Anda di halaman 1dari 15

HUKUM ISLAM

(Didelesaikan Guna Memenuhi Tugas Makalah)

Dosen Pengampu : Redyana Lutfianidha


Oleh : Fengki Fadriansya

FAKULTAS HUKUM
PRODI S1 ILMU HUKUM
UNIVERSITAS BAKTI INDONESIATAHUN 2023

1
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya
makalah berjudul “HUKUM ISLAM” dapat diselesaikan dengan baik dan tak lupa juga penulis
mengucapkan terimakasih kepada orang tua dan keluarga yang selalu mendukung dalam
menuntut ilmu dibangku perkuliahan ini. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih
yang sedalam-dalamnya kepada dosen mata kuliah “HUKUM ISLAM” yang telah memberikan
pembelajaran yang bermanfaat, sehingga tugas makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat
pada waktunya. Mudah-mudahan makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua.

Banyuwangi, 3 Mei 2023

2
DAFTAR ISI

Halaman Depan…………………………………………………….………. 1

Kata Pengantar………………………………………….………………….. 2

Daftar Isi ………………………………………………………….………… 3

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang ………………………………………………….……..... 4

Rumusan Masalah ………………………………………..……………... 5

Tujuan……...……………………………………………….….……….... 5

BAB II PEMBAHASAN

Sejarah Hukum Islam………………………………………………….…. 6

Ruang Lingkup Hukum Islamiii……………………………………....….. 6

Teori-teori Hukum Islam…………………………………………………. 9

Paradigma Hukum Islam ………………………………….…………….. 10

BAB III PENUTUP

Kesimpulan………………………………………………………………. 14

Saran……………………………………………………….……………. 14

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejarah perkembangan hukum islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari


sejarah islam itu sendiri. Membicarakan hukum islam sama artinya dengan
membicarakan islam sebagai sebuah agama Benarlah apa yang di katakan oleh
Joseph Sacht, tidak mungkin mempelajari islami tanpa mempelajari hukum islam
Ini menunjukkan bahwa hukum sebagai sebuah instansi agama memiliki
kedudukan yang sangat signifikan.

Hukum islam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari ajaran agama islam,
merupakan sumber hukum yang penting untuk dilembagakan di indonesia.
Karenasecara empirik hukum islam merupakan hukum yang hidup (the living
law)1

Untuk mengaktualkan dan memberlakukan hukum islam secara kaffah bagi


pemeluknya, maka para pemikir hukum islam merumuskan bebarapa teori ber-
lakunya hukum islam.2 Teori-teori ini Dirumuskan dengan tujuan dapat menjadi
acuan dan landasan berpikir tentang bagaimana mengaktualkan hukum Islam
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tulisan ini bukan hanya mengetengahkan bagaimana mengaktualkan hukum


islam, tetapi lebih menekankan bagaimana mengaktualisasikan teori-teori tersebut
dan membuat teori-teori baru yang digunakan dalam rangka menegakkan dan

1
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta:Rajawali Press, 2006),
hlm.22
2
Teori-teori tersebut antara lain: teori Syahadat, teori Receptio In Complexu, teori Receptie Dan
teori Recptie Exit. Lihat, selengkapnya Imam Syaukani, Rekontstruksi Epistemologi Hukum Islam
Di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 67-79.

4
memberlakukan hukum Islam. Persoalan-nya adalah, teori-teori tersebut saat ini
kalau tidak bisa dikatakan usang ditelan masa. Minimal dikatakan tidak memiliki
nilai yang signifikan dan tidak secara formal dijadikan landasan yuridis dan
landasan sosiologi dalam produk-produk hukum, bahkan hukum Islam sekalipun,
sehingga tampak teori-teori terkesan hanya terbaca dalam catatan sejarah
perkembangan hukum Islam di Indonesia dan terlihat dan serius dalam forum-
forum diskusi ilmiah.

1.1 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah hukum islam berkembang?
2. Bagaimana ruang lingkup hukum islam itu ada?
3. Apa saja teori-teori hukum islam?
4. Bagaimana paradigma hukum islam di Indonesia?
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah hukum islam itu berkembang.
2. Untuk mengetahui apa saja teori-teori hukum islam tersebut.
3. Untuk mengetahui Legalitas ruang lingkup hukum islam.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Hukum Islam

Hukum islam berkembang sejalan dengan perkembangaan dan perluasan


Wilayah islam serta hubungannya dengan budaya dan umat lain. Perkembangan
itu tampak sekali pada awal periode empat khalifah pertama Yang disebut Al –
Khulafaur Rasyidin (11 – 14 H), Pada zaman ini wahyu Telah terhenti sementara
berbagai peristiwa hukum bermunculan di sana-sini Sehingga memerlukan
penyelesaian hukum.
Hukum Islam dalam perjalanan sejarahnya yang awal merupakan suatu
kekuatan Yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah
mazhab hukum Yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang
sosiokultural dan politik Dimana mazhab hukum itu tumbuh dan berkembang.
Perkembangan yang dinamis dan kreatif ini setidak didorong oleh empat faktor
utama: pertama,dorongan keagamaan, Karena Islam merupakan sumber norma
dan nilaitif yang mengatur seluruh aspek Kehidupan umat Islam,Kedua, dengan
meluasnya domain politik Islam pada masa Khalifah Umar terjadi pergeseran-
pergeseran sosial yang pada gilirannya menimbulkan Sejumlah besar problem
baru sehubungan dengan hukum Islam. Ketiga, independensi Para spesialis
hukum Islam dari kekuasaan politik. Keempat, fleksibilitas hukum Islam Yang
memampukannya untuk berkembang mengatasi ruang dan waktu.3

2.2 Ruang Lingkup Hukum Islam

Membicarakan syariat dalam arti hukum Islam, maka terjadi pemisahan-


pemisahan bidang hukum sebagai disiplin ilmu hukum. Sesungguhnya hukum
3
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media,2001),

hlm.23.

6
Islam tidak membedakan secara tegas antara wilayah hukum privat dan hukum
publik, seperti yang dipahami dalam ilmu hukum Barat. Hal ini karena dalam
hukum privat Islam terdapat segi-segi hukum publik; demikian juga sebaliknya.
Ruang lingkup hukum Islam dalam arti fiqih Islam meliputi: ibadah dan
muamalah.

Ibadah mencakup hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Sedangkan


muamalat dalam pengertian yang sangat luas terkait dengan hubungan antara
manusia dengan sesamanya. Dalam konteks ini, muamalah mencakup beberapa
bidang, di antaranya: (a) munâkahat, (b) wirâtsah, (c) mu’âmalat dalam arti
khusus, (d) jinâyat atau uqûbat, (e) al-ahkâm as-shulthâniyyah (khilafah), (f)
siyâr, dan (g) mukhâsamat.4

Apabila Hukum Islam disistematisasikan seperti dalam tata Hukum Indonesia,


maka akan tergambarkan bidang ruang lingkup Muamalat dalam arti luas sebagai
berikut.5

1. Hukum Perdata
Hukum perdata Islam meliputi:
a. Munâkahât, mengatur segala sesuatu yang Berhubungan dengan
perkawinan dan perceraian Serta segala akibat hukumnya;
b. Wirâtsat, mengatur segala masalah dengan pewaris, Ahli waris, harta
peninggalan, serta pembagian warisan. Hukum warisan Islam ini
disebut juga hukum
farâidh;
c. Mu’âmalah dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan dan
hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam masalah jual beli,
sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, kontrak, dan
ssebagainya
2. Hukum Publik
4
M.Rasyidi, Keutamaan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), hlm. 25.
5
A. Rahmat Rosyadi, Formalisasi Syariat Islam dalam Persfektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 52

7
Hukum publik Islam meliputi:
a. Jinâyah, yang memuat aturan-aturan mengenai Perbuatan-perbuatan
yang diancam dengan hukuman, Baik dalam jarîmah hudûd (pidana
berat) maupun Dalam jarîmah ta’zîr (pidana ringan). Yang dimaksud
Dengan jarîmah adalah tindak pidana. Jarîmah hudûd Adalah
perbuatan pidana yang telah ditentukan Bentuk dan batas hukumnya
dalam al-Quran dan as-Sunnah (hudûd jamaknya hadd, artinya batas).
Jarîmah Ta’zîr adalah perbuatan tindak pidana yang bentuk Dan
ancaman hukumnya ditentukan oleh penguasa Sebagai pelajaran bagi
pelakunya (ta’zîr artinya ajaran Atau pelajaran).
b. Al-Ahkâm as-Shulthâniyyah, membicarakan permasa-Lahan yang
berhubungan dengan kepala negara/Pemerintahan, hak pemerintah
pusat dan daerah, Tentang pajak, dan sebagainya.
c. Siyâr, mengatur urusan perang dan damai, tata Hubungan dengan
pemeluk agama lain dan negara Lain.
d. Mukhâsamat, mengatur soal peradilan, kehakiman, Dan hukum acara.

Dalam hukum Islam dikenal konsep kecakapan hukum yang Biasa disebut
ahliyyah. Kecakapan ini terkait dengan mampu Tidaknya seseorang menjalankan
fungsinya sebagai subjek hukum Yang sempurna. Ada dua klasifikasi ahliyyah,
yakni ahliyyah al-adâ’Dan ahliyyah al-wujûb. Yang pertama terkait dengan
kecakapan Seseorang untuk menunaikan tindakan hukum. Sedangkan yang Kedua
terkait dengan kecapakan seseorang untuk menerima hak, Meskipun belum
mampu menunaikan kewajiban, misalnya ahliyyah Al-wujûb dalam hak waris
bagi bayi.6

Subjek hukum dalam hukum Islam berbeda dengan subjek hukum dalam hukup
positif di Indonesia. Dalam hukum positif Indonesia yang dimaksud dengan
subjek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi
pendukung (dapat memiliki hak dan kewajiban). Dalam kamus Ilmu Hukum

6
bd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 96.

8
subjek hukum disebut juga dengan “Orang atau pendukung hak dan kewajiban”.
Dalam artian subjek hukum memiliki kewenangan untuk bertindak menurut tata
cara yang ditentukan dan dibenarkan hukum. Sehingga di dalam ilmu hukum yang
dikenal sebagai subjek hukum adalah manusia dan badan hukum.7

2.3 Teori – Teori Hukum Islam

Hukum islam semakin mendapat tantangan, ketika penjajah belanda mem-


berlakukan teori receptie.Memperhatikan teori ini dengan mengkorelasikan posisi
umat dan hukum islam waktu itu, teori ini bukan sekedar tantangan, tetapi jelas
mengurangi keberadaan dan penegakan hukum islam di indonesia. Sebab bukan
saja hukum islam dibatasi pemberlskuannya pada pemeluk agama lain, tetapi
terhadap pemeluk agama islam pun dibatasi pemberlakuannya.8

Apa yang tertera dalam rumusan teori Receptie dengan kata disahkan
menunjukan kekuatan adat setempat, dan hal itu tidak bisa dipungkiri
keberadaanya. Sebab pada saat sebelum Indonesia merdeka, yang sangat kuat
adalah adat. Namun berputarnya waktu dan bergantinya kekuasaan dari
pemerintahan Hindia Belanda kepemerintahan Negara Kesatuan Rapublik
Indonesia, teori itu tidak berlangsung lama dan digantikan oleh teori-teori lain
sesudahnya. Dengan demikian, teori Recptie dapat diaktualisasikan dengan
mengambil muatan positifnya

Teori Receptie Exit; Teori ini dikembangkan oleh Hazairin, yang


menyatakan bahwa hukum agama di bidang hukum perdata dan pidana diserap
menjadi hukum nasional. Mengamati teori ini, memberi petunjuk bahwa teori-
teori yang diketengahkan di atas adalah saling mendukung. Mendukung teori
syahadat, sebab menginginkan semua hukum yang ada dalam agama Islam bisa
berlaku dan harus dipatuhi secara nasional, mendukung teori receptie in
Complexu, sebab semua agama membuat hukumnya sendiri menjadi hukum
7
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 28.
8
Teori Receptie adalah hukum Islam bisa Berlaku apabila telah diresepsi atau diterima oleh
Hukum adat. Lihat Imam Syaukani, op. Cit, h. 76.

9
positif dan berlaku bagi pemeluknya masing-masing. Mendukung teori Receptie,
sebab dalam teori sosiologi.

Hukum mengatakan bahwa hukum dibuat dari rakyat untuk rakyat. Olehnya
itu, hukum-hukum adat yang berlaku dalam masyarakat dapat menjadi
pertimbangan untuk menjadi hukum nasional, dan dapat dipatuhi secara nasional.

Teori-teori yang dikemukakan di atas adalah sebahagian dari teori-teori yang


melingkari dinamika perkembangan hukum Islam di Indonesia. Keempat teori
berlakunya hukum Islam yang di kemukakan adalah dapat dijadikan dasar acuan
bagaimana perjuangan hukum Islam. Sebab pada periode lahirnya teori-teori
tersebut hukum Islam banyak mendapat tantangan, Baik sebelum kemerdekaan
maupun pasca kemerdekaan.

2.4 Paradigma Hukum Islam

Sebelum beranjak ke dalam pembahasan paradigma kontemporer secara


seksama, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu apa itu paradigma. Dalam setiap
pembicaraan, paradigma selalu digunakan dan disebut-sebut oleh banyak
kalangan.

Istilah ”paradigma” secara harfiah dapat berarti kaidah, dalil, tasrif dan pola
dari suatu teori yang dianggap benar dan baku.9 teori yang dianggap benar dan
baku dapat dijadikan asumsi atau proposisi sehingga dapat dijadikan pijakan
kegiatan ilmiah. Berangkat dari konsep tentang paradigma ini, lantas melahirkan
konsep-konsep turunannya seperti world view (pandangan dunia), frame work
(kerangka kerja), logical frame work analysis dan mindset. Misalnya, keyakinan
bahwa kitab suci merupakan wahyu dari Tuhan dan memiliki kebenaran, lantas
dijadikan rujukan dalam berfikir, bersikap, dan berperilaku. Pola pikir yang
berpedoman pada keyakinan akan kebenaran firman Tuhan, disebut paradigma

9
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), hlm.
566.

10
teologis, yaitu pandangan dunia dan mindset yang muncul dari sebuah keyakinan
teologis, bersumber dari Tuhan.10

Kerangka berpikir tekstual menjadi ciri khas berpikir bagi penganut


paradigma normatif (klasik). Namun sekali lagi, hal itu tidak cukup memadai
dalam menghadapi berbagai macam persoalan yang begitu kompleks. Sehingga
paradigma itu kemudian direkonstruksi melalui model pendekatan baru yang lebih
bersahabat, yaitu paradigma alternatif (kontemporer).

Ada beberapa poin yang menjadi tanda elastisitas paradigma alternatif ini.
Pertama, paradigma teologis yang dikembangkan, tidak lagi bersifat teosentris,
melainkan telah berintegrasi dengan wilayah sosio-antropologis yang kemudian
lumrah disebut teo-antroposentris. Paradigma ini, lebih banyak memberikan porsi
pada akal sebagai analisis integral yang cukup memadai. Kita tahu bahwa dalam
sejarah awal pertumbuhan Islam, hubungan akal dan wahyu tidak “seromantis”
seperti sekarang ini.11

Wahyu mendapat kedudukan tinggi sebagai sumber kebenaran mutlak.


Sementara akal dianggap pelengkap yang tidak banyak memberikan sumbangsih
atas kebenaran yang dimaksud. Setiap keputusan akal yang tidak sejalan dengan
wahyu dianggap menyimpang dan bahkan diklaim keluar dari Islam. Tetapi,
paradigma alternatif (kontemporer) mencoba meredam itu dengan jalan
mengintegrasikan posisi wahyu dan akal secara proporsional. Kebenaran tidak
semata ada pada wahyu, melainkan akal juga memiliki sisi rasionalitasnya dalam
mengungkap kebenaran, minimal dalam hal baik dan buruknya sesuatu12

Determinisme teologis tidak digunakan lagi dalam paradigma ini. Bahkan


menerima hukum kausalitas sebagai salah satu implementasi berpikir secara

10
Muhyar Fanani, “Menelusuri Epistemologi Ilmu Ushul Fiqh,” dalam Jurnal Mukaddimah, No. 9
Th.VI/2000, hlm. 27-28.
11
Ahmad Mahmud Subhi, Dirâsât Falsafiyyah fi ‘Ilm al-Kalâm (ttp.: Dâr al-Kutub al-Jami’iyyah,
1969), hlm. 4.
12
Al-Gazzâlî, al-Mustasyfâ, hlm. 9; Amin Abdullah, The Idea of Universality of Ethical Norms in
Ghazali and Kant (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992), hlm. 72 dan 75.

11
rasional. Kausalitas tidak dimasukkan ke dalam tataran teologis murni. Namun
tetap menjadi ikon kerangka berpikir yang ideal. Terbukanya ruang gerak akal
dalam metode menggali hukum menjadi ciri khas paradigma alternatif ini.

Kedua, secara linguistik, paradigma alternatif menaruh sikap skeptis terhadap


fungsionalisme bahasa yang bercorak sempurna. Artinya, bahasa tidak lagi
dipahami sebagai alat menyampaikan maksud dan tujuan secara murni dan bebas
nilai. Bahkan sebaliknya, bahasa masih mengandung sejumlah kekurangan
fungsionalisme yang tak bisa mewakili terhadap esensi dan tujuan yang berbicara
(Tuhan dengan kalam-Nya).13

Bahasa bukanlah milik publik yang secara sadar mampu merangkum


kebutuhan aqliah ruang publik pula. Yang benar, bahasa bersifat individual-
subyektif yang pada akhirnya memerlukan interpretasi sosio-kultural agar bahasa
yang dimaksud dapat dipahami dengan baik. Ketika Tuhan berbicara lewat
bahasa, belum tentu apa yang dimaksudkan Tuhan sama persis dengan apa yang
tersurat dalam teks. Tesis semacam inilah yang mewarnai kerangka berpikir
paradigma alternatif.14

Ketiga, pada aspek metodologis, paradigma kontemporer menggunakan


penalaran rasional tanpa kehilangan arah dan titik pijak. Tekstualitas tidak dipakai
di sini. Yang ada justru kontekstualisasi kandungan teks dengan realitas. Metode
yang dikembangkan bersifat progresif dan dinamis, bukan lagi statis dan jumud.
Akal dan an-naql(teks) dikomparasikan dengan baik dan tidak parsial, rasionalitas
berpikir ditopang oleh sakralitas wahyu. Keduanya saling melengkapi dalam
setiap penggalian hukum Islam. Maka, hasilnya pun lebih singkron dengan
kekinian.15

Sementara pada tataran epistemologi, paradigma kontemporer


menggunakan analisis yang ketat dalam membedakan mana sejarah dan mana
13
As-Syâtibî, al-Muwâfaqât, I:53.
14
al-Gazzâlî, al-Mustasyfâ, hlm. 301-302
15
Ibid dan Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, hlm. 13, 16 dan 60

12
yang termasuk mitos. Sebab, keduanya tidak bisa dipertemukan dalam satu garis
lurus. Keduanya memiliki dimensi berbeda dan saling berjauhan. Dalam
memandang sejarah dan teks, terdapat derifasi makna yang memungkinkan
adanya beragam makna dalam satu teks suci. Sebab, makna suatu teks bisa
berubah-ubah sesuai dengan kultur yang melingkupinya. Hal itu berlanjut pada
konsep historisitas nalar dalam menetapkan hukum baru yang tak ada landasan
nash sebelumnya. Dan ini sangat logis untuk dilakukan sebagai mediasi untuk
menemukan arah baru hukum Islam yang mendapat banyak tantangan seiring
dengan bergantinya zaman.16

Selanjutnya, dalam merumuskan orientasi kajian, paradigma kontemporer


memperioritaskan praksis daripada hanya konsep yang terbukukan. Hal itu dapat
dilihat dari interpretasi yang dilakukan berdasarkan kemaslahatan umat. Sehingga
hasil yang dicapai sarat dengan konsep solutif dan memiliki relevansi kuat dengan
keadaan riil. Langkah yang ditempuh berwajah kontributif dalam setiap perkara.
Konsepsi semacam itu tidak mungkin dapat terealisasi tanpa adanya komparasi
dengan disiplin ilmu yang lain. Sehingga usaha-usaha komparatif sangat menonjol
dalam paradigma alternatif ini. Namun di sisi lain, aspek filosofis menjadi benang
merah yang harus diketahui. Konsep-konsep yang ada dipoles menjadi sistem
nilai berasaskan filosofi yang sangat kuat. Maka dari itulah , corak pandang
seperti ini menjadi bagian terpenting sebagai paradigma alternatif yang
diharapkan mampu menjawab tantangan kurun zaman.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
16
Bernard G. Weiss, The search for God’s Law, hlm. 124

13
Hukum Islam dalam perjalanan sejarahnya yang awal merupakan suatu
kekuatan Yang dinamis dan kreatif. Dalam hukum Islam dikenal konsep
kecakapan hukum yang Biasa disebut ahliyyah. Kecakapan ini terkait dengan
mampu Tidaknya seseorang menjalankan fungsinya sebagai subjek hukum Yang
sempurna. Hukum islam semakin mendapat tantangan, ketika penjajah belanda
mem-berlakukan teori receptie.Memperhatikan teori ini dengan mengkorelasikan
posisi umat dan hukum islam waktu itu, teori ini bukan sekedar tantangan, tetapi
jelas mengurangi keberadaan dan penegakan hukum islam di indonesia.
paradigma kontemporer menggunakan analisis yang ketat dalam membedakan
mana sejarah dan mana yang termasuk mitos. Sebab, keduanya tidak bisa
dipertemukan dalam satu garis lurus.

3.2 SARAN

Hukum islam di Indonesia masih banyak kekosongan hukum di dalam nya


jadi saran saya agar pemerintah untuk mengatur ulang undang undang kompilasi
hukum Islam di Indonesia karena masih banyak yg tidak sesuai dengan Al-Qur’an
dan Hadist

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, (2006), Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:Rajawali
Press, Hlm.22
Teori-teori tersebut antara lain: (2006), teori Syahadat, teori Receptio In
Complexu, teori Receptie Dan teori Recptie Exit. Lihat, selengkapnya Imam
Syaukani, Rekontstruksi Epistemologi Hukum Islam Di Indonesia Jakarta:
RajaGrafindo Persada, h. 67-79.

14
Ahmad Rofiq, (2001), Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta:
Gama Media, Hlm.23.
M.Rasyidi, (1971), Keutamaan Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 25.
Rahmat Rosyadi, (2006), Formalisasi Syariat Islam dalam Persfektif Tata Hukum
Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, hlm. 52
Bd.Rahman Dahlan, (2011), Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, hlm. 96.
Marwan Mas, (2004), Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 28.
Teori Receptie adalah hukum Islam bisa Berlaku apabila telah diresepsi atau
diterima oleh Hukum adat. Lihat Imam Syaukani, op. Cit, h. 76.
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, (1994), Kamus Ilmiah Populer.
Surabaya: Arkola, hlm. 566.
Muhyar Fanani, (2000), “Menelusuri Epistemologi Ilmu Ushul Fiqh,” dalam
Jurnal Mukaddimah, No. 9 Th.VI/ hlm. 27-28
Ahmad Mahmud Subhi, (1996), Dirâsât Falsafiyyah fi ‘Ilm al-Kalâm, ttp.: Dâr al-
Kutub al-Jami’iyyah, hlm. 4.
Al-Gazzâlî, al-Mustasyfâ, hlm. 9; (1992), Amin Abdullah, The Idea of Universality
of Ethical Norms in Ghazali and Kant Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi,
hlm. 72 dan 75.
al-Gazzâlî, al-Mustasyfâ, hlm. 301-302
Ibid dan Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, hlm. 13, 16 dan 60
Bernard G. Weiss, The search for God’s Law, hlm. 124
Syamsul Anwar, (2002), “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam,”
Profetika, Jurnal Program Magister Studi Islam UMS Surakarta, Vol. 4,
No. 1 Hlm. 133-134

15

Anda mungkin juga menyukai