Anda di halaman 1dari 18

Ppp

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Balakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Pembahasan 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Peradilan Agama 4


B. Peradilan Agama sebagai Peradilan Islam di Indonesia 4
C. Kedudukan Peradilan Agama Pada Masa Orde Lama 5
D. Dasar Hukum dan Wewenang Peradilan Agama Pada Masa Orde Lama 7
E. Perkembangan Peradilan Agama Pada Masa Orde Lama 12

BAB III PENUTUPAN

A. Kesimpulan 14
B. Saran 14

DAFTAR PUSTAKA

0
Ppp

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara jujur harus diakui bahwa sejarah Peradilan Agama di Indonesia, sebagai salah
satu pelaksana kekuasaan kehakiman1 telah cukup memakan waktu yang sangat panjang,
sepanjang agama Islam itu sendiri eksis di Indonesia. Dikatakan demikian, karena memang
Islam adalah agama hukum, dalam arti sebuah aturan yang mengatur hubungan manusia
dengan Allah Sang Pencipta (hablumminallah) yang sepenuhnya dapat dilakukan oleh pemeluk
agama Islam secara pribadi (person) dan juga mengandung kaidah-kaidah yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia lain (hablumminannas) dan dalam kehidupan masyarakat
yang memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk melaksanakannya secara paripurna.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara Islam dan hukum Islam selalui
berjalan beiringan tidak dapat dipisah-pisahkan. 2 Oleh karena itu pertumbuhan Islam selalu
diikuti oleh pertumbuhan hukum islam itu sendiri. 3 Jabatan hakim dalam Islam merupakan
kelengkapan pelaksanaan syari’at Islam. Sedangkan peradilan itu sendiri merupakan kewajiban
kolektif , yakni sesuatu yang dapat ada dan harus dilakukan dalam keadaan bagaimanapun
juga.4

Peradilan Islam di Indonesia yang di kenal dengan Peradilan Agama keberadaannya jauh
sebelum Indonesia merdeka karena ketika Islam mulai berkembang di Nusantara, Peradilan
Agama juga telah muncul bersamaan dengan perkembangan kelompok di kala itu, kemudian

1 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan
Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm. 57.
2 Muhammad Daud Ali, Undang-Undang Peradilan Agama, Panji Masyarakat, No. 634, Jakarta, tanggal
1-10 Januari 1990, hlm. 71.
3 Viktor Tanja, Forum RUUPA, No. 48/THN II, Jakarta, Tanggal 5 Agustus 1989.
4 Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama di Indonesia, (Surabaya:
Bina Ilmu, 1983), hlm. 29.

1
Ppp

memperoleh bentuk-bentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam. 5


Hal ini karena masyarakat Islam sebagai anggota masyarakat adalah orang yang paling mentaati
hukum dalam pergaulan orang perseorangan maupun pergaulan umum.6

Peradilan Agama yang telah lama dikenal masyarakat muncul sebelum datangnya
Penjajah Belanda yang banyak mengalami pasang surut hingga sekarang, pada mulanya
peradilan Islam sangat sederhana sesuai dengan kesederhanaan masyarakat dan perkara-
perkara yang diajukanya kepadanya pada awal islam, lalu berkembang sesuai dengan
kebutuhan hokum yang berkembang dalam Masyarakat. 7

sehingga dalam makalah ini akan membahas mengenai keberadaan atau eksistensi
Peradilan Agama pada masa orde lama, sehingga dengan pembahasan ini kita dapat memahami
sejarah Peradilan Agama pada masa orde lama, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi
kita semua khususnya pemakalah pribadi.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka pemakah akan menyimpulkan pembahasan ini menjadi
beberapa rumusan masalah, diantaranya adalah

1. Apakah Pengertian Peradilan Agama?


2. Apakah Peradilan Agama termasuk kedalam Peradilan Islam di Indonesia?
3. Bagaimanakah kedudukan Peradilan Agama pada masa orde lama?
4. Apakah dasar hukum dan bagaimanakah wewenang Peradilan Agama pada masa
orde lama?
5. Bagaimanakah perkembangan Peradilan Agama pada masa orde lama?
C. Tujuan Pembahasan

Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan pembahasan pemakalah dalam makalah ini
adalah sebagai berikut.

5 Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama…
6 Asep Hikmat, Dinamika Islam, (Bandung: Risalah, 1982), hlm. 212.
7 Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981). Hlm.35.

2
Ppp

1. Menjelaskan mengenai pengertian Peradilan Agama.


2. Menjelaskan bentuk Peradilan Agama di Indonesia.
3. Menjelaskan kedudukan Peradilan Agama pada masa orde lama.
4. Menjelaskan dasar hukum dan wewenang Peradilan Agama pada masa orde
lama.
5. Menjelaskan perkembangan Peradilan Agama pada masa orde lama.

3
Ppp

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Peradilan Agama

Peradilan Agama adalah salah satu peradilan resmi diantara empat lingkungan Peradilan
Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia dan juga salah satu diantara tiga
Peradilan Khusus di Indonesia, karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu
atau mengenai golongan tertentu. Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang
perdata tertentu saja dan hanya untuk orang-orang yang beragama Islam di Indonesia.

Peradilan Agama secara nyata sudah ada dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia
sejak masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dengan beraneka ragam sebutan
istilahnya, seperti Rapat Ulama, Raad Agama, Mahkamah Islam, Mahkamah Syara’, Priesterrad,
Pengadilan Paderi, Godsdients Beamte, Mohammedansche Godsdients Beamte, Kerapatan
Qadli, Hof voor Islamietische Zaken, Kerapatan Qadli Besar, Mahkamah Islam Tinggi, dan
sebagainya.8

Pada zaman Jepang tidak banyak mengalami perubahan tetapi pada tahun 1957 yakni
setelah Indonesia merdeka, ada lagi Badan Peradilan Agama yang dibentuk baru dengan
sebutan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyyah dan Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyyah Provinsi.

B. Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia

8 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.17.

4
Ppp

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Peradilan Agama adalah


sebutan resmi yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia. Akan tetapi,
akan timbul pertanyaan apakah Peradilan Agama yang dimaksud merupakan Peradilan Islam
dalam konsepsi universal atau hanya Peradilan Islam di Indonesia?

Menurut ordonantie Peradilan Agama untuk pulau Jawa dan Madura yaitu stbl. 1882-
152, jis. Stbl 1937-116 dan 610, pasal 2a menjelaskan bahwa Peradilan Agama berwenang
untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara tertentu
saja, menurut hukum Islam, antara orang-orang yang beragama Islam, semata-mata perkara
yang bersifat perdata.9

Begitu pula jika kita memperhatikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan dan pelaksanaannya, yang menyatakan
bahwa bagi mereka yang beragama Islam melalui Peradilan Agama, tetapi tidaklah komplit
mencakup perkara nikah menurut konsepsi Islam yang universal.

Dari uraian tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa Peradilan Agama adalah
Peradilan Islam di Indonesia dan belum dapat dikatakan sebagai peradilan Islam secara
universal, karena Peradilan Islam yang universal merupakan peradilan yang mempunyai prinsip-
prinsip kesamaan, sebab hukum Islam itu tetap satu dan dapat diberlakukan dimanapun bukan
hanya untuk suatu bangsa atau negara tertentu saja. Dirangkainya “Peradilan Islam” dengan
kata-kata “di Indonesia” perlu digarisbawahi, karena Peradilan Agama tersebut hidup di dalam
hukum Negara Indonesia, ia harus mampu menyelaraskan hukum Islam di satu pihak dengan
hukum negara Indonesia di pihak lainnya.

C. Kedudukan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Lama

Para pakar dan ahli hukum sejarah sepakat mengakui bahwa Peradilan Agama di
Indonesia sudah ada sejak Islam masuk ke bumi Indonesia pada abad ke VII Masehi atau abad
pertama hijriyah, hukum Islam berkembang bersama-sama dengan Hukum adat dengan erat
sehingga satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan karena saling kait mengait. Adapun

9 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama.

5
Ppp

politik hukum Hindia Belanda yang berkembang kemudian adalah adanya isu tentang terjadinya
konflik antara hukum Islam dengan hukum adat yang pada intinya konflik ini dengan sengaja
dibesar-besarkan oleh para ahli hukum adat di Indonesia, seperti: B. Ter Haar, Van Vollenhoven
dan Snouck Hurgronje. 10

Pada masa awal pasca kemerdekaan Indonesia (orde lama), teori receptie ternyata masih
menguasai alam pikiran dari para sarjana hukum Indonesia, khususnya yang ada di legislatif
maupun yang ada di yudikatif. Hal ini nampak dengan berlakunya hukum adat dalam kerangka
hukum nasional, yakni berlakunya hak-hak masyarakat adat (hak ulayat) sebagaimana yang
diatur dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA). Pada
kenyataannya masih tampak nyata bahwa seolah-olah hukum Islam yang berlaku di masyarakat
baru berlaku jika hukum adat telah menerimanya.

Selama masa awal kemerdekaan hingga masa orde lama, keberadaan peradilan agama
tidak banyak mengalami perubahan. Hal ini disebabkan karena politik kaum kolonialisme yang
tidak mensejajarkan peradilan agama dengan peradilan umum masih tetap diberlakukan, baik
menyangkut kompetensi absolutnya maupun menyangkut kompetensi relatif, finansial dan
oraganisasinya, sehingga quasi peradilan sebagaimana disebutkan sebelumnya masih tetap
berjalan, padahal, dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 19 Tahun 1964, eksistensi
lembaga peradilan agama secara tegas dinyatakan, bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan
kehakiman di samping peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
Meskipun demikian, suatu hal yang menggembirakan adalah bahwa pada masa pemerintahan
orde lama telah diterbitkan suatu ketentuan yang mengatur tentang keberadaan peradilan agama
diluar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan, yaitu PP. No. 45 Tahun 1957, sehingga sejak itu
keberadaan peradilan agama diakui sebagai salah satu dari 4 lingkungan Peradilan Negara.11

Kondisi peradilan agama di era Orde Lama tersebut berlanjut hingga awal dan akhir
pemerintahan Orde Baru, meski telah dikeluarkannya Undang-undang No. 14 Tahun 1970
sebagai pengganti Undang-undang No. 19 Tahun 1964, namun apa yang dinamakan quasi

10 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan, Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 2002, hlm. 204.
11 Ihsan Halik,” Peradilan Agama”, www. hukum perdata.blogdetik.com/2011/03/19/peradilan-
agama.html, diakses pada tanggal 02 Oktober 2013.

6
Ppp

pengadilan masih tetap berjalan. Hal ini terlihat dari sejak berdirinya tahun 1882 hingga akhir
tahun 1989 suasana kesemuan dan kelumpuhan peradilan agama masih tetap terasa, karena di
satu sisi secara formil dan legalistik peradilan agama diserahi kekuasaan untuk melaksanakan
kekuasaan kehakiman, akan tetapi di sisi lain secara realistik peradilan agama lumpuh, pincang
dan tidak sempurna.12

D. Dasar Hukum dan Wewenang Pengadilan Agama Pada Masa Orde Lama

Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, di samping sebagai Peradilan
khusus yakni sebagai Peradilan Islam di Indonesia, yang diberi wewenang oleh peraturan
perundang-undangan negara, untuk mewujudkan hukum materiil Islam dalam batas-batas
kekuasaannya.

Pada masa orde lama yakni mulai tahun 1957-1974 ada 4 hal yang perlu kita ketahui
mengenai lahirnya dasar hukum Pengadilan Agama yang bertujuan untuk mempertahankan
keeksistensian Pengadilan Agama di Indonesia, yakni PP No. 29 Tahun 1957, PP No. 45 Tahun
1957, dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang akan dijelaskan secara rinci sebagai berikut.

1. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957.


a. Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957

Pada tahun 1957 lahirlah PP (Peraturan Pemerintah) No.29 Tahun 1957 yang
mengatur mengenai Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di Provinsi
Aceh yang bertugas mengadili perkara-perkara yang bertalian dengan Agama Islam.

Mahkamah Syar’iyyah ini sebenarnya sudah ada sejak tanggal 1 Agustus 1946
atas tuntutan rakyat sebagai hasil revolusi kemerdekaan yang sesuai dengan hasrat
masyarakat di Aceh, sehingga dibentuklah Mahkamah syar’iyyah yang diakui sah oleh
wakil Pemerintah Pusat di Pemantang Siantar. Mahkamah Syar’iyyah tidak hanya

12 Ihsan Halik,” Peradilan Agama”.

7
Ppp

terdapat di Aceh, tetapi juga terdapat di beberapa daerah lainnya di Sumatera, yaitu
Tapanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang, dan Lampung.13

Sejak terbentuknya Mahkamah Syar’iyyah hingga pemulihan kedaulatan pada


tanggal 27 Desember 1949,14 Mahkamah Syar’iyyah di Aceh berjalan lancar. Akan tetapi,
ketika semua pegwai jawatan negara Republik Indonesia dipusatkan di kementerian
agama dan Perdana Menteri Pemerintah Darurat meninggalkan Aceh, maka Mahkamah
Syar’iyyah tidak ada lagi yang mengaturnya dan tidak lagi mempunyai dasar hukum yang
kuat.

Dengan adanya ketidakpastian kedudukan Mahkamah Syar’iyyah tersebut,


menimbulkan pergejolakan di kalangan masyarakat. Dalam rangka meredakan
pergejolakan serta untuk memberikan landasan yang kuat bagi eksistensi Peradilan
Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa dan Madura, maka diajukan sebuah
rancangan Peraturan Pemerintah tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyyah untuk daerah Aceh, sehingga lahirlah PP No. 29 Tahun 1957. Menurut PP No.
29 Tahun 1957 ini, maka daerah-daerah yang ada Pengadilan Negeri di Provinsi Aceh
ada sebuah Pengadilan Agama yang susunannya terdiri dari sekurang-kurangnya
seorang ketua dan 2 orang anggota dan sebanyak-banyaknya 8 orang anggota. Mereka
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.

b. Wewenang Pengadilan Agama Menurut Peraturan Pemerintah No. 29


Tahun 1957.

Adapun wewenang Pengadilan Agama meliputi:

1) Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam.

13 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum, (Hukum Islam, Hukum
Barat, Hukum Adat: Dalam Rentang Sejarah, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm.73.

14 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 74.

8
Ppp

2) Segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut


menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan nikah, talak dan
rujuk, fasakh, serta hadhanah.
3) Perkara waris mewaris, wakaf, hibah, sedekah, baitulmal, dan lain-lain
berhubungan dengan itu.
4) Perkara perceraian dan mengesahkan bahwa taklik talak sudah berlaku. 15

Dengan berlakunya PP No. 29 Tahun 1957 ini maka keadaan dasar hukum
Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura sangat beragam.

1) Di Aceh berdasarkan PP No. 29 Tahun 1957.


2) Di bekas negara Sumatera Timur yang disebut Majelis Agama Islam
didasarkan ketetapan Wali Negara Sumatera Timur tanggal 1 Agustus
1950 No. 350 yang telah diaktivir dengan Peraturan Menteri Agama No. 2
Tahun 1953.
3) Di Palembang berdasarkan Penetapan Menteri Agama No. 15 Tahun
1952.16

Karena adanya keragaman dasar hukum yang digunakan serta ditambah dengan
penampungan banyak pejabat-pejabat Badan Peradilan Agama dalam formasi Kantor
Urusan Agama sebagai akibat pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1946 jo. UU No. 32 Tahun
1954 tentang pencatatan nikah, talak, rujuk, sehingga seolah-olah Badan Peradilan
Agama terhapus, sehingga perkara-perkara yang menjadi wewenang pengadilan tidak
mendapat pelayanan yang semestinya. Selain itu juga, untuk melaksanakan pasal 1 ayat
(4) UU Darurat No. 1 Tahun 1951, maka daerah luar jawa dan Madura menggunakan PP
No. 45 Tahun 1957 yang mengatur mengenai Pembentukan Pengadilan Agama
(Mahkamah Syar’iyyah) yang pada hakikatnya isinya sama dengan PP No. 29 Tahun
1957. Karena PP No. 29 Tahun 1957 ternyata tidak dapat memberikan penyelesaian bagi
daerah-daerah yang lain secara integratif, maka PP No. 29 Tahun 1957 dinyatakan

15 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…


16 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 75.

9
Ppp

dicabut dan tidak berlaku, sehingga digantikan oleh PP No. 45 Tahun 1957 tentang
pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa dan Madura. 17

2. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957.


a. Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957.

Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 menetapkan tentang pembentukan


Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di daerah luar Jawa dan Madura. Peraturan
Pemerintah ini menjelaskan bahwa pelaksanaan dari peraturan ini diatur oleh Menteri
Agama sebagaimana yang disebutkan didalam pasal 12.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dengan memerhatikan Surat Penetapan


Menteri Kehakiman pada tanggal 27 Mei 1957 No. J.P. 18/7/6 tentang Kedudukan
Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Pengadilan Negeri, pada 13 November 1957 Menteri
Agama menetapkan Penetapan Menteri Agama No.58 Tahun 1957 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di Sumatera, yakni
pembentukan 54 Pengadilan Agama dan 4 Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah
Provinsi, kemudian disusul dengan pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyyah di Indonesia Bagian Timur yaitu 6 Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah
dan 1 Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah Provinsi di Banjarmasin dan 34
Pengadilan Agama/ Mahkamah dan 1 Pengadilan Agama/ Mahkamah Provinsi di
Makassar.18

Dalam rangka untuk memperlancar jalannya Pengadilan Agama di daerah-


daerah, maka Menteri Agama membentuk cabang-cabang kantor Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyyah, tidak hanya di luar Jawa dan Madura tetapi juga di daerah Jawa
dan Madura.

b. Wewenang Pengadilan Agama Menurut Peraturan Pemerintah No. 45


Tahun 1957.

17 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…


18 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 76-77.

10
Ppp

Kewenangan Pengadilan Agama adalah meliputi perkara-perkara yang dijelaskan


Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 yang berbunyi:

“Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami-


isteri yang beragama Islam, dan perkara yang menurut hukum yang hidup diputus
menurut hukum agama Islam, yang berkenaan dengan nikah, talak, rujuk, fasakh,
nafkah, maskawin, tempat kediaman (maskan), mut’ah, dan sebagainya, hadlanah,
perkara waris-malwaris, wakaf, hibah, shadaqah, baitulmal, dan lain-lain yang
berhubungan dengan itu. Demikian juga memutuskan perkara perceraian dan
mengesahkan bahwa syarat ta’lik sudah berlaku.”19

Dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa pada hakikatnya isi dan
wewenang Pengadilan Agama Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 sama dengan
Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957 sebagaimana yang telah dijelaskan di atas,
sehingga adanya pencabutan peraturan sebelumnya, akan tetapi, pembentukan
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 ini diharapkan dapat berlaku secara efektif
dan integratif, dengan pembentukan Pengadilan Agama yang semakin meluas di seluruh
penjuru wilayah di Indonesia dapat menyelesaikan masalah-masalah yang tidak hanya di
Aceh saja, tetapi menyelesaikan masalah-masalah di daerah lainnya.

3. Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970


a. Lahirnya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan Undang-Undang No. 14
Tahun 1970

Dalam rangka memenuhi ketentuan pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945, maka


pada tanggal 31 Oktober 1964 lahirlah Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Menurut undang undang ini,
Peradilan Negara Republik Indonesia menjalankan dan melaksanakan hukum yang
mempunyai fungsi pengayoman yang dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun tidak lama
kemudian, undang-undang ini diganti dan disempurnakan dengan UU No. 14 tahun 1970

19 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957.

11
Ppp

tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pokok Kehakiman karena sudah dianggap tidak
sesuai lagi dengan keadaan. Pada pasal 10 ayat (1) dan (2) dari undang-undang tersebut
menyatakan bahwa:

(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:

a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara

(2) Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.20

Dari uraian di atas dapat kita rumuskan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu
dari lingkungan Peradilan Negara atau kekuasaan kehakiman yang sah di Indonesia, di
samping tiga kekuasaan kehakiman atau tiga lingkungan Peradilan Negara yang sah
lainnya. Mahkamah Agung dan keempat lingkungan Peradilan Negara tersebut adalah
kekuasaan yang merdeka, yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah atau pengaruh-pengaruh lainnya. Dalam undang undang baru ini
ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka karena sejak
tahun 1945-1966 keempat lingkungan peradilan di atas bukanlah kekuasaan yang
merdeka secara utuh, melainkan di sana sini masih mendapat intervensi dari kekuasaan
lain.

Adapun tugas pokok kekuasaan kehakiman djelaskan di dalam pasal 2 Undang-


undang No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi:

“Tugas Pokok Kekuasaan Kehakiman adalah menerima, memeriksa, mengadili


serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Tugas lain daripada yang
tersebut di ayat (1) dapat diberikan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-
undangan.”21

20 Roihan A. Rasyid, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1989), hlm. 5.
21 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 pasal 2.

12
Ppp

Dari isi pasal ini dapat kita pahami bahwa tugas utama Peradilan Agama adalah di
bidang yudikatif sama seperti 3 pengadilan yang lain. Adapun hubungan Peradilan
Agama dengan Departemen Agama sebagaimana hubungan Peradilan Agama dengan
Departemen Kehakiman yang terbatas di bidang organisatoris, administratif, dan
keuangan, sebagaimana yang dijelaskan di dalam pasal 11 ayat (1) UU No. 14 Tahun
1970 yang berbunyi:

“ Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat (1),


organisatoris, administratif, dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-masing
departemen yang bersangkutan.”22

E. Perkembangan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Lama

Dengan adanya jaminan Yuridis Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang


Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, keberadaan Peradilan Agama semakin kuat.
Pada tahun 1972 berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 34 Tahun 1972 terbentuk 4 kantor
Peradilan Agama dan 6 cabang kantor Peradilan Agama/ Mahkamah syar’iyyah di dalam daerah
Provinsi Riau, Jambi, Aceh, dan Sumatera Utara.23

Menurut catatan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama dalam suratnya tanggal
15 Desember Tahun 1972 No. DV/70/ED/1972 secara kuantitas jumlah Pengadilan Agama di
seluruh Indonesia sampai dengan Tahun 1972 adalah sebagai berikut:

a. Pengadilan Agama di Jawa, Madura 96 buah


b. Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa, Madura 152 buah
c. Kerapatan Kadi di Kalimantan 10 buah
d. Pengadilan Agama/ mahkamah Syar’iyyah Tingkat Banding untuk luar Jawa 60
buah
e. Mahkamah Islam Tinggi Peradilan Agama tingkat Banding untuk wilayah Jawa 1
buah
f. Kerapatan Kadi Besar di Kalimantan 1 buah

22 UU No. 14 Tahun 1970 pasal 11 ayat (1).


23 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm.82.

13
Ppp

g. Badan Administrasi, yaitu jawatan (inspeksi) Peradilan Agama 11 buah.24

Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa pada masa orde lama kekuasaan
Peradilan Agama sudah mulai kuat keberadaannya, hal ini disebabkan oleh adanya
kekuasaan yang merdeka dalam menjalankan tugasnya tanpa ada pengaruh dari
kekuasaan pemerintah. Selain itu juga dapat kita liat perkembangan Peradilan Agama
yang cukup pesat dengan ditandai oleh perluasan Peradilan Agama di seluruh belahan
Indonesia.

BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa keberadaan Peraadilan Agama sudah ada
sebelum kedatangan para penjajah Belanda. Peradilan Agama mengalami pengalaman dinamika
yang berbeda dengan peradilan lainnya, dimana Peradilan Agama membutuhkan proses yang
panjang untuk memperkuat eksistensinya di Negara Indonesia, khususnya pada masa orde lama
yang melahirkan UU No. 14 Tahun 1970 yang memperkuat wewenang Peradilan Agama, dimana
kedudukannya sama seperti 3 peradilan yang lain, yakni Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan
Peradilan Tata Usaha Negara.

24 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…

14
Ppp

Selain itu juga, ada beberapa peraturan-peraturan yang lahir pada masa orde lama, yaitu:

1. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957


2. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957
3. Undang-Undang No. 19 Tahun 1964
4. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
B. Saran

Dengan kita melihat ke belakang ke sejarah mengenai Peradilan Agama, hendaknya


peraturan perundang-undangan mengenai Peradilan Agama menjadi lebih baik, mengingat
perjuangan masyarakat yang berusaha mempertahankan keberadaan Peradilan Agama.

Selanjutnya dengan adanya peraturan peundang-undangan yang lebih baik, maka para
penegak hukum, hendaknya bertindak secara maksimal sesuai dengan peraturan-peraturan yang
berlaku, untuk menghindari adanya penyelewengan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam Dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan, Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 2002.
, Undang-Undang Peradilan Agama, Panji Masyarakat, No. 634, Jakarta, tanggal 1-10
Januari 1990.
Halik, Ihsan,” Peradilan Agama”, www. hukum perdata.blogdetik.com/2011/03/19/peradilan-
agama.html, diakses pada tanggal 02 Oktober 2013.
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Hikmat, Asep, Dinamika Islam, Bandung: Risalah, 1982.

15
Ppp

Jalil, H.A. Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum, (Hukum Islam,
Hukum Barat, Hukum Adat: Dalam Rentang Sejarah, Jakarta: Prenada Media, 2006.

Noeh, Zaini Ahmad dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama di Indonesia,
Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989.
Suma, Muhammad Amin, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2004.
Tanja, Viktor, Forum RUUPA, No. 48/THN II, Jakarta, Tanggal 5 Agustus 1989.

PERADILAN AGAMA

PADA MASA ORDE LAMA

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Peradilan dan Hukum Acara Islam

Dosen Pengampu: Bapak Malik Ibrahim.

16
Ppp

Disusun oleh:

1. Zuni Syafitri 11350059 085643097964


2. Khoirun Nisa 11350065 085296319659

JURUSAN AL AHWAL AL- SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

2013

17

Anda mungkin juga menyukai