2023
BAB VII
HUKUM ISLAM DAN KONTRIBUSI UMAT ISLAM INDONESIA
Hukum Islam merupakan aturan yang di tentukan Allah SWT yang dijadikan sebagai
aturan yang harus ditaati.
Hukum Islam meliputi dua bagian yaitu:
1. Syari’ah merupakan induk yang bersifat global
Hukum islam Syari’ah adalah hukum islam yang aturannya sudah final, tidak
bisa lagi di ganggu gugat oleh nalar atau akal manusia. CONTOHNYA, puasa
ramadhan yang wajib tidak mungkin diubah oleh seseorang untuk di jadikan sebagai
puasa sunnah, begitu pula dengan sholat lima waktu dan juga zakat.
Secara Etimologi, Syari’ah berarti jalan menuju mata air, maka
secara analognya adalah jalan yang lurus yang harus di ikuti.
Secara Terminologi, Syari’ah Aturan yang diturunkan oleh Allah
SWT yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia
dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam semesta.
Jadi tujuan dari Syari’ah adalah agar umat manusia tidak tersesat dalam hidup, baik
hidup di dunia ataupun di akhirat.
Pengertian ruang lingkup Hukum Islam, adalah: objek kajian hukum Islam atau
bidang-bidang hukum yang menjadi bagian dari hukum Islam. Hukum Islam disini
meliputi syari’ah dan fiqh. Hukum Islam sangat berbeda dengan Hukum Barat yang
membagi hukum menjadi hukum privat (hukum perdata) dan hukum publik. Sama halnya
dengan hukum adat di Indonesia, hukum Islam tidak membedakan hukum privat dengan
hukum publik. Bidang-bidang hukum Islam lebih dititik beratkan pada bentuk aktivitas
manusia dalam melakukan hubungan.
Bahwa ruang lingkup hukum Islam ada dua, yaitu : hubungan manusia dengan Tuhan
(hablun minaallah) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablun miannas). Bentuk
hubungan pertama disebut dengan ibadah dan bentuk hubungan yang kedua disebut
dengan muamalah.
Bagian-bagian Ruang Lingkup Hukum Islam
(1) Munakahat: hukum yang mengatur sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan,
perceraian, dan akibat-akibatnya;
(2) Wirasah: hukum yang mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli
waris, harta warisan dan cara pembagian warisan;
(3) Muamalat: hukum yang mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata
hubungan manusia dalam persoalan jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam,
perserikatan, dan lain-lain;
(4) Jinayat: Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang diancam dengan
hukuman baik dalam jumlah hudud atau tindak pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas
hukumnya dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi maupun dalam jarimah ta’zir atau perbuatan
yang bentuk dan batas hukumnya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya;
(5) Al-Ahkam as-sulthaniyah: Hukum yang mengatur soal-soal yang berhubungan dengan
kepala negara, pemerintahan pusat maupun daerah, tentara, pajak dan sebagainya;
(6) Siyar: Hukum yang mengatur urusan perang dan tata hubungan dengan pemeluk agama
dan negara lain; dan
(7) Mukhassamat: Hukum yang mengatur tentang peradilan, kehakiman, dan hukum acara.
Sistematika hukum islam dapat dikemukakan sebagai berikut: (a) Al-ahkam asy-syakhsiyah
(hukum perorangan); (b) Al-ahkam almaadaniyah (hukum kebendaan); (c) Al-ahkam al-
murafaat (hukum acara perdata, pidana, dan peradilan tata usaha); (d) Al ahkam al-dusturiyah
(hukum tata negara); (e) Al-ahkam ad-dauliyah (hukum internasional), dan (f) AlAhkam al-
iqtishadiyah wa-almaliyah (hukum ekonomi dan Keluarga).
Pendapat Abdul Wahhab Khallaf membagi hukum menjadi tiga, yaitu: hukum
i’tiqadiyyah (keimanan), hukum-hukum khuluqiyyah (akhlak), dan hukumhukum ’amaliyyah
(aktivitas baik ucapan maupun perbuatan). Hukumhukum ’amaliyyah menjadi dua, yaitu:
hukum-hukum ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dan hukum-
hukum muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (khallaf. 1978: 32).
Kedua bidang hukum ini akan diuraikan sebagai berikut:
a. Ibadah
Secara etimologis kata ’ibadah’ berasal dari bahasa Arab ’al-ibadah, yang merupakan
mashdar dari kata kerja ’abada-ya’budu yang berarti menyembah atau mengabdi (Munawwir,
1997: 886). Sedangkan secara terminologis ibadah dapat diartikan dengan perbuatan orang
mukallaf (dewasa) yang tidak dapat didasari hawa nafsunya dalam rangka mengagungkan
Tuhannya (al-Jarjani, 1988: 189). Menurut pendapat Hasbi ash Shiddieqy (1985: 4)
mendefinisikan ibadah segala sesuatu yang dikerjakan untuk mencapai keridhoan ALLAH
dan mengharap pahala-Nya di akherat. Hakikat ibadah menurut para Ahli, berpendapat:
ketundukkan jiwa yang timbul karena hati merasakan cinta akan yang disembag (Tuhan) dan
merasakan keagungan-Nya, karena meyakini bahwa dalam alam ini ada kekuasaan yang
hakikatnya tidak diketahui oleh akal.
Pendapat lain, hakikat ibadah adalah: memperhambakan jiwa dan menundukkannya
kepada kekuasaan yang ghaib yang tidak dijangkau ilmu dan tidak diketahui hakikatnya.
Sedangkan menurut Ibnu Katsir, hakikat ibadah adalah: suatu ungkapan yang menghimpun
kesempurnaan cerita, tunduk dan takut (Ash Shiddieqy, 1985: 8).
b. Muamalah
Pengertian muamalah secara etimologis kata muamalah dari segi bahasa Arab ’al-
muamalah yang berpangkal pada kata dasar ’amila-ya’malu-’amalan artinya membuat,
berbuat, bekerja, atau bertindak (Munawwir, 1997: 972). Arti lainnya bahwa hubungan
kepentingan (seperti jual beli, sewa, dsb) (Munawwir, 1997: 974). Menurut etimologis
muamalah, yaitu: bagian dari hukum muamalah selain ibadah yang mengatur hubungan
orang-orang mukallaf antara satu dengan lainnya baik secara individu, dalam keluarga,
maupun bermasyarakat (Khallaf, 1978: 32). Bidang muamalah berlaku asas umum, yakni:
pada dasarnya semua akad dan muamalah diperbolehkan untuk melakukan, kecuali ada dalil
yang membatalkan dan melarangnya (Ash Shiddieqy, 1980, II: 91).
Muamalah, adalah: Ketetapan Allah yang berhubungan dengan kehidupan sosial
manusia walaupun ketetapan tersebut terbatas pada pokok-pokok saja. Karena sifatnya
terbuka untuk dikembangkan melalui Ijtihad manusia yang memenuhi syarat usaha itu.
Oleh sebab itu, bidang muamalah terbuka sifatnya untuk dikembangkan melalui
Ijtihad. Prinsip dasar tersebut dapat dipahami bahwa semua perbuatan yang termasuk dalam
kategori muamalah boleh saja dilakukan selama tidaka ada nash yang melarangnya. Ruang
lingkup hukum Islam dalam bidang muamalah, menurut Abdul Wahhab Khallaf (1978: 32-
33), meliputi antara lain:
(1) ahkam al-ahwal al-syakhsiyyah (hukum-hukum masalah personal/keluarga);
(2) al-ahkam al-madaniyyah (hukum-hukum perdata);
(3) al-ahkam al-jinayyah (hukum-hukum pidana);
(4) ahkam al-murafa’at (hukum-hukum acara peradilan);
(5) al-ahkam al-dusturiyyah (hukum-hukum perundang-undangan);
(6) al-ahkam al-duwaliyyah (hukum-hukum kenegaraan); dan Universitas Esa Unggul
http://esaunggul.ac.id 4 / 15
(7) al-ahkam al-istishadiyyah wa al-maliyyah (hukum-hukum ekonomi dan harta).
B. Tujuan Hukum Islam
3.Ijtihad
Ijtihad (Arab: ادCC )اجتهadalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang
sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari
ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran
maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan
matang.
Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya
hanya dilakukan para ahli agama Islam.
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan
pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau
pada suatu waktu tertentu.
Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti
semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun
Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran
dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus
berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran
Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu
atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah
perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al
Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus
mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau
Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak
jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat
itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak
membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al
Hadist.
Jenis-jenis ijtihad
a. Ijma’
Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara
ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati.
Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli
agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
b. Qiyâs
Beberapa definisi qiyâs’ (analogi):
1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya,
berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.
2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui
suatu persamaan diantaranya.
3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam
Al-Qur’an atau Hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan
sebab (iladh).
c. Istihsân
Beberapa definisi Istihsân
1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena
dia merasa hal itu adalah benar.
2. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan
secara lisan olehnya
3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat
orang banyak.
4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap
perkara yang ada sebelumnya…
d. Muslahah mursalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan
pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik
manfaat dan menghindari kemudharatan.
e. Syaddudz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau
haram demi kepentinagn umat.
f. Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada
alasan yang bisa mengubahnya.
g. Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan
kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak
bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.
Masih banyak kitab lain seperti – Kutaragama, Safinatul Khukmi, Mi’rajuttullab dll, yang
dijadikan pegangan untuk menyelesaikan perkara di wilayah kerajaan masing-masing.
Adalah pengaruh ajaran Islam terhadap hukum adat sehingga mempunyai kekuatan hukum
disebut Teori resepsi. ( Snouck Hurgeronje )
Peran umat Islam – bagi hukum positif di Indonesia antara lain:
Ikut merumuskan Pancasila, pada sila pertama ( Ketuhanan Yang Maha Esa ) dan
butir-butir pada UUD 1945. Dalam satu perspektif, Indonesia merupakan negara
bukan berideologikan Islam, namun kerangka acuan dalam mengembangkan aturan
hukum dan perekonomian banyak mengacu pada nilai-nilai Islam. Pancasila yang
pada awal mulanya merupakan hasil perubahan dari piagam Jakarta dengan
menghilangkan tujuh kata pada sila pertama, kelahirannya juga tidak bisa
dilepaskan dari kontribusi umat Islam. Kondisi demikian senada dengan pendapat
Dawam Rahardjo mengutip perkataan Kuntowijoyo, bahwa ekonomi Indonesia
yang basis pengembangannya berdasarkan pancasila merupakan obyektivasi dari
sistem ekonomi Islam.
Argumentasi dasar ini dapat diidentifikasi melalui tujuan dan misi negara Indonesia
yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945 dan lima sila pancasila. Dalam alinea
tiga pembukaan UUD 1945 dirumuskan 4 tujuan pokok bangsa Indonesia. Tujuan
tersebut pertama melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, kedua memajukan kesejahteraan umum, ketiga mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan keempat ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pada tahun 1957 diundangkan PP no. 45 th 1957 yang mengatur Pengadilan Agama
di luar jawa – Madura dan Kalimantan Selatan , dengan wewenang mangadili
perkara perkawinan, waris, wakaf, sedekah dan Bait al-Maal, namun masih harus
dikuatkan oleh pengadilan Umam.
Pada tahun 1974 dikeluarkan UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Rumusan tentang Perwakafan tanah hak milik diatur dalam PP No. 28 tahun 1977
UU No. 7 tahun 1989 tanggal 29 desember – tentang peradilan Agama, intinya
memberikan pengakuan secara resmi dan pengukuhan terhadap Peradilan Agama.
Menyelesaikan perkara: perkawinan, warisan, hibah, wasiat, wakaf, sedekah .
disamping juga didukung oleh Pengadilan Tinggi Agama ( Manan:68 – 85 ).
UU No. 14 Th 1970 – bahwa kedudukan PA sejajar dengan PN.
UU No. 2 Th 1989 – tentang Sistem Pendidikan Nasional ( seorang siswa berhak
mendapatkan pelajaran agama sesuai dengan keyakinannya di sekolah masing-
masing.
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 – tentang Kompilasi Hukum Islam.
UU No.7 Tahun 1992 – tentang perbankan, yang mengizinkan berdirinya Bank
Umum dan BPR dikelola berdasarka Syariat Islam dengan sistem bagi hasil, dan
adanya Dewan Pengawas Syari’ah. MUI membentuk Lembaga Arbitrase Muamalat
– untuk menyelesaikan konflik yang mungkin terjadi antara Bank Syari’ah dengan
Nasabahnya.
UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat
Masih banyak dan akan berkembang masalah-2 hukum yang aktual – memerlukan kajian
keislaman dalam masyarakat modern seperti; kependudukan, KB ( sterilisasi – vasektomi –
tubektomi ), aborsi, asuransi, perbankan dll. Juga perumusan Hukum acara Pidana atau KUHP
secara bertahap diwarnai konsep-konsep Islami sebagai revisi dari konsep hukum peninggalan
belanda.
BAB VIII
SISTEM POLITIK ISLAM
Surat Albaqoroh: 155 menyatakan tidak ada paksaan untuk memeluk Islam karena sudah
jelas yang haq dan yang batil, maka dengan kebebasan tersebut manusia boleh memilihnya
dengan segala resiko jika tidak mau beriman pada Islam.
Islam sebagai sebuah ajaran yang mencakup persoalan spiritual dan politik
telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap kehidupan politik di
Indonesia. Pertama, ditandai dengan munculnya partai-partai yang berazaskan Islam,
serta partai nasionalis yang berbasis umat Islam. Kedua, ditandai dengan sikap pro
aktifnya tokoh-tokoh
Umat Islam Indonesia dapat menyetujui Pancasila dan UUD 1945 setidak-
tidaknya atas dua pertimbangan pertama, nilainya dibenarkan oleh ajaran agama
Islam; dan, kedua, fungsinya sebagai noktah-noktah kesepakatan atas berbagai
golongan, untuk mewujudkan kesatuan politik bersama.