Anda di halaman 1dari 54

SATU

Pendahuluan

A. Pokok-pokok Pikiran dan Latar Belakang Masalah

Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan


“Peradilan Agama” telah ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak
zaman penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar sejarah Peradilan,
Peradilan Agama sudah ada sejak abad ke-16. Dalam sejarah yang
dibukukan oleh Departemen Agama yang berjudul Seabad Peradilan
Agama di Indonesia, tanggal 19 Januari 1882 didteteapkan sebagai hari
Jadinya, yaitu berbarengan dengan diundangkannya ordonantie stbl. 1882-
152, tentang Peradilan Agama di pulau Jawa-Madura.

Selama itu hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya


ditaati dan dilaksanakan dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya
UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember
1989, Peradilan Agama belum pernah memiliki undang-undang tersendiri
tentang Susunan, Kekuasaan dan Acara, Melainkan terserak-serak dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak merupakan kesatuan,
lagi tidak pula seragam.

Setelah lama Indonesia merdeka, bangsa Indonesia berangsur sadar


untuk membuang jauh politik colonial itu. Hal itu diperlihatkan oleh tonggak-
tonggak sejarah sendiri, yaitu sebagai berikut :

1. Pada tahun 1951, dengan UU Darurat No. 1 tahun 1951, LN 1951-9, yang
kemudian dikuatkan menjadi UU dengan UU No. 1 tahun 1961, LN 1961-3,
Peradilan Agama diakui eksistensi dan perannya;

2. Pada tahun 1957, dengan PP No. 45 tahun 1957, LN 1957-99, yang


merupakan pelaksanaan dari UU No. 1 tahun 1951, didirikan/dibentuk
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di luar Jawa-Madura;

3. Pada tahun 1964, dengan UU No. 19 tahun 1964, LN 1964-107, yang


kemudian digantikan dengan UU No. 14 tahun 1970, LN 1970-74, Peradilan
Agama diakui sebagai salah satu dari empat lingkungan Peradilan
Negara yang sah.

4. Pada tahun 1974 terbit UU No. 1 tahun 1974, LN 1974-1, yang dilaksanakan
dengan PP No. 9 tahun 1975, LN 1975-12, di mana segala jenis perkara di

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 1
bidang perkawinan bagi mereka yang beragama islam dopercayakan
kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikannya.

5. Pada tahun 1977 terbit PP No. 28 tahun 1977, LN 1977-38 yang


memberikan kekuasaan kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikan
perkara di bidang Perwakafan Tanah Milik.

Peradilan Agama kini telah mempunyai UU tersendiri, yaitu UU No. 7


Tahun 1989. Peradilan Agama akan lebih mantap dalam menjalankan
fungsinya, para pencari keadilan pun demikian, akan lebih mudah dan
konkret berurusan. Para ilmuan, cerdik cendikia, mahasiswa dan pelajar
mulai mengambil perhatian. Dalam kondisi inilah penulis ingin
menyumbangkan sebuah buku yang berjudul Hukum Acara Peradilan
Agama hingga proses mengenal dan berkembangnya Peradilan Agama
akan lebih melaju.

B. Metode Penelitian dan Analisis

1. Metode Penelitian

Penelitian dan pengumpulan data yang penulis lakukan dalam menyusun


buku ini adalah :

a. Library research (kepustakaan), yaitu dengan cara melalui buku-buku,


umum maupun agama, berbagai peraturan perundang-undangan,
surat-surat edaran dan petunjuk dari Mahkamah Agung maupun
Departemen Agama, yurisprudensi peradilan, prasaran, makalah dan
tulisan-tulisan lainnya yang relevan.

b. Experienced research atau empiris (pengalaman) yang mencakup


observasi, field dan lain-lain. Pengalaman itu penulis dapatkan karena
penulis sejak tahun 1963-1987 terus-menerus mengabdi pada instansi
Peradilan Agama. Sejak tahun1972-1985 penulis sebagai Ketua
Pengadilan Tinggi Agama Sumatra-Selatan, Lampung dan Bengkulu di
Palembang. Sejak tahun 1985-1987 sebagai Ketua Pengadilan Tinggi
Agama Sumatra Barat, Riau dan Jambi di Padang. Sejak tahun hingga
saat ini mengajar dalam mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
pada Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri.

Melalui mengajar, penulis membimbing praktik Peradilan Agama bagi


mahasiswa ke Pengadilan-pengadilan Agama, membimbing dan
menguji tesis yang berkaitan dengan Peradilan Agama.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 2
2. Metode Analisis

Dalam menganalisis data dan materi yang disajikan, dipergunakan


beberapa metode, yaitu sebagai berikut:

a. Deskriptif, pada umumnya dipergunakan dalam menguraikan sejarah,


mengutip atau menjelaskan bunyi peraturan perundang-undangan dan
dalam uraian umum;

b. Komperatif, pada umumnya dipergunakan dalam membanding antara


Peradilan Agma, Peradilan Islam dan Peradilan Umum, terutama
terhadap materi yang mungkin dapat menimbulkan kerancuan;

c. Deduktif dan induktif. Deduktif, tolak ukurnya adalah peraturan


perundang-undangan, syariat Islam dan filsafat hukum, sedangkan
Induktif adalah dalam menyusun logika untuk mengambil kesimpulan
umum;

d. Problem solving atau pemecahan masalah. Bila diketemukan suatu


masalah, penulis identifikasikan, analisis, kemudian penulis sajikan
alternative pemecahannya;

e. Historis kritis, yaitu dalam menguraikan sering pula penulis ketengahkan


sejarahnya, dikaji sebab-sebabnya, saling keterkaitannya.

C. Peradilan Agama dan Peradilan Islam

Pengertian Peradilan Agama dan Peradilan Islam

1. Peradilan Agama

Peradilan Agama adalah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu di


antara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman
yang sah di Indonesia. UU No. 14 tahun 1970, LN 1970-74 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 10 ayat (1). Kata-kata
“Peradilan Negara” dan “kekuasaan Kehakiman” adalah semakna. Tiga
lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Peradilan Agama adalah salah satu di antara tiga Peradilan Khusus di


Indonesia. Dua Peradilan Khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan
Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 3
tertentu. Dalam pasal 10 ayat (1) menjelaskan dalam hal ini, Peradilan
agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan
pula tidak hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-
perkara perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perdata Islam.

2. Peradilan Islam

Kata “Peradilan Islam” yang tanpa dirangkaikan dengan kata-kata “di


Indonesia”, dimaksudkan adalah Peradilan Islam menurut konsepsi Islam
secara universal. Peradilan Islam itu meliputi segala jenis perkara menurut
ajaran islam secara universal. Oleh karena itu, di mana-mana asas
peradilannya mempunyai prinsip-prinsip kesamaan sebab hukum Islam itu
tetap satu dan berlaku atau dapat diberlakukan di mana pun, bukan hanya
untuk suatu bangsa atau untuk suatu Negara tertentu saja.

D. Hukum Acara Perdata Peradilan Umum dan Peradilan


Agama

Sebagaimana sudah disebutkan bahwa Peradilan Agama adalah


peradilan perdata sedangkan Peradilan Umum adalah juga peradilan
perdata di samping peradilan pidana. Dilihat dari segi asas-asas Hukum
Acara, tentulah ada prinsip-prinsip kesamaannya secara umum di samping
secara khusus tentu ada pula perbedaan antara Hukum Acara Perdata
Peradilan umum dan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama.

1. Hukum Acara Perdata Peradilan Umum

Prof. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. merumuskan Hukum Acara Perdata


ialah:

Rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang


harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana
pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.

Prof. Subekti, S.H. dan R. Tjitrosoedibio merumuskan Hukum Acara Perdata


ialah:

Keseluruhan daripada ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur


dengan cara bagaimana tertib hukum perdata dapat ditegakkan dalam
hal penegakan dikehendak, berhubung terjadinya suatu pelanggaran
dan bagaimana ia dapat di pelihara dalam hal suatu tindakan
pemeliharaan dikehendaki, berhubung terjadinya suatu peristiwa perdata.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 4
2. Hukum Acara Peradilan Agama

Sebagaimana diketahui bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan


Perdata dan Peradilan Islam di Indonesia, jadi ia harus mengindahkan
peraturan perundang-undangan Negara dan syariat Islam sekaligus. Oleh
karena itu, rumusan Hukum Acara Peradilan Agama diusulkan sebagai
berikut:

Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-


undangan Negara maupun dari syariat Islam yang mengatur bagaimana
cara orang bertindak ke muka Pengadilan Agama dan juga mengatur
bagaimana cara Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan perkaranya,
untuk mewujudkan hukum material islam yang menjadi kekuasaan Peradilan
Agama.

E. Susunan Badan Peradilan di Indonesia

UUD 1945 menyebut “Badan Peradilan” dengan “Kekuasaan Kehakiman”


atau “Badan Kehakiman”, ketiganya sama maksudnya dan searti. Pasal 24
berbunyi:
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain
-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan
undang-undang.

Pasal 24 UUD 1945 dilaksanakan oleh UU No. 14 tahun 1970 dan UU No. 14
tahun 1970 menyebut “Kekuasaan Kehakiman” atau “Badan Kehakiman”
dengan “Badan Peradilan”. Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 berbunyi:

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:


a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
d. Peradilan Tata Usaha Negara.

Menurut Pasal 10 ayat (2) dan 11 ayat (2) dari UU tersebut, Mahkamah
Agung adalah Peradilan Negara Tertinggi dan ia mempunyai organisasi,
administrasi dan keuangan tersendiri. Oleh karena masing-masing lingkungan
peradilan tersebut terdiri dari pengadilan tingkat pertama dan tingkat
banding, yang semuanya berpuncak ke Mahkamah Agung (di bidang teknis
fungsional yudikatif), artinya di bidang memeriksa dan mengadili perkara,
maka susunan badan-badan peradilan di Indonesia adalah sebagai berikut;

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 5
1. Lingkungan Peradilan Umum adalah Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan
Tinggi (PT), dan Mahkamah Agung (MA).
(UU No. 2 tahun 1986, LN 1986-20, tt. Peradilan Umum);

2. Lingkungan Peradilan Agama adalah Pengadilan Agama (PA),


Pengadilan TInggi Agama (PTA), dan Mahkamah Agung.
(UU No. 7 tahun 1989, LN 1989-49, tt. Peradilan Agama);

3. Lingkungan Peradilan Militer adalah Mahkamah Militer (Mahmil),


Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti), dan Mahkamah Militer Agung
(Mahmilgung) yakni pada Mahkamah Agung;

4. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Tata Usaha


Negara (PTUN), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan
Mahkamah Agung.
(UU No. 5 tahun 1986, LN 1986-77, tt. Peradilan Tata Usaha Negara)

PN, PA, Mahmil dan PTUN disebut Pengadilan tingkat pertama karena ia
adalah pengadilan sehari-hari yang pertama kali menerima, memeriksa,
mengadili, dan menyelesaikan perkara pada lingkungannya masing-masing.

PT, PTA, Mahmilti dan PTTUN disebut Pengadilan tingkat banding karena
ia menerima perkara banding yang berasal dari pengadilan tingkat pertama
pada lingkungannya masing-masing.

Pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding disebut judex facti,


artinya perkara di tingkat banding (dalam hal banding) akan diperiksa
secara keseluruhan, baik tentang fakta-fakta maupun tentang bukti-bukti
dan lain sebagainya seperti pemeriksaan selengkapnya di muka pengadilan
tingkat pertama dulunya. Mahkamah Agung tidak lagi melakukan judex facti
itu dan karenanya MA tidak bisa disebut sebagai pengadilan tingkat ketiga.
Secara mudah dikatakan bahwa MA itu memeriksa mana yang benar
antara pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding yang sudah
memeriksa terdahulu terhadap suatu perkara yang dimintakan kasasi ke MA.
Oleh karena itu, MA tidaklah memeriksa perkara secara keseluruhan lagi
melainkan hanya terbatas dalam hal-hal tertentu saja. (UU No. 15 tahun 1985,
LN 1985-73, tt MA, Pasal 30).

Diadakannya MA yang tunggal dan bukan lagi bersifat judex facti


adalah untuk uniformitas hukum karena menjunjung prinsip Negara Kesatuan
dalam satu Wawasan Nusantara dan satu Wawasan Hukum serta demi
keadilan hukum.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 6
F. Titelatuer Badan Peradilan Agama

Titelatuer atau sebutan resmi Badan-badan Peradilan Agama sejak


berlakunya UU No. 7 tahun 1989 telah menjadi seragam,

Hukum Acara Peradilan Agama


SKEMA SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

Mahkamah
Depertemen Departemen Agung Departemen PANGAB
Agama Kehakiman Hankam

PTA PT PTTUN Mahmilti

PA PN PTUN Mahmil

Keterangan:
PTA : Pengadilan Tinggi Agama;
PT : Pengadilan Tinggi;
PTTUN : Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara;
Mahmilti : Mahkamah Militer Tinggi;
PA : Pengadilan Agama;
PN : Pengadilan Negara;
PTUN : Pengadilan Tasa Usaha Negara;
Mahmil : Makhamah Militer;
Hankam : Pertahanan dan keamanan;
PANGAB : Panglima Angkatan Bersenjata.
Hubungan ke Mahkamah Agung adalah di bidang teknis fungsional Yudikatif
Hubungan ke Departemen adalah di bidang organisatoris, administrative dan
finansial.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 7
DUA

Sumber Hukum Acara


Peradilan Agama

A. Keharusan Adanya UU Tersendiri Tentang Acara

UUD 1945 Pasal 24 berbunyi:


Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan
undang-undang.

Sekarang ini, pasal 24 UUD 1945 tersebut dilaksanakan oleh UU No. 14


tahun 1970, Pasal 12 yang berbunyi:
Susunan, Kekuasaan serta Acara dari Badan-badan Peradilan tersebut
dalam pasal 10 ayat (1) diatur dalam undang-undang tersendiri.
Pasal 10 ayat (1) berbunyi:
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
d. Peradilan Tata Usaha Negara.

Apabila Pasal 12 UU No. 14 tahun 1970 memerintahkan demikian,


sedangkan UU tersebut merupakan pelaksanaan dari UUD 1945 Pasal 24,
maka mewujudkan UU tentang Susunan, Kekuasaan serta Acara dan bagi
tiap-tiap lingkungan peradilan tersebut di atas adalah merupakan sebagian
dari bukti melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, di samping
sebagai satu cirri dari cinta kepada Negara Hukum sebagai subsistem dari
system Pemerintahan Negara Ri.

Dalam masa 19 tahun kemudian setelah tahun 1970, terbitlah UU No. 7


tahun 1989, tentang Peradilan Agama dan UU ini membuat antara lain
tentang Sususan, Kekuasaan dan Acara Peradilan Agama.

B. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama

Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, disamping sebagai


Peradilan khusus, yakni Peradilan Islam di Indonesia, yang diberi wewenang

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 8
oleh peraturan perundang-undangan, untuk mewujudkan hukum material
Islam dalam batas-batas kekuasaannya.

Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa dan


mengadili serta menyelesaikan perkara) dan fungsinya (menegakkan hukum
dan keadilan) maka Peradilan Agama dahulunya, mempergunakan Acara
yang terserak-serak dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
bahkan juga Acara dalam hukum tidak tertulis (maksudnya hukum formal
Islam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-
undangan Negara Indonesia). Namun Kini, sejak terbitnya UU No. 7
tahun1989, yang mulai berlaku sejak tanggal diundangkan (29 Desember
1989), maka Hukum Acara Peradilan Agama menjadi konkret. Pasal 54 dari
UU tersebut berbunyi:
Hukum Acarq yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus
dalam undang-undang ini.

Menurut pasal di atas, Hukum Acara Peradilan Agama sekarang


bersumber (garis besar) kepada dua aturan, yaitu: (1) Yang terdaopat dalam
UU No. 7 tahun 1989, dan (2) yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum.

Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti Hukum Acara Perdata


Peradilan Umum, antara lain.
1. HIR (Het Herziene Inlandsche Reglement) atau disebut juga RIB (Reglemen
Indonesia yang di Baharui).
2. RBg (Rechts Reglement Buitengewesten) atau disebut juga Reglemen
untuk Daerah Seberang, maksudnya untuk luar Jawa-Madura.
3. Rsv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan
Belanda dahulu berlaku untuk Raad van Justitie.
4. BW (Burgerlijke Wetboek) atau disebut juga Kitab Undang-undang Hukum
Perdata Eropa.
5. UU No. 2 tahun 1986, tentang Peradilan Umum.

Peraturan perundang-undangan tentang Acara Perdata yang sama-


sama berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama,
adalah sebagai berikut.
1. UU No. 14 tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
2. UU No. 14 tahun 1985, tentang Mahkamah Agung.
3. UU No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975, tentang Perkawinan dan
Pelaksanaannya.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 9
C. Kesulitan Beracara di Muka Peradilan Agama

Dari uraian tentang sumber hukum acara peradilan agama terdahulu,


tampaklah kini bahwa ber-acara di muka peradilan agama tidaklah
semudah seperti diperkirakan oleh sementara orang bahkan mungkin lebih
sulit dari ber-acara di muka peradilan umum. Untuk ber-acara di muka
peradilan agama orang harus memahami secara benar dan baik hukum
acara yang termuat dalam UU No. 7 tahun 1989 sebagai ketentuan khusus.
Selanjutnya orang harus memahami dan mengerti pula terhadap aturan-
aturan hukum acara perdata yang digunakan di muka peradilan umum
sebagai ketentuan umumnya, padahal mempelajari hukum acara peradilan
umum saja sudah merupakan suatu hal yang tidak mudah. Selain dari itu
orang juga harus memahami bagaimana cara mewujudklan hukum material
islam melalui hukum proses islam.

Alat bukti saksi misalnya, ia tidak diatur dalam UU No. 7 tahun 1989 dan itu
berarti harus berpedoman kepada alat bukti saksi yang diatur dalam hukum
acara perdata peradilan umum, cq. HIR/RBg

Alat bukti saksi bagi peradilan umum, umumnya sudah dipandang


memadai kalau saksi itu : (1) tidak dipaksa, (2) tidak deauditu, (3) dewasa, (4)
tidak ada hubungan keluarga atau semenda yang dekat atau hubungan
atasan dan bawahan dalam kerja, (5) dua orang atau lebih satu orang
tetapi ada alat bukti lain di sampingnya, (6) kesaksian diberikan di bawah
sumpah. Dalam hukum proses islam banyak lagi persoalannya, misalnya : (1)
apakah saksi mesti beragama islam atau tidak atau dalam keadaan
bagaimana yang diperkenankan non islam, (2) kapan saksi itu boleh diterima
kalau lelaki semua dan empat orang puola bahkan harus beragama islam,
(3) kapan saksi itu boleh digantikan dengan bersumpah lima kali, (4) kapan
boleh kesaksian satu sakti ditambah sumpah penggugat, dan lain
sebagainya.

Patut ditambahkan bahwa kata “ber-Acara” di sini maksudnya


adalah menyangkut: (1) pihak-pihak yang berperkara, termasuk pemegang
kuasa, pengacara, advokat, Lembaga Bantuan Hukum dan sebagainya, (2)
petugas pengadilan itu sendiri seperti hakim dan panitera, mereka-mereka ini
tentunya harus benar-benar memiliki keterampilan khusus.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 10
TIGA

Kekuasaan Peradilan Agama

Kata “kekuasaan” di sini sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang


berasal dari bahasa Belanda Competentie, yang kadang-kadang
diterjemahkan juga dengan “kewenangan”, sehingga ketiga kata tersebut
dianggap semakna.

Berbicara tentang kekuasaan peradilan dalam kaitannya dengan hukum


acara perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang “kekuasaan
relative” dan “kuasaan absolute”, sekaligus dibicarakan pula di dalamnya
tentang tempat mengajukan gugatan/permohonan serta jenis perkara yang
menjadi kekuasaan pengadilan.

A. Kekuasaan Relatif

Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis


dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan
yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan
Negeri Magelang dengan Pengadilan Negeri Purworejo, antara Pengadilan
Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama Baturaja.

Pengadilan Negeri Magelang dan Pengadilan Negeri Purworejo satu jenis,


sama-sama lingkungan Peradilan Umum dan sama-sama pengadilan tingkat
pertama. Pengadilan Agama Muara Enim dan Pengadilan Agama Baturaja
satu jenis, yaitu sama-sama lingkungan Peradilan Agama dan satu tingkatan,
sama-sama tingkat pertama.

Pasal 4 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 berbunyi:


Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota
kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau
kabupaten

Pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) berbunyi:


Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di
kotamadya atau di ibu kota kabupaten, yang daerah hukummnya
meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup
kemungkinan adanya pengecualian.

Tiap-tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu atau


dikatakan mempunyai “yurisdiksi relatif” tertentu, dalam hal ini meliputi satu
kotamadya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai
pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang, contoh, di kabupaten

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 11
Riau Kepulauan terdapat empat buah Pengadilan Agama, karena kondisi
transportasi sulit.

B. Kekuasaan Absolut

Kekuasaan absolute artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan


dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan,
dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau
tingkatan pengadilan lainnya, misalnya:

Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka


yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan
Peradilan Umum.

Pengadilan Agama lah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara


dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di Pengadilan
Tinggi Agama atau Mahkamah Agung.

Banding dari Peradilan Agama diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama,


tidak boleh diajukan ke Pengadilan Tinggi.

Terhadap kekuasaan absolut ini, Pengadilan Agama diharuskan untuk


meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah termasuk kekuasaan
absolutnya atau bukan. Jika jelas-jelas tidak termasuk kekuasaan absolutnya,
Pengadilan Agama dilarang menerimanya. Jika pengadilan agama
menerimanya juga maka pihak tergugat dapat mengajukan keberatan yang
disebut “eksepsi absolut’ dan jenis eksepsi ini boleh diajukan kapan saja,
malahan sampai di tingkat banding atau di tingkat kasasi.

C. Jenis Perkara yang Menjadi Kekuasaan Peradilan Agama

Kata “kekuasaan” di sini maksudnya kekuasaan absolut. Dala berbagai


peraturan perundang-undangan, kukuasaan absolut tersebut sering disingkat
dengan kata “kekuasaan” saja, misalnya:

Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan


lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan
undang-undang. (UUD 1945 Pasal 24)
Susunan kekuasaan serta Acara dari badan-badan peradilan tersebut
dalam Pasal 10 ayat (1) diatur dalam undang-undang. (UU No. 14 tahun
1970, Pasal 12)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 12
Kekuasaan absolut Peradilan Agama disebutkan dalam Pasal 49 dan 50
UU No. 7 tahun 1989, yang berbunyi:

Pasal 49
(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan;
b. Kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum
islam;
c. Wakaf dan shadaqah.
(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a.
ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang
mengenai perkawinan yang berlaku.
(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b.
ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli
waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

Pasal 50

Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain
dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49,
maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus
diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum.

Penjelasan Pasal 50
Penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa dimaksud tidak
berarti menghentikan proses peradilan di Pengadilan Agama atas objek
yang tidak menjadi sengketa itu.

a. Perkara Perkawinan diatur dalam UU No. 1 tahun 1974;


b. Perkara Kewarisan, Wasiat dan Hibah diatur pada Pasal 49 ayat (1) UU
No. 7 tahun 1989, Penentuan Mengenai Harta Peninggalan disebut
dalam Pasal 49 ayat (3) UU No. 7 tahun 1989;
c. Perkara Wakaf dan Shadaqah diatur dengan PP No. 28 tahun 1977, LN
1977-38.

D. Ganjalan Terhadap Kekuasaan Peradilan Agama

Ada tiga hal yang perlu dikemukakan, yang kemungkinan akan menjadi
ganjalan dalam pelaksanaan kekuasaan Peradilan Agama. Tiga hal tersebut
sebagai berikut.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 13
1. Pasal 50 UU No. 7 tahun 1989

Pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 berbunyi:


Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain
dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49,
maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus
diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Penjelasan pasal tersebut berbunyi:


Penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa dimaksud tidak
berarti menghentikan proses peradilan di pengadilan agama atas objek
yang tidak menjadi sengketa.

2. Penjelasan Umum UU No. 7 tahun 1989, angka 2

Penjelasan Umum UU No. 7 tahun 1989, angka 2, mengatakan;


Bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta
peninggalan tersebut, bilamana pewarisan tersebut dilakukan
berdasarkan hukum islam.
Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan
dalam pembagian warisan.

3. Pasal 86 ayat (2) UU No. 7 tahun 1989

Pasal 86 ayat (2) UU No. 7 tahun 1989, berbunyi:


Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka pengadilan menunda terlebih
dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap tentang hal itu.

4. Pasal 12 PP No. 28 tahun 1977

Pasal 12 PP No. 28 tahun 1977 adalah tentang Perwakafan tanah milik.


Pasal 12 berbunyi:

Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan


perawakafan tanah, disalurkan melalui pengadilan agama setempat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 14
EMPAT

Tempat Mengajukan Gugatan/


Permohonan

Peradilan Agama sebagaimana sudah dijelaskan terdahulu, adalah


Peradilan Islam di Indonesia. Hukum Acara yang dipergunakan adalah
yang termuat dalam UU No. 7 tahun 1989 sebagi aturan khusus (lex
specialis) ditambah dengan Hukum Acara yang berlaku di lingkungan
Peradilan Umum sebagi aturan umum (lex generalis) bagi hal-hal yang
tidak ditemukan dalam UU No. 7 tahun 1989.

A. Tempat Mengajukan Gugatan/Permohonan di Zaman


Rasulullah dan Khalifah Empat

Dari berbagai hadis dan sejarah Rasulullah Saw. Ataupun dari sejarah
Peradilan Islam di masa Khalifah Empat/masa Sahabat, ternyata semua
gugatan/permohonan perkara diajukan ke tempat Rasulullah Saw., diam
atau ke tempat Qadi yang ditunjuk oleh beliau yang terdekat letaknya
dengan kediaman penggugat/pemohon. Atau kepada khalifah,
walaupun pada ketika itu belum ada gedung pengadilan tersendiri. Jadi,
asal mula tempat mengajukan gugatan/permohonan adalah ke
pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal pihak
penggugat/pemohon.

Mungkin atas dasar menurut kode etik siding, tempat duduk tergugat
di muka siding selalu di sebelah kanan dari penggugat sedangkan
penggugat di sebelah kirinya.

B. Tempat Mengajukan Gugatan/Permohonan di Muka


Pengadilan Agama Bagi Perkara Perkawinan

UU No. 7 tahun 1989 Pasal 54 mengatakan bahwa hukum acara


peradilan agama selain daripada yang dimuat dalam UU tersebut,
mempergunakan hukum acara perdata peradilan umum. Pengaturan
tempat mengajukan gugatan/pemohonan yang dimuat dalam UU No. 7
tahun 1989 hanya terbatas bagi perkara perkawinan cerai talak dan
cerai karena gugatan.

Berpegang kepada aturan tempat mengajukan


gugatan/permohonan yang dimuat dalam UU No. 1 tahun 1974 dan PP
No. 9 tahun 1975.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 15
Tegasnya: (1) Untuk perkara perkawinan tentang cerai talak dan cerai
karena gugatan berpedoman kepada UU No. 7 tahun 1989, (2) untuk
perkara perkawinan selain (1) berpedoman kepada UU No. 1 tahun1974
dan PP No. 9 tahun 1975, (3) untuk perkara selain (1) dan (2)
berpedoman kepada Acara Perdata Peradilan Negeri.

Tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara


perkawinan sebagai berikut.

1. Permohonan suami untuk menceraikan isterinya dengan cerai talak,


diajukan oleh suami (pemohon) ke Peradilan Agama yang mewilayahi
tempat kediaman isteri (termohon).
Pasal 66 ayat (5) menyebutkan bahwa permohonan soal penguasaan
anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama dapat diajukan
bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar
talak diucapkan.
2. Gugatan perceraian diajukan oleh si isteri (penggugat) atau kuasanya ke
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman isteri
(penggugat). Bila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat
kediaman bersama tanpat izin tergugat (suami), dan atau bila
penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian
diajukan oleh penggugat ke Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempay kediaman tergugat.
3. Permohonan untuk beristeri lebih dari seorang diajukan oleh pemohon
(suami yang bersangkutan) ke Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat kediaman suami (pemohon).
4. Izin kawin sebagai pengganti izin orang tua/wali/keluarga bagi calon
memperlai (lelaki atau perempuan) yang belum berusia 21 tahun dan
tidak telah pernah kawin sebelumnya, diajukan ke Pengadilan Agama
yang mewilayahi tempat kediaman tersebut.
5. Bagi calon mempelai wanita yang mau kawin mendahului dari umu 16
tahun atau bagi calon mempelai pria yang mau kawin mendahului dari
umur 19 tahun, maka untuk mendapatkan dispensasi kawin, ia
mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama yang ditunjuk oleh
orang tua masing-masing.
6. Pencegahan perkawinan terhadap rencana perkawinan karena tidak
memenuhi syarat-syarat perkawinan atau karena alas an hukum lainnya,
diajukan permohonannya ke Pengadilan Agama dalam daerah hukum
dimana perkawinan akan di langsungkan.
7. Calon mempelai yang ditolak untuk melangsungkan perkawinannya oleh
PPN (Pegawai Pencatat Nikah) karena menurut PPN tidak boleh,
sedangkan menurut calon boleh diajukan oleh si calon ke Pengadilan
Agama yang mewilayahi PPN tersebut.
8. Gugatan pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang
mewilayahi di mana perkawinan itu dahulunya dilangsungkan, atauke

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 16
Pegadilan Agama yang mewilayahi suami-isteri yang bersangkutan, atau
ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman salah seorang
dari suami isteri tersebut.
9. Gugatan gabungan (kumulasi objektif), misalnya gugatan cerai yang
disertai dengan gugatan mengenai akibat dari perceraian tersebut,
maka dilihatlah kepada pokok perkaranya. Dalam hal ini, pokok
perkaranya adalah gugatan cerai, untuk mana berlakulah ketentuan
seperti telah disebutkan di butir 2. di muka.

Sebagian ditemui aturan tempat mengajukan gugatan/permohonan


dalam perkara perkawinan, di dalam UU No. 7 tahun 1989 dan sebagian
lagi ditemui dalam UU No. 1 tahun 1974 jo. PP No. 9 tahun 1975.

C. Tempat Mengajukan Gugatan/Permohonan Dalam


Perkara Selain Perkara Perkawinan

Tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara selain


perkara selain perkara perkawinan sama dengan tempat mengajukan
gugatan/permohonan menurut Hukum Acara Perdata Pengadilan
Negeri, yaitu sebagai berikut.

1. Asas umumnya diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi


tempat tinggal tergugat.
2. Kalau tempat tinggal tergugat tidak diketahui, diajukan ke
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat nyatanya tergugat
berdiam (berada).
3. Jika tergugat lebih dari seorang, tidak tinggal dalam suatu wilayah
Pengadilan Agama, diajukann ke Pengadilan Agama yang
mewilayahi salah satu dari tempat tinggal tergugat menurut yag=ng
dipilih oleh penggugat.
4. Jika tergugat-tergugat satu sama lain sebagai perutang pertama dan
penanggung, diajukan ke Pengadilan Agama tempat tinggal si
perutang pertama.
5. Jika tergugat tidak dikenal atau tidak mempunyai tempat tinggal
atau tempat tinggalnya tidak dikenal, diajukan ke Pengadilan Agama
temoat tinggal penggugat atau salah satu dari penggugat.
6. Jika gugatan mengenai benda tetap (onroerende goederen), di
ajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat benda tetap
itu.
7. Kalau penggugat dan tergugat telah memilih tempat berperkara
dengan akta secara tertulis, diajukan ke Pengadilan Agama yang
telah dipilih itu.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 17
LIMA

Gugatan dan Permohonan

A. Gugatan/Permohonan Sebagai Hak Prive

Hukum Perdata sebagaimana dimaklumi adalah mengatur tentang hak


dan kewajiban antara seseorang dengan pihak lain, sedangkan Hukum
Acara Perdata adalah mengatur tentang cara
mewujudkan/mempertahankan Hukum Perdata itu. Apakah seorang mau
menggugat atau tidak, sekalipun ada haknya yang diperkosa oleh orang
lain, sepenuhnya terserah kepada orang itu sendiri, yang sama sekali tidak
ada sangkut paunya dengan siapa pun, sebab yang demikian itu adalah
hak Prive (Pribadi) nya sendiri. Itu berarti, sekalipun seseorang diperkosa
haknya oleh oranglain, kalau ia diam saja tidak mau menggugat, tidak bisa
dipaksakan supaya ia menggugat. Sebaliknya, sekalipun tidak ada hak
perdata nya yang diperkosa oleh seseorang tetapi ia secara mau coba-
coba menggugat nekad, juga tidak bisa dilarang.

Surat gugatan/permohonan di muka Pengadilan Agama, sebagaimana


juga di muka Pengadilan Negeri, tidak memerlukan surat
pengantar/legalisasi seperti dari Lurah/Kepala Desa/BP4/Kantor urusan
Agama Kecamatan/Kantor Camat dan lain sebagainya, hal di samping
mungkin akan memperlambat proses, juga bertentangan dengan asas hak
perdata sebagai hak prive.

Adapun penggugat/pemohon umpamanya memerlukan berkonsultasi


dengan advokat atau badan penasihat perkawinan dan penyelesaian
perceraian (BP4) dan lain sebagainya, baik sebelum perkaranya terdaftar di
pengadilan ataupun sesudahnya, itupun hal pribadinya, bukan keharusan,
pula bukan merupakan syarat untuk suatu gugatan/permohonan.

B. Pihak-pihak

1. Penggugat dan Tergugat

Penggugat ialah orang yang menuntut hak perdatanya ke muka


Pengadilan perdata. Penggugat ini disebut eiser (Belanda) atau al-mudda’y
(arab).

2. Pemohon dan Termohon

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 18
Di samping peradilan dalam arti sesungguhnya (jurisdictio contentiosa),
ada kemungkinan seseorang memohon kepada pengadilan untuk minta
ditetapkan atau mohon ditegaskan sesuatu hak bagi dirinya atau tentang
sesuatu situasi hukum tertentu, baginya sama sekali tidak ada lawan (tidak
berperkara dengan orang lain).

Orang yang memohon di situ disebut dengan istilah “pemohon” atau


introductief request (Belanda), atau al-mudda’y (Arab).

Termohon sebenarnya dalam arti “asli”, bukanlah sebagai pihak tetapi


hanya perlu dihadirkan di depan siding untuk didengar keterangannya untuk
kepentingan pemeriksaan, karena termohon mempunyai hubungan hukum
langsung dengan pemohon. Jadi dalam arti asli, termohon tidak imperative
hadir di depan sidang seperti halnya tergugat, artinya sekalipun termohon
tidak hadir, bilamana permohonan cukup beralasan (terbukti) maka
permohonannya akan dikabulkan dan kalau tidak terbukti ditolak.

 UU No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975 menyebutkan


“permohonan” oleh “pemohon”.
 Pasal 38 PP No. 9 tahun1975 tentang permohonan pembatalan
perkawinan.
 Pasal 40 PP No. 9 1975 tentang permohonan untuk beristeri lebih dari
seorang.
 Pasal 65-72 UU No. 7 tahun 1989 tentang pemohonan cerai talak.

3. Kuasa Khusus dan Penasihat Hukum

Tentang kuasa khusus dan penasihat hukum dimaksudkan dalam uraian


di sini karena menyangkut langsung pihak-pihak yang berperkara. Istilah
kuasa khusus selalu dikaitkan dengan perkara pidana. Itu berarti bahwa
istilah penasihat hukum tidak akan diketemukan di muka Peradilan Agama
yang perdata itu dan istilah kuasa khusus tidak akan diketemukan di muka
pengadilan Pidana.

Seorang pihak boleh memberikan kuasa kepada beberapa orang


pemegang kuasa, juga boleh beberapa orang pihak memberikan kuasa
kepada seorang pemegang kuasa. Pemberian kuasa khusus dapat di
tempuh tiga cara, yaitu.

a. Diterakan dalam surat gugat/surat permohonan atau dalam jawaban


gugatan/jawaban permohonan langsung. Penggugat/pemohon dan
tergugat/termohon sama-sama membubuhkan tanda tangannya di atas
surat gugatan/surat permohonan dan surat jawaban gugatan/jawaban
permohonan.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 19
b. Dengan cara membuat surat kuasa khusus tersendiri, dilakukan di muka
pejabat yang berwenang, yang paling tepat adalah di muka
kepaiteraan penadilan atau notaris.

c. Dengan dikemukakan langsung secara lisan oleh penggugat/pemohon,


tergugat/termohon pemberi kuasa, di muka sidang.

C. Bentuk dan Isi Gugatan/Permohonan

Gugatan/permohonan dalam bahasa hukum islam disebut ad da’wa.


Kata da’wa ini rupanya dipergunakan pula sebagai tuntutan pidana. Dapat
diketahui, da’wa perdata atau da’wa pidana tergantung dengan konteks
kalimat.

Dalam tata hukum Indonesia, kata gugatan/permohonan hanya dipakai


dalam kaitan acara perdata, lagi pula dibedakan maksud dan artinya.

1. Surat gugatan

Bentuk dan isi surat gugatan secara garis besarnya terdiri dari tiga
komponen, yaitu sebagai berikut.
a. Identitas pihak-pihak
b. Fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah
pihak, biasa disebut bagian “posita” (jamak) atau “positum” (tunggal).
c. Isi tuntutan yang biasa disebut bagian “petita” (jamak) atau “petitum”
(tunggal).

2. Surat permohonan

Prinsip dalam surat permohonan adalah tidak mempunyai lawan, lain


dengan surat gugatan. Tetapi sebagaimana diketahui bahwa di muka
pengadilan agama ada perkara yang sepertinya voluntaria tetapi
kenyataannya adalah contentiosa, sehingga dalam keadaan seperti ini,
walaupun namanya permohonan, namun bentuknya seperti bentuk
gugatan.

Secara nyata perbedaan inti antara surat gugatan dan surat


permohonan bahwa pada surat permohonan tidak dijumpai kalimat
“berlawanan dengan”, kalimat “duduk perkaranya”, dan kalimat
“permintaan membayar biaya perkara kepada pihak lawan.”

3. Gugatan/Permohonan Lisan

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 20
Gugatan atau permohonan pada prinsipnya harus dibuat tertulis oleh
penggugat atau oleh pemohon atau oleh kuasa sahnya. Tapi kalau
pemohon/penggugat tidak bisa menulis (maksudnya buta huruf) maka
gugatan atau permohonan boleh diajukan secara lisan.

Kalau diajujan secara lisan maka panitera atas nama Ketua


Pengadilan agama membuat catatan yang diterangkan oleh
penggugat atau pemohon kepadanya, yang disebut “catatan gugat
atau catatan permohonan”.

D. Kelengkapan Gugatan/Permohonan

Sekalipun surat gugatan atau permohonan sudah dibuat tetapi untuk


mendaftarkan di pengadilan agama tentunya harus diperlengkapi dengan
syarat-syarat lainnya. Syarat kelengkapan gugatan atau permohonan, ada
syarat kelengkapan umum dan ada syarat kelengkapan khusus.

1. Syarat Kelengkapan Umum

Syarat kelengkapan umum (minimal) untuk dapat diterima


didaftarkannya suatu perkara di pengadilan ialah sebagai berikut.

a. Surat gugatan atau permohonan tertulis, atau dalam hal buta


huruf, catatan gugat atau catatan permohonan.
b. Surat keterangan kependudukan/tempat tinggal/domisili bagi
penggugat atau pemohon.
c. Vorschot biaya perkara, kecuali bagi yang miskin dapat
membawa surat keterangan miskin dari lurah/kepada desa yang
disahkan sekurang-kurangnya oleh camat.

Menurut prinsip hukum acara perdata, apabila tiga hal di aras sudah
dipenuhi, pengadilan secara formal tidak boleh menolak untuk menerima
pendaftaran perkaranya, sebab syarat-syarat kelengkapan selainnya, sudah
merupakan syarat untuk pemeriksaan bahkan mungkin untuk syarat
pembuktian perkara.

2. Syarat Kelengkapan Khusus

Syarat kelengkapan khusus ini tidaklah sama untuk semua kasus perkara,
jadi tergantung kepada macam atau sifat dari perkara itu an sich.
Contohnya sebagai berikut.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 21
a. Bagi anggota ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan
kepolisan yang mau kawin atau mau bercerai harus melampirkan izin
komandan.
b. Mereka yang mau kawin lebih dari seorang (selain ABRI, Kepolisian dan
pegawai negeri sipil), harus melampirkan;
1. Surat persetujuan tertulis dari isterinya yang telah ada
2. Surat keterangan tentang penghasilan suami, seperti daftar gajinya
atau harta yang dijadikan usahanya dalam mencari nafkah atau
penghasilan-penghasilan lainnya, untuk bukti bahwa suami tersebut
mampu beristeri lebih dari seorang,
3. Surat pernyataan dari suami bahwa ia sanggup berlaku adil terhadap
isteri atau isteri-isterinya dan anak-anaknya.
c. Untuk keperluan tersebut di b. di atas, atau jika mau bercerai, kalau
suami itu pegawai negeri sipil, maka syarat tersebut di b. harus ditambah
lagi dengan adanya izin dari pejabat yang berwena ng (atasannya).
d. Perkara-perkara perkawinan harus melampirkan kutipan akta nikah,
seperti perkara gugatan cerai, permohonan untuk menceraikan isteri
dengan cerai talak, gutatan nafkah isteri dan sebagainya.
e. Perkara-perkara yang berkenaan dengan akibat perceraian harus
melampirkan kutipan akta cerai. Seperti perkara gugatan nafkah iddah,
gugatan tentang mut’ah (pemberian dari suami kepada bekas isteri
yang diceraikan berhubung kehendak bercerai datangnya suami) dan
lain sebagainya.
f. Mereka yang hendak bercerai harus melampirkan surat keterangan
untuk bercerai dari kelurahan/kepala desa masing-masing, yang di sebut
model “Tra.”
g. Gugatan waris harus disertakan surat keterangan kematian pewaris. Dan
lain-lain sebagainya.

Khusus bagi pegawai negeri sipil yang mengajukan permohonan ke


pengadilan untuk bercerai atau untuk kawin lebih dari seorang, yang
menurut PP No. 10 tahun 1983, harus melampirkan izin dari pejabat yang
berwenang (atasannya). Oleh mahkamah agung dengan surat edara No. 5
tahun 1984 tanggal 17 April 1984, diberikan petunjuk bahwa kepada
pemohon diberikan kesempatan untuk menyampaikan izin pejabat yang
berwenang tersebut dalam waktu 6 (enam) bulan sejak perkara terdaftar di
pengadilan.

3. Materai dan Rangkap Surat Gugatan/Permohonan

a. Materai Surat Gugatan/Permohonan

Menurut aturan lama sebagaimana disebutkan dalam: (1) Pasal 7 m


dari ordonantie stbl. 1882-152 jis. Stbl. 1937-116 dan 610, (2) Pasal 19 dari

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 22
ordonantie stbl. 1937-638 dan 639, (3) Pasal 11 ayat (2) dari PP No. 45
tahun 1957, semua surat-surat perkara yang semata-mata untuk
pemeriksaan perkara di muka Peradilan Agama tingkat pertama
maupun tingkat banding, salinan-salinan putusan/penetapan, surat-surat
untuk menjalankan keputusan, surat permohonan tentang perselisihan
kekuasaan mengadili serta keputusan-keputusannya, dibebaskan dari
materai. Tetapi, ordonantie tersebut di (1) yaitu untuk peradilan agama
di pulau Jawa-Madura, tersebut di (2) yaitu untuk peradilan agama di
sebagian daerah Kalimantan-Selatan dan Timur, tersebut di (3) untuk
daerah-daerah Indonesia lain-lainnya, sudah dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku oleh UU No. 7 tahun 1989.

Sekarang, semua aturan materai seperti yang diatur dalam UU No. 13


tahun 1985, LN 1985-69, tentang bea materai, yang menggantikan
Zegelverordening tahun 1921, yang telah berkali-kali diubah, terakhir
dengan UU No. 2 Prp. 1965, LN 1965-21 yang telah ditetapkan menjadi UU
dengan UU No. 7 tahun 1969, LN 1969-38, menjadi berlaku untuk
peradilan agama.

b. Rangkap Surat Gugatan/Permohonan

Surat gugatan atau permohonan, pada prinsipnya cukup satu rangkap


saja. Adapun untuk dilampirkan pada surat panggilan kepada tergugat atau
termohon, atau untuk keperluan banding (kalau ada banding), atau untuk
keperluan kasasi (kalau ada kasasi), atau untuk keperluan peninjauan
kembali (jika terjadi peninjauan kembali), adalah tugas pengadilan yang
bersangkutan untuk menyalinnya sesuai dengan kebutuhan. Akan tetapi
dalam praktik, hal serupa itu sering melambatkan proses, karenanya oleh
pengadilan biasa dimintakan untuk beberapa rangkap, misalnya 5 rangkap
(kalau tergugatnya 1 orang), 6 rangkap (kalau tergugatnya 2 orang) dan
seterusnya. Kagunaannya iaalah, satu rangkap untuk dilampirkan pada surat
panggilan kepada setiap tergugat, tiga rangkap untuk cadangan kalau
nantinya terjadi banding.

Untuk menjamin sah bermaterai cukup dan swah legalisasi, maka perlu di
tempuh sebagai berikut:

Photocopy sebanyak yang diperlukan, bawa lampiran tersebut ke kantor


pos untuk minta si “nachtsegelen” kan oleh kantor pos tiap-tiap lembarnya,
lalu mintakan legalisasi di kepaniteraan pengadilan. Untuk nachtsegelen ini,
wajib bayar per lembarnya sebesar harga materai per lembar surat aslinya.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 23
E. Gugatan Kembali (Reconventie)

Gugatan asal tersebut “gugatan dalam conventie”. Tergugat dalam


conventie (tergugat asal) adakalanya ia akan menggunakan sekaligus
dalam kesempatan berperkara itu untuk menggugat kembali kepada
penggugat asal (penggugat dalam conventie), sehingga tergugat asal
(dalam conventie) sekaligus beritindak menjadi penggugat dalam conventie
dan dalam reconventie tersebut akan diperiksa dan diputus sekaligus dalam
perkara itu juga, mungkin hanya dengan “satu putusan” atau bisa juga
dalam “dua putusan.”

Gugatan balik (reconventie) ini hanya ditemui dalam hukum acara


perdatan peradilan umum yang dimuat dalam Pasal 132 a dan b dari HIR
(HIR dibuat dengan stbl. 1941-44). Akan tetapi, di lingkungan peradilan umum
sudah mempergunakannya sejak tahun 1927, berdasarkan analogie (qiyas)
kepada pasal 244-247 Reglement Rechtsvordering (Rsv), yaitu hukum acara
perdata yang berlaku bagi golongan eropa di Indonesia tempo dulu.

Syarat-syarat dibolehkannya gugatan reconventie adalah sebagai


berikut.
1. Mengajukan gugatan reconventie selambatnya bersama dengan
jawaban pertama dari tergugat conventie. Gugatan reconventie
sama dengan gugatan conventie, boleh lisan bagi buta huruf.
2. Di muka pengadilan tingkat pertama tidak mengajukan reconventie
maka di tingkat banding dan kasasi tidak boleh mengajukan gugatan
reconventie.
3. Gugatan reconventie harus juga jenis perkara yang menjadi
kekuasaan dari pengadilan dalam conventie.

Patut diingatkan bahwa gugat balik hanya berlaku dalam perkara yang
terdiri dari dua pihak yang berlawanan, jadi dalam perkara permohonan
(voluntaria) penuh, tidak berlaku reconventie.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 24
ENAM

Pendaftaran Perkara dan


Persiapan Sidang

A. Pendaftaran Perkara di Pengadilan

Sesudah surat gugatan atau permohonan dibuat dan dilampiri dengan


syarat-syarat kelengkapan umum atau mungkin sudah sekaligus dilampiri
dengan syarat-syarat kelengkapan khusus, atau dalam hal buta huruf, bawa
saja semua syarat-syarat kelengkapan itu ke pengadilan agama,
daftarkanlah di kepaniteraan.

Sewaktu kepaniteraan pengadilan agama menerima berkas, surat


gugatan atau permohonan itu akan diteliti dan penelitian itu menyangkut
dua hal: (1) Apakah surat gugatan atau permohonan itu sudah jelas, benar
tidak tukar balik mulai dari identitas pihak-pihak, bagian posita dan tentang
petitanya, apakah posita sudah terarah sesuai dengan petita sebagainya,
(2) Apakah perkara tersebut termasuk kekuasaan Pengadilan Agama, baik
kekuasaan relatif maupun kekuasaan absolut.

Berikut satu contoh dalam perkara pelanggaran ta’liq-talaq yang


petitanya tidak benar:

Penggugat mohon kepada Pengadilan Agama untuk:


a) Mengabulkan sepenuhnya gugatan penggugat
b) Menceraikan penggugat dari tergugat dengan talaq I bi al ‘iwad Rp
1.000,- (seribu rupiah) karena tergugat melanggar ta’liq talaq
c) Mewajibkan kepada tergugat untuk membayar ongkos perkara.

Petita yang benar seharusnya berbunyi sebagai berikut:


1. Menerima gugatan penggugat
2. Mengabulkan seluruhnya gugatan penggugat
3. Menyatakan sah menurut hukum bahwa ta’liq talaq telah terwujud (telah
melanggar oleh tergugat)
4. Memutuskan cerai antara penggugat dan tergugat dengan talaq I bi al
‘iwad Rp 1.000,- (seribu rupiah) karena pelanggaran ta’liq talaq.
5. Biaya perkara menurut hokum

Petita harus diatur urutannya sedemikian rupa karena pengadilan belum


akan mengabulkan atau menolak gugatan penggugat sebelum dinyatakan
dulu bahwa perkaranya secara formal diterima oleh pengadilan.
Selanjutnya, bila syarat kelengkapan umum gugatan atau permohonan
sudah dipenuhi, penelitian sudah dilakukan dan sudah benar maka
pengadilan dilarang untuk tidak menerima didaftarkannya perkara tersebut,

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 25
sebagaimana telah di tunjuk dalam pasal 14 UU Nomorn14 Tahun 1970, yang
berbunyi:

1. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu


perkara yang diajukan dengan dialih bahwa hukum tidak kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
2. Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha
penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

Adapaun syarat kelengkapan khusus, karena ia sudah merupakan syarat


kelengkapan material, dapat saja disusulkan kemudian, ketika mulai
pemeriksaan perkara.

B. Penunjukan Majelis Hakim dan Penetapan Hari Sidang

1. Penunjukan Majelis Hakim oleh Ketua Pengadilan

Setelah perkara terdaftar di kepaniteraan Penanitera wajib


secepatnya menyampaikan berkas perkara itu kepada ketua Pengadilan
Agama, disertai “usul tindak” atau “saran tindak”, yang kira-kira berbunyi
“sudah di teliti dan syarat formal cukup”. Atas dasar itu ketua pengadilan
Agama dapat menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa dan mengadili
masalah tersebut, dengan surat penetapan, disebut “penunjukan majelis
hakim” (model PMH).

Penetapan PMH memakai nomor kode indeks surat keluar biasa dan
isinya menunjuk siapa-siapa hakim yang akan menangani perkara yang
dimaksudkan, siapa hakim ketua dan anggota, mungkin pula sekaligus
menunjuk panitera sidangnya.

Panitera sidang, jika dalam PMH belum ditunjuk, dapat ditunjuk oleh
ketua majelis. Ganti atau tukar Panitera Sidang karena suatu hal, itu boleh
saja dan tidak mesti dengan surat penetapan, jadi boleh isidental, sebab
panitera sidang hanyalah pembantu untuk kelancaran sidang. Walaupun
prinsipnya tidak perlu dengan Surat Penetapan, menurut majelis sebaiknya
ada semacam surat tertulis yang dapat menjadi pegangan bagi panitera
sidang tersebut.

Untuk tidak membingungkan, terutama bagi mereka yang baru


berkenalan dengan pejabat pengadilan, rasanya baik juga dijelaskan
sekaligus sebagai berikut.

a. Ketua pengadilan adalah jabatan structural sebagai Pemimpin


Pengadilan. Yang mewakilinya di bidang itu disebut Wakil Ketua
Pengadilan. Biasa disingkat “Ketua” dan “Wakil Ketua” saja.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 26
Ketua dan Wakil ketua Pengadilan selalu (mesti) hakim dan hakim itu
adalah jabatan fungsionalnya.

Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan belum tentu selalu ikut sidang atau
selalu dalam sidang bertindak sebagai Ketua Majelis sidang.

b. Ketua Majelis sidang adalah hakim yang memimpin sidang, mungkin ia


ketua atau wakil ketua pengadilan, tetapi bisa dan mungkin hakim biasa.

c. Panitera pengadilan selalu tunggal, biasa disebut dengan singkat


“Panitera” saja, ia adalah Panitera kepala di pengadilan tersebut.
Panitera adalah jabatan fungsionalnya dan panitera kepala adalah
jabatan strukturalnya.

d. Menurut UU No. 7 tahun 1989, Panitera merangkap sekretaris pengadilan.


Sebagai panitera, ia dibantu oleh wakil panitera, panitera muda, dan
panitera pengganti. Dalam sidang, mereka disebut panitera sidang dan
bertanggung jawab kepada ketua majelis tetapi di luar sidang
bertanggung jawab menurut hierarkis struktur.

e. Wakil ketua pengadilan, hakim dan panitera pengadilan bertanggung


jawab langsung kepada ketua pengadilan, tetapi di dalam sidang
mereka bertanggung jawab kepada ketua majelis dan ketua majelis
bertanggung jawab kepada ketua pengadilan.

Ketua majelis, setelah ia menerima PMH dari ketua pengadilan


agama, kepadanya diserahkan berkas-berkas perkara yang
bersangkutan dan selanjutnya ia harus membuat penetapan hari sidang
(model PHS), kapan sidang pertama akan dilangsungkan.

2. Penetapan Hari Sidang oleh Ketua Majelis

Ketua Majelis membuat surat penetapan Hari Sidang (model PHS)


untuk menentukan hari sidang pertama akan dimulai. Nomor kode indeks
penetapan adalah nomor agenda surat ke luar biasa. Kalau panitera
sidang belum ditunjuk dalam penetapan sidang belum ditunjuk dalam
penetapan PMH terdahulu, ketua majelis sekaligus menunjuk pula
panitera sidangnya.

Berdasarkan PHS, juru Sita akan melakukan pemanggilan kepada


pihak-pihak yang berperkara untuk menghadiri sidang sesuai dengan
hari, tanggal, jam dan tempat yang ditunjuk dalam PHS. Penetapan hari
sidang selain “sidang pertama” dapat ditentukan dan dicatat saja
dalam Berita Acara Sidang (tidak perlu dengan PHS lagi).

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 27
Penetapan hari Sidang untuk sidang pertama sangat menentukan
sekali, karenanya ia harus dibuat tersendiri. Kita ketahui bila tergugat
sudah dipanggil dengan patut pada sidang pertama, ia atau kuasa
sahnya tidak menghadap , maka ia akan diputus verstek. Jika
penggugat sudah dipanggil dengan patut, ia atau kuasa sahnya tidak
datang menghadap pada sidang pertama maka perkaranya akan
diputus dengan digugurkan. Nah, landasan yuridis bolehnya “verstek”
dan “digugurkan” dalam hal ini adalah PHS dari ketua majelis tadi.

C. Pemanggilan Pihak-pihak

Pemanggilan pihak-pihak untuk lingkungan Peradilan Agama sekarang


ini, diatur dalam UU No. 7 tahun 1989 juncto PP No. 9 tahun 1975 tetapi hanya
mengenai perkara permohonan cerai talak dan perkara gugatan cerai.
Selain dari kedua jenis perkara tersebut tidak diatur, sehingga masih dikaji
tersendiri.

1. Menurut UU No. 7 tahun 1989 dan PP No. 9 tahun 1975

a. Pemanggilan kepada pemohon (suami) dan termohon (isteri) dalam


perkara termohonan cerai talak, perkara permohonan suami untuk
beristeri lebih dari seorang, dan panggila kepada pengugat (isteri) dan
tergugat (suami) dalam perkara gugat cerai, selambat-lambatnya hari
ke-27 sejak perkara terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama, sebab
siding pertama untuk perkara-perkara itu selambat-lambatnya 30 hari
sejak perkara terdaftar, sedangkan surat panggilan sekurang-kurangnya 3
hari sebelum sidang, sudah diterima oleh pihak yang dipanggil;

b. Penggugat atau tergugat dalam perkara gugatan cerai akan dipanggil


untuk menghadiri sidang. Panggilan disampikan kepada pribadi yang
bersangkutan dan apabila tidak dijumpai, panggilan disampaikan melalui
lurah/ kepala Desa. Panggilan tersebut dilakukan dengan patut dan
sudah diterma oleh penggugat atau tergugat atau kuasanya selambat-
lambatnya 3 hari sebelum sidang dibuka. Panggilan kepada tergugat
dilampiri dengan salinan gugatan;

c. Apabila tergugat dalam perkara gugat cerai, tidak jelas atau tidak
diketahui tempat kediamannya atau tidak mempunyai tempat kediaman
yang tetap, panggilan dilakukan dengan menempelkannya pada Papan
Pengumuman resmi Pengadilan Agama ditambah dengan
mengumumkan melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media
lain.
Pengumuman melalui surat kabar atau mass media tersebut dilakukan
dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara panggilan pertama

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 28
dan panggilan kedua, dan antara pangilan kedua dan dengan sidang
ditetapkanya sekurang-kurangnya tiga bulan.
Jika setelah itu tergugat atau kuasa sahnya tidak juga hadir, Pengadilan
Agama dapat memutus dengan verstek;

d. Panggilan kepada tergugat dalam perkara gugatan cerai yang


tergugatnya berada di Luar Negeri, dilakukan melalui Perwakilan Republik
Indonesia setempat. Tetapi secepat-cepatnya sidang pertama adalah
enam bulan sejak perkara terdaftar.

2. Menurut HIR/RBg (Peradilan Umum)

Bilamana diperhatikan dengan teliti pasal-pasal di dalam Het Herziene


InlandscheReglement (HIR) dan pasal-pasal di dalam RBG (Rechts Reglement
Buitengewesten), tentang pemanggilan pihak-pihak yang belum dicukupi
oleh PP No. 9 tahun 1975 dan UU No. 7 tahun 1989 seperti telah diuraikan
terdahulu, adalah tentang:

a. Perkara digugurkan karena penggugat tidak hadir;


b. Tergugat tidak hadir tetapo mempergunakan perlawanan (eksepsi), baik
eksepsi relative maupun eksepsi absolut;
c. Bolehnya memanggil yang kedua kalinya sebelum diputus dengan
verstek atau digugurkan;
d. Kewajiban mengundurkan sidang bila pada panggilan pertama
sebagian tergugat hadir dan sebagian lagi tidak hadir;
e. Panggilan kepada pihak yang tidak dikenal tempat tinggalnya (selain
perkara gugatan cerai);
f. Panggilan kepada pihak yang meninggal dunia.

D. Tata Ruang dan Persiapan Sidang

Sebagaimana diketahui bahwa sidang pengadilan berlainan dengan


sidang-sidang biasa, ia mempunyai aturan-aturan tertentu sebagai diuraikan
dibawah ini.

Meja Sidang segi empat panjang, bertutup kain planel berwarna hijau
lumut, panjang meja diperkirakan minimal untuk kursi hakim ditambah
dengan prinsip administrasi perkantoran modern. Meja sidang ini menurut
surat Keputusan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1986, tentang pembakuan
perlengkapan kerja dilingkungan departemen Agama, berukuran 150 cm
lebar, 300 cm Panjang. Menurut Direktorat pembinaan badan peradilan
agama islam, dalam buku pedoman kerja pengadilan agama islam
disebutkan lebar 100 cm, dan panjang 175 cm.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 29
Di sebelah kanan meja sidang dipasang bendera merah putih dan di
sebelah kirinya dipasang lambing pengadilan Agama. Tertempel pada
dinding belakang meja adalah lambing Negara garuda. Dalam ruang
sidang tidaklah perlu dipasang gambar presiden karena pada saat
persigangan hakin hanya tunduk pada Negara saja.

Susunan kursi hakim di muka sidang pengadilan agama nampaknya


belum kontan, masih memakai dua macam cara:
1. Ketua ditengah-tengah, kiri kanannya anggota, paling kiri sendiri adalah
panitera sidang;
2. Panitera sidang paling kiri, selanjutnya ke kanan adalah ketua, anggota
yang lebih tua atau lebih muda di sini maksudnya adalah senioritas
dalam jabatan hakim, bukan berdasarkan usia.

Menurut surat edaran mahkamah agung nomor 22 tahun 1969,


susunan majlis sidang perkara perdatamaupun pidana di muka pengadilan
umum adalah: panitera sidang paling kiuri, terus berurutan kekanan adalah
ketua, anggota yang lebih tua dan anggota yang lebih muda, yaitu seperti
versi kedua yang di pakai oleh lingkungan peradilan agama kini.

Untuk perkara pidana, surat edaran ini tidak berlaku lagi karena sidang
perkara pidana, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981, LN
1981-76, Tentang hukum acara pidana, sudah diatur tersendiri, yaitu: ketua
ditengah-tengah, di kiri kanannya adalah anggota, sedangkan panitera
adalah antara ketua dan anggota (di sebelah kiri ketua) agak mundur
sederet ke belakang, memakai meja sendiri.

Berdasarkan aturan ini, peradilan umum perdata juga sudah banyak


yang menerapkan susunan majelis hakim menurut acara pidana tersebut. Di
lingkungan peradilan agama juga, jika ruang sidangnya sudah
memungkinkan, dapat menerapkan yang sama.

Di dalam ruang sidang ada kursi/bangku secukupnya untuk pihak-


pihak, saksi-saksi, pemegang kuasa, pengunjung dan sebagainya. Deretan
kursi paling depan adalah untuk pihak yang jaraknya dari meja sidang
diperkirakan secukupnya. Pihak penggugat ditempatkan di sebelah kiri
tergugat sedangkan tergugat di sebelah kanannya. (ini kode eti yang baik).

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 30
TUJUH

Pemeriksaan di Muka sidang

A. Sidang Pertama dan Pengertiannya

Sidang pertama bagi pengadilan mempunyai arti yang sangat penting dan
menentukan dalam beberapa hal, misalnya sebagai berikut.

1. jika tergugat atau termohon (dalam perkara contentiosa) sudah dipanggil


dengan patut, ia atau kuasa sahnya tidak datang menghadap pada sidang
pertama, ia akan diputus verstek.

2. Jika penggugat atau pemohon sudah dipanggil dengan patut, ia atau


kuasa sahnya tidak datang menghadap pada sidang pertama, ia akan
diputus dengan digugurkan perkaranya.

3. Sanggahan (eksepsi) relatif hanya boleh diajukan pada sidang pertama.


Kalau diajukan sesudah itu, tidak akan diperhatikan lagi.

4. Gugat balik (reconventie) hanya boleh diajukan pada sidang pertama.

Oleh karena itu, sidang pertama harus jelas, apa maksud atau artinya,
supaya tidak salah, misalnya dalam 4 hal disebutkan di atas tadi.

Sidang pertama ialah sidang yang ditunjuk/ditetapkan menurut yang tertera


dalam penetapan hari sidang (PHS) yang ditetapkan oleh ketua majelis, atau
dapat juga diartikan sidang yang akan dimulai pertama kali menurut surat
panggilan yang disampaikan kepada penggugat/tergugat.

B. Jalannya Sidang Pertama

1. Tugas Panitera Sesaat Sebelum Sidang

Panitera sidang, pada hari, tanggal dan jam sidang yang telah
ditentukan, mempersiapkan dan men-chek segala sesuatunya untuk sidang.
Setelah siap, panitera melapor kepada ketua majelis, lalu panitera sidang
siap menunggu diruang sidang pada tempat duduk yang disediakan
baginya dan telah siap memakai baju panitera sidang.

Selanjutnya majelis hakim memasuki ruang sidang melalui pintu yang


khusus untuknya, dalam keadaan sudah berpakaian toga hakim. Begitu
majelis hakim memasuki ruang sidang, penitera mempersilahkan hadirin
berdiri dan setelah hakim duduk, mempersilahkan kembali hadirin untuk
duduk. Tugas ini bukan hanya untuk sidang pertama tetapi berlaku dalam
segala persidangan.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 31
2. Ketua Majelis Membuka Sidang

Ketua majelis membuka sidang dan sekaligus dinyatakan terbuka untuk


umum dengan ketokan palu 1 atau 3 kali. Khusus untuk peradilan agama
sebagai peradilan islam, sebaliknya dibuka dengan membaca basmalah,
misal “sidang pengadilan agama ... dalam perkara ... antara penggugat ...
berlawanan dengan tergugat ... dibuka dengan sama-sama membaca
basmalah dan dinyatakan terbuka untuk umum.”

UU Nomor 14 tahun 1970 pasal 17 (1) mengharuskan semua sidang


pemeriksaan perkara dipengadilan, terbuka untuk umum, kecuali ditentukan
lain oleh undang-undang. Tidak dipenuhinya ketentuan itu menyebabkan
putusan batal demi hukum dan ketentuan ini berlaku untuk semua
lingkungan peradilan di indonesia.

Pasal 18 dari UU tersebut mengatakan bahwa semua putusan pengadilan


sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum. Ketentuan ini berlaku untuk semua putusan termasuk
penetapan, sekalipun umpamanya sidang-sidang sebelumnya dilakukan
dalam sidang tertutup.

Menurut UU No 14tahun 1985, LN 1985-73 tentangmahkamah agung, tidak


dipenuhinya kewajiban sidang terbuka untuk umum ini dapat digunakan
sebagai salah satu alasan memohon kasasi.

Sidang terbuka untuk umum artinya siapa saja boleh


mengikuti/mendengarkanjalannya sidang, boleh masuk ruang sidang, asal
tidak mengganggu atau membuat keonaran dalam sidang. Juga pihak-
pihak, bagi keperluan perkaranya, jika dirasa perlu boleh merekam jalannya
sidang dengan tape-recorder, sehingga mereka sesewaktu dapat menyimak
sidang bagi kepentingan pembelaan perkaranya.

Sidang tertutup dimungkinkan kalau ada ketentuan khusus atau ada


alasan khusus yang diajukan oleh pihak atau pihak-pihak yang menurut
majelis dikabulkan. Contoh bolehnya sidang tertutup karena ada ketentuan
khusus, pasal 17 ayat (3) UU Nomor 14 tahun 1970 menyebut, sidang
permusyawaratan majelis hakim bersifat rahasia, dus selalu dilakukan dalam
sidang tertutup untuk umum. Pasal 33 PP Nomor 9 tahun 1975 menyebut,
pemeriksaan perkara gugatan cerai selalu dilakukan dalam sidang tertutup
untuk umum. Pasal 68 ayat (2) UU Nomor 7 tahun 1989 menyebut,
pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.

Contoh sidang tertutup atas permintaan pihak atau pihak-pihak yang


dikabulkan oleh majelis hakim, seperti karena perkaranyatersebut sangat
berkaitan langsung dengan nama baik, harkat dan martabat atau kesusilaan
dan kehormatan pihak atau pihak-pihak.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 32
Pertimbangan hakim majelis mengabulkan sidang tertutup harus dengan
penetapan sela, tetapi cukup dicantumkan dalam berita acara sidang saja,
tidak perlu dengan penetapan tersendiri, sebab penetapan sela di situ tidak
mempengaruhi kepada putusan akhir (eind vonnis)

Sidang tertutup untuk umum maksudnya ialah bahwa selain daripada


yang berkepentingan langsung atau nyang diizinkan oleh majelis hakim,
harus meninggalkan ruang sidang. Tentu saja diluar harus diawasi oleh
petugas pengadilan agar tidak ada yang menguping, termasuk mik dan
speaker (pengeras suara) supaya disingkirkan.

Sesudah sidang dinyatakan terbuka untuk umum oleh ketua majelis,


ketua majelis mengizinkan pihak-pihak untuk memasuki ruang sidang. Atas
izin ini, panitera sidang atau petugas lain yang ditunjuk, memanggil pihak-
pihak untuk masuk dan duduk pada kursi yang disediakan untuknya.

Sebagaimana sudah disebutkan bahwa menurut etik sidang yang baik,


penggugat duduk disebelah kiri dari tergugat. Selanjutnya, ketua majelis
akan mulai menanyakan identitas pihak-pihak.

3. Ketua Majelis Menanyakan Identitas Pihak-pihak

Pertanyaan pertama ketua majelis adalah mana penggugat dan mana


tergugat, untuk mengatur tempat duduknya. Lalu dilanjutkan dengan
menanyakan identitas pihak-pihak, dimualai dari penggugat, seterusnya
tergugat, yang meliputi nama, bin/binti, alias/julukan/gelar (kalau ada), umur
agama, pekerjaan, tempat tinggal terakhir.

Menanyakan identitas pihak-pihak di sini sangatlah formal, artinya


sekalipun mungkin saja sudah tahu/kenal dengan membaca surat gugatan
sebelumnya, namun menanyakan kembali di depan sidang ini adalah perlu
(mutlak).

Perlu dikemukakan dua hal disini:

a. menanyakan identitas pihak-pihak, saksi-saksi atau lain-lain yang


bersifat kebijaksanaan umum dalam persidangan selalu oleh ketua
majelis, sebab ketua majelislah yang bertanggung jawab akan
arahanya pemeriksaan/sidang.
b. hakim yang baik dan manusiawi, apalagi sebagai hakim agama,
hendaklah selalu berusaha menggugah hati para pihak sehingga
mereka tidak merasa gentar yang akhirnya terbukalah tabir persoalan
yang sebenarnya.

Setelah selesai masalah identitas, hakim menanyakan kepada para


pihak, apakah tidak ada hubungan keluarga atau hubungan semenda
dengan para hakim dan panitera yang sedang menyidangkan perkara.
Kalau dijawab ada, sidang akan memperbincangkan sejenak, apakah ada

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 33
kewajiban hakim untuk mengundurkan diri sehubungan dengan adanya
hubungan itu. Selanjutnya hakim akan menganjurkan damai antar pihak
yang berperkara.

4. Anjuran Damai

Menurut HIR, anjuran damai dari hakim sudah dilakukan (dalam sidang
pertama) sebelum pembacaan surat gugatan. Hal ini seperti kurang rasional,
sebab bagaimana hakim tahudan bisa menganjurkan damai jika hakim
sendiribelum tahu duduk perkaranya. Begitu pula, sebelum penggugat
membacakan gugatannya, apakah tidak mungkin penggugat mengubah
gugatannya.

Anjuran damai sebenarnyadapat dilakukan kapan saja sepanjang


perkara belum diputus, tetapi anjuran damai pada permulaan sidang
pertama adalah bersifat “mutlak/wajib” dilakukan dan dicantumkan dalam
berita acara sidang, karena ada keharusan yang menyatakan demikian,
walaupun mungkin menurut logika, kecil sekali kemungkinannya. Pernah juga
terjadi perdamaian tetapi kebanyakan bukan terjadi dalam sidang pertama.

Kalau terjadi perdamaian maka dibuatkanlah akta perdamaian dimuka


pengadilan dan kekuatannya sama dengan putusan. Terhadap perkara
yang sudah terjadi perdamaian tidak boleh lagi diajukan perkara, kecuali
tentang hal-hal baru diluar itu. Akta perdamaian tidak berlaku banding
sebab akta perdamaian bukan keputusan pengadilan. Bila tidak terjadi
perdamaian, hal itu harus dicantumkan dalam Berita Acara Sidang, sidang
akan dilanjutkan.

5. Pembacaan Surat Gugatan

Pembacaan surat gugatan ini, sebagaimana sudah dikemukakan,


sebaiknya dilakukan mendahului dari anjuran damai dan pembacaan surat
gugatan selalu oleh penggugat atau oleh kuasa sahnya, kecuali kalau
penggugat buta huruf atau menyerahkannya kepada panitera sidang. Di
tingkat banding dan di tingkat kasasi lain halnya, yang membacakan segala
berkas yang perlu itu, adalah panitera langsung, sebab pihak tidak hadir lagi
dimuka sidang.

Selesai gugatan dibacakan, majelis menganjurkan damai dan kalau tidak


tercapai, ketua majelis melanjutkan dengan menanyakan kepada tergugat,
apakah ia akan menjawab lisan atau tertulis dan kalau akan menjawab
tertulis apakah sudah siap atau memerlukan waktu berapa lama untuk itu.
Bila keadaannya sepertiterakhir ini, tentu saja sidang kali itu akan ditutup,
akan dilanjutkan di kali yang lain.

Jika tergugat akan menjawab lisan atau akan menjawab tertulis tetapi
sudah siap ditulisnya, sidang dilanjutkandengan mendengarkan jawaban
tersebut. Jawaban pertama, baik lisan ataupun tertulis dari tergugat ini

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 34
disebut “replik” (cq. Replik 1), sedangkan jawaban penggugat atas jawaban
itu disebut “duplik” (cq. Duplik 1). Begitulah seterusnya, replik-duplik, replik-
duplik.

Kalau replik-duplik tersebut berlangsung lisan, pihak mau, hakim tidak


keberatan, waktu mengizinkan, mungkin saja sidang pertama itu
berlangsung sampai pada tahap pembuktian bahkan mungkin saja sampai
pada tahap musyawarah majelis hakim, tetapi aneh sekali kalau langsung
sampai tahap pengucapan keputusan. Dikatakan aneh sebab putusan baru
boleh diucapkan setidak-tidaknya sudah dalam keadaan terkonsep rapi
(walaupun belum diketik) dan penulis merasa bahwa panitera Pengadilan
Agama, juga hakim-hakimnya, bukanlah komputer atau robot.

Perlu diingatkan bahwa hak bicara terakhir di depan sidang selalu pada
tergugat, jadi replik-duplik belum akan berakhir sepanjang tergugat masih
ada yang akan dikemukakannya, kecuali kalau menurut majelis, sudah
ngawur alias tidak relevan. Itu berarti segala pemeriksaan dalam semua
tahap, selalu dimulai dari pihak penggugat dan diakhiri dari pihak tergugat,
tidak putar balik, apalagi terbalik.

C. Hal-hal yang Mungkin Terjadi dalam Sidang, Terutama


dalam Sidang Pertama

Sebagaimana sudah diterangkan bahwa hal-hal yang mungkin terjadi


pada sidang pertama dan justru sangat berpengaruh, cukup banyak, di
antaranya akan diterangkan di bawah ini satu persatu.

1. Pihak-pihak Tidak Hadir di Muka Sidang

Dalam perkara perdata, kedudukan hakim adalah sebagai penengah di


antara pihak yang berperkara, ia perlu memeriksa (mendengarkan) dengan
teliti terhadap pihak-pihak yang berselisih itu. Itulah sebabnya pihak-pihak pada
prinsipnya harus semua hadir di muka sidang. Berdasarkan prinsip ini maka di
dalam HIR misalnya, diperkenankan memanggil kedua kali (dalam sidang
pertama), sebelum ua memutus verstek atau digugurkan.

2. Penggugat Tidak Hadir (Perkaranya Digugurkan)

Konsekuensinya adalah perkara yang diajukan akan digugurkan. Penggugat


yang tidak hadir ini disebut dalam kitab Fiqh dengan istilah “almudda’y al gaib”
sedangkan putusan digugurkan disebut “al qada’u al masqut.

3. Tergugat Tidak Hadir (akan diputus verstek)

Jika tergugat tidak hadir dengan sebab-sebab yang tidak dapat diketahui
maka majelis hakim memutus perkara dan memberikan putusan verstek. Dalam
kita fiqh islam memutus dengan verstek disebut “al qada’u ‘ala al ga’ib”.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 35
4. Tergugat Sebagian Hadir dan Sebagian Tidak Hadir

HIR Pasal 127 mengatur bahwa sidang wajib ditunda sampai kali yang lain.
Terhadap penggugat dan tergugat yang telah hadir diberitahukan langsung
kapan sidang selanjutnya, sedangkan terhadap tergugat yang belum hadir
diperintahkan untuk dipanggil lagi dengan surat panggilan.

Pemeriksaan terhadap perkara yang tergugatnya tidak hadir di sini


berlangsung tanpa bantuan tergugat, disebut pemeriksaan “contradictoir” atau
“op tegenspraak”.

5. Penggugat/Tergugat Hanya Hadir di Sidang Pertama

Pada sidang pertama tergugat mungkin hadir tetapi pada sidang sidang
selanjutnya tidak pernah hadir lagi bahkan sampai sidang pengucapan
keputusan juga tidak hadir.

Kalau pengguggat sudah pernah hadir di sidang pertama, sekalipin sidang-


sidang selanjutnya atau bahkan pada waktu pengucapan keputusan tidak
hadir maka perkaranya tidak bisa lagi digugurkan. Jadi berjalanlah seperti biasa,
hanya saja tanpa bantuan penggugat. Jika keadaan seperti itu terjadi pada
tergugat atau termohon (dalam perkara contentiosa) maka perkaranya tidak
bisa lagi diputus verstek, melainkan dengan putusan biasa tetapi tanpa bantuan
tergugat atau termohon.

6. Suatu Permasalahan

Sebagaimana sudah sering dikemukakan bahwa di lingkungan Peradilan


Agama ada perkara permohonan yang melahirkan adanya pemohon dan
termohon tetapi perkara terebut dianggap perkara peradilan yang
sesungguhnya (jurisdiction contentiosa). Produk peradilan agama terhadap
perkara itu sendiri, kadangkala putusan kadangkala penerapan.

Dalam kaitannya dengan soal verstek, digugurkan, eksepsi, reconventie,


maka pemohon di situ harus dianggap penggugat dan termohon harus
dianggap tergugat, sekalipun produk pengadilan agama mungkin penetapan.
Itu sebagai konsekuensi bahwa termohon boleh turut ke dalam proses,di mana
ia berhak banding dan atau seterusnya kasasi.

7. Exceptie (Eksepsi)

Eksepsi adalah tangkisan dari tergugat. Jenis eksepsi terkait dengan materi
perkara disebut sebagai “verweer ten principale” (dalam bahasa belanda) atau
bantahan pokok perkara yakni terdiri atas dua macam :

a. Dilatoir eksepsi yaitu menyatakan bahwa gugatan penggugat belum dapat


dikabulkan, seperti dalam perkara gugatan cerai karena pelanggaran ta’liq
talaq yang diajukan oleh pihak istri (penggugat) padahal suami (tergugat)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 36
belum cukup 3 bulan tidak memberikan nafkah,sedangkan dalam lafadz
ta’liq talaq akan jatuh talaq jika pihak suami tidak memberikan nafkah
selama 3 bulan.

b. Peremtoir eksepsi bantahan yang menghalangi dikabulkannya gugatan.


Kalau dalam contoh a. di atas, si isteri (penggugat) Nusyuz (tidak taat
kepada suami) menjadi penghalang hak nafkah isteri.

8. Proses dengan Tiga Pihak (Intervensi dan Vrijwaring)

a. Intervensi

Intervensi (tussenkomst) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut


dalam proses perkara itu atas alasan ada kepentingannya yang terganggu.
Intervensi diajukan oleh karena pihak ketiga merasa bahwa barang miliknya
disengketakan/diperebutkan oleh penggugat dan tergugat. Permohonan
intervensi dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela. Apabila
permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa
bersama-sama yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi.

b. Vrijwaring

Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab


(untuk membebaskan tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat).
Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan
perkara oleh tergugat secara lisan atau tertulis. Misalnya: tergugat digugat
oleh penggugat, karena barang yang dibeli oleh penggugat mengandung
cacat tersembunyi, padahal tergugat membeli barang tersebut dari pihak
ketiga, maka tergugat menarik pihak ketiga ini, agar pihak ketiga tersebut
bertanggung jawab atas cacat itu.

9. Gugatan Kembali (Reconventie)

Tentang hal ini lihatlah kembali Bab V E. terdahulu. Reconventie adalah


salah-satu di antara hal-hal yang mungkin terjadi dalam jawaban pertama
tergugat.

10. Pencabutan Gugatan

Pencabutan gugatan, baik penggugat sendirian atau bersama-sama, boleh


saja dilakukan, asal dengan cara tertentu. Kalau penggugat terdiri dari
beberapa orang, ada yang mencabut dan ada yang tidak maka pencabutan
hanya berlaku bagi yang mencabut saja, sedangkan perkara tetap jalan

Jika pencabutan terjadi bukan atas perdamaian antara penggugat dan


tergugat melainkan atas kehendak penggugat sendiri maka perkara itu masih
boleh diajukan ke pengadilan di kali yang lain (kalau ia mau) dengan prosedur
perkara baru.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 37
Dengan dicabutnya permohonan banding dan atau kasasi maka perkara
banding atau kasasi tersebut tidak boleh lagi dimohonkan kembali banding
atau kasasi sekalipun tenggang waktu banding atau kasasi belum berakhir.

11. Perubahan Gugatan

Perubahan gugatan, termasuk penambahan atau pengurangan tidak diatur


dalam HIR atau RBg. Oleh karena itu, menurut Prof. Subekti, S.H. (mantan ketua
Mahkamah Agung), cukuplah kita berpendapat bahwa perubahan, termasuk
penambahan dan pengurangan gugatan diperkenankan, asal perubahan
tersebut tidak merugikan kepentingan kedua belah pihak.

Arti kata lain dari Perubahan gugatan ialah :


a. Perubahan atau penambahan gugatan, sepanjang bukan
mengemukakan hal/tuntutan baru yang sama sekali lain daripada yang
semula, pada prinsipnya diperkenankan, dengan syarat dengan
persetujuan majelis hakim. Jika tergugat sudah menjawab, juga ditambah
dengan persetujuan tergugat.
b. Perubahan atau penambahan gugatan yang sama sekali lain daripada
yang semula, yang merupakan hal/tuntutan baru sama sekali, tidak
diperkenankan.
c. Majelis hakim dalam mempertimbangkan boleh atau tidaknya adalah
melihat kasus demi kasus.

12. Pihak Meninggal dunia

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 5 tahun 1968 tertanggal
11 November 1968, ada diberikan petunjuk bahwa perkara kasasi yang diajukan
oleh ahli waris dalam hal pihak meninggal dunia, harus ada surat keterangan
keahli-warisan dari kepala desa/lurah yang mewilayahi pihak yang meniggal
dunia tersebut.

Menurut Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A. SEMA tersebut tidak berlaku bagi
pihak yang beragama islam. Tidak sah surat keterangan keahli-warisan yang
dikeluarkan oleh lurah/kepala desa dengan alasan sebagai berikut.

a. Menetapkan sah atau tidak sahnya ahli waris bagi mereka yang beragama
islam hanya sah jika diberikan oleh Pengadilan Agama, lebih-lebih setelah
berlakunya UU No. 7 tahun 1989.
b. Lurah/kepala desa, tidak semuanya beragama islam, yang tentunya tidak
tahu siapa ahli waris dan bukan ahli waris menurut islam.

Dan menurutnya, kalau pihak yang dalam proses berperkara itu beragama
islam dan meninggal dunia, perkaranya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya
yang sah melalui penetapan pengadilan agama.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 38
D. Majelis Hakim

1. Hakim Majelis Sekurang-kurangnya Tiga Orang


2. Pergantian Hakim Majelis
3. Larangan Hakim Menyidangkan Perkara dan Hak Ingkar
4. Sidang Keliling dan Berkamar
5. Susunan Tempat Duduk Hakim
6. Toga Hakim dan Baju Panitera

E. Tahap-tahap Pemeriksaan Perkara

Pada sidang pertama ini, ada hal-hal penting yang mungkin terjadi dan
sangat berpengaruh terhadap proses perkara, seperti eksepsi, reconventie,
intervensi dan sebagainya, bahkan mungkin juga tergugat/termohon tidak hadir
tanpa alasan.

1. Tahap Jawab-Berjawab (Replik-Duplik)

Hal yang perlu diingat disini:

a. Tergugat/termohon selalu mempunyai hak bicara terakhir;


b. Pertanyaan hakim kepada pihak hendaklah terarah, hanya menanyakan
yang relevant dengan hukum. Begitu juga replik-duplik dari pihak;
c. Semua jawaban atau pertanyaan dari pihak ataupun dari hakim, harus melalui
dan izin dari ketua majelis;
d. Pertanyaan dari hakim kepada pihak, yang bersifat umum atau policy
arahnya sidang, selalu oleh hakim ketua majelis.

Bilamana pihak-pihak dan hakim tahu dan mengerti jawaban atau


pertanyaan mana yang terarah dan relevant dengan hukum, tentunya proses
perkara akan cepat, singkat dan tepat.

2. Tahap pembuktian

Hal-hal yang perlu ditekankan disini adalah:

a. Setiap pihak mengajukan bukti, hakim perlu menanyakan kepada pihak


lawannya, apakah ia keberatan/ tidak. Jika alat bukti saksi yang dikemukakan,
hakim juga harus member kesempatan kepada pihak lawannya kalau-kalau
ada sesuatu yang ingin ditanyakan oleh pihak lawan tersebut kepada saksi;
b. Semua alat bukti yang disodorkan oleh pihak, harus disampaikan kepada
ketua majelis lalu ketua majlis memperlihatkannya kepada para hakim dan
pihak lawan dari yang mengajukan bukti;
c. Keaktifan mencari dan menghadirkan bukti di muka sidang adalah tugas
pihak itu sendiri dan hakim hanya membantu kalau diminta tolong oleh pihak,
seperti memanggil saksi.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 39
3. Tahap penyusunan konklusi

Setelah tahap pembuktian berakhir, sebelum musyawarah majelis hakim,


pihak-pihak boleh mengajukan konklusi ( kesimpulan-kesimpulan dari sidang-
sidang menurut pihak yang bersangkutan ). Karena konklusi ini sifatnya
membantu majelis, pada umumnya konklusi tidak diperlukan bagi perkara-
perkara yang simpel, sehingga hakim boleh meniadakannya.

Kita ingat bahwa hakim juga manusia yang kemampuan ingatnya


terbatas, di samping mungkin ada diantara sidang-sidang yang hakim
anggotanya berganti dan itulah perlunya konklusi. Pihak yang sudah biasa
berperkara, biasanya selalu membuat catatan-catatan penting setiap suatu
sidang berakhir, dan itulah nanti yang akan diajukannya sebagai konklusi
terakhir.

4. Musyawarah majelis hakim

Menurut undang-undang, musyawarah majelis hakim dilakukan secara


rahasia, tertutup untuk umum. Semua pihak maupun hadirin disuruh
meninggalkan ruang sidang. Panitera sidang sendiri, kehadirannya dalam
musyawarah majelis hakim adalah atas izin majelis.

Dikatakan rahasia artinya, baik dikala musyawarah maupun sesudahnya,


kapan dan dimana saja, hasil musyawarah majelis tersebut tidak boleh
dibocorkan sampai ia diucapkan dalam keputusan yang terbuka untuk
umum.

5. Pengucapan keputusan

Pengucapan keputusan hanya boleh dilakukan setelah keputusan selesai


terkonsep rapi yang sudah ditanda tangani oleh hakim dan panitera sidang.
Selesai keputusan diucapkan, hakim ketua majelis akan menanyakan
kepada pihak, baik tergugat ataupun penggugat, apakah mereka
menerima keputusan ataukah tidak. Bagi pihak yang hadir dan menyatakan
menerima keputusan maka baginya tertutup upaya hukum banding, bagi
pihak yang tidak menerima dan pikir-pikir dahulu baginya masih terbuka.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 40
DELAPAN

PEMBUKTIAN

Pembuktian di muka pengadilan adalah merupakan hal yang terpenting


dalam hukum acara sebab pengadilan dalam menegakkan hukum dan
keadilan tidak lain berdasarkan pembuktian. Hukum Pembuktian termasuk
dari bagian Hukum Acara sedangkan Peradilan Agama mempergunakan
Hukum Acara yang berlaku bagi Peradilan umum.

A. Pengertian, Asas dan Sistem Pembuktian

1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau


dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang berdasarkan alat-alat bukti
yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku.

2. Tujuan Pembuktian

Tujuannya adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu


peristiwa/fakta/dalil-dalil yang diajukan itu benar-benar terjadi guna
mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil.

3. Asas Pembuktian

Berdasarkan pasal 1865 BW, Pasala 163 HIR dan Pasal 283 RBg, barang
siapa yang mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikan adanya
hak atau peristiwa tersebut. Dengan demikian beban pembuktian
dibebankan kepada pihak yang berkepentingan, yaitu:

a. Pihak yang mengaku mempunyai hak;


b. Pihak yang mengemukakan suatu peristiwa (keadaan) untuk
menguatkan haknya atau membantah hak orang lain, maka ia harus
membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.

4. Penilaian Pembuktian

Yang berwenang menilai dan menyatakan terbukti tidaknya peristiwa


ialah hakim yang memeriksa duduk perkaranya yaitu hakim tingkat pertama
dan hakim banding.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 41
B. Macam-macam Alat Bukti dan kekuatannya

Dalam pembuktian dikenal bermacam-macam alat bukti, yaitu:

1. Alat bukti tertulis atau surat;


2. Alat bukti saksi;
3. Alat bukti persangkaan;
4. Alat bukti pengakuan;
5. Alat bukti sumpah Kekuatan Alat bukti:

1. Bukti mengikat, artinya meskipun hanya ada satu alat bukti, telah cukup
bagi hakim untuk memutus perkara berdasarkan alat bukti tersebut tanpa
membutuhkan alat bukti yang lain. Hakim terikat dengan bukti tersebut,
sehingga tidak dapat memutus lain daripada yang telah terbukti dengan
satu alat bukti tersebut. Alat bukti ini tidak dapat dilumpuhkan dengan bukti
lain. (Contoh: sumpah decisoir, pengakuan.)

2. Bukti sempurna, artinya meskipun hanya ada satu alat bukti, telah cukup
bagi hakim untuk memutus perkara berdasarkan alat bukti itu dan tidak
memerlukan adanya alat bukti lain. Hakim terikat dengan alat bukti tersebut
kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya, sehingga dapat dibuktikan dengan
bukti lawan.

3. Bukti bebas, artinya hakim bebas menilai dengan pertimangan yang logis,
tidak terikat dan terserah keyakinan hakim untuk menilai, dapat
mengesampingkan dan dapat dilumpuhkan, misalnya:saksi yang
disumpah,saksi ahli dan pengakuan di luar sidang.

4. Bukti permulaan, artinya meskipun alat bukti itu sah dan dapat dipercaya
kebenarannya, tetapi belum memenuhi syarat formil sebagai alat bukti yang
cukup. Bukti ini harus ditambah alat bukti lain agar menjadi sempurna.
Terhadap alat bukti ini, hakim bebas dan tidak terikat, misalnya akta di
bawah tangan yang tanda tanan dan isinya diingkari oleh yang
bersangkutan.

5. Bukti bukan bukti, artinya sesuatu yang nampaknya memberikan


keterangan yang mendukung kebenaran suatu peristiwa, tetapi ia tidak
memenuhi syarat formal sebagai alat bukti.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 42
SEMBILAN

Produk Pengadilan Agama

Setelah Pengadilan Agama memeriksa perkara, maka ia harus


mengadilinya atau membeikan putusan dan mengeluarkan produknya.
Produk-produk hukum di lingkungan peradilan agama pada prinsipnya
dengan produk-produk di lingkungan peradilan umum, yang pada umumnya
sesuai dengan pembagian menurut ketentuan perundang-undangan yang
mengaturnya.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama


menjelaskan bahwa pengadilan agama hanya mengenal dua macam
produk hukum, yaitu: (1) Putusan dan (2) Penetapan. Sebelumnya ada
produk ke (3) yaitu Surat Keterangan Tentang Terjadinya Talak (SKT3), yang
kini tidak ada lagi.

A. Putusan

1. Pengertian Putusan

Putusan disebut vonnis (Belanda) atau Al Qadha’ (Arab). yaitu produk


Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam
perkara, yaitu “penggugat” dan “tergugat”. Produk Pengadilan semacam ini
dapat diistilahkan dengan “produk pengadilan yang sesungguhnya” atau
jurisdictio cententiosa.

Putusan Peradilan Perdata (Peradilan Agama adalah peradilan


perdata) selalu memuat perintah dari pengadilan kepada pihak yang kalah
untuk melakukan sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu atau untuk
melepaskan sesuatu, atau menghukum sesuatu. Jadi diktum vonis selalu
memiliki salah satu di antara dua sifat: (1) Condemnatoir, artinya
menghukum, (2) Constitutoir, artinya menciptakan.

Perintah dari Pengadilan ini, jika tidak diturut dengan sukarela, dapat
diperintahkan untuk dilaksanakan secara paksa disebut eksekusi.

2. Bentuk dan Isi Putusan

Bila diperhatikan secara keseluruhan suatu putusan, bentuk dan isi


putusan Pengadilan Agama secara singkat adalah sebagai berikut;

a. Bagian kepala putusan


b. Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara
c. Identitas pihak-pihak
d. Duduk perkaranya (bagian posita)
e. Tentang pertimbangan hukum dan dasar hukum
f. Dasar hukum

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 43
g. Diktum atau amar putusan
h. Bagian kaki putusan
i. Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya.

a. Bagian kepala putusan

Bagian ini memuat kata “PUTUSAN” atau kalau salinan, adalah “SALINAN
PUTUSAN”. Baris di bawah dari kata itu adalahNomor Putusan, yaitu menurut
nomor urut pendaftaran perkara, diikuti garis miring dan tahun pendaftaran
perkara. Baris selanjutnya adalah tulisan huruf besar semua berbunyi
“BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM” untuk memenuhi perintah Pasal 57 ayat (2) UU
Nomor 7 Tahun1989.

b. Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara

Sesudah yang tersebut di butir a, maka dicantumkan pada baris


selanjutnya nama Pengadilan Agama yang memutus sekaligus disertai
menyebutkan jenis perkara, misalnya “Pengadilan Agama Karanganyar,
yanag telah memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama, perkara
gugat cerai.”

c. Identitas pihak-pihak

Penyebutan identitas pihak, dimulai dari identitas penggugat, kemudian


identitas tergugat. Penyebutan keduanya dipisahkan dengan tulisan pada
alenia tersendiri yang berbunyi “berlawanan dengan “.

Identitas pihak ini meliputi; nama, bin/binti siapa, alias atau julukan, umur,
agama, pekerjaan, tempat tinggal terakhir, sebagi penggugat atau
tergugat.

d. Duduk perkaranya (bagian posita)

Pada bagian ini dikutip dari gugatan penggugat, jawaban tergugat,


keterangan saksi dan hasil dari berita acara sidang selengkapnya, namun
dikutip secara singkat, jelas dan tepat serta kronologis.

e. Tentang pertimbangan hukum dan dasar hukum

Di dalamnya dicantumkan alasan memutus (pertimbangan) yang


biasanya dimulai dengan kata “menimbang”. Di dalam bagian ini
diutarakan “duduk perkaranya” tedahulu, yaitu keteranganpihak-pihak
berikut dalil-dalilnya, alat bukti dll.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 44
Dasar memutus biasanya dimulai dengan kata “mengingat”. Di dalam
bagian ini disebutkan dasar hukum putusan baik yang bersumber dari
perundang-undangan negara maupun dasar hukum syara’.

f. Diktum atau amar putusan

Amar putusan didahului dengan kata “MENGADILI” kemudian diikuti


petitum berdasarkan pertimbangan hukum. Di dalamnya diuraikan hal-hal
yang dikabulkan dan hal-hal yang ditolak atau tidak diterima.

g. Bagian kaki putusan

Bagian kaki putusan yang dimaksudkan ialah dimulai dari kata-kata


“demikianlah putusan pengadilan agama ….”.

h. Tanda tangan hakim dan panitera dan perincian biaya

Pada asli Putusan, semua hakim dan panitera harus bertanda tangan
tetapi pada Salinan Putusan, hakim dan panitera hanya “ttd” (tertanda)
atau “dto” (ditandatangani oleh), lalu dibawahnya dilegalisir.

Salinan Putusan akan diberikan kepada pihak-pihak atau akan dikirm ke


tingkat banding (jika terjadi banding dan untuk laporan) atau akan dikrim ke
Mahkamah Agung (jika terjadi kasasi atau peninjuan kembali). Asli Putusan
tetap disimpan pada Pengadilan Agama dan disatukan dalam berkas
perkara yang sudah diminitur.

Adapun yang dimaksud dengan perincian biaya disini adalah perincian


biaya yang tercantum dibagian kiri bawah dari keputusan, bukan yang
tercantum dalam diktum. Yang tercantum dalam diktum adalah biaya total
sedangkan yang disebut terdahulu itu adalah rinciannya.

Menurut pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 1989, rincian biaya tersebut
meliputi:

 Biaya kepaniteraan dan materai


 Biaya untuk para saksi , saksi ahli, penerjemah, dan pengambil
sumpah
 Biaya untuk pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang
diperlukan
 Biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah
Pengadilan.

3. Putusan Sela

Apa yang telah diuraikan di butir 2. Di muka, adalah tentang putusan


akbir atau eind-vonnis, tetapi sebelum sampai kepada putusan akhir
kadang-kadang majelis harus mengambil putusan sela terlebih dahulu,

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 45
karena ada hal-hal yang mengharuskan demikian. Putusan sela ini adayang
menyebutnya interlocutoir dan ada pula yang menyebutnya tussen vonnis.

Perlunya putusan sela ini misalnya:

a. Adanya eksepsi dari tergugat;


b. Pihak mengajukan hak ingkarnya;
c. Adanya permintaan dari pihak agar pihak ketiga diikutsertakan ke dalam
proses yang sedang berjalan (vrijwaring) atau ada pihak ketiga yang mau
campur ke dalam proses yang sedang berjalan (intervensi);
d. Adanya permohonan sita (beslag);
e. Adanya gugatan/permohonan provisional, seperti istri dalam gugatan
cerai minta ditetapkan nafkah anak atau berpisah rumah dari suaminya
selama perkara sedang berlangsung;
f. Dan lain-lain.

Jika tergugat mengajukan eksepsi relative pada siding pertama maka


hakim wajib memutusnya terlebih dahulu sebelum melanjutkan pemeriksaan
atas pokok perkara dan putusan di sini disebut putusan sela. Akan tetapi, jika
majelis hakim mengabul-kan eksepsi tergugat, hal mana berarti pemeriksaan
terhadap pokok perkara akan stop (tidak jadi) berarti putusan sela di situ
akan menjadi putusan akhir, karenanya penggugat boleh naik banding atas
putusan tersebut.

Jika pihak mengajukan keberatan perkaranya diperiksa oleh hakim atau


panitera yang sedang menyidangkan perkaranya karena hakim atau
panitera ada di antaranya yang terhalang oleh peraturan perundang-
undangan untuk menyidangkan perkara itu maka hakim harus mengambil
putusan sela.

Jika permohonan sita diajukan setelah siding berjalan maka hakim harus
mengambil keputusan sela apakah permohonan sita tersebut dikabulkan
atau ditolak.”

Jika perkara sedang berlangsung antara dua pihak, salah satu pihak
meminta kepada hakim agar pihak ketiga diikutsertakan ke dalam proses
maka hakim harus mengambil keputusan apakah permohonan itu
dikabulkan atau tidak. Begitu juga kalau ada pihak ketiga yang mengajukan
permohonan untuk turut ke dalam proses yang sedang berjalan (vrijwaring).

Jika seorang istri sedang menggugat suaminya untuk cerai misalnya


tetapi selama sidang sedang berjalan istri memohon ke Pengadilan Agama
agar diizinkan Suami_istri tidak tinggal serumah dengan pertimbangan
kemungkinan bahaya yang akan ditimbulkan maka majelis hakim harus
mengambil keputusan sela apakah permohonan tersebut dikabulkan atau
ditolak.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 46
Putusan sela wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
sebagaimana mengucapkan keputusan akhir sekalipun tidak mesti putusan
sela dibuatkan tersendiri melainkan cukup dalam Berita Acara Sidang.

Terhadap putusan sela tidak dapat dimohonkan banding kecuali


bersama-sama dengan putusan akhir (pokok perkara).

4. Kekuatan Putusan

Putusan pengadilan mempunyai 3 kekuatan, yaitu: (1) kekuatan mengikat


(bindende kracht), (2) kekuatan bukti (bewijzende kracht), dan (3) kekuatan
eksekusi (executoriale kracht).

Suatu putusan mempunyai kekuatan mengikat dan mempunyai kekuatan


bukti ialah setelah putusan tersebut memperoleh kekuatan hokum yang
tetap (in kracht). Suatu putusan dikatakan in kracht ialah apabila upaya
hokum seperti verzet, banding, kasasi tidak dipergunakan dan tenggang
waktu untuk itu sudah habis, atau telah mempergunakan upaya hukum
tersebut dan sudah selesai. Upaya hukum terhadap putusan yang telah in
kracht tidak ada lagi, kecuali permohonan peninjauan kembali ke
Mahkamah Agung tetapi hanya dengan alasan-alasan sangat tertentu
sekali.

Putusan yang sudah in kracht, sekalipun ada dimohonkan peninjauan


kembali ke Mahkamah Agung, tidak terhalang untuk dieksekusi, itulah yang
dikatakan mempunyai kekuatan eksekusi.

Suatu putusan dikatakan mempunyai kekuatan bukti misalnya putusan


cerai. Ia merupakan bukti otentik terjadinya cerai.

B. Penetapan

1. Pengertian Penetapan

Penetapan disebut al-isbat (Arab) atau beschiking (Belanda), yaitu


produk pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya,
yang diistilahkan jurisdiction voluntaria. Dikatakan bukan peradilan yang
sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon, yang memohon untuk
ditetapkan tentang sesuatu, sedangkan ia tidak perkara dengan lawan.

Karena penetapan itu muncul sebagai produk pengadilan atas


permohonan pemohon yang tidak berlawanan maka diktum penetapan
tidak akan pernah berbunyi menghukum melainkan hanya bersifat
menyatakan (declaratoire) atau menciptakan (constitutoire).

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 47
2. Bentuk dan Isi Penetapan

Bentuk dan isi penetapan hampir sama saja dengan bentuk dan isi
putusan walaupun ada juga sedikit perbedaannya sebagai berikut:

a. Identitas pihak-pihak pada permohonan dan pada penetapan hanya


memuat identitas pemohon. Kalaupun di situ dimuat identitas termohon,
tapi termohon disitu bukanlah pihak.
b. Tidak akan ditemui kata-kata”berlawanan dengan” seperti pada
putusan.
c. Tidak akan ditemui kata-kata “Tentang duduk perkaranya” seperti pada
putusan,melainkan langsung diuraikan apa permohonan pemohon.
d. Amar penetapan paling-paling bersifat declaratoire atau constitutoire.
e. Kalau pada putusan didahului kata-kata “memutuskan” maka pada
penetapan dengan kata “menetapkan”.
f. Biaya perkara selalu dipikul oleh pemohon,sedangkan pada putusan
dibebankan kepada salah satu dari pihak yang kalah atau ditanggung
bersama-sama oleh pihak penggugat dan tergugat tetapi dalam
perkara perkawinan tetap selalu kepada penggugat atau pemohon.
g. Dalam penetapan tidak mungkin ada reconventie atau interventie atau
vrijwaring.

Ketika membuat penetapan, tentu saja prinsip-prinsip perbedaan ini


disesuaikan saja.

3. Kekuatan Penetapan

Putusan mempunyai 3 kekuatan dan berlaku untuk pihak-pihak maupun


untuk dunia luar (pihak ketiga) tetapi penetapan hanya berlaku untuk
pemohon sendiri, untuk ahli warisnya dan untuk orang yang memperoleh hak
daripadanya.

Contoh penetapan seperti pengesahan nikah bagi keperluan pension


Pegawai Negeri Sipil dari suami-isteri yang tidak ada sengketa antara
keduanya, tetapi dulu-dulunya mereka kawin belum begitu tertib
pencatatan nikah sehingga tidak mempunyai akta nikah.

4. Suatu Catatan

Apa yang terurai pada butir B. 1, 2, dan 3 diatas adalah penetapan


dalam bentuk murni voluntaria. Di lingkungan Peradilan Agama ada
beberapa jenis perkara di bidang perkawinan yang produk Pengadilan
Agama berupa Penetapan, ada pemohon dan termohon, tetapi ternyata
bukan penetapan dalam bentuk voluntaria murni, sehingga penetapan di
situ harus dianggap putusan, pemohon dan termohon harus dianggap
sebagai penggugat dan tergugat. Dalam hal ini, teori umum penetapan
terurai di B. 1, 2, dan 3 tidak berlaku melainkan diberlakukan teori umum
yang tersebut di A. 1, 2, 3, dan 4 sebelumnya.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 48
C. Produk Khusus

Sebelum berlakunya UU Nomor 7 tahun 1989, di samping produk Putusan


dan Penetapan, ada produk Pengadilan Agama yang disebut SKT3 (Surat
Keterangan Tentang Terjadinya Talak) sebagai realisasi dari bunyi Pasal 17 PP
Nomor 9 tahun 1975. Pasal ini telah dicabut/digantikan oleh Pasal 71 ayat (2)
UU Nomor 7 tahun 1989, sehingga SKT3 sudah bertukar dengan penetapan
yang tidak berlaku banding seperti disebutkan pada Pasal 71 ayat (2)
tersebut.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 49
SEPULUH

Penyitaan, Pengukuhan
dan Eksekusi

A. Sita (Beslag)

Permohonan sita dapat diajukan sebelum perkara diputus, bahkan dapat


juga diajukan setelah perkara diputus sepanjang belum in kracht, artinya
sekalipun perkara itu banding dan/atau kasasi, masih dapat diajukan.

Namun biasanya sudah diajukan bersama-sama dengan gugatan. Bila


permohonan sita dikabulkan dan ternyata nanti pemohon tersebut menang
dalam perkara maka sita tersebut akan dinyatakan sah dan berharga dalam
dictum keputusan dan pada waktu eksekusi, sita tersebut akan berubah
akan berubah menjadi sita eksekusi. Demikian juga sebaliknya, kalau
gugatan penggugat ditolak, dengan sendirinya harus dinyatakan di dalam
dictum keputusan untuk diangkat (dicabut).

Ada macam-macam sita yang dikenal di lingkungan Peradilan Umum:

1. Sita Revindikasi (Revindicatoir Beslagh)

Sita yang dilakukan oleh Pengadilan terhadap benda bergerak milik


sendiri yang berada di tangan orang lain atau terhadap benda milik sendiri
yang telah dijual tetapi belum dibayar harganya oleh pembeli/ Permohonan
kepada Pengadilan untuk dilakukan Sita Revindicatoir tidak memerlukan
kepada adanya dugaan beralasan terlebih dahulu bahwa si tersita akan
menggelapkan atau akan melenyapkan barangb yang dimohonkan sita.
Barang yang disita boleh dititipkan kepada si tersita sendiri dengan
konsekuensi ia harus memeliharanya, tidak boleh
rusak/hilang/dipindahtangankan, tetapi boleh juga disimpan ditempat lain,
misalnya di Pengadilan sendiri, asal aman dan terpelihara dari kerusakan.

2. Sita Marital Atau Matrimonial

Sita Marital tidak terdapat di dalam HIR atau RBg. Melainkan hanya
dijumpai di dalam BW (Buergerlijke Wetboek) dan Rsv (Reglement op de
Burgerlijke Rechtsvordering) yang sekarang ini sering dipakai di lingkungan
Peradilan Umum. Sita Marital yaitu istri (yang tunduk kepada hukum perdata
BW) boleh mengajukan permohonan ke Pengadilan agar selama dalam
masa sengketa perceraian yang sekaligus harta bersama di muka
Pengadilan, agar si suami tidak memindahkan atau mentransfer harta
kekayaan milik besama tersebut. Sita Marital ini dimohonkan oleh istri, karena
menurut BW si istri tidak mungkin menjualkan sebab ia tidak mampu
bertindak hukum kecuali atas bantuan suaminya, sehingga yang mungkin
menjual/mentransfer hanyalah suami.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 50
3. Sita Jaminan (Conservatoir Beslagh)

Sita Jaminan atau Conservatoir Beslagh adalah sita yang dilakukan oleh
Pengadilan atas permohonan dari pihak penggugat atas milik orang lain
(yakni milik tergugat) agar hak penggugat terjamin akan dipenuhi oleh
tergugat setelah penggugat diputus menang dalam perkaranya nanti.

Permohonan sita jaminan harus adanya dugaan beralasan bahwa pihak


tergugat akan menggelapkan atau melepaskan barangnya sehingga
nantinya tidak mampu membayar menurut yang diputuskan oleh
Pengadilan, sehingga putusan itu hanya sia-sia. Oleh karena itu, sebelum
permohonan conservatoir beslagh dikabulkan, harus dipertimbangkan dulu
oleh hakim apakah dapat dikabulkan atau tidak, Putusan hakim disitu akan
berupa putusan sela. Jika permohonan sita dikabulkan maka perintah
penyitaan tidak boleh oleh Hakim Ketua Majelis tetapi mesti oleh Ketua
Pengadilan.

B. Juru Sita (Deurwaarder)

Menurut Pasal 103, juru sita berwenang melakukan tugasnya hanya di


dalam daerah hukum Pengadilan Agama tempatnya diangkat, dengan
tugas-tugas:

(1) Juru Sita bertugas :


a. melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang;
b. menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, dan
pemberitahuan penetapan atau putusan Pengadilan menurut cara
cara berdasarkan ketentuan undang-undang,
c. melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan;
d. membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

(2) Juru Sita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum Pengadilan


yang bersangkutan.

C. Pengukuhan Putusan Peradilan Agama

Salah satu tujuan pokok dari Peradilan Agama adalah dengan


mewujudkan keadilan dengan melalui putusan Hakim. Putusan Hakim
tersebut bersifat mengikat orang yang berperkara di hadapan Persidangan.

Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No 7 tahun 1989 tentang


Peradilan Agama, maka setiap Putusan yang diketuk palu oleh Hakim
Peradilan Agama belum bisa dieksekusi dimata hukum. Putusan itu mestilah
mendapat pengakuan (fiat eksekusi) dari Peradilan Umum yang sudah
memiliki Hukum Formil sejak lama.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 51
Fiat Eksekusi adalah pemberian kuasa untuk pelaksanaan putusan
executorial (bersifat dapat dilaksanakan). Sistem Fiat Eksekusi merupakan
wujud kedudukan Peradilan Agama yang Inferieur dihadapan Peradilan
Umum. Dan perlu diketahui di awal bahwa Pengukuhan Eksekusi Peradilan
Agama oleh Peradilan Umum sudah dikubur dalam-dalam oleh Undang-
Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Istilah pengukuhan baru muncul bersamaan dengan Undang-Undang No.


1 tahun 1974 tentang Perkawinan, psal 63 ayat (2) dan Peraturan Pemerintah
No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang tersebut. Menurut
pasal itu, pengukuhan oleh Peradilan Umum terhadap putusan Peradilan
Agama, stelah putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Pengukuhan tersebut hanya bersifat administrstif prosedural, Peradilan


Umum tidak berkewenangan melakukan pemeriksaan ulang terhadap
Putusan Peradilan Agama. Walaupun Undang-Undang No.14 tahun 1970
telah memberi dasar-dasar perkembang Peradilan Agama, tetapi tidak ada
perubahan yurisdiksi atau kompetensi Peradilan Agama.

Semenjak zaman pendudukan kolonial Belanda (tahun 1882), terus


samapi kepada zaman awal Indonesia merdeka (tahun 1951 samapi 1957),
berikutnya zaman Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
(sebelum Undang-Undang No. 7 tahun 1989), bila Peradilan Agama akan
mengeksekusi sebuah Putusan Hakim, maka Peradilan Agama harus minta
tolong kepada Peradilan Umum dikenal dengan istilah “executoir-
verklaaring”. Kenyataan ini adalah akibat dari keberadaan Peradilan Agama
yang belum memiliki Hukum Formil.

Kemestian executoir verklaring itu terbukti dibunyikan dalam undang-


undang berikut :

a. Pasal 2 a ayat (3), (4), (5) dari Ordonantie Stbl. 1882-152 jis. Stbl. 1937-116
dan 610.
b. Pasal 3 ayat (3), (4), (5) dari Ordonantie Stbl. 1937-638 dan 639.
c. Pasal 4 ayat (3), (4), (5), dari PP No. 45 tahun 1957,LN 1957-99.
d. Pasal 5 ayat (3) sub c, dari Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, LN
1951-9.

Sejak tahun 1882 sampai saat berlakunya Undang-Undang No.7 tahun


1989 tentang Peradilan Agama (satu abad lewat tujuh tahun), Peradilan
Agama tidak dapat mengeksekusi Putusannya sendiri. Kenyataan itu
dipersedih lagi dengan adanya kewajiban bahwa semua perkara
perkawinan yang tercantum dalam UU No 1 yahun 1974 dikukuhkan oleh
Peradilan Umum.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 52
D. Eksekusi

Fiat eksekusi pengadilan negeri terhadap putusan peradilan agama yang


dahulunya ditunjuk dalam UU Darurat No. 1 tahun 1951 dan UU ini telah
dicabut oleh UU No. 8 tahun 1981, LN 1981-76 tentang hukum acara pidana.
Peraturan perundang-undangan lainnya tentang fiat eksekusi (tertera pada
C, a, b, d, di muka) telah dicabut oleh UU No.7 tahun 1989, Pasal 107 ayat (1).

Selain itu, menurut Pasal 95, 98 dan 103 UU No. 7 tahun 1989, peradilan
agama sudah dapat melaksanakan secara paksa (eksekusi) atas putusan
dan penetapannya sendiri, termasuk dapat melaksanakan segala macam
bentuk sita (beslag) yang diperlukan. Timbulah sekarang bagaimana
melakukan eksekusi putusan atau penetapan peradilan agama itu. Untuk itu,
acuannya ialah aturan eksekusi yang dipergunakan di lingkungan peradilan
umum.

Dictum putusan yang dapat dieksekusi hanyalah yang bersifat


condemnatoir, artinya berwujud menghukum pihak untuk membayar
sesuatu, menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu dan sejenisnya.
Jadi eksekusi atas putusan yang diktumnya bersifat declaratoir dan atau
constitutoir boleh dikatakan tidak mungkin. Declaratoir artinya menyatakan
seperti sah dan berharga sita jaminan, sah ta’liq talaq yang telah diucapkan
oleh suami dam sebagainya constitutoir artinya menciptakan atau
menghapuskan seperti mengesahkan seorang anak, menyeraikan A dari B
dan sebagainya. Oleh karena itu, dictum putusan, termasuk penetapan
(yang mirip putusan, artinya juga merupakan hasil dari jurisdiction
contentiosa) harus benar dan terarah, supaya dapat di eksekusi.

Jika ingin disimpulkan, eksekusi putusan dan penetapan peradilan agama


itu akan lancer tergantung dari kesalingterkaitannya antara;

(1) Kepandaian penggugat/pemohon dalam menyusun petita dalam


gugatan/permohonan.
(2) Penelitian surat gugatan/permohonan sebelum terdaftar di
kepaniteraan pengadilan agama.’
(3) Ketelitian pemeriksaan hakim di muka sidang.
(4) Benar dan jelas serta rinciannya dictum putusan/penetapan.
(5) Pelaksanaan di lapangan.
(6) Biaya eksekusi.

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 53
SEBELAS

Verzet, Banding, Kasasi, dan


Peninjauan Kembali

A. Verzet

Verzet artinya perlawanan terhadap putusan verstek yang telah dijatuhkan


oleh pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama), yang diajukan oleh
tergugat yang diputus verstek tersebut, dalam waktu tertentu, yang diajukan ke
Pengadilan Agama yang memutus itu juga.

B. Banding

Banding yang disebut juga appel ialah permohonan pemeriksaan kembali


terhadap putusan atau penetapan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan
Agama) karena merasa tidak puas atas putusan atau penetapan tersebut, ke
pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi Agama) yang mewilayahi
pengadilan tingkat pertama yang bersangkutan, melalui pengadilan tingkat
pertama yang memutus tersebut, dalam tenggang waktu tertentu dan dengan
syarat-syarat tertentu.

C. Kasasi

Kasasi artinya memohon pembatalan terhafap putusan/penetapan


pengadilan tingkat pertama (pengadilan agama) atau terhadap putusan
pengadilan tingkat banding (pengadilan tinggi agama) ke Mahkamah Agung
di Jakarta, melalui pengadilan tingkat pertama (pengadilan agama) yang
dahulunya memutus karena adanya alasan tertentu, dalam waktu tertentu
dengan syarat-syarat tertentu.

D. Peninjauan Kembali

Peninjauan kembali yang dimaksudkan adalah terhadap


putusan/penetapan pengadilan tingkat pertama (pengadilan agama) yang
telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, atau terhadap putusan
pengadilan tingkat banding (pengadilan tinggi agama) yang telah
memperoleh kekuatan hukum yan tetap, atau terhadap putusan mahkamah
agung, karenanya sering disebut dipanjangkan menjadi “peninjauan kembali
terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.”

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 54

Anda mungkin juga menyukai