Anda di halaman 1dari 21

ukum Islam Semester II

   

M. HIDAYAT, S.H.,M.Hum.
0720107605

MATERIPERKULIAHAN

HUKUM ISLAM

2016
 
 
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
I.            POKOK-POKOK BAHASAN DALAM HUKUM ISLAM
II.         KERANGKA DASAR, RUANG LINGKUP, CIRI-CIRI
DAN TUJUAN HUKUM ISLAM
III.       SUMBER, ASAS-ASAS HUKUM ISLAM DAN
AL-AHKAM AL-KHAMSAH
IV.        HUKUM ISLAM DI INDONESIA
V.           PERADILAN AGAMA
VI.        KOMPILASI HUKUM ISLAM
VII.      DAFTAR PUSTAKA
POKOK-POKOK BAHASAN DALAM HUKUM ISLAM

I.    KERANGKA DASAR, RUANG LINGKUP, CIRI-CIRI DAN TUJUAN HUKUM ISLAM

1. Hukum Islam Dalam Kurikulum Fakultas Hukum


2. Kerangka Dasar Agama dan Hukum Islam
3. Ruang lingkup Hukum Islam
4. Ciri-ciri Hukum Islam
5. Tujuan Hukum Islam
6. Salah Paham Terhadap Islam dan Hukum Islam

II. SUMBER, ASAS-ASAS HUKUM ISLAM DAN AL-AHKAM AL-KHAMSAH

1.    Pengertian Sumber Hukum Islam

2.    Sumber-sumber Hukum Islam

A.   Al-Qur’an

B.    As-Sunnah atau Al-Hadits

C.   Akal Pikiran (al-Ra’yu atau Ijtihad)

- Metode-metode Berijtihad: Ijma; Qiyas; Urf; Istihsan; dll.

3. Asas-asas Hukum Islam

A.   Asas-asas Umum


B.    Asas-asas Hukum Pidana
C.   Asas-asas Hukum Perdata
D.   Asas-asas Hukum Perkawinan
E.    Asas-asas Hukum Kewarisan

4.    Al-Ahkam al-Khamsah

III.   HUKUM ISLAM DI INDONESIA

1.    Kedudukan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia


2.    Hukum Islam dan Pembinaan Hukum Nasional

IV. PERADILAN AGAMA

 Pendahuluan
 Undang-undang Peradilan Agama
 Susunannya
 Kekuasaan Peradilan Agama
 Hukum Acara
 Ketentuan-ketentuan Lain
 Ketentuan Peralihan
 Ketentuan Penutup

V. KOMPILASI HUKUM ISLAM

 Buku I tentang Perkawinan


 Buku II tentang Kewarisan
 Buku III tentang Perwakafan 
 Amandemen UUPengadilan Agama

 I. KERANGKA DASAR, RUANG LINGKUP, CIRI-CIRI DAN TUJUAN HUKUM


ISLAM

1.   Hukum Islam Dalam Kurikulum Fakultas Hukum

Apa sebabnya Hukum Islam ada di dalam Kurikulum Fakultas Hukum ?


Jawabannya, antara lain, adalah sebagai berikut:

1. Karena Alasan Sejarah (Rechts Hogeschool – diajarkan hukum Islam)

2. Karena Alasan Penduduk (mayoritas Penduduk Islam)

3. Karena Alasan Yuridis

a.    secara normative, secara normative adalah (bagian) hukum Islam yang mempunyai
sanksi kemasyarakatan apabila norma-normanya dilanggar.
b.    secara formal yuridis adalah (bagian) hukum Islam yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Bagian hukum Islam ini
menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-
undangan, seperti misalnya hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum wakaf
yang telah dikompilasikan (1988), hukum zakat dan sebagainya. Untuk menegakkan
hukum Islam yang telah menjadi bagian hukum positif itu, sejak tahun 1882
didirikan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Dalam system peradilan di
Indonesia kedudukan pengadilan agama ini semakin kokoh, terutama setelah
Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 1970 dan Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, berlaku. Untuk menyempurnakan susunan
perlengkapan pengadilan agama dan melaksanakan ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan kehakiman termuat dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970 itu, bulan
januari 1989 pemerintah menyampaikan RUU Peradilan Agama pada DPR RI Untuk
disetujui. Tanggal 29 Desember 1989 RUU-PA itu disahkan oleh Presiden menjadi
Undang-undang Peradilan Agama, dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.

4. Alasan Konstitusional

Di bawah Bab Agama, dalam pasal 29 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945
dinyatakan bahwa Negara (Republik Indonesia) berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa.

5. Alasan Ilmiah

Sebagai bidang ilmu, hukum Islam telah lama dipelajari secara ilmiah, bukan
saja oleh orang-orang Islam sendiri tetapi juga oleh orang-orang non muslim. Orang
Barat non muslim ini, yang biasa disebut dengan istilah orientalis, mempelajari
hukum Islam dengan berbagai tujuan yang senantiasa berubah-ubah. Mula-mula
mereka mempelajari agama Islam dan hukum Islam untuk mempertahankan
kesatuan wilayah negara mereka dari pengaruh kekuasaan Islam.

2. Kerangka Dasar Agama dan Ajaran Islam

Dengan mengikuti sistematik Iman, Islam dan Ikhsan yang berasal dari hadis Nabi
Muhammad SAW, kerangka dasar agama Islam, terdiri dari :
(1) akidah,
(2) syari’ah
dan (3) akhlak.
Pada komponen syari’ah dan akhlak ruang lingkupnya jelas mengenai
ibadah, muamalah dan sikap terhadap Khalik (Allah) serta makhluk. Pada Komponen
akidah, ruang lingkup itu akan tampak pula jika dihubungkan dengan iman kepada
Allah dan para Nabi serta Rasul-Nya.
Yang dimaksud dengan
Ad (1) akidah, secara etimologis (menurut ilmu bahasa yang menyelidiki asal
usul kata serta perubahan-perubahan dalam bentuk dan makna) adalah ikatan,
sangkutan. Dalam pengertian teknis makna akidah adalah iman, keyakinan yang
menjadi pegangan hidup setiap pemeluk agama Islam. Akidah, karena itu, selalu
ditautkan dengan rukun iman atau arkanul iman yang merupakan asas seluruh
ajaran Islam.
Yang dimaksud dengan
Ad (2) syari’ah, dalam pengertian etimologis adalah jalan yang harus ditempuh
(oleh setiap ummat Islam). Dalam arti teknis, syari’ah adalah seperangkat norma
Illahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan
manusia lain dalam kehidupan social, hubungan manusia dengan benda dan alam
lingkungan hidupnya. Norma Illahi yang mengatur tata hubungan itu berupa (a)
kaidah ibadah dalam arti khusus atau yang disebut juga kaidah ibadah murni,
mengatur cara dan upacara hubungan langsung manusia dengan Tuhan, dan (b)
kaidah muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan
benda dalam masyarakat.
Pada pokoknya perbedaan antara hukum Islam yang disebut (hukum) syari’at dan
hukum Islam yang disebut (hukum) fikih adalah sebagai berikut:

1.    Syari’at, terdapat di dalam al-Qur’an dan kitab-kitab Hadis. Kalau kita berbicara
tentang syari’at, yang dimaksud adalah wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad
sebagai Rasulnya. Fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih. Kalau kita berbicara tentang
fikih, yang dimaksud adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang
syari’at dan hasil pemahaman itu.
2.    syari’at bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas karena
ke dalamnya, oleh banyak ahli, dimasukkan juga akidah dan akhlak. Fikih bersifat
instrumental, ruang-lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan
manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum.
3.    syari’at adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasulnya, karena itu berlaku abadi;
fikih adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi, dapat berubah dari masa ke
masa.
4.    syari’at hanya satu, sedang fikih mungkin lebih dari satu seperti (misalnya) terlihat
pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau mazhab-mazhab
itu.
5.    syari’at menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedang fikih menunjukkan
keragamannya (Asaf A.A.Fyzee, 1955: 17, H.M.Rasjidi, 1958: 403, Ahmad Ibrahim,
1965:2, M. Khalid Masud, 1977:22, S.H.Nasr, 1981:60, Masyfuk Zuhdi, 1987:1).

Disamping akidah dan syari’ah, baik ibadah maupun muamalah tersebut di atas,
agama Islam meliputi juga
Ad (3) akhlak, Akhlak berasal dari khuluk yang berarti perangai, sikap, tingkah
laku, watak, budi pekerti. Perkataan itu mempunyai hubungan dengan sikap,
perangai, tingkah laku atau budi pekerti manusia terhadap Khalik (pencipta alam
semesta) dan makhluk (yang diciptakan).

3. Ruang-lingkup Hukum Islam

 Hukum Perdata (Islam) adalah (1) munakahat mengatur segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya; (2)
wirasah mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli
waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. Hukum Kewarisan Islam
ini disebut juga hukum fara’id; (3) muamalat dalam arti yang khusus,
mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan
manusia dalam soal jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam,
perserikatan, dan sebagainya.
 Hukum publik (Islam) adalah (4) jinayat yang memuat aturan-aturan
mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam
jarimah hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Yang dimaksud dengan jarimah
adalah perbuatan pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah
ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad (hudud jamak dari hadd = batas). Jarimah ta’zir adalah
perbuatan yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa
sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta’zir = ajaran atau pengajaran); (5) ah-
ahkam as-sulthaniyah membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan
kepala negara, pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah,
tentara, pajak dan sebagainya; (6) siyar mengatur urusan perang dan damai,
tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain; (7) mukhashamat
mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara.

4. Ciri-ciri Hukum Islam


1. merupakan bagian dan bersumber dari agama Islam;

2. mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau
akidah dan kesusilaan atau akhlak Islam;

1.     mempunyai
dua istilah kunci yakni: syari’at, fikih. terdiri dari dua bidang
utama yakni: ibadat,muamalat.

2.     strukturnya berlapis terdiri dari:

-    nas atau teks al-Qur’an


-    sunnah Nabi Muhammad
-    hasil ijtihad manusia yang memenuhi syarat tentang al-Qur’an dan as-sunnah
-    pelaksanaannya dalam praktek baik berupa keputusan hakim maupun berupa
amalan-amalan umat Islam dalam masyarakat.

3. mendahulukan kewajiban dari hak, amal dari pahala;


4. dapat dibagi menjadi dua yaitu: hukum taklift, hukum wadh’I;
5. berwatak universal, berlaku abadi untuk ummat Islam dimanapun mereka
berada, tidak terbatas pada ummat Islam di suatu tempat atau negara pada
suatu masa saja;
6. menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani dan
jasmani serta memelihara kemuliaan manusia dan kemanusiaan secara
keseluruhan;
7. pelaksanaannya dalam praktek digerakkan oleh iman dan akhlak ummat
Islam.

5. Tujuan Hukum Islam

Tujuan hukum Islam dapat dilihat dari dua segi yakni:

a.   dari segi Pembuat Hukum Islam itu sendiri yaitu Allah dan Rasul-Nya.
Tujuan hukum Islam itu adalah:
1)   untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder dan
tersier. Kebutuhan primer itu adalah kebutuhan utama yang harus dilindungi dan
dipelihara sebaik-baiknya oleh hukum Islam agar kemaslahatan hidup manusia itu
benar-benar terwujud. Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang diperlukan
untuk mencapai kehidupan primer. Kebutuhan tersier adalah kebutuhan hidup
manusia selain dari sifatnya primer dan sekunder itu yang perlu diadakan dan
dipelihara untuk kebaikan hidup manusia dalam masyarakat;
2)   untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari;
3)   supaya dapat ditaati dan dilaksanakan dengan baik dan benar, manusia wajib
meningkatkan kemampuannya untuk memahami hukum Islam dengan mempelajari
usul al fiqh yakni dasar pembentukan dan pemahaman hukum Islam sebagai
metodologinya.

b.   dari segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam itu.

Tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan yang berbahagia dan
mempertahankan kehidupan itu.

6. Salah Faham Terhadap Islam dan Hukum Islam

Kesalahfahaman terhadap Islam disebabkan karena banyak hal, namun yang relevan
dengan kajian ini adalah karena (1) salah memahami ruang lingkup ajaran
Islam, (2) salah menggambarkan kerangka dasar ajaran Islam, (3) salah
mempergunakan metode mempelajari Islam.

Kesalahfahaman:
(1) mengenai ruang lingkup ajaran Islam terjadi, misalnya, karena orang menganggap
semua agama itu sama dan ruang lingkupnya sama juga.
(2) terjadi karena orang salah menggambarkan kerangka dasar ajaran agama Islam.
Orang menggambarkan bagian-bagian agama Islam itu tidak secara menyeluruh sebagai satu
kesatuan, tetapi sepotong-sepotong atau sebagian-sebagian saja. Misalnya orang
menggambarkan atau membuat gambaran yang memberi kesan seakan-akan agama Islam itu
isinya hanyalah mengenai akidah atau iman saja, atau agama Islam itu hanya tentang syari’ah
atau hukum belaka, atau agama Islam itu hanyalah ajaran akhlak semata-mata, tanpa
meletakkan dan menghubungkan bagian-bagian itu dalam rangka dasar keterpaduan ajaran
Islam secara menyeluruh.
(3) terjadi karena salah mempergunakan metode mempelajari Islam.

II. SUMBER-SUMBER, ASAS-ASAS HUKUM ISLAM

DAN AL-AHKAM AL-KHAMSAH


1. Pengertian Sumber Hukum Islam
Sumber merupakan asal sesuatu, sedangkan sumber hukum Islam adalah asal
tempat pengambilan hukum Islam. Di Indonesia kadang-kadang disebut dengan
dalil; dasar atau pokok hukum Islam. Allah Swt. telah menentukannya sumber
tersebut dalam Surat An-nisa (4) ayat 59, setiap muslim wajib menaati (mengikuti)
kamauan atau kehendak Allah, kehendak Rasul dan kehendak Ulil Amri yakni orang
yang mempunyai kekuasaan atau penguasa.
2.   Sumber-sumber Hukum Islam

A.   Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam pertama dan utama. Ia memuat kaidah-kaidah
hukum fundamental yang perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut. Al-Qur’an
adalah kitab suci yang memuat wahyu (firman-firman ) Allah, Tuhan Yang maha Esa, asli
seperti yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya
sedikit demi sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Mekah kemudian di
Medinah untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi ummat manusia dalam hidup dan
kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia ini dan kebahagiaan di akhirat kelak.

B. As-Sunnah
As-Sunnah adalah sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an berupa perkataan
(sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’liyah) dan sikap diam (sunnah taqririyah
atau sunnah sukutiyah) Rasulullah yang tercatat (sekarang) dalam kitab-kitab hadits.
Ia merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang al-Qur’an. Melalui kitab-
kitab hadis, seorang muslim mengenal Nabi dan isi al-Qur’an. Tanpa as-sunnah
sebagian besar isi al-Qur’an akan tersembunyi dari mata manusia. Di dalam al-
Qur’an tertulis misalnya perintah untuk mengerjakan shalat. Tanpa as-sunnah orang
tidak akan tahu bagaimana cara mengerjakannya. Sunnah dari Nabi Muhammad itu
mempunyai fungsi sebagai petunjuk pelaksanaan kaidah-kaidah fundamental yang
terdapat dalam Al-Qur’an atau sebagai penjelasan atau tafsiran yang otentik
mengenai ayat-ayat al-Qur’an atau sebagai kaidah-kaidah hukum baru yang perlu
dikembangkan atau dirumuskan lebih lanjut oleh akal fikiran manusia yang
memenuhi syarat merumuskannya).

C.   Arra’yu
Arra’yu (akal fikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad karena
pengetahuan dan pengalamannya, dengan mempergunakan berbagai jalan (metode)
atau cara), diantaranya adalah (a) ijma, (b) qiyas, (c) istidlal, (d) al-mashalih al-
mursalah, (e) istihsan (g) urf. sumber hukum Islam ketiga merupakan akal fikiran
manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh
kemampuan yang ada padanya memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental
yang terdapat dalam al-Qur’an, kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum yang
terdapat dalam sunnah Nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang
dapat dilaksanakan pada suatu kasus tertentu. Atau berusahamerumuskan garis-
garis atau kaidah-kaidah hukum yang “pengaturannya” tidak terdapat di dalam
kedua sumber utama hukum Islam itu. Dasar hukum untuk mempergunakan akal
fikiran atau ra’yu untuk berijtihad dalam pengembangan hukum Islam itu adalah (1)
al-Qur’an surat an-Nisa (4) 59 (yang telah disebut diatas) yang mewajibkan juga
orang mengikuti ketentuan ulil amri (orang yang mempunyai kekuasaan atau
“penguasa”) mereka, (2) hadis Mu’az bin Jabal yang menjelaskan bahwa Mu’az
sebagai penguasa (ulil amri) di Yaman dibenarkan oleh Nabi mempergunakan
ra’yunya untuk berijtihad, dan (3) contoh yang diberikan oleh ulil amri lain yakni
Khalifah II Umar bin Khattab, beberapa tahun setelah Nabi Muhammad wafat, dalam
memecahkan berbagai persoalan hukum yang tumbuh dalam masyarakat, pada awal
perkembangan Islam.

Tidak semua orang dapat berijtihad. Yang dapat menjadi mujtahid yakni orang yang
berhak berijtihad adalah mereka yang memenuhi antara lain syarat-syarat berikut:
1)   menguasai bahasa Arab untuk dapat memahami al-Qur’an dan kitab-kitab hadis yang tertulis
dalam bahasa Arab.
2)   mengetahui isi dan system hukum al-Qur’an serta ilmu-ilmu untuk memahami al-Qur’an.
3)   mengetahui hadis-hadis hukum dan ilmu-ilmu hadis yang berkenaan dengan pembentukan
hukum.
4)   mengasai sumber-sumber hukum Islam dan cara-cara (metode) menarik garis-garis hukum
dari sumber-sumber hukum Islam itu.
5)   mengetahui dan menguasai kaidah-kaidah fikih (qawa’id-alfiqhiyyah, baca: qawaidul
fikkiyah).
6)   mengetahui rahasia dan tujuan-tujuan hukum Islam.
7)   jujur, dan ikhlas. Syarat-syarat ini diperlukan untuk seorang mujtahid mutlak dimasa lampau
namun kini untuk melakukan ijtihad yang peringkatnya lebih rendah dari mujtahid mutlak
syarat-syarat yang berat tersebut di atas, dapat diringankan. Selain dari syarat-syarat tersebut
di atas yang dapat diperingan, untuk melakukan ijtihad pada waktu ini, seorantg mujtahid
seyogyanya.
8)   menguasai ilmu-ilmu social (antropologi, sosiologi) dan ilmu-ilmu yang relevan dengan
masalah yang diijtihad itu, (9) serta dilakukan secara kolektif (jama’I) bersama para ahli
(disiplin ilmu) lain.

3. Asas-asas Hukum Islam

A.   Asas-asas umum


Asas-asas umum hukum Islam yang meliputi semua bidang dan segala lapangan
hukum Islam adalah:
(1) asas keadilan;
(2) asas kepastian hukum;
(3) asas kemanfaatan.
B.   Asas-asas dalam lapangan hukum pidana
Asas-asas dalam lapangan hukum pidana Islam antara lain adalah:
(1) asas legalitas;
(2) asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain;
(3) asas praduga tidak bersalah.

C.   Asas-asas dalam lapangan hukum perdata


Asas-asas dalam langan hukum perdata Islam antara lain adalah
(1)     asas kebolehan atau mubah;
(2)     asas kemaslahatan hidup;
(3)     asas kebebasan dan kesukarelaan;
(4)     asas menolak mudharat;
(5)     asas adil dan berimbang;
(6)     asas mendahulukan kewajiban dari hak;
(7)     asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain;
(8)     asas kemampuan berbuat;
(9)     kebebasan berusaha;
(10)  asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa;
(11)  asas perlindungan hak;
(12)  asas hak milik berfungsi social;
(13)  asas yang beriktikad baik harus dilindungi;
(14)  asas resiko dibebankan pada benda atau harta, tidak pada tenaga atau pekerja;
(15)  asas mengatur, sebagai petunjuk;
(16)  asas perjanjian tertulis atau diucapkan di depan saksi.

D. Asas-asas Hukum Perkawinan

Dalam ikatan Perkawinan sebagai salah satu bentuk perjanjian (suci) antara seorang
pria dengan seorang wanita, yang mempunyai segi-segi perdata, berlaku beberapa
asas, diantaranya adalah (1) Kesukarelaan, (2) persetujuan kedua belah fihak,(3)
kebebasan memilih, (4) kemitraan suami-istri, (5) untuk selama-lamanya, dan (6)
monogamy terbuka (karena darurat).

E. Asas-asas Hukum Kewarisan


Asas hukum kewarisan Islam yang dapat disalurkan dari al-Qur’an dan as-Sunnah,
seperti yang disinggung di muka, di antaranya adalah (1) ijbari, (2) bilateral, (3)
individual, (4) keadilan berimbang, dan (5) akibat kematian.

4. Al-AHKAM AL-KHAMSAH
Ahkam adalah jamak dari hukum. Khamsah artinya lima. Dengan demikian yang
dimaksud dengan al-ahkam al-khamsah yang disebut juga hukum taklifi adalah lima
macam kaidah atau lima kategori pernilaian mengenai benda dan tingkah laku
manusia dalam Islam, yaitu:
(1) Ja’iz ialah ukuran pernilaian dalam lingkup hidup kesusilaan perseorangan. Ukuran
penilaian tikah laku ini dikenakan bagi perbuatan-perbuatan yang sifatnya pribadi
yang semata-mata diserahkan kepada pertimbangan dan kemauan orang itu sendiri
untuk melakukannya. Ia bebas untuk menentukan apakah ia akan atau tidak akan
melakukan perbuatan itu. Akibatnya mungkin akan mendatangkan kebahagiaan dan
kepuasan bagi dirinya, mungkin juga kesedihan atau kekecewaan yang
diperolehnya, walaupun ia yakin benar pada mulanya bahwa tindakannya itu akan
membawa kebaikan bagi dirinya. Dari sini manusia memperoleh pelajaran atau
pengalaman bahwa ia bebas berbuat, tetapi tidak bebas untuk menguasai hasil
perbuatannya menurut keinginan semula (Hazairin, 1974:31).
(2) Sunat, yakni ukuran pernilaian bagi perbuatan yang dianjurkan, digemari, disukai
dalam masyarakat karena baik tujuannya (sunat).
(3) Makruh, yakni ukuran pernilaian bagi perbuatan yang dibenci, dicela oleh
masyarakat karena tujuannya adalah buruk. Akibatnya, orang yang melakukan
perbuatan yang kaidahnya makruh ini mendapat celaan umum, yang mungkin
bentuknya berupa perkataan atau mungkin pula berupa sikap yang tidak
menyenangkan, bahkan mungkin sampai pada sikap pemboikotan dari pergaulan.
(4) Wajib, Bila perbuatan yang ukurannya sunat dirasakan kebaikannya dalam
kehidupan masyarakat, dan masyarakat ingin mengukuhkannya menjadi perbuatan
yang tidak boleh diabaikan, masyarakat itu akan meningkatkannya menjadi wajib.
Jika telah demikian, siapa yang meninggalkannya akan mendapatkan hukuman
berupa penderitaan atas harta, badan, martabat, kebormatan diri, kemerdekaan
bergerak bahkan sampai pada ancman hukuman mati.
(5) Haram, demikian juga halnya dengan perbuatan yang berkaidah makruh. Ia dapat
ditingkatkan menjadi haram, jika masyarakat memandang perbuatan tercela itu
demikian kejinya sehingga lebih baik menjadi perbuatan yang terlarang. Dan barang
siapa melanggar larangan itu ia akan dikenakan ganjaran hukuman pula.
Dari uraian di atas ini jelaslah bahwa wajib itu adalah peningkatan sunat (h)
sedang haram adalah kelanjutan peningkatan makruh. Atau dengan perkataan lain
wajib berasal dari sunat dan haram bersumber pada makruh. Dan karena sunat dan
makruh bersumber kepada jaiz, maka wajib dan haram berpokok pangkal pada jaiz
pula.
Al-ahkam al-khamsah adalah lima pernilaian yang disebut norma atau kaidah
dalam ajaran Islam. Al-ahkam al-khamsah itu (1) meliputi selutuh lingkungan hidup
dan kehidupan. (2) didalam lingkungan hidup kesusilaanpribadi, berlaku satu kaidah
(ja’iz). Di lingkungan kesusilaan umum atau disebut juga dengan istilah moral social
terdapat dua kategori kaidah yakni sunat (h) dan makruh. Di lingkungan hukum
duniawi terdapat dua kaidah yang disebut dengan istilah wajib dan haram. (3)
kelima-limanya berlaku di ruang lingkup keagamaan yang meliputi semua lingkungan
hidup tersebut di atas. Ia menjadi ukuran perbuatan manusia baik di bidang ibadah
maupun di lapangan muamalah. (4) Di lingkungan hidup kesusilaan dan hukum,
ukuran itu dapat berubah-ubah. Penguasa, misalnya, dapat mengubah ukuran
perbuatan sunat menjadi wajib, makruh menjadi haram. (5) di ruang lingkup
keagamaan dilarang mengubah yang halal menjadi haram, haram menjadi halal.
Perintah Allah baik suruhan maupun larangan-nya, tidak boleh digeser-geser. Yang
haram tetap haram, yang wajib tetap wajib. Ia berlaku abadi sepanjang masa, tidak
terbatas pada ruang dan waktu tertentu. (6) pengelompokan ke dalam lingkungan
hidup kesusilaan, hukum dan keagamaan di atas adalah untuk memudahkan
pemahaman dipandang dari segi siapa yang memberi sanksi (padahan) jika norma-
norma itu dilanggar. Dalam kesusilaan (pribadi dan masyarakat) yang memberi
sanksi adalah diri sendiri berupa kepuasan atau kekecewaan, anggota masyarakat
berupa pujian atau celaan. Dalam lingkungan hukum duniawi yang memberi sanksi
adalah penguasa berupa ganti kerugian atau denda atau hukuman pidana. Dalam
lingkup keagamaan yang meliputi kesusilaan dan hukum duniawi yang memberi
sanksi adalah tuhan, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak berupa pahala dan
dosa (Hazairin, 1982:73, 74, kemal Faruki, 1966:43).

III. HUKUM ISLAM DI INDONESIA

1. Kedudukan Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia

Sistem hukum Indonesia, sebagai akibat dari perkembangan sejarahnya bersifat


majemuk. Disebut demikian karena sampai sekarang di dalam Negara Republik
Indonesia berlaku beberapa system hukum yang mempunyai corak dan susunan
sendiri. Yang dimaksud adalah system hukum adat , system hukum Islam dan
system hukum Barat. Ketiga system hukum itu mulai berlaku di Indonesia pada
waktu yang berlainan. Hukum Adat telah lama ada dan berlaku di Indonesia,
walaupun sebagai system hukum baru dikenal pada pemrulaan abad ke-20 ini.
Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia sejak orang Islam datang dan
bermukim di nusantara ini. Menurut pendapat yang disimpulkan oleh seminar
Masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan 1963, Islam telah
masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau pada abad ketujuh/kedelapan
Masehi. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam baru sampai ke Nusantara ini pada
abad ke 13 Masehi (P.A.Hoesein Djajadiningrat, 1961:119).
Mengenai kedudukan hukum Islam dalam system hukum Indonesia yang bersifat
majemuk itu dapat ditelusuri dalam uraian berikut:
Ketika singgah di Samudra Pasei pada tahun 1345 Masehi, Ibnu Batutah, seorang
pengembara, mengagumi perkembangan Islam di negeri tersebut. Ia mengagumi
kemampuan Sultan al-Malik al-Zahir berdiskusi tentang berbagai masalah Islam dan
ilmu fikih. Menurut pengembara Arab Islam Maroko itu, selain sebagai seorang raja,
al-malik al-zahir yang menjadi sultan pasei ketika itu adalah juga seorang fukaha
(ahli hukum) yang mahir tentang hukum islam. Yang dianut di kerajaan pasei pada
waktu itu adalah hukum islam mazhab syafi’I (syaifuddin zuhri, 1979:204-205).
Menurut hamka, dari paseilah disebarkan faham syafi’i ke kerajaan-kerajaan Islam
lainnya di Indonesia. Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500 M)
para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudra Pasei untuk meminta kata putus
mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam masyarakat (Hamka
1976:53).
Hukum islam diikuti dan dilaksanakan juga oleh para pemeluk agama islam
dalam kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan kemudian
Mataram. Ini dapat dibuktikan dari karya para pujangga yang hidup di masa itu. Di
antara karya tersebut dapat disebut misalnya Sajinatul Hukum (Moh.Koesnoe,
1982:2).
Dari beberapa contoh dan uraian singkat tersebut di atas dapatlah ditarik suatu
kesimpulan bahwa sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia,
hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat,
tumbuh dan berkembang di samping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami
kepulauan Nusantara ini. Menurut Soebardi, terdapat bukti-bukti yang menunjukkan
bahwa Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan Nusantara dan
mempunyai pengaruh yang bersifat normative dalam kebudayaan Indonesia
(S.Soebardi, 1978:66). Pengaruh itu merupakan penetration pasifique, tolerante et
constructive: penetrasi secara damai toleran dan membangun (de Josselin de jong
dalam Kusumadi 1950:50).
Pada tahun 1596 VOC merapatkan kepalanya ke Banten, jawa barat dengan
maksud untuk berdagang namun kemudian haluannya berubah yaitu ingin
menguasai untuk mencapai tujuan tersebut VOC mendirikan benteng dan
mengadakan perjanjian dengan kerajaan yang ada dijawa, kaena hak yang di
peroleh VOC itu dua macam yaitu sebagai pedagang dan sebagai badan
pemerintahan. Untuk mempermudanya mereka sedikit demi sedikit menerapkan
hukum yang di bawahnya.
Dalam kehidupan Bangsa Indonesia yang beragama Islam sehari-harinya
menggunakan hukum Islam sehingga VOC terpaksa memperhatikan hukum yang
diikuti rakyat sehari-hari, sebagimana dalam statuta Jakarta 1642 disebutkan bahwa
mengenai soal kewarisan bagi orang Indonesia yang beragama Islam harus di
pergunakan hukum Islam. Berdasarkan pemikiran tersebut maka pemerintah VOC
meminta kepada D.W.Freijer untuk menyusun suatu compendium yang memuat
hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam setelah disempurnakan dan di
perbaiki oleh Alim Ulama kitab tersebut diterima oleh pemerintah VOC dan di
pergunakan oleh Pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dikalangan
umat Islam pada tahun 1760, ( Supomo-Djokosutono,1955:26 ).
Dalam penerapan hukum Islam walaupun ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan dapat berlaku langsung tanpa melalui hukum adat, negara wajib
mengatur sesuatu masalah sesuai dengan hukum Islam, selama pengaturan itu
hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam, kedudukan hukum Islam dalam sistem
hukum Indonesia adalah sama sederajat dengan hukum Adat dan hukum Barat,
karena itu hukum Islam juga menjadi suber pembentukan hukum Nasional yang
akan datang di samping hukum Adat, hukm Barat dan hukum lainya yang tumbuh
dan berkembang dalam Negara republik Indonesia.

2. Hukum Islam Dan pembinaan Hukum Nasional

Hukum Islam merupakan hukum yang universal karena Islam merupakan Agama yang
universal sifatnya, yaitu berlaku untuk umat Islam dimana saja Ia berada. Apapun
nasionalisnya. Hukum nasional adalah hukum yang berlaku bagi bangsa tertentu di suatu
negara nasional tertentu. Dalam kasus Indonesia, hukum nasional itu mungkin juga berarti
hukum yang dibangun oleh bangsa Indonesia setelah Indonesia mardeka dan berlaku bagi
penduduk Indonesia, terutama warga Negara Republik Indonesia, sebagai pengganti hukum
kolonial dahulu.
Untuk membangun dan membina hukum nasional di perlukan politik hukum tertentu,
politik hukum nasional pokok-pokoknya ditetapkan dalam Garis-garis Besar Haluan negara,
dirinci lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia atau babinkumnas, dengan
koordinasi diharapkan akan hadir hukum nasional di tanah air. Untuk mewujudkan hukum
nasional sangatlah perlu ekstra hati-hati karena di antara agama yang dipeluk oleh warga
negara Indonesia itu ada agama yang tidak dapat dipisahkan dari hukum. Agama Islam,
misalnya, adalah agama yang mengandung hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia lain dan benda dalam masyarakat. Oleh karena itu erat hubungan antara agama
(dalam arti sempit) dengan hukum dalam Islam. Sehingga dalam pembangunan hukum
nasional di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, unsur hukum agama ini
harus benar-benar diperhatikan. Untuk itu perlu wawasan dan kebijaksanaan hukum nasional.
IV. PERADILAN AGAMA

Pendahuluan
Peradilan adalah proses pemberian keadilan di suatu lembaga yang disebut
pengadilan. Pengadilan adalah lembaga atau badan yang bertugas menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam mengadili dan
menyelesaikan suatu perkara yang dilakukan oleh hakim tunggal atau majelis.
Peradilan Agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan hukum agama Islam
kepada orang-orang Islam yang dilakukan di Pengadilan Agama di berbagai tingkat. Sebagai
lembaga peradilan, peradilan agama dalam bentuknya yang sederhana berupa tahkim yaitu
lembaga penyelesai sengketa antara orang–orang Islam yang dilakukan oleh para ahli agama,
telah lama dalam masyarakat Indonesia yakni sejak agama Islam datang ke indonesia.
Lembaga tahkim yang menjadi asal-usul peradilan agama tersebut.
Pengadilan Agama di wilayah Jawa dan Madura (priesterraad atau Raad Agama dan
Madura) dan sebagaian bekas residensi Kalimantan Selatan dan Timur (kerapatan Qodhi)
lahir pada suasAna kolonial, sedangkan Pengadilan Agama diluar kedua wilayah ini
(Mahkamah Syari’ah) lahir dalam suasana kemerdekaan. Sejarah pertumbuan ini
mengakibatkan wewenang berbedah, sehingga disamakan oleh Undang-undang No. 14 tahun
1970 (tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ) dengan sebutan
Pengadilan Agama dan diseragamkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia pada tahun
1980, namun kekuasaan tetap berbeda. Pengadilan agama di Jawa dan Madura serta
sebagaian bekas residensi Kalimatan Selatan dan Timur tidak berwenang mengadili perkara
perkawinan dan perwakafan sebagai dari teori resepsi yang dianut oleh ilmuwan dan
pemerintah Belanda, sejak 1 april 1937. pengadilan Agama sediri tidak dapat melakukan
putusannya sendiri, karena dalam susunannya tidak terdapat juru sita melainkan harus ada
pernyataan dapat dijalankan ( fiat eksekusi ) dari Pengadilan Negeri dan sebaliknya. Fiat
eksekusi ini diciptakan oleh Pemerintah Belanda untuk mengawasi keberadaan Pengadilan
Agama. Tetapi dilanjutkan dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 63 ayat 2 berbunyi
setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri maksudnya
pengukuan harus dilaksanakan kendati bersifat adminitratif selamah putusan tersebut sudah
memiliki kekuatan tetap. Pada tanggal 8 Desember 1988 Presiden RI mengajukan rancangan
UU Peradilan Agama kepada DPR untuk dibicarakan dan disetujui sebagai pengganti
peraturan tentang Peradilan Agama, dan pada hari kamis 14 Desember 1989 rencana tersebut
disetujui. Lima belas hari kemudian tanggal 29 Desember 1989 disahkan menjadi UU No. 7
tahun1989 dan sekaligus di undangkan. Dengan Undang-undang ini, pemeluk Agama Islam
yang menjadi bagian terbesar penduduk Indonesia, di beri kesempatan untuk menaati hukum
Islam yang menjadi bagian mutlak ajaran agamanya, sesuai dengan jiwa pasal 29 UUD 45
terutama ayat 2.

Undang-undang Peradilan agama


Undang-undang Peradilan Agama yang telah disahkan dan diuandangkan itu terdiri
dari VII bab, 108 pasal dengan sistematik dan garis-garis besar isinya sebagai berikut : Bab I
tentang ketentuan umum, Bab II sampai dengan Bab III mengenai susunan dan kekuasaan
Peradilan Agama, Bab IV tentang hukum acara, Bab V ketentuan-ketentuan lain, Bab VI
ketentuan peradilan dan Bab VII ketentuan penutup.
Pada uraian berikut akan dikemukakan beberapa hal pokok yang dimuat dalam bab
dan bagian-bagianya. Dalam Bab I disebutkan bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi
orang-orang Islam, terdiri dari (1) Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama,
dan (2) Pengadilan Tinggi Agama dalam tingkat banding. Kedua-duanya merupakan
pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam.
Penagdialn Agama berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten sedangkan
Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota propensi dan keduanya berpucuk kepada
Mahkama Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.

Susunanya
Mengenai susunannya diatur dalam tiga bagian di Bab II. Bagain pertama atau bagian
umum menyebut susunan Pengadilan Agama yang terdiri dari pimpinan yakni seorang ketua
dan seorang wakil ketua, hakim anggota, panitera, sekertari dan jurusita. Susunan dari
Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari pimpinan yaitu seorang ketua dan seorang wakil
ketua, hakim tinggi (agama) sebagai hakim anggota, panitera dan sekertaris. Bagian kedua
mengatur tentang syarat, tata cara pengangkatan dan pemberhentian ketua, wakil
ketua,hakim, panitera dan jurisita Peradilan Agama. Disebutkan dalam bagian kedua untuk
menduduki jabatan yang ada dalam Peradilan Agama selain harus memenui syarat umum
calon pegawai tersebut harus beragama Islam,hal ini bukan diskriminasi melainkan di
perlukan agar pencari keadilan yang beragama yang datang ke Pengadilan Agama merasa
mantap hati dan perasaanya melaksanakan ibadah umum berurusan dengan orang yang
seagama. Kecuali untuk juru sita.

Kekuasaan Peradilan Agama


Bab III mengatur kekuasaan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Dalam
pasal 49 ayat 1 disebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang (a) perkawinan, (b) kewarisan, Wasiat, dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam, (c) wakaf dan shodaqoh. Dan penjelasan Undang-undang
Peradilan Agama ini, pasal 49 ayat (1) di atas dinyatakan cukup jelas. Mengenai bidang
perkawinan pasal 49 ayat (2) menyebutkan bahwa yang dimaksudkan ialah hal-hal yang
diatur dalam atau berdasrkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku, Pasal di
rinci lebih lanjut ke dalam 22 butir.

Hukum Acara
Hukum Acara Peradilan Agama diatur dalam Bab IV. Bagian pertama yang mengatur
tentang hal-hal yang bersifat umum. Diantaranya disebutkan bahwa Hukum Acara yang
berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Agama adalah hukum Acara Perdata
yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali tentang hal-hal
yang telah daitur secara khusus dalam Undang-undang ini. Hal-hal yang diatur secara khusus
dalam Undang-undang Peradilan Agama, disebutkan dalam bagaian kedua Undang-undang
ini yaitu pemerksaan sengketa perkawinan, mengenai (a). cerai talak yang datang dari suami;
(b). cerai gugat yang datang dari isteri atau dari suami; dan (c). cerai karena alasan zina.
Proses pemeriksaan sengketa perkawinan di Pengadilan Agama memberikan hak yang
sama mereka dapat mengajukan gugatan dan pembelaan. Isteri (penggugat) dapat
mengajukan gugatan ditempat kediamannya.

Ketentuan-ketentuan Lain
Bab V menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai admitrasi peradilan, pembagaian
tugas hakim dan penitera dalam melaksanakan tugas masing-masing, serta jurusita untuk a.
melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh ketua sidang. b. meyampaikan
pengumuman-pengumuman, teguran pemberitahuan penetapan atau putusan pengadilan
berdasarkan undang-undang. c. melaksanakan penyitaan atas perintah ketua pengadilan. d.
membuat berita acara penyitaan, yang salinanya resminya diserahkan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan. Jurusita Pengadilan Agama berwenang melakukan tugasnya didaerah
hukum pengadilan yang bersangkutan, jurusita tidak terdapat dalam susunan Peradilan
Agama sebelum undang-undang ini berlaku.

Ketentuan Peralihan
Bab VI mengenai ketentuan peradilan, disebutkan tentang 1. semua Badan Peradilan
Agama yang telah ada dinyatakan sebagai Peradilan Agama menurut undang-undang. 2.
Semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai peradilan Agama dinyatakan tetap
berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan undang-undang yang baru dan
selama ketentuan baru berdasarkan undang-undang yang baru belum dikeluarkan.

Ketentuan Penutup
Bab VII tentang ketentuan penutup. Dalam bab terakhir ini di tegaskan bahwa pada saat
mulai berlakunya Undang-undang Peradilan Agama ini,semua peraturan tentang peradilan
agama di jawa dan madura, di sebagaian lain wilayah RI, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dengan disahkan undang-undang Peradilan Agama perubahan penting dan mendasar
telah terjadi diantaranya:
1.    Peradilan agama telah menjadi peradilan yang mandiri, kedudukannya telah sejajar dan
sederajat dengan peradilan umum;
2.    Nama, susunan wewenang (kekusaan) dan hukum acaranya telah sama seragam yang akan
memudakan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang bertindak keadilan dalam
Peradilan Agama;
3.    Perlindungan wanita lebih ditingkatkan, dengan jalan, antara lain, memberihak yang sama
kepada isteri dalam proses dan membela kepentingannya di muka Pengadilan Agama;
4.    lebih memantapkan upaya penggalian berbagai azaz dan kaidah Hukum Islam sebagai salah
satu bahan baku dalam penyusunan dan pembinaan hukum nasional melalui yurisprodensi;
V. KOMPILASI HUKUM ISLAM
Poin pokok di dalam Kompilasi Hukum Islam terdiri dari buku I tentang hukum
perkawinan, buku II tentang hukum kewarisan, dan buku III tentang hukum perwakafan
sesuai dengan wewenang dari pada Peradilan Agama sekarang ini.
Yang telah diterima baik oleh Para Ulama’, Sarjana Hukum Islam seluruh Indonesia
dalam lokakarya yang di selenggarakan di Jakarta tanggal 2 sampai dengan 5 Februari 1988
melalui Intruksi Presiden nomer 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 telah ditentukan sebagai
pedoman instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya, dalam masalah
perkawinan,kewarisan, perwakafan, dalam rangka melaksanakan Instruksi Presiden tersebut
Menteri Agama mengeluarkan keputusan nomer 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991
tentang meminta kepada seluruh instansi Departemen Agama, termasuk Peradilan Agama di
dalamnya, termasuk instansi Pemerintah untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam
yang dimaksud.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem hukum Indonesia, Yayasan Risalah,
Jakarta, 1984.

__________________, Kedudukan Hukum Peradilan Agama Dalam UUD 45, DDII, Jakarta, 1989.

Ash-Shiddieqy, Hasbi TM., Sejarah Perubahan dan Perkembangan Hukum Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1971.

Basyir, Ahmad Azhar, Asas-asas Hukum Mu’amalat, UII, Yogyakarta, 1983.

Siddik, Abdullah H., Asas-asas Hukum Islam, Widjaja, Jakarta, 1982

Zuhdi, Masjfuk, Pengantar Hukum Syari’ah, Haji Mas Agung, Jakarta, 1977.

Anda mungkin juga menyukai