Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH FIQHI MUAMALAH

Pengertian Fiqhi Muamalah

Musmulyadi

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
Yuyun Putria : 18.2400.095
Legis Ikbal : 18.2400.021
Tubagus Candra Aditya : 18.2400.063

FAKULTAS SYARIAH PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PARE-PARE
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang berkodrat hidup dalam bermasyarakat. Sebagai
makhluk sosial dalam hidupnya manusia memerlukan manusia-manusia lainnya lain yang
bersama-sama hidup bermasyarakat, manusia selalu berhubungan satu sama lain, didasari atau
tidak, untuk mencukupkan kebutuhan-kebutuhan hidup.
Para ulama mujtahid dari kalangang para sahabat, tabi’in, dan yang telah mereka tidak
henti-hentinya mempelajari semua fenomena dan permasalahan manusia atas dasar ushul syariat
dan kaidah-kaidahnya yang bertujuan untuk menjelaskan dan menjawab hukum-hukum
permasalahan tersebut supaya dapat dimanfaatkan pada masa-masanya dan setelahnya.

2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Fiqh Mualamah serta bagaimana kekhususannya?
2. Bagaimana Pembagian Fiqh Muamalah?
3. Bagaimana Ruang Lingkup Fiqh Mualamah?
4. Bagaimana Pendapat ahli madzab mengenai fiqh muamalah tersebut?

3. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini agar kita dapat mengetahui bagaimana pengertian fiqh
mualamah, bagaimana pembagian fiqh muamalah, bagaimana ruang lingkup fiqh mualamah, dan
Bagaimana Pendapat ahli madzab mengenai fiqh muamalah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Fiqh Mu’amalah


Fiqh mu’amalah terdiri atas dua kata yaitu fiqih dan muamalah.
1. Fiqih
Menurut etimologi (bahasa), fiqh adalah ( ‫( )الفهم‬paham), seperti pernyataan: ( ‫)فقهت الدرس‬
(saya paham pelajaran itu). Arti ini antara lain, sesuai dengan arti fiqih dalam salah satu hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Buhkhari: 1
‫منيرداللهبهخيرايفقهه ف الدين‬
Artinya:
“barang siapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang yang baik di sisinya, niscaya
diberikan kepadanya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama”.

Menurut terminologi, fiqih mulanya berarti pengetahuan keagamaan yang mencakup


seluruh ajaran agama, baik berupa akidah, akhlak, maupun amaliah (ibadah), yakni sama dengan
arti Syari’ah Islamiyah. Namun pada perkembangan selanjutnya, fiqih diartikan sebagai bagian
dari syari’ah Islamiya, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan
dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil
yang terperinci.
Masih banyak definisi fiqh lainnya yang dikemukakan para ulama. Ada yang
mendefinisikannya sebagai dalil yang mendasar ketentuan hukum islam. Ada pula yang
menekankan bahwa fiqih adalah hukum syariah yang diambil dari dalilnya. Namun demikian
pendapat yang menarik untuk dikaji adalah pernyataan imam Haramain bahwa fiqih merupakan
pengetahuan hukum syara’ dengan jalan ijtihad. Demikian pula dengan pendapat Al-Amidi
bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan hukum dalam fiqih adalah melalui kajian dari
penalaran (nadzar dan istidhah). Pengetahuan hukum yang tidak melalui ijtihad (kajian), tetapi
bersifat dharuri, seperti shalat lima waktu wajib, zina haram, dan masalah-masalah qaht’i
lainnya tidak termasuk fiqih.
Hal itu menunjukkan bahwa fiqih bersifat ijtihad atau zhanni. Pada perkembangan
selanjutnya, istilah fiqih sering dirangkaikan dengan kata Al-Islami sehingga terangkai Al-Fiqh
Al-Islami, yang sering diterjemahan dengan hukum Islam yang memiliki cakupan sangat luas.
Pada perkembangan selanjutnya, ulama fiqih membagi fiqih menjadi beberapa bidang, salah
satunya adalah fiqih muamalah.

2. Mu’amalah
Menurut etimologi, kata muamalah adalah bentuk masdar dari kata’amala yang artinya
saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengenal. Muamalah ialah segala aturan agama yang
mengatur hubungan antara sesama manusia, dan antara manusia dan alam sekitarnya,tanpa
memandang agama atau asal usul kehidupannya.

1
Prof. Dr. H. Rachmat Syafei, MA, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001) hal 13
Pengertian muamalah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian muamalah
dalam arti luas dan pengertian muamalah dalam arti sempit. Definisi muamalah dalam arti luas
dijelaskan oleh para ahli sebagai berikut:2
a) Al Dimyati berpendapat bahwa muamalah adalah:
‫التحصيل الدنيؤي ليكون سببالالخر‬
“menghasilkan duniawi, supaya menjadi sebab suksesnya masalah ukhrawi.”

b) Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa muamalah adalah peraturan-peraturan Allah


yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan
manusia.
c) Muamalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan
manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan.
Dari pengertian dalam arti luas diatas, kiranya dapat diketahui bahwa muamalah adalah
aturan-aturan (hukum) Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi
dalam urusan sosial. Sedangkan pengertian muamalah dalam arti sempit (khas), didefinisikan
oleh para ulama sebagai berikut:
 Menurut Hudlari Byk:
‫المعامالت جميع العقود التى بها يتبادل منافعه َم‬
“muamalah adalah segala akad yang membolehkan manusia saling menukar
manfaatnya”.
 Menurut Idris Ahmad muamalah adalah aturan-aturan Allah yang mengatur tentang
hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat
keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.
 Menurut Rasyid Ridha, muamalah adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang
bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.3
Menurut Basyir, mendefinisikan muamalah dengan “pergaulan hidup tempat setiap orang
melakukan perbuatan dalam hubungannya dengan orang lain”. Anwar menjelaskan, “muamalah
secara harfiah berarti pergaulan atau hubungan satu orang dengan orang lain”. Pengertian umum,
muamalah diartikan sebagai aktivitas di luar ibadah. Muamalah”al-mufaa’ilah” yaitu
kerja/aktivitas yang berarti tata sistem hubungan aktivitas kehidupan sehari-hari.

3. Pengertian Fiqih Muamalah


Adapun pengertian Fiqih Muamalah yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan
manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan, misalnya persoalan dalam jual beli, utang
piutang, kerja sama dagang, perserikatan, kerjasama dalam penggarapan tanah, dan sewa-
sewanya. Manusia dalam definisi di atas maksudnya ialah seseorang yang telah mukalaf, yang
telah dikenai beban taklif, yaitu yang telah berakal, balig dan ceras.4

Kekhususan
      Fiqih islam mempunyai kekhususan diantaranya adalah:
1) Fiqih berasaskan kepada wahyu Allah

2
Drs. H. Hendi Suhendi. M,Si, Fiqh Muamalah, (pertama; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002) hal 1
3
Drs. H. Hendi Suhendi. M,Si, Fiqh Muamalah, (pertama; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002) hal 2
4
Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, M.A dkk, Fiqh Muamalat (cetakan ke2; Jakarta: Kencana, 2010) hal 4
              Berbeda dengan hukum positif yang ada materi-materi fiqih bersumber dari wahyu
Allah yang berada dalam Al-quran dan As-sunnah. Dalam menyimpulkan hukum syara’
(beristimbat), setiap mujtahid harus mengacu kepada nash-nash yang berada dalam kedua
sumber tersebut, menjadikan semangat syari’at sebagai petunjuk, memperhatikan tujuan-tujuan
umum syari’at islamiah dan juga berpegang kepada kaidah serta dasar-dasar umum hukum islam.
2) Fiqih sangat kental dengan karakter keagamaan (hukum halal dan haram)
Hukum-hukum muamalah dapat dikategorikan kedalam dua kelompok, yaitu :
Hukum duniawi. Yaitu keputusan hukum yang didasarkan atas tindakan atau perilaku lahiriah.
Inilah yang dinamakan hukum pengadilan (al-haukm al-qadhaai)karena seorang hakim
memutuskan hukum berdasarkan pengamatan yang ia mampui saja. Keputusan seorang hakim
tidak akan menyebabkan hal yang batil menjadi kebenaran, atau suatu kebenaran menjadi ke
bathilan. Hasil keputusan hakim mengikat dan harus dilaksanakan, berbeda dengan hasil
keputusan fatwa.
Hukum ukhrawi. Yaitu keputusan hukum yang didasarkan kepada kondisi yang sebenarnya.
Hukum ini digunakan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Allah S.W.T. perkara
yang menyebabkan lahirnya dua jenis hukum syara’ ini adalah karena syari’ah adalah wahyu
Allah swt yang mengandung pahala dan siksaan didunia dan diakhirat. Hasil dari perbedaan ini
sangat jelas sekali. Umpamanya adalah dalam persoalan talak, sumpah, utang piutang,
pembebasan utang dan paksaan. Atas dasar ini, maka timbulah perbedaan tugas antara seorang
qadhi dan seorang mufti. Qadhi mengeluarakan hukum berdasarkan perkara-perkara yang dzahir
saja, sedangkan seorang mufti mengeluarkannya dengan memperhatikan perkara batin dan dzahir
sekaligus.

B. Pembagian Fiqh Muamalah


Penetapan pembagian fiqh muamalah yang telah dikemukakan ulama fiqih sangat berkaitan
dengan definisi fiqih muamalah yang telah mereka buat, yaitu dalam arti luas atau dalam arti
sempit. Ibn Abidin, salah seorang yang mendefinisikan fiqih muamalah dalam arti luas,
membaginya menjadi lima bagian:5
1. Muawadhah Maliyah (hukum Kebedaan)
2. Munakahat (Hukum Perkawinan)
3. Muhasanat (Hukum Acara)
4. Amanat dan ‘Aryah (Pinjaman)
5. Tirkah (Harta Peninggalan)
Pada pembagian di atas, ada dua bagian yang merupakan disiplin ilmu tersendiri. Yaitu
munakahat dan tirkah. Hal itu bisa dimaklumi, sebab sebagaimana penulis kemukakan di atas,
Ibn Abidin menetapkan pembagian di atas dari sudut fiqi muamalah dalam pengertian luas.
Sedangkan Al-Fikri, dalam kitab Al-Muamalah Al-Madiyah, wa Al-Adabiyah, membagi fiqih
muamalah menjadi dua bagian:
1. Al-Muamalah Al-Madiyah
Al-muamalah al-madiyah adalah muamalah yang mengkaji segi objek, yaitu benda.
Sebagian ulama berpendapat bahwa muamalah al-madiyah bersifat kebedaan, yakni
benda yang halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diperjualbelikan atau diusahakan,
benda yang menimbulkan kemadaratan dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia,
dan lain-lain.
5
Prof. Dr. H. Rachmat Syafei, MA, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001) hal 16
Dengan kata lain, al-muamalah al-madiyah adalah aturan-aturan yang telah ditetapkan
syara’ dari segi objek benda. Oleh karena itu, berbagai aktivitas muslim yang berkaitan
dengan benda, seperti al-bai’ (jual-beli) tidak hanya ditujukan untuk memperoleh
keuntungan semata, tetapi lebih jauh dari itu, yakni untuk memperoleh rida Allah.
Konsekuensinya harus menuruti tata cara jual-beli yang telah ditetapkan syara’.
2. Al-Muamalah Al-Adabiyah
Al-muamalah al-adabiyah maksudnya, muamalah ditinjau dari segi cara tukar menukar
benda, yang sumbernya dari panca indra manusia, sedangkan unsur-unsur penegaknya
adalah hak dan kewajiban, seperti jujur, hasud, iri, dendam, dan lain-lain.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, al-muamalah al-adabiyah adalah aturan-aturan
Allah yang berkaitan dengan aktivitas manusia dalam hidup bermasyarakat yang ditinjau
dari segi subjeknya, yaitu manusia sebagai pelakunya, dengan demikian, maksud
adabiyah antara lain berkisar dalam keridaan, ijab kabul, dusta, dan lain-lain.
Pada prakteknya al-muamalah al-madiyah dan al-muamalah al-adabiyah tidak dapat
dipisahkan. Dengan demikian, pembagian di atas sebatas teoritis saja.6

C. Ruang Lingkup Fiqh Mualamah


Secara garis besar ruang lingkup fiqih muamalah adalah seluruh kegiatan manusia
berdasarkan hukum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau
larangan seperti wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. Hukum-hukum fiqih terdiri dari
hukum-hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertikal
antara manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia lainnya.

Ruang lingkup fiqih muamalah terbagi menjadi dua:

1. Al-Muamalah Al-Madiyah
Ruang lingkup pembahasan muamalah madiyah iyalah
a. masalah jual beli (al-ba’i/al-tijaharah),
b. gadai (ar-rahn),
c. jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhaman),
d. pemindahan utang (al-hiwalah),
e. jatuh bangkrut (taflis),
f. batasan bertindak (al-hajru),
g. perseorangan atau perkongsian (al-syirkah),
h. perseorangan harta dan tenaga (al-mudharabah),
i. sewa-menyewa (al-ijarah),
j. pemberian hak guna pakai (al-‘ariyah),
k. barang titipan (al-wadhi’ah),
l. barang temuan (al-luqathah),
m. garapan tanah (al-muzara’ah),
n. sewa menyewa tanah (al-mukharabah),
o. upah (ujrah al’amal),
p. gugatan (al-syuf’ah) sayembara (al-ji’alah),
q. pembagian kekayaan bersama (al-qismah),

6
Prof. Dr. H. Rachmat Syafei, MA, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001) hal 17
r. pemberian (al-hibah),
s. pembebasan (al-ibra’),
t. damai (al-shulhu),
u. dan ditambah dengan beberapa masalah kontemporer (al-mu’ashirah/al-muhadist),
v. seperti masalah bank, dan asuransi kredit.

2. Al-Muamalah Al-Adabiyah.
Ruang lingkup muamalah yang bersifat adabiyah ialah ijab kabul, saling meridai, tidak
ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan,
pemalsuan, penumbuanan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada
kaitannya dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.7

D. Madzab
            Kata madzab menurut arti bahasa ialah tempat untuk pergi ataupun jalan. Dari segi istilah,
madzab berarti hukum-hukum yang terdiri atas kumpulan permasalahan. Dengan pengertian ini,
maka terdapat persamaan makna antara makna bahasa dan istilah.
1) Abu Hanifah, An nu’man bin Tsabit (80-150 H), Pendiri Madzab Hanafi
Imam Abu Hanifah adalah imam ahlur ra’yu dan ahli fiqh iraq, juga pendiri
madzab hanafi.Abu Hanifah menuntut ilmu hadis dan fiqh dari ulama-ulama yang terkenal. Dia
belajar ilmu fiqh selama 18 tahun kepada Hammad bin Abi Sulaiman yang mendapat didikan
(murid) dari ibrahim an nakha i.Abu Hanifah sangat berhati-hati dalam menerima hadits. Dia
menggunakan qiyas dan istihsan secara meluas. Dasar madzabnya adalah ialah Al kitab, As
sunnah, ijma’, qiyas, dan istihsan. Dia telah menghasilkan sebuah kitab dalam bidang ilmu
kalam, yaitu al fiqh al akbar. Dan dia juga mempunyai al musnad dalam bidang hadis. Tidak ada
penulisan dia dalam bidang ilmu fiqh.
2) Imam Malik bin Anas (93-179)
Imam Malik bin Abu Amir al-Asbahi ialah tokoh dalam fiqh dan hadits di Darul Hijrah
(Madi’in) setelah zaman tabi’in. Imam malik adalah imam dalam ilmu hadis dan fiqh. Kitab dia
al-Muwaththa’ adalah sebuah kitab besar dalam hadis dan fiqh. Imam Malik menuntut ilmu
kepada ulama-ulama Madinah. Diantara mereka ialah Abdul rahman. Sedangkan gurunnya dalam
bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdul Rahman. Imam Malik terkenal dengan sikapnya yang
berpegang kuat kepada As sunnah, amalan ahli Madinah, al-Mashalih al-Mursalah, pendapat
sahabat (qaul sahabi) jika sah sanadnya dan al istihsan. Murid-murid Imam Malik ada yang
datang dari Mesir, Afrika Utara, dan Spanyol.
3) Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150-204 H) Pencetus Madzab Syafi’i
Imam asy Syafi’i belajar di Mekah kepada muftinya, yaitu Muslim bin Khalid al Zanji
hingga Imam asy Syafi’i mendapat izin untuk memberikan fatwa. Imam asy syafii adalah
seorang mujtahid mutlak. Dia adalah imam di bidang fiqh, hadis, dan ushul. Dia telah berhasil
menggabungkan ilmu fiqh ulama hijaz dengan ulama’ Iraq. Sumber Madzab Imam Asy syafi’i
ialah Al qur’an dan As sunnah. Kemudian ijma’ dan qiyas. Dia tidak mengambil pendapat
sahabat sebagai sumber madzabnya, karena ia merupakan ijtihad yang ada kemungkinan salah.
Dia juga tidak beramal dengan istihsan yang diterima oleh golongan Hanafi dan Maliki. Seperti
imam madzab lainnya , Imam Syafii menentukan thuruq al istinbat al ahkam tersendiri. Apabila
tidak ada dalam Al qur’an dan As sunnah, ia melakukan qiyas terhadap keduannya. Apabila hadis

7
Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, M.A dkk, Fiqh Muamalat (cetakan ke2; Jakarta: Kencana, 2010) hal 6
telah muttashil dan sanadnya sahih, berarti ia termasuk berkualitas (muntaha). Makna hadis yang
di utamakan adalah makna zhahir; ia menolak hadis muqhatiq kecuali yang di riwayatkan oleh
Ibn al Musayyab. pokok (al asl) tidak boleh di analogikan kepada pokok, pokok tidak perlu di
pertanyakan ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ (lima wa aifa) ; ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ hanya
dipertanyakan kepada cabang (furu’) .
             Sumber Madzab Imam Asy syafi’i ialah Al qur’an dan As sunnah. Kemudian ijma’ dan
qiyas. Dia tidak mengambil pendapat sahabat sebagai sumber madzabnya, karena ia merupakan
ijtihad yang ada kemungkinan salah. Dia juga tidak beramal dengan istihsan yang diterima oleh
golongan Hanafi dan Maliki.
             Adapun yang meriwayatkan madzab baru Imam asy syafi’i dalam al-Umm juga empat
orang muridnya dari kalangan penduduk Mesir. Mereka ialah al-Muzani, al-Buwaiti, ar-Rabi’ al
jizi dan ar-Rabi’ bin Sulaiman al Muradi, dan lain-lain. Fatwa yang terpakai dalam Madzab
Syafi’i ialah qaul jadidnya dan bukan qaul qadimnya, karena Imam asy-syafi’i telah menariknya
kembali dengan berkata, “Aku tidak membenarkan orang meriwayatkannya dariku.”
            Rujukan utama yang pada awalnya diimlakan kemudian ditulisnya adalah kitab al Umm .
Menurut Imam Abu Zahrah , kitab ini merupakan al hujjah al ula dalam aliran Syafii dianggap
sebagai Bapak Ushul al Fiqh . Fakhr al din al razi berpendapat bahwa nisbah al syafii terhadap
ilmu ushul al fiqh seperti nisbah aristoteles terhadap ilmu mantiq dan nisbah al khalid ibn Ahmad
terhadap ilmu Arudl (Manna al Qathan, 1989 : 234)
Ahmad Nahrawi’ Abd al-Salam (1994-710-7) menginformasikan bahwa kitab-kitab Imam
al Syafii adalah Musnad li al syafi’i, al hujjah, al mabsuth, al Risalah, dan al-Umm. Kitab-kitab
lain,baik dalam bidang fiqh ,kaidah fiqh maupun ushul fiqh , jumlahnya banyak beredar di
Indonesia. Berikut ini di antara kitab-kitab kaidah fiqh Aliran Syafi’iah.
4) Ahmad bin Hambal Asy-Syaibani (164-241) Pencetus Madzab hambali
Imam Ahmad belajar fiqh kepada Imam asy-syafii semasa dia berada di baghdad.
Akhirnya Imam Ahmad menjadi seorang mujtahid mustaqil.
         Ahmad bin hambal adalah tokoh dari bidang hadis, sunnah, dan fiqh.dasar madzab dalam
ijtihadnya adalah hampir sama dengan prinsip madzab syafii. Ini karena dia di didik oleh imam
syafii. Dia menerima al qur’an ,as sunnah, fatwa sahabat, ijma,qiyas,istishab,marsalih mursalah
dan dzarai. Imam Ahmad tidak mengarang kitab fiqh, sehingga sahabatnya mengumpulkan
pendapat madzabnya berdasarkan perkataan, perbuatan, jawaban imam ahmad.
Dia telah menghasilkan al-musnad dalam hadis ,yang mengandung lebih daripada 40 ribu
hadis. Dia mempunyai kekuatan hafalan yang amat kuat.dia mengamalkan hadis mursal (hadis
yang dalam sanadnya, rawi shahbinya tidak ada.
5) Abu Sualaiman Daud bin Ali Al- Asfihani Az-zahiri
Imam Dawud adalah diantara hufazd hadist (golongan yang sampai kepada martabt al-
hafizh dalam hadist), ahli fiqih yang mujtahid dan mempunyai madzhab yang tersendiri setelah
dia mengikut madzhab syafi’i di Baghdad.
Asas madzhab zahiri ialah beramal dengan zahir al-qur’an dan as-sunnah selama tidak
ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dikehendaki darinya adalah bukan makna yang dzahir.
Jika tidak ada nash maka berpindah pada ijma’ dengan syarat hendaklah ia merupakan ijma’
seluruh ulama’. Mereka juga menerima ijma’ sahabat. Jika tidak didapati nash atau ijma’
menggunakan istishab, yaitu al-ibhah al-hasliyyah atau kemubahan yan natural/asal.
Qiyas, ra’yu dan istihsan, dzara’i dan mencari illat nash-nash hukum dengan
menggunakan ijtihad adalah ditolak. Cara-cara itu tidak dianggap sebagai dalil dalam hukum
sebagaimana mereka menolak taqlid.Diantara contoh masalah fiqih menurut mereka ialah
pengharaman menggunakan bejana dari emas dan perak hanyalah untuk minum.
6) Zaid bin Ali Zainal Abidin Ibnul Husain (Wafat 122 H).
Dia adalah imam pada zamannya dan merupakan ahli ilmu dalam berbagai bidang.
karena ketinggian ilmunnya di bidang ulumul qur’an., qira’at dan fiqh, maka dia digelari sebagai
halif al qur’an. Dia telah menulis kitab fiqh betjudul al majmu’ yang merupakan kitab fiqh yang
tertua di cetak di Itali
Fiqh madzab ini lebih cenderung kepada fiqh ahli iraq pada zaman permulaan kelahiran
syiah dan para imam mereka. Ia tidak mempunyai perbedaan yang banyak dengan fiqh ahli
sunnah. Walaupun demikian, terdapat beberapa perbedaan dalam masalah-masalah yang
masyhur. Di antarannya adalah tidak boleh menyapu khuf, dan haram sembelihan orang islam ,
dan haram kawin dengan kitabiyah , karena Allah  SWT berfirman, “dan janganlah kamu (wahai
umat islam) tetap berpegang kepada akad perkawinan kamu dengan perempuan-perempuan yang
(kekal dalam keadaan) kafir…”
          Mereka juga berbeda pendapat dengan golongan syiah Imamiyah dalam persoalan
bolehnya kawin mut’ah. Mereka perbendapat, kawin mut’ah tidak boleh. Dalam aqidah, mereka
mengikuti paham muktazilah. Dalam mengeluarkan hukum, mereka bersandar kepada Al qur’an,
hadits, ijtihad dengan menggunakan pikiran, qiyas, istihsan, masalih mursalah dan istishab.
          Kesimpulannya, golongan zahidiyyah adalah dinisbahkan kepada zaid, karena dia adalah
imam mereka. Berbeda dengan golongan hanafi dan syafii umpamannya, sekirannya pengikut
madzab Zaidiyah tidak menemukan hukum pada cabang persoalan fiqh dalam madzab mereka ,
maka mereka akan berpegang kepada pendapat imam mereka.
7) Al Imam Abu Abdullah Ja’far Ash Shadiq Bin Muhammad Al Baqir Bin Ali Zainal
Abidin Ibnul Husain (80-148 H / 699-765 M) pencetus madzab imamiyah.
Fiqh imamiyyah dekat dengan madzab syafii, dan ia tidak berbeda dalam perkara-
perkara yang masyhur yang terdapat dalam fiqh Ahli sunnah kecuali dalam lebih kurang 17
masalah. Diantara yang utama ialah tentang bolehnya nikah Mut’ah. Perbedaan mereka lebih
kurang sama saja dengan perbedaan pendapat di kalangan madzab-madzab fiqh seperti hanafi
dan syafii. Madzab syiah imamiyyah ini tersebar hingga sekarang di Iran dan Iraq. Pada
hakikatnya, perbedaan antara mereka dengan ahli sunnah tidaklah berasaskan kepada soal
pemerintahan dan imam.
Di antara masalah-masalah fiqh penting yang berbeda dengan ahli sunnah ialah bolehnya
nikah dalam jangka waktu tertentu (nikah mut’ah), diwajibkannnya mendatangkan sanksi ketika
perceraian, mengharamkan sembelihan ahli kitab dan kawin dengan wanita nasrani dan yahudi
(sama dengan pendapat zaidiyah). Dalam harta warisan, mereka mengutamakan anak paman
seibu seayah atas paman seayah. Mereka juga mengatakan bahwa tidak boleh menyapu khuf
,cukup menyapu kedua belah kaki dalam wudhu.
8) Abusy Sya’tsa At-Tabi’i, Jabir bin Zaid (meninggal 193 H) pencetus madzab
ibadiyah
Pendapat yang utama menurut muktamad menurut mereka ialah ilham yang diperoleh
oleh orang selain nabi Muhammad Saw. Tidak dapat menjadi hujjah dalam hukum syara’ bagi
orang selain yang mendapat ilham tersebut. Madzab ini masih diikuti di daerah Oman, Afrika
Timur (Tanzania), Aljazair, Libya, dan Tunisia.
Dalam Akidah, mereka menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal
dalam neraka, jika mereka tidak bertobat. Mereka mengatakan bahwa muwalat (loyal) kepada
orang yang taat dan bara’ah (melepaskan hubungan) dengan orang yang maksiat adalah wajib.
Mereka mengatakan boleh mengatakan taqiyyah dalam perkataan, tetapi tidak boleh dalam
perbuatan. Mereka mengatakan sifat Allah ialah zat itu sendiri,. Artinya ialah, sifat nya ada pada
zat Nya dan bukan yang lain dari Nya. Dengan konsep ini, mereka bermaksud bahwa bahwa
Allah swt tidak dapat dilihat di akhirat. Tujuan mereka ialah mengagungkan dan menyucikan
Allah SWT. Tetapi mereka tidak berkata seperti muktazilah bahwa baik dan buruk dapat
ditemukan melalui akal, dan juga mereka tidak mengatakan bahwa Allah SWT wajib melakukan
perbuatan baik dan yang lebih baik yaitu as Sa’ah wal Aslah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Pengertian Muamalah menurut bahasa berasal dari kata ‫ يعامل معملة_عامل‬sama dengan
wazan: ‫ة_فاعل‬zz‫ل _مفاعل‬zz‫ يفاع‬, artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling
mengamalkan. Menurut istilah, pengertian muamalah dapat dibagi menjadi dua macam,
yaitu pengertian muamalah dalam arti luas diketahui bahwa muamalah adalah aturan-
aturan (hukum) Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi
dalam urusan sosial; dan pengertian muamalah dalam arti sempit menurut Rasyid Ridha,
muamalah adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara
yang telah ditentukan.
2. Menurut etimologi (bahasa), fiqh adalah ( ‫( )الفهم‬paham), seperti pernyataan: ( ‫)فقهت الدرس‬
(saya paham pelajaran itu). Sedangkan menurut terminologi, fiqih mulanya berarti
pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah,
akhlak, maupun amaliah (ibadah), yakni sama dengan arti Syari’ah Islamiyah.
1. Ruang lingkup pembahasan muamalah madiyah iyalah masalah jual beli (al-ba’i/al-
tijaharah), gadai (ar-rahn), jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhaman), pemindahan
utang (al-hiwalah), jatuh bangkrut (taflis), batasan bertindak (al-hajru), perseorangan atau
perkongsian (al-syirkah), perseorangan harta dan tenaga (al-mudharabah), sewa-menyewa
(al-ijarah), pemberian hak guna pakai (al-‘ariyah), barang titipan (al-wadhi’ah), barang
temuan (al-luqathah), garapan tanah (al-muzara’ah), sewa menyewa tanah (al-
mukharabah), upah (ujrah al’amal), gugatan (al-syuf’ah) sayembara (al-ji’alah),
pembagian kekayaan bersama (al-qismah), pemberian (al-hibah), pembebasan (al-ibra’),
damai (al-shulhu), dan ditambah dengan beberapa masalah kontemporer (al-
mu’ashirah/al-muhadist), seperti masalah bank, dan asuransi kredit.
Daftar Pustaka

Ghazaly, A. R. (2012). Fiqhi Muamalat. Jakarta: Kencana.


Suhendi, H. (2002). Fiqhi Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syafei, R. (2001). Fiqhi Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai