Anda di halaman 1dari 17

Makalah

TANTANGAN HUKUM KELUARGA ISLAM


DI ERA TEKNOLOGI DIGITAL

Oleh:

Moh. Rizal
NIM.03210122008
Mata Kuliah Hadits Maudhui

PROGRAM PASCASARJANA DOKTORAL (S3)


HUKUM KELUARGA ISLAM ( HKI )
UIN DATOKARAMA PALU 2022
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang universal, disebut universal karena diturunkan
untuk seluruh umat manusia dan untuk segala zaman. Universalitas Islam ini telah
dibuktikan sejak awal kedatangan Islam yakni sejak zaman Rasulullah SAW, para
sahabat hingga termasuk di zaman Dinasty setelahnya.
Islam sebagai agama, menurut ajarannya tidak dapat memisahkan diri dalam
persoalan kehidupan, karena fungsi adanya agama agar memberikan petunjuk
kepada perbuatan-perbuatan baik atau memperbaiki perbuatan-perbuatan yang tidak
baik.1
Ajaran Islam yang termaktub dalam Al Qur'anul karim telah membuktikan
bahwa pembahasan inti dalam ajaran agama ini tidak saja berkaitan dengan ibadah
semata, tetapi meliputi seluruh rangkaian aktivitas kehidupan manusia.
Membahas hukum keluarga Islam dan penerapannya, maka tidak terlepas
formalisasi hukum keluarga Islam tersebut dengan lembaga yang menjadi
pelaksananya, dalam hal ini adalah peradilan agama
Secara yuridis formal, hukum keluarga Islam telah mendapat wadah
implementasi tersendiri di negara ini yaitu melalui lembaga peradilan agama.
Sebagai suatu badan peradilan yang melaksanakan hukum keluarga Islam masuk
dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir (Jawa dan Madura) pada tanggal 1
Agustus 1882. Kelahiran peradilan agama sebagai manifestasi pelaksanaan hukum
keluarga Islam klasik, berdasarkan Keputusan Raja Belanda yakni Raja Wilem III
tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24 yang dimuat dalam Staatsblad 1882 No. 152.
Badan peradilan ini awalnya disebut Priesterraden dan lazim disebut rapat agama
atau Raad Agama dan dalam perjalanannya kemudian dinamakan peradilan serambi,
disebut peradilan serambi, karena seluruh masalah/sengketa hukum keluarga yang

1
Syaifullah MS, Pengelolaan Resiko Melalui Perdagangan Berjangka Dalam Pandangan
Islam, (Tesis, Magister Studi Islam, Universitas Islam Indonesia, 2003) hal. 1
1
terjadi pada waktu itu dan dialami oleh orang-orang beragama Islam, diselesaikan
oleh para hakim di serambi masjid.2
Dalam perkembangannya kemudian, pengkajian peradilan Islam di Indonesia,
dikenal beberapa istilah yang menjadi lambang dari suatu kasus diantaranya,
peradilan agama, peradilan agama Islam, peradilan Islam, Islamic judiciary,
pengadilan agama, badan kehakiman, badan peradilan agama, badan peradilan
agama Islam, pengadilan agama Islam dan Islamic court. Pada zaman penjajahan
Belanda dan Jepang juga dikenal beberapa istilah seperti priesterraad, penghoeloe
gerecht, godsdientige, raad agama, dan sooryoo hooin.3
Dengan lahirnya Staatsblad 1937 Nomor 116 Pasal 2a ayat (1) yang berlaku
tanggal 1 April 1937, kompetensi peradilan agama adalah dalam bidang hukum
keluarga Islam bertambah menjadi
1. Perselisihan antara suami dan istri yang beragama Islam
2. Perkara-perlara tentang nikah, talak, rujuk dan perceraian antara orang-orang
yang beragama Islam yang memerlukan perantaraan Hakim Agama
3. Memberi putusan perceraian
4. Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (talik talak)
sudah ada.
5. Perkara mahar, sudah termasuk mut’ah
6. Perkara tentang keperluan kehidupan suami istri yang wajib diadakan
Setelah kemerdekaan, atas usul Menteri Agama yang disetujui oleh Menteri
Kehakiman, pemerintah mengalihkan peradilan agama yang waktu itu dikenal juga
dengan sebutan Mahkamah Islam Tinggi dari Kementerian Kehakiman kepada
Kementerian Agama melalui Penetapan Pemerintah No. 5/SD/ tanggal 25 Maret
1946.4

2
Departemen Agama RI, Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan Lembaga
dan Proses Pembentukan Undang-undangnya, (Jakarta, Dirjen Binbagais , 2001), hal. 12
3
Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Jakarta, PT.
Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 34
4
I b i d, hal. 19
2
Dengan berpuncak kepada Mahkamah Agung, peradilan agama yang menurut
Pasal 11 UU No. 14 Tahun 1970, organisatoris, asministratif dan finansial berada di
bawah lingkungan Departemen Agama.5
Namun dalam perjalanannya, perubahan penerapan hukum dan revisi
peraturan perundang-undangan yang ada, salah satu penyebabnya bukan hanya
tentang eksistensi lembaga pelaksananya, namun juga perkembangan situasi yang
melingkupi kehidupan bernegara dan lembaga itu sendiri, seperti perubahan dan
kemajuan teknologi digital.
Hampir semua lembaga negara, melakukan perubahan standar pelayanan
akibat adanya kemajuan teknologi digital, termasuk lembaga negara dan perangkat
hukum yang terkait dengan umat Islam di Indonesia, yaitu hukum keluarga Islam di
Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah penerapan hukum keluarga Islam di Indonesia ?
2. Bagaimana tantangan hukum keluarga Islam di era teknologi digital?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan adalah :
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan penerapan hukum keluarga di
Indonesia ?
2. Untuk mengetahui tantangan penerapan hukum keluarga di era teknologi digital?

5
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Kumpulan Tulisan, (Jakarta, PT.
Raja Grafindo Persada, 1997) hal. 224
3
II. PEMBAHASAN
A. Perkembangan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Dalam jejak rekam sejarah, hukum keluarga Islam mendapat tempat
dalam hati umat Islam dan pemerintah Republik Indonesia. Jika kita membagi
perkembangan hukum keluarga Islam, maka kita akan menemukan tiga zaman
berbeda dalam penerapan hukum keluarga Islam itu, yakni pada 3 zaman.
Secara historis, pembaruan hukum perkawinan Islam di Indonesia dapat dibagi
menjadi tiga periode, yaitu:
(1) pra-kolonial;
(2) zaman penjajahan; dan
(3) masa kemerdekaan (orde lama, orde baru dan masa Reformasi).
Dalam setiap periode ini, hukum keluarga Islam mengalami perubahan
dan pembaruan. Pada zaman penjajahan, para ulama diberi kewenangan untuk
menerapkan dan menjaga pelaksanaan hukum keluarga Islam. Bahkan pada
waktu itu sengketa yang terkait dengan hukum keluarga Islam diselesaikan oleh
para ulama di serambi masjid, hal ini kemudian disebut dengan pengadilan
serambi dan menjadi cikal bakal peradilan agama modern.
Setelah kemerdekaan, peradilan serambi kemudian berubah menjadi
peradilan agama dan berada di bawah naungan menteri kehakiman, hingga
kemudian beralih di bawah menteri agama. Salah satu lembaga di departemen
agama yang mengurus masalah hukum keluarga Islam sebelum era reformasi
adalah peradilan agama yang berada di bawah Direktur Jenderal Pembinaan
Lembaga Agama Islam.
Peradilan agama telah melalui berbagai perubahan dan kemajuan.
Sebagai lembaga negara yang memiliki kekuasaan menyelenggarakan keadilan
serta mengadili perkara yang timbul dalam masyarakat berdasarkan hukum
Islam. Dalam Bab III Pasal 49 s/d 53 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dijelaskan kewenangan dan kekuasaan mengadili yang menjadi beban

4
tugas Peradilan Agama.6 Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 menegaskan bahwa
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta wakaf dan sedekah. Sedangkan
Pengadilan Tinggi Agama berwenang dan bertugas mengadili perkara-perkara
yang menjadi wewenang dan tugas Pengadilan Agama dalam tingkat banding,
juga menyelesaikan sengketa yurisdiksi antara Pengadilan Agama.7
Akhirnya berdasarkan UU No. 4 Tahun 2004 jo Keppres RI No. 21
Tahun 2004 peradilan agama dialihkan lagi dari Departemen Agama ke
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI), pengalihan ini lebih populer
dengan sebutan satu atap dan hampir bersamaan dengan beberapa badan
peradilan yang lain seperti peradilan umum, peradilan tata usaha negara,
peradilan agama dan peradilan militer berada di bawah Mahkamah Agung R.I.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah
membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini.
Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga
Peradilan Agama antara lain dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah.
Disamping itu, lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
juga telah memberikan nuansa baru pada lembaga Peradilan Agama, sebab
pengaturan wakaf dengan undang-undang ini tidak hanya menyangkut tanah
milik, tetapi juga mengatur tentang wakaf produktif yang juga menjadi
kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk menyelesaikan berbagai sengketa
dalam pelaksanaannya.
Ruang lingkup wakaf berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun
2004 tidak hanya dalam ruang lingkup benda tidak bergerak saja, tetapi meliputi

6
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta,
Kencana Prenada Media Group, 2001), hal. 12
7
Lihat Pasal 49 dan 50 UU No. 7 Tahun 1989
5
benda wakaf bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud seperti uang, logam
mulia, hak sewa, transportasi dan benda bergerak lainnya. Wakaf benda
bergerak ini dapat dilakukan oleh wakif melalui lembaga keuangan syari’ah
yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti
Bank Syari’ah. Kegiatan wakaf seperti ini termasuk dalam kegiatan ekonomi
dalam arti luas sepanjang pengeolaannya berdasarkan prinsip syari’ah. Ekonomi
Syari’ah dibahas dalam dua disiplin ilmu, yaitu ilmu ekonomi Islam dan ilmu
hukum ekonomi Islam. Ekonomi syari’ah yang menjadi kewenangan lembaga
Peradilan Agama.8
Masalah yang menjadi perdebatan dalam peraturan pernikahan adalah;
pada masa penjajahan, yaitu: poligami, perkawinan di bawah dan perceraian
sewenang-wenang. Pada masa reorganisasi yaitu setelah keluarnya UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan: maka yang menjadi pokok bahasan dan
masalah baru adalah aturan pencatatan perkawinan, poligami, pembatasan usia
minimum untuk perkawinan, perkawinan beda agama, pertunangan, perceraian
dan masalah anak.
Hingga kini, penerapan hukum keluarga Islam telah mencapai
puncaknya, baik dari sisi masyarakat yang memahami, menerima dan
menjadikan hukum keluarga Islam itu sebagai referensi utama. Demikian juga
dukungan politis dan kelembagaan, pelaksanaan hukum keluarga Islam
mencapai saat keemasannya. Hal ini ditandai dengan banyaknya peraturan
perundang-undangan yang secara khusus memberikan ruang bagi penerapan
hukum keluarga Islam.

B. Tantangan Hukum Keluarga Islam di Era Digital


1. Kemajuan Teknologi Digital dan Penerapan Hukum

8
Abdul Manan, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah; Sebuah Kewenangan Baru
Peradilan Agama, (Makalah, disampaikan pada acara Diskusi Panel Dalam Rangka Dies Natalis
Universitas YARSI ke 40, Jakarta, tanggal 7 Februari 2007) hal. 2
6
Era digital adalah era di mana seseorang dapat menemukan informasi
yang diinginkan dengan mudah. Dengan teknologi yang berada dalam
genggaman, praktis, murah dan dapat dijangkau oleh semua lapisan
masyarakat, maka hal ini menjadi keuntungan sekaligus tantangan tersendiri
dalam dunia hukum.
Teknologi dan era digital itu ibarat pisau bermata dua, kemudahan yang
diberikan oleh teknologi digital akan memunculkan penyesuaian karena
kesulitan yang muncul pada sisi yang lain.
Teknologi saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat, oleh karena
itu saat ini teknologi telah menjadi bagian dari kehidupan manusia, dalam era
modern dan juga digital saat ini telah banyak teknologi – teknologi yang
dikembangkan untuk membantu manusia entah itu untuk mengolah informasi,
memberikan informasi sebagai bentuk keamanan dan lain sebagainya.
Teknologi dalam kehidupan mengalami perkembangan terutama dalam bidang
politik, hukum dan keamanan. Teknologi dapat dengan mudah membantu dan
meningkatkan daya kinerja di berbagai sektor seperti politik, hukum dan
keamanan yang membutuhkan teknologi secara cepat, tepat dan juga akurat.9
Sisi lain dari teknologi yang membawa perubahan pada penerapan hukum
keluarga antara lain:

1) E-Court
Yaitu aplikasi electronic court yang diterapkan oleh Mahkamah Agung RI
dan badan peradilan yang ada di bawahnya. Dengan aplikasi ini, seseorang
dengan mudah dapat mengajukan gugatan hukum kepada lawannya,
termasuk gugatan perceraian, dengan biaya yang lebih murah, waktu yang

9
https://sihamak.com/penerapan-teknologi-dalam-bidang-
hukum/#:~:text=Penerapan%20Teknologi%20dalam%20bidang%20hukum.%20Teknologi%20dalam%2
0bidang,penggendara%20yang%20sering%20melanggar%20tata%20tertib%20lalu%20lintas. Diakses
pada 8 Desember 2022
7
lebih efisian. Seorang petani yang terhubung dengan teknologi, dapat
menceraikan istrinya tanpa harus meninggalkan kebunnya. Seorang nelayan
dapat mengajukan gugatan ke pengadilan sementara ia berada di atas
perahunya. Seorang istri yang berjualan sayur juga pada saat yang sama
dapat menggugat cerai suaminya dari pasar tempat ia berjualan.
2) E-tilang
Yaitu aplikasi tilang elektronik yang digunakan bersama oleh kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan. Dengan aplikasi ini, seseorang yang
melakukan pelanggaran lalu lintas, tidak lagi repot harus antri di bank
untuk membayar denda pelanggarannya, karena dapat ia bayar dari rumah
melalui aplikasi mobile banking.
3) Lawble
Teknologi yang menyediakan informasi hukum adalah Lawble. Lawble
diluncurkan di Indonesia pada bulan september 2017. Lawble bertujuan
untuk memberikan informasi mengenai hukum yang berlaku untuk
masyarakat Indonesia agar lebih paham mengenai hukum. Akan tetapi
lawble bukan sebuah firma hukum dan tidak memberikan nasihat hukum.
Layanan Lawble hanya sebatas informasi mengenai hukum. Secara tidak
langsung teknologi ini akan mengurangi interaksi orang dengan penasihat
hukum dan tentu memiliki implikasi sendiri yang berantai.
2. Perubahan Peraturan Perundang-undangan
Setiap orang yang hidup di dunia ini menginginkan kebahagiaan,
salah satu cara untuk mencapai kebahagiaan tersebut adalah melalui
perkawinan. Sebagai warga negara, ketentuan mengenai perkawinan
telah diatur dengan aturan tersendiri, yaitu Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perkawinan itu sendiri merupakan salah satu ibadah yang
dilaksanakan dalam rentang waktu yang panjang, karena syariat telah
mengaturnya, sebagaimana dalam surat Ar Rum ayat 21:

8
ْ َ ‫َو ِم ْن ٰا ٰيت ِٖهٓ ا َ ْن َخلَ َق لَكُ ْم ِ ّم ْن ا َ ْنفُ ِسكُ ْم ا َ ْز َو ا ًجا ِلّت‬
ْ ِ‫سكُنُ ْٓو ا اِلَ ْي َها َو َجعَ َل بَ ْينَكُ ْم ﱠم َودﱠة ً ﱠو َر ْح َمةً ۗاِ ﱠن ف‬
‫ي‬
ٍ ‫ٰذلِكَ َ ٰﻻ ٰي‬
َ‫ت لِّقَ ْو ٍم يﱠتَفَ ﱠك ُر ْو ن‬

Terjemahnya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia


menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu
sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berpikir” (QS ArRuum:21)

Pada ayat di atas menjelaskan bahwa pernikahan merupakan suatu hal


yang sangat penting dan sakral, dalam pernikahan juga terdapat norma-
norma tertentu yang harus dipatuhi agar terciptanya kehidupan yang nyaman
dan tenteram, serta penuh dengan kasih sayang (sakinah mawaddah wa
rahmah). Dalam hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dan
perempuan, tidak boleh hanya ikatan lahiriyah saja dalam makna seorang pria
dan wanita hidup bersama sebagai suami dan istri dalam ikatan formal, tetapi
kedua-duanya juga harus membina ikatan batin. Tanpa ikatan batin yang
kuat, ikatan lahir mudah sekali terlepas. karena ikatan lahir dan batin itulah
yang menjadi pondasi yang kokoh dalam membangun dan membina keluarga
yang bahagia dan kekal.10
Islam sudah menentukan persyaratan bagi orang-orang yang akan
melangsungkan perkawinan, ada syarat dan rukun yang harus dipenuhi.
Tetapi, dalam Islam tidak ada ketentuan khusus mengenai batas usia minimal
untuk melangsungkan perkawinan, baik bagi laki-laki maupun bagi
perempuan.
Secara umum para fuqaha’ tidak sepakat mengenai batas usia minimal
perkawinan, namun mereka berpendapat bahwa baligh bagi seseorang itu

10 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Di Pengadilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo 2002, cet. kedua), 3
9
belum tentu menunjukan bahwa dia sudah dewasa, dengan alasan beberapa
pendapat mazhab. Syafi’i dan Hambali mengatakan baligh bagi anak-anak
adalah 15 tahun, Maliki menetapkan usia 17 tahun. Sementara itu Hanafi
mengatakan baligh 18 tahun bagi anak laki-laki dan 17 tahun bagi anak
perempuan11
Atho’ Mudzar mengatakan terdapat empat macam produk hukum Islam
yang telah berkembang dan dikenal dalam sejarah hukum islam, yaitu : kitab-
kitab fiqh, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan pengadilan, dan
peratuuran perundangundangan di negara-negara muslim.12
Terkait dengan hukum positif yang berlaku, pada tanggal 16 September
2019, DPR RI bersama pemerintah sepakat mengesahkan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, maka terdapat perubahan usia nikah bagi calon
pengantin perempuan.
Pada Undang-undang yang baru ini, fokus anggota Dewan dan pemerintah
lebih pada materi muatan pasal yang diubah, yakni Pasal 7 dan tambahan Pasal
65A UU Perkawinan. Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019 tentang bahwa
perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19
tahun.13
Perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
merupakan amanat Mahkamah Konstitusi, guna mengakomodasi putusan
Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-XV/2017. Putusan ini menegaskan batas
usia nikah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki adalah
diskriminasi. Karena itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan batal ketentuan

11 Dedi Supriyadi Dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka Al-Fikris
2009), 26
12 Atho’ Mudzar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi Dan Liberasi, (Yogyakarta : Titian Ilah Press,

1998), 93
13 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan
10
pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. Mahkamah Konstitusi juga memerintahkan
agar DPR dan Pemerintah melakukan perubahan UU Perkawinan paling lambat
3 tahun sejak putusan dibacakan.14
Namun ada putusan Mahkamah Konsitusi lain yang tidak diindahkan
oleh pemerintah dan DPR, yaitu putusan nomor MK No. 46/PUU-VIII/2010.15
Jauh sebelum putusan tentang batas minimal usia perkawinan, Mahkamah
Konstitusi sebenarnya sudah menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat. Pasal
ini menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Namun DPR dan pemerintah hanya mengakomodir perintah Mahkamah
Konstitusi dengan nomor putusan No. 22/PUU-XV/2017 dan tidak ada
kejelasan tentang putusan Mahkamah Konsitusi Nomor MK No. 46/PUU-
VIII/2010.
Walaupun secara de jure Mahkamah Konstitusi telah memerintahkan
pemerintah dan DPR untuk memasukkan fakta di atas ke dalam instrumen
hukum, namun dalam perubahan undang-undang perkawinan ternyata hal
tersebut tidak dimasukkan. Hal ini akan menjadi masalah, karena putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) dan kalimat yang ada dalam putusan tersebut
bersifat imperatif. Akan menjadi masalah baru jika kasus yang menyebabkan
munculnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 masuk ke
pengadilan, sementara undang-undang perkawinan tidak mengakomodir
perubahan tersebut.
Dalam putusan tersebut MK mengabulkan sebahagian permohonan
pengujian Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MK

14 Lihat konsideran Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang tentang Perubahan Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada huruf c


15 Putusan MK ini menegaskan bahwa anak luar kawin mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya

sepanjang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka tidak boleh diperlakukan
sebagaimana maksud Pasal 43 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
11
menyatakan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang mengatur hubungan keperdataan anak di luar perkawinan
bertentangan dengan UUD 1945. Permohonan pengujian pasal dimaksud
diajukan oleh Machica Mochtar, artis yang menikah secara siri/di bawah tangan
dengan Mantan Menteri Sekretaris Negara di Era Orde Baru Moerdiono.
Machica memohonkan agar pasal 2 ayat (2) yang mengatur masalah pencatatan
perkawinan dan pasal 43 ayat (1) yang mengatur status keperdataan anak luar
kawin dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan harus dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibatnya.16
Putusan ini tentunya menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, bagi
pihak yang mendukung menilai putusan ini merupakan terobosan hukum yang
progresif dalam melindungi anak, sedangkan bagi pihak yang kontra
mengkhawatirkan putusan ini merupakan pembenaran dan legalisasi terhadap
pernikahan siri maupun perbuatan zina, kumpul kebo, karena efek dari
perbuatan mereka mendapatkan payung hukum untuk peristiwa hukum yang
akan mereka tempuh belakangan.
Apabila dilihat dari pertimbangan hukumnya, maka kekhawatiran pihak
yang kontra terhadap putusan ini sebenarnya tidak beralasan. Justru putusan ini
memberikan pesan moral kepada laki-laki untuk tidak sembarangan melakukan
hubungan seks diluar pernikahan, karena ada implikasi yang akan
dipertanggungjawabkan akibat perbuatannya tersebut. MK bermaksud agar
anak yang dilahirkan di luar pernikahan mendapatkan perlindungan hukum
yang memadai, karena pada prinsipnya anak tersebut tidak berdosa karena
kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki
kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan
stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan
kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan

16
Eka N.A.M. Sihombing, SH, M.Hum https://sumut.kemenkumham.go.id/berita-kanwil/berita-
utama/kedudukan-anak-luar-nikah-pasca-putusan-mk-nomor-46puu-viii2010 diakses pada 8 Desember
2022
12
hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun
keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.
Secara hukum, putusan ini menimbulkan konsekuensi hukum adanya
hubungan nasab anak luar nikah dengan bapak biologisnya; adanya hak dan
kewajiban antara anak luar nikah dan bapak biologisnya, baik dalam bentuk
nafkah, waris dan lain sebagainya, Hal ini tentunya berlaku apabila terlebih
dahulu dilakukan pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan teknologi seperti :
tes DNA dan lain sebagainya yang menyatakan bahwa benar anak diluar nikah
tersebut memiliki hubungan darah dengan laki-laki sebagai ayah biologisnya
itu, seperti kasus Moerdiono dan Machica Mochtar tersebut di atas.
Tidak menutup kemungkinan ada kasus seperti di atas terjadi dan masuk
dalam proses litigasi hukum. Karena pada pembuktian pidana, pelibatan
teknologi dalam hal ini pembuktian uji DNA, padahal perintah MK tidak
diakomodir oleh pemerintah dan DPR RI dalam perubahan undang-undang
perkawinan.
Jika itu terjadi, maka pengadilan tingkat pertama akan berada dalam
posisi ambigu, apakah mengikut Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010 atau mengikuti Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Hal tersebut merupakan tantangan penerapan hukum keluarga Islam,
yang posisi pelaksanaannya berada di antara penerapan teknologi serta
peraturan perundang-undangan yang mendukung penerapan teknologi tersebut,
sehingga hukum keluarga Islam, dalam pelaksanaannya, tidak saja sesuai aturan
hukum yang berlaku, tetapi juga tidak bertentangan dengan teknologi yang
sedang berkembang.

13
III. KESIMPULAN

1. Hukum keluarga Islam telah mendapat tempat pada masyarakat sejak pra-
kolonial, zaman penjajahan hingga zaman kemerdekaan (Orde Lama, Orde
Baru-Era Reformasi). Kemudahan penerapan dan adanya lembaga negara yang
mendukung dan mengawasi penerapan hukum keluarga Islam itu telah dirasakan
manfaatnya oleh rakyat Indonesia khususnya yang beragama Islam
2. Di era digital ini, informasi begitu cepat berpindah, menyebar dan merubah cara
kita berinteraksi dengan lingkungan. Maka perubahan teknologi digital dan
informasi yang terjadi, juga membawa perubahan pada perangkat hukum dan
perundang-undangan. Akibatnya, praktek kita berbangsa sebagai umat Islam
juga mengalami perubahan. Namun belum semua tuntutan akibat kemajuan
teknologi tersebut dapat dipenuhi oleh perubahan peraturan, akhirnya peraturan
perundang-undangan yang ada tidak dapat melakukan penyesuaian dengan
kemajuan teknologi yang ada dengan berbagai faktor dan alasan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,


Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2001

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Kumpulan Tulisan,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1997

Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam Di Pengadilan Agama, Jakarta: PT. Raja
Grafindo 2002, cet. kedua

Bisri, Cik Hasan, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Jakarta, PT.
Remaja Rosdakarya, 2000

Departemen Agama RI, Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan


Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-undangnya, Jakarta, Dirjen
Binbagais , 2001

Manan, Abdul, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah; Sebuah Kewenangan Baru


Peradilan Agama, Makalah, disampaikan pada acara Diskusi Panel Dalam
Rangka Dies Natalis Universitas YARSI ke 40, Jakarta, tanggal 7 Februari 2007

Mudzar, Atho’, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi Dan Liberasi, Yogyakarta :
Titian Ilah Press, 1998

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

Supriyadi Dedi, Dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Islam,


Bandung: Pustaka Al-Fikris 2009

Syaifullah MS, Pengelolaan Resiko Melalui Perdagangan Berjangka Dalam


Pandangan Islam, (Tesis, Magister Studi Islam, Universitas Islam Indonesia,
2003

15
Yudian Wahyudi, Maqashid Syari’ah dalam Pergumulan Politik, Yogyakarta:
Nawesea Press,

Sihombing, Eka N.A.M., SH, M.Hum https://sumut.kemenkumham.go.id/berita-


kanwil/berita-utama/kedudukan-anak-luar-nikah-pasca-putusan-mk-nomor-
46puu-viii2010 diakses pada 8 Desember 2022

https://sihamak.com/penerapan-teknologi-dalam-bidang-
hukum/#:~:text=Penerapan%20Teknologi%20dalam%20bidang%20hukum.%20
Teknologi%20dalam%20bidang,penggendara%20yang%20sering%20melanggar
%20tata%20tertib%20lalu%20lintas. Diakses pada 8 Desember 2022

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan


Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017

Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2019 tentang


Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin

16

Anda mungkin juga menyukai