FAKULTAS HUKUM
PRODI S1 ILMU HUKUM
UNIVERSITAS BAKTI INDONESIATAHUN 2023
1
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya
makalah berjudul “HUKUM ISLAM” dapat diselesaikan dengan baik dan tak lupa juga penulis
mengucapkan terimakasih kepada orang tua dan keluarga yang selalu mendukung dalam
menuntut ilmu dibangku perkuliahan ini. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih
yang sedalam-dalamnya kepada dosen mata kuliah “HUKUM ISLAM” yang telah memberikan
pembelajaran yang bermanfaat, sehingga tugas makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat
pada waktunya. Mudah-mudahan makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua.
2
DAFTAR ISI
Halaman Depan…………………………………………………….………. 1
Kata Pengantar………………………………………….………………….. 2
BAB I PENDAHULUAN
Tujuan……...……………………………………………….….……….... 5
BAB II PEMBAHASAN
Kesimpulan………………………………………………………………. 14
Saran……………………………………………………….……………. 14
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum islam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari ajaran agama islam,
merupakan sumber hukum yang penting untuk dilembagakan di indonesia.
Karenasecara empirik hukum islam merupakan hukum yang hidup (the living
law)1
1
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta:Rajawali Press, 2006),
hlm.22
2
Teori-teori tersebut antara lain: teori Syahadat, teori Receptio In Complexu, teori Receptie Dan
teori Recptie Exit. Lihat, selengkapnya Imam Syaukani, Rekontstruksi Epistemologi Hukum Islam
Di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 67-79.
4
memberlakukan hukum Islam. Persoalan-nya adalah, teori-teori tersebut saat ini
kalau tidak bisa dikatakan usang ditelan masa. Minimal dikatakan tidak memiliki
nilai yang signifikan dan tidak secara formal dijadikan landasan yuridis dan
landasan sosiologi dalam produk-produk hukum, bahkan hukum Islam sekalipun,
sehingga tampak teori-teori terkesan hanya terbaca dalam catatan sejarah
perkembangan hukum Islam di Indonesia dan terlihat dan serius dalam forum-
forum diskusi ilmiah.
5
BAB II
PEMBAHASAN
hlm.23.
6
Islam tidak membedakan secara tegas antara wilayah hukum privat dan hukum
publik, seperti yang dipahami dalam ilmu hukum Barat. Hal ini karena dalam
hukum privat Islam terdapat segi-segi hukum publik; demikian juga sebaliknya.
Ruang lingkup hukum Islam dalam arti fiqih Islam meliputi: ibadah dan
muamalah.
1. Hukum Perdata
Hukum perdata Islam meliputi:
a. Munâkahât, mengatur segala sesuatu yang Berhubungan dengan
perkawinan dan perceraian Serta segala akibat hukumnya;
b. Wirâtsat, mengatur segala masalah dengan pewaris, Ahli waris, harta
peninggalan, serta pembagian warisan. Hukum warisan Islam ini
disebut juga hukum
farâidh;
c. Mu’âmalah dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan dan
hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam masalah jual beli,
sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, kontrak, dan
ssebagainya
2. Hukum Publik
4
M.Rasyidi, Keutamaan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), hlm. 25.
5
A. Rahmat Rosyadi, Formalisasi Syariat Islam dalam Persfektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 52
7
Hukum publik Islam meliputi:
a. Jinâyah, yang memuat aturan-aturan mengenai Perbuatan-perbuatan
yang diancam dengan hukuman, Baik dalam jarîmah hudûd (pidana
berat) maupun Dalam jarîmah ta’zîr (pidana ringan). Yang dimaksud
Dengan jarîmah adalah tindak pidana. Jarîmah hudûd Adalah
perbuatan pidana yang telah ditentukan Bentuk dan batas hukumnya
dalam al-Quran dan as-Sunnah (hudûd jamaknya hadd, artinya batas).
Jarîmah Ta’zîr adalah perbuatan tindak pidana yang bentuk Dan
ancaman hukumnya ditentukan oleh penguasa Sebagai pelajaran bagi
pelakunya (ta’zîr artinya ajaran Atau pelajaran).
b. Al-Ahkâm as-Shulthâniyyah, membicarakan permasa-Lahan yang
berhubungan dengan kepala negara/Pemerintahan, hak pemerintah
pusat dan daerah, Tentang pajak, dan sebagainya.
c. Siyâr, mengatur urusan perang dan damai, tata Hubungan dengan
pemeluk agama lain dan negara Lain.
d. Mukhâsamat, mengatur soal peradilan, kehakiman, Dan hukum acara.
Dalam hukum Islam dikenal konsep kecakapan hukum yang Biasa disebut
ahliyyah. Kecakapan ini terkait dengan mampu Tidaknya seseorang menjalankan
fungsinya sebagai subjek hukum Yang sempurna. Ada dua klasifikasi ahliyyah,
yakni ahliyyah al-adâ’Dan ahliyyah al-wujûb. Yang pertama terkait dengan
kecakapan Seseorang untuk menunaikan tindakan hukum. Sedangkan yang Kedua
terkait dengan kecapakan seseorang untuk menerima hak, Meskipun belum
mampu menunaikan kewajiban, misalnya ahliyyah Al-wujûb dalam hak waris
bagi bayi.6
Subjek hukum dalam hukum Islam berbeda dengan subjek hukum dalam hukup
positif di Indonesia. Dalam hukum positif Indonesia yang dimaksud dengan
subjek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi
pendukung (dapat memiliki hak dan kewajiban). Dalam kamus Ilmu Hukum
6
bd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 96.
8
subjek hukum disebut juga dengan “Orang atau pendukung hak dan kewajiban”.
Dalam artian subjek hukum memiliki kewenangan untuk bertindak menurut tata
cara yang ditentukan dan dibenarkan hukum. Sehingga di dalam ilmu hukum yang
dikenal sebagai subjek hukum adalah manusia dan badan hukum.7
Apa yang tertera dalam rumusan teori Receptie dengan kata disahkan
menunjukan kekuatan adat setempat, dan hal itu tidak bisa dipungkiri
keberadaanya. Sebab pada saat sebelum Indonesia merdeka, yang sangat kuat
adalah adat. Namun berputarnya waktu dan bergantinya kekuasaan dari
pemerintahan Hindia Belanda kepemerintahan Negara Kesatuan Rapublik
Indonesia, teori itu tidak berlangsung lama dan digantikan oleh teori-teori lain
sesudahnya. Dengan demikian, teori Recptie dapat diaktualisasikan dengan
mengambil muatan positifnya
9
positif dan berlaku bagi pemeluknya masing-masing. Mendukung teori Receptie,
sebab dalam teori sosiologi.
Hukum mengatakan bahwa hukum dibuat dari rakyat untuk rakyat. Olehnya
itu, hukum-hukum adat yang berlaku dalam masyarakat dapat menjadi
pertimbangan untuk menjadi hukum nasional, dan dapat dipatuhi secara nasional.
Istilah ”paradigma” secara harfiah dapat berarti kaidah, dalil, tasrif dan pola
dari suatu teori yang dianggap benar dan baku.9 teori yang dianggap benar dan
baku dapat dijadikan asumsi atau proposisi sehingga dapat dijadikan pijakan
kegiatan ilmiah. Berangkat dari konsep tentang paradigma ini, lantas melahirkan
konsep-konsep turunannya seperti world view (pandangan dunia), frame work
(kerangka kerja), logical frame work analysis dan mindset. Misalnya, keyakinan
bahwa kitab suci merupakan wahyu dari Tuhan dan memiliki kebenaran, lantas
dijadikan rujukan dalam berfikir, bersikap, dan berperilaku. Pola pikir yang
berpedoman pada keyakinan akan kebenaran firman Tuhan, disebut paradigma
9
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), hlm.
566.
10
teologis, yaitu pandangan dunia dan mindset yang muncul dari sebuah keyakinan
teologis, bersumber dari Tuhan.10
Ada beberapa poin yang menjadi tanda elastisitas paradigma alternatif ini.
Pertama, paradigma teologis yang dikembangkan, tidak lagi bersifat teosentris,
melainkan telah berintegrasi dengan wilayah sosio-antropologis yang kemudian
lumrah disebut teo-antroposentris. Paradigma ini, lebih banyak memberikan porsi
pada akal sebagai analisis integral yang cukup memadai. Kita tahu bahwa dalam
sejarah awal pertumbuhan Islam, hubungan akal dan wahyu tidak “seromantis”
seperti sekarang ini.11
10
Muhyar Fanani, “Menelusuri Epistemologi Ilmu Ushul Fiqh,” dalam Jurnal Mukaddimah, No. 9
Th.VI/2000, hlm. 27-28.
11
Ahmad Mahmud Subhi, Dirâsât Falsafiyyah fi ‘Ilm al-Kalâm (ttp.: Dâr al-Kutub al-Jami’iyyah,
1969), hlm. 4.
12
Al-Gazzâlî, al-Mustasyfâ, hlm. 9; Amin Abdullah, The Idea of Universality of Ethical Norms in
Ghazali and Kant (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992), hlm. 72 dan 75.
11
rasional. Kausalitas tidak dimasukkan ke dalam tataran teologis murni. Namun
tetap menjadi ikon kerangka berpikir yang ideal. Terbukanya ruang gerak akal
dalam metode menggali hukum menjadi ciri khas paradigma alternatif ini.
12
yang termasuk mitos. Sebab, keduanya tidak bisa dipertemukan dalam satu garis
lurus. Keduanya memiliki dimensi berbeda dan saling berjauhan. Dalam
memandang sejarah dan teks, terdapat derifasi makna yang memungkinkan
adanya beragam makna dalam satu teks suci. Sebab, makna suatu teks bisa
berubah-ubah sesuai dengan kultur yang melingkupinya. Hal itu berlanjut pada
konsep historisitas nalar dalam menetapkan hukum baru yang tak ada landasan
nash sebelumnya. Dan ini sangat logis untuk dilakukan sebagai mediasi untuk
menemukan arah baru hukum Islam yang mendapat banyak tantangan seiring
dengan bergantinya zaman.16
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
16
Bernard G. Weiss, The search for God’s Law, hlm. 124
13
Hukum Islam dalam perjalanan sejarahnya yang awal merupakan suatu
kekuatan Yang dinamis dan kreatif. Dalam hukum Islam dikenal konsep
kecakapan hukum yang Biasa disebut ahliyyah. Kecakapan ini terkait dengan
mampu Tidaknya seseorang menjalankan fungsinya sebagai subjek hukum Yang
sempurna. Hukum islam semakin mendapat tantangan, ketika penjajah belanda
mem-berlakukan teori receptie.Memperhatikan teori ini dengan mengkorelasikan
posisi umat dan hukum islam waktu itu, teori ini bukan sekedar tantangan, tetapi
jelas mengurangi keberadaan dan penegakan hukum islam di indonesia.
paradigma kontemporer menggunakan analisis yang ketat dalam membedakan
mana sejarah dan mana yang termasuk mitos. Sebab, keduanya tidak bisa
dipertemukan dalam satu garis lurus.
3.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, (2006), Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:Rajawali
Press, Hlm.22
Teori-teori tersebut antara lain: (2006), teori Syahadat, teori Receptio In
Complexu, teori Receptie Dan teori Recptie Exit. Lihat, selengkapnya Imam
Syaukani, Rekontstruksi Epistemologi Hukum Islam Di Indonesia Jakarta:
RajaGrafindo Persada, h. 67-79.
14
Ahmad Rofiq, (2001), Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta:
Gama Media, Hlm.23.
M.Rasyidi, (1971), Keutamaan Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 25.
Rahmat Rosyadi, (2006), Formalisasi Syariat Islam dalam Persfektif Tata Hukum
Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, hlm. 52
Bd.Rahman Dahlan, (2011), Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, hlm. 96.
Marwan Mas, (2004), Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 28.
Teori Receptie adalah hukum Islam bisa Berlaku apabila telah diresepsi atau
diterima oleh Hukum adat. Lihat Imam Syaukani, op. Cit, h. 76.
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, (1994), Kamus Ilmiah Populer.
Surabaya: Arkola, hlm. 566.
Muhyar Fanani, (2000), “Menelusuri Epistemologi Ilmu Ushul Fiqh,” dalam
Jurnal Mukaddimah, No. 9 Th.VI/ hlm. 27-28
Ahmad Mahmud Subhi, (1996), Dirâsât Falsafiyyah fi ‘Ilm al-Kalâm, ttp.: Dâr al-
Kutub al-Jami’iyyah, hlm. 4.
Al-Gazzâlî, al-Mustasyfâ, hlm. 9; (1992), Amin Abdullah, The Idea of Universality
of Ethical Norms in Ghazali and Kant Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi,
hlm. 72 dan 75.
al-Gazzâlî, al-Mustasyfâ, hlm. 301-302
Ibid dan Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, hlm. 13, 16 dan 60
Bernard G. Weiss, The search for God’s Law, hlm. 124
Syamsul Anwar, (2002), “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam,”
Profetika, Jurnal Program Magister Studi Islam UMS Surakarta, Vol. 4,
No. 1 Hlm. 133-134
15