Disusun oleh:
UNIVERSITAS TIDAR
MAGELANG
2018
A. Pengertian Hukum Islam
Hukum dalam Islam menunjukkan dua bagian penting dari aturan perundang-undangan
dalam Islam yakni syari’ah dan fiqih. Syari’ah sendiri menurut asal katanya berarti ‘jalan
menuju mata air’. Secara sederhana dapat ditarik makna bahwa seorang harus melalui jalan itu
untuk dapat hidup, sebab air merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam menopang
kehidupan. Jadi secara analog dapat dikatakan bahwa kehidupan ini membutuhkan syari’ah
sebagai unsur yang sangat vital untuk dapat berjalan dengan baik. Secara terminologis, istilah
syari’ah Islam memiliki makna, yaitu aturan atau undang-undang yang diturunkan Allah SWT
untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, dan
manusia dengan alam semesta (Depag RI, 1999: 124).
Syari’ah Islam merupakan jalan yang benar dan menjadi dasar bagi kehidupan manusia
sebagaimana firman Allah: “Dan kami telah menurunkan kepadamu Al-Qur’an dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, itu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain, maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu
kami jadikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu
dijadikanNya satu ummat (saja). Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kembali kamu
semua, lalu diberikanNya kepadamu apa yang kamu perselisihkan itu (QS. Al-Maidah: 48)
Sedangkan fiqih dari asal katanya berarti paham atau pengertian, merupakan
pemahaman manusia terhadap syari’ah. Ilmu yang mendalami pemahaman atau uraian
terhadap syari’ah ini disebut ilmu fiqih, sedangkan orang yang mempelajari atau
mendalaminya dikenal dengan sebutan faqih (bentuk tunggal), atau fuqaha (bentuk jamak),
istilah yang kemudian diadptasi ke dalam Bahasa Indonesia sebagai ahli hukum Islam. Dengan
demikian fiqih merupakan pemahaman para ulama terhadap rumusan teknis dari pelaksanaan
syari’ah yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan dikodifikasi secara sistematis agar
mudah dipelajari.
Dengan demikian berbicara mengenai hukum Islam tidak dapat dipisahkan dari dua
konsep dasar: syari’at dan fiqih. Menurut Muhammad Daud Ali (2000: 237-238) di Indonesia
terhadap dua istilah yang menunjukkan pembedaan tersebut yakni syari’at Islam dalam Bahasa
Inggris disebut Islamic law dan Fiqih Islam atau Islamic Jurisprudence. J.N.D. Anderson
(1959:1,17) mengatakan bahwa hukum Islam secara teoritis merupakan hukum ciptaan Tuhan
yang pada dasarnya tidak dapat diubah dan merupakan norma yang harus ditaati oleh kaum
Muslimin. Pernyataan Anderson ini cenderung cocok untuk menjelaskan Islamic law di atas.
Secara umum, tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia dan
akhirat, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah mudharat yaitu yang
tidak berguna bagi kehidupan. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan
hidup manusia, baik rohani, maupun jasmani, individual dan sosial.
Sedangkan secara khusus, menurut Abu Ishaq Al-Shatibi (w. 1388), hukum Islam
memiliki lima tujuan (maqashid al-khamsah) yaitu:
1. Memelihara Agama; Sebab merupakan pedoman hidup manusia, maka agama Islam
harus terpelihara dari ancaman orang-orang yang akan merusak aqidah, syari’ah dan
akhlaq atau yang akan mencampuradukkan ajaran agama Islam dengan paham atau
aliran yang bathil.
2. Memelihara Jiwa; sebab ia memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan
kehidupannya. Dengan demikian, Islam melarang pembunuhan (QS. 17:33) sebagai
upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang
dipergunakan oleh manusia, untuk kemaslahatan hidupnya.
3. Akal; karena dengan mempergunakan akalnya, manusia dapat berpikir tentang Allah,
alam semesta dan dirinya sendiri, dan untuk memelihara akal itulah maka hukum Islam
melarang orang meminum setiap minuman yang memabukkan dan menghukum setiap
perbuatan yang dapat merusak akal manusia (QS. 5:90). Sebaliknya, Islam mewajibkan
seseorang untuk memeilhara akalnya karena ia memiliki peranan penting dalam hidup
dan kehidupan manusia.
4. Keturunan; agar kemurnian darah dapat dijaga dan kelanjutan umat manusia dapat
diteruskan. Hal ini tercermin dalam hubungan darah yang menjadi syarat untuk dapat
saling mewarisi (QS 4:11), larangan-larangan perkawinan yang disebut secara rinci
dalam Al-Qur’an (QS. 4:23) dan larangan berzina (QS 17:32).
5. Harta; sebab ia pemberian Tuhan kepada manusia, agar manusia dapat
mempertahankan hidup dan melangsungkan kehidupannya. Sebab itu, manusia sebagai
khalifah Allah dilindungi haknya untuk memperoleh harta dengan cara-cara yang halal,
artinya sah menurut hukum dan benar menurut ukuran moral.
Al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Muhammad SAW
dengan perantara malaikat Jibril dengan kata-kata Arab dan dengan makna yang benar, agar
menjadi hujjah bagi Muhammad SAW dalam pengakuannya sebagai Rasulullah, juga sebagai
undang-undang yang dijadikan pedoman oleh umat manusia, dan membacanya termasuk
ibadah. Pada umumnya hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an bersifat garis besarnya
saja (kulliy), tidak samapai kepada perincian (juz’iy). Kebanyakan hukum pokok Al-Quran
akan diperinci dalam Al-Sunnah. Sekalipun demikian, ketentuan dalam Al-Quran cukup
lengkap dan sempurna sebagaimana Allah berfirman: “tidaklah diapalkan sesuatupun di dalam
Al-Kitab” (QS. Al- An’aam: 38).
2. Al-Sunnah
Sunnah yang mutawatir ialah sunnah yang diriwayatkan dari Rasul SAW oleh
sekelompok perawi yang menurut kebiasaannya, perawi ini tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta. Sunnah ahad yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh satu, dua atau sekelompok orang
yang keadaannya tidak sampai ada tingkatan mutawatir. Sunnah Rasulullah ditinjau dari
perbuatan beliau dibagi atas sunnah qauliyah, fi’liyyah, dan taqririyyah. Yang dimaksud
dengan sunnah qauliyyah ialah ucapan Nabi tentang sesuatu, sunnah fi’liyyah ialah perbuatan
dan tindakan Nabi, dan sunnah taqririyyah ialah pengakuan, persetujuan, atau sikap diam Nabi
atas sesuatu perbuatan orang lain, sedangkan beliau mengetahuinya.
Ada pula ucapan Nabi yang disebut Hadits Qudsi yang tidak menjadi bagian Al-Qur’an,
tapi di dalamnya Allah berbicara melalui Nabi, disampaikan dengan kata-kata Nabi sendiri.
Hadits ini berisi petunjuk tentang kehidupan spiritual, tidak membahas soal politik dan sosial.
Isinya kebanyakan tentang hubungan langsung antara manusia dan Tuhan (Allah).
a. Menetapkan dan memperkokoh sifat-sifat hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an.
Contohnya di dalam Al-Qur’an telah ditetapkan mengenai diharamkannya menjadi
saksi palsu, yaitu dalam QS. Al-Hajj: 30 :”Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”.
Kemudian dikuatkan oleh hadits berikut: “Ingatlah, Aku akan menjelaskan kepadamu
sekalian tentang sebesar-besarnya dosa besar”. Jawab kami (sahabat): “Ya, hai
Rasulullah!” Beliau meneruskan sabdanya “Musyrik kepada Allah, menyakiti orang
tua”. Saat itu Rasul sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya berkata: “Awas bersaksi
palsu”. (HR Bukhari dan Muslim)
b. Menjelaskan dan menafsirkan terhadap hukum-hukum yang ditetapkan Al-Qur’an yang
masih bersifat garis besar. Seperti Al-Qur’an menyebutkan tentang perintah shalat
dalam QS Thaha: 14 :”Dan dirikanlah shalat”. Kemudian melalui hadits dijelaskan
tentang jumlah raka’at, cara, rukun, dan syarat mendirikan shalat.
c. Menetapkan hukum yang belum dijelaskan oleh Al-Qur’an maupun yang masih samar-
samar. Contohnya adalah cara mensucikan bejana yang dijilat oleh anjing dan larangan
Nabi mempermadu (mengawini sekaligus) seorang perempuan dengan bibinya.
3. Ijtihad
Ijtihad ialah usaha sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa
orang yang mempunyai ilmu pengetahuan, dan pengalaman tertentu yang memenuhi syarat
untuk mencari, menemukan dan menetapkan nilai dan norma yang tidak jelas atau tidak
terdapat patokannya di dalam Al-Quran dan hadits. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang
beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul (Nya) dan ulul amri darimu, kemudian jika kamu
berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik
akhiratnya” (QS An-Nisaa’: ). Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Pada masa
imam madzhab, mereka juga, telah melakukan ijtihad diantaranya yaitu Imam Abu Hanifah
(699-767 M), Imam Malik (714-798 M), Imam Syafi’i (767-854 M), Imam Malik Hambal
(780-855 M). yang termasuk dalil-dalil ijtihadi (metodologi) yaitu: qiyas, istihsan, maslahat
mursalah, urf, syar’un man qablana, istishab, saddudz-dzara’i, dan madzhab sahabat.
Hukum menurut sudikno Mertokusumo (1996: 64) memiliki fungsi untuk melindungi
kepentingan manusia. Sebagai pelindung kepentingan masusia hukum memiliki tujuan pokok
yakni menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan.
Jika dilihat pada hukum islam, maka secara umum dapat dikatakan bahwa hukum islam baik
dalam pengertian Islamic law maupun Islamic Jurisprudence, mengandung tujuan tersebut.
Hukum islam yang tidak memisahkan urusan duniawiyah dan ukhrawiyah.
Oleh karena itu dapat dikatakan pula bahwa fungsi hukum islam adalah untuk mengatur
hubungan manusia dengan penciptanya, manusia dengan manusia, dan manusia dengan ciptaan
lainnya. Dengan demikian tujuan hukum islam tidka lain adalah untuk menciptakan hubungan
yang harmonis (seimbang) antara manusia dengan penciptanya, manusia dengan manusia, dan
manusia dengan ciptaan yang lainnya.
Ayat diatas menyebutkan bahwa orang yang diberi amanat haruslah menunaikan
amanat itu dengan sebaik-baiknya. Artinya jika ia diberi titipan ia harus mengembalikan titipan
itu kepada pemiliknya, dan kalau ia mendapatkan pinjaman karena kepercayaan orang lain
terhadapnya, maka ia harus mengembalikan barang itu. Akan tetapi kalau barang itu hilang
atau tidak dikembalikan kepada pemiliknya, muncullah persoalan. Sebab ayat Al-Quran tidak
memberikan rincian ketentuannya. Mak dari itu muncullah persoalan fiqih dalam memahami
maksud dan tujuan syari’ah tersebut. Orang yang memenuhi syarat kemudian melakukan jtihad
mengenai ganti rugi barang yang hilang atau tidak dikembalikan tersebut, maka kemudian
muncul berbagai pendapat.
Jika ditinjau dari sejarah, perkembangan hukum islam di Indonesia sejalan dengan
perjalanan penyebaran islam yang berjalan secara damai bukan dengan cara kekerasan. Oleh
karena itu kedatangan islam dapat diterima oleh Bangsa Indonesia dengan perasaaan aman dan
damai, sebab cara penyebaran ini sesuai dengan watak bangsa Indonesia dan ajaran Islam yang
toleran (Zuhdi, 1995: 245).
Sedangkan hukum barat mulai diperkenalkan di Indonesia oleh VOC (Vereenigde Oost
Indische Compagnie). Mula-mula hukum barat hanya berlaku bagu orang Belanda dan Eropa
saja, akan tetapi kemudian dinyatakan berlaku pula bagi orang-orang Asia dan orang Indonesia
yang menundukkan dirinya kepada hukum barat dengan suka rela atau karena melakukan
sesuatu perbuatan hukum di lapangan keuangan, perdagangan, dan ekonomi. Ketiga sistem
hukum itu masih berlaku di Indonesia sampai sekarang berdasarkan ketentuan peralihan UUD
1945 dan masing-masing tumbuh dalam masyarakat dan dikembangkan dengan ilmu
pengetahuan dan praktek peradilan (Zuhdi, 1995: 8)
Dalam kaitan dengan persoalan di atas, peranan umat islam dalam membangun hukum
di Indonesia sangatlah besar. Peran umat islam dalam perumusan hukum di Nusantara
sebenarnya dapat diamati sejak zaman kerajaan-kerajaan islam. Kerajaan Samudera Pasau
misalnya, Menurut penuturan Ibnu Batutah yang mengembara dari Maroko, dengan rajanya
Sultan Al Malik Al Dzahir adalah raja yang ahli hukum (faqih) dan telah menyebarkan Mazhab
Syafi’i ke kerajaan lain di Indonesia dan Malaka. Nurrudin Ar Raniri seorang pujangga dan
ulama pada tahun 1625 telah menulis kitab shiratal mustaqim yang berisi hukum islam. Kitab
ini kemudian diberikan komentar oleh Syekh Arsyad Banjari, dari Banjarmasin. Masih banyak
lagi kitab-kitab fiqih pada masa yang hamper bersamamn mislanya kutaragama, safinatul
hukmi, mi’rajuttullab yang menjadikan pedagang dalam menyelesaikan perkara di wilayah
kerajaan masing-masing.
Pada tahun 1596 perusahaan dagang belanda / VOC berlabuh di pelabuhan Banten,
yang kemudian akhirnya menguasai kepulauan Indonesia, berdagang dan sebagian dari
pemerintah penjajah. VOC juga membentuk badan-badan peradilan yang menggunakan hukum
Belanda di daerah-daerah yang dikuasainya. Upaya ini tidak sepenuhnya berhasil karena
bertentangan dengan rasa keadilan dan kesadaran masyarakat yang bersangkutan. VOC
akhirnya membiarkan badan-badan peradilan yang telah ada dalam masyarakat berjalan terus
seperti sedia kala. Bahkan dalam Statua Jakarta 1624 disebutkan bahwa hukum warisan orang
Indonesia yang beragama islam harus menggunakan hukum islam (faraidl) yang dpakai oleh
rakyat sehari-hari. Pada jaman ini pula lahirnya beberapa kitab hukum islam tentang
perkawinan dan warisan islam., terbentuk juga kitab mugharran yang berisi berbagai macam
hukum termasuk pidana dan papakem Cirebon. Keadaan ini berlangsung hingga kurang lebih
2 abad lamanya.
Tahun 1808 sampai dengan 1816 pemerintahan Gubernur Jendral Daendeles dan
GUbernur Jendral Inggris Thomas Standford Raflles tetap menyatakan bahawa yang berlaku
bagi rakyat Indonesia adalah hukum islam. Konvensi London yang menyatakan pengembalian
Indonesia dari tangan Inggris ke Belanda menjadikan pemerintah Belanda mengakui
berlakunya Hukum Islam. Ini dapat diteliti dari Regeering Reglement (RR) 1885 pasal 75 dan
78 yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang bumi putera
atau mereka yang dipermasalahkan, maka mereka tunduk kepada hukum agama atau kepada
kepala kepala masyarakat mereka yang menyelesaikan perkara mereka menurut hukum agama
atau ketentuan-ketentuan lama mereka. Realisasi pada tahun 1882 didirikan peradilan agama
(Priesterraad) di Jawa dan Madura dengan lembaga negara no 152btahun 1882 yang
hakikatnya melanjutkan praktik peradilan dalam masyarakat pribumi yang beragama islam,
khususnya dalam perkara-perkara perkawinan dan warisan. Pada abad ke 19 tersebut kelangan
ahli hukum dan kebudayaan Belanda seperti Salomon Keyser (1823-1866) dan LWC van den
Berd (1845-1927) menganut teori reception in complexu yang berarti bahwa orang islam
Indonesia menerima ajaran islam secara keseluruhan termasuk hukum-hukumnya. Namun di
akhir abad tersebut Snouck Hurgronje (1857-1936) penasehat pemerintah Hindia Belanda
urusan islam dan bumi putera menentang teori di atas. Berdasarkan penelitian di Aceh dan
Gayo dan ditulis dalam bukunya De Atjehers dan Het Gajoland. Ia berpendapat bahwa yang
berlaku bukanlah hukum islam.
Pengaruh islam memang telah amsuk dalam hukum adat, tetapi pengaruh itu baru
memiliki kekuatan hukum di dalam hukum adat. Inilah yang kemudian dikenal dengan teori
resepsi. Masjfuk Zuhdi mengutip dari Daud Aii yang mengatakan bahawa tahun 1922
pemerinyah Belanda kemudian membentuk komisi untuk meninjau kembali wewenang
pengadilan agama di Jawa dan Madura untuk mengadili warisan, kemudian wewenang ini
dialihkan ke pengadilan negeri (Masjfuk Zuhdi, 1995: 11) Sekalipun dalam kenyataannya tidak
terdapat bukti bahwa pengadilan negeri jauh lebih mampu daripada pengadilan agama.
Pengadilan diluar Jawa dan Madura serta Kalimantan Selatan belum terbentuk secara resmi
hingga berakhirnya masa penjajahan Belanda dan Jepang, sekalipun bentuk pengadilan tidka
resmi tetap berjalan sebagai bagian dari pengadilan adat atau pengadilan Sultan.
Barulah pada tahun 1957 diundangkan peraturan pemerintah nomor 45 tahun 1957 yang
mengatur pengadilan agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan tersebut dengan
wewenang yang lebih luas, yakni disamping mengenai perkara perkawinan,wewenang atas
waris, wakaf, sedekah, dan baitul mal. Namun demikian masih terdapat aturan bahwa ratusan
pengadilan agama harus dikuatkan oleh pengadilan umum. Tahun 1974 dikeluarkan undang-
undang nomor 1, tenatang perkawinan demikian juga rumusan perwakafan tanah meiliki
berbagai aturan dalam peraturan pemerintah. Undnag-undnag nomor 28 tahun 1977
menunjukkan pula penerapan ajaran silam secara lebih baik dan bukti bahwa teori resepsi
Snouck urgeronje tidak cocok.
Di Jawa dan Madura terlah berlaku sejak lama bahwa fatwa waris pengadilan agama
diterima oleh notaries. Pejabat pendaftar tanah kantor agrarian dan para hakim pengadilan
negeri, dan sebagai alat pembuktian atas hak memiliki tuntutan atas itu. Undang-undnag nomor
7 tahun 1989 tanggal 29 Desember tentang peradilan agama yang intinya member pengakuan
resmi dan pengukuhan terhadap peradilan agama telah ada dan terus berkembang. Dengan
sokongan undnag-undnag ini maka pengadilan agama memiliki wewenang memeriksa dan
memutuskan perkara yang terjadi di antara orang islam yang meliputi masalah perkawinan,
warisan, hibah, wasiat, wkaf, sedekah, disamping juga didukung pengadilan tinggi agama
(MANAN, 1995: 68-85).
Keputusan hakim pengadilan agama langsung dapat dieksekusi tanpa persetujuan
pengadilan negeri, sebab kedudukan kedua lembaga ini sejajar berdasarkan UU yang terkait
atau mendorong pelaksanaan hukum islam dengan hukum islam atara lain UU no.2 tahun 1989
tentang sistem pendidikan nasional yang memungkinkan setiap pelajar atau mahasiswa
mempelajari pelajaran agama secara formal sesuai dengan keyakinannya di sekolah-sekolah
masing-masing. Instruksi presiden No.1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum islam,UU no.7
tahun 1992 tentang perbankan berdasarkan prinsip bagi hasil yang mengijinkan berdirinya bank
umum dan BPR-BPR yang dikelola berdasarkan syariat islam (bagi hasil). Dan adanya Dewan
Pengawas Syariah pada bank-bank tersebut. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendirikan
lembaga arbitrase muamalat untuk menyelesaikan konflik yang mungkin terjadi antara bank
syariah dengan nasabahnya, termasuk perjanjian yang dibuat oleh orang islam yang sepakat
menyerahkan penyelesaian perkaranya kepada lembaga arbitrase muamalat jika terjadi
perselisihan. Surat keputusan bersama (SKB) antara Menteri dalam negeri dan Menteri Agama
dalam pembinaan BAZIS.
Peranan lain yang terkait dengan hukum positif Indonesia adalah perumusan dasar
negara sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid), dan dalam sila-sila yang lain sebagai
hasil kompromi berbagai unsure untuk mendirikan sebuah negara bangsa yang agamis. Umat
islam memiliki andil yang sangat besar dalam mendirikan negara Indonesia dan sekaligus
memiliki kesempatan luas untuk mewarnai sejarah Indonesia. Masih banyak dan akan
bertambah masalah-masalah hukum yang memerlukan kajian keislaman dalam masyarakat
modern seperti masalah kependudukan, KB, sentrilisasi, aborsi, asuransi, perbankan,
penyempurnaan UU terutama hukum acara pidana atau kitab undang-undang hukum pidana
(KUHP) yang telah banyak diwarnai oleh konsep-konsep islami walaupun harus sedikit demi
sedikit disempurnakan oleh kebutuhan umat islam sebab sebagian juga masih merupakan
hukum warisan Belanda.