad bai’ fudhuli
dan akad anak yang belum dewasa, akad berakhir
apabila tidak mendapat persetujuan dari yang berhak.

121
122
BAB 5
PERANCANGAN KONTRAK
(CONTRACT DRAFTING)

Pembuatan kontrak sejatinya tidak disyaratkan atau tidak


memiliki format tertentu karena dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak ada ketentuan
yang secara tegas menentukan tentang bagaimana format
kontrak. Kontrak yang dibuat secara tertulis yang
memang diperintahkan berdasarkan undang-undang
dengan ancaman bahwa kontrak tersebut tidak mengikat
jika tidak dibuat secara tertulis, atau bisa disebut dengan
perjanjian formal, biasanya sudah ada format tertentu
yang telah disiapkan oleh notaris kalua kontrak tersebut
harus dibuat dalam bentuk akta notaris, akan tetapi jika
perjanjian tersebut bukan merupakan perjanjian formal,
dalam arti tidak diwajibkan oleh undang undang untuk
dibuat secara tertulis, kontrak semacam inilah yang
biasanya di rundingkan secara langsung oleh para pihak,
namun ada pula yang dibuat dalam bentuk perjanjian
baku atau kontrak standar.135

Sebagaimana telah disebutkan pada uraian di atas bahwa


tidak ada ketentuan khusus yang diatur secara jelas

135
Ahmad Miru, Op. Cit, hlm. 147.

123
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

dalam undang-undang tentang format baku dalam


membuat kontrak. Yang paling penting yang perlu di
perhatikan Ketika merancang suatu kontrak oleh para
pihak adalah sarat sahnya kontrak itu sendiri yang diatur
dalam pasal 1320 KUHPerdata yang intinya mengatur
tentang:

1. Kesepakatan para pihak

2. Kecakapan (termasuk juga kewenangan) para pihak

3. Obyek tertentu

4. Kausa yang halal

Dalam merancang kontrak sebagaimana halnya dalam


pembuatan suatu konsep surat, sebelumnya perlu dibuat
outline atau kerangka ya. Dalam pembuatan suatu
kontrak baik itu bersifat atau otentik ataupun akta di
bawah tangan, secara garis besar dapat digolongkan
dalam bagian-bagian tertentu. Dengan demikian satu
kontra akan dapat dengan mudah diketahui dan jelas
susunannya tidak tercampur aduk. Apabila suatu kontrak
di ibaratkan sebagai suatu anatomi tubuh secara utuh,
maka kontrak merupakan wujud badan manusia mulai
dari kepala, badan, sampai ke kaki.136

136
I.G.Rai Widjaya, Op.Cit, hlm. 99.

124
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

Struktur atau Anatomi Perjanjian (Kontrak)

Anatomi kontra dalam undang-undang memang tidak


dijelaskan secara jelas. Namun ada beberapa teori atau
pendapat para ahli mengenai Bagan atau anatomi
kontrak. Berikut beberapa anatomi kontrak yang
dijelaskan oleh para ahli. Pertama, Menurut Salim HS,
pada umumnya kontrak terbagi atas tiga bagian utama
yaitu:137

1. Bagian Pendahuluan, bagian ini memuat tiga hal


berikut:

a. Sub bagian pembukaan, memuat tiga hal berikut:

1) Sebutan atau nama kontrak dan penyebutan


selanjutnya (penyingkatan) yang dilakukan

2) Tanggal kontrak yang dibuat dan


ditandatangani

3) Tempat dibuat dan ditandatangani kontrak.

b. Sub bagian pencantuman identitas para pihak,


ada tiga hal yang perlu diperhatikan:

1) Pada pihak seharusnya disebutkan secara jelas

2) Orang yang menandatangani harus disebutkan


kapasitasnya sebagai apa

3) Pendefinisian pihak-pihak yang terlibat dalam


kontrak

137
Salim H.S., Op.Cit, Hukum Kontrak, hlm. 127-128.

125
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

c. Sub bagian penjelasan, pada pekan ini diberikan


penjelasan mengapa para pihak mengadakan
kontrak sering disebut dengan bagian premis

2. Bagian Isi, bagian isi terdiri dari sebagai berikut:

a. Klausul Definisi

klausul definisi ini biasanya memuat berbagai


definisi untuk keperluan kontrak. Definisi ini
hanya berlaku pada kontrak tersebut dan dapat
menyimpang dari pengertian umum. Klausul
definisi penting dalam rangka mendefinisikan
klausul klausul selanjutnya karena tidak perlu di
adakan pemulangan.

b. Klausul Transaksi

klausul transaksi adalah klausul yang berisi


tentang transaksi yang dilakukan. Misalnya
dalam jual beli aset, harus di atur tentang obyek
yang akan dibeli dan pemerannya. Demikian pula
dalam suatu kontrak usaha Patungan, perlu
diatur tentang kesepakatan para pihak dalam
kontrak tersebut

c. Klausul Spesifik

Klausul spesifik mengatur tentang halhal yang


spesifik dalam satu transaksi. Artinya kosong
tersebut tidak terdapat dalam kontrak dengan
transaksi yang berbeda.

126
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

d. Klausul Ketentuan Umum

klausul ketentuan umum merupakan klausul


yang seringkali dijumpai dalam berbagai kontrak
dagang, maupun kontrak lainnya. Kontrak ini
mengatur tentang domisili hukum, penyelesaian
sengketa, pilihan hukum, pemberitahuan,
keseluruhan dari perjanjian dan lain-lain.

3. Penutup. Bagian penutup terdiri:

a. Subbagian Kata Penutup

Subbagian ini biasanya menerangkan bahwa


perjanjian tersebut dibuat dan. Ditandatangani
oleh pihak-pihak yang memiliki kapasitas untuk
itu, atau para pihak menyatakan ulang bahwa
mereka akan terkait dengan isi kontrak.

b. Subbagian Penempatan Ruang Tandatangan

Subbagian ini merupakan tempat pihak-pihak


menandatangani perjanjian atau kontrak dengan
menyebut nama pihak yang terlibat dalam
kontrak, nama jelas orang menandatangani dan
jabatan dari orang yang menandatangani.

Menurut versi Hasanuddin Rahman, bagian kontrak


terdiri atas:138

138
Hasanuddin Rahman, Legal Drafting, (Jakarta: Penerbit Citra
Aditya Bhakti, 2000), hlm. 76.

127
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

1. Bagian pembuka

a. Judul

b. Tempat dan waktu kontrak dibuat

c. Komparisi

d. Recital

e. Ruang lingkup

2. Ketentuan pokok kontrak

a. Ketentuan umum

b. Ketentuan pokok

3. Ketentuan penunjang

4. Ketentuan tentang aspek formalitas

5. Bagian penutup dan

6. Lampiran-lampiran kontrak

Menurut Sanusi Bintang dan Dahlan dalam buku karya


Suhardana yang berjudul kontrak drafting kerangka
dasar dan Teknik penyusunan kontrak dikatakan
walaupun tidak ditentukan suatu format baku dalam
perundang undangan, dalam praktek biasanya penulis
kontrak bisnis mengikuti suatu pola umum yang

128
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

merupakan anatomi dari sebuah kontrak, yakni sebagai


berikut:139

1. Judul

2. Pembukaan

3. Pihak-Pihak

4. Latar Belakang Kesepakatan (Recital)

5. Isi

6. Penutup

I.G.Rai Widjaya, dalam bukunya menjelaskan bahwa


anatomi kontrak teridi atas:140

1. Judul kontrak

2. Pembukaan kontrak

3. Komparisi (para pihak)

4. Premis atau recital (dasar pertimbangan)

5. Isi perjanjian ketentuan dan persyaratan

6. Penutup

7. Tandatangan

8. Saksi-saksi

9. Lampiran

139
Suhardana, Kontrak Drafting Kerangka Dasar Dan Teknik
Penyusunan Kontrak, (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2009), hlm. 104.
140
I.G.Rai Widjaya, Op. Cit, hlm.100.

129
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

Dari berbagai anatomi kontrak yang dijelaskan oleh para


ahli, secara garis besar anatomi kontrak memiliki esensi
yang tidak jauh berbeda. Berikut penulis akan jelaskan
lebih detail terkait anatomi kontrak di atas.

1. Judul kontrak

Judul kontrak tidak lain adalah nama dari satu


perjanjian itu sendiri. Judul satu kontrak seharusnya
menggambarkan isi dari kontrak yang dibuat. Berikut
beberapa contoh judul suatu perjanjian (kontrak)

 Perjanjian Jual Beli Motor


 Perjanjian Lisensi Merek
 Akad Pembiayaan Rumah dengan Prinsip
Murabahah
 Akad kerjasma dibidang alat elektronik dengan
prinsip Musyarakah
 Perjanjian Sewa Rumah

2. Pembukaan kontrak

Bagian Pembukaan berisi kalimat pembuka yang


berisi aktu dan tempat dibuatnya perjanjian. Hal ini
penting karena berkaitan kapan dimulainya
perjanjian

130
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

Contoh 1
 Perjanjian jual beli ini dibuat dan ditandatangani
pada hari ini, ….., tanggal …. di Surabaya oleh
dan antara:
 Pada hari ini Senin, 12 Januari 2022 bertempat di
Palembang dibuat perjanjian antara:
Contoh 2
Suatu akta notaris umumnya selalu dibuka
dengan kalimat:
 Pada hari ini, Jumat tanggal dua puluh enam
November duar ibu sepuluh (26 November 2010),
hadir di hadapan saya Ahmad, notaris di
Palembang, dengan dihadiri oleh saksi saksi yang
saya, notaris kenal dan akan disebutkan pada
bagian akhir akta ini.

3. Komparisi (para pihak)

Pada dasarnya komparisi memuat identitas dan


kedudukan para pihak. Komparisi dalam kontrak
memiliki fungsi:

a. Mengetahui identitas para pihak;

b. Dalam kedudukan apa yang bersangkutan


bertindak

c. Berdasar apa kedudukan tersebut;

d. Indikasi cakap dan berwenang melakukan


tindakan hukum yang disebut dalam kontrak; dan

e. Memiliki hak untuk melakukan tindakan yang


disebut dalam kontrak

131
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

Contoh 1 Bagian Komparisi

1. Nama :
Umur :
Pekerjaan :
Alamat :
NIK :

selanjutnya disebut pihak


Pertama/Penjual/Kreditur/Pemberi Kuasa
(Tergantung dari kontrak yang di buat)

2. Nama :
Umur :
Pekerjaan :
Alamat :
NIK :

selanjutnya disebut Pihak


Kedua/Pembeli/Debitur/ Penerima Kuasa
(Tergantung dari kontrak yang di buat)

132
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

Contoh 2 Bagian Komparisi


 Tuan Deni Indrayana, lahir di Cakra negara, pada
12 September 1970, pekerjaan wiraswasta,
bertempat tinggal di Kuripan, Desa Lingsar,
Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat,
Provinsi Nusa Tenggara Timur, pemegang kartu
tanda penduduk Republik Indonesia dengan
NIK...... warga negara Indonesia untuk selamanya
disebut sebut sebagai pihak pertama
 Nyonya Aida, Direktur Utama, mewakili direksi
dari dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas
nama PT Tamara Teknika, berkedudukan di
Jakarta berkantor pusat di Jalan Garuda Nomor
10 Jakarta Pusat, berdasarkan Anggaran
Dasarnya yang dimuat dalam Akta Nomor 34
Tanggal 25 September 2004 dibuat di hadapan
Nyonya Halimah Sarjana Hukum, Notaris, di
Jakarta, dan diumumkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia Nomor : …, Tambahan Berita
Negara No: … (Selanjutnya disebut sebagai Pihak
Pertama).
 Tuan Baskoro, bertempat tinggal di Jalan
Kencana, Nomor 10 Yogyakarta, dalam hal ini
bertindak sebagai Wali Ayah dari dan oleh
karenanya mewakili anaknya, saudara Anto,
pelajar, bertempat tinggal sama dengan ayahnya
tersebut (selanjutnya disebut sebagai Pembeli)
 Tuan Rizal, Pegawai Negeri Sipil, bertempat tinggal
di Jalan Wates KM 4 Nomor 111 Sleman, dalam hal
ini bertindak sebagai Pengampu dari dan oleh
karenanya mewakili Tuan Renaldi, bertempat
tinggal di Jalan Arjuna Nomor 2 Jogjakarta,
berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri
Yogyakarta Nomor :…
 PT Bank Mandiri (Persero), suatu perseroan
terbatas yang didirikan berdasar hukum negara
Republik Indonesia, berkedudukan di Jakarta
(selanjutnya disebut Bank), yang dalam hal ini
diwakili oleh Sigit Pramono, Senior Vice President
Corporate Credit Restructuring Unit, berdasarkan
Surat Kuasa Direksi Bank No. 48/SK.Dir/2000
tanggal 31 Maret 2000, dan karenanya bertindak
untuk dan atas nama Bank:

133
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

4. Premis atau recital (dasar pertimbangan)

Perimbangan/Premis/Recitals merupakan
pernyataan formal yang menjelaskan alasan-alasan
mengapa para pihak mengadakan transaksi Dimulai
dengan kata “Mengingat” (whereas)

Contoh
 Mengingat Pihak Pertama adalah pemilik bangunan
seluas lima ratus meter persegi, dan tanah yang
terletak di jalan Flora Nomor 101 Jogjakarta seluas
seribu meter persegi berdasarkan Sertifikat Hak
Milik No: …
 Mengingat Pihak Kedua adalah sebuah perusahaan
distribusi suku cadang kendaraan berat di Indonesia
akan membuka kantor perwakilan di Jogjakarta.
 Bahwa pihak pertama hendak menjual tanahnya
beserta bangunan yang ada di atasnya kepada pihak
kedua, dan pihak kedua bersedia membeli tanah dan
bangunan tersebut dari pihak pertama.

5. Isi perjanjian ketentuan dan persyaratan

Setelah membicarakan judul, pembukaan, kompetisi,


dan Premis, sampailah kita pada bagian penting yang
merupakan pokok dalam suatu perjanjian yaitu isi
perjanjian itu sendiri yang mencakup ketentuan
umum dan ketentuan khusus. Pada bagian inilah
para pihak mencantumkan segala hal atau pokok-
pokok yang dianggap perlu, yang merupakan
kehendak para pihak sebagai suatu pernyataan
tertulis yang sah.

Mengenai isi perjanjian yang dimuat dalam pasal-


pasal tersebut, dalam perkembangan doktrin ilmu

134
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

hukum, dalam suatu kontrak dikenal adanya tiga


unsur dalam perjanjian (ketentuan khusus), yaitu:141

a. Unsur Esensialia

Unsur esensialia merupakan unsur yang harus


ada dalam suatu kontrak karena tanpa adanya
kesepakatan tentang unsur esensialia ini maka
tidak ada kontrak. Sebagai contoh, dalam kontrak
jual beli harus ada kesepakatan mengenai barang
dan harga karena tanpa kesepakatan mengenai
barang dan harga dalam kontrak jual beli, kontrak
tersebut batal demi hukum karena tidak ada hal
tertentu yang diperjanjikan.

141
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan (Penjelasan
Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW), (Jakarta: Rajagarfindo Perdasa, 2008),
hlm. 31.

135
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

Contoh

Pasal 2
Manfaat Guna Usaha
1. Pihak pertama atau bank berjanji dan dengan ini
mengikatkan diri untuk memenuhi permohonan
yang telah diajukan oleh pihak kedua atau
nasabah guna menyediakan serta menyerahkan
barang modal berupa: 1 ( satu ) buah kendaraan
roda empat, yang akan disewa oleh pihak kedua
atau nasabah dalam jangka waktu 48 ( empat
puluh delapan ) bulan, dimulai pada saat
penyerahan barang, yaitu tanggal 23 Januari 2015
dan berakhir pada tanggal 23 Desember 2019
berdasarkan akad atau perjanjian ijarah ini.
2. Pengajuan permohonan oleh pihak kedua atau
nasabah kepada pihak pertama atau bank
dilakukan secara tertulis terlebih dahulu kepada
pihak pertama atau bank dengan memberikan
waktu yang cukup bagi bank untuk
pengadaannya.
3. Pemberitahuan tersebut sifatnya tidak dapat
dicabut, dan jika karena sesuatu hal pelaksanaan
pengadaan “Barang modal” tidak dapat berjalan di
luar kesalahan Bank, maka Nasabah menyetujui
untuk menanggung seluruh risiko, berupa biaya-
biaya, dan ongkos-ongkos yang timbul akibat dari
tidak terlaksananya pengadaan “ Barang Modal”
tersebut.
Pasal 3
Jangka Waktu dan Biaya Sewa
Pihak pertama atau bank atau pihak kedua atau
nasabah sepakat, dan dengan ini saling mengikatkan
diri satu terhadap yang lain, bahwa biaya sewa adalah
sebesar Rp 250.000.000,- ( dua ratus lima puluh juta
rupiah ) untuk jangka waktu pemanfaatan guna
usaha ( sewa menyewa ) atas barang modal selama 48
( empat puluh delapan ) bulan, terhitung sejak
penandatanganan akta ini oleh kedua belah pihak
atau pada saat serah terima barang sampai dengan
tanggal 23 Desember 2019.

136
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

b. Unsur Naturalia

Unsur naturalia merupakan bagian perjanjian


yang berdasarkan sifatnya di anggap ada tanpa
perlu diperjanjikan secara khusus oleh para
pihak. Unsur ini merupakan unsur yang telah
diatur dalam undang-undang sehingga apabila
tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak,
undang-undang yang mengaturnya. Dengan
demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur
yang selalu dianggap ada dalam kontrak. Sebagai
contoh, jika dalam kontrak tidak diperjanjikan
tentang cacat tersembunyi, secara otomatis
berlaku ketentuan dalam BW bahwa penjual yang
harus menanggung cacat tersembunyi.

Contoh
Pasal 4
Pihak kedua diwajibkan memelihara apa yang
disewanya itu dengan sebaik baiknya,
memperbaiki segala kerusakan yang menurut
hukum dan kebiasaan menjadi tanggung
jawab Penyewa, demikian dengan ongkos
ongkos dan biaya biaya pihak kedua sendiri.

c. Unsur Aksidentalia

Unsur aksidentalia merupakan unsur yang nanti


ada atau mengikat para pihak jika para pihak
memperjanjikannya. Sebagai contoh, dalam
kontrak jual beli dengan angsuran diperjanjikan
bahwa apabila pihak debitur lalai membayar

137
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

utangnya, dikenakan denda dua persen perbulan


keterlambatan, dan apabila debitur lalai
membayar selama tiga bulan berturut-turut,
barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali
oleh kreditor tanpa melalui pengadilan. Demikian
pula klausul-klausul lainnya yang sering
ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan
merupakan unsur esensial dalam kontrak
tersebut. Unsur aksidentalia sejatinya unsur
pelangkap dalam suatu perjanjian yang
merupakan ketentuan ketentuan yang dapat
diatur secara menyimpang oleh para pihak sesuai
dengan kehendak para pihak yang merupakan
persyaratan khusus yang ditentukan secara
bersama-sama oleh para pihak.142

Ketiga unsur pokok yang harus ada dalam suatu


perjanjian tersebut di atas, sejatinya merupakan
ketentuan khusus yang membedakan antara satu
perjanjian dengan perjanjian lainnya. Selain
ketiga unsur tersebut di atas, isi dari suatu
perjanjian juga memuat ketentuan-ketentuan
umum. Ketentuan umum pada suatu perjanjian
berisi klausul-klausul yang hampir selalu
tercantum pada perjanjian yang bersifat lintas
batas. Berikut akan dipaparkan beberapa klausul

142
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 89.

138
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

yang merupakan ketentuan umum yang lazimnya


ada dalam setiap kontrak.

a. Force Majeure

Force majeure atau Keadaan memaksa adalah


suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatya
perjanjian yang menghalangi debitur untuk
memenuhi prestasinya. Dalam hal ini debitur
tidak dapat diperalahkan dan tidak harus
menanggung resiko dan tidak dapat menduga
terjadinya suatu tersebut pada waktu akad
perjajian dibuat. Force majeure akibat kejadian
tidak terduga tersebut bisa dikarenakan
terjadinya suatu hal yang diluar kekuasaan
debitur yang mana keadaan tersebut bisa
dijadikan alasa untuk dibebaskan dari kewajiban
membayar ganti rugi.143

Klausul ini dimaksudkan sebagai langkah awal


untuk melakukan antisipasi yang ditempuh para
pihak yang membuat perjanjian, terhadap
kejadian yang mungkin timbul di kemudian hari
dan berakibat langsung terhadap pelaksanaan
perjanjian. Oleh karena itu klausul tersebut perlu
Dicantumkan pada saat pembuatan suatu
kontrak atau perjanjian guna melindungi para

143
Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah:
Penemuan dan Kaidah Hukum, (Jakarta: Prenamedia Group, 2018), hlm. 115.

139
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

pihak apabila bagian dari kontrak atau kewajiban


yang disebut prestasi, tidak bisa dipenuhi karena
sebab-sebab yang berada di luar kekuasaan para
pihak dan tidak bisa dihindarkan dengan
melakukan Tindakan yang sepantasnya.144

Contoh

Pasal 15
FORCE MAJEURE

1. Force Majeure yaitu peristiwa-peristiwa yang


disebabkan oleh bencana alam, kerusuhan, huru-
hara, pemberontakan, epidemi, sabotase,
peperangan, pemogokan, kebijakan pemerintah atau
sebab lain di luar kekuasaan PIHAK KEDUA dan
PIHAK PERTAMA.
2. Dalam hal terjadi Force Majeure, maka Pihak yang
terkena akibat langsung dari Force Majeure tersebut
wajib memberitahukan secara tertulis dengan
melampirkan bukti-bukti dari Kepolisian/Instansi
yang berwenang kepada Pihak lainnya mengenai
peristiwa Force Majeure tersebut dalam waktu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari Kerja
terhitung sejak tanggal Force Majeure ditetapkan.
3. Keterlambatan atau kelalaian Para Pihak untuk
memberitahukan adanya Force Majeure tersebut
mengakibatkan tidak diakuinya peristiwa tersebut
sebagai Force Majeure oleh Pihak lain
4. Segala dan tiap-tiap permasalahan yang timbul
akibat terjadinya Force Majeure akan diselesaikan
oleh PIHAK KEDUA dan PIHAK PERTAMA secara
musyawarah untuk mufakat. Hal tersebut tanpa
mengurangi hak-hak PIHAK PERTAMA sebagaimana
diatur dalam Akad ini.

144
I.G.Rai Widjaya, Op. Cit, hlm. 131.

140
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

b. Arbitrase

Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin),


arbitrage (belanda), arbitration (inggris),
schiedspruch (jerman), dan arbitrage (prancis),
yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan
sesutu menurut kebijaksanaan atau damai oleh
arbiter atau wasit.145 Arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.146

Contoh 1

Pasal 20
Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan
diselesaikan dalam tingkat pertama dan terakhir
menurut peraturan prosedur Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) oleh Arbiter yang
ditunjuk menurut peraturan tersebut.

Contoh 2

Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan


diselesaikan dalam tingkat pertama dan terakhir
menurut peraturan prosedur Badan Arbitrase
Syariah Indonesia (BASYARNAS) oleh Arbiter yang
ditunjuk menurut peraturan tersebut.

145
Subekti, Kumpulan Karangan Hukum Perakitan, Arbitrase, Dan
Peradilan, (Bandung: Alumni, 1980), hlm.1.
146
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

141
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

c. Pilihan Hukum

Di dalam kontrak, jika para pihak tidak


menentukan sendiri pilihan hukum, pilihan forum
dan pilihan domisilinya, maka sektor hukum
dalam hal ini menyediakan kaidah untuk
mengatur hal tersebut, yakni mengatur bahwa
dalam kasus yang demikian, hukum manakah
yang berlaku, pengadilan mana yang berwenang,
atau domisili mana yang dipakai. Tidak begitu
banyak menjadi soal jika para pihak dalam
kontrak tersebut berasal dari hukum yang sama,
atau perasaan dari wilayah pengadilan yang sama
atau hanya memiliki satu domisili. Tante tapi
akan jadi masalah yuridis untuk menentukan
hukum mana yang berlaku jika ter hadap para
pihak berlaku hukum yang berbeda, misalnya
karena masing-masing pihak berasal dari negara
yang berbeda, atau domisili yang berbeda.

Misalnya, perusahaan Amerika membuat


perjanjian dengan perseroan Indonesia. Yang
menjadi objek perjanjian adalah tanah yang
lokasinya di Australia. Atau perusahaan Jepang
mengadakan perjanjian dengan perusahaan
Indonesia berkenaan dengan barang-barang yang
akan dimasukkan ke Indonesia yang berasal dari
Jepang dan Malaysia.

142
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

Klausul ini diperlukan apabila yang membuat


perjanjian merupakan pihak asing, di samping
pihak dari Indonesia. Selain itu klausul ini juga
diperlukan dalam kaitannya dengan arbitrase

Contoh
Pasal 21
Pilihan Hukum
1. Pelaksanaan kontrak ini tunduk kepada
ketentuan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia dan ketentuan syariah yang
berlaku bagi PIHAK PERTAMA, termasuk tetapi
tidak terbatas pada Peraturan Bank Indonesia
dan Fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis
Ulama Indonesia.
2. Apabila di kemudian hari terjadi perbedaan
pendapat atau penafsiran atas hal-hal yang
tercantum di dalam kontrak ini atau terjadi
perselisihan atau sengketa dalam pelaksanaan
kontrak ini, para pihak sepakat untuk
menyelesaikannya di Pengadilan Negeri di
Jakarta Pusat.

6. Penutup

Bagian penutup dalam setiap perjanjian umumnya


ditutup dengan kata atau kalimat yang menyatakan
bahwa perjanjian itu dibuat dalam jumlah atau
rangkap yang diperlukan dan bermaterai cukup,
misalnya baterai 10.000. Perjanjian ini
ditandatangani oleh para pihak atau yang mewakili
dan bertindak untuk dan atas nama serta saksi-saksi.
Perlu diperhatikan bahwa apabila pada saat
pembukaan perjanjian belum di sebutkan “waktu”

143
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

dan “tempat” perjanjian itu dibuat dalam penutupan


keduanya harus disebutkan.

Contoh 1
(Bila waktu dan tempat belum disebutkan pada
pembukaan)

Demikianlah perjanjian ini dibuat dalam dua rangkap


bermaterai cukup, satu rangkap untuk pihak pertama
dan satu rangkap lagi untuk kedua yang masing masing
mempunyai kekuatan hukum yang sama serta
ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan
disaksikan oleh dua orang saksi.

PARA PIHAK

Pihak Pertama Pihak Kedua

SAKSI-SAKSI

Saksi 1 Saksi 2

144
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

Contoh 2
(Bila waktu dan tempat belum disebutkan pada
pembukaan)

Demikianlah perjanjian ini dibuat dalam dua rangkap


bermaterai cukup, satu rangkap untuk pihak pertama
dan satu rangkap lagi untuk kedua yang masing
masing mempunyai kekuatan hukum yang sama serta
ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan
disaksikan oleh dua orang saksi.

Palembang, 23 Juni 2022

PARA PIHAK

Pihak Pertama Pihak Kedua

SAKSI-SAKSI

Saksi 1 Saksi 2

7. Tanda Tangan

Bagian tandatangan terdiri dari tandatangan para


pihak atau yang mewakili dan tandatangan para
saksi.

Unus nullus rule aturan pembuktian bahwa


kesaksian seorang saksi adalah sama dengan tanpa
kesaksian. Unus testis nullus testis (seorang saksi
bukan saksi) 1905 BW, 169, HIR, 306 Rbg. Apabila
yang menjadi pihak dalam perjanjian adalah bukan
perseorangan, melainkan badan hukum, di bawah
tandatangan juga disebutkan nama dan jabatannya,

145
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

dilengkapi dengan cap perusahaan disebelah


tandatangan.

8. Lampiran

Dalam pembuatan perjanjian tidak jarang suatu


perjanjian disertai dengan Lampiran apabila terdapat
hal hal yang memang perlu disertakan pada perjanjian
induk, seperti surat kuasa, rincian harga atau
macam-macam barang dengan tipenya, pelaksanaan
pekerjaan atau jenis jenisnya, bentuk laporan,
gambar atau pakan, dan sebagainya.

Lampiran merupakan bagian yang tidak terpisahkan


dari perjanjian pokok atau induk, yang mungkin bila
dibuat dalam perjanjian pokok mengalami kesulitan
teknis atau memang sengaja dibuat secara terpisah,
misalnya surat kuasa. Pembicaraan dan pembuat
tanya memang harus secara terpisah, namun tetap
dalam rangka perjanjian pokok. Misalnya daftar
bantuan teknis bagi perusahaan manufakturing, atau
bantuan keuangan untuk perjanjian pinjaman atau
loan, dan lain-lain.

Tahapan Penyusunan Perjanjian (Kontrak)

Kontrak di dalam bisnis berfungsi untuk mengamankan


suatu transaksi, agar para pihak tidak mendapat
kerugian. Di dalam kontrak harus dituangkan sejelas
mungkin keinginan dan maksud para pihak sehingga
sebanyak mungkin dapat dihindarkan kesalah pahaman

146
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

dan tidak banyak menimbulkan penafsiran. Ricardo


Simanjuntak, menjelaskan bahwa seorang Perancang
kontrak yang baik mempunyai tiga misi besar yang harus
dicapai nya yaitu:147

1. Kontrak yang dirancang tersebut mampu memberikan


perlindungan secara maksimal bagi dirinya ataupun
pihak yang diwakilinya.

2. Sejalan dengan upaya maksimalisasi perlindungan


hak tersebut, harus dihindarkan konflik maupun
potensi konflik dari penggunaan Bahasa, kata, frasa,
klausa ataupun kalimat dari kontrak tersebut.

3. Meminimalisasi biaya berperkara dalam hal konflik


yang timbul dari kontrak tersebut tidak dapat
diselesaikan.

Kontrak bukan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya,


melainkan merupakan hasil dari suatu proses yang di
dalamnya terdapat aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh
calon subjek dalam kontrak yang akan dibentuk. Van
Dunne, seorang ahli hukum Belanda, menggambarkan
bahwa proses penyusunan kontrak terdiri atas tiga
tahapan yaitu tahapan prakontrak atau pendahuluan,
tahapan kontraktual atau terbentuknya kontrak, dan
tahapan poskontrak atau pelaksanaan kontrak.148

147
Ricardo Simanjuntak, Hukum Kontrak, Teknik Perancangan
Kontrak Bisnis, (Jakarta: Kontan Publishing 2011), hlm. 25.
148
Suhardana, Op. Cit, hlm. 84.

147
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

Setiap kontrak umumnya dibentuk dengan diawali oleh


adanya penawaran atau tawar menawar di antara calon
pihak dalam kontrak. Kegiatan tersebut terletak pada fase
prakontrak. Penawaran dari calon pihak yang satu atau
dikenal dengan offer atau offert yang isinya
menggambarkan pernyataan kehendak yang ditujukan
kepada calon lawannya, diharapkan akan memperoleh
jawaban yang berisi penerimaan dari calon lawan atau
dikenal dengan bahasa asing dengan acceptance. Jika hal
itu terjadi maka kita melihat adanya persetujuan atau
konsensus atau tercapai kata sepakat

Dalam membuat suatu kontrak biasanya dilakukan


dengan melalui beberapa tahap dimulai sejak adanya
pembicaraan awal para pihak sehingga selesainya
pelaksanaan kontrak. Menurut Salim H.S tahap tahap
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:149

1. Pembuatan draf pertama

2. Pertukaran draf kontrak

3. Revisi (jika ada)

4. Penyelesaian akhir

5. Penandatanganan para pihak

Sedangkan menurut Joni Emirzon dan M. Sadi Is tahapan


dalam membuat suatu kontrak adalah sebagai berikut:150

149
Salim H.S., Op.Cit, Hukum Kontrak, hlm. 26-27.
150
Joni Emirzon dan Muhamad Sadi Is, Op.Cit., hlm. 120.

148
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

1. Pembuatan draf, yaitu semua apa yang disepakati


terdahulu dituangkan dalam teks perjanjian, dan trap
tersebut dapat bertambah dan berkurang.

2. Melakukan revisi atau koreksi terhadap tanah


perjanjian yang telah disusun oleh negosiator untuk
mengetahui akibat akibat setiap isi perjanjian yang
disusun tersebut yang nantinya akan diberikan
kepada pihak lawan bisnis.

3. Pemeriksaan Silang antar para pihak, apakah telah


perjanjian tersebut dapat disetujui secara bulat atau
Sebagian.

4. Apabila telah perjanjian tersebut telah diperiksa oleh


para pihak, maka untuk baiknya telah kejadian
tersebut dapat diminta diperiksa oleh pihak lain yang
memiliki keahlian dibidang tersebut.

5. Sentuhan akhir, mungkin masih ada sisi perjanjian


yang kurang berkenan dapat diperbaiki sehingga
menjadi sangat baik kedua belah pihak.

6. Jika memang perlu dapat mengadakan perbandingan


dengan kontrak kontrak yang sudah ada.

7. Penutup (penandatanganan oleh para pihak)

Tidak semua kontrak tertulis harus melalui tahapan


tersebut di atas, karena dapat saja terjadi bahwa hanya
satu pihak yang membuat draft kontrak kemudian
diserahkan kepada pihak lain untuk mencermati apa yang

149
PERANCANGAN KONTRAK (CONTRACT DRAFTING)

masih perlu diperbaiki oleh pihak lainnya, kemudian


diadakanlah perbaikan perbaikan seperlunya hingga
terjadi kesepakatan mengenai seluruh klausul yang
terdapat dalam teks kontrak tersebut. Apalagi dalam
pembuatan satu kontrak baku, dalam pembuatan kontrak
baku bahkan bisa saja yang membuat hanya salah satu
pihak dan pihak lain hanya menyetujui tanpa melalui
tahapan-tahapan tersebut di atas.

150
DAFTAR PUSTAKA

Adolf, Huala, Hukum Perdagangan Internasional Prinsip-


Prinsip Dan Konsepsi Dasar, Bandung: Refika
Aditama, 2004.
Amalia, Nanda, Hukum Perikatan, Aceh: Unimal Press,
2012.
Ansori, Abdul Ghofur, Hukum Perjanjian Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University,
2018.
Ardi, Muhammad, Asas-Asas Perjanjian (Akad), Hukum
Kontrak Syariah dalam Penerapan Salam dan Istisna,
Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 2,
Desember 2016.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad, Fiqh Muamalah, Jakarta:
Amzah, 2014.
Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis,
Bandung: Alumni, 1994.
________, Mariam Darus, Kitab Undang Undang Hukum
Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan
Penjelasan, Bandung: Alumni, 2011.
________, Darus Badruzaman, Kompilasi Hukum Perikatan,
Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 2011.
________, Mariam Darus, Kumpulan Pidato Pengukuhan.
(Bandung: Alumni, 1991.
Bishoff, Thomas S., and Jeffrey R. Miller, Force Majeure
and Commercial Impractiability: Issues to Consider
Before the Next Hurricane or Matural Disaster Hits,
The Michigan Business Law Journal,Volume 1, Issue
1, Spring 2009.
Boediono,Herlin, Hukum Perjanjian Dan Penerapan Nya Di
Bidang Kenotariatan, Bandung Citra Aditia Bhakti,
2010.
Campbel, Henry, Black’s Law Dictionary, (West
Publisching Co.1979.

151
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar
Indonesi Edisi Ketiga, Jakarta : Balai Pustaka. 2005
Dewi, Gemala dkk., Hukum Perikatan di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2005.
Djamil, Fathurrahman, Penerapan Hukum Perjanjian
Dalam Transaksi Di Lembaga Keuangan Syariah,
(Jakarta: Sinar Grafika 2012.
Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Efendi, Jonaedi, dkk., Kamus Istilah Hukum Popular,
Jakarta: Kencana 2016).
Emirzon, Joni, dan Muhamad Sadi Is, Hukum Kontrak
Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana, 2021.
Fuady, Munir, Hukum Kontrak Buku Kesatu, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2015.
Gautama, Sudargo, Indonesian Business Law, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1995.
Ghazali,Abdul Rahman, Fiqh Muamalat, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018.
H.S, Salim, Hukum Kontrak Teori Dan Teknik Penyusunan
Kontrak, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, Jakarta,
2004.
________, Teknik Pembuatan Akta Satu, Jakarta: Radja
Grafindo, 2015.
Hamzah, Andi, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1986.
Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, (Jakarta Sinar
Grafika 2012.
________, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian. Cetakan
Kedua, Bandung: Alumni, 1986.
Hasanudin dan Jaih Mubarok, Teori Akad Mu’amalah
Maliyyah, Bandung: simbiosis Rekatama media
2020.

152
Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian, Asas
Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014.
Kansil, C. S. T, Modul Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2006.
Khairandy, Ridwan, Hukum Kontrak di Indonesia Dalam
prespektif Perbandingan, (Yogyakarta:FH UII Press,
2013.
________, Ridwan, Itikat Baik dalam Kebebasan
Berkontrak, (Yogyakarta: UII Pers, 2003.
________, Ridwan, Kebebasan Berkontrak & Pacta Sunt
Servada Versus Itikad Baik : Sikap Yang Harus
Diambil Pengadilan,Yogyakarta: Penerbit FH UII
Press, 2015.
________, Ridwan, Pokok-Pokok Hukum Dagang,
(Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia Press, 2014.
Manan, Abdul, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif
Kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana,
2012.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
________,Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),
Yogyakarta: Liberty, 1995.
Miru, Ahmad, dan Sakka Pati, Hukum Perikatan
(Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW),
Jakarta: Rajagarfindo Perdasa, 2008.
Miru, Ahmad, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak ,
edisi. 1, cet. 6, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
________ Ahmad, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen di Indonesia. Surabaya: Program Pasca
Sarjana Universitas Airlangga. 2000.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2014.

153
________, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2006.
Muhtarom, M., Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu
Landasan Dalam Pembuatan Kontrak, Jurnal
SUHUF, Vol. 26, No. 1, Mei 2014.
Muljadi, Kartini, dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang
Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003.
Munir, dkk., Pengantar Ilmu Hukum, Yogyakarta: Zahir
Publishing, 2021.
Patrik, Purwahid, Asas Iktikat Baik dan Kepatutan dalam
Perjanjian, Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1986.
________, Purwahid, Hukum Perdata II, Perikatan yang
Lahir dari Perjanjian dan Undang-undang, Semarang:
FH Undip, 1988.
Pitlo, A, Tafsiran Singkat tentang Beberapa Hal dalam
Hukum Perdata, Alih bahasa, M. Moerasad, Jakarta:
Intermasa, 1979.
Prinst, Darwan, Strategi Menyusun dan Menangani
Gugatan Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2002.
Prodjodikoro, Wirjono, Azas-Azas Hukum Perjanjian,
(Bandung: Mandar Maju, 2011.
Rahim, A., Dasar-Dasar Hukum Perjanjian Perpektif Teori
dan Praktik, Makassar: Humanities Genius, 2022.
Rahman, Hasanuddin, Legal Drafting, Jakarta: Penerbit
Citra Aditya Bhakti, 2000.
Rato, Dominikus, Dasar-Dasar Ilmu Hukum: Memahami
Hukum Sejak Dini (Jakarta: Kencana, 2021.
Satrio, J., Hukum Perikatan, Perikatan Lahir Dari
Perjanjian, Buku II, Bandung: Citra Aditia Bhakti
1995.

154
________, J., Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian, Buku I, Bandung Citra Aditia Bhakti
1995.
Setiawan, R, Pokok-Pokok Hokum Perikatan, Bandung:
Binacipta, 1979.
Shomad, Abd, Hukum Islam Penomoran Prinsip Syariah
Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta Kencana, 2012.
Simanjuntak, Ricardo, Hukum Kontrak, Teknik
Perancangan Kontrak Bisnis, akarta: Kontan
Publishing 2011.
Sjahdeni, Sutan Remi, Kebebasan Bebasan Berkontrak
Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak
Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, (Jakarta:
PT. Pustak Utama Grafiti, 2009.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Perlu Tangan,
Bagian A, Yogyakarta: Sesi Hukum Perdata Facters
Hukum Universitas Gajah Mada 1990.
Suadi, Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah:
Penemuan dan Kaidah Hukum, Jakarta: Prenamedia
Group, 2018.
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Citra Aditya Bhakti,
1987), hlm. 6.
________, Kumpulan Karangan Hukum Perakitan,
Arbitrase, Dan Peradilan, Bandung: Alumni, 1980.
________, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Cet. Ketiga puluh sembilan, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 2008.
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
________, Kontrak Drafting Kerangka Dasar Dan Teknik
Penyusunan Kontrak, Yogyakarta: Penerbit
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009.
Suherman, Ade Marman dan J. Satrio, Penjelasan Hukum
Tentang Batasan Umur Kecakapan Dan Kewenangan
Bertindak Berdasarkan Batas Umur, Jakarta:
Nasional Legal Reform Program, 2010.

155
Sutantio, Retnowulan & Iskandar Oeripkartawinata,
Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek,
Bandung: Mandar Maju, 2005.
Syahmin, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2006.
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2010.
Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia (Jakarta:
Penerbit dan Balai Buku Indonesia, 1955.
Widjaya, I.G.Rai, Merancang Suatu Kontrak, Jakarta:
Megapoin, 2003.
Wijaja Gunawan, dan Ahmad Yani, Hukum Tentang
Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2003.
Wojowasito, S., Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta
: PT. Ikhtiar Baru-Van Hoevo, 1990.
Yasardin, Asas Kebebasan Berkontrak Syariah, Jakarta:
Kencana, 2018.

156
Tentang Penulis
Fadillah Mursid, S.H.I., M.H., M.H.

Penulis merupakan lulusan S-1 Fakultas Syariah dan


Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun
2010 dan lulus tahun 2014. Kemudian melanjutkan Studi S-2
(Magister) pada dua kampus yang berbeda yakni Prodi S-2 (magister)
Hukum Pidana di Universitas Islam Indonesia lulus pada tahun 2016,
dan Prodi S-2 (magister) Hukum Bisnis Syariah di Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Saat ini penulis menjadi dosen tetap di Fakultas Syariah dan Hukum
(FSH) UIN Raden Fatah Palembang. Penulis juga merupakan Dewan
Pengawas Syariah (DPS) di lembaga keuangan dan bisnis Syariah.
Selain itu penulis juga aktif menulis diberbagai jurnal, prosiding, book
chapter, dan buku.

Penulis ulis juga tergabung dalam beberapa pusat kajian dan


organisasi kemasyarakatan, seperti menjadi anggota MUI Provinsi
Sumatera Selatan, menjadi Wakil Ketua pada Pusat Kajian Anti
Korupsi dan menjadi wakil ketua pada Pusat Studi Pancasila,
Konstitusi, dan Undang-Undang di Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Raden Fatah Palembang. Serta aktif pada organisasi kemasyarakatan
seperti menjadi Sekretaris pada Forum Dai Ekonomi Islam Sumatera
Selatan (FORDAISS), Anggota Himpunan Imuan dan Sarjana Syariah
Indonesia (HISSI) Wilayah Sumatera Selatan.

Email Penulis: fadillahmursid_uin@radenfatah.ac.id /


fadhilah.mursid@gmail.com
SINOPSIS

Perkembangan dunia bisnis di Indonesia menghendaki suatu


perjanjian (kontrak) tertulis. Hal ini bukan hanya karena
perjanjian (kontrak) sebagai dasar hukum lahirnya hubungan
hukum di antara para pihak, melainkan sebagai dasar
pembuktian jika dikemudian hari terjadi sengketa, mengingat
dalam hukum acara perdata di Indonesia dalam proses
pembuktian di persidangan alat bukti tertulis menempati posisi
pertama sesuai dengan ketentuan Pasal 164 HIR/284 RBG jo.
Pasal 1866 KUHPerdata menyatakan “Alat pembuktian meliputi
1. Bukti tertulis; Bukti saksi; 3. Persangkaan; 4. Pengakuan; 5.
Sumpah. Berdasarkan hal tersebut, Hukum kontrak dan Teknik
perancangan kontrak sudah seharusnya menjadi salah satu
keahlian wajib yang harus dimiliki setiap lulusan sarjana
hukum dan sarjana syariah. Dengan terbitnya buku “Hukum
Kontrak Dan Perancangan Kontrak (Dalam Hukum Perdata Dan
Hukum Islam)” penulis berharap dapat berbagi wawasan dan
memberikan gambaran bagi para pembaca untuk lebih
memahami tentang pengertian hukum kontrak, subjek dan
objek hukum kontrak, syarat sahnya kontrak, pelaksanaan
kontrak, hapus dan berakhirnya kontrak, dan bagaimana
teknik dalam merancang kontrak yang baik dan benar. Buku ini
tidak hanya membahas tentang hukum kontrak dalam hukum
perdata, melainkan juga disertai bagaimana hukum kontrak
dalam hukum Islam.

Anda mungkin juga menyukai