Anda di halaman 1dari 426

MAKALAH FIQIH MUAMALAH

Dosen Pengampu :Dr. Asman Arsyad, S.AG., M.Ag.

DISUSUN OLEH: KELOMPOK 1 AKUNTANSI B

MUTHIA AYRA RAMADHANI (90400121035)

BASO AHMAD ALFIAN (90400121036)

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN AJARAN 2021/2022

1|Page
BAB 1
PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk yang membutuhkan banyak hal dalam


menjalankan kehidupannya. Tentu saja jika tidak terpenuhi, manusia akan
kesulitan untuk bishidup dengan baik dan optimal dalam menjalankan proses
aktivitasnya. Untuk itu, segala kehidupan manusia membutuhkan alat atau sarana
untuk memenuhinya termasuk berhubungan dengan interaksi sosial bersama
manusia lainnya agar mencapai tujuan penciptaan manusia, konsep manusia
dalam islam, dan hakikat manusia menuurut islam sesuai dengan fungsi agama.

Muamalah adalah salah satu aspek dari ajaran yang telah melahirkan
peradaban islam yang maju dimasa lalu. Ia merupakan satu bagian dari syariat dan
islam, yaitu yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungan dengan
manusia, masyarakat dan alam berkenaan dengan kebendaan dan kewajiban.1

Diantara permasalahan yang paling berkembang dalam kehidupan


bermasyarakat hari ini adalah masalah muamalah, khususnya muamalah maliyah
atau interaksi sesama manusia yang berkaitan dengan uang dan harta dengan
segala bentuk dan macam transaksinya. Hal ini tidak dapat kita bendung, sebab
perubahan itu terjadi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
kemajuan teknologi.

Dalam persoalan muamalah syariat islam lebih banyak memberikan


penjelasan terkait prinsip dan kaidah secara umum dibandingkan jenis dan bentuk
muamalah secara terperinci. Memang telah kita ketahui bahwa manusia adalah
makhluk sosial yang tidak lepas dari kegiatan muamalah.

Terdapat beberapa objek pembahasan dalam fikhi muamalah diantaranya


meliputi pembahasan tentang harta (al-mal), hak-hak kebendaan (al-huquq), dan
hukum perikatan (al-‘aqd). Untuk menjalankan muamalah, maka terdapat prinsip-

1
Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah Klasik dan Kontenporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012),
hlm.9.

2|Page
prinsip yang harus dilakukan oleh umat islam. Hal ini sebagaimana nilai-nilai
yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah. Untuk pembahasan yang lebih lanjut, akan
kami bahas didalam isi makalah ini.

3|Page
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN FIQIH DAN FIQIH MUAMALAH

Secara etimologis, fiqh identik dengan al-fahm yang berarti pengetahuan atau
pemahaman. Sedangkan secara terminologi, fiqh adalah ilmu tentang hukum-
hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang
terperenci.2 Sehinggs dapat dipahami bahwa fiqh merupakan hasil daya upaya
pemahaman terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis dan untuk memahaminya
diperlukan proses ijtihad.

Hakekat ilmu fiqih adalah ajaran-ajaran Islam yang berhubungan dengan


perbuatan mukallaf yang diperoleh melalui penggalian atau istinbat dari dalil-dalil
syraa’ oleh ahli fiqih.3

Ilmu fiqih adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat
di dalam al-quran dan sunnah Nabi Muhammad SAW untuk diterapkan pada
perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban
melaksanakan hukum islam.4

Sehinggs dapat dipahami bahwa fiqh merupakan hasil daya upaya pemahaman
terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis dan untuk memahaminya diperlukan
proses ijtihad. Dengan kata lain Fikih adalah pengetahuan yang dihasilkan dari
sejumlah hukum syariat yang bersifat cabang yang digunakan sebagai landasan

2
Abdul Rasyid As’ad, Fiqih Islam Dengan Pendekatan Kontekstual (Mojokerto: Mahkama Agung
RI, 2013), hlm. 1.
3
Arif Shaifuddin. “ Fiqih dalam perspektif filsafat ilmu: Hakikat dan objek ilmu fiqih”. Jurnal
Hukum dan pranata social Islam. Vol, 1 No, 2 (2019). 197-206
4
Nurhayati, Memahami Konsep Syariah, Fikhi, Hukum dan Ushul Fiqhi. Jurnal Hukum Ekonomi
Syariah. Vol, 2 No, 2 (2018).

4|Page
untuk masalah amal perbuatan dan bukan digunakan landasan dalam masalah
akidah .

Menurut istilah fiqih muamalah adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’


Yang mengatur hubungan atau interaksi antara manusia dengan manusia yang lain
dalam bidang kegiatan ekonomi. Muamalat mempunyai dua arti, yaitu arti umum
dan arti khusus. Dalam arti umum, muamalat mencakup semua jenis hubungan
antara manusia dengan manusia dalam segala bidang. Dengan demikian,
perkawinan juga masuk dalam bidang muamalat, karena didalamnya diatur
hubungan antara manusia dengan manusia, yaitu suami dan istri.5

Dalam arti khusus, muamalat hanya mencakup hubungan antara manusia


dengan manusia, dalam hubungannya dengan harta benda. Dengan demikian,
perkawinan tidak termasuk muamalat dalam arti khusus, karena sasarannya bukan
harta benda, melainkan kenikmatan hubungan antara laki-laki dan perempuan,
disamping masalahkeluarga. 6

Fikih Muamalat terdiri dari dua kata yaitu, fikih dan muamalah. Fikih
merupakan bentuk kata benda dari kata faqaha yang berarti mendalami sesuatu.
Faqaha merupakan bentuk kata kerja yang menuntut kesungguhan seseorang
dalam memahami dan mendalami sesuatu. Fikih muamalah Maliyah dapat
diartikan sebagai pengetahuan tentang kegiatan atau transaksi yang berdasarkan
hukum-hukum syariat mengenai perilaku manusia dalam kehidupanya
berhubungan dengan pengelolaan harta, perputaran uang, mencari rizki, seperti
jual beli, perdagangan dll.7

Muamalah menurut Fiqh ada dua macam yaitu pengertian dalam arti luas dan
pengertian dalam arti sempit. Dalam arti luas, Fiqh Muamalah artinya yaitu aturan
Allah yang mengatur masalah hubungan manusia dan usaha mereka dalam
mendapatkan kebutuhan jasmani dengan jalan yang terbaik. Sedangkan dalam arti

5
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm.2.
6
Ibid
7
Muhammad Maksum, Hasan Ali, Dasar-Dasar Fiqih Muamalah, hlm. 2-5

5|Page
sempit, Muamalah merupakan kegiatan tukar menukar suatu barang dengan
sesuatu yang bermanfaat menggunakan cara-cara yang sesuatu aturan islam.8

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwasanya fiqih muamalat


mempunyai dua pengertian, yaitu dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas,
fiqih muamalat mencakup seluruh jenis hubungan antara manusia dan manusia
untuk menjalankan kehidupan duniawi dalam pergaulan sosial dan memenuhi
kebutuhan jasmani. Contohnya perwalian, perkawinan, warisan dan lain-lain.
Sedangkan dalam arti sempit, muamalat hanya mencakup hubungan manusia
dengan manusia lain dalam pengelolaan harta, mencari rezeki seperti jual beli,
berdagang, menggunakan cara-cara yang sesuai dengan aturan syariat.

8
Erwandi Tarmizi, “Manfaat dan Ruang Lingkup Muamalah” https://heycravings.com/muamalah-
dalam-islam/ (diakses pada 20 Maret 2022, 15.00)

6|Page
B. OBJEK PEMBAHASAN FIQIH MUAMALAH

Dari definisi yang dikemukakan di atas dapat diketauhui bahwa objek


pembahasan fiqih muamalat adalah hubungan antara manusia dengan manusia
lain yang berkaitan dengan benda atau mal. Hakikat dari hubungan tersebut adalah
berkaitan dengan hak dan kewajiban antara manusia yang satu dengan manusia
yang lain.9

Hak dan kewajiban dua orang yang melakukan transaksi diatur sedemikian
rupa dalam fiqih muamalat, agar setiap hak sampai kepada pemiliknya, dan tidak
ada orang yang mengambil sesuatu yang bukan haknya. Dengan demikian,
hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya terjalin dengan baik dan
harmonis, karena tidak ada pihak-pihak yang merugikan dan yang dirugikan.10

Dalam hal ini, objek kajian atau ruang lingkup fiqh muamalah secara garis
besar meliputi pembahasan tentang harta (al-mal), hak-hak kebendaan (al-huquq),
dan hukum perikatan (al-aqad).

a. Hukum Benda,terdiri dari: Pertama, konsep harta (al-mal),meliputi


pembahasan tentang pengertian harta, unsur-unsur dan pembagian
jenis-jenis harta. Kedua, konsep hak (al-huquq), meliputi pembahasan
tentang pengertian hak, sumber hak, perlindungan dan pembatasan
hak, dan pembagian jenis-jenis hak. Ketiga, konsep tentang hak milik
(al-milkiyah), meliputi pembahasan tentang pengertian hak milik,
sumber-sumber pemilikan, dan pembagian macam-macam hak milik.
b. Konsep Umum Akad, mambahas tentang pengertian akad dan
tasharruf (transaksi), unsur-unsur akad dan syariat masing-masing
unsur, dan macam-macam akad.
c. Aneka Macam Akad Khusus membahas tentang berbagai macam
transaksi muamalah seperti berikut: jual beli (al-bai’ at tijarah), gadai

9
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm.2.
10
Ibid, hlm. 3.

7|Page
(rahn), jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhaman), pemindahan
hutang (hiwalah), perkongsian(asy-syirkah) dan lain sebagainya.11

Dilihat dari segi bagian-bagiannya, ruang lingkup syariah dalam bidang


muamalah, menurut Abdul Wahhab Khallaf, meliputi:

1. Ahkam al-Ahwal al-Syakhiyyah (Hukum Keluarga), yaitu hukum-hukum


yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami, istri dan anak. Ini
dimaksudkan untuk memelihara dan membangun keluarga sebagai unit
terkecil.
2. al-Ahkam al-Maliyah (Hukum Perdata), yaitu hukum tentang perbuatan
usaha perorangan seperti jual beli (Al-Bai’ wal Ijarah), pegadaian (rahn),
perserikatan (syirkah), utang piutang (udayanah), perjanjian (‘uqud ).
Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur orang dalam kaitannya dengan
kekayaan dan pemeliharaan hak-haknya.
3. Al-Ahkam al-Jinaiyyah (Hukum Pidana), yaitu hukum yang bertalian
dengan tindak kejahatan dan sanksi-sanksinya. Adanya hukum ini untuk
memelihara ketentraman hidup manusia dan harta kekayaannya,
kehormatannnya dan hak-haknya, serta membatasi hubungan antara pelaku
tindak kejahatan dengan korban dan masyarakat.
4. al-Ahkam al-Murafa’at (Hukum Acara), yaitu hukum yang berhubungan
dengan peradilan (al-qada), persaksian (al-syahadah) dan sumpah (al-
yamin), hukum ini dimaksudkan untuk mengatur proses peradilan guna
meralisasikan keadilan antar manusia.
5. Al-Ahkam al-Dusturiyyah (Hukum Perundang-undangan), yaitu hukum
yang berhubungan dengan perundang-undangan untuk membatasi
hubungan hakim dengan terhukum serta menetapkan hak-hak perorangan
dan kelompok.
6. Al-Ahkam al-Duwaliyyah (Hukum Kenegaraan), yaitu hukum yang
berkaitan dengan hubungan kelompok masyarakat di dalam negara dan
antar negara. Maksud hukum ini adalah membatasi hubungan antar negara

11
Ghufron A Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2002, hal:2

8|Page
dalam masa damai, dan masa perang, serta membatasi hubungan antar
umat Islam dengan yang lain di dalam negara.
7. Al-Ahkam al-Iqtishadiyyah wa al-Maliyyah (Hukum Ekonomi dan
Keuangan), yaitu hukum yang berhubungan dengan hak fakir miskin di
dalam harta orang kaya, mengatur sumber-sumber pendapatan dan
masalah pembelanjaan negara. Dimaksudkan untuk mengatur hubungan
ekonomi antar orang kaya (agniya), dengan orang fakir miskin dan antara
hak-hak keuangan negara dengan perseorangan.12

Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan yang menjadi objek


pembahasan fiqih muamalat ada dua,

1. Bagaimana transaksi itu dilakukan. Hal ini menyangkut dengan etika


(adabiyah) suatu transaksi, seperti ijab kabul, saling meridhai, tidak ada
keterpaksaan dari salah satu pihak, adanya hak dan kewajiban masing-
masing, kejujuran; atau mungkin ada penipuan, pemalsuan, penimbunan,
dan segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya
dengan peredaran harta dalam kehidupan masyarakat.
2. Apa bentuk transaksi itu. Ini menyangkut materi (madiyah) transaksi yang
dilakukan, seperti jual beli, pegang gadai, jaminan dan tanggungan,
pemindahan utang, perseroan harta dan jasa, sewa menyewa dan lain
2sebagainya.

12
Shafwan Bendadeh. “Ruang Lingkup Muamalah”
https://suarapembaharu.wordpress.com/2014/06/08/ruang-lingkup-muamalah/ (diakses pada 21
Maret 2022, 17.00)

9|Page
C. PRINSIP-PRINSIP MUAMALAH

Ada beberapa prinsip yang menjadi yang menjadi acuan dan pedoman secara
umum untuk kegiatan muamalat ini. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai
berikut.13

1. Muamalat adalah Urusan Duniawi

Muamalat berbeda dengan ibadah. Dalam ibadah, semua perbuatan dilarang


kecuali yang diperintahkan. Oleh karena itu, semua perbuatan yang dikerjakan
harus sesuai dengan tuntutan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sebaliknya,
dalam muamalat, semuanya boleh kecuali yang dilarang. Muamalat merupakan
urusan duniawi yang segala pengaturannya diserahkan kepada manusia itu sendiri.

2. Muamalat Harus Didasarkan kepada Persetujuan dan Kerelaan


Kedua Belah Pihak

Persetujuan dan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi merupakan
asas yang sangat penting untuk keabsahan setiap akad. Untuk menunjukan adanya
kerelaan dalam setiap akad atau transaksi dilakukan ijab dan qabul atau serah
terima antara kedua belah pihakyang melakukan transaksi.

3. Adat Kebiasaan Dijadikan Dasar Hukum

Dalam masalah muamalat, adat kebiasaan bisa dijadikan dasar hukum, dengan
syarat adat tersebut diakui dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
umum yang ada dalam syara`.

4. Tidak Boleh Merugikan Diri Sendiri Dan Orang Lain

Setiap transaksi dan hubungan perdata (muamalat) dalam islam tidak boleh
menimbulkan kerugian kepada diri sendiri dan orang lain.

13
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm. 3-6.

10 | P a g e
Terdapat beberapa prinsip selain yang diatas diantaranya

1. Bahwa dalam suatu transaksi yang melahirkan akad perjanjian bersifat


mengikat pihak-pihak yang melakukannya;
2. Dilakukan secara bebas bertanggung jawab dalam menetukan bentuk
perjanjian maupun yang berkenaan dengan hak dan kewajiban masing-
masing;
3. Atas kemauan kedua belah pihak tanpa ada paksaan;
4. Didasari atas niat baik dan kejujuran; dan
5. Memenuhi syarat-syarat yang sudah biasa dilakukan, seperti syarat-
syarat administrasi, saksi-saksi, agunan dalam pinjam meminjam, dan
sebagainya.14

Terdapat dua prinsip atau asas dalam muamalah yakni prinsip umum dan
prinsip khusus. Dalam prinsip umum terdapat empat hal yang utama, yakni;

1) setiap muamalah pada dasarnya adalah mubah kecuali ada dalil yang
mengharamkannya;
2) mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan;
3) keseimbangan antara yang transendent dan immanent;
4) keadilan dengan mengenyampingkan kezaliman.15

Sementara itu prinsip khusus memiliki dua turunan yakni yang


diperintahkan dan yang dilarang. Adapun yang diperintahkan terdapat tiga prinsip,
yakni;

1) Objek transaksi haruslah yang halal;


2) Adanya kerihdaan semua pihak terkait;
3) Pengelolaan asset yang amanah dan jujur. Sedangkan yang dilarang
terdapat beberapa prinsip juga: 1) riba 2) gharar; 3) tadlis; 4) berakad

14
Dudi Badruzaman. “Muamalah Principles and their Implementation in Indonesian Banking
Law”. Jurnal Ekonomi Syariah Dan Bisnis. Vol, 1 No, 2 (2018)
15
St. Salehah Majdid “Prinsip-prinsip (asas-asas) Muamalah”. Jurnal Hukum Eonomi Syariah.
Vol, 2 No, 1 (2018)

11 | P a g e
dengan orang-orang yang tidak cakap hukum seperti orang gila, anak
kecil, terpaksa, dan lain sebagainya. 16

16
Ibid

12 | P a g e
D. FIQH MUAMALAT DAN HUKUM PERDATA BARAT

Kemiripan dalam hukum dan perundang-undangan atau lainnya merupakan


hal yang wajar terdapat dalam bangsa-bangsa di dunia, baik antara bangsa muslim
dan bangsa Romawi ataupun bangsa-bangsa yang lainnya. Akan tetapi, kemiripan
semata-mata tidak bisa diklaim bahwa hukum islam dipengaruhi oleh hukum
Romawi dan tidak pula sebaliknya, tetapi kemungkinan penyebabnya ialah karena
akal manusia yang sehat banyak memiliki kesamaan persepsi dan pandangan
dalam beberapa hal. Dengan demikian, anggapan orientalis barat bahwa hukum
islam dipengaruhi oleh hukum Romawi tidak dapat diterima. Bahkan
kemungkinan justru sebaliknya, hukum Romawilah yang banyak dipengaruhi oleh
hukum (fiqh) islam ketika terjadi kebangkitan Eropa, yang didorong oleh
kebudayaan dan ilmu-ilmu Keislaman yang diadopsi oleh para ahli atau ulama-
ulama Islam, Ketika Islam menguasai Eropa (Spanyol).17

Hukum perdata mengatur hubungan hukun antara orang yang satu dengan
dengan orang yang lain dengan menitik beratkan kepada kepentingan
perseorangan.18

Hukum perdata dikenal sebagai ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban
individu dengan badan hukum. Untuk pertama kalinya istilah hukum perdata
dikenal Indonesia dalam bahasa Belanda yakni Burgerlijk Recht. Sumber hukum
perdata dikodifikasikan dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan dialih bahasa
menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Terdapat
beberapa pandangan terkait dengan KUHPerdata ini salah satunya, KUHPerdata
dipandang sebagai suatu pedoman saja karena tidak pernah ada terjemahan resmi
dari Burgerlijk Recht yang aslinya masih berbahasa Belanda.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengertian hukum perdata yang


dipaparkan yaitu, kajian utamnya pada pengaturan tentang perlindungan antara

17
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm.14.

18
Moh. Makmun. “Perbandingan Antara Hukum Barat Dan Hukum Islam”. The Journal Of
Islamic Family law. Vol, 03 No. 02 (2013)

13 | P a g e
orang yang satu degan orang lain, akan tetapi di dalam ilmu hukum subyek hukum
bukan hanya orang tetapi badan hukum juga termasuk subyek hukum, jadi untuk
pengertian yang lebih sempurna yaitu keseluruhan kaidah -kaidah hukum(baik
tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu
dengan yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan
kemasyarakatan.19

Hukum barat sebenarnya belum dapat didefinisikan secara utuh yang dapat
memuat isi hukum tersebut, hal ini diketahui dari banyaknya perbedaan ahli
hukum barat dalam mendefinisikannya. Disamping itu yang terkandung dalam
definisi hukum barat tidak mencantumkan suatu dasar yang menjadikan hukum itu
ditaati atau tidak, di mana dalam definisi itu hanya nerupakan hasil kesepakatan
Bersama dari masyarakat demi menjaga ketertiban dan menjaga hak-hak
masyarakat. 20

Sedangkan dalam hukum islam, sebuah aturan yang bersumber dari ajaran
islam, dimana didalamnya menyangkut hubungan kemasyarakatan dan hubungan
manusia dengan Tuhannya, sehingga suatu perbuatan yang melanggar hukum,
disamping mempunyai pertanggung jawaban di depan manusia lain, dia juga
harus bertanggung jawab di depan Tuhannya.21

Berdasarkan penjelasan diatas, hukum perdata barat bila dibandingkan dengan


hukum islam, hanya sebuah norma yang didapat melalaui consensus masyarakat,
hanya bernuansas duniawi semata dan tidak mempunyai sebuah
pertanggungjawaban selanjutnya di hadapan pencipta. Sedangkan dalam hukum
islam, dia merupakan hukum atau aturan yang berasal dari ajaran islam dan
nantinya akan dimintai pertanggung jawaban dihadapan ALLAH SWT . Selain
itu, hukum barat tidak mengenal unsur religi, padahal ketenangan manusia tidak

19
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis [BW], (hlm.7)
20
Moh. Makmun. “Perbandingan Antara Hukum Barat Dan Hukum Islam”. The Journal Of
Islamic Family law. Vol, 03 No. 02 (2013)
21
Ibid

14 | P a g e
hanya cukup yang bersifat madani semata, akan tetapi ketenangan rohani jauh
lebih penting.

15 | P a g e
BAB II

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan, Ilmu fiqih merupakan


hasil daya upaya pemahaman terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis dan
untuk memahaminya diperlukan proses ijtihad. . Dengan kata lain Fikih adalah
pengetahuan yang dihasilkan dari sejumlah hukum syariat yang bersifat cabang
yang digunakan sebagai landasan untuk masalah amal perbuatan dan bukan
digunakan landasan dalam masalah akidah . Sebagai bagian dari ilmu fiqhi,
muamalat mempunyai pengertian mencakup hubungan manusia dengan manusia
lain dalam pengelolaan harta, mencari rezeki seperti jual beli, berdagang,
menggunakan cara-cara yang sesuai dengan aturan syariat.

Perlu diketahui objek kajian atau ruang lingkup fiqh muamalah secara garis
besar meliputi pembahasan tentang harta (al-mal), hak-hak kebendaan (al-huquq),
dan hukum perikatan (al-aqad). Hakikat dari hubungan tersebut adalah berkaitan
dengan hak dan kewajiban antara manusia yang satu dengan manusia yang lain.

Hukum perdata barat bila dibandingkan dengan hukum islam, hanya sebuah
norma yang didapat melalaui consensus masyarakat, hanya bernuansas duniawi
semata dan tidak mempunyai sebuah pertanggungjawaban selanjutnya di hadapan
pencipta. Sedangkan dalam hukum islam, dia merupakan hukum atau aturan yang
berasal dari ajaran islam dan nantinya akan dimintai pertanggung jawaban
dihadapan Allah SWT.

16 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

A Mas’adi Ghufron, 2002,Fiqh Muamalah Kontekstual,(Jakarta:PT Raja Grafindo

Persada)

Badruzaman Dudi. “Muamalah Principles and their Implementation in

Indonesian Banking Law”. Jurnal Ekonomi Syariah Dan Bisnis. Vol, 1 No,

2 (2018)

Majdid St. Salehah “Prinsip-prinsip (asas-asas) Muamalah”. Jurnal Hukum

Eonomi Syariah. Vol, 2 No, 1 (2018)

Makmun Moh.. “Perbandingan Antara Hukum Barat Dan Hukum Islam”. The

Journal Of Islamic Family law. Vol, 03 No. 02 (2013)

Maksum Muhammad, Hasan Ali, Dasar-Dasar Fiqih Muamalah.

Muslich Ahmad Wardi, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ).

Nawawi Ismail, Fiqih Muamalah Klasik dan Kontenporer, (Bogor: Ghalia

Indonesia, 2012).

Nurhayati, Memahami Konsep Syariah, Fikhi, Hukum dan Ushul Fiqhi. Jurnal

Hukum Ekonomi Syariah. Vol, 2 No, 2 (2018).

Rasyid As’ad Abdul, Fiqih Islam Dengan Pendekatan Kontekstual (Mojokerto:

Mahkama Agung RI, 2013).

Shafwan Bendadeh. “Ruang Lingkup Muamalah”

https://suarapembaharu.wordpress.com/2014/06/08/ruang-lingkup-

muamalah/ (diakses pada 21 Maret 2022, 17.00)

17 | P a g e
Shaifuddin Arif. “ Fiqih dalam perspektif filsafat ilmu: Hakikat dan objek ilmu

fiqih”. Jurnal Hukum dan pranata social Islam. Vol, 1 No, 2 (2019).

Tarmizi Erwandi, “Manfaat dan Ruang Lingkup Muamalah”

https://heycravings.com/muamalah-dalam-islam/ (diakses pada 20 Maret

2022, 15.00)

18 | P a g e
MAKALAH FIQIH MUAMALAH

HAK DAN PEMBAGIANNYA, HARTA BENDA HAK MILIK

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2

M. ARJUN (90400121037)

NABILA FILDZAH SYAKIRAH SABRIADY (90400121038)

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2021/2022

1|P ag e
BAB 1
PENDAHULUAN

Tiap-tiap manusia yang terlahir di muka bumi oleh Allah SWT dibekali
dengan Hak yang dengannya kehidupan yang akan dia jalani dapat berjalan sesuai
dengan rencana Allah SWT. Hak secara Etimologi berarti milik, ketetapan, dan
kepastian1 Sementara sebagai penyeimbang agar Hak itu tidak digunakan dengan
semena-mena, pada manusia juga dibebankan Kewajiban yang harus dia jalankan.

Setiap manusia memiliki harta dan hak milik yang berbeda-beda Islam
memandang harta pada hakikatnya adalah hak milik Allah. Akan tetapi Allah
telah menyerahkan pengelolaan atas harta tersebut kepada manusia sebagai
khalifah di muka bumi, maka perolehan seseorang terhadap harta itu sama dengan
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk memanfaatkan serta
mengembangkan harta. Sebab, ketika seseorang memiliki harta, maka esensinya
dia memiliki harta tersebut hanya untuk dimanfaatkan dan terikat dengan
hukumhukum syara’, bukan bebas mengelola secara mutlak. Oleh sebab itu perlu
adanya aturan-aturan yang mengatur kebutuhan manusia agar tidak melanggar dan
menguasai hak orang lain, khususnya terkait dengan harta dan kepemilikan dalam
Islam. 2

Oleh karena itu, dalam makalah ini berisi tentang hal-hal yang berkaitan
dengan judul makalah yaitu tentang hak,harta,dan hak milik dan pembagiannya.
Makalah ini dibuat sebagai syarat dan juga tuntutan akademik dan diharapkan
memberikan pengetahuan baru bagi kita untuk lebih mengetahui tentang
hak,harta,dan hak milik dan pembagiannya.

1
Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, h.1
2
Maisarah Leli, “Konsep Harta dan Kepemilikan Dalam Prespektik Islam” VOL. 2 NO.2,
(2019) 1.

2|P ag e
BAB II
PEMBAHASAN

A. HAK

 Pengertian Hak

Hak adalah suatu ikhtishash, yakni hubungan khusus dengan orang tertentu,
seperti hak penjual untuk menerima harga barang, yang khusus dimiliki olehnya
atau (penjual), atau hak pembeli untuk menerima barang yang telah dibelinya,
yang khusus dimiliki olehnya dan tidak dimiliki orang lain. Dalam defenisi ini
juga dikemukakan bahwa hak juga merupakan sulthah (kekuasaan) atau taklif
(beban/perintah).3

Hak adalah bentuk kebenaran, kepemilikan, kewenangan, kekuasaan, derajat,


dan wewenang menurut hukum. Hak adalah kuasa seseorang yang dimiliki sejak
ia lahir bahkan belum dilahirkan.4

Hak merupakan segala sesuatu yang wajib di dapatkan oleh setiap orang yang
sudah berada semenjak lahir bahkan sebelum lahir. 5

Hak merupakan sesuatu yang didapatkan seseorang sejak lahir baik dalam
bentuk kepemilikan, kekuasaan, derajat, maupun wewenang hukum.

3
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm.21.
4
KBBI, 2016.Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). https://kbbi.web.id/hak.html ( diakses 24
Maret 2022,17.00)
5
Prof. Dr. H. Abdul Mali, Hak http://p2k.unkris.ac.id/ind/1-3065-
2962/Hak_27964_dharmaandigha_p2k-unkris.html (diakses 24 maret 2022, 17.00)

3|P ag e
 Pembagian Hak

Hak dapat dibagi kepada beberapa bagian tergantung dari sisi mana kita
meninjaunya. apakah dari sisi pemiliknya, atau objeknya :

1. Ditinjau dari Segi Pemiliknya (Subjeknya)

 Ditinjau dari segi pemiliknya, hak terbagi kepada tiga bagian


sebagai berikut. :

a. Hak Allah
Hak Allah adalah suatu hak yang dimaksudkan untuk
mendekatkan diri kepada Allah, mengagungkannya, dan
menegakkan syiar agamanya; atau mewujudkan kemanfaatan yang
umum bagi semua umat manusia tanpa mengkhususkannya untuk
seseorang tertentu.
b. Hak Manusia
Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimaksudkan untuk
melindungi kemaslahatan seseorang, baik yang bersifat umum
seperti memelihara kesehatan, anak dan harta benda, serta
mewujudkan rasa aman atau bersifat khusus, seperti melindungi
hak pemilik atas hartanya. dan hak penjual untuk menerima harga.
pembayaran dan pembeli dalam menerima barang.
c. Hak campuran
Hak campuran adalah sesuatu di mana dua hak berkumpul:
hak Allah (masyarakat) dan hak individu (individu), tetapi kadang-
kadang hak Allah (masyarakat) lebih dominan, dan terkadang hak
Allah (masyarakat) lebih dominan, dan terkadang hak individu. 6

6
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm.23-27

4|P ag e
 Dari segi sifat kepemilikan terhadap harta ulama fiqih
membagi pemilikan kepada dua bentuk :

1. Milik Sempurna (al-milk at-tamm), yaitu apabila materi


dan manfaat harta dimiliki sepenuhnya oleh seseorang sehingga
seluruh hak yang terkait dengan harta berada dibawah
penguasaannya.

2. Milik tidak sempurna (al-milk an-naqis), yaitu apabila


seseorang hanya menguasai materi harta tetapi manfaatnya di
kuasai orang lain. 7

 Dari segi kepemilikan hak, hak dibedakan menjadi dua yaitu


hak :

1) Hak Allah adalah hak yang kemanfaatannya untuk


memelihara kemashlahatan umum. Adapun yang menjadi hak
Allah yaitu segala bentuk ibadah dalam Islam seperti shalat, zakat,
puasa, haji, dan segala macam hukuman pidana seperti hadd zina
dan qishash pembunuhan.

2) Hak manusia (mukallaf) adalah hak yang ditujukan


untuk kepentingan manusia secara individu sebagai pemilik hak,
contohya yaitu hak milik. 8

7
Yusdani. “sumber hak milik dalam perspektif islam”. Jurnal al mawarid. Vol,IX (2003)
8
Ghufron Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.
44

5|P ag e
2. Ditinjau dari Segi Objeknya

Ditinjau dari segi objeknya, hak dapat dibagi menjadi tiga bagian

a. Hak Maliyah dan Ghair Maliyah


Hak Maliyah adalah setiap hak yang berkaitan dengan mal(harta) dan
manfaatnya, yakni yang objeknya mal(harta) atau manfaat.
Ghair Maliyah adalah setiap hak yang berkaitan bukan dengan
Mal(harta).

b. Hak Syakhsi (Perorangan) dan Hak ‘Aini (Kebendaan)


Hak Syakhsi (Perorangan) adalah suatu hak ditetapkan oleh syara’
bagi seseorang terhadap orang lain.
Hak Aini adalah suatu hak yang ditetapkan oleh syara’ kepada
seseorang atau sesuatu yang ditentukan zatnya.

c. Hak Mujarrad dan Ghair Mujarrad


Hak Mujarrad atau hak murni adalah suatu hak yang tidak
terpengaruh oleh tanazul (pelepasan) baik dengan jalan perdamaian
atau pembesan, melainkan objek hak tersebut pada mukallaf setelah
tanazul, sebagaimana yang terjadi sebelum tanazul.
Ghair Mujarrad adalah suatu hak yang dapat terpengaruh dengan
adanya pelepasan dan pemiliknya.9

9
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm.29-30

6|P ag e
 Dari segi objek atau substansinya hak dibedakan menjadi dua,
yaitu:

1) Hak syahsi
Hak syahsi adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada
seseorang untuk kepentingan orang lain berdasarkan hukum syara‟.

2) Hak ‘aini
Hak ‘aini adalah kekuasaan atau kewenangan dan keistimewaan
yang muncul akibat hubungan secara langsung antara manusia dengan
benda tertentu10

 Hak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak mal dan hak
ghair mal.
Adapun pengertian hak mal : “ Sesuatu yang berpautan dengan
harta, seperti pemilikan bendabenda atau utang-utang “. Hak ghair mal
terbagi dua bagian, yaitu hak syakhshi dan hak ‘aini. Pengertian Hak
syakhshi : “Sesuatu tuntunan yang ditetapkan syara’ dari seseorang
terhadap orang lain “11
Hak ‘aini ialah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa
dibutuhkan orang kedua. Hak ‘aini ada dua macam: ashli dan thab’i. Hak
‘aini ashli ialah adanya wujud benda tertentu dan adanya shabul al-haq,
seperti hak milikiyah dan hak irtifaq. Hak ‘aini thab’i ialah jaminan yang
ditetapkan untuk seseorang yang menguntungkan uangnya atas yang
berhutang. Apabila yang berhutang tidak sanggup membayar, maka
murtahin berhak menahan barang itu.12

10
Sohari Sahrani dan Ruf‟ah Abdullah, Fikih Muamalah, Bogor : Ghalia Indonesia, 2011, hlm. 34.
Lihat Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2010, hlm. 36
11
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah,Fikih Muamalah(Bogor:Gh.ia Indonesia,2011), h. 38
12
Ibid

7|P ag e
 Hukum-Hukum Berkaitan dengan Hak
1. Pelaksanaan Hak

Setiap pemilik hak berhak untuk memenuhi dan melaksanakan haknya


dengan berbagai cara yang dibenarkan oleh syara'. Untuk memenuhi hak Allah
berkaitan dengan ibadah adalah dengan melaksanakannya sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya, baik dalam keadaan
normal (azimah) maupun dalam keadaan rukhshah, seperti qashar dalam shalat,
berbuka puasa ketika dalam perjalanan, tayamum ketika tidak ada udara, dan
sebagainya.

2. Perlindungan terhadap Hak

Syara' menetapkan perlindungan hak bagi pemilik dari setiap pelanggaran


dengan berbagai macam cara, antara lain adanya pertanggungjawaban di hadapan
Allah, pertanggungjawaban perdata, dan penetapan hak penyelesaian melalui
pengadilan.

3. Penggunaan Hak Sesuai dengan Ketentuan Syara'

Setiap orang diberi kebebasan untuk menggunakan haknya sesuai dengan


ketentuan yang ditetapkan oleh syara. Penggunaan hak oleh seseorang ini tentu
saja tidak boleh menimbulkan kerugian kepada orang lain, baik individu maupun
kelompok, baik kerugian tersebut disengaja maupun tidak Selain itu ia tidak boleh
merusak atau memusnahkan harta yang dimilikinya dan menghambur-
hamburkannya, karena hal itu tidak dibenarkan oleh syara.

4. Pemindahan Hak

Suatu hak atas benda dapat berpindah dari satu tangan ke tangan lain
dengan cara dan sebab yang biasa berlaku dalam muamalat, baik hak tersebut
merupakan hak mâliyah atau hak yang bukan mâliyah. Sebagai contoh dalam hak
mâliyah, hak seseorang atas barang yang dijual, dapat berpindah dari penjual

8|P ag e
kepada pembeli dengan cara akad jual beli, atau hak atas utang dapat berpindah
dari tanggungan orang yang berutang kepada ahli warisnya karena meninggalnya
orang yang berutang.

5. Putusnya Suatu Hak

Suatu hak dapat putus karena beberapa sebab yang ditetapkan oleh syara'.
Beberapa penyebab tersebut berbeda tergantung pada perbedaan haknya. Hak
zawáj (perkawinan) berhenti karena jatuhnya talak. Hak nafkah atas seorang anak
dari bapaknya berhenti karena ketidakmampuan ayah dalam usaha. Hak milik
atas suatu benda berhenti karena toko beli. Hak manfaat atas suatu benda (rumah
misalnya) berhenti karena batalnya kontrak atau habisnya masa kontrak. Masalah
ini akan dibahas lebih jelas dalam pembahasan mengenai akad.

9|P ag e
 Shahibul Haq (Subjek Hak)
1) Mahkum ‘Alaih dan Kecakapannya (Ahliyah-nya)

Mahkum 'Alaih dan Kecakapannya (Ahliyah-nya) Shahibul haq (subjek


hak) atau dalam istilah hukum perdata yang dikenal dengan subjek hukum, di
kalangan ulama ushul fiqh disebut mahkum 'alaih. Dalam kajian ilmu ushul fiqh,
mahkum 'alaih orang mukallaf, yang bergantung padanya adalah khithabullah
(ketentuan dan hukum Allah), yaitu manusia yang terdiri atas ruh dan badan.

2) Macam-macam Kecakapan (Ahliyah)

Kecakapan atau kemampuan (ahliyah) yang ada pada diri manusia ada dua
macam yaitu :

a. ahliyatul wujub

adalah kemampuan atau kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak


yang ditetapkan oleh syara’ dan kewajiban-kewajiban dan dibebankan kepadanya.

b. ahliyatul ada’

adalah kemampuan atau kecakapan sesorang untuk melaksanakan hak dan


kewajiban.

3) ‘Awaridh Al-Ahliyah (Penghalang kecakapan)

Penghalang kecakapan ini ada yang menghilangkan kecakapan secara


keseluruhan, seperti tidur dan gila, dan ada pula yang hanya menghilangkan
Sebagian kecakapan saja, seperti hamba sahaya dan idiot disamping itu ada pula
yang tidak menghilangkan kecakapan dan tidak pula menguranginya, melainkan
hanya mengubah Sebagian hukum untuk kepentingannya dan kepentingan
masyarakat secara umum, seperti boros,pailid,dan mabuk

10 | P a g e
B. Harta
 Pengertian Harta

Harta menurut bahasa antara lain dikemukakan oleh Muhammad bin Abi
Bakar Ar-Razi dalam kamusnya ini mengartikan harta dengan sesuatu yang
sudah dikenal, karena memang harta atau mal sudah dikenal oleh semua
orang. “Mal (harta) dalam arti bahasa aadalah segala sesuatu yang engkau
miliki.”13

Harta dalam bahasa arab disebut al-mal yang berasal dari kata ;mala- yamiilu-
miila Yang berarti condong,cenderung dan miring. Menurut istilah segala sesuatu
yang dapat disimpan untuk digunakan ketika di butuhkan,dalam pengunaannya
bias dicampuri orang lain. 14

Harta adalah setiap sesuatu yang bisa di miliki dan dikuasai yang memiliki
nilai jual.harta merupakan titipan yang diberikan oleh Allah kepada manusia
sebagai bekal untuk mengarungi kehidupan di dunia. 15

Harta merupakan semua benda yang diberikan oleh Allah serta dapat dimiliki,
dikuasai, diusahakan, dan dialihkan, baik benda berwujud maupun tak terwujud
dan dapat dibuktikan secara hukum atau hak yang memiliki nilai ekonomis.

13
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm.55.
14
Bahrum Siregar Makalah Harta Dan Hak Milik
https://iainpadangsidimpuan.academia.edu/BahrumSiregar?swp=tc-au-42171695 (diakses24
maret 2022, 18.00)
15
Ibid

11 | P a g e
 Pembagian Harta

Harta dibagi menjadi 4 kelompok yaitu :


a) Ditinjau dari segi boleh diambil manfaatnya atau tidak
Harta terbagi kepada 2 bagian :
1. Al-Mal Al-Mutaqawwim
Yaitu segala sesuatu yang dapat dikuasai secara
langsung dan dapat diambil manfaatnya dalam keadaan
ikhtiar, bukan dalam keadaan darurat.
2. Al-Mal ghair al-mutaqawwim
Yaitu benda atau harta yang tidak bisa dikuasai
secara langsung karena belum dimiliki, seperti ikan di
dalam air atau benda-benda yang diharamkan oleh syara’
yang tidak boleh di manfaatkan kecuali dalam keadaan
darurat, seperti daging babi,bangkai,dan minuman keras
bagi orang muslim.
b) Ditinjau dari segi tetap dan tidaknya harta terbagi kepada 2
bagian :
1. Al-Mal Al-‘Aqar (benda tetap)
Yaitu suatu benda yang tetap, yang tidak mungkin
dipindahkan.
2. Al-Mal Al-manaqul (benda bergerak)
Yaitu segala sesuatu yang mungkin dipindahkan
dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik ia tetap dalam
bentuk kondisinya semula, maupun berubah bentuk dan
kondisinya setelah dipindahkan.
c) Ditinjau dari segi ada padanya atau tidak
1. Al-Mal Al-mitsli
Yaitu harta yang memiliki persamaan dipasar tanpa
perbedaan, atau ada perbedaan sedikit yang mudah

12 | P a g e
diketahui oleh para pedagang dan orang-orang yang
melakukan transaksi.
2. Al-Mal Al-qimi
Yaitu harta yang tidak ada padanan atau
persamaannya di pasar, atau ada persamaannya tetapi
disertai perbedaan yang signifikan antara satuan-satuannya
di dalam harganya.
d) Ditinjau dari segi masih tetapnya atau habis setelah dipakai
1. Al-Mal Al-Istihlaki
Yaitu harta yang tidak mungkin diambil manfaatnya
kecuali dengan cara menghabbiskan barangnya. Contohnya
seperti jenis makanan,minuman,kayu bakar.
2. Al-Mal Al-Isti’mali
Yaitu harta yang mungkin diambil manfaatnya dan
brangnya masih utuh (tetap atau tidak habis) contohnya
tanah. 16

16
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm.55.

13 | P a g e
Menurut para fuqaha harta terdiri dari beberapa bagian, tiap-tiap bagian
memiliki ciri khusus dan hukumnya tersendiri, pembagian harta tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut:12

1) Mal Mutaqawwim dan Ghair Mutaqawim

a) Mal Mutaqawwim Mal Mutaqawwim yaitu sesuatu yang boleh diambil


manfaatnya menurut syara’. Harta yang termasuk mutaqqawim ini ialah semua
harta yang baik jenisnya maupun cara memperolehnya dan pengunaannya.
Misalnya, kerbau halal dimakan oleh umat Islam, tetapi kerbau tersebut
disembelih tidak sah menuru syara’, misalnya dipukul hingga mati, maka daging
kerbau tersebut tidak bisa dimanfaatkan karena cara penyembelihannya batal
menurut syara’.

b) Ghair Mutaqawim Ghair Mutaqawim yaitu sesuatu yang tidak boleh


diambil manfaatnya menurut syara’. Harta ghair mutaqawim ialah kebalikan dari
harta mutaqawim, yakni yang tidak boleh diambil manfaatnya, baik jenisnya, cara
memperolehnya maupun cara pengunaannya. Misalnya babi termasuk harta Gahir
mutaqawim, karena jenisnya.

2) Mal Mistli dan Mal Qimi

a) Harta Mistli yaitu benda-benda yang ada persamaan dalam kesatuan-


kesatuannya, dalam arti dapat berdiri sebagiannya ditempat yang lain tanpa ada
perbedaan yang perlu dinilai.

b) Harta Qimi yaitu benda-benda yang kurang dalam kesatuan


kesatuaanya, karenanya tidak dapat berdiri sebagian ditempat sebagian yang
lainnya tanpa ada perbedaan.

3) Harta Istihlak dan Harta Isti’mal

a) Harta istihlak yaitu sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaannya dan
manfaatnya secara biasa, kecuali dengan

14 | P a g e
b) Harta Isti‟mal yaitu sesuatu yang bisa digunakan berulang kali dan
materinya tetap terpelihara.

4) Harta Manqul dan Harta Ghair Manqul

a) Harta Manqul yaitu segala harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari
satu tempat ke tempat yang lain. Seperti emas, perak, perunggu, pakaian,
kendaraan dan lain-lain.

b) Harta Ghair manqul yaitu sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan
dibawa dari satu tempat ketempat yang lain. Seperti kebun, rumah, pabrik, sawah
dan yang lainnya yang termasuk ghair manqul karena tidak dapat dipindahkan,
dalam hukum perdata positif digunakan istilah benda bergerak dan benda tetap.

5) Harta Ain dan Harta Dayn

a) Harta ain ialah harta yang berbentuk benda, seperti rumah, pakaian,
beras, kendaraan (mobil) dan yang lainnya.

b) Harta dayn yaitu sesuatu yang berada dalam tangung jawab. Seperti
uang berada dalam tangung jawab seseorang.

6) Mal al-ain dan Mal al-naf’i (manfaat)

a) Harta aini yaitu benda yang memiliki nilai dan bentuk (berwujud),
misalnya rumah, ternak dan yang lainnya.

b) Harta nafi‟I ialah a‟radl yang berangsur-rangsur tumbuh menurut


perkembangan masa, oleh karena itu mal al-naf‟i tidak berwujud dan tidak
mungkin disimpan

7) Harta Mamluk, Mubah, Mahjur

a) Harta Mamluk ialah sesuatu yang masuk ke bawah milik, milik


perorangan maupun milik badan hukum, seperti pemerintah dan yayasan.

15 | P a g e
b) Harta Mubah ialah sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang,
seperti air pada mata air, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon dihutan dan
buah-buahannya.

c) Harta Mahjur ialah sesuatu yang tidak dibolehkan dimiliki sendiri dan
memberikan kepada orang lain menurut syari’at, adakalanya benda itu benda
wakaf ataupun benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum, seperti jalan
raya, mesjid-mejid, kuburan- kuburan dan lainnya.

8) Harta yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi

a) Harta yang dapat dibagi (mal qabil li al-qismah) ialah harta yang tidak
menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta itu dibagi-bagi,
misalnya beras, tepung.

b) Harta yang tidak dapat dibagi (mal ghair qabil li al-qismah) ialah harta
yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-
bagi, misalnya gelas, kursi, meja, mesin dan yang lainnya.

9) Harta pokok dan harta hasil (buah)

Harta pokok ialah harta yang mungkin darinya terjadi harta yang lain.
Harta pokok disebut juga modal, misalnya uang emas dan yang lainnya, contoh
harta pokok dan harta hasil seperti bulu domba dihasilkan dari domba, maka
domba merupakan harta pokok dan bulunya merupakan harta hasil, atau kerbau
yang beranak, anaknya dianggap sebagai tsamarah dan induknya yang
melahirkannya disebut harta pokok.

10) Harta Khas dan Am

a) Harta Khas ialah harta pribadi yang tidak bersekutu dengan yang lain,
tidak boleh diambil manfaatnya tanpa disetuju pemiliknya.

16 | P a g e
b) Harta Am ialah harta milik umum (bersama) yang boleh diambil
manfaatnya Atau harta yang boleh diambil manfaatnya oleh seseorang atau
kelompok akan tetapi dilarang menguasainya secara pribadi. 17

 Pembagian Jenis-jenis Harta

1. Harta Mutaqawwim dan Harta Ghair al -mutaqawwim

Harta mutaqawwim ialah segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan pekerjaan
dan dibolehkan syara’ untuk memanfaatkannya. Maksud pengertian harta ghair
al-Mutaqawwim merupakan kebalikan dari harta mutaqawwim, yakni segala
sesuatu yang tidak dapat dikuasai dengan pekerjaan dan dilarang oleh syara’
untuk memanfaatkannya.

2. Mal Mitsli dan Mal Qimi

Harta mitsli dan qimi sebagai sesatu yang memiliki persamaan atau
kesetaraan di pasar, tidak ada perbedaan yang pada bagian bagiannya atau
kesatuannya. harta yang ada duanya atau dapat ditukar dengan hal serupa dan
sama disebut mitsli dan harta yang tidak duanya atau berbeda secara tepat disebut
qimi.

3. Mal Istihlak dan Mal Isti’mal

Harta istihlak merupakan harta yang penggunaannya hanya sekali pakai


sedangkan harta isti’mal harta yang penggunaannya bisa berkali-kali pakai.

4. Mal Manqul dan Mal Ghair al-Manqul

Harta manqul yaitu harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari tempat satu
ketempat yang lain, baik tetap pada bentuk dan keadaan semula ataupun berubah
bentuk dan keadaannya dengan perpindahan dan perubahan tersebut. Sedangkan

17
Maisarah Leli. “konsep harta dan kepemilikan dalam perspektif islam”. Jurnal At-Tasyri’iy Vol,
2 No,2 (2019)

17 | P a g e
harta ghair al-manqul maksudnya segala sesuatu yang tetap (harta tetap), yang
tidak mungkin dipindahkan dan diubah posisinya dari satu tempat ketempat yang
lain menurut asalnya, seperti kebun, rumah, pabrik, sawah dan lainnya.

5. Harta ‘Ain dan Dayn

Harta ‘ain yaitu harta yang berbentuk. sedangkan, harta dayn harta yang
menjadi tanggung jawab seperti uang yang dititipkan ke orang lain.

6. Harta Nafi’i

Harta nafi’i yaitu harta yang tidak berbentuk

7. Harta Mamluk, Mubah dan Mahjur

Harta mamluk yaitu harta yang statusnya memilikik kepemilikian baik


individu, umum atau negara. harta mubah yaitu hukum harta pada asalnya yaitu
tidak ada yang memiliki. sedangkan, harta mahjur yaitu harta yang tidak boleh
dimilikioleh pribadi.

8. Harta Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi

Hembagian harta ini didasari oleh potensi harta menimbulkan kerugian atau
kerusakan apabila dibagikan. harta yang dapat dibagi yaitu harta tidak
menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila dibagikan seperti beras. sedangkan,
harta yang tidak dapat dibagi yaitu harta menimbulkan kerugian atau kerusakan
apabila dibagikan seperti benda-benda mewah.

9. Harta Pokok dan Hasil

Harta pokok ialah harta yang mungkin menumbulkan harta lain atau dalam
istilah ekonomi disebut harta modal.

10. Harta Khas dan ‘Am

18 | P a g e
Harta khas yaitu harta milik individu yang tidak boleh diambil manfaatnya
jika tidak direstui pemiliknya. sedangkah harta am yaitu harta milik umum yang
dibebaskan dalam mengambil manfaatnya. 18

 Fungsi Harta

Fungsi harta adalah untuk menopang kehidupan manusia karena tanpa


harta kehidupan manusia tidak akan tegak.19

Fungsi harta yang sesuai dengan syara’, antara lain untuk: Kesempurnaan
ibadah mahdhah, Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada
Allah SWT, Meneruskan estafet kehidupan, Menyelaraskan antara kehidupan
dunia dan akhirat, Bekal mencari dan mengembangkan ilmu, Keharmonisan hidup
bernegara dan bermasyarakat, Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan,
Untuk menumbuhkan silaturrahim. Kepemilikan harta di dasarkan pada asas
sebagai berikut: Amanah, Infradhiyah, ijtima’iyah dan manfaat.20

Fungsi harta dalam Islam ialah untuk menyempurnakan pelaksanaan


ibadah, meningkatkan takwa, menyeimbangkan dunia dan akhirat, meneruskan
kehidupan, memutarkan peran-peran kehidupan khususnya dibidang ekonomi, dan
menumbuhkan silahturahmi. 21

18
Abdul Qodris. “Harta dan kepemilikan dalam islam” Centre for research in Islamic economic
and business. (2018).
19
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm.67.
20
Sarmiana Batubara. ”Harta benda (al mal) dalam fiqih muamalah)”. Jurnal ilmu pengetahuan
dan kemasyarakatan. Vol.16 No.2 (2017)
21
Nurhayati Anong. “konsep harta dalam islam” https://www.kompasiana.com/nurhayati20217/
(diakses pada 27 Maret 2022,18.30)

19 | P a g e
C. HAK MILIK

 Pengertian Hak Milik

Hak milik secara bahasa arab yaitu milk,yang berarti memiliki sesuatu dan
sanggup bertindak secara bebas terhadapnya. Hak milik secara istilah adalah
sesuatu yang dapat di gunakan secarakhusus dan tidak di campuri penggunaannya
oleh orang lain. 22

Milkiyah menurut bahasa berasal dari kata milkun artinya sesuatu yang berada
dalam kekuasaannya, sedang milkiyah menurut istilah adalah suatuharta atau
barang yang secara hukum dapat dimiliki oleh seseorang untuk dimanfaatkan dan
dibenarkan untuk dipindahkan penguasaannya kepadaorang lain. 23

Hak milik diatur dalam Pasal 20 – 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960


tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA).
Pengertian hak milik menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah adalah
hak yang turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas
tanah dengan mengingat ketentuan Pasal 6 UUPA. Hak yang terkuat dan terpenuh
yang dimaksud dalam pengertian tersebut bukan berarti hak milik merupakan hak
yang bersifat mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat, sebagaimana
dimaksud dalam hak eigendom, melainkan untuk menunjukkan bahwa di antara
hak-hak atas tanah, hak milik merupakan hak yang paling kuat dan paling
penuh. 24

Hak milik adalah sesuatu yang berada dalam kekuasaannya dan dapat
digunakan secara khusus dan tidak dicampuri penggunaannya oleh orang lain.

22
Bahrum Siregar “Makalah Harta Dan Hak Milik”
https://iainpadangsidimpuan.academia.edu/BahrumSiregar?swp=tc-au-42171695 (diakses24 maret
2022, 18.00)
23
Ibid
24
Wibowo T. Tunardy, S.H., M.Kn. “Hak Milik”(2013)

20 | P a g e
 Pembagian Hak Milik

Hak Milik terbagi menjadi 2 bagian :


a) Hak Milik yang sempurna (Al-Milk At-Tam)
Adalah hak penuh yang memberikan kesempatan dan
kewenangan kepada si pemilik untuk melakukan berbagai
jenis tasarruf yang dibenarkan oleh syara’
b) Hak Milik yang tidak sempurna (Al-Milk An-Naqish)
Yaitu hak milik naqish itu memiliki salah satunya, apakah
bendanya saja tanpa manfaat atau manfaatnya tanpa
benda. 25

Hak milik terbagi menjadi 2 bagian :


a. Hak Milik Yang Sempurna (Al-Milk At-Tamm)
”Hak milik yang sempurna adalah hak mutlak terhadap zat
suatu (bendanya) dan manfaatnya bersama-sama, sehingga dengan
demikian semua hak-hak yang diakui oleh syara’ tetap ada di
tangan pemilik.
b. Hak Milik yang Tidak Sempurna (Al-Milk An-Naqish)
Milk naqish (tidak Sempurna) adalah memiliki bendanya
saja, atau manfaatnya saja 26

Ulama Fiqh membagi Hak milik menjadi 2 bagian :


a) Milik Sempurna (Al-Milk At-Tamm)
Yaitu apabila materi dan manfaat harta dimiliki sepenuhnya
oleh seseorang sehingga seluruh hak yang terkait dengan
harta berada di bawah penguasannya.
b) Milik tidak sempurna (Al-Milk An-Naqish)

25
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm.72-75
26
Wahab Zuhaili, Al-fiqh Al-Islamiyah wa Adillatuh, juz 4. Dar Al-Fikr, Damaskus cet. III, 1989,
h.58

21 | P a g e
Yaitu apabila seseorang hanya menguasai materi harta tetapi
manfaatnya dikuasai orang lain. 27

27
Tim redaksi. Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta:PT ichtiar baru vanh Hoeve, 1997), IV. : 1178.

22 | P a g e
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Hak ini


dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaanya
juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan
sesama manusia. Sudah sewajarnya tidak ada pemaksaan dan keterpaksaan dalam
menghargai hak asasi agar dalam menjalani kehidupan manusia tidak menyakiti
pribadi manusia lainnya.

Harta ialah seluruh apapun yang digunakan manusia dalam kehidupan


dunia baik merupakan harta, uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan
rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikanan-kelautan, dan pakaian termasuk
dalam kategori al amwal (harta kekayaan).

Al-Milk didefenisikan sebagai Kekhususan terhadap pemilik suatu barang


menurut syara’ untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil manfaatnya
selama tidak ada penghalang syar’i. kepemilikan berarti hubungan syariah antara
manusia dengan sesuatu (harta) yang memberikan hak mutlak kepada orang itu
untuk melakukan pemanfaatan (tasharruf) atas sesuatu itu dan mencegah orang
lain untuk memanfaatkannya.

23 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Anong Nurhayati. “konsep harta dalam islam”

https://www.kompasiana.com/nurhayati20217/ (diakses pada 27 Maret

2022,18.30)

Batubara Sarmiana. ”Harta benda (al mal) dalam fiqih muamalah)”. Jurnal ilmu

pengetahuan dan kemasyarakatan. Vol.16 No.2 (2017)

Hasan Ali, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, h.1

KBBI, 2016.Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). https://kbbi.web.id/hak.html

( diakses 24 Maret 2022,17.00)

Leli Maisarah. “konsep harta dan kepemilikan dalam perspektif islam”. Jurnal At-

Tasyri’iy Vol, 2 No,2 (2019)

Maisarah Leli, “Konsep Harta dan Kepemilikan Dalam Prespektik Islam” VOL.

2 NO.2, (2019) 1.

Malik Abdul, Hak http://p2k.unkris.ac.id/ind/1-3065-

2962/Hak_27964_dharmaandigha_p2k-unkris.html (diakses 24 maret

2022, 17.00)

Mas’adi Ghufron. Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2002.

Muslich Ahmad Wardi, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 )

24 | P a g e
Qodris Abdul. “Harta dan kepemilikan dalam islam” Centre for research in

Islamic economic and business. (2018).

Sahrani Sohari dan Ruf‟ah Abdullah, Fikih Muamalah, Bogor : Ghalia Indonesia,

2011.

Siregar Bahrum “Makalah Harta Dan Hak Milik”

https://iainpadangsidimpuan.academia.edu/BahrumSiregar?swp=tc-au-

42171695 (diakses24 maret 2022, 18.00)

Siregar Bahrum. Makalah Harta Dan Hak Milik

https://iainpadangsidimpuan.academia.edu/BahrumSiregar?swp=tc-au-

42171695 (diakses24 maret 2022, 18.00)

Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2010.

Tim redaksi. Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta:PT ichtiar baru vanh Hoeve,

1997), IV. : 1178.

Tunardy Wibowo T.. “Hak Milik”(2013)

Yusdani. “sumber hak milik dalam perspektif islam”. Jurnal al mawarid. Vol,IX

(2003)

Zuhaili Wahab, Al-fiqh Al-Islamiyah wa Adillatuh, juz 4. Dar Al-Fikr, Damaskus

cet. III, 1989, h.58

25 | P a g e
MAKALAH FIQIH MUAMALAH

AKAD / PERJANJIAN DAN AKAD JUAL BELI DALAM FIKIH


MUAMALAH

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 3

WAODE NOORHUDA NOOR (90400121039)

A. NURUL ASHARI (90409121040)

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN AJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari anggota kelompok kami dalam penulisan makalah ini, sehingga
bisa terselesaikan tepat waktu. Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa membantu dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun
merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Samata, 3 April 2022

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii


DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang ................................................................................ 1
b. Rumusan Masalah ........................................................................... 1
c. Tujuan Penulisan .............................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
a. Definisi Akad ( Perjanjian ) ............................................................. 3
b. Pembentukan Akad (Takwin Al-Aqdi ) ........................................... 3
c. Syarat – syarat Akad ........................................................................ 5
d. Macam – Macam Akad ................................................................... 8
e. Berakhirnya Akad (Intiha Al-Aqd) ................................................. 15
f. Akad Jual Beli (Al-Bai) .................................................................. 17
 Definisi Jual Beli dan Dasar Hukumnya .................................... 17
 Rukun Jual Beli ......................................................................... 19
 Syarat-Syarat Jual Beli .............................................................. 21
 Macam – Macam Jual Beli ........................................................ 24

BAB III PENUTUP


KESIMPULAN ...................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 32

iii
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang
mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, dimana pihak yang satu
menerima benda-benda dan pihak lain menerima sesuai dengan perjanjian atau
ketentuan yang telah dibenarkan secara syara’ dan disepakati. Sesuai dengan
ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal
lain yang ada kaitanya dengan jual beli, sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya
tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara’. 1
Syafi’iyah dan Hanabilah mengemukakan bahwa objek jual beli bukan hanya
barang (benda), tetapi juga manfaat, dengan syarat tukar menukar berlaku selamanya,
bukan untuk sementara. Dengan demikian, ijarah (sewa menyewa) tidak termasuk
jual beli karena manfaat digunakan untuk sementara, yaitu selama waktu yang
ditetapkan dalam perjanjian. Demikian pula iarah yang dilakukan timbal balik (saling
pinjam), tidak termasuk jual beli, karena pemanfaatannya hanya berlaku sementara
waktu.2
Jual beli merupakan akad yang sangat umum digunakan oleh masyarakat,
karena dalam setiap pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, masyarakat tidak bisa
berpaling untuk meninggalkan akad ini. Dari akad jual beli ini masyarakat dapat
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti kebutuhan pokok (primer), kebutuhan
tambahan (sekunder) dan kebutuhan tersier.

Kehidupan bermuamalah memberikan gambaran mengenai kebijakan


perekonomian. Banyak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat memenuhi
kehidupannya dengan cara berbisnis. Dalam ilmu ekonomi, bisnis adalah suatu
organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya untuk
mendapatkan laba. 3

Dari beberapa defenisi yang dikemukakan dapat diambil kesimpulan bahwa


jual beli adalah akad mu’awadhah, yakni akad yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu
penjual dan pembeli, yang objeknya bukan manfaat, yakni benda, dan bukan untuk
kenikmatan seksual.

1
Hendi Suhendi, fikih muamalah,(Jakarta: Rajawali Pers, 2002 ), hlm. 68-69.
2
Ahmad Wardi Muslich , Fiqh Muamalat, (Jakarta : AMZAH, 2019), cet. 5 hlm. 177
3
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar fiqih Muamala, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008) hlm. 69

1
b. Rumusan Masalah
Ditinjau dari latar belakang yang ada, maka ada beberapa rumusan masalah,
diantaranya :
1. Apa yang dimaksud dengan Akad ?
2. Bagaimana Pembentukan Akad ?
3. Apa-Apa saja Syarat-Syarat Akad ?
4. Apa saja Macam – Macam Akad?
5. Apa yang dimaksud dengan Jual Beli ?
6. Apa saja Rukun Jual Beli ?
7. Syarat – Syarat Jual Beli ?
c. Tujuan Penulisan
Tujuan dari terbentuknya makalah ini adalah agar kita dapat memahami ,
diantaranya :
1. Agar kita lebih memahami pengertian Akad dan Jual beli
2. Untuk lebih memahami syarat dan macam – macam akad jual beli
3. Untuk mengetahui macam macam rukun akad dan jual beli

2
BAB II

PEMBAHASAN

a. Defini Akad (Perjanjian )


Akad dalam bahasa Arab artinya ikatan (atau penguat dan ikatan ) antara
ujung-ujung sesuatu, baik ikatan nyata maupun maknawi, dari satu segi maupun dua
segi. 4
Dalam melakukan suatu kegiatan mua’malah, Islam mengatur ketentuan-
ketentuan perikatan (akad). Dalam islam dikenal dengan isthilah aqad, ketentuan akad
berlaku dalam kegiatan perbankan Islam. 5
menurut bahasa (etimologi) akad mempunyai beberapa arti antara lain:
 Mengikat (‫( الربط‬yaitu: Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat
salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian
keduanya menjadi sebagai sepotong benda.
 Sambungan (‫ ( عقدة‬yaitu: Sambungan yang memegang kedua ujung
itu dan mengikatnya. Sedangkan menurut isthilah (terminologi), yang
dimaksud dengan akad adalah keterkaitan antara ijab (pernyataan
penawaran/pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan
penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyaria’atkan dan
berpengaruh pada sesuatu.

Akad merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang berakibat
timbulnya hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak, dan
kabul adalah jawaban dari persetujuan yang diberikan mitra sebagai tanggapan
terhadap penawaran pihak yang pertama.6

Dari beberapa pengertian Akad diatas dapat dipahami bahwa , Akad adalah
suatu Pertalian Antara pemberi yaitu ( Ijab ) dan Penerima yaitu (Kabul ) , dan
dibenarkan dalam syariah.

b. Pembentukan Akad ( Takwin Al Aqdi )


Pembahasan tentang pembentukan akad ini meliputi 2 hal :
1. Rukun Akad dan Unsur – Unsurnya

4
Wahbah Zuhaili,Al-Fiquh Al-Islamiy wa Adillatuh, Juz 4, Dar Al Fikr, Damaskus,Cet. III, hlm. 80.
5
Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), Cet. Ke-1, h. 115
6
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 68

3
2. Kehendak akad ( Al- Iradah Al Aqdiyah ).

1. Rukun Akad

Ulama – ulama ushul dari kalangan Hanafiah berpendapatan bahwa rukun


adalah sesuatu yang keabsahannya memerlukan kepada adanya sesuatu yang lain, dan
sesuatu yang lain tu merupakan bagian dari sesuatu.7

Rukun akad itu adalah segala sesuatu yang mengungkapkan kesepakatan dua
kehendak atau yang menempati tempat keduanya baik berupa perbuatan, isyarat, atau
tulisan. Suatu perjanjian dalam hukum islam sah apabila memenuhi rukun dan syarat-
syarat.Syarat adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh rukun- rukun tersebut.8

Rukun adalah unsur yang mutlak harus ada dalam sesuatu hal, peristiwa atau
tindakan. Rukun menentukan sah dan tidaknya suatu perbuatan hukum tertentu. Suatu
akad akan menjadi sah jika akad tersebut memenuhi rukun-rukun akad. 9

Jadi dapat disimpulkan bahwa , Rukun Akad adalah sesuatu yang dilakukan
oleh 2 belah pihak yang terlibat.

Adapun Rukun- rukun Akad adalah sebagai berikut :

1. Aqid, adalah orang yang berakad; terkadang masing- masing pihak


terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang.Secara
umum, aqid disyaratkan harus ahli dan memiliki kemampuan untuk
melakukan akad atau mampu menjadi pengganti orang lain jika ia
menjadi wakil.
2. Ma’qud ‘alaih, ialah benda- benda yang diakadkan, seperti benda-
benda yang dijual dalam akad jual-beli. 10
Ada empat syarat yang harus dipenuhi agar benda bisa
dijadikan objek akad:
a. Benda tersebut harus ada pada saat dilakukannya akad.
b. Barang yang dijadikan objek akad harus sesuai dengan
7
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, Juz 4, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet. III, 1989, hal. 40.
8
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010),
Cet Ke- 1, h. 180
9
Suhendi, Fikih Muamalah, hlm. 47. Lihat juga: Samsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang
Teori Akad Dalam Fikih Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm. 96.
10
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. Ke-1, h.51

4
ketentuan syara’.

a. Barang yang dijadikan objek akad harus bisa diserahkan


pada waktu akad.
b. Barang yang dijadikan objek akad harus jelas diketahui
oleh kedua belah pihak sehingga tidak menimbulkan
perselisihan antara keduanya.
3. Maudhu’ al-‘aqd, yaitu tujuan atau maksud pokok mengadakan
akad.11Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad.
4. Shighat al-’aqd ialah ijab kabul. Ijab adalah permulaan penjelasan
yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran
kehendaknya dalam mengadakan akad. Adapun kabul ialah
perkataan yang keluar dari pihak yang berakad pula yang
diucapkan setelah adanya ijab. 12
Ijab dan qabul itu diadakan dengan maksud untuk menunjukkan
adanya sukarela timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan
oleh dua belah pihak yang bersangkutan, dan menimbulkan
kewajiban atas masing- masing secara timbal balik.13
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam shighat al’aqd ialah:
1. Shighat al’aqd harus jelas pengertiannya. Kata- kata dalam ijab
kabul harus jelas dan tidak memiliki banyak pengertian.
2. Harus bersesuaian antara ijab dan kabul. Antara yang berijab
dan menerima tidak boleh berbeda lafal, misalnya seseorang
berkata: “Aku serahkan benda ini kepadamu sebagai titipan”,
tetapi yang mengucapkan kabul berkata: “ Aku terima benda ini
sebagai pemberian”.
3. Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang
bersangkutan, tidak terpaksa, dan tidak karena diancam atau
ditakuti oleh orang lain.

Dengan demikian menurut Hanafiah, ruku akad itu hanya dua macam, yaitu ijab dan
qabul. Sedangkan unsur-unsur yang lain yang menjadi penopang terjadinya akad, seperti

11
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, ( Jakarta: Amzah, 2010), Cet Ke-1, h. 114
12
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. Ke-1, h.51
13
ibid

5
objek akad (ma’qud ‘alaih) dan pelaku akad (‘aqidain), merupakan sesuatu yang secara
otomatis harus ada untuk pembentukan akad, namun tidak menjadi rukun akad

Ulama-ulama selain Hanafiah berpendapat bahwa rukun akad itu ada tiga :

a. Orang yang melakukan akad (aqid).


b. Objek akad (ma’qud ‘alaih).
c. Shighat.14

Rukun dan syarat sahnya suatu akad ada 3 (tiga), yaitu sebagai berikut :

1. Pelaku yaitu para pihak yang melakukan akad (penjual dan pembeli, penyewa
dan yang menyewakan, karyawan dan majikan, shahibul maal dan mudharib,
mitra dengan mitra dalam musyarakah, dan lain sebagainya).
2. Objek akad merupakan sebuah konsekuensi yang harus ada dengan
dilakukannya suatu transaksi tertentu.
3. Ijab kabul merupakan kesepakatan dari pihak pelaku dan menujukkan mereka
saling rida.15

Dari beberapa rukun akad tersebut, dapat dipahami bahwa ada 3 rukun dalam
akad yaitu ; Pelaku, Objek akad dan Ijab Kabul.

2. Syarat- Syarat Akad

Syarat adalah sesuatu yang kepadanya tergantung sesuatu yang lain, dan
sesuatu itu kluar dari hakikat yang lain itu. 16

1. Syarat Syar`I, yaitu suatu syarat yang ditetapkan oleh syara`, yang harus ada
untuk bisa terwujudnya suatu akad. Seperti syarat ahliyah ( kemampuan ) pada
si `aqid untuk keabsahan akad.
2. Syarat Ja`li, yaitu syarat yang ditetapkan oleh orang yang berakad sesuai
dengan kehendaknya , untuk mewujudkannya suatu maksud tertentu dari suatu
akad. Syarat tersebut bisa berbarengan dengan akad, atas digantungkan (
dikaitkan ) dengan akad, seeperti mengaitkan kafalah dengan talak. Syarat-
syarat akad ada empat macam, yaitu:

14
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Mualamat, (Jakarta : AMZAH, 2019), cet. 5, hlm. 115
15
Sri Rahayu, Wasilah, Akuntansi Syariah, (Jakarta : Salemba Empat, 2015), cet 4, hlm. 56
16
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. Ke-1, h.51

6
 Syarat in’iqad (terjadinya akad). Syarat in’iqad adalah sesuatu yang
disyaratkan terwujudnya untuk menjadikan suatu akad dalam zatnya
sah menurut syara’.Apabila syarat tidak terwjud maka akad menjadi
batal.Syarat ini ada dua macam: a) Syarat umum, yaitu syarat yang
harus dipenuhi dalam setiap akad. Syarat ini meliputi syarat dalam
shighat, aqid, objek akad. Syarat- syarat umum yang harus dipenuhi
dalam berbagai macam akad sebagai berikut:
a. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak
(ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak,
seperti orang gila, orang yang berada di bawah
pengampuan, dan karena boros.
b. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
c. Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang
yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia
bukan ‘aqid yang memilki barang.
d. Janganlah akad itu akad yang dilarang oeh syara’,
seperti jual beli mulasamah (saling merasakan).
e. Akad dapat memberikan faedah.
f. Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi
kabul. Maka apabila orang yang berijab menarik
kembali ijabnya sebelum kabul maka batallah ijabnya.
g. Ijab dan kabul mesti bersambung, sehingga bila
seseorang yang berijab telah berpisah sebelum adanya
kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.17
 Syarat khusus, yaitu syarat yang dipenuhi dalam sebagian akad,
bukan dalam akad lainnya. Contohnya seperti syarat saksi dalam akad
nikah, syarat penyerahan barang dalam akad-akad kebendaan (hibah,
gadai, dan lain-lain).
 Syarat sah adalah syarat yang ditetapkan oleh syara’ untuk timbulnya
akibat- akibat hukum dari suatu akad.Apabila syarat tersebut tidak ada
maka akadnya menjadi fasid, tetapi tetap sah dan eksis. 18

17
Abdul Rahman Ghazaly, op.cit., h.55
18
Yusuf Al-Qaradhawi, 7 kaidah Utama Fikih Muamalat, ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), Cet. Ke-1, h. 11

7
 Syarat nafadz (kelangsungan akad) Untuk kelangsungan akad
diperlukan dua syarat:
a. Adanya kepemilikan atau kekuasaan.
Artinya orang yang melakukan akad harus pemilik barang yang
menjadi objek akad, atau mempunyai kekuasaan (perwakilan).
Apabila tidak ada kepemilikan dan tidak ada kekuasaan
(perwakilan), maka akad tidak bisa dilangsungkan, melainkan
mauquf (ditangguhkan), bahkan menurut Asy- Syafi’i dan
Ahmad akadnya batal.
b. Di dalam objek akad tidak ada hak orang lain. Apabila di dalam
barang yang menjadi objek akad terdapat hak orang lain, maka
akadnya mauquf, tidak nafidz
 Syarat Luzum Pada dasarnya setiap akad itu sifatnya mengikat
(lazim).Untuk mengikatnya (lazim-nya) suatu akad, seperti jual beli,
disyaratkan tidak adanya kesempatan khiyar (pilihan), yang
memungkinkan di fasakh nya akad oleh salah satu pihak.Apabila di
dalam akad tersebut terdapat khiyar, maka akad tersebut tidak
mengikat (lazim) bagi orang yang memiliki hak khiyar tersebut. Dalam
kondisi seperti itu ia boleh membatalkan akad atau menerimanya. 19
Menurut ulama Mazhab az- Zahiri semua syarat yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak yang berakad, apabila tidak sesuai
dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah adalah batal. Sedangkan
menurut jumhur ulama fikih, selain Mazhab az-Zahiri, pada dasarnya
pihak-pihak yang berakad itu mempunyai kebebasan untuk
menentukan syarat-syarat tersendiri dalam suatu akad. Kebebasan
menentukan syarat-syarat dalam akad tersebut, ada yang bersifat
mutlak, tanpa batas selama tidak ada larangan di dalam al-Qur’an dan
Sunnah, sebagaimana yang dikemukakan oleh ulama Mazhab Hanbali
dan Maliki. 20

Secara global, syarat dilihat dari sumbernya terbagi kepada dua bagian :

19
ibid
20
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, ( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2004), Cet Ke-2,
h. 109

8
1. Syarat Syari’i yaitu suatu syarat yang ditetapkan oleh syara’, yang harus ada
untuk bisa terwujudnya suatu akad. Seperti syarat ahliyah (kemampuan) pada
si aqid untuk keabsahan akad.
2. Syarat Ja’li, yaitu suatu syarat yang ditetapkan oleh orang yang berakad sesuai
dengan kehendaknya, untuk mewujudkan suatu maksud tertentu dari suatu
akad. Syarat tersebut bisa berbarengan dengan akad, atau digantungkan
(dikaitkan) dengan akad, seperti mengaitkan kafalah dengan talak. 21

3. Macam – Macam Akad


Macam-macam akad beraneka ragam tergantung pada sudut tinjauannya.
Karena ada perbedaan-perbedaan tinjauan, akad akan ditinjau dari segi-segi berikut:22
a. Dari segi keabsahan hukum akad Dari segi keabsahan hukumnya, akad
dibagi menjadi dua macam:
1. Akad sahih adalah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat
syaratnya.23 Hanafiyah sebagaimana dikutip oleh Wahbah az-Zuhaili
mengartikan akad sahih sebagai berikut:

Akad yang sahih adalah suatu akad yang disyariatkan dengan


asalnya dan sifatnya. 24

Akad shahih adalah akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya.
Dengan demikian, segala akibat hukum yang ditimbulkan oleh akad itu,
berlaku kepada kedua belah pihak. 25

Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa akad yang sahih


adalah suatu akad yang terpenuhi asalnya dan sifatnya. Maksud dari
asalnya yaitu rukun akad, yakni ijab dan qabul, para pihak yang
melakukan akad, dan objeknya. Sedangkan maksud dari sifatnya, yaitu
hal-hal yang tidak termasuk rukun dan objek seperti syarat.

Akad sahih dibagi menjadi dua yaitu:26

21
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2019), cet. 5, hlm. 150.
22
Hendi Suhendi, Fikih Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 52-55.
23
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2019), cet. 5, hlm. 150
24
Az-Zuhaili, Al-Fiqh Islamy, hlm. 234.
25
Harun Nasroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 101-104
26
Muslich, Fikih Muamalah, hlm. 153.

9
a. Akad Nafiz adalah akad yang sudah dapat diberlakukan atau
dilaksanakan akibat hukumnya. Akad ini merupakan lawan dari
akad mauquf yang akibat hukumnya terhenti dan belum dapat
dilaksanakan karena para pihak yang membuatnya tidak memenuhi
salah satu syarat dalam berlakunya akibat hukum secara langsung,
yaitu memiliki kewenangan atas tindakan dan atas objek akad.
Apabila kedua syarat ini telah terpenuhi, maka akadnya menjadi
akad nafiz. 27 Contohnya, akad yang dilakukan oleh orang yang
baligh, berakal, dan cerdas. 28

Akad nafiz terbagi atas dua bagian:

a. Akad Nafiz Lazim adalah suatu akad yang tidak bisa


dibatalkan oleh salah satu pihak tanpa persetujuan pihak
lain. Contohnya, jual beli dan sewa menyewa.
b. Akad Nafiz Ghairul Lazim adalah akad yang telah
memenuhi dua syarat dapat dilaksanakannya segera akibat
hukum akad, namun akad itu terbuka untuk di-fasakh
(dibatalkan) secara sepihak karena masing-masing atau
salah satu pihak mempunyai hak khiyar tertentu atau karena
memang asli akad itu demikian. Contohnya, akad wakalah,
akad yang mengandung khiyar.29
c. Akad Mauquf adalah akad yang sah karena sudah
memenuhi rukun dan syarat terbentuknya maupun syarat
keabsahannya, namun akibat hukumnya belum dapat
dilaksanakan.30 Contohnya, akad yang dilakukan oleh anak
yang mumayyiz.

Sebab kemauqufan akad ada dua hal yaitu tidak


adanya kewenangan yang cukup atas tindakan hukum yang
dilakukan atau kekurangan kecakapan, dan tidak adanya

27
Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, hlm.255-256.
28
Muslich, Fiqh Muamalat, hlm. 154
29
Anwar, Hukum Perjanjian, hlm. 256.
30
ibid

10
kewenangan yang cukup atas objek akad karena adanya hak
orang lain pada objek tersebut.

2. Akad tidak sahih Menurut Wahbah az-Zuhaili, akad tidak sahih


:Akad tidak sahih adalah suatu akad yang salah satu unsur yang
pokok atau syaratnya telah rusak (tidak terpenuhi). 31

Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa akad


tidak sahih adalah suatu akad yang rukun dan syaratnya tidak
terpenuhi. Contohnya, akad jual beli yang dilakukan oleh anak di
bawah umur, jual beli babi, dan jual beli minum-minuman keras.
Dari aspek hukumnya, akad ini tidak menimbulkan akibat
hukum, yakni tidak adanya hak dan kewajiban yang harus
terpenuhi oleh para pihak yang berakad.

Akad tidak sahih terbagi atas dua bagian:

a. Akad Batil menurut Hanafiyah yaitu suatu akad yang rusak


(tidak terpenuhi) rukunnya atau objeknya, atau akad yang
tidak disyariatkan dengan asalnya dan tidak pula sifatnya.
Maksudnya, akad tersebut tidak memenuhi sama sekali
rukun, objek dan syarat akad. Contohnya, akad jual beli
orang gila, jual beli babi, jual beli minuman keras, dan jual
beli ikan yang masih ada di dalam air laut. 32

Hukum akad batil, yaitu akad yang tidak memenuhi


rukun dan syarat terbentuknya akad:

1. Akad tersebut tidak ada wujudnya secara syar`i (secara syar`i


tidak pernah dianggap ada), dan oleh karena itu tidak
melahirkan akibat hukum apapun. Para pihak tidak dapat
menuntut kepada yang lain untuk melaksanakan akad tersebut.
Para pembeli tidak dapat menuntut penyerahan barang dan
penjual tidak dapat menuntut harga. Contohnya, akad yang

31
Az-Zuhaili, Al-Fiqh Islamy, hlm. 235.
32
Muslich, Fikih Muamalah, hlm. 157

11
dilakukan oleh anak kecil, akad yang dilakukan oleh orang
gila, akad jual beli narkoba.33
2. Apabila telah dilaksanakan oleh para pihak, akad batil itu
wajib dikembalikan kepada keadaan semula pada waktu
sebelum dilaksanakan akad batil tersebut. Contohnya, dalam
jual beli barang yang telah diterima oleh pembeli wajib
dikembalikan kepada penjual dan harga wajib dikembalikan
kepada pembeli. Apabila barang tersebut telah dipakai, diganti
nilainya apabila objek bersangkutan adalah benda nilai dan
dikembalikan yang sama apabila objek bersangkutan adalah
benda bercontoh.
3. Akad batil tidak berlaku pembenaran dengan cara memberi
izin, seperti karena transaksi tersebut didasarkan pada akad
yang sebenarnya tidak ada secara syar`i dan juga karena
pembenarannya hanya berlaku terhadap akad mauquf.
Contohnya, akad orang yang tidak waras tidak dapat
dibenarkan dengan adanya ratifikasi pengampunya karena
akad tersebut sejak semula tidak sah.
4. Akad batil tidak perlu di fasakh (dilakukan pembatalan) karena
akad ini sejak semula adalah batal dan tidak pernah ada. Setiap
pihak yang berkepentingan dapat berpegang kepada kebatalan
itu, seperti pembeli berpegang terhadap kebatalan dalam
berhadapan dengan penjual dan penjual berhadapan dengan
pembeli.
5. Ketentuan lewat waktu (at-taqadum) tidak berlaku terhadap
kebatalan. Apabila seseorang melakukan akad jual beli tanah
dan akad itu batal. Penjual tidak menyerahkan tanah itu kepada
pembeli, kemudian lewat waktu puluhan tahun, dimana pembeli
menggugat kepada penjual untuk menyerahkan tanah tersebut,
maka penjual dapat berpegang kepada kebatalan akad
berapapun lamanya karena tidak ada lewat waktu terhadap
kebatalan.

33
Anwar, Hukum Perjanjian, hlm. 246-247.

12
b. Akad Fasid
Akad fasid adalah akad yang pada dasarnya disyariatkan tetapi sifat
yang diakadkan itu tidak jelas. Contohnya, menjual rumah yang tidak jelas
tipenya. Ada empat sebab yang menjadikan akad fasid meskipun telah
memenuhi rukun dan syarat terbentuknya, yaitu penyerahan yang
menimbulkan kerugian, gharar, syarat-syarat fasid, riba. 34

b. Dari segi penamaan akad


Dari segi penamaannya, akad dibagi menjadi dua macam:
1. Akad musamma
Akad musamma adalah akad yang ditentukan nama-namanya oleh syara‟ serta
dijelaskan hukum-hukumnya. Contohnya, akad jual beli.
2. Akad ghairu musamma
Akad ghairu musamma adalah akad yang penamaannya ditentukan oleh
masyarakat sesuai dengan keperluan mereka sepanjang zaman dan tempat.
Contohnya, akad istisna, dan bai al wafa. 35
c. Dari sifat bendanya
Dari sifat bendanya, akad dibagi menjadi dua macam:
1. Akad ainiyah
Akad ainiyah adalah akad yang disyaratkan dengan penyerahan
barang-barang. Contohnya, akad jual beli.
2. Akad ghairu ainiyah
Akad ghairu ainiyah adalah akad yang tidak disertai dengan
penyerahan barang-barang. Tanpa adanya penyerahan barang-barang pun
akad sudah berhasil. Contohnya, akad amanah.
d. Dari cara melakukannya
Dari cara melakukannya, akad dibagi menjadi dua macam:
1. Akad yang harus dilaksanakan dengan tata cara atau upacara tertentu. Contohnya,
akad nikah. Dalam akad nikah harus dihadiri oleh dua orang saksi, wali, dan
petugas pencatat nikah.
2. Akad yang dilakukan tanpa adanya upacara atau tata cara tertentu. Akad ini terjadi
karena keridhaan dua belah pihak. Contohnya, akad jual beli.

34
ibid
35
Suhendi, Fikih Muamalat, hlm. 52.

13
e. Dari segi tukar menukar hak
Dari segi tukar menukar hak, akad dibagi menjadi tiga macam:
1. Akad muawadah
Akad muawadah adalah akad yang berlaku atas dasar timbal balik.
Contohnya, akad jual beli, akad ijarah, dan akad sulh.
2. Akad tabarruat
Akad tabarruat adalah akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan
pertolongan. Contohnya, akad hibah, dan akad ariyah.
3. Akad yang tabarruat pada awalnya dan menjadi akad muawadah pada akhirnya.
Contohnya, akad qard, dan akad kafalah.
f. Dari segi tujuan akad
Dari segi tujuan akad, akad dibagi menjadi lima macam:
1. Akad yang tujuannya tamlik. Contohnya, akad jual beli.
2. Akad yang tujuannya mengadakan usaha bersama. Contohnya, akad syirkah, dan
akad mudarabah.
3. Akad yang tujuannya mengokohkan kepercayaan saja. Contohnya, akad rahn dan
akad kafalah.
4. Akad yang tujuannya menyerahkan kekuasaan. Contohnya, akad wakalah. 5.
Akad yang tujuannya memelihara. Contohnya, akad wadiah.
5. Akad yang tujuannya memelihara. Contohnya, akad wadiah.

g. Dari segi harus dibayar ganti atau tidaknya


Dari segi harus dibayar ganti atau tidaknya, akad di bagi menjadi tiga macam:
1. Akad daman
Akad daman adalah akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua sesudah
benda-benda itu diterima. Contohnya, akad qard, dan akad jual beli. 36
2. Akad amanah
Akad amanah adalah tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda, bukan oleh
yang memegang barang. Contohnya, akad wakalah, dan akad syirkah.37
3. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu segi merupakan
daman, menurut segi yang lain merupakan amanah. Contohnya, akad rahn (gadai),
akad ijarah, dan akad sulh.

36
ibid
37
ibid

14
h. Dari segi luzum dan dapat dibatalkannya

Dari segi luzum dan dapat dibatalkannya, akad dibagi menjadi empat macam:

1. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan.
Contohnya, akad nikah, manfaat perkawinan tidak bisa dipindahkan kepada orang
lain, seperti bersetubuh, tapi akad nikah dapat diakhiri dengan cara yang dibenarkan
syara`, seperti talak dan khulu`.
2. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak dan dapat dipindahkan dan
dirusakkan. Contohnya, akad jual beli.
3. Akad lazim yang yang menjadi hak salah satu pihak. Contohnya, akad rahn, orang
yang menggadai suatu benda mempunyai kebebasan kapan saja ia akan melepaskan
rahn, atau menebus kembali barangnya.
4. Akad lazim yang menjadi hak dua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah
satu pihak. Contohnya, akad titipan. Titipan boleh diminta oleh orang yang
menitipkan tanpa menunggu persetujuan yang menerima titipan atau yang menerima
titipan boleh mengembalikan barang yang dititipkan kepada orang yang menitipkan
tanpa menunggu persetujuan dari yang menitipkan.

i. Dari segi berlakunya


Dari segi berlakunya akad dibagi menjadi dua macam:
1. Akad fauriyah
Akad fauriyah adalah akad-akad yang pelaksanaannya tidak memerlukan
waktu lama. Contohnya, akad jual beli.
2. Akad mustamirah
Akad mustamirah adalah akad yang pelaksanaannya memerlukan waktu yang
menjadi unsur asasi dalam pelaksanaannya. Contohnya, akad ijarah.

j. Dari segi ketergantungan dengan yang lain

Dari segi ketergantungan dengan yang lain akad dibagi menjadi dua macam:

1. Akad asliyah
Akad asliyah adalah akad yang berdiri sendiri tidak memerlukan sesuatu yang
lain. Contohnya, akad jual beli.

15
2. Akad tabi`iyah
Akad tabi`iyah adalah akad yang tidak dapat berdiri sendiri karena
memerlukan sesuatu yang lain. Contohnya, akad rahn dan akad kafalah. 38

4. Berakhirnya Akad ( Intiha` Al-`Aqd)


Akad akan berakhir apabila :
a. Fasakh (Batal ) Karena Akadnya Rusak (Fasid )
Apabila terjaddi kerusakan (fasid) dalam suatu akad, seperti jual beli
barang yang tidak jelas ( Majhul), maka wajib difasakh (dibatalkan), baik
melalui para pihak yang melakukan akad, atau melalui putusan hakim, kecuali
apabila terdapat hal-hal yang menghalangi pembatalan tersebut. Misalnya
sipembeli telah menjual barang barang yang dibelinya atau telah
menghibahkannya kepada orang lain. Dalam hal ini sipembeli wajib
menyerahkan nilai barang yang dijual pada saat barang diterima, bukan harga
yang disepakati.
b. Fasakh (Batal ) karena Khiyar
Bagi pemilik khiyar, baik khiyar syarat, khiyar aib, maupun khiyar ru`yah
dibolehkan untuk membatalkan akad semata-mata karena kehendaknya. Akan
tetapi, dalam khiyar aib, menurut Hanafiah, setelah barangnya diterima tidak
boleh di-fasakh kecuali dengan persetujuan pihak penjual, atau berdasarkan
putusan hakim.
c. Fasakh (Batal) karena Iqalah
Iqalah adalah pembatalan akad berdasarkan persetujuan kedua belah pihak,
apabila salah satu pihak merasa menyesal dan ingin mengundurkan diri dari
akad. Cara ini dianjurkan berdasarkan hadis Nabi :
“ Dari Abu Hurairah ia berkata, telah bersabda Rasullah : Barangsiapa yang
membatalkan akad seorang muslim, maka Allah akan membatalkan
kesulitannya pada hari kiamat. (HR. Ibnu Majah) 39
Dalam hadis yang sama riwayat Ibnu Hibban tetapi dengan redaksi
yang sedikit berbeda disebutkan :

38
ibid
39
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz 2, CD Room, Maktabah Kutub Al-Mutun, Silsilah Al-`Ilmu An-Nafi`,
Seri 4, Nomor hadis 2199, Al-Ishdar Al-Awwal, 1426 H, hlm.741.

16
“ Dari Abu Hurairah ia berkata : Telah bersabda Rasullah : Barangsiapa yang
membatalkan jual beli dari orang yang merasa menyesal maka Allah akan
membatalkan kesulitannya pada hari kiamat. “40
d. Fasakh (Batal) karena tidak bisa Dilaksanakan
Fasakh boleh dilakukan karena pihak lain tidak bisa melaksanakan
kewajibannya dalam keadaan khiyar naqd ( hak pilih pembayaran ). Artinya,
apabila setelah saat pembayaran tiba, si pembeli tidak bisa melunasi
kewajibannya membayar harga tersebut maka jual beli menjadi batal.
 Fasakh (Batal) karena Habisnya Masa yang disebutkan dalam akad,
atau karena Tujuan akad Telah Terwujud
Apabila masa perjanjian yang disepakati dan disebutkan
dalam akad telah habis, atau tujuan yang dimaksudkan oleh
akad telah selesai diwujudkan, maka akad secara otomatis
menjadi batal. Misalnya masa sewwa rumah selama satu tahun
sudah selesai, atau pembelian mobil yang diwakilkan kepada
pihak lain sudah berhasil.
1. Berakhirnya Akad karena Kematian
Akad bisa fasakh (batal) karena meninggalnya salah satu pihak yang
melakukan akadd. Diantara akad yang berakhir karena meninggalnya salah satu dua
pihak adalah sebagai berikut.
 Ijarah ( Sewa – Menyewa )
Menurut Hanafiah, akad ijarah berakhir karena meninggalnya
salah satu pihak yang melakukan akad, meskipun akad ini termasuk
akad yang lazim (mengikat) yang dilakukan oleh dua pihak. Alasan
mereka adalah bahwa orang yang menyewa memiliki manfaat sejak
terjadinya akad degan sedikit demi sediki. Maka manfaat yang tersisa
setelah meninggalnya salah satu pihak sudaah bukan miliknya lagi,
sehingga dengan demikian, akad sudah berakhir dan tidak boleh
dilanjutkan lagi. 41
 Kafalah ( Jaminan)

40
Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Juz 11, CD Room, Maktabah Kutub Al-Mutun, Silsilah Al-`Ilmu An-Nafi`, Seri
4, Nomor hadis 5039, Al-Ishdar Al-Awwal, 1426 H, hlm.404.
41
Alauddin Al-Kasani,op.cit., Juz 4, hlm.90.

17
Kafalah ada 2 macam, yaitu kafalah (jaminan) terhadap harta
(kafalah bilmal), dan kafalah (jaminan) terhadap jiwa (kafalah bin
nafs). Dari kedua jenis kafalah tersebut, kafalahbin nafs (jaminan
terhadap jiwa) dapat batal (fasakh) karena meninggalnya ashil ( makful
`anhu) atau meninggalnya kafil (penjamin).
 Syirkah dan Wakalah
Syirkah dan wakalah termasuk akad ghir lazim yang dilakukan
oleh 2 pihak. Kedua akad tersebut berakhir dengan meninggalnya salah
satu pihak yang melakukan akad. Syirkah dapat batal dengan
meninggalnya alah satu anggota syarikat, baik anggota syarikat yang
lain mengetahui kematian terssebut atau tidak.
 Muzara`ah dan Musaqah
Muzara`ah dan Musaqah termasuk akad ghair lazim yang
dilakukan oleh dua pihak. Menurut Hanabilah, Muhammad bin Hasan
dan Abu Yusuf, akad muzara`ah dan musaqah dapat berakhir atau
fasakh karna meninggalnya pemilik tanah atau penggarap, baik
sebelum digarap atau sesudahnya, baik tanaman sudah berbuah atau
belum.

2. Berakhirnya Akad karena Tidak ada Izin dalam Akad Mauquf


Akad yang mauquf (ditangguhkan) dapat berakhir apabila orang yang
berhak tidak memberikan persetujuannya. Misalnya dalam akad fudhuli. Persetujuan
dari pemilik juga tidak berlaku (tidak sah ) apabila pelaku fudhuli atau orang berakad
dengannya meninggal dunia. 42

5. AKAD JUAL BELI (Al-BAI`)


 Definisi Jual Beli dan Dasar Hukumnya

Pengertian Jual beli menurut Bahasa adalah tukar-menukar secara


mutlak.43Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa jual beli menurut
bahasa adalah tukar menukar apa saja, baik antara barang dengan barang ,
barang dengan uang, atau uang dengan uang.

42
ibid
43
Sayid Sabiq,Fiqh As-Sunnah,Juz 3, Dar Al- Fikr,Beirut,cet.III,1981,hlm.126.

18
Menurut pengertian syariat, yang dimaksud dengan jual beli adalah
pertukaran harta atas dasar saling rela. Atau memindahkan milik dengan ganti
yang dapat dibenarkan (yaitu berupa alat tukar yang sah). Dapat disimpulkan
bahwa jual beli dapat terjadi dengan cara:

a. Pertukaran harta antara pihak atas dasar saling rela,


b. Memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan, yaitu berupa
alat tukar yang diakui sah dalam lalu lintas perdagangan.44
Secara etimologi, jual beli adalah proses tukar menukar barang dengan
barang, kata bai’ yang artinya jual beli termasuk kata bermakna ganda yang
bersebrangan, seperti hal-halnya kata syira’. 45

Jadi dapat disimpulkan kalau Jual Beli adalah suatu perjanjian tukar-
menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara
kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain
menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan
syara' dan disepakati.

 Dasar Hukumnya

Jual beli sebagai sarana tolong-menolong antara sesama umat manusia


mempunyai landasan yang kuat di dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah
saw.

Terdapat sejumlah ayat al-Qur`an tentang jual beli, di antaranya dalam


surat al-Baqarah: 275 yang berbunyi:

“Artinya :“...Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”

“Artinya: “...kecuali dengan jalan perdagangan yang didasari suka


sama suka di antara kamu...”.46

Dasar hukum jual beli dalam sunnah Rasulullah SAW. di antaranya


adalah hadis dari Rifa`ah ibn Rafi` yaitu:

44
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalah Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam (Jakarta: Amzah, 2010),
23-25
45
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 5, Gema Insani, Jakarta, 2011, hlm. 25
46
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 113.

19
“Artinya: `Dari Rifa`at Bin Rofi`RA Sesungguhnya Nabi SAW
ditanya, pekerjaan apa yang terbaik ? Beliau menjawab kerja seseorang
dengan tangannya sendiri, dan setiap jual beli yang baik.”

“Artinya : diceritakan abbas bin walid addimasyqi, diceritakan marwan


bin Muhammad diceritakan abdul aziz bin Muhammad dari dawud bin
sholih al madini dari bapaknya berkata saya mendengar aba said al
khudriyah berkata Rasulullah bersabda sesungguhnya jual beli itu
harus dilakukan dengan suka rela.”

Di dalam islam terdapat kebolehan melakukan jual beli atas dasar suka
sama suka, artinya tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Selain itu, jual beli
yang dilakukan hendaknya sesuai aturan didalam syara’.

Dan Ijmak yaitu kesepakatan para ulama.

 Rukun Jual Beli

Rukun jual beli menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul yang
menunjukkan sikap saling tukar – menukar , atau saling memberi . Atau dengan
redaksi yang lain, ijab qabul adalah perbuatan yang menujukkannya kesedihan 2
pihak untuk menyerahkan milik masing-masing kepada pihak lain, dengan
menggunakan perkataan atau perbuatan.47

Rukun jual beli ada tiga: Orang yang berakad, ijab qabul, dan objek
akad. Adapun syarat pertama yaitu:

c. Aqidain ( Orang yang berakad ). Adapun syaratnya yaitu:


1. Berakal

Artinya dapat membedakan atau memilih mana yang terbaik bagi dirinya.
Apabila salah satu pihak tidak berakal maka jual beli yang diadakan tidak sah.

2. Dengan kehendaknya sendiri (bukan dipaksa)

Dalam melakukan perbuatan jual beli salah satu pihak tidak melakukan
tekanan atau paksaan atas pihak lain, sehingga pihak lain tersebut melakukan

47
Wahbah Zuhaili, op.cit.,Juz 4,hlm. 347

20
perbuatan jual beli bukan disebabkan kemauan sendiri, tapi ada unsur paksaan.
Jual beli yang dilakukan bukan atas kehendak sendiri adalah tidak sah. 48

3. Tidak mubazir ( boros )


Tidak mubazir, maksudnya pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian
jual beli bukanlah manusia yang boros, sebab orang yang boros di dalam
hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak.
4. Baligh

Baligh atau dewasa di dalam Islam adalah apabila berumur 15 (lima


belas) tahun, atau telah bermimpi (bagi anak laki-laki) dan haid (bagi anak
perempuan). Dengan demikian, jual beli yang diadakan anak kecil adalah tidak
sah. Meskipun demikian, bagi anak-anak yang dapat membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk, tetapi belum dewasa (belum mencapai 15 tahun
dan belum bermimpi atau haid), menurut pendapat sebagian diperbolehkan
melakukan perbuatan jual beli, khususnya untuk barang-barang kecil dan tidak
bernilai tinggi. 49

a. Shigah atau Ijab Qabul. Adapun syaratnya yaitu:


i. Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
ii. Qabul sesuai dengan Ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai
maka jual beli tidak sah.
iii. Ijab dan Qabul dilakukan dalam satu majlis. Artinya, kedua belah
pihak yang berakad harus hadir. Di zaman modern, perwujudan ijab
qabul tidak lagi diucapkan, tetapi dilakukan dengan sikap mengambil
barang dan membayar.
b. Obyek akad (Ma’qud alaih).Adapun syaratnya yaitu:
i. Mutaqawwam atau Mutamawwal
Mutaqawwam atau Mutamawwal adalah barang yang memiliki
nilai instrinsik yang dapat terpengaruhi oleh fluktuasi harga. Atau
barang yang memiliki nilai manfaat secara dhahir. Menurut imam
Syafi`i sebuah barang dikategorikakan sebagai Mutamawwal, juga
disyaratkan harus bersifat suci.

48
Suhrawardi, et. al., Hukum., 141
49
Ibid

21
ii. Muntafa’ Bih
Muntafa’ bih adalah barang yang memiliki nilai kemanfaatan.
Tinjauan muntafa‟ bih sebuah komoditi dilihat melalui dua
prespektif, syar’i dan urfi.
a. Prespektif syar’i
Dalam prespektif syar’i barang diakui sebagai muntafa’
bih apabila pemanfaatannya dilegalkan secara syar’i.
b. Prespektif urfi
Dalam prespektif urfi barang diakui sebagai muntafa’
bih apabila sudah biasa dimanfaatkan, sehingga diakui secara
publik memiliki nilai ekonomis dan layak dikomersialkan
(maqshudan ‘urfan), meskipun hanya berupa bentuk
pemanfaatan yang tidak semestinya. Menjual belikan barang
yang tidak ada manfaatnya secara hukum tidak sah. Sebab
termasuk tindakan menyianyiakan harta.
c. Maqdur ‘ala Taslim
Maqdur ‘ala Taslim adalah ma’qud ‘alaih mampu
diserah terimakan. Kriteria ini ditinjau dari dua prespektif
empiris dan hukum.
d. Li Al-aqid Wilayah
Li Al-aqid Wilayah yaitu transaksi harus memiliki
otoritas atau kewenangan atas ma’qud ‘alaih.
e. Ma’lum
Ma’lum adalah keberadaan ma’qud ‘alaih diketahui
secara transparan. Pengetahuan terhadap komoditi ini bisa
melalui salah satu dari dua metode yaitu melihat langsung atau
spesifikasi. 50

 Syarat – syarat Jual Beli


Syarat sah akad, yang terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Syarat umum

50
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah ( Kediri: Lirboyo Press, 2013) 4-10.

22
Syarat umum adalah bahwasannya jual beli tersebut tidak
mengandung salah satu dari enam unsur yang merusaknya, yaitu:
Jahalah (ketidakjelasan), ikrar (paksaan), tauqit (pembatasan
waktu), gharar, dharar (aniaya), dan persyaratan yang merugikan
pihak lain.
b. Syarat khusus
Syarat khusus adalah syarat yang hanya ada pada
barangbarang tertentu, yakni: penyerahan dalam hal jual beli benda
bergerak, kejelasan mengenai harga pokok dalam hal ba’i
almurabahah, terpenuhi sejumlah kriteria tertentu dalam hal ba’i
ulsalam, dan tidak mengandung unsur riba dalam jual beli harta
ribawi.
Syarat nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat nafadz ada dua,
yakni:
1. Adanya unsur milkiyah atau wilayah
2. Bendanya yang diperjualbelikan tidak mengandung hak orang
lain.
Syarat luzum, yang dimaksud syarat luzum adalah tidak
adanya khiyar yang memberikan pilihan kepada masing-masing
pihak antara membatalkan atau meneruskan jual beli. 51

- Syarat Sah Jual Beli


Syarat sah ini terbagi kepada 2 bagian, yaitu syarat umum dan syarat
khusus. Syarat umum adalah syarat yang harus ada pada setiap jenis jual
beli agar jual beli tersebut dianggap sah menurut syara`. Secara global
akad jual beli harus terhindar dari enam macam `aib :
1. Ketidakjelasan (jahalah);
2. Pemaksaan (al-ikrah);
3. Pembatasan dengan waktu (at-tauqit);
4. Penipuan (gharar);
5. Kemudaratan (dharar);
6. Syarat-syarat merusak.52

51
Ghufron, Fiqh Muamalah Kontekstual (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002), 119-120.

23
1. Ketidakjelasan ( al-Jahalah)
Yang dimaksud disini adalah ketidakjelasan yang serius yang mndatangkan
perselisihan yang sulit untuk diselesaikan. Ketidakjelasan ini ada 4 macam, yaitu :
 Ketidakjelasan dalam barang yang dijual, baik jenisnya, macamnya,
atau kadarnya menurut pandangan pembeli.
 Ketidakjelasan harga
 Ketidakjelasan masa (tempo), seperti dalam harga yang diangsur, atau
dalam khiyar syarat. Dalam hal ini waktu harus jelas, apabila tidak
jelas maka akad menjadi batal.
 Ketidakjelasan dalam langkah – langkah penjaminan. Misalnya penjual
mensyaratkan diajukannya seorang kafil (penjamin). Dalam hal ini
penjamin tersebut harus jelas. Apabila tidak jelas maka akad jual beli
menjadi batal.53
2. Pemaksaan ( Al-Ikrah)
Pengertiaan pemaksaan adalah mendorong orrang lain (yang dipaksa) untuk
melakukan suatu perbuatan yag tdk disukainya. Paksaan ini ada dua macam :
 Paksaan absolut, yaitu paksaan dengan ancaman yang sangat berat ,
seperti akan dibunuh, atau dipotong anggota badannya.
 Paksaan relative, yaitu paksaan dengan ancaman yang lebih ringan ,
seperti dipukul.
Kedua ancaman tersebut mempunyai pengaruh terhadap jual
beli, yakni menjadikannya jual beli yang fasid menurut jumhur
Hanafiah, dan mauquf menurut Zufar.
3. Pembatasan dengan Waktu (At-Tauqit)
Yaitu jual beli dengan dibatasi waktunya. Seperti :” Saya jual baju ini
kepadamu untuk selama satu bulan atau satu tahun.” Jual beli semacam ini
hukumnya fasid, karena kepemilikan atas suatu barang , tidak bisa dibatasi
waktunya.
4. Penipuan ( Al-Gharar)

52
Ibid,.hlm. 379
53
Ibid.hlm. 379-380

24
Yang dimaksud disini adalah gharar (penipuan) dalam sifat barang. Seperti :
seseorang menjual sapi dengan pertanyaan bahwa sapi itu air susunya sehari
sepuluh liter, padahal kenyataannya paling banyak 2 liter.
5. Kemudharatan (Adh- Dharar)
Kemudaratan ini terjadi apabila penyerahan barang yang dijual tidak mungkin
dilakukan kecuali dengan memasukkan kemudharatan kepada penjual, dalam
barang selain objek akad. Seperti seseorang menjual baju (kain) satu meter, yang
tidak bisa dibaagi dua, Dalam pelaksanaannya terpaksa baju (kain) tersebut
dipotong, walaupun hal itu merugikan penjual.
6. Syarat yang Merusak
Yaitu setiap syarat yang ada manfaatnya bagi salah satu pihak yang
bertransaksi, tetapi syarat tersebut tidak ada dalam syara` adan adat kebiasaan.
Atau tidak dikehendaki oleh akad, atau tidak selaras dengan tujuan akad. Seperti
seseorang menjual mobil dengan syarat ia (penjual) akan menggunakannya selama
satu bulan setelah terjadinya akad jual beli, atau seseorang menjual rumah dengan
syarat ia (penjual) boleh tinggal dirumah itu selama masa tertentu setelah
terjadinya akad jual beli. 54

 Macam –Macam Jual Beli


1. Ulama Hanafiyah membagi jual beli dari segi sah dan tidak sahnya
menjadi tiga bentuk yaitu:55
a. Jual beli yang shahih Suatu jual beli dikatakan sebagai jual
beli yang shahih apabila jual beli itu disyariatkan, memenuhi
rukun dan syarat yang ditentukan, bukan milik orang lain, dan
tidak bergantung pada khiyar lagi.
b. Jual beli yang batil Jual beli dikatakan jual beli yang batil
apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau
jual beli tersebut pada dasar dan sifatnya tidak disyari‟atkan
atau barang yang dijual adalah barang-barang yang diharamkan
syara’. Jenis-jenis jual beli yang batil antara lain :
1. Jual Beli Yang Barangnya Tidak Ada (Bai’ Ma’dum)

54
Ibid., hlm.381
55
Madani, Fiqih Ekonomi Syariah: Fiqih Muamalah, Cet. Ke-2, Kencana, Jakarta, 2013, hlm. 102

25
Bai’ ma’dum (jual beli yang barangnya tidak ada)
yang didalamnya terdapat unsur ketidakjelasan adalah batil.
Seperti menjual anak unta yang masih dalam kandungan dan
menjual buah yang masih dipohon (belum matang), karena
Nabi SAW melarang jual beli anak ternak yang masih dalam
kandungan dan melarang pula jual beli buah yang masih
dipohon (belum matang).56

2. Jual Beli Yang Barangnya Tidak Dapat diserahkan


Pada Pembeli (Bai’ Ma’jus Taslim)

Empat mazhab bersepakat menetapkan bahwa


sesungguhnya tidaklah terjadi akad jual beli ma’juz at-
tasliim ( Jual beli dimana objek transaksinya tidak bisa
diserah terimakan) ketika berakad sekalipun
harta/benda/barang tersebut adalah miliknya sendiri, seperti
memperjualbelikan burung yang terbang dari pemiliknya.
Walaupun bisa mendatangkan barang saat di majelis akad,
tetap dianggap tidak boleh karena ada unsur batil.

Batalnya akad dapat pula terjadi apabila harga


(barang pengganti) tidak dapat diserahkan karena jika harga
(barang pengganti) tersedia, maka barang jualan akan
menjadi hak milik.

3. Jual Beli Yang Mengandung Unsur Penipuan (Gharar)

Menurut bahasa makna al-gharar adalah, al-khathr


(pertaruhan) dan al khida’ (penipuan). Secara istilah adalah
jual beli yang hukumnya terbatasi. Jadi bai’ gharar adalah
jual beli yang mengandung spekulasi yang terjadi antara
kedua orang yang berakad, menyebabkan hartanya hilang,
atau jual beli sesuatu yang masih hambar, tidak jelas wujud
atau batasanya, disepakati pelarangannya.

56
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000,Cet ke- 3 , hlm 121-129

26
4. Jual Beli Benda-Benda Najis

Para Ulama bersepakat akan tidak adanya akad jual


beli bagi khamar, babi, bangkai dan darah. Karena
semuanya itu tidak mengandung harta.

5. Jual Beli al-‘arbun

Yaitu jual beli yang bentuknya dilakukan melalui


perjanjian, pembeli membeli sebuah barang dan uangnya
seharga barang diserahkan kepada penjual, dengan syarat
apabila pembeli tertarik dan setuju maka jual beli sah. Akan
tetapi apabila pembeli tidak setuju dan barang
dikembalikan, maka uang yang telah diberikan kepada
penjual, menjadi hibah bagi penjual.

Kebanyakan fuqaha melarangnya dengan alasan


bahwa jual beli termasuk bab kesamaran dan pertaruhan,
juga memakan harta orang lain tanpa imbalan.

6. Jual Beli Air (Bai’ Maa’)

Air sungai, air danau, air laut, dan air yang tidak
dimiliki seseorang merupakan hak bersama umat manusia
tidak boleh diperjualbelikan.57

c. Jual Beli Fasid


Jual beli fasid adalah jual beli yang rusak dan apabila kerusakan itu
menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki. Jenis-jenis jual beli fasid,
antara lain:
 Jual Beli Yang Tidak Jelas/Tidak Diketahui Barangnya (Bai’
Majhul)58
Yaitu jual beli yang barangnya secara global tidak dapat
diketahui, dengan syarat kemajhulannya bersifat menyeluruh. Akan
tetapi, apabila kemajhulannya bersifat sedikit, maka jual belinya sah.

57
ibid
58
ibid

27
 Jual Beli Yang Tergantung Atas Suatu Syarat dan Jual Beli Al
Mudhaf (Menambahi Ijab)
Jual beli mualaq al syartin adalah jual beli yang wujudnya
tergantung pada sesuatu yang lain, memungkinkan sekali saat ijabnya
menggunakan kata-kata ta’liq (menggantung) misalnya: akan, jika,
apabila, kapan dan lainya. Seperti ungkapan: “Akan kujual rumah ini
apabila fulan sudah pulang dari bepergiannya atau apabila fulan
menjual rumahnya kepadaku”.
Jual beli mudhaf adalah jual beli yang ijabnya ditambah-
tambahi sampai masa yang akan datang, misal : “Aku jual rumah ini
pada awal tahun baru segini”. Inilah kedua jual beli yang fasid menurut
Hanafiyah, keduanya batal menurut yang lain, karena jual beli itu akad
kepemilikannya ditentukan pada waktu itu juga, tidak menambah
temponya hingga masa yang akan datang. 59
 Jual Beli Harta Yang Tidak Ada/Tidak Terlihat Barangnya (Ba’i
‘Ainul Gho’ibah Au Ghoiru Mari’ah)
‘Ainul ghoibah adalah harta pilihan yang dimiliki oleh penjual,
yang wujudnya nyata, namun tidak terlihat. Hanafiyah membolehkan
walaupun tanpa diketahui sifatnya sekalipun dengan syarat khiyar
seperti jual beli barang yang ada di dalam kotak atau tertutup dan
lainya. Apabila ketika melihat berang tersebut kemudian membatalkan
transaksi maka dibolehkan.
 Jual Beli Bagi Orang Yang Buta (Bai’ Al ‘A’ma Wa Syiro’uhu)
Jumhur ulama membolehkanya dalam berakad jual beli, ijarah
(sewa), rahn (gadai) dan hibah (pemberian). Dia berhak melakukan
khiyar apabila mengetahui jenis, bau atau melalui daya rasanya. Atau
mungkin barangnya disifati seperti sifat buah-buahan yang masih
berada di pohon, karena sifat harus menjelaskan hakikat barang yang
akan diperjual belikan, maka terjadilah kesamaran dalam jual beli bagi
orang orang yang dapat melihat. Akan tetapi tidak ditetapkan oleh
Hanafiyah dan Malikiyah khiyar melihat bagi penjual secara mutlaq.

59
Al Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al Bukhori, Op.Cit.,No. Hadits 2201, hlm. 893

28
Dalam keadaan buta atau melihat Syafi`iyah tidak
memperbolehkannya (orang buta), kecuali ia pernah melihat sesuatu
sebelum kebutaanya, barang yang tidak berubah seperti besi dan
selainya, sehingga ia dihukumi kurang dalam mengidentifikasi dengan
baik, maka barang yang akan dijual belikan baginya dianggap sebagai
barang yang majhul.
 Jual Beli Barang Haram (Bai’ Bi Tsaman Al Muharom)
Khamr, babi, bangkai, dan darah adalah fasid karena tidak
mangandung manfaat secara syar’i.
 Jual Beli Tunai Dan Tunda (Bai’Inah wa Bai’ Al Ajal)
Abu Hanifah, Syafi`iyah dan Dhohiriyah menshahihkan jual
beli inah secara dahirnya, karena terpenuhi rukunya yaitu ijab dan
qobul menurut Abu Hanifah, dan rukun-rukunnya terpenuhi menurut
yang lainya, tentunya dengan meninggalkan urusan niat dan
menyerahkanya kepada Allah ta‟ala untuk menghukumi pelakunya.
Perlu diketahui bahwa ternyata jual beli inah ini, menurut selain
mazhab Malikiyah disebut-sebut dengan jual beli ajal, yaitu yang
mengandung siasat menjurus kepada riba, yaitu seseorang menjual
barang dengan pembayaran bertempo. Kemudian membelinya lagi
pada saat itu juga, Jual beli ini disebut inah karena pemilik barang
bukan menginginkan menjual barang, tetapi yang diinginkannya adalah
‘ain (uang) atau karena penjual kembali memiliki ‘ain (benda) yang dia
jual pada waktu itu juga. Sebaliknya si pemilik barang menjual sesuatu
barang kepada orang lain dengan sistem tempo, kemudian setelah itu
barang tersebut dibeli lagi oleh pemilik barang tadi dengan tunai
namun dengan harga yang lebih murah dari pada harga pertama waktu
ia jual.
 Jual Beli Anggur Untuk DiJadikan Khamar (Bai’ Inab Liashiril Khamr
)
 Dua Akad Dalam Satu Jual Beli Atau Dua Syarat Pada Satu Jual Beli
(Baiatani Fi Bai’atin Aw Syarthani Fi Bai’in Wahid) Jual beli dengan
dua syarat. Misalnya seperti ungkapan pedagang yang mengatakan,

29
“Jika tunai harganya Rp 50.000, dan jika berutang harganya Rp
75.000”.60
 Jual Beli Yang Barang dan Sifatnya Bagian Dari Yang Dimaksud
(Bai’ul Atba Wal Aushof Binahwi Maqsud) Jual beli barang yang
sama sekali tidak dapat dipisahkan dari satuannya. Misalnya membeli
tanduk kerbau pada kerbau yang masih hidup.
 Jual Beli Buah-Buahan Atau Pertanian Yang Belum Berbuah (Ba’i At
Tsamar Aw Az Zuru’ Qobla Wujudiha Aw Sholahiha) Ulama juga
bersepakat akan tidak bolehnya jual beli buah-buahan atau hasil
pertanian yang belum di potong dari pohonnya.

2. Ulama Malikiyah, membagi jual beli dari segi terlihat atau tidaknya barang dan
kepastian akad, antara lain :
 Jual beli dilihat dari segi terlihat atau tidaknya barang
Jual beli benda yang terlihat atau dapat dibuktikan adalah jual
beli yang pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang
diperjual belikan ada di depan penjual dan pembeli. Hal ini lazim
dilakukan masyarakat banyak dan boleh dilakukan, seperti membeli
beras di pasar.
Jual beli benda yang tidak dapat dibuktikan barangnya atau
tidak dapat dilihat adalah jual-beli yang dilarang oleh syara’, karena
barang yang menjadi objek belum jelas sehingga dikhawatirkan barang
tersebut diperoleh dari hasil mencuri atau merupakan barang titipan
yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak. Sama
halnya dengan menjual bawang merah dan wortel atau yang lainnya
yang masih berada di dalam tanah adalah batal sebab hal tersebut
merupakan perbuatan gharar.61
3. Jual beli dilihat dari segi kepastian akad, yaitu :
- Jual beli tanpa khiyar
- Jual beli khiyar

60
ibid
61
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Mu’amalat, penerjemah Nadirsyah Hawari, Cetakan Pertama, Amzah,
Jakarta, 2010, hlm. 99.

30
Khiyar adalah jual beli di mana para pihak memberikan kesempatan
untuk memilih. Khiyar secara syar’i adalah hak orang yang berakad dalam
membatalkan akad atau meneruskannya karena ada sebab-sebab secara
syar’i yang dapat membatalkannya sesuai dengan kesepakatan ketika
berakad. 62

62
ibid

31
KESIMPULAN

Dari hasil makalah dapat disimpulkan kalau, Jual beli merupakan akad yang
sangat umum digunakan oleh masyarakat, karena dalam setiap pemenuhan kebutuhan-
kebutuhannya, masyarakat tidak bisa berpaling untuk meninggalkan akad ini.2 Dari
akad jual beli ini masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti
kebutuhan pokok (primer), kebutuhan tambahan (sekunder) dan kebutuhan tersier.

Dan Akad merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang
berakibat timbulnya hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu
pihak, dan kabul adalah jawaban dari persetujuan yang diberikan mitra sebagai
tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama.

Kita dapat melihat ada beberapa rukun akad yaitu :

1. Aqid, adalah orang yang berakal


2. Ma`qud `alaih, ialah benda-benda yang diakadkan

Adapun Syarat – syarat Jual Beli

Syarat sah akad, yang terbagi menjadi dua, yaitu:

c. Syarat umum
Syarat umum adalah bahwasannya jual beli tersebut tidak
mengandung salah satu dari enam unsur yang merusaknya, yaitu:
Jahalah (ketidakjelasan), ikrar (paksaan), tauqit (pembatasan
waktu), gharar, dharar (aniaya), dan persyaratan yang merugikan
pihak lain.
d. Syarat khusus
Syarat khusus adalah syarat yang hanya ada pada
barangbarang tertentu, yakni: penyerahan dalam hal jual beli benda
bergerak, kejelasan mengenai harga pokok dalam hal ba’i
almurabahah, terpenuhi sejumlah kriteria tertentu dalam hal ba’i
ulsalam, dan tidak mengandung unsur riba dalam jual beli harta
ribawi.

32
DAFTAR PUSTAKA

Wardi Muslich, Ahmad. 2019. Fiqh Muamalat. Jakarta : Amzah

Hendi Suhendi, fikih muamalah,(Jakarta: Rajawali Pers, 2002 ).

Djuwaini Dimyauddin, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008).

Zuhaili Wahbah,Al-Fiquh Al-Islamiy wa Adillatuh, Juz 4, Dar Al Fikr, Damaskus,Cet.III.

Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), Cet. Ke-1.

Anwar Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007)

.Shomad Abd, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,

(Jakarta: Kencana, 2010), Cet Ke- 1.

Suhendi, Fikih Muamalah, hlm. 47. Lihat juga: Samsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah

Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007).

Ghazaly Abdul Rahman, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. Ke-1.

Muslich Ahmad Wardi, Fiqh Muamalat, ( Jakarta: Amzah, 2010), Cet Ke-1.

Yusuf Al-Qaradhawi, 7 kaidah Utama Fikih Muamalat, ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,

2014), Cet. Ke-1.

Hasan M. Ali , Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, ( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,

2004), Cet Ke-2.

Suhendi Hendi, Fikih Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011).

Az-Zuhaili, Al-Fiqh Islamy.

Muslich, Fikih Muamalah.

Anwar, Hukum Perjanjian Syariah.

Suhendi, Fikih Muamalat.

Majah Ibnu , Sunan Ibnu Majah, Juz 2, CD Room, Maktabah Kutub Al-Mutun, Silsilah Al-

`Ilmu An-Nafi`, Seri 4, Nomor hadis 2199, Al-Ishdar Al-Awwal, 1426 H.

Hibban Ibnu , Shahih Ibnu Hibban, Juz 11, CD Room, Maktabah Kutub Al-Mutun, Silsilah

33
Al-`Ilmu An-Nafi`, Seri 4, Nomor hadis 5039, Al-Ishdar Al-Awwal, 1426 H.

Sabiq Sayid,Fiqh As-Sunnah,Juz 3, Dar Al- Fikr,Beirut,cet.III,1981.

Azzam Abdul Aziz Muhammad, Fiqh Muamalah Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam

(Jakarta: Amzah, 2010).

Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000).

Pelangi Tim Laskar ,Metodologi Fiqih Muamalah ( Kediri: Lirboyo Press, 2013) .

Ghufron, Fiqh Muamalah Kontekstual (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002).

Madani, Fiqih Ekonomi Syariah: Fiqih Muamalah, Cet. Ke-2, Kencana, Jakarta, 2013.

Haroen Nasrun, Fiqih Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000,Cet ke- 3.

34
MAKALAH FIKIH

HIYAR DAN AKAD FIKIH DALAM FIKIH


MUAMALAH

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

HAMKA (90400121041)

NURUL ARIDA SYUHADA (90400121042)

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITASISLAM NEGERI MAKASSAR
BAB 1
PENDAHULUAN

` Saat ini transaksi dalam E-commerce hampir seluruhnya dikerjakan menggunakan


teknologi berbasis web. Istilah Ecommerce mengacu pada sebuah transaksi yang dilakukan
melalui sebuah media elektronika seperti internet, yang meliputi web, internet, dan
extranet. Cara transaksi juga menggunakan berbagai sarana yang ada dalam dunia maya.
Transaksi di dunia maya umumnya menggunakan media sosial, seperti Instagram, Twitter,
Facebook dan media sosial lainnya. Dalam transaksi di dunia maya, antara para pihak yang
bertransaksi tidak bertemu langsung, baik secara audio maupun audio visual.

Jual beli melalui media elektronik adalah transaksi jual beli yang dilakukan melalui
teknologi modern sebagaimana disebutkan keabsahannya tergantung pada terpenuhi atau
tidaknya rukun dan syarat yang berlaku dalam jual beli. Apabila rukun dan syarat terpenuhi
maka transaksi semacam ini sah. Sah sebagai sebuah transaksi yang mengikat, dan
sebaliknya, apabila tidak terpenuhi maka tidak sah.

Muamalah sebagai bidang yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain,
seperti kegiatan jual beli atau tukar menukar harta. Maka dari itu muncullah fiqh muamalah
sebagai hukum yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci untuk
mengatur hubungan keperdataan seseorang dengan orang lain dalam hal persoalan
ekonomi. idang muamalah merupakan bidang yang sangat luas ruang lingkupnya, sehingga
dalam memecahkan persoalan muamalah diperlukan ijtihad, dalam ijtihad tentunya harus
berdasarkan prinsip hukum Islam yang dijadikan pedoman dalam melakukan aktivitas
muamalah, salah satunya aktivitas jual beli.

Prinsip-prinsip hukum Islam yang harus dijadikan pedoman dalam melakukan


aktivitas muamalah yaitu pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah (boleh)
kecuali yang telah ditentukan lain oleh Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Dalam Al-Qur’an dan
Hadist kegiatan jual beli merupakan suatu pilihan pekerjaan yang diakui dan termasuk
pekerjaan yang mulia. Akan tetapi terdapat suatu hal yang sangat perlu diperhatikan pada
kegiatan jual beli yaitu dalam hal kejujuran, kejujuran itulah yang akan membuat kegiatan
jual beli menjadi mulia di mata Allah SWT.

Khiyar disyariatkan bertujuan untuk memelihara keadaan saling rela dan menjaga
maslahat kedua pihak yang berakad, atau mencegah bahaya kerugian yang bisa jadi
menimpa salah satu pihak yang berakad. Khiyar merupakan salah satu akad yang berkaitan
erat dengan akad jual beli. Maka dari itu hiyar sangat berhubungan erat dengan akad salam
karna suatu jual beli hanya dapat dilaksanakan jika ada persetujuan antara pembeli dan
penjual.
Pada akad jual beli, pembeli sebagai seseorang yang akan melakukan pembelian
pada suatu barang memiliki hak untuk melangsungkan atau membatalkan suatu akad jual
beli yang telah disepakati. Hak memilih ini di dalam islam dikenal dengan istilah khiyar.
Dengan diterapkannya hak khiyar ini memberikan manfaat yang baik di dalam akad jual
beli, khiyar akan membuat kegiatan jual beli berjalan sesuai dengan prinsip hukum Islam
yaitu suka sama suka dan juga memberikan kemaslahatan bagi para pihak yang melakukan
akad jual beli itu sendiri. Hak khiyar sendiri disyariatkan untuk menjamin kebebasan dan
keadilanbagi masing-masing pihak yang sedang melaksanakan transaksi. Sehingga hak
khiyar merupakan ruang atau jangka waktu yang ditawarkan oleh fiqh muamalah untuk
berfikir ulang, merenung dan saling mengkoreksi antar pihak terkait dengan obyek dan
transaksi yang telah mereka lakukan. 1 Khiyar sendiri memperbolehkan untuk meneruskan
atau menunggu penyelesaian dan membatalkan akad jual beli tersebut.

1
M Yazid, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, Cetakan
Pertama (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), 75.
BAB 2

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HIYAR DAN AKAD SALAM DALAM FKIH MUAMALAH

Khiyar adalah salah satu pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannnya,
karena ada cacat pada barang yang dijual, atau ada perjanjian pada waktu akad, atau karna
sebab lain.2

Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar kata: khara-yakhirukhairan-wa khiyaratan (
‫ ٘خيسا‬- ‫خياسة‬
-‫ خاز‬- ‫ ) يخيس‬yang sinonimnya: ‫ي خي ٘س ا أَعطا‬, yang artinya” memberikan kepadanya
sesuatu yang lebih baik baginya”. Menurut istilah kalangan ulama fikih yaitu mencari
yang baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya. Sayyid
Sabiq memberikan definisi khiyar sebagai berikut.

‫اىخياز ٘ طيب خيس اآلٍس ی ٍ ِ اإلٍضا ء ا اإلىغا‬

Artinya: khiyar adalah menuntut yang terbaik dari dua perkara, berupa meneruskan
(akad jual beli) atau membatalkannya. 3

Pengertian khiyar adalah hak untuk meneruskan atau membatalkan perjanjian jual
beli. Pada jual beli dalam Islam mengenal adanya hak khiyar yang dimiliki oleh pihak

2
Ahmad wardi muslich, Fiqih muamalat (Jakarta:AMZAH,2010), hlm 216.
3
Abdul Aziz Muhammad Azzam. Opt.cit. hlm:25
“konsep khiyar menurut islam”
http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/3785/3/10231152_Bab2.pdf
yang bertransaksi. Dalam khiyar memungkinkan sebuah kesepakatan jual beli dapat
dibatalkan atau diteruskan transaksinya dengan perjanjian tertentu. 4

Tujuan diadakannya khiyar adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah
pihak sehingga tidak ada rasa menyesal setelah akad selesai, karena mereka sama-sama
rela atau setuju.

Dari penjelasan di atas khiar dapat didefinisikan Pengertian khiyar adalah hak untuk
meneruskan atau membatalkan perjanjian jual beli. Pada jual beli dalam Islam mengenal
adanya hak khiyar yang dimiliki oleh pihak yang bertransaksi. Dalam khiyar
memungkinkan sebuah kesepakatan jual beli dapat dibatalkan atau diteruskan
transaksinya dengan perjanjian tertentu. Adanya khiyar sebagai bentuk jaminan
kebebasan berpikir bagi pembeli dan atau penjual yang memerlukan khiyar.

Jual beli salam adalah akad jual beli barang pesanan diantara pembeli jual beli salam
adalah akad jual beli barang pesanan diantara pembeli dengan penjual. Spesifikasi dan
harga barang pesanan harus sudah disepakati di awal akad, sedangkan pembayaran
dilakukan di muka secara penuh. 5

Pengertian secara bahasa, salam (‫ ) لم س‬adalah al - i’tha’ (‫ ) طاء إالع‬dan at - taslif ( ‫يف ل‬
‫ ) س ت ال‬bermakna pemberian. Dari segi terminologi, menurut fuqaha, jual beli salam
adalah jual beli yang

disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan pembayaran yang dilakukan di


waktu itu juga.6

Kata akad berasal dari bahasa arab ‫ د َق ع ال‬dalam bentuk jamak disebut ‫و دد ق‬
‫ ع ال‬yang berarti ikatan atau sampul tali. Menurut para ulama’ fiqh, kata akad salam
didefinisikan sebagai hubungan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat
yang menetapkan adanya pengaruh (akibat hukum) dalam objek perikatan. Dalam
rumusan akad tersebut, mengindikasikan bahwa perjanjian kedua belah pihak untuk
mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus. 7

Dari beberapa definisi yang dikemukakan dapat diambil bahwa salam adalah salah
satu bentuk jual beli dimana uang harga barang dibayarkan secara tunai, sedangkan

4
Ilham choirul Anwar “Apa itu khiyar dalam islam” https://tirto.id/apa-itu-khiyar-dalam-islam-
pengertianhukum-macam-hikmahnya-gh7m (diakses pada 9 April 2022, 15:00)

5
Mizan. “Akad salam dalam transaksi jual beli”. Jurnal Ilmu syariah. Vol, 4 No, 1 (2016)
barang yang dibeli belum ada, hanya sifat-sifat, jenis, dan ukurannya sudah disebutkan
pada waktu perjanjian dibuat.

6
Ari Kurnia Sri Rahayu “Penerapatn jual beli akad salam dalam layanan shopee” Vol. 3 No. 2 Juli
– Desember (2020)

7
Mard
Ekonomi Syariah”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 71.
B. DASAR HUKUM KHIYAR DAN AKAD SALAM

• Dasar hukum khiyar


Khiyar dalam akad jual beli hukumnya dibolehkan. Apabila dalam barang yang
dibeli terdapat cacat (aib), yang bisa merugikan kepada pihak pembeli. 6

Khiyar hukumnya boleh berdasarkan sunnah Rasulullah saw. Diantara sunnah


tersebut adalah hadis yang diriwaytkan oleh AlBukhari dari Abdullah bin Al-Harits:

‫سعت حن ي ب حز ا زضي اهلل ع ع ا‬


َ : ‫ع عبد اهلل ب اىحازث قاه‬
‫فا صدقا ب‬, ‫اىبيع ا باىخياز ٍا ى يتفسقا‬: ‫ىبي ص ي اهلل عيي س ي قا ه‬
‫بيع ِِ َ ا ا مربا متا َ ٍحقت بسمة‬
ٖ ‫يا ٘بزك ٖى ِِ َ ا في‬
‫بيع ِِ َ ا‬.
ٖ
Artinya: Dari Abdullah bin al-harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam r.a dari
Nabi saw beliau bersabda: “ penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama mereka
berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas, maka mereka berdua diberi
keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong dan
merahasiakan, maka dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua. ( HR. Al-Bukhari).9

Berdasarkan prinsip wajib menegakkan kejujuran dan kebenaran dalam


perdagangan, maka haram bagi penjual menyembunyikan cacat barang. Apabila dalam
barang yang akan dijual itu terdapat cacat yang diketahui oleh pemilik barang (penjual),
maka wajiblah dia menerangkan hal itu dan tidak boleh menyembunyikannya.
Menyembunyikan cacat barang dengan sengaja termasuk penipuan dan kecurangan.
Khiyar hukumnya boleh berdasarkan sunnah Rasulullah saw. Diantara sunnah tersebut
adalah hadis yang diriwaytkan oleh AlBukhari dari Abdullah bin Al-Harits (Sudarsono,
1992):

Dari Abdullah bin al-harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam r.a dari
Nabi saw beliau bersabda: “ penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama mereka
berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas, maka mereka berdua diberi
keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong dan
merahasiakan, maka dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua. ( HR. Al-Bukhari).

Disamping itu ada hadis lain yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Umar:

6
Ahmad wardi muslich, Fiqih muamalat
(Jakarta:AMZAH,2010), hlm 218. 9 Imam Bukhori, op.cit.
hlm. 26.
Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi SAW: Penjual dan pembeli boleh
melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah seorang mengatakan kepada
temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau bersabda: atau terjadi jual beli khiyar. (HR.
Al-Bukhari).

Dari hadis tersebut jelaslah bahwa khiyar dalam akad jual beli hukumnya dibolehkan.
Apalagi apabila dalam barang yang dibeli terdapat cacat (‘aib) yang bisa merugikan kepada
pihak pembeli. Hak khiyar kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan
sebaik-baiknya. Status khiyar,

menurut ulama fiqih adalah disyari‟atkan atau dibolehkan karena masing-masing pihak
yang melakukan transaksi supaya tidak ada pihak yang merasa tertipu.7

• Dasar hukum Akad salam

Dasar hukum salam merupakan akad yang dibolehkan meskipun objeknya


tidak ada di majelis akad, sebagai pengecualian dari persyaratan jual beli yang
berkaitan dengan objeknya.
Dasar hukum dibolehkannya salam ini

adalah: Q.s Al-Baqarah ayat 282:

َ َ‫ي ا َيهَِّا ال ذَّ ينَ ا َمن وا ا ذا َ تدَا‬


‫ي نت م بد َي ٍن ا ل ى ا َج َِ ٍل‬
‫س ًّمى فا َ كتب و ه‬ َ ‫ُّم‬
Artinnya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidal
secara tunai untuk waktu yang di tentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.”8

Khiyar hukumnya boleh berdasarkan sunnah Rasulullah saw. Diantara


sunnah tersebut adalah hadis yang diriwaytkan oleh AlBukhari dari Abdullah bin
Al-Harits:

7
Galuh tri pambekti “Tinjauan hukum islam terhadap pelaksanaan khiyar pada jual beli Online di
Indonesia” Vol. 12, No.24 (2017)
8
Ahmad wardi muslich, Fiqih muamalat (Jakarta:AMZAH,2010), hlm 243.
‫سعت حن ي ب حز ا زضي اهلل ع ع ا‬ َ : ‫ع عبد اهلل ب اىحازث قاه‬
‫فا صدقا ب‬, ‫اىبيع ا باىخياز ٍ ا ى يتفسقا‬: ‫ىبي ص ي اهلل عيي س ي قا ه‬
ٖ ‫مربا متا َ ٍ حقت بسمة‬. ‫بيع ِِ َ ا ا‬
‫بيع َِِا‬ ٖ ‫يا ٘بزك ٖى َِِا في‬
Artinya: Dari Abdullah bin al-harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin
Hizam r.a dari Nabi saw beliau bersabda: “ penjual dan pembeli boleh melakukan
khiyar selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan
jelas, maka mereka berdua diberi keberkahan didalam jual beli mereka, dan
apabila mereka berdua berbohong dan merahasiakan, maka dihapuslah
keberkahan jual beli mereka berdua. ( HR. Al-Bukhari).9

Kesepakatan ulama’ (ijma’) akan bolehnya jual beli salam dikutip dari
pernyataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa semua ahli ilmu telah sepakat
bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan keperluan
untuk memudahkan urusan manusia. Pemilik lahan pertanian, perkebunan
ataupun perniagaan terkadang membutuhkan modal untuk mengelola usaha
mereka hingga siap dipasarkan, maka jual beli salam diperbolehkan untuk
mengakomodir kebutuhan mereka. Ketentuan ijma’ ini secara jelas memberikan
legalisasi praktik pembiayaan/jual beli salam. 10

C. MACAM-MACAM KHIYAR

Hanafiah menyebutkan bahwa khiyar ada enam belas macam yaitu:

1. Khiyar syarat.
2. Khiyar ru’yah.
3. Khiyar ‘aib.
4. Khiyar sifat, yaitu suatu khiyar dimana pembeli diberi kesempatan untuk memilih
antara menerima semua harga yang disebutkan, atau membatalkan jual beli karena
hilangnya sifat yang disenangi dalam barang yang dijual, yang tidak ada di majelis
akad.
5. Khiyar naqd, ini bagian dari khiyar syara’, yaitu apabila penjual dan pembeli
mensyaratkan dalam jual beli, bahwa apabila pembeli tidak menyerahkan harga
pada waktu yang ditentukan, yaitu tiga hari, maka jual beli tidak jadi.

9
Imam Bukhori, op.cit. hlm. 26.
10
Saprina. “Akad salam dalam transaksi jual beli”, jurnal ilmu syariah. Vol. 4, No.1 (2016)
6. Khiyar ta’yin, yaitu dimana pihak yang melakukan akad kesepakatan untuk
mengakhirkan penentuan barang yang dijual pada batas waktu tertentu, dan hak
untuk menentukannya berada pada salah seorang di antara keduannya.
7. Khiyar ghabn ma’a at-taghrir, yaitu khiyar dimana penjual mengecoh pembeli atau
sebaliknya dengan ucapan, misalnya harga yang murah, atau dengan perbuatan,
yaitu tipuan dalam sifat,dan ini tipuan yang buruk (fahisy).
8. Khiyar kammiyah, yaitu suatu bentuk khiyar dimana seorang membeli sesuatu di
dalam wadah dan penjual tidak tahu apa dan berapa isi dari wadah tersebut. Dalam
hal ini penjual setelah membuka wadah tersebut berhak memilih antara
melanjutkan jaul beli atau membatalkanya.
9. Khiyar istihqaq, yaitu suatu khiyar yang ditetapkan kepada pembeli, karena ia
mendapat hak penuh atas barang yang dijual baik seluruhnya maupun sebagiannya.
10. Khiyar taqhrir fi’il, ini termasuk khiyar gabhn, yaitu khiyar karena adanya
penipuan dalam sifat objek akad.
11. Khiyar kasyful hal, yaitu suatu khiyar dimana seorang membeli setumpuk barang
yang tidak diketahui berat timbangannya atau takarannya.
12. Khiyar khiyanah murabahah, yaitu suatu bentuk khiyar dalam jual beli murabahah
dengan tambahan harga oleh penjual, tapi sebenarnya ia berdusta.
13. Khiyar khiyanah tauliyah, yaitu suatu bentuk khiyar dalam jual beli tauliyah
dengan tambahan harga oleh penjual, tetapi sebenarnya ia berdusta.
14. Khiyar tafriq ash-shafaqah karena rusaknya objek jual beli.
15. Persetujuan akad futhuli, yaitu khiyar bagi si pemilik barang apabila barangnya
dijual oleh orang lain, dan jual belinnya mauquf menurut hanafiah dan malikiyah.
Pemilik boleh memilih antara meneruskan jual beli, sehingga akadnya menjadi
nafidz, atau membatalkan jual beli sehingga barang dikembalikan kepadannya.
16. Khiyar berkaitan dengan hak orang lain dalam objek jual beli, yaitu khiyar bagi
orang yang memiliki hak dalam barang yang dijual, bai kia murtahin (pemegang
gadai) atau musta’jir( penyewa).11

Menurut Malikiyah, khiyar itu ada dua macam, yaitu sebagai berikut.

1. Khiyar tarawwi atau taammul, yaitu suatu bentuk akad dimana berlaku bentuk
lafal khiyar secara mutlak.

2. Khiyar naqishah, yaitu suatu bentuk khiyar yang penyebabnya adalah karena
adanya kekurangan didalam barang yang dijual, seperti cacat (aib). 12

Menurut Hanabilah, khiyar ada delapan macam:

1. Khiyar majelis.

11
Wahbah zuhaili, op.cit., hlm. 519-535.
12
Ibid, hlm 520.
2. Khiyar syarat.
3. Khiyar ghabn.
4. Khiyar tadlis, yaitu suatu khiyar karena adanya tipuan, dan akadnya shahih.
Tadlisnya sendiri hukumnya haram.
5. Khiyar aib, yaitu khiyar karena adanya kekurangan dalam kualitas barang
walaupun tidak menurunkan harga, atau sebaliknya.
6. Khiyar Khinayah, yaitu khiyar yang berlaku dalam jual beli amanat, baik dengan
tauliyah, syirkah, murabahah, atau wadhiah, apabila penjual memberitahukan
kepada pembeli bahwa hargannya ditambah ( dinaikkan) tetapi ternyata ia
berdusta.
7. Khiyar karena adanya perbedaan antara penjual dan pembelidalam harga, dan
antara orang yang menyewakan (mu’jir) dan penyewa (musta’jir) dalam upah
(uang sewa).
8. Khiyar tafarruqush shafqah. 13

Dari macam-macam khiyar yang telah dikemukakan diatas, yang paling penting
untuk dibahas lebih lanjut hanya empat macam saja, yaitu:

1. Khiyar majelis

Majlis secara bahasa adalah bentuk masdar mimi dari julus yang berarti tempat
duduk, dan maksud dari majlis akad menurut kalangan ahli fiqih adalah tempat kedua orang
yang berakad berada dari sejak mulai berakad sampai sempurna, berlaku dan wajibnya
akad. Dengan begitu majlis akad merupakan tempat berkumpul dan terjadinya akad apapun
keadaan pihak yang berakad. Adapun menurut istilah khiyar majelis adalah khiyar yang
ditetapkan oleh syara‟ bagi setiap pihak yang melakukan transaksi, selama para pihak
masih berada di tempat transaksi. Khiyar majelis berlaku dalam berbagai macam jual beli,
seperti jual beli makanan dengan makanan, akad pemesanan barang (salam), syirkah. 14

Dasar hukum khiyar majlis adalah hadist Al-Bukhari dari Ibnu Umar yaitu:

‫قاه ا ىبي ص ي اهلل عيي س ي‬: ‫ ع ا ب َعس زضي اهلل عِ ٖ َِِا قاه‬,
‫اىبيعا باىخياز ٍا ى يتفسقا‬:
٘ : ‫ زبَا قاه‬. ‫اختس‬: ‫ ا ٘يقه اح دا َ ىصاحب‬.
‫اين بيع خياز‬
Artinya: Dari ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi saw: Penjual dan pembeli
boleh melakukan khiyar selama keduanya belum berpisah, atau salah seorang mengatakan

13
Ibid, hlm. 522-530
14
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu As-Syafi‟i Al-Muyassar, Terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, “ Fiqih
Imam Syafi‟i”, Jakarta: Almahira, Cet. Ke-1, 2010, hlm. 676. 18 Imam Bukhori, loc.cit. hlm. 25.
kepada temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau bersabda: atau terjadi jual beli
khiyar. (HR. Al-Bukhari).18

Ketika jual beli telah berlangsung, masing-masing pihak berhak melakukan khiyar
antara membatalkan atau meneruskan akad hingga mereka berpisah atau menentukan
pilihan. Perpisahan terjadi apabila kedua belah pihak telah memalingkan badan untuk
meninggalkan tempat transaksi.

2. Khiyar syarat

Menurut Sayyid Sabiq khiyar syarat adalah suatu khiyar dimana seseorang
membeli sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan dia boleh melakukan khiyar pada masa
atau waktu tertentu, walaupun waktu tersebut lama, apabila ia menghendaki maka ia bisa
melangsungkan jual beli dan apabila ia mengendaki ia bisa membatalkannya.

Dasar hukum khiyar syarat adalah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari

‫زسه اهلل ص ي اهلل عيي‬


٘ ‫ ع ا ب َعس زضي اهلل عِ ٖ َِِا ع‬Ibnu Umar:
‫اذا تبايع اىسجال فن و احد ٍ ِ ِِٖ َِِا باىخياز ٍ ا ى يتفسقا مااّ َجيعا‬: ‫س ي قاه‬
‫فا خيس اح دا َ االخس فتبا‬, ‫ايخيس اح داَ االخس‬
‫ ا تفسقا بعد ا تبا يعا ى يتسك اح ٍد ِ ِِٖ َِِا‬, ‫يعا ع ي ذىل فقد جب اىبيع‬
‫اىبيع فقد جب اىبيع‬
Artinya: Dari Ibnu Umar r.a dari Rasulullah saw beliau bersabda: “ Apabila dua orang
melakukan jual beli, maka masing-masing pihak berhak melakukan khiyar, baik kedua-
duanya maupun salah satunya. Apabila salah satu dari keduanya melakukan khiyar
terhadap yang lainnya, kemudian mereka berdua melakukan jual beli atas dasar
kesepakatan mereka, maka jual beli telah wajib dilaksanakan. Apabila mereka berpisah
setelah melakukan jual beli dan salah satu pihak tidak meninggalkan jual beli, maka jual
beli wajib dilaksanakan”. (HR. Muttafaq „alaih, dan redaksi dari Muslim).15

Khiyar syarat disyari‟atkan untuk menjaga kedua belah pihak yang berakad, atau
salah satunya dari konsekuensi satu akad yang kemungkinan di dalamnya terdapat unsur
penipuan dan dusta. Oleh karena itu, Allah SWT memberi orang yang berakad dalam masa
khiyar syarat dan waktu yang telah ditentukan satu kesempatan untuk menunggu karena
memang diperlukan. Kalangan ulama fiqih sepakat bahwa khiyar syarat sah jika waktunya

15
Imam Bukhori. loc.cit. hlm. 25.
diketahui dan tidak lebih dari tiga hari dan barang yang dijual tidak termasuk barang yang
cepat rusak dalam tempo ini.16

3. Khiyar Aib

Khiyar aib termasuk dalam jenis khiyar naqishah (berkurangnya nilai penawaran
barang). Khiyar aib berhubungan dengan ketiadaan kriteria yang diduga sebelumnya.
Khiyar aib merupakan hak pembatalan jual beli dan pengembalian barang akibat adanya
cacat dalam suatu barang yang belum diketahui, baik aib itu ada pada waktu transaksi atau
baru terlihat setelah transaksi selesai disepakati sebelum serah terima barang. Yang
mengakibatkan terjadinya khiyar disini adalah aib yang mengakibatkan berkurangnya
harga dan nilai bagi para pedagang dan orang-orang yang ahli dibidangnya.17

Menurut ijma‟ Ulama, pengembalian barang karena cacat boleh dilakukan pada waktu
akad berlangsung, sebagaimana yang diterangkan dalam suatu hadis, yaitu hadis „Uqbah
bin Amir r.a, dia berkata, “ Aku mendengar Rasulullah bersabda:

‫تع يزي ٘سبه إ ا َل‬


َ ‫اس ع يف‬ َ ‫ ًع‬:‫اسع ٍ ا ْى ج ْْ ْْ ْ َأ ْ ي خقاه َب ي‬
َ ‫ىع َْْ عقبة س ي ْب ٍْْ ع ا َب‬
ٍ
َ ٖ
ْْ ‫ْ ي‬ َ ْ ٘ َ ْ ْ‫ي‬ َ ٘ ‫َ َ َ ص‬
‫س ْ ٗ ْا َل َی ح و‬ ‫ا ْى س ْ ْ أ خ ا ى‬: ‫س یقه‬ ٗ ‫ي‬ ‫اهللبْ ْْ ْ ي ْ ْاهل َٔىل ْع ي ي‬

Artinya:“Dari Uqbah Ibnu Amir Al-Juhani ia berkata: saya mendengar Rasulullah saw
bersabda: Seorang muslim adalah saudaranya muslim lainnya, tidak halal bagi seorang
muslim apabila menjual barang jualannya kepada muslim lain yang didalamnya ada cacat,
melainkan ia harus menjelaskan (aib atau cacatnya) itu kepadanya”. ( HR. Al-Hakim dari
„Uqbah Ibnu Amir).18

Jika akad telah dilakukan dan pembeli telah mengetahui adanya cacat pada barang
tersebut, maka akadnya sah dan tidak ada lagi khiyar setelahnya.

4. Khiyar ru’yah

Khiyar ru‟yah adalah hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap
melangsungkannya ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum melihatnya ketika
berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihatnya dalam batas waktu yang
memungkinkan telah jadi batas perubahan atasnya.

16
Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit. hlm. 111.

17
Dimyauddin Djuwaini. op.cit. hlm. 98.
18
Ahmad Wardi Muslih.
op.cit. hlm. 233. 23 Ibid. hlm.
158.
Konsep khiyar ini disampaikan oleh fuqoha Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan
Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak ada ditempat) atau benda yang
belum pernah diperiksa. Sedangkan menurut Imam Syafi‟i khiyar ru‟yah ini tidak sah
dalam proses jual beli karena menurutnya jual beli terhadap barang yang ghaib (tidak ada
ditempat) sejak semula dianggap tidak sah.

Syarat Khiyar Ru‟yah bagi yang membolehkannya antara lain:

a. Barang yang akan ditransaksikan berupa barang yang secara fisik ada dan dapat dilihat
berupa harta tetap atau harta bergerak.

b. Barang dagangan yang ditransaksikan dapat dibatalkan dengan mengembalikan saat


transaksi.

c. Tidak melihat barang dagangan ketika terjadi transaksi atau sebelumnya, sedangkan
barang dagangan tersebut tidak berubah.23

D. RUKUN DAN SYARAT-SYARAT AKAD SALAM

1. Rukun salam

Rukun salam menurut hanafiah adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur
ulama, seperti halnya jual beli, rukun salam itu meliputi:

• Aqid, yaitu pembeli atau al-muslimnatau rabbusalam, dan penjual atau al-muslam
ilaih.
• Ma’qud ‘alaih, yaitu muslam fih (barang yang dipesan), dan harga atau modal
salam (ras almal as-salam).
• Shighat yaitu ijab qabul.19

2. Syarat-syarat salam

Di atas telah dikemukakan bahwa syarat-syarat salam sama dengan syarat-syarat jual
beli, karena salam merupakan bagian dari jual beli. Namun demikian, ada bebrapa syarat
tambahan yang khusus untuk salam.

Syarat-syarat salam ini ada yang berkaitan dengan ra’s al-mal (modal atau harga), dan
ada yang berkaitan dengan muslam fih (objek akad atau barang yang dipesan). Secara
umum ulama-ulama mazhab sepakat bahwa ada enam syarat yang harus dipenuhi agar
salam menjadi sah yaitu: a. Jenis muslam fih harus diketahui,

b. Sifatnya diketahui,

c. Ukuran dan kadarnya diketahui,

d. Massanya tertentu (diketahui),

e. mengetahui kadar (ukuran) ras al-mal (modal/harga), dan

f. menyebutkan tempat pemesanan/penyerahan.25

Demikian pula para ulama sepakat bahwa salam dibolehkan dalam barang-barang yang
ditakar (makilat), ditimbang (mauzunat), di ukur dengan meteran ( madzru’at), dan
hitungan (ma’dudat).

Adapun syarat-syarat salam yang berkaitan dengan ras al-mal (modal/harga/alat


pembayaran) dan muslam fih (barang yang dipesan) tidak ada kesepakatan dikalangan para
fuqaha.

a. Syarat Ra’s Al-Mal (Alat bantu)

Hanafiah mengemukakan enam syarat yang berkaitan dengan alat pembayaran, yaitu
sebagai berikut.

1. Jenisnya harus jelas, misalnya uang dinar atau dirham.


2. Macamnya haerus jelas, apabila disuatu negara terdapat bebrapa jenis mata uang,
misalnya dollar Amerika dan dollar Australia.
3. Sifatnya jelas, misalnya bagus, sedang, atau jelek.
4. Mengetahui kadar dari ras al-mal, apabila alat pembayarannya berupa makilat,
mauzunat, dan ma’dudat. Disini harus jelas berapa liter, berapa kilo, dan
sebagainnya. Akan tetapi, menurut

19
Ahmad wardi muslich, Fiqih muamalat
(Jakarta:AMZAH,2010), hlm 245. 25 Wahbah Zuhaili, op.cit.,
juz 4, hlm 599-600.
Muhammad, Abu yusuf, syafi’iyah dan Hanabilah serta Malikiyah syarat ini tidak
perlu, cukup dengan melihatnya saja.
5. Alat pembayaran (dirham dan dinar) harus dilihat (diteliti), agar diketahui dengan
jelas baik tidaknya. Ini menurut Imam abu Hanifah,. Akan tetapi, Menurut Abu
yusuf dan Muhammad syarat ini tidak perlu.
6. Alat pembayaran (ras al-mal) harus diserahterimakan secara tunai dimajelis akad
sebelum ada pihak meninggalkan majelis. Syarat ini di sepakati oleh Hanafiah,
syafi’iyah, dan Hanabilah. Akan tetapi, menurut imam malik, penyerahan uang
(alat) pembayaran boleh ditunda paling lambat tiga hari.20

b. Syarat Muslam fih (ma’qud Alaih)

1. Jenis barang yang dipesan harus jelas. 2. Macamnya juga harus jelas,
3. Sifatnya juga harus jelas.
4. Kadarnaya (ukurannya) juga harus jelas, baik takaran, timbangan, hitungan, atau
meterannya. Tujuan dari syarat-syarat ini adalah untuk menghilangkan
ketidakjelasan yang menjadi sumber perselisihan antara para phak.
5. Di dalam objek akad tidak terdapat salah satu sifat illat riba fadhal, baik dalam
takaran, timbangan, maupun jenis. Ataupun menurut ungkapan Malikiyah
tentang syarat ini, yaitu bahwa ras al-mal (alat pembayaran) dan muslah fih
(barang pesana) harus berbeda jenisnya dimana antara keduannya bisa berlaku
nasiah (utang).
6. Muslam fih (barang pesanan) harus berupa barang yang dinyatakan. Apabila
barang pesanan tidak bisa dinyatakan, seperti dirham dan dinar maka salam tidak
diperbolehkan.
7. Muslam fih hendaknya diserahkan dalam tempo yang akan datang, bukan
sekarang (waktu dilakukannya akad).
8. Jenis muslam fih (barang pesanan) harus ada dipasar baik macamnya maupun
sifatnya, sejak dilaksanakannya akad sampai datangnya masa penyerahan, dan di
duga tidak perna putus dari tangan manusia. Apabila pada waktu akad, atau Ketika
jatuh tempo, muslah fih tidak ada, atau terputus dari tangan manusia antara kedua
waktu tersebut maka salam tidak diperbolehkan.
9. Akad harus sekaligus jadi, tanpa ada khiyar syarat, baik bagi kedua belah pihak
maupun bagi salah satunnya. Apabila akad salam disertai dengan khiyar, maka
akad salam menjadi batal atau tidal sah.
10. Menjelaskan tempat penyerahan barang, apabila barang yang akan diserahkan
memerlukan berang dan biaya. Ini menurut imam Abu Hanifah. Sedangkan
menurut Muhammad dan Abu yusuf, syarat ini tidak diperlukan.
11. Muslam fih harus berupa barang yang bisa ditetapkan sifat-sifatnya, yang
hargannya bisa berbeda-beda tergantung dengan perbedaan barangnya. Ini
berlaku dakam mal mitsli, seperti makilat (yang ditakar), mauzunat(ditimbang),
dzar’iyat (meteran), atau hitungan yang berdekatan. Adapun dalam barang-barang

20
Ibid., hlm. 600-603.
yang tidak bisa ditetapkan sifatnya maka salam tidak dibolehkan. Ini menurut
Hanafiah. Menurut Malikiya, salam di bolehkan baik dalam barang yang bisa
ditetapkan sifatnya, maupun yang tidak bisa, apabila rabbus salam (pemesanan)
telah menetapkan syarat barangnya, baik jenis, sifat, maupun kadarnya. 21

Sehubung dengan syarat penetapan sifat ini, para ulama berbeda pendapat tentang
di boelhkannya salam dalam beberapa jenis barang:
1. Salam pada hewan
Menurut hanafiah, salam pada hewan tidak diboelhkan, karna dalam hadis
Riwayat Ibnu
Abbas bahwa “Nabi Muhammad saw malarang salaf (salam) pada hewan” (HR.
Al-Hakim dan Daruquthni). DIsamping itu karena hewan berbeda antara yang
satu dengan yang lainnya, sehingga sulit menentukan sifatnnya. 22
Menurut Malikiyah, syafi’iyah, dan pendapat yang masyhur dari Hanabilah,
salam pada hewan dibolehkan dengan men-qiyas-kannya kepada qardh(utang).
Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Said
bin Al-Musayyab, Hasan, Sya’bi, Mujahid, Az-zuhri, Auza’I, Ishak, dan Abu
Tsaur. Alasannya adalah hadis Riwayat
Muslim, dari Abu rafi’ bahwa, “Nabi Muhammad Saw melakukan salaf (salam)
dari seseorang seekor unta muda”.23
2. Salam pada daging beserta tulang.
Menurut Imam Abu Hnifah, salam (pesanan) pada daging beserta tulang
hukumnya tidak di perbolehkan, karena adannya ketidakjelasan yang dapat
menimbulkan perselisihan dilihat dari dua aspek,
a) Aspek gemuk atau kurus,
b) aspek sedikit atau banyaknya tulang.
Akan tetapi, Menurut Muhammad dan Abu Yusuf, Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah, salam pada daging sapi, kerbau, atau kambing, dan maccamnya, umur,
serta ukuran (beratnya). Mereka beralasan dengan jenis hadis yang di riwayatkan
oleh Ibnu Abbas yang telah disebutkan diatas.24
3. Salam pada pakaian
Pakaian merupakan benda yang dapat di hitung yang berbeda antara pakaian
yang satu dengan pakaian yang lainnya. Oleh karena itu, menurut Hanafiah yang
menggunakan qiyas, salam tidak berlaku untuk pakaian. Namun apabila
menggunakan istihsan, salam diperbolehkan karena adanya persamaan dengan
mal mitsli dalam jenis, macam, sifat, dan bahan serta ukurannya. Di samping itu

21
Kamaluddin bin Humman, op.it., hlm 97-98.
22
Syamsuddin bin Muhammad bin Qudamah, Asy-Syarh Al-Kabir, jilid 2, Dar Al-Fikr, t.t., hlm. 475.
23
Ibid., hlm. 457-458.
24
Wahbah Zuhaili, op.cit., hlm. 616.
transaksi tersebut sangat dibutuhkan oleh manusia. Adapun Malikiyah,
syafi,iyah, dan Hanabilah membolehkan salam pada pakaian. Bahkan menurut
ibnu Mundzir, ulama telah ijma’ (sepakat) menegenai hal itu.25
4. Salam pada roti
Menurut Hanafiah dan syafi’iyah, salam (pesanan) pada roti dengan cara
hitungan hukumnya tidak sah, karena adanya perbedaan yang mengcolok antara
satu roti dan roti lainnya dalam besar dan kecilnya. Abu Yusuf membolehkannya
apabila macam, timbangan, dan masa atau temponya ditentukan. Akan tetapi,
menurut Malikiyah dan Hanabilah, salam ( pesanan) pada roti hukumnya sah,
apabila memungkinkan untuk ditentukan sifatnya. 26

KESIMPULAN

Fiqih muamalah adalah serangkaian hukum-hukum syara’ yang mengatur


hubungan antara manusia dengan manusia di bidang ekonomi. Prinsip yang
berlaku dalam muamalat adalah semuanya boleh, kecuali yang dilarang. Dengan
demikian, semua jenis transaksi yang dilakukan oleh manusia di dunia, sejak
zaman sebelum islam sampai modern sekarang ini hukumnya di bolehkan,
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam
syara’.
Khiyar dapat didefinisikan Pengertian khiyar adalah hak untuk meneruskan atau
membatalkan perjanjian jual beli. Pada jual beli dalam Islam mengenal adanya hak
khiyar yang dimiliki oleh pihak yang bertransaksi. Dalam khiyar memungkinkan sebuah
kesepakatan jual beli dapat dibatalkan atau diteruskan transaksinya dengan perjanjian
tertentu. Adanya khiyar sebagai bentuk jaminan kebebasan berpikir bagi pembeli dan
atau penjual yang memerlukan khiyar. Akad salam didefinisikan sebagai hubungan
antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh
(akibat hukum) dalam objek perikatan. Dalam rumusan akad tersebut, mengindikasikan
bahwa perjanjian kedua belah pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang
akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus. khiyar dalam akad jual beli hukumnya
dibolehkan. Apalagi apabila dalam barang yang dibeli terdapat cacat (‘aib) yang bisa
merugikan kepada pihak pembeli. Hak khiyar kemaslahatan yang dituju dalam suatu
transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Dasar hukum salam merupakan akad yang

25
Ibid., hlm. 617.
26
Ibid., hlm. 618.
dibolehkan meskipun objeknya tidak ada di majelis akad, sebagai pengecualian dari
persyaratan jual beli yang berkaitan dengan objeknya.

Dari macam-macam khiyar yang di kemukakan berdasarkan menurut hanafiah,


Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, yang paling penting untuk dibahas lebih lanjut hanya
ada 4 macam yaitu: khiyar majelis, khiyar syarat, Khiyar Aib, dan Khiyar Ru’yah.

Rukun salam menurut hanafiah adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur
ulama, seperti halnya jual beli, rukun salam itu meliputi: a. Aqid, yaitu pembeli atau al-
muslimnatau rabbusalam, dan penjual atau al-muslam ilaih, b. Ma’qud ‘alaih, yaitu muslam
fih (barang yang dipesan), dan harga atau modal salam (ras al-mal as-salam), c.Shighat
yaitu ijab qabul.

Syarat-syarat salam ini ada yang berkaitan dengan ra’s al-mal (modal atau harga),
dan ada yang berkaitan dengan muslam fih (objek akad atau barang yang dipesan).

DAFTAR PUSTAKA

M Yazid, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, Cetakan
Pertama (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), 75.
Ahmad wardi muslich, Fiqih muamalat (Jakarta:AMZAH,2010),
hlm 216. Abdul Aziz Muhammad Azzam. Opt.cit. hlm:25
“konsep khiyar menurut islam”
http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/3785/3/10231152_Bab2.pdf

Ilham choirul Anwar “Apa itu khiyar dalam islam” https://tirto.id/apa-itu-khiyar-dalam-

islampengertian-hukum-macam-hikmahnya-gh7m (diakses pada 9 April 2022, 15:00)

Mizan. “Akad salam dalam transaksi jual beli ”. Jurnal Ilmu syariah. Vol, 4 No, 1 (2016)
Ari Kurnia Sri Rahayu “Penerapatn jual beli akad salam dalam layanan shopee ” Vol. 3 No. 2 Juli –
Desember (2020)

Mard Ekonomi Syariah”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 71.

Tinjauan hukum islam terhadap pelaksanaan khiyar pada jual beli Online di Indonesia ” Vol. 12,
No.24 (2017) Ahmad wardi muslich, Fiqih muamalat (Jakarta:AMZAH,2010), .
Imam Bukhori, op.cit..

Saprina. “Akad salam dalam transaksi jual beli”, jurnal ilmu syariah. Vol. 4, No.1 (2016)

Wahbah Zuhaili, Al-iqhu As-Syafi‟i Al-Muyassar, Terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, “ Fiqih Imam
Syafi‟i”, Jakarta: Almahira, Cet. Ke-1, 2010, hlm. 676.
Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit. hlm. 111.
Dimyauddin Djuwaini. op.cit.
Ahmad Wardi Muslih. op.cit. hlm. 233.
Kamaluddin bin Humman, op.it., hlm 97-98.
Syamsuddin bin Muhammad bin Qudamah, Asy-Syarh Al-Kabir, jilid 2, Dar Al-Fikr, t.t., hlm. 475.
MAKALAH
AKAD ISTISNA DAN RIBA DALAM FIKIH MUAMALAH

DISUSUN OLEH:

GHALIAH JALWAA INSYRAH ZAINAL [90400121043]

MOHAMMAD HAFIS ZAENAL [90400121044]

{KELOMPOK 5}

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul AKAD ISTISNA DAN RIBA DALAM
FIKIH MUAMALAH ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada mata kuliah
Fikih Muamalah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang akad
istisna dan riba bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Asman Arsyad, S.AG., M.Ag., selaku dosen
mata kuliah Fikih Muamalah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Gowa, 13 April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Cover

Kata Pengantar .............................................................................................................. i

Daftar Isi ......................................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................ 3

A. Definisi Akad Istishna’ Dalam Fikih Muamalah ............................................. 3


B. Landasan Hukum Akad Istishna’ .................................................................... 4
C. Rukun dan Syarat-Syarat Istishna’ .................................................................. 5
D. Sifat Akad Istishna’ ........................................................................................ 6
E. Definisi Riba Dalam Fikih Muamalah ............................................................. 7
F. Dasar Hukum Larangan Riba .......................................................................... 8
G. Hikmah Dilarangnya Riba ............................................................................... 9
H. Pembagian atau Macam-Macam Riba ............................................................. 10

BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 12

A. Kesimpulan ..................................................................................................... 12

Daftar Pustaka ............................................................................................................... 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia


secara lengkap dan menyeluruh, tidak hanya terbatas pada urusan hamba dengan
tuhannya melainkan antara manusia dengan manusia. Dalam Islam suatu kegiatan atau
urusan antara manusia dengan manusia disebut Muamalah.
Jual beli adalah perjanjian tukar menukar benda atau
barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua
belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain
menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara‟ dan
disepakati.
Akad istishna’ merupakan produk lembaga keuangan syariah, sehingga jual beli
ini dapat dilakukan di lembaga keuangan syariah. Semua lembaga keuangan syariah
memberlakukan produk ini sebagai jasa untuk nasabah, selain memberikan keuntungan
kepada produsen juga memberikan keuntungan pada konsumen atau pemesan yang
memesan barang.
Dalam islam riba merupakan praktek pinjam meminjam atau hutang piutang yang
disertai dengan adanyatambahan bunga pada pinjaman atau hutang pokok berdasarkan
perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Hal ini sudah ada dan sejak lama telah
dilakukan oleh bangsa Arab pada zaman Jahiliyah. Agama islam secara tegas melarang
perekonomian yang dapat merugikan orang lain, riba pun dilarang agama Islam karena
terdapat di dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa riba itu haram dikarenakan di
dalam riba terdapat unsur pemerasan yang sangat kejsm jugs dapat menyengsarakan
orang lain.
Seperti telah diuraikan di atas bahwa Islam sudah
mengatur semua itu sehingga dapat meminimalisir terjadinya
perselisihan jika kemudian hari terdapat permasalahan, dan Islam telah mengatur syarat
dan rukun jual beli ini, meskipun ada
beberapa hal yang memang masih diperdebatkan atau masih
berbeda pendapat.

1
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu istishna’ dan riba?


2. Apa saja rukun serta syarat istishna’?
3. Jelaskan sifat tentang istishna’ !
4. Sebutkan hikmah dilarangnya riba!
5. Sebutkan macam-macam riba!

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Mengenal tentang istishna’ dan riba.


2. Mengetahui syarat-syarat, rukun, dan sifat istishna’.
3. Dapat mengetahui tentang hikmah dilarangnya riba.
4. Serta tau macam-macam riba itu sendiri.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI AKAD ISTISHNA’ DALAM FIKIH MUAMALAH

Sistem istishna’ adalah system pembiayaan atas dasar pesanan, untuk kasus ini
dimana objek atau barang yang diperjual belikan belum ada.1
Menurut ulama fiqh istishna’ sama dengan salam dari segi objek pesanannya yaitu
sama-sama dipesan terlebih dahulu dengan ciri-ciri dan kriteria khusus, sedangkan
perbedaannya adalah jika salam pembayarannya dilakukan diawal sekaligus sedangkan
Istishna’ bisa dibayar di awal, angsuran dan bisa juga di akhir. 2
Dalam buku Fiqh Muamalah disebutkan, jual beli istishna’adalah jual beli antara
pemesan (mustashni’) dengan penerima pesanan (shani’) atas sebuah barang dengan
spesifikasi tertentu (mashnu’), contohnya untuk barang-barang industri maupun properti.
Spesifikasi dan harga barang haruslah sudah disepakati di awal akad, sedangkan
pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan. Apakah pembayaran dilakukan di
muka,melalui cicilan atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan
datang.3
Sehingga dapat dipahami bahwa istishna’ merupakan alat jual beli atas dasar
pemesanan suatu barang dengan spesifikasi tertentu dan harga barang yang telah
disetujuai di awal akad, serta pembayarannya dapat di bayar di awal maupun di akhir atau
sesuai dengan kesepakatan.

1
Nurul Huda, Lembaga Keuangan Islam,Cet-1 (Jakarta: kencana prenada media group,
2010), hlm. 52.
2
Ibid
3
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Cet-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), hlm. 136.

3
B. LANDASAN HUKUM AKAD ISTISHNA’

Landasan hukum pada istishna didasarkan pada qiyas terhadap akad salam, yaitu
jual beli yang tidak ada barannya ketika sesi akad sedang berlangsung. Ulama Hanafiah
melandaskan diperbolehkannya istishna’ atas “istihsan” dari mu’amalah manusia dengan
lainnya dan kebiasaan mereka di setiap kurun yang melakukan pemesaan tanpa ada
pengingkaran.
Adapun Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah memperbolehkan atas dasar
qiyas terhadap salam dan urf dari masyarakat. Dipersyaratkan sebagaimana akad salam.
Pendapat para ulama tersebut tentunya tidak terlepas dari sumber utama yaitu Al-Qur’an
dan As-sunnah. Ayat yang menjadi landasan hukum istishna adalah :
1. QS. Al-Baqarah:275

“dan Allah telah menghalalkan Jual Beli dan Mengharamkan Riba”


2. Hadist Nabi SAW, Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu
hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang
raja non arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab
tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia
dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang
ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (Riwayat Muslim)

Merujuk pada hadist ini maka dapat disimpulkan bahwa akad istishna diperbolehkan.

Kemudian Sebagian ulama’ menyatakan melalui ijmanya bahwa akad istishna’


adalah akad yang dibenarkan dan juga telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada
seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada
alasan untuk melarangnya.
Di Indonesia, Dewan Syariah Nasional MUI sebagai lembaga yang berwenang
mengakomodir legalisasi sebuah produk telah melegalkan akad istishna dengan
dikeluarkannya fatwa DSN MUI 06/DSN-MUI/VI/2000 tentang Istishna. Dalam fatwa

4
ini mencakup beberapa hal yaitu ketentuan tentang pembayaran dan ketentuan tentang
barangnya. 4

C. RUKUN DAN SYARAT-SYARAT ISTISHNA’

Rukun istishna’ menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul. Akan tetapi, menurut jumhur
ulama, rukun istishna’ ada tiga, yaitu sebagai berikut.
1. ‘Aqid, yaitu shani’ (orang yang membuat/produsen) atau penjual, dan mustashni’
(orang yang memesan/konsumen), atau pembeli.
2. Ma’qud ‘alaih, yaitu ‘amal (pekerjaan), barang yang di pesan, dan harga atau alat
pembayaran.
3. Shighat atau ijab dan qabul.

Adapun syarat-syarat istishna’ adalah sebagai berikut.

1. Menjelaskan tentang jenis barang yang dibuat, macam, kadar, dan sifat-sifat-Nya
karena barang tersebut adalah barang yang di jual (objek akad).
2. Barang tersebut harus berupa barang yang berlaku muamalat di antara manusia,
seperti bejana, sepatu, dan lain-lain.
3. Tidak ada ketentuan mengenai waktu tempo penyerahan barang yang di pesan.
Apabila waktunya di tentukan, menurut Imam Abu Hanifah, akad berubah
menjadi salam dan berlakulah syarat-syarat salam, seperti penyerahan alat
pembayaran (harga) di majelis akad. Sedangkan menurut Imam Abu Yusuf dan
Muhammad, syarat ini tidak diperlukan. Dengan demikian menurut mereka,
istishna’ itu hukumnya sah, baik waktunya ditentukan atau tidak, karena menurut
adat kebiasaan penentuan waktu ini biasa di lakukan dalam akad istishna’.

4
Dendy Herdianto, “Akad Istishna dalam Ekonomi Islam : Pengertian, Dalil, Rukun dan Contoh”, (qazwa, 2019)

5
D. SIFAT AKAD ISTISHNA’

Akad istishna’ adalah akad yang ghair lazim, baik sebelum pembuatan pesanan
maupun sesudahnya. Oleh karena itu, bagi masing-masing pihak ada hak khiyar untuk
melangsungkan akad atau membatalkannya, dan berpaling dari akad sebelum mustashni’
(pemesan/konsumen) melihat barang yang dibuat/dipesan. Apabila shani’
(pembuat/produsen) menjual barang yang dibuatnya sebelum dilihat oleh mustashni’
(konsumen) maka hokum akadnya sah, karena akadnya Ghair Lazim, dan objek akadnya
bukan benda yang dibuat itu sendiri, melainkan sejenisnya yang masih ada dalam
tanggungan. 5
Apabila pembuat (produsen) membawa barang yang dibuatnya kepada Mustashni’
(konsumen), maka hak khiarnya- menjadi gugur, karena ia dianggap setuju, dengan
tindakannya mendatangi konsumen (pemesan) tersebut. Apabila
mustashni’(konsumen/pemesan) telah melihat barang yang dipesannya, maka ia memiliki
hak khiyar. Apabila ia menghendaki, maka ia berhak meneruskannya dan apabila ia
menghendaki ia boleh meninggalkannya dan membatalkan akadnya. Ini menurut Imam
Abu Hanifah dan Muhammad. Alasannya adalah karena ia membeli sesuatu yang belum
dilihatnya, oleh karena itu ia berhak atas khiar. Tetapi menurut Imam Abu Yusuf apabila
mustashni’ (konsumen) telah melihat barang yang dipesannya maka akad menjadi lazim
(mengikat), dan tidak ada hak khiar, apabila barang tersebut sesuai dengan syarat-sayarat
yang ditetapkan dalam perjanjian. Hal ini dikarenakan barang tersebut merupakan objek
akad (Mabi’) yang kedudukannya sama seperti dalam akad salam, yakni tidak ada khiar
ru’yah. Disamping itu, hal ini juga untuk menghilangkan terjadinya kerugian dari
pembuat (produsen) karena telah rusaknya bahan-bahan yang telah dibuat sesuai dengan

5
Ibid

6
permintaan mustashni’ (konsumen), dan untuk dijual kepada orang lain juga belum tentu
ada yang mau.6

E. DEFINISI RIBA DALAM FIKIH MUAMALAH

Secara etimologi (bahasa), dalam bahasa Arab riba adalah kelebihan atau
tambahan (az-ziyadah). Adapun kelebihan tersebut, secara umum mencakup semua
tambahan terhadap nilai pokok utang dan kekayaan. Sementara itu, dari segi terminologi
(makna istilah), pengertian riba adalah nilai tambahan atau pembayaran utang yang
melebihi jumlah piutang dan telah ditentukan sebelumnya oleh salah satu pihak. 7
Riba adalah tambahan yang disyaratkan dan diterima pemberi pinjaman sebagai
imbalan dari peminjam utang. 8
Pengertian riba adalah dalam hal ini ialah pengambilan tambahan secara bathil
tersebut berupa penambahan pada transaksi pertukaran/jual beli secara barter atau pun
transaksi pinjam meminjam, baik yang disebabkan oleh kelebihan dalam pertukaran dua
harta yang sejenis tertentu, di tempat pertukaran.9

6
Ibid, hlm.634.

7
Redaksi OCBC NISP, “Mengenal 5 Jenis Riba, Contoh, dan Hukumnya Dalam Islam”, (OCBC NISP,
2021), hlm. 2.

8
HERU SRI KUMORO, “Apa Itu Riba: Pengertian, Jenis, Contoh, dan Hukumnya dalam Islam”.
(Kompas.com, 2022)

9
HERU SRI KUMORO, “Apa Itu Riba: Pengertian, Jenis, Contoh, dan Hukumnya dalam Islam”.
(Kompas.com, 2022)

7
Sehingga dapat dipahami bahwa riba adalah alat transaksi pertukaran atau alat
jual beli secara transaksi pinjam-meminjam yang dimana adanya penambahan yang di
isyaratkan oleh si pemberi pinjaman sebagai suatu imbalan dari si peminjam tersebut.

F. DASAR HUKUM LARANGAN RIBA

Riba hukumnya haram, berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’. Dalam Alquran
disebutkan dalam beberapa ayat. Antara lain :
1. Surah Al-Baqarah (2) ayat 275 :
َ ْ َ َ َۗ ٰ ‫َ َ َ َّ ٰ ه‬
… ‫الربواوح َّرمال َب ْيع‬
ِّ ‫… واحل اّلل‬

… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …


2. Surah Al-Baqarah (2) 278 :

3. Surah Ali-Imran (3) ayat 130 :

4. Surah Ar-Rum (30) ayat 39 :

Dalam ayat yang pertama, kedua, dan ketiga, Allah dengan tegas melarang
perbatan riba. Sedangkan dalam ayat yang keempat, Allah tidak secara tegas melarang
riba, melainkan hanya membandingkan antara riba dan zakat. Riba meskipun
kelihatannya bertambah, namun di sisi Allah tidak bertambah. Sedangkan, zakat

8
meskipun kelihatannya mengurangi harta, namun di sisi Allah justru bertambah. Ini
berartu anjuran untuk mengeluarkan zakat dan secara tidak langsung melarang riba.

G. HIKMAH DILARANGNYA RIBA

Di atas telah dikemukakan bahwa riba hukumnya dilarang oleh semua agama samawi.
Adapun sebab dilarangnya riba adalah dikarenakan riba menimbulkan kemudharatan yang
besar bagi umat manusia. Kemudaratan tersebut anatara lain :

1. Riba menyebabkan permusuhan antara individu yang satu dengan individu lain, dan
menghilangkan jiwa tolong menolong diantara mereka. Padahal semua agama
terutama Islam sangat mendorong sikap tolong menolong (Ta’awun) dan
mementingkan orang lain, serta melawan sifat ego (mementingkan diri sendiri) dan
mengekploitasi orang lain.
2. Riba mendorong terbentuknya kelas elite, yang tanpa kerja keras mereka mendapat
harta, seperti benalu yang setiap saat menghisab orang lain. Padahal islam sangat
mengagungkan kerja dan menghormati orang –orang kerja, serta menjadikan kerja
sebagai salah satu bentuk usaha yang utama.
3. Riba merupakan wasilah atau perantara terjadinya penjajahan dibidang ekonomi,
dimana orang-orang kaya menghisab dan menindas orang-orang miskin.
4. Dalam hal ini Islam mendorong umatnya agar mau memberikan pinjaman kepada
orang lain yang membutuhkan dengan model “Qardhul Hasan” atau pinjaman tanpa
bunga. 10

10
Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz 3, Dar Al-Fikr, Beirut, cet, III, 1981, hal.178.

9
H. PEMBAGIAN ATAU MACAM-MACAM RIBA

Didalam perdagangan sesuai syariat Islam, Riba terbagi menjadi 5 jenis riba, yaitu antara
lain:

1. Riba Fadhl
Riba adalah kegiatan transaksi jual beli maupun pertukaran barang-barang yang
menghasilkan riba, namun dengan jumlah atau takaran berbeda.

Contoh riba pada jenis ini yaitu penukaran uang Rp.100.000,- dengan pecahan
Rp.2000,-, akan tetapi totalnya 48 lembar saja, sehingga jumlah nominal uang yang
diberikan hanya Rp. 96.000,-. Selain itu juga penukaran emas 24 karat menjadi 18
karat.

2. Riba Yad
Pada jenis ini, RIba adalah hasil jual beli dan juga penukaran barang yang
menghasilkan riba maupun non ribawi. Namun, waktu penerimaan serah terima kedua
barang tersebut ,mengalami penundaan.

Contoh Riba Yad dalm kehidupan sehari-hari yaitu penjualan motor dengan harga
Rp.12.000.000,- jika dibayar secara tunai dan Rp.15.000.000,- melaui kredit. Baik
pembeli maupun penjual tidak menetapkan nominal yang harus dilunaskan hingga
transaksi berakhir.

3. Riba Nasi’ah
Riba adalah kelebihan yang didapatkan dari proses transaksi jual beli dengan jangka
waktu tertentu. Adapun transaksi tersebut menggunakan dua jenis barang yang sama,
namun terdapat waktu penangguhan dalam pembayarannya.

10
Contoh Riba Nasi’ah yaitu penukaran emas 24 karat oleh dua pihak berbeda. Saat
pihak pertama telah menyerahkan emasnya, namun piihak kedua mengatakan akan
memberikan emas miliknya dalam waktu 1 bulan lagi. Hal ini menjadi riba karena
harga emas dapat berubah kapan saja.

4. Riba Qardh
Pada jenis Qardh, riba adalah tambahan nilai yang dihasilkan akibat dilakukannya
pengembalian pokok utang dengan beberapa persyaratan dari pemberi utang.

Contoh riba dikehidupan sehari-hari yaitu pemberian utang Rp.100.000.000,- oleh


rentenir, namun disertai bunga 20% dalam waktu 6 bulan.

5. Riba Jahiliyah
Riba adalah tambahan atau kelebihan jumlah pelunasan hutang yang telah melebihi
pokok pinjaman hutang. Biasanya, hal ini terjadi akibat peminjam tidak dapat
membayarnya dengan tepat waktu sesuai perjanjian.

Contoh Riba Jahiliyah adalah peminjaman uang sebesar Rp.20.000.000,- dengan


ketentuan waktu pengembalian 6 bulan. Jika tidak dapat membayarkan secara tepat
waktu maka aka nada tambahan hutang dari total pinjaman. 11

11
Redaksi OCBC NISP,op.cit.,21,hlm.4.

11
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Istishna’ merupakan alat jual beli atas dasar pemesanan suatu barang dengan
spesifikasi tertentu dan harga barang yang telah disetujui di awal akad, serta
pembayarannya dapat di bayar di awal maupun di akhir atau sesuai dengan kesepakatan.
Riba adalah alat transaksi pertukaran alat jual bei secara transaksi pinjam
meminjam yang dimana adanya penambahan yang di isyaratkab oleh si pemberi
pinjaman sebagai suatu imbalan dari si peminjam tersebut.
Istishna’ dan riba adalah suatu alat pertukaran jual beli dan ekonomi di kalangan
masyarakat tapi ada yang mendapatkan keuntungan secara adil da nada pula yang
mendapatkan keuntungan secara sepihak sehingga dapat merugikan orang-orang yang
terlibat di dalamnya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Nurul Huda, Lembaga Keuangan Islam,Cet-1 (Jakarta: kencana prenada media group,
2010), hlm. 52.

Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Cet-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2008), hlm. 136.

Redaksi OCBC NISP, “Mengenal 5 Jenis Riba, Contoh, dan Hukumnya Dalam Islam”, (OCBC NISP,
2021), hlm. 2.

HERU SRI KUMORO, “Apa Itu Riba: Pengertian, Jenis, Contoh, dan Hukumnya dalam Islam”.
(Kompas.com, 2022)

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuh, Juz 4, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet. III, 1989, hlm.
633.

Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz 3, Dar Al-Fikr, Beirut, cet, III, 1981, hal.178 .
Redaksi OCBC NISP,op.cit.,21,hlm.4.

13
MAKALAH

UTANG PIUTANG (AL-QARDH) DAN GADAI (AR-RAHN)

Dosen Pengampu Mata Kuliah: Dr. Azman Arsyad, S.Ag., M.Ag.

Disusun Oleh: Kelompok VI

Fajriah Maghfiranti (90400121045)

Ike Putri Anggita (90400121046)

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN AJARAN 2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Utang Piutang Dan Gadai Dalam Fikih Muamalah” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dosen pada mata kuliah Fikih Muamalah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang akad istisna dan riba bagi para pembaca dan
juga bagi penulis. Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Azman
Arsyad, S.AG., M.Ag., selaku dosen mata kuliah Fikih Muamalah yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan,
ilmu pengetahuan, dan menjadi acuan untuk menulis makalah lainnya.

Gowa, 13 April 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii


DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii
BAB I ............................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 3
C. Tujuan................................................................................................................ 3
BAB II ........................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ............................................................................................................ 4
UTANG PIUTANG (AL-QORDH) .......................................................................... 4
A. Definisi Qardh ................................................................................................ 4
B. Dasar Hukum Disyariatkannya Qardh dan Hikmahnya ............................. 6
C. Rukun dan Syarat Qardh .............................................................................. 9
D. Hukum Qardh .............................................................................................. 11
E. Manfaat Qardh ............................................................................................ 12
F. Mempercepat Pelunasan Utang Sebelum Meninggal ................................. 13
GADAI (AR-RAHN) ............................................................................................... 15
A. Definisi Gadai dan Dasar Hukumnya ............................................................ 15
B. Rukun dan Syarat Gadai ................................................................................ 17
C. Hukum-Hukum Gadai dan Dampaknya ........................................................ 25
D. Pertambahan Gadai ..................................................................................... 31
E. Berakhirnya Akad Gadai ............................................................................ 33
BAB III ........................................................................................................................ 36
PENUTUP ................................................................................................................... 36
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 38

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hubungan antara manusia dengan manusia diatur dalam masalah


muamalah. Dalam muamalah manusia diberi kekuasaan untuk menjalankannya,
namun dalam menjalankan proses mu‟amalah manusia harus melaksanakannya
menurut prosedur dan aturan yang telah ditentukan oleh syariah. Sejak dahulu
setiap orang dalam kehidupannya selalu menghadapi berbagai masalah di
antaranya adalah kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup dan perlu adanya
bantuan dari orang lain, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia
sering melakukan transaksi hutang piutang.1

Hutang piutang adalah perkara yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi
kehidupan manusia. Ketidakmerataan dalam hal materi adalah salah satu penyebab
munculnya perkara ini. Selain itu juga adanya pihak yang menyediakan jasa
peminjaman (hutang) juga ikut ambil bagian dalam transaksi ini. Islam sebagai
agama yang mengatur segala urusan dalam kehidupan manusia juga mengatur
mengenai perkara hutang piutang. Konsep hutang piutang yang ada dalam Islam
pada dasarnya adalah untuk memberikan kemudahan bagi orang yang sedang
kesusahan.

Ajaran syari’at Islam secara implisit telah menggariskan penyelesaian


terhadap semua masalah kehidupan, dalam bidang hukum syari’ah juga mengatur
dalam berbagai hukum yang diantaranya adalah hukum muamalah. Untuk
memenuhi kebutuhan yang mendadak Islam dengan hukum muamalahnya
memperbolehkan hutang-piutang atau pinjam-meminjam dengan konsekwensi
wajib mengembalikan. Utang-piutang adalah merupakan hal yang kadang-kadang
diperlukan dalam hidup sehari-hari, maka Islam memberikan peraturan-peraturan
tentang masalah ini, Islam menggembirakan orang yang mampu agar mau

1
Resa Pelia, Tinjauan Hukum Islam Tentang Hutang Piutang Dengan Kompensasi Pembagian
Hasil Kebun Damar. Skripsi. Lampung, 2020, hlm 3.

1
memberikan pertolongan kepada saudara-saudaranya yang memerlukan (Ahmad
Azhar Basyir, 1993: 35).2

Namun pada zaman sekarang, konsep muamalah sedikit banyak telah


bercampur aduk dengan konsep yangdiadopsi dari luar Islam. Hal ini sedikit demi
sedikit mulai menyisihka,menggeser, bahkan bisa menghilangkan konsep
muamalah Islam itu sendiri. Oleh karena itulah, perkara hutang piutang ini penting
untuk diketahui oleh umat Islam agar nantinya bisa melaksanakan transaksi sesuai
dengan yang telah disyariatkan oleh Allah swt.

Syari’at Islam memerintahkan umatnya agar saling tolong-menolongdalam


segala hal, salah satunya dapat dilakukan dengan cara pemberian atau pinjaman.
Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingankreditur atau orang
yang memberikan pinjaman agar jangan sampai iadirugikan. Oleh sebab itu, pihak
kreditur diperbolehkan meminta barangkepada debitur sebagai jaminan atas
pinjaman yang telah diberikan kepadanya.Gadai-menggadai sudah merupakan
kebiasaan sejak zaman dahulukala dan sudah dikenal dalam adat kebiasaan. 3

Tidak dapat dipungkiri realita yang ada, suburnya usaha-usaha pergadaian


baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya gadai menggadai
ini. Ironisnya banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil
Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam
kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini.
Sebagai akibatnya terjadi kedzoliman dan saling memakan harta
saudaranyadengan batil. 4

Kelebihan pegadaian dibanding bank, secara umum, adalah dalam hal


kemudahan dan kecepatan prosedur. Pegadai (nasabah) tinggal membawa barang
yang cukup berharga, kemudian ditaksir nilainya, dan duit pun cair.

2
Agustinar dan Nanda Rini, TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAYARAN HUTANG
PIUTANG DENGAN PENAMBAHAN DARI HASIL PANEN PADI. Jurnal, Aceh, 2018, hlm 144.
3
Jumadil Musa, HADIS NABI SAW TENTANG LARANGAN MENUNDA MEMBAYAR HUTANG. Skripsi,
Makassar, 2016, hlm 1.
4
Muhaimin, Perbankan Syariah Prinsip Rahn (Gadai Syariah). Makalah, Malang, 2013, hlm 1.

2
Praktis,sehingga sangat menguntungkan buat mereka yang butuh dana cepat.
Sedangkan perbedaan gadai syariah dengan konvensional adalah dalam hal
pengenaan bunga. 5

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Utang Piutang, adakah dasar hukum yang
mengaturnya dan apa hikmah dan rukun serta syarat dari utang piutang?
2. Apa manfaat dari utang piutang?
3. Apakah yang dimaksud dengan Gadai bagaimana rukun dan syaratnya?
4. Kapan berakhirnya akad gadai?

C. Tujuan
Makalah ini disusun denngan tujuan agar kita mengetahui dan
memahami lebih dalam mengenai apa itu utang piutang (qardh) dan gadai
(rahn) mengerti apa saja rukun, syarat dan hukumnya. Serta mengetaui
manfaat dan hikmah juga mengetaui kapan berakhirnya akad gadai (rahn).

5
Muhaimin, Op.Cit, hlm 2.

3
BAB II

PEMBAHASAN

UTANG PIUTANG (AL-QORDH)


Qardh atau utang piutang dalam pengertian umum mirip dengan jual beli,
karena qardh merupakan bentuk kepemilikan atas harta dengan imbalan harta.
Qardh juga merupakan salah satu jenis salaf (salam).

A. Definisi Qardh

Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata qaradha yang sinonimnya
qatha’a artinya memotong. Diartikan demikian karena orang yang
memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan
kepada orang yang menerima utang (muqtaridh).
Dalam pengertian istilah, qardh didefinisikan oleh Sayid Sabiq sebagai
berikut, Al Qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi utang
(muqridh) kepada penerima utang (muqtaridh) untuk kemudian
dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia
telah mampu membayarnya. 6
Utang dan piutang merupakan dua kata yang berlawanan tapi erat
hubungannya karena hampir selalu dipergunakan secara bersamaan.
Pengertian utang piutang di jelaskan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, utang ialah uang yang dipinjam dari orang lain. 7 Piutang adalah
uang yang dipinjamkan (yang dapat ditagih dari seseorang). Utang piutang
adalah uang yang dipinjam dari orang lain dan yang dipinjamkan kepada
orang lain.8 Utang piutang dalam KUHPerdata disebut dengan perjanjian
pinjam meminjam yang diatur dalam pasal 1754 berbunyi pinjam
meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah baran-barang tertentu

6
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat. AMZAH. Jakarta, 2019, hlm 273.
7
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta, 2011, hlm 1540.
8
Ibid., hlm 1083.

4
dan habis karena pemakian dengan syarat bahwa yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macama keadaan yang sama. 9
Menurut ahli fiqih pengertian hutang atau pinjaman adalah
transaksi antara dua pihak yang satu menyerahkan uangnya kepada yang
lain secara sukarela untuk dikembalikan lagi kepadanya oleh pihak kedua
dengan hal yang serupa. Atau seseorang menyerahkan uang kepada pihak
lain untuk dimanfaatkan dan kemudian dikembalikan lagi sejumlah yang
dihutang.10
Persoalan hutang piutang yang diatur dalam fiqih, memunculkan
berbagai pemikiran khususnya ketika hutang piutang itu berkait dengan
persoalan tambahan dari pokok hutang pada saat pengembalian hutang,
konsep itu kemudian dikenal dengan istilah “bunga”. Dikalangan para
fuqaha pada umumnya mengharamkan bunga karena dinilai sebagai riba. 11
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa utang
piutang adalah dua kata yang saling berhubungan karena sering digunakan
secara bersamaan namun ternyata merupakan kata yang berlawanan.
Dimana utang adalah harta yang dipinjam dari orang lain yang biasanya
dalam bentuk uang. Sedangkan piutang adalah harta yang kita pinjamkan
kepada orang lain. Dalam Islam utang piutang biasa di sebut dengan qardh,
utang piutang juga telah diatur dalam UU KUHP pasal 1754. Utang
piutang yang sesungghnya adalah pemanfaatan atas suatu barang (uang)
tanpa adanya biaya tambahan apapun ketika pengembaliannya. Karena
tambahan tersebut hanya menguntungkan satu pihak saja dan
memberatkan pihak lain, itulah yang disebut bunga atau riba. Dan Allah
sudah jelas mengharamkan riba, pada QS. Al-Baqarah ayat 275.

9
R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pradya Paramita.
Jakarta, 1992, hlm 451
10
M. Zulfa, Hutang Piutang Dalam Islam (Sebuah Kontroversi Fenomena Riba). Trust Media
Publishing. Yogyakarta, 2015, hlm 2.
11
Ibid, hlm 8.

5
B. Dasar Hukum Disyariatkannya Qardh dan Hikmahnya

Utang piutang pada dasarnya hukumnya sunnah, tetapi bisa berubah


menjadi wajib apabila orang yang berhutang sangat membutuhkannya,
sehingga utang piutang sering diidentikan dengan tolong menolong. 12
Landasan hukum disyaritkan qardh terdapat pada Al-Quran, As-Sunnah,
dan Ijma, berikut landasan hukum qardh. 13
1. Al-Quran
Dalam Al-Quran qardh disebutkan dalam beberapa ayat, antara
lain:
a. Surah Al-Baqarah ayat 245:

ْ َ ‫ضا ِعفَهُ لَهُ أ‬


ً ‫ض َعافا‬ َ ‫سنا ً فَ ُي‬
َ ‫ّللاَ قَ ْرضا ً َح‬
‫ض ه‬ ُ ‫َّمن ذَا الَّذِي يُ ْق ِر‬
﴾٢٤٥﴿ َ‫ض َو َي ْبسُطُ َو ِإلَ ْي ِه ت ُ ْر َجعُون‬
ُ ‫ّللاُ َي ْق ِب‬
‫يرة ً َو ه‬
َ ِ‫َكث‬
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman
yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan
melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”
b. Surah Al-Hadid ayat 11:

‫ضا ِعفَهُ لَهُ َولَهُ أَج ٌْر‬


َ ُ‫سنا ً فَي‬
َ ‫ّللاَ قَ ْرضا ً َح‬
َّ ‫ض‬ُ ‫َمن ذَا الَّذِي يُ ْق ِر‬
﴾١١﴿ ‫َك ِري ٌم‬

“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang


baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu
untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak,”
c. Surah At-Taghabun ayat 17:

12
Resa Pelia, Tinjauan Hukum Islam Tentang Hutang Piutang Dengan Kompensasi Pembagian
Hasil Kebun Damar. Skripsi. Lampung, 2020, hlm 17.
13
Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang. Kencana. Jakarta, 2013, hlm 13

6
َّ ‫ضا ِع ْفهُ لَكُ ْم َويَ ْغ ِف ْر لَكُ ْم َو‬
ُ‫ّللا‬ َ ُ‫سنا ً ي‬
َ ‫ّللا قَ ْرضا ً َح‬ ُ ‫ِإن ت ُ ْق ِر‬
َ َّ ‫ضوا‬
ٌ ُ‫شك‬
﴾١٧﴿ ‫ور َح ِلي ٌم‬ َ
“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik,
niscaya Allah melipat gandakan (pembalasannya) kepadamu dan
mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha
Penyantun.”
Ayat-ayat tersebut pada dasarnya berisi anjuran untuk
melakukan perbuatan qardh (memberikan utang) kepada orang
lain, dan imbalannya adalah akan dilipatgandakan oleh Allah. 14

2. As-Sunnah
Selain Al-Quran sebagai dasar utang piutang terdapat sunnah atau
hadist yang menerangkan tentang utang pitang, yaitu:
a. Hadis riwayat Ibnu Mas’ud

“Dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW.


Bersabda: tidaklah seseorang Muslim memberi pinjaman kepada
seorang Muslim yang lain dua kali, melainkan pinjaman itu seperti
sedekah sekali.”

14
Ahmad Wardi Mslich, Fiqih Muamalat. Amzah. Jakarta, 2019, hlm 275.

7
b. Hadis riwayat Abu Hurairah

“Dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah saw.


Bersabda: Barangsiapa melepaskan satu kesusahan diantara sekian
banyak kesusahan dunia dasri seorang muslim, niscaya Allah akan
melepaskan dari satu kesusahan dari sekian banyak kesusahan di
hari kiamat. Barangsiapa memberi kemudahan kepada orang yang
sedang dalam kesulitan, niscaya Allah akan memberi kemudahan
kepadanya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-
Nya selama hamba-Nya tersebut menolong saudaranya.”
c. Ijma
Kaum muslimin telah bersepakat bahwa qardh disyariatkan
bermuamalah. Hal ini karena di dalam qardh terdapat unsur untuk
meringankan beban orang lain tanpa mengharap balasan. Karena
qardh merupakan pinjaman tanpa syarat. 15

Adapun hikmah dari disyariatkannya qardh (utang piutang) dilihat


dari sisi yang menerima utang atau pinjaman (muqtaridh) adalah
membantu mereka yang membutuhkan. Ketika seseorang sedang terjepit
dalam kesulitan hidup, seperti kebutuhan biaya untuk masuk sekolah anak,
membeli perlengkapan sekolahnya, bahkan untuk makannya, kemudian
ada orang yang bersedia memberikan pinjaman uang tanpa dibebani
tambahan bunga, maka beban dan kesulitannya untuk sementara dapat
teratasi. Dilihat dari sisi pemberi pinjaman (muqridh), qardh dapat

15
Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang. Kencana. Jakarta, 2013, hlm 16.

8
menumbuhkan jiwa ingin menolong orang lain, menghaluskan
perasaannya, sehingga ia peka terhadap kesulitan yang dialami oleh
saudara, teman, atau tetangganya. 16

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dasar hukum


qardh ada tiga yaitu Al-Quran, As-Sunnah atau Hadist dan Ijma.
Memberikan pinjaman kepada orang lain adalah perbuatan mulia dan
Allah akan mencatatnya sebagai padaha bersedekah. Dan orang yang
membantu melepaskan kesusahan dari seeorang maka ia akan mendapat
balasan dari Allah berupa pertolongan dari Allah di dunia dan akhirat.

C. Rukun dan Syarat Qardh

Seperti halnya jual beli, rukun qardh juga diperselisihkan oleh para
fuqaha. Menurut Hanafiah, rukun qardh adalah ijab dan qabul. Sedangkan
menurut jumhur fuqaha, rukun qardh adalah:
1. aqid, yaitu muqridh dan muqtaridh,
2. ma’qud ‘alaih, yaitu uang atau barang, dan
3. shigat, yaitu ijab dan qabul.17
Adapun rukun sahnya utang-piutang adalah bahwa rukun utang-
piutang itu sama dengan rukun jual beli:
a. Rukun Utang Piutang
1. aqid yaitu pihak yang berpiutang terdapat dari pemberi utang
(muqrid) dan penerima utang (muqtarid).
2. Ma‟qud „alayh yaitu barang yang diutangkan.
3. Sighat yaitu ijab qabul. Yaitu ungkapan ijab dan qabul atau
surat persetujuan antara kedua belah pihak akan surat
terlaksananya suatu transaksi. 18
Demikian pula menurut Ismail Nawawi bahwa rukun utang-
piutang ada empat, yaitu:
1. Orang yang memberi utang.
2. Orang yang berutang.

16
Ahmad Wardi Mslich, Fiqih Muamalat. Amzah. Jakarta, 2019, hlm 277.
17
Ahmad Wardi Mslich, Fiqih Muamalat. Amzah. Jakarta, 2019, hlm 278.
18
Resa Pelia, Tinjauan Hukum Islam Tentang Hutang Piutang Dengan Kompensasi Pembagian
Hasil Kebun Damar. Skripsi. Lampung, 2020, hlm 24.

9
3. Barang yang diutangkan.
4. Ucapan ijab qabul. 19

b. Syarat utang piutang


1. Aqid (kedua belah pihak yang berakad)
 Baligh yaitu dapat bertindak hukum artinya berakal sehat
atau merdeka.
 Muqaridh yaitu pihak yang memiliki kebebasan dan
kekuasaan untuk melakukan akad tabbarru‟ artinya harta
yang diutang merupakan milik sendiri. Pendapat ulama
syafi‟ah ahliyah (kecakapan dan kepantasan) pada akad
qaradh harus dengan kerelaan bukan dengan paksaan.
Menurut ulama hanabillah untuk pemberi utang bahwa
seorang wali anak yatim itu dan nazhir (pengelola) wakaf
tidak boleh mengutangkan harta wakaf.
2. Mauqud‟ alaih (objek utang)
 Harta yaitu harta yang dapat ditakar, harta yang dapat
ditimbang, harta yang diukur dan harta yang dapat di hitung
yang diungkapkan adalah mal misliyat.
 Setiap harta yang dapat dilakukan jual beli salam, baik itu
jenis harta dapat ditukar, ditimbang dan dihutang, atas dasar
ini tidak diperbolehkannya mengutangkan manfaat (jasa).
 Al-qubad atau penyerahan. Akad utang piutang tidak
sempurna kecuali dengan adanya serah terima. Karena
didalam akad qaradh ada tabarru‟ tidak akan sempurna
kecuali dengan serah terima.
 Utang piutang tidak memunculkan keuntungan bagi orang
yang menguntangkan (muqridh).
 Orang yang berutang mengembalikan utangnya dengan
harga yang sama. Artinya menjadi tanggung jawab orang
yang berhutang.
 Barang itu bernilai harta dan boleh dipergunakan dalam
Islam.
 Harta yang dihutangkan diketahui, yaitu diketahui kadar
dan sifatnya.
 Pinjaman boleh secara mutlak, atau ditentukan dengan
batas waktu.
3. Ijab dan Qabul (sighat al-aqd)
Akad qardh dinyatakan sah dengan adanya ijab dan Qabul
berupa

19
Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah. Dana Bakhti Primayasa. Yogyakarta, 1997, hlm110

10
lafal qardh. Pada lafazh, ijab qabul maksud yaitu ungkapan
yang keluar terlebih dahulu dari salah satu pihak dari kedua
belah pihak. 20

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa rukun qardh ada


tiga, yaitu aqid, ma’qud alaih, dan sighat ijab qobul. Dan syaratnya adalah
kedua belah pihak sama-sama sudah baligh, berakal, dan merdeka.
Kemudian untuk objeknya atau ma’qud ‘alaih barangnya dapat dihitung,
ditakar, dan ditimbang.

D. Hukum Qardh

Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, qardh baru berlaku


dan mengikat apabila barang atau uang telah diterima. Apabila seseorang
meminjam sejumlah uang dan ia telah menerimanya maka uang tersebut
menjadi miliknya, dan ia wajib mengembalikannya dengan sejumlah uang
yang sama (mitsli), bukan uang yang diterimanya. Akan tetapi, menurut
Imam Abu Yusuf muqtaridh tidak memiliki barang yang diutanginya
(dipinjamnya), apabila barang tersebut masih ada. 21
Pinjam meminjam pada prinsipnya termasuk pada Hukum perdata,
oleh sebab itu dalam penyelesaian permasalahan mengenai hutang ini tidak
bisa dibawa ke ranah pidana. Tetapi yang perlu kita ingat tentang dasar
hukumnya terdapat didalam pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “Tidak seorangpun atas putusan
pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan
ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang
piutang” 22
Di Indonesia, anjak piutang adalah aktivitas keuangan yang
dilindungi hukum perdata. Dasar hukum anjak piutang mengacu pada
Keputusan Presiden (Kepres) No. 61 tahun 1988 pasal 2, yang meresmikan
anjak piutang (factoring) sebagai salah satu bidang usaha
pembiayaan.,Pasal tersebut kemudian diperkuat dasar hukum anjak
piutang lainnya, yaitu Keputusan Menteri Keuangan No.

20
Resa Pelia, Tinjauan Hukum Islam Tentang Hutang Piutang Dengan Kompensasi Pembagian
Hasil Kebun Damar. Skripsi. Lampung, 2020, hlm 24.
21
Ahmad Wardi Mslich, Fiqih Muamalat. Amzah. Jakarta, 2019, hlm 280.
22
Yuridis.id, “Hukum Utang Piutang Menurut UU” https://yuridis.id/penghutang-yang-tidak-
mampu-membayar-hutangnya-dapat-di-kenakan-ketentuan-hukum-di-bawah-ini/ (diakses pada 3
Mei 2022, pukul 18.30)

11
1251/KMK.031/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan
Lembaga Pembiayaan. 23
Hukum utang piutang dalam Islam diperblehkan, dan Rasulullah
SAW menegaskan bahwa Seorang muslim mempiutangi muslim lainnya
sebanyak dua kali seakan-akan ia tidak memberikan sedekah satu kali,
dalam riwayat hadis Ibnu Majjah. 24

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa utang piutang mulai


berlaku ketika barang atau uang telah di terima oleh peminjam, dan utang
tersebut wajib dikembalikan sesuai kadar saat diterima. Dan di dalam
peraturan undang-undang penyelesaian masalah utang piutang tidak dapat
di bawa ke ranah pidana, di Indonesia piutang adalah aktivitas keuangan
yang dilindungi hukum perdata.

E. Manfaat Qardh

Para ulama sekapat bahwa setiap utang yang mengambil manfaat


hukumnya haram, apabila hal itu disyaratkan atau ditetapkan dalam
perjanjian. Hal ini sesuai dengan kaidah semua utang yang menarik
manfaat, maka ia termasuk riba. Apabila manfaat (kelebihan) tidak
disyaratkan pada waktu akad maka hukumnya boleh. 25
Menurut Syafi’i Antonio, pada dasarnya manfaat Al-Qardh itu
banyak sekali, salah satu di antaranya adalah memungkinkan nasabah yang
sedang dalam kesulitan mendesak untuk mendapatkan dana pinjaman
jangka pendek/panjang yang sesuai dengan aqad. Al-Qardhul Hasan juga
merupakan salah satu ciri pembeda antara bank syari’ah dengan bank
konvensional yang di dalamnya terkandung misi sosial, di samping misi
komersial. Adanya misi sosial kemasyarakatan ini akan meningkatkan
loyalitas masyarakat terhadap bank syari’ah dan syari’ah itu sendiri.
Manfaat lainnya adalah berupa santunan kebajikan yang diberikan untuk
membantu meringankan beban ekonomi para mustahiq.26
Manfaat utang yaitu sebagai sumber modal awal saat memulai
usaha, dapat menjadi alternatif pembiayaan saat dalam keadaaan
mendesak. Sedangkan manfaat piutang yaitu sebagai aset berharga bik
bagi perorangan mauun perusahaan. Dapat diambil dalam jangka waktu

23
Redaksi OCBC NISP, “hukum hutang piutang menurut para ahli”
https://www.ocbcnisp.com/id/article/2021/06/28/anjak-piutang-adalah (diakses pada 3 Mei 2022,
pukul 18.50)
24
Ila Sulailah, Bab II Pengertian Utang Piutang. Jurnal 2018.
25
Ahmad Wardi Mslich, Fiqih Muamalat. Amzah. Jakarta, 2019, hlm 281.
26
Antonio M. Syafi’I, Bank Syariah Dari teori Keperaktek, Gema Insani Pres, Jakarta, 2001 hlm
134.

12
sesuai dengan kesepakatan hutang. Biasanya bisa mengambil keuntungan
dari uang yang kita hutangkan, dalam dunia perbankan biasa disebut
dengan margin atau bunga, yaitu keuntungan selisih saat meminjamkan
dengan saat mengambil. Membantu untuk menambah relasi, memberikan
kemungkinan bekerja sama dan sebagai harapan kelak jika dalam keadaan
genting kita bisa kembali meminta bantuan. 27

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa


pengambilan manfaat utang piutang yang di tetapkan dalam perjanjian itu
dinamakan riba dan haram hukumnya. Sedangkan jika kelebihan itu tidak
disyaratkan di awal perjanjian maka itu boleh, dan selama tidak
membebani kedua belah pihak. Utang piutang juga sangat bermanfaat bagi
orang yang sedang butuh modal untuk membuka uaha, dalam keadaan
terdesak hukumnya mubah atau boleh.

F. Mempercepat Pelunasan Utang Sebelum Meninggal


Utang berbeda dengan hibah, sedekah, dan hadiah. Hibah, sedekah,
dan hadiah merupakan pemberian yang tidak perlu dikembalikan.
Sedangkan utang adalah pemberian kepemilikan atas barang dengan
ketentuan bahwa barang tersebut harus dikembalikan, baik dengan
barangnya maupun harganya.
Pengembalian barang ini dianjurkan untuk dilakukan secepatnya,
apabila orang yang berhutang telah memiliki uang atau barang untuk
pengembaliannya itu. Anjuran tersebut dapat disimpulkan melalui hadis
Nabi SAW.

‫علَ ْي ِه‬َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ِ‫ي‬‫ع ِن النَّ ِب ه‬َ ،ُ‫ع ْنه‬ َّ ‫ي‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ع ْن أ َ ِبي هُ َري َْرة َ َر‬َ
‫ي فَ ْليَتَّبِ ْع‬
‫علَى َم ِل ه‬ ُ
َ ‫ َو َم ْن أتْبِ َع‬،‫ي ِ ظُ ْل ٌم‬‫ط ُل الغَنِ ه‬ْ ‫ َم‬:‫ال‬ َ َ‫سلَّ َم ق‬
َ ‫َو‬
“Dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: Penundaan
(pembayaran utang) oleh orang yang kaya (mampu) merupakan
penganiayaan, dan apabila salah seorang di antara kamu (utangnya)
dialihkan kepada orang yang kaya (mampu), maka hendaklah ia
menerimanya.” (HR. Abu Dawud) 28
Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

27
Rizki, “Pengertian Hutang Piutang Dan Kaitannya Dengan Usaha”
https://www.berwirausaha.net/2017/02/pengertian-hutang-piutang-dan-kaitannya.html/ (diakses
pada 4 Mei 2022, pukul 15.00)
28
Ahmad Wardi Mslich, Fiqih Muamalat. Amzah. Jakarta, 2019, hlm 285.

13
َ‫سدَ َوهُ َو بَ ِرى ٌء ِم ْن ثَالَث دَ َخ َل ْال َجنَّة‬ َ ‫ح ْال َج‬
ُ ‫الرو‬
ُّ َ‫ارق‬ َ َ‫َم ْن ف‬
‫مِنَ ْال ِكب ِْر َو ْالغُلُو ِل َوالدَّي ِْن‬
“Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga
hal: [1] sombong, [2] ghulul (khianat), dan [3] hutang, maka dia akan
masuk surga.” (HR. Ibnu Majah no. 2412. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shohih). 29
Apabila kondisi orang yang berhutang sedang berada dalam
kesulitan dan ketidak mampuan, maka kepada orang yang memberikan
utang dianjrkan untuk memberi kelonggaran dengan menunggu sampai ia
mampu untuk membayar utangnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam Surah Al-Baqarah ayat 280 :

‫صدَّقُواْ َخي ٌْر لَّكُ ْم‬


َ َ ‫س َرة َوأَن ت‬
َ ‫َوإِن َكانَ ذُو عُس َْرة فَن َِظ َرة ٌ إِلَى َم ْي‬
﴾٢٨٠﴿ َ‫ِإن كُنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua
utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” 30
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kita tidak
boleh menunda-nunda pembayaran utang, karena itu akan di pertanggung
jawabkan juga di akhirat. Dan penundaan pembayaran utang bagi orang
yang mampu adalah sebuah kedzaliman. Serta apabila orang yang
berhutang belum mampu membayar kita perlu memberinya kelonggaran
waktu pembayaran sesuai dengan firman Allah pada surah Al-Baqarah
ayat 280.
Dengan demikian beberapa uraian mengenai masalah utang piutang
(qardh) yang meliputi pengertian, dasar hukum, rukun dan syarat, serta
hukum-hukumnya.

29
Muhammad Abduh Tuasikal, “Hadis Mempercepat Membayar Hutang”
https://gakopsyah.com/berita/detail/42/bahaya-orang-yang-enggan-melunasi-hutangnya.html
(diakses pada 7 Mei 2022, pukul 12.41)
30
Ibid, hlm 285.

14
GADAI (AR-RAHN)
A. Definisi Gadai dan Dasar Hukumnya
1. Definisi Gadai
Gadai (Rahn) adalah menjadikan suatu barang sebagai jaminan atas
utang, dengan ketentuan bahwa apabila terjadi kesulitan dalam
pembayarannya maka utang tersebut bisa dibayar dari hasil penjualan
barang yang dijadikan jaminan itu. 31
Menurut bahasanya, (dalam bahasa Arab) Rahn adalah Tetap dan
Lestari, seperti juga dinamai Al-Habsu, artinya penahanan. Adapun dalam
pengertian Syara’, ia berarti menjadikan barang yang mempunyai nilai
harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang
yang bersangkutan boleh mengambil sebagian (manfaat) barang itu. Jadi,
definisi Ar-Rahn secara istilah adalah menjamin hutang dengan barang
(suatu benda) yang memungkinkan hutang dapat dibayar dengannya atau
dari harganya. 32 Gadai ( rahn ) adalah akad hutang-piutang dengan
menjadikan suatu harta sebagai jaminan hutang tersebut, dalam pengertian
sempit, gadai juga bisa berarti harta yang menjadi jaminan atas hutang
tersebut33.
Dari ketiga pengertian gadai di atas dapat disimpulkan bahwa gadai
ialah suatu akad yang menjadikan sebuah barang atau harta sebagai
jaminan atas hutang yang dilakukan, dengan ketentuan apabila terjadi
kesulitan dalam pembayaran hutang maka pembayaran hutang dapat di
ambil dari hasil penjualan barang atau harta jaminan tersebut.
2. Dasar Hukum Gadai
Dari ayat 283 surah Al Baqarah dan hadits-hadits (hadits Anas dan
hadits Aisyah) jelaslah bahwa gadai (rahn) hukumnya dibolehkan, baik
bagi org yang sedang dalam perjalanan maupun org yang tinggal di rumah.
Memang dalam surah Al-Baqarah ayat 283, gadai dikaitkan dengan safar
(perjalanan). Akan tetapi, dalam hadits-hadits tersebut nabi Muhammad
melaksanakan gadai (rahn) ketika sedang di Madinah. Ini menunjukkan
bahwa gadai (rahn) tidak terbatas hanya dalam perjalanan saja, tetapi juga
bagi orang yang tinggal di rumah. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur
ulama. Sedangkan menurut Imam Mujahid, Dhahhak, dan Zhahuriyah,

31
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat. Amzah. Jakarta, 2019, helm 288.
32
Petita, Kajian Ilmu Hukum dan Syariah. Lembaga Kajian Konstitusi Indonesia. Banda Aceh,
2018, hlm 130.
33
Abdurrahman Misno, Gadai dalam syariat Islam. Ad Deenar. 2018, hlm 27.

15
gadai (rahn) hanya dibolehkan bagi orang yang sedang dalam perjalanan,
sesuai dengan ayat 283 surah Al-Baqarah tersebut. 34
Para Ulama di Indonesia melalui Dewan Syari’ah Nasional juga
telah mengeluarkan fatwa mengenai gadai, yaitu Fatwa No: 25/DSN-
MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman
dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn
diperbolehkan.Dari dalil-dalil yang disebutkan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa gadai adalah sebuah akad yang dibolehkan dalam
Islam, adapun hukumnya adalah Jaiz (boleh) dan bukanlah sesuatu yang
wajib. Mengenai waktu dan tempatnya maka para ulama sepakat akad
gadai dapat dilaksanakan ketika waktu safar (perjalanan) dalam keadaaan
tidak mendapati adanya seorang penulis dan juga jumhur ulama
berpendapat bolehnya dilaksanakan dalam keadaan menetap (mukim),
karena Nabi sendiri melakukan akad gadai ketika beliau menetap di
Madinah, adapun Imam Mujahid dan Adh-Dhahak yang berpendapat
bahwa gadai hanya terjadi ketika safar saja telah terbantahkan dengan
perbuatan (fi'l) Nabi.Adapun hukum dari akad gadai sendiri seperti
pendapat Rahmat Syafe'i yang menukil pendapat dari Ibnu Qudamah yang
mengatakan bahwa hukum gadai tidaklah wajib karena hukum hutang
sendiri tidaklah wajib. 35
Dasar hukum gadai dalam Al-Qur’an adalah firman Allah SWT
dalam QS. Al-Baqarah ayat 283:

َ‫ضةٌ فَ ِإ ْن أَ ِمن‬
َ ‫َان َّم ْقبُو‬ٌ ‫سفَر َولَ ْم ت َِجدُو ْا كَا ِتبا ً فَ ِره‬ َ ‫علَى‬ َ ‫َو ِإن كُنت ُ ْم‬
َ‫ّللا َربَّهُ َوالَ تَ ْكتُ ُمواْ ال َّش َها َدة‬
َ‫ق ه‬ ِ َّ‫ضكُم َب ْعضا ً فَ ْلي َُؤ ِده الَّذِي اؤْ تُ ِمنَ أَ َمانَتَهُ َو ْل َيت‬ ُ ‫َب ْع‬
﴾٢٨٣﴿ ‫ع ِلي ٌم‬ َ َ‫ّللاُ ِب َما تَ ْع َملُون‬ ‫َو َمن َي ْكت ُ ْم َها فَإِنَّهُ آ ِث ٌم قَ ْلبُهُ َو ه‬
” Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis maka hendaklah
ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi
ada sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya). Dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu(para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-
Baqarah, ayat 283). 36

34
Ibid , hlm 289.
35
Abdurrahman Misno, Gadai dalam Syariat Islam. Ad Deenar. 2018, hlm 29.
36
Petita, Kajian Ilmu Hukum dan Syariah. Lembaga Kajian Konstitusi Indonesia. Banda Aceh,
2018, hlm 130.

16
Jadi kesimpulan dari tiga pendapat di atas adalah hukum gadai atau
rahn itu diperbolehkan dalam Islam dan tidaklah wajib karena rahn telah
ada sejak zaman nabi Muhammad bahkan nabi pun melakukannya sewaktu
menetap di Madinah.

B. Rukun dan Syarat Gadai


1. Rukun Gadai
Gadai memiliki 4 unsur, yaitu Rahin (orang yang memberikan
gadai), Murtahin (orang yang menerima gadai), Marhun atau Rahn (harta
yang digadaikan untuk menjamin utang), dan Marhun bih (utang). Akan
tetapi, untuk menetapkan rukun Gadai, Hanafiah tidak melihat kepada
keempat unsur tersebut, melainkan melihat kepada pernyataan yang
dikeluarkan oleh para pelaku gadai, yaitu Rahin dan Murtahin. Oleh
karena itu, seperti halnya dalam akad-akad lain, Hanafiah menyatakan
bahwa rukun Gadai adalah ijab dan qabul yang dinyatakan oleh Rahin dan
Murtahin. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun Gadai ada empat,
yaitu Aqid, Shighat, Marhun, dan Marhun bih.37
Tidak akan sah suatu akad tanpa adanya unsur-unsur yang menjadi
rukun gadai sebagai sebuah akad perjanjian hutang piutang harus
memenuhi rukun dan syarat-syarat tertentu. Adapun rukun dari gadai
adalah :
a. Orang yang berakad, mereka adalah dua orang yang berakad Rahin
dan Murtahin (pemilik piutang yang menguasai harta gadai sebagai
jaminan hutangnya).
b. Ma’qud alahi, yaitu harta benda yang menjadi barang jaminan serta
hutang sebagai pinjaman rahin.
c. Shighat, yaitu lafadz yang terdiri dari ijab dan qabul dari kedua pihak
yang melakukan transaksi gadai. 38
Jumhur (kebanayakan) ulama berpendapat bahwa rukun gadai ada
empat macam yaitu pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin),
barang jaminan (marhun), utang (marhunbih) dan Sighat (ijab dan
qabul).Namun menurut Hanafiyah yang menjadi rukun gadai hanya satu
yaitu ijab dan qabul antara Rahin dan Murtahin. Karena sighat menurut
hanafiyah merupakan hakikat dari sebuah transaksi, selain Sighat bukanlah
termasuk rukun melainkan syarat dalam transaksi. 39

37
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat. Amzah. Jakarta, 2019, hlm 290.
38
Abdurrahman Misno, Gadai dalam Syariat Islam. Ad Deenar. 2018, hlm 29.
39
Adanan Murroh Nasution, Gadai Dalam Persepektif Hukum Ekonomi Islam. Yurisprudentia.
2019, hlm 139.

17
Berdasarkan pendapat ulama di atas dapat disimpulkan bahwa
rukun gadai ada 5 unsur yakni rahin yaitu si pemberi gadai, Murtahin yaitu
si penerima gadai, Marhun yaitu barang atau harta yang digadaikan,
Marhun bih yaitu utang dan Sighat yaitu Ijab dan Qabul.
2. Syarat Gadai
- Syarat ‘Aqid
Syarat yang harus dipenuhi oleh ‘aqid dalam gadai yaitu rahin dan
murtahin, adalah akhliyah (kecakapan ). Kecakapan menurut Hanafiah
adalah kecakapan untuk melakukan jual beli. Artinya, setiap orang yang
dah melakukan jual beli, sah pula melakukan gadai, hal ini dikarenakan
rahn atau gadai adalah suatu tasarruf yang berkaitan dengan harta, seperti
halnya jual beli. Sedangkan menurut jumhur ulama selain Hanafiah,
kecakapan dalam gadai sama dengan kecakapan untuk melakukan jual beli
dan akad tabarru’. Hal ini dikarenakan akad gadai adalah akad tabarru’.
Oleh karena itu, tidak sah akad gadai yang dilakukan oleh orang yang
dipaksa, anak di bawah umur, gila, boros, dan pailit. 40
Syarat yang terkait dengan orang yang berakal adalah cakap
bertindak hukum, mereka itu menurut jumhur ulama adalah orang yang
telah baligh dan berakal. Tetapi menurut ulama mazhab Hanafi, kedua
belah pihak yang berakal tidak disyaratkan baligh, melainkan cukup
berakal saja. Oleh sebab itu menurut mereka, anak kecil yang mumayiz
boleh melakukan akad rahn dengan syarat akad rahn yang dilakukan anak
tersebut mendapat persetujuan dari walinya. 41
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh dua orang yang berakad
adalah faham dengan akad yang dilaksanakan, yang berarti sudah baligh,
berakal dan tidak gila. 42
Jadi kesimpulan dari tiga pendapat di atas adalah syarat ‘aqid yaitu
syarat yang harus dipenuhi oleh Rahin dan Murtahin yakni kecakapan,
berakal, baligh dan tidak gila.
- Syarat Shighat
Menurut Hanafiah, Shighat gadai tidak boleh digantungkan dengan
syarat, dan tidak disandarkan kepada masa yang akan datang hal ini
dikarenakan akad gadai menyerupai akad jual beli, dilihat dari aspek
pelunasan utang. Apabila akad gadai digantungkan kepada syarat atau
disandarkan kepada masa yang akan datang, maka akad menjadi fasid
seperti halnya jual beli. Apabila akad gadai disertai dengan syarat yang

40
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat. Amzah. Jakarta, 2019, hlm 290-291.
41
Agus Salim NST, Aspek Sosial Dalam Gadai. Jurnal. Riau, 2012, hlm 4.
42
Abdurrahman Misno, Gadai dalam Syariat Islam. Ad Deenar. 2018, hlm 30.

18
fasid atau batil maka hukum gadai ya sah, tetapi syaratnya batal karena
gadai bukan akan mu’awadhah maliyah. Makiliyah berpendapat bahwa
syarat yang tidak bertentangan dengan tujuan akad hukumnya sah. Adapun
syarat yang bertentangan dengan tujuan akad maka syarat tersebut fasid
dan dapat membatalkan akad gadai. 43
Syarat pada sighat (lafadz), hendaknya lafadz dalam ijab qabul itu
jelas dan dapat dipahami oleh pihak yang berakad, ulama Hanafiyah
mensyaratkan bahwa sighat gadai hendaknya tidak terkait dengan sesuatu
syarat dan tidak dilakukan di waktu yang akan datang. Hal ini karena akad
gadai mirip dengan akadbjual beli. Adapun lafadz gadai dapat berupa
ucapan "aku gadaikan harta bendaku" dll. Boleh juga tanpa lafadz tertentu
namun tetap mengindikasikan akad gadai. 44
Syarat sigah (lafal). Ulama Mazhab Hanafi mengatakan dalam
akad rahn tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentuu atau dikaitkan
dengan masa yang akan datang, karena akad rahn sama dengan akad jual
beli. Apabila akad tersebut dibarengi dengan syarat tertentu atau dikaitkan
dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal, sedangkan akadnya
sah. Ulama Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hanbali
mengatakan bahwa apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung
kelancaran akad tersebut, maka syarat tersebut dibolehkan, tetapi apabila
syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn, maka syaratnya batal. 45
Dari persyaratan Shighat dapat disimpulkan bahwa Shighat gadai
tidak dapat digantungkan dengan syarat tertentu atau di sandarkan dengan
masa yang akan datang, hendaknya lafadz dalam ijab qabul itu harus jelas
dan mudah dipahami, dikarenakan akad gadai sama dengan akad jual beli.
- Syarat Marhun
Para ulama sepakat bahwa syarat-syarat Marhun (barang yang
digadaikan) sama dengan syarat-syarat jual beli. Artinya, semua barang
yang sah di perjual belikan dah pula digadaikan. Makiliyah
mengemukakan syarat secara umum, yaitu bahwa setiap barang yang
diperjualbelikan, sah pula digadaikan. Hanya saja ada pengecualian yaitu
dalam barang-barang yang ada gharar (tipuan) karena belum jelas adanya,
seperti janin yang masih dalam perut induknya. 46

43
Ibid, 292.
44
Abdurrahman Misno, Loc.Cit., 30,
45
Agus Salim NST, Aspek Sosial Dalam Gadai. Jurnal. Riau, 2012, hlm 5.
46
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat. Amzah. Jakarta, 2019, hlm 292-294.

19
Marhun (barang yang dijadikan jaminan) disyaratkan harus berupa
barang yang bisa diperjual belikan, bernilai, bisa dimanfaatkan menurut
syara’, dapat diketahui fisiknya dan benda itu sepenuhnya milik rahin. 47
Syarat bagi barang jaminan adalah hendaknya barang tersebut ada
ketika akad berlangsung, namun boleh juga dengan menunjukan bukti
kepemilikannya seperti surat-surat tanah, kendaraan dll. Dan barang gadai
tersebut dapat dipegang/dikuasai oleh murtahin atau wakilnya. Selain itu,
barang gadai tersebut hendaknya adalah barang yang bernilai harta dalam
pandangan Islam, karena itu tidak sah menggadaikan barang-barang haram
semisal khamr (Minuman keras). Demikian juga hendaknya barang
tersebut harus utuh, bukan hutang, barang tersebut adalah barang yang
didagangkan atau dipinjamkan, barang warisan dan barang tersebut
hendaknya bukan barang yang cepat rusak. 48
Berdasarkan ketiga pendapat di atas maka dapat di ketahui bahwa
syarat Marhun yaitu harus jelas adanya, barang yang dapat di perjual
belikan, bisa dimanfaatkan, utuh, bukan barang hutang, dan juga bukan
barang yang cepat rusak. Dan pada saat berakad barang yang digadaikan
harus ada secara fisik.
- Syarat Marhun bih
Marhun bih adalah suatu hak yang karenanya barang gadaian
diberikan sebagai jaminan kepada rahin. Menurut Hanafiah, Marhun bih
harus memenuhi syarat yaitu harus berupa hak yang wajib diserahkan
kepada pemiliknya, pelunasan utang memungkinkan untuk diambil dari
Marhun bih, hak Marhun bih harus jelas (ma’lum) tidak boleh majhul
(samar/tidak jelas). Syafi’iyah dan Hanabilah mengemukakan 3
syarat,yaitu Marhun bih harus berupa utang yang tetap dan wajib, utang
haru mengikat (lazim) baik pada saat akad maupun pada masa yang akan
datang, dan utang harus jelas atau ditentukan kadarnya dan sifatnya bagi
para pelaku akad. 49
Syarat Marhun Bih, marhun bih adalah hak yang diberikan oleh
Murtahin kepada Rahin ketika terjadi akad gadai, para ulama selain
Hanafiyah mensyaratkan bahwa Marhun bih hendaknya adalah berupa
hutang baik hutang ataupun barang, dan dapat dibayarkan (dikembalikan)
serta benda tersebut milik murtahin. 50 Syarat al-marhun bih (utang) ialah

47
Adanan Murroh Nasution, Gadai Dalam Persepektif Hukum Ekonomi Islam. Yurisprudentia.
2019, hlm 139.
48
Abdurrahman Misno, Gadai dalam Syariat Islam. Ad Deenar. 2018, hlm 30.
49
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat. Amzah. Jakarta, 2019, hlm 295.
50
Abdurrahman Misno, Gadai dalam Syariat Islam. Ad Deenar. 2018, hlm 30.

20
merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada kreditor, utang itu bisa
dilunasi dengan agunan tersebut, dan utang itu jelas dan tertentu. 51
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa syarat utang adalah
hak yang wajib dikembalikan, pelunasan utang tersebut dapat diambil dari
Marhun bih, utang harus jelas dan utang tersebut dalam milik Murtahin.
- Syarat Kesempurnaan Rahn : Penerimaan Marhun
A. Status Penerimaan (Qabdh)
Secara umum para fuqaha sepakat bahwa penerimaan (Qabdh) atas
barang yang digadaikan merupakan syarat yang berlaku untuk akad gadai
(rahn). Menurut jumhur ulama penerimaan (Qabdh), bukan syarat sah
melainkan syarat mengikatnya gadai. Dengan demikian, akad gadai belum
mengikat kecuali setelah barang gadaian diterima oleh Murtahin selama
barang belum diterima maka rahin dibolehkan untuk mundur dari akad.
Akan tetapi, apabila Rahin telah menyerahkan barang dan diterima oleh
Murtahin, maka akad gadai telah mengikat dan Rahin tidak boleh
membatalkannya secara sepihak. Menurut malikiyah, Qabdh bukan
merupakan syarat sah atau syarat lazim, melainkan hanya merupakan
syarat kesempurnaan saja. Apabila akad gadai telah dilakukan dengan ijab
dan qabul maka akad gadai telah mengikat, dan Rahin dipaksa untuk
menyerahkan barang jaminannya kepada Murtahin. 52
Syarat ini menjadi penting karena Allah SWT dalam surah al-
Baqarah (2) ayat 283 menyatakan: “fa rihan maqbudah” (barang jaminan
itu dipegang/dikuasai (secara hukum). Apabila agunan itu telah dikuasai
oleh kreditor, maka akad rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak.
Oleh sebab itu, utang tersebut terkait dengan agunan, sehingga apabila
utang tidak dapat dilunasi, agunan dapat dibayar dan utang tersebut
dibayar. Apabila dalam penjualan agunan tersebut ada kelebihan uang,
maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya. 53
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa gadai dianggap sempurna
apabila barang yang digadaikan itu secara hukum sudah berada di tangan
penerima gadai, dan uang yang dibutuhkan telah diterima oleh pemberi
gadai. Kesempurnaan gadai oleh ulama Hanafiyah disebut sebagai Al-qabd
al-marhun barang jaminan dikuasai secara hukum, apabila jaminan itu

51
Agus Salim NST, Aspek Sosial Dalam Gadai. Jurnal. Riau, 2012, hlm 5
52
Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit., 296.
53
Agus Salim NST, Op.Cit., 6.

21
telah dikuasai oleh kreditor maka akad Rahn itu mengikat kedua belah
pihak.54
Berdasarkan uraian di atas, status penerimaan atau Qabdh di
anggap mengikat gadai apabila barang jaminan atau barang gadaian telah
di terima oleh Murtahin atau penerima gadai, apabila barang jaminan atau
barang gadaian belum di terima oleh Murtahin, maka pihak Rahin
dibolehkan undur mundur dari akad.
B. Cara Penerimaan
Para fuqaha sepakat bahwa cara penerimaan (Qabdh) untuk benda
tetap adalah dengan penyerahan secara langsung atau dengan
pengosongan, yakni dengan menghilangkan hal-hal yang menghalangi
penerimaan (Qabdh)vatay adanya kemungkinan untuk menetapkan
kekuasaan atas barang dengan menghilangkan penghalangnya. Sedangkan
untuk penerimaan benda berdetak, menurut riwayat yang zhahur dari
Hanafiah, cukup dengan takhliyah atau pemberian peluang untuk
melakukan tasarruf. Menurut Imam Aku Yusuf, penerimaan dalam benda
bergerak tidak cukup dengan takhliyah, melainkan harus dengan cara
dipindahkan. Selama benda tersebut belum dipindahkan, murtahin belum
di anggap sebagai Qabdh (pemegang). 55
Meletakan Gadai atas kebendaan yang bergerak pada umumnya
dilakukan dengan cara membawa kebendaan yang hendak digadaikan
tersebut dan selanjutnya menyerahkan kebendaan yang bergerak secara
fisik kepada kreditur pemegang gadai untuk dijadikan sebagai pemegang
utang. Sedangkan gadai atas kebendaan bergerak yang tidak berwujud
pada dasarnya dilakukan dengan cara harus diberitahukan kepada orang
yang berkewajiban melaksanakanya dan juga dapat menuntut supaya ada
bukti yang tertulis dari pemberitahuan dan izinnya pemberi gadai. 56
Syarat tetapnya akan rahn. Akad rahn telah tetap bilamana marhun
(barang gadai) diterima oleh Murtahin (penerima gadai) dengan terjadinya
ijab dan qabul. Untuk sempurna dan mengikadnya akad rahn, masih
diperlukan apa yang disebut penguasaan barang oleh kreditor (al-qabdh),
sementara kedua pihak yang melaksanakan akad, dan harta yang dijadikan

54
Mahmudi, Pemikiran Ulama Hanafiyah Tentang Pemanfaatan Barang Gadai. Jurnal. 2013, hlm
535.
55
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat. Amzah. Jakarta, 2019, hlm 297-298.
56
Vallen Aumaila, Jullie J. Sondakh, Sherly Pinatik, Evaluasi Pengendalian Internal Barang
Jaminan Gadai Pada Pt. Pegadaian Persero Cabang Malalayang. Jurnal. Manado, 2018, hlm 317.

22
agunan atau jaminan, dalam pandangan ulama Hanafiyah lebih tepat
dimasukkan syarat rahn, bukan rukun rahn. 57
Berdasarkan ketiga penjelasan di atas, dapat di pahami bahwa cara
penerimaan barang gadai yaitu apabila barang tersebut adalah barang
bergerak maka wajib membawa barang tersebut saat melaksanakan ijab
qabul, namun apabila barang tersebut adalah barang tidak bergerak
contohnya rumah dan tanah maka yang dibawa cukup sertifikat rumah dan
tanah tersebut.
C. Syarat-syarat Penerimaan (Qabdh)
 Harus ada izin rahin.
 Baik rahin maupun murtahin harus memiliki ahliyatul ada’
(kecakapan) melakukan akad.
 Murtahin harus tetap memegang (menguasai) barang
gadaian. 58
Untuk sahnya penerimaan harus dipenuhi beberapa syarat yaitu
harus ada izin rahin, baik rahin maupun murtahin harus memiliki ahlyatul
ada’, murtahin harus tetap memegang (menguasai) barang gadaian. 59
Harus ada izin rahin. Para ulama sepakat bahwa untuk keabsahan
penerimaan (qabdh) disyaratkan adanya izin dari rahin (orang yang
menggadaikan) untuk qabdh (penerima/memegang). Baik rahin maupun
murtahin harus memiliki ahliyatul ada’ (kecakapan) melakukan akad,
antara lain harus baligh dan berakal, tidak mahjur „alaih, seperti gila,
masih di bawah umur, boros, atau pailit. Hal ini juga disepakati oleh para
fuqaha mazhab empat. Murtahin harus tetap memegang (menguasai)
barang gadaian. Menurut Hanafiah, Malikiyah dan Hanabilah, untuk
sahnya qabdh, murtahin harus tetap memegang rahn (barang gadaian), dan
ia tidak boleh mengembalikannya kepada rahin, meminjamkan,
menyewakan, atau menitipkannya. Apabila ia melakukan hal-hal tersebut,
maka menurut Hanafiah dan Malikiyah, akad gadai menjadi batal. Akan
tetapi, menurut Hanabilah akad gadai masih tetap, tetapi tidak mengikat
(ghair lazim), seperti belum terjadi penerimaan (qabdh). 60
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat
penerimaan ada 3, yaitu adanya izin dari rahin, baik rahin maupun

57
Mahmudi, Pemikiran Ulama Hanafiyah Tentang Pemanfaatan Barang Gadai. Jurnal. 2013, hlm
534.
58
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat. Amzah. Jakarta, 2019, hlm 298-300.
59
Toto Febriyanto, Praktik Gadai Dengan Jaminan Motor Kredit Perspektif Hukum Ekonomi
Syariah. Skripsi. Lampung, 2020, hlm 26.
60
Diani Oktami, Pelaksanaan Sistem Lelang Barang Jaminan Pada Unit Pengadaian Syariah
Semangka Kota Bengkulu. Skripsi. Bengkulu, 2017, hlm 39-40.

23
murtahin harus memiliki kecakapan dalam berakad, dan murtahin harus
tetap memegang atau menguasai barang gadaian tersebut.
D. Orang Yang Berkuasa Atas Borg
Orang yang berkuasa untuk menerima borg atau barang gadaian
adalah murtahin atau wakilnya. Orang yang mewakili murtahin harus
orang selain rahin. Apabila rahin merasa keberatan borg atau barang
gadaiannya dipegang oleh murtahin atau murtahin sendiri tidak mau
memegang dan menyimpannya, maka borg (barang gadaian) boleh
dititipkan kepada seseorang yang dipilih dan disepakati oleh rahin dan
murtahin. Orang itu disebut „adl. Ia („adl) yang menerima borg (barang
gadaian) dan menyimpan serta menjaganya. „Adl adalah orang yang
dipercaya oleh rahin dan murtahin untuk memegang barang gadaian,
menjaga, dan menguasainya. Ia dianggap sebagai wakil dari rahin dan
sekaligus murtahin. 61
Orang yang berkuasa untuk menerima borg atau barang gadaian
adalah murtahin atau wakilnya. Orang yang mewakili murtahin harus
orang selain rahin. Apabila yang mewakili itu rahin maka hukumnya tidak
sah, karena tujuan penerimaan (qabdh) adalah untuk menimbulkan rasa
aman bagi murtahin atas utang yang ada pada rahin. Apabila rahin merasa
keberatan borg atau barang gadaiannya dipegang oleh murtahin atau
murtahin sendiri tidak mau memegang dan menyimpannya, maka borg
(barang gadaian) boleh dititipkan kepada seseorang yang dipilih dan
disepakati oleh rahin dan murtahin. Orang itu disebut adl. Ia (adl) yang
menerima borg (barang gadaian) dan menyimpan serta menjaganya. 62
Orang yang berkuasa untuk menerima borg atau barang gadaian
adalah murtahin atau wakilnya. Orang yang mewakili murtahin harus
orang selain rahin. Apabila yang mewakili itu rahin maka hukumnya tidak
sah, karena tujuan penerimaan adalah untuk menimbulkan rasa aman bagi
murtahin atas utang yang ada pada rahin.
Apabila rahin merasa keberatan borg atau barang gadaiannya
dipegang oleg murthin atau murtahin itu sendiri tidak mau memegang dan
menyimpannya, maka borg atau barang gadaian boleh dititipkan kepada
seseorang yang dipilih dan disepakati oleh rahin dan murtahin. Orang itu
disebut adl. Ia (adl) yang menerima borg (barang gadaian) dan menyimpan
serta menjaganya.

61
Diani Oktami, Pelaksanaan Sistem Lelang Barang Jaminan Pada Unit Pengadaian Syariah
Semangka Kota Bengkulu. Skripsi. Bengkulu, 2017, hlm 40-41
62
Toto Febriyanto, Praktik Gadai Dengan Jaminan Motor Kredit Perspektif Hukum Ekonomi
Syariah. Skripsi. Lampung, 2020, hlm 26

24
 Kedudukan ‘adl dan syarat-syaratnya
‘Adl adalah orang yang dipercaya oleh rahin dan murtahin untuk
memegang barang gadaian, menjaga dan menguasainya. Syarat yang
diperlukan bagi ‘Adl adalah amanah, tanggungjawab, dan kecakapan.
 Pemberhentian ‘Adl
Permintaan berhenti oleh ‘Adl, habisnya kekuasaan ‘Adl, dijualnya
barang gadaian dan dibayarnya utang dari harga penjualan, meninggalnya
rahin, meninggalnya ‘Adl, ‘Adl terkena penyakit gila yang sulit
disembuhkan, dan ‘Adl dipecat atau diberhentikan oleh rahin.
 Hukum ‘Adl dan Hak serta Kewajibannya
‘Adl wajib menjaga borg seperti ia menjaga hartanya sendiri, ‘Adl
harus tetap memegang borg ditangannya dan tidak memberikannya kepada
orang lain, ‘Adl tidak diperbolehkan mengambil manfaat atas rahn, apabila
borg rusak ditangan ‘Adl maka hal tersebut sama dengan kerusakan di
tangan murtahin, dan menurut hanafiah ‘Adl diberi kekuasaan untuk
menjual borg tidak boleh melepaskan diri dari tugasnya kecuali dengan
persetujuan murtahin. 63
Dari materi di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang berkuasa
atas borg atau barang gadaian adalah murtahin atau wakilnya yaitu ‘adl,
dan apabila rahin tidak setuju barang gadainya dipegang oleh murtahid,
maka.

C. Hukum-Hukum Gadai dan Dampaknya


1. Hukum-hukum Gadai
- Hukum Gadai yang Shahih
Akad gadai mengikat bagi rahin, bukan bagi murtahin. Oleh karena
itu, rahin tidak berhak untuk membatalkan akad karena gadai merupakan
akad jaminan atas utang. Sebaliknya, murtahin berhak untuk membatalkan
akad gadai kapan saja Ia kehendaki, karena akad tersebut untuk
kepentingannya. Menurut jumhur ulama yang terdiri atas hanafiah,
syafi’iyah, dan hanabilah, akad gadai baru mengikat dan menimbulka
akibat hukum apabila borg telah diserahkan. Sebelum borg diterima oleh
murtahin maka rahin berhak untuk meneruskan akad atau
membatalkannya. Menurut makiliyah, akad gadai mengikat dengan
terjadinya ijab dan qabul, dan sempurna dengan terlaksananya penerimaan.
Dengan demikian, apabila ijab dan qabul telah dilaksanakan maka akad

63
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat. Amzah. Jakarta, 2019, hlm 300-303

25
langsung mengikat, dan rahin dipaksa untuk menyerahkan barang gadaian
kepada murtahin. 64
Berkenaan dengan menggadaikan barang pinjaman para fuqaha
sepakat bahwa seorang boleh meminjam harta milik orang lain untuk ia
gadaikan dengan izin si pemilik harta tersebut sedangkan marhun bihi
adalah utang si peminjam. Karena di sini berarti pemilik harta tersebut
adalah mutabrri’ (orang yang berderma) dengan menguasakan harta yang
ada kepada pihak peminjam, dan sudah diketahui bersama bahwa
seseorang bebas mentasharrufkan harta miliknya. Oleh karena itu, ia boleh
menetapkan kepemilikan dan kekuasaan atas harta miliknya kepada orang
lain (itsbat milkil „ain wal yad) melalui jalur hibah misalnya, seperti
halnya ia juga boleh menetapkan kekuasaan saja atas harta miliknya
kepada orang lain (itsbat yad) seperti meminjamkan kepada orang lain
untuk digadaikan oleh si peminjam. 65
Syarat Sah dan Rukun Gadai Syariah, sebelum dilakukan rahn,
terlebih dahulu dilakukan akad. Akad menurut Mustafa az-Zarqa’ adalah
ikatan secara hukum yang dilakukan oleh 2 pihak atau beberapa pihak
yang berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak pihak yang
mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Karena itu, untuk
menyatakan keinginan masing-masing diungkapkan dalam suatu akad. 66
Berdasarkan ketiga pendapat diatas, dapat dipahami bahwa syarat
gadai yang shahih adalah akad yang apabila syarat-syaratnya sudah
terpenuhi, yaitu apabila barang yang akan dijaminkan telah jatuh ke tangan
murtahin apabila barang jaminan belum jatuh ke tangan murtahin maka
akad di katakan tidak sah.
- Hukum Gadai yang Fasid
Para ulama mazhab sepakat bahwa akad gadai yang tidak shahih,
baik fasid maupun batil tidak menimbulkan akibat-akibat hukum berkaitan
dengan barang yang digadaikan. Dalam hal ini murtahin tidak memiliki
hak untuk menahan borg, dan rahin berhak meminta kembali barang yang
digadaikannya dari murtahin.
Menurut syafi’iyah dan hanabilah, hukum gadai yang fasid sama
dengan akad yang shahih dalam hal ada dan tidak adanya tanggungjawab.
Hal tersebut dikarenakan apabila suatu akad yang shahih menghendaki

64
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat. Amzah. Jakarta, 2019, hlm 289.
65
Toto Febriyanto, Praktik Gadai Dengan Jaminan Motor Kredit Perspektif Hukum Ekonomi
Syariah. Skripsi. Lampung, 2020, hlm 36-37.
66
Pamonaran Manahaar, Implementasi Gadai Syariah (Rahn) Untuk Menunjang Perekonomian
Masyarakat di Indonesia. Dialogia Iuridica. 2019, hlm 101.

26
adanya pergantian setelah terjadinya penyerahan, apalagi dalam akad yang
fasid. Apabila dalam akad yang shahih murtahin tidak bertanggungjawab
atas rusaknya borg yang bukan karena kelalaian atau keteledorannya,
maka demikian pula halnya dalam akad gadai yang fasid. 67
Rahn fasid adalah rahn yang tidak memenuhi persyaratan tersebut.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahn ghair sahih terbagi menjadi
dua, yaitu pertama Batal atau tidak memenuhi persyaratan pada asal akad,
seperti aqid tidak ahli. Kedua Fasid atau tidak terpenuhinya persyaratan
pada sifat akad, seperti borg berkitan dengan barang lain. Jumhur ulama
fikih sepakat bahwa yang dikategorikan tidak sah dan menyebabkan akad
batal atau rusak, yaitu tidak adanya dampak hukum pada borg. Dengan
demikian murtahin tidak memiliki hak untuk menahannya. Begitu pula,
rahin diharukan meminta kembali borg. Pendapat ulama Malikiyah hampir
sama dengan pendapat Hanafiyah di atas, bahwa jika rahn didasarkan pada
akad fasid, murtahin lebih berahak atas barang dari pada orang-orang yang
memiliki piutang lainnya. Adapun jika borg rusak di tangan murtahin,
hukumnya sebagaimana pada rahn sahih. 68
Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa syarat rahn terbagi dua,
yaitu rahn shahih, dan rahn fasid adalah rahn yang didalamnya
mengandung persyaratan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau
dipalingkan pada sesuatu yang haram, seperti mensyaratkan barang harus
ada di bawah tanggung jawab rahin. 69
Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa hukum gadai
yang fasid ialah rahn yang tidak memenuhi syarat-syarat sifat dalam akad,
dalam hal ini pihak murtahin wajib mengembalikan borg kepada rahin,
apabila murtahin menolak mengembalikannya sampai borg atau barang
gadaian rusak, maka murtahin wajib menggantinya dengan barang yang
sama atau membayarnya dengan harga yang sama.
2. Akibat-akibat Hukum Rahn
Apabila sebuah akad rahn telah terpenuhi rukun dan syaratnya
maka membawa dampak yang harus dilakukan oleh murtahin dan juga
rahin, diantara dampak tersebut adalah
 Adanya hutang bagi rahin (penggadai).

67
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat. Amzah. Jakarta, 2019, hlm 306.
68
Indah Veronika, Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif Tentang Barang Gadai Yang
Dijadikan Hak Milik. Skripsi. Lampung, 2020, hlm 50-51.
69
Zakiatur Rahmah, Kajian Terhadap Praktik Gadai di Kalangan Masyarakat Kemukiman Jruek
Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar. Skripsi. Banda Aceh, 2018, hlm 27

27
 Penguasaan suatu barang yang berpindah dari rahin kepada murtahin.
Kewajiban untuk menjaga barang gadaian bagi murtahin.
 Biaya-biaya pemeliharaan harta gadai menjadi tanggung jawab rahin,
karena itu murtahin berhak untuk memintanya kepada rahin. 70
Akad rahn adalah suatu hak menahan harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan
memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya. Dalam hal ini Rahin menggadaikan barangnya dan akan
mendapatkan uang pinjaman sesuai dengan taksiran barang tersebut. Pihak
pegadaian berkewajiban memberi uang pinjaman dan menjaga barang
yang digadaikan oleh nasabah, sedangkan nasabah berkewajiban
menyerahkan barang gadai dan membayar ujrah serta melunasi utangnya
sebelum jatuh tempo. Akad rahn tersebut menciptakan suatu hubungan
hukum antara nasabah dan lembaga pegadaian. Adanya hubungan hukum
antara subyek hukum yang saling mengikatkan dirinya dengan adanya
perjanjian yang menimbulkan akibat hukum, maka munculah hak dan
kewajiban yang akan mengikat para pihak. 71
Apabila akad gadai telah sempurna dengan diserahkannya barang
yang digadaikan kepada murtahin, maka timbullah hukum-hukum sebagai
berikut :
- Adanya Hubungan Antara Utang dengan Borg
Utang tersebut hanya sebatas utang yang diberikan jaminan (borg,
bukan utang-utang yang lainnya.
- Hak untuk Menahan Borg
Adanya hubungan antara utang dan borg memberikaan hak kepada
murtahin untuk menahan borg di tangannya atau ditangan orang lain yang
disepakati bersama yang disebut dengan ‘adl dengan tujuan untuk
mengamankan utang. Apabila utang telah jatuh tempo maka borg bisa
dijual untuk membayar utang.
- Menjaga Borg
Dengan adanya hak untuk menahan borg, maka murtahin wajib
menjaga borg tersebut, seperti ia menjaga hartabta sendiri, karena borg
tersebut merupakan titipan dan amanah. Demikian pula istrinya, anak-
anaknya serta pembantunya yang tinggal bersamanya juga diwajibkan
untuk menjaga borg tersebut.

70
Abdurrahman Misno, Gadai dalam Syariat Islam. Ad Deenar. 2018, hlm 30-31
71
Rabbiyatussha Farani, Nunung Rodliyah, Nilla Nargis, Akibat Hukum Gadai Syariah Dalam
Sistem Ekonomi Islam. Pactum Law Journal. 2018, hlm 485-486

28
- Pembiayaan Atas Borg
Para ulama sepakat bahwa pembiayaan atas borg dibebankan
kepada rahin. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang jenis
pembiayaan yang wajib dikeluarkan oleh rahin. Menurut ulama hanafiah,
pembiayaan dibagi antara rahin selaku pemilik barang, dan muntahin
selaku yang dibebani pemeliharaannya. Menurut jumhur ulama, semua
biaya yang berkaitan dengan borg dibebankan kepada rahin, baik yang
berkaitan dengan biaya menjaganya, pengobatannya, maupun biaya
lainnya.
- Mengambil Manfaat terhadap Borg
Ada dua hal yang patut dibicarakan dalam masalah ini, yaitu
a. Pemanfaatan oleh rahin
Menurut hanafiah dan hanabilah, rahin tidak boleh mengambil
manfaat atas borg kecuali dengan persetujuan murtahin. Malikiyah tidak
memperbolehkan pemanfaatan oleh rahin secara mutlak. Bahkan menurut
mereka apabila murtahin mengizinkan kepada rahin untuk mengambil
manfaat atas borg, maka gadai menjadi batal. Sedangkan menurut
syarfi’iyah berpendapat bahwa boleh mengambil manfaat atas borg, asal
tidak mengurangi nilai borg tersebut.
b. Pemanfaatan oleh murtahin
Menurut hanafiah, murtahin tidak boleh mengambil manfaat atas
borg dengan cara apapun kecuali atas izin rahin. Hal tersebut dikarenakan
murtahin hanya memiliki hak menahan borg bukan memanfaatkannya.
Menurut makiliyah, apabila rahin mengizinkan kepada murtahin untuk
memanfaatkan borg atau murtahin mensyaratkan boleh mengambil
manfaat maka hal itu dibolehkan, apabila utangnya karena jual beli atau
semacamnya. Akan tetapi, apabila utangnya karena qardh maka hal itu
tidak diperbolehkan. Hanabilah berpendapat, untuk borg selain binatang
yang tidak memerlukan biaya, seperti makan, rumah, barang-barang, dan
lain-lain, murtahin tidak boleh mengambil manfaat kecuuali dengan
persetujuan rahin.
- Tasarruf (Tindakan Hukum) terhadap Rahn
Tasarruf (tindakan hukum) terhadap rahn (borg) bisa timbul dari
rahin atau murtahin.
a. Tasarruf oleh rahin
Menurut hanafiah, syafi’iyah, dan hanabilah, tasarruf oleh rahin
terhadap borg sebelum barang diserahkan (diterima) hukumnya boleh

29
dilangsungkan tanpa izin murtahin, karena pada saat itu borg tidak ada
kaitannya dengan hak murtahin. Sedangkan malikiyah berpendapat bahwa
akad gadai mengikat setelah dilakukannya ijab dan qabul, dan rahin bisa
dipaksa untuk menyerahkan borg kepada murtahin, maka malikiyah
memperbolehkan dilakukannya tasarruf terhadap borg sebelum barang
diterima. Apabila borg telah diserahkan kepada murtahin maka secara
global, menurut para ulama, rahin tidak boleh melakukan tasarruf terhadap
borg, kecuali dengan persetujuan murtahin.
b. Tasarruf oleh murtahin
Seperti halnya rahin, murtahin juga tidak diperbolehkan untuk
melakukan tasarruf terhadap borg tanpa izin dari rahin. Hal itu
dikarenakan murtahin tidak memiliki nilai mal-nya. Murtahin hanya
memiliki hak untuk menahan barang tersebut dan tidak berhak
mengalihkannya kepada orang lain. Menurut hanafiah dan malikiyah,
hukun akad tasarruf-nya maquf, sedangkan menurut syafi’iyah dan
hanabilah batal, sedangkan akad gadainya rahn hukumnya tetap sah.
- Tanggungjawab Rahn
Menurut hanafiah, tanggungjawab murtahin terhadap borg bersifat
amanah dilihat dari sisi zat bernda yang digadaikan, dan bersifat dhaman
(penggantian kerugian) dilihat dari sisi nilai harta yang bisa digunakan
untuk membayar utang. Konsekuensinya murtahin harus mengganti borg
dariutangnya, sehinggarahin bebas dari kewajiban membayar utang. Akan
tetapi, apabila nilai atau harga borg lebih tinggi dari jumlah utang, maka
tanggungjawab murtahin bersifat amanah, apabila kerusakan borg terjadi
bukan karena kelalaianmurtahin.
Menurut jumhur ulama selain hanafiah, tanggungjawab murtahin
terhadap borg bersifat amanah. Dengan demikian, murtahin tidak dibebani
ganti kerugian kecuali kerusakan borg terjadi karena kelalaian atau
keteledoran murtahin. Apabila borg hilang atau rusak ditangan murtahin
karena kelalaian atau keteledorannya maka murtahin wajib mengganti
kerugian, karena borg tersebut merupakan amanat di tangannya. 72
Dari beberapa uraian pendapat diatas, dapat diketahui bahwa
akibat-akibat hukum rahn itu sangat banyak, yaitu terdapat hubungan
utang dengan borg, berpindahnya hak menahan borg dari rahin ke
murtahin, kewajiban muntahin untuk menjaga borg, pembiayaan atas borg
yang dapat dilakukan oleh rahin maupun murtahin, rahin dan murtahin
tidak bisa mengambil manfaat terhadap borg dapat seizin rahin dan

72
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat. Amzah. Jakarta, 2019, hlm 306-312

30
murtahin itu sendiri, terdapanya tindakan hukum terhadap borg dari rahin
maupun murtahin, dan yang terakhir adalah tanggungjawab rahn.

D. Pertambahan Gadai
Harta gadai yang dapat bertambah karena suatu sebab seperti
hewan peliharaan yang bertelur atau melahirkan anaknya , pohon yang
berbuah ataupun hasil dari sewa rumah dari gadai maka para ulama
menyatakan tetap menjadi milik Rahin. Imam As-Syaukani mengatakan
bahwa pada zaman Jahiliyah murtahin mempunyai hak mutlak atas suatu
barang gadaian apabila rahin tidak membayarkan hutangnya dalam waktu
yang relatif lama lalu hal ini dihapuskan oleh Islam.
Imam As-San'ani berkomentar mengenai hadits ini katanya "
makna "yaghlaku " dalam riwayat ini adalah murtahin tidak berhak atas
barang gadaian jika pemiliknya tidak berkuasa dari menebusnya, dan
hadits ini juga membatalkan apa yang terjadi pada masa jahiliyah yaitu
murtahin mempunyai hak mutlak atas barang gadai, serta menjelaskan
bahwa hasil dari barang gadaian adalah milik rahin jika dia mengeluarkan
biaya pemeliharaannya.
Dari beberapa hadits di atas dapat disimpulkan bahwa harta benda
gadai tetap menjadi milik mutlak bagi rahin (penggadai), murtahin hanya
berhak atas jasa dari pemeliharaannya. Murtahin juga tidak boleh menjual,
menyewakan, menghibahkan atau memindahkan barang gadaian kepada
orang lain, pada barangbarang semisal hewan peliharaan murtahin boleh
menungganginya dan memerah susunya jika ia memberi makan hewan
tersebut. Sedangkan jka barang gadai berupa emas, perhiasan ataupun
barangbarang yang bisa rusak maka hendaknya murtahin tidak
menggunakannya kecuali dengan izin rahin. 73
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan,
ada kalnya bergabung dan ada kalanya berpisah. Apabila bergabung maka
ia termasuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama. Hanafiyah
berpendapat masuk ke rahn setiap pertambahan yang dilahirkan dari harta
pokok baik yang bergabung, ia termasuk barang gadai karena ia mengikut
kepadanya. Namun, tidak termasuk ar rahn pertambahan yang tidak
dilahirkan. Hanya saja ia tetap menjadi hak rahin.
Malikiyah berpendapat, masuk pada rahn setiap yang dilahirkan
yang bergabung dan tidak terpisah. Syafi’iyah berpendapat, masuk
kedalam rahn pertambahan yang berhubungan karena itu mengikut kepada
pokoknya. Namun, tidak termasuk kedalam rahn pertambahan yang

73
Abdurrahman Misno, Gadai dalam Syariat Islam. Ad Deenar. 2018, hlm 31-32.

31
terpisah. Hanabilah berpendapat, sesungguhnya sesuatu yang tumbuh dari
rahn, berhubungan ataupun pisah, yang dilahirkan atau tidak, termasuk
kedalam rahn yang berada dalam kekuassan murtahin. 74
Ulama fiqh sepakat bahwa tambahan yang timbul dan terjadi pada
borg adalah milik rahin, karena dialah pemilik aslinya, dan tambahan
tersebut merupakan tambahan atas miliknya itu. Menurut Hanafiah semua
tambahan yang timbul dan terjadi pada borg, termasuk kepada rahn, baik
yang berkaitan dengan rahn,seperti buah, susu, dan bulu, maupun yang
terpisah, seperti anak hewan. Adapun tambahan yang tidak ada kaitannya
dengan rahn seperti upah dan hasil bumi, tidak termasuk bagian dari rahn,
melainkan murni milik rahin, dan tidak ada kaitannya dengan utang
piutang karena hal tersebut merupakan hasil transaksi antara pemilik gadai
dengan pihak lain,bukan timbul dari harta (rahn). Pendapat ini diikuti juga
oleh Malikiyah dan Syafi'iyah. ke dalam rahn. Adapun tambahan yang
tidak sesuai dengan kejadian dan bentuk marhun (borg), baik yang timbul
dari borg seperi buah-buahan dari pohon, maupun yang terpisah, seperti
sewa rumah dan hasil bumi, tidak termasuk marhun.
Menurut Syafi'iyah, semua tambahan yang menyatu dengan
rahn,yakni tambahan yang merupakan sifat, seperti gemuk, besar, indah,
dan tumbuhnya buah, termasuk ke dalam rahn. Hal tersebut karena
tambahan tersebut mengikuti pokoknya (borg) dan tidak bisa dipisahkan
dari borg. Adapun tambahan atau pertumbuhan yang terpisah dari borg,
seperti anak hewan, bulu, susu, telor, atau sewa rumah, tidak termasuk ke
dalam rahn. Dengan demikian, tambahan tersebut milik rahin. Di samping
itu, ràhn adalah suatu akad yang tidak menghilangkan hak milik atas benda
yang digadaikan, sehingga dengan demikian, tambahan yang sifatnya
terpisah dari benda, tidak termasuk yang digadaikan.
Menurut Hanabilah, semua tambahan dan penghasilan dari benda
yang digadaikan (borg), baik yang menyatu atau yang terpisah, baik yang
timbul dari rahn atau tidak, merupakan bagian dari rahn (borg) yang ada di
tangan murtahin atau wakilnya, dan bisa dijual bersama-sama dengan
benda pokoknya untuk membayar utang apabila diperlukan. Hal itu karena
hubungan antara utang dengan harta yang digadaikan ditetapkan
berdasarkan akad, sehingga termasuk di dalamnya tambahan dan
manfat.Dengan demikian,hukum tambahan dan manfat tersebut sama
dengan hukum atas rahn (borg) itu sendiri. 75

74
Marni, Dampak Pengalihan Gadai Dalam Perspektif Hukum Ekonomi Islam. Tesis. Pare-pare,
2020, hlm 38
75
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat. Amzah. Jakarta, 2019, hlm 312.

32
Berdasarkan uraian tersebut, pertambahan gadai yang masih
berkaitan dengan borg maka termasuk ke dalam rahn yang ada ditangan
murtahin atau wakilnya, namun apabila pertambahan gadai tersebut tidak
berkaitan dengan borg maka ia akan menjadi milik rahin dan tidak
termasuk ke dalam rahn.

E. Berakhirnya Akad Gadai


Ada beberapa sebab yang menjadikan akad gadai akan berakhir di
antaranya:
1. Rahn diserahkan kepada pemiliknya. Ketika barang gadaian
dikembalikan kepada pemiliknya maka berakhirlah akad gadai
tersebut.
2. Hutang dibayarkan semuanya. Dengan dibayarkannya hutang maka
rahin berhak mengambil kembali barang gadaiannya. Sayid Sabiq
menukil perkataan Ibnu Mundzir mengatakan bahwa para ahli ilmu
telah sepakat jika seseorang menggadaikan sesuatu lalu membayar
hutangnya sebagian, dan ingin mengambil sebagian barang gadaiannya
maka hal ini tidak berhak atasnya sampai dia melunasi seluruh
hutangnya.
3. Penjualan rahn secara paksa oleh hakim. Hakim berhak mengambil
harta rahn dari murtahin untuk pembayaran hutang rahin, walaupun
rahin menolak hal itu.
4. Pembebasan hutang oleh murtahin. Ketika murtahin membebaskan
hutang rahin maka berakhirlah akad gadai tersebut.
5. Pembatalan hutang dari pihak murtahin. Murtahin berhak untuk
membatalkan hutang kepada pihak rahin, ketika hal ini terjadi maka
batalah akad gadai.
6. Rahin meninggal dunia. Menurut pendapat ulama Malikiyah bahwa
rahn itu batal jika rahin meninggal dunia sebelum menyerahkan harta
gadai kepada murtahin, bangkrut, tidak mampu untuk membayar
hutangnya, sakit atau gila yang membawa pada kematian.
7. Rahn rusak atau sirna. Dengan rusak atau sirnanya harta gadai maka
berakhirlah akad gadai tersebut.
8. Pemindahan rahn kepada pihak lain baik berupa hadiah, hibah atau
shadaqah.76

76
Abdurrahman Misno, Gadai dalam Syariat Islam. Ad Deenar. 2018, hlm 34

33
Akad gadai berakhir karena hal-hal berikut ini:

 Diserahkannya borg kepada pemiliknnya.


 Utang telah dilunasi seluruhnya

 Penjualan secara paksa

 Utang yang telah dibebaskan oleh murtahin


 Gadai telah dibatalkan oleh pihak murtahin
 Menurut malikiyah, gadai berakhir dengan meninggalnya rahin sebelu,
borg diterima oleh murtahin, atau kehilangan ahliyatul ‘ada.
 Rusaknya borg

 Tindakan atau tasarruf terhadap borg dengan disewakan, hibah, atau


shadaqah.77
Akad rahn akan berakhir apabila dengan keadaan:
a. Karena hapusnya perikatan pokok. Hak gadai adalah hak accessoir, maka
dengan hapusnya perikatan pokok membawa serta hapusnya hak gadai.
b.Karena benda gadai keluar dari kekuasaan pemegang gadai. Pasal 1152
ayat (3) KUHPerdata menentukan bahwa: "Hak gadai hapus apabila
barang gadai keluar dari kebiasaan si pemegang gadai". Namun demikian
hak gadai tidak menjadi hapus apabila pemegang gadai kehilangan
kekuasaan atas barang gadai tidak dengan suka rela (karena hilang atau
dicuri). Dalam hal ini jika ia memperoleh kembali barang gadai tersebut,
maka hak gadai dianggap tidak pernah hilang.
c. Karena rusaknya benda gadai. Tidak adanya obyek gadai mengakibatkan
tidak adanya hak kebendaan yang semula membebani benda gadai, yaitu
hak gadai.
d.Karena penyalahgunaan benda gadai. Pasal 1159 ayat (1) KUHPerdata
menyebutkan bahwa: "Apabila kreditor menyalahgunakan benda gadai,
pemberi gadai berhak menuntut pengembalian benda gadai.” Dengan
dituntutnya kembali benda gadai oleh pemberi gadai maka hak gada yang
dipunyaj pemegang gadai menjadi hapus, apabila pemegang gadai
menyalahgunakan benda gadai.

77
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat. Amzah. Jakarta, 2019, hlm 313

34
e. Karena pelaksanaan eksekusi benda gadai.11 Dengan dilaksanakannya
eksekusi terhadap benda gadai, maka benda gadai berpindah ke tangan
orang lain. Oleh karena itu maka hak gadai menjadi hapus.
f. Karena kreditor melepaskan benda gadai secara sukarela. Pasal 1152 ayat
(2) KUHPerdata menyebutkan bahwa. "Tak ada hak gadai apabila barang
gadai kembali dalam kekuasaan pemberi gadai.”
g.Karena percampuran. Percampuran terjadi apabila piutang yang dijamin
dengan hak gadai dan benda gadai berada dalam tangan satu orang.
Dalam hal ini terjadi percampuran, maka hak gadai menjadi hapus. Orang
tidak mungkin mempunyai hak gadai atas benda miliknya sendiri. 78
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hal-hal
yang mempengaruhi berakhirnya akad gadai adalah apabila borg telah
dikembalikan kepada pemiliknya, utang telah lunas seluruhnya, penjualan
borg secara paksa, murtahin membebaskan utang, murtahid membatalkan
gadai walaupun tanpa persetujuan rahin, meninggalnya rahin, rusaknya
borg, dan adanya tindakan terhadap borg dengan
disewakan/hibah/shadaqah.

78
Hanna Masawayh Qatrunnada, Lailatul Choiriyah Nurul Fitriani, Gadai Dalam Perspektif
Kuhperdata Dan Hukum Islam. Jurnal. Surabaya, 2018, hlm 182-183

35
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari apa yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa utang
piutang adalah memberikan harta kepada orang lain untuk dimanfaatkan
kemudian dikembaliakan kembali ke pemilik uang dengan jumlah yang
sama seperti saat diterima. Dasar hukum utang piutang terdapat dalam QS.
Al-Baqarah ayat 245, Al-Hadid ayat 11, dan At-Tagabhun ayat 17 serta
terdapat pula dalam UU KUHP pasal 1754. Rukun dan syarat utang
piutang yaitu:
a. Aqid
b. Ma’qud ‘Alaih
c. Shigat (Ijab Kabul)
Pada dasarnya hukum utang piutang adalah boleh atau mubah,
menjadi haram apabila ada pengambilan manfaat atau kelebihan dalam
mengembalikannya dan terdapat pada perjanjian di awal akad. Karena itu
termasuk dalam riba, sebab dia hanya menguntungkan satu pihak dan
merugikan pihak lainnya. Bagi yang berhutang diwajibkan untk segera
melunasinya karena jika ia meninggal dunia dan hutang belum terlunasi di
dunia utang akan terbawa sampai akhirat untuk dipertanggung jawabkan.
Dan jika kita mampu melunasinya namun tidak membayarnya maka itu
termasuk perbuatan dzalim. Untuk yang memberi hutang hendaknya
memberikan kelonggaran waktu apabila si pengutang mengalami kesulitan
untuk membyar.
Gadai adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan atas utang,
dimana utang tersebut bisa dilunasi dari benda tersebut ketika
pelunasannya mengalami kesulitan. Rukun gadai ada empat yaitu: aqid,
shigat, marhun, marhn bih. Terdapat dua hukum dalam gadai yaitu:
1. Hukum gadai yang shahih, akad gadai mengikat pada rahin bukan
murtahin. Oleh karena itu rahin tidak berhak untuk membatalkan akad
karena gadai merupakan akad jaminan atas utang. Sebaliknya, murtahin
berhak untuk membatalkan akad gadai kapan saja ia kehendaki.
2. Hukum gadai yang fasid, para ulama sepakat bahwa akad gadai yang
tidak shahih, baik fasid maupu batil tidak menimbulkan akibat-akibat
hukum berkaitan dengan barang yang digadaikan.

Berakhirnya akad gadai karena :


1. Diserahkannya brog kepada pemiliknya atau karena brog rusak atau
disewakan atau diedekahkan dan dihibahkan,

36
2. Meninggalnya rahin sebelum brog diterima oleh murtahin,
3. Utang telah dilunasi seluruhnya,
4. Penjualan secara paksa,
5. Utang telah dibebaskan oleh murtahin, dan
6. Gadai telah dibatalkan oleh pihak murtahin.

37
DAFTAR PUSTAKA

Abduh Tuasikal, Muhammad. “Hadis Mempercepat Membayar Hutang”


https://gakopsyah.com/berita/detail/42/bahaya-orang-yang-enggan-
melunasi-hutangnya.html (diakses pada 7 Mei 2022, pukul 12.41)
Agustinar dan Nanda Rini.2018. TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PEMBAYARAN HUTANG PIUTANG DENGAN PENAMBAHAN DARI
HASIL PANEN PADI. Aceh: Jurnal.
Aumaila, Vallen , Jullie J. Sondakh, Sherly Pinatik. 2018. "Evaluasi Pengendalian
Internal Barang Jaminan Gadai Pada PT. PEGADAIAN PERSERO
CABANG MALALAYANG" dalam jurnal Riset Akuntansi Going Concern
13(2).
Departemen Pendidikan Nasional. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Farani, Rabbiyatussha , Nunung Rodliyah, Nilla Nargis. 2018. "Akibat Hukum
Gadai Syariah Dalam Sistem Ekonomi Islam" dalam Jurnal Hukum
Perdata all right reserve.
Febriyanto, Toto. 2020. "Praktik Gadai Dengan Jaminan Motor Kredit" dalam
Skripsi Toto Febriyanto.
M. Syafi’I, Antonio. 2001. Bank Syariah Dari teori Keperaktek, Jakarta: Gema
Insani Pres.
Mahmudi. 2013. "Pemikiran Ulama Hanafiyah Tentang Pemanfaatan Barang
Gadai" dalam Jurnal Pemikiran Ulama Hanafiyah Pemanfaatan Barang
Gadai Volume 3 no 1.
Manahaar, Pamonaran. 2019. "Implementasi Gadai Syariah (Rahn) Untuk
Menunjang
Marni, Asdi, dkk. 2018. "Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Penyelesaian
Produk Arrum Di Pegadaian Syariah Aceh Besar" dalam jurnal kajian
ilmu hukum dan syariah Volume
3. DOI: https://doi.org/10.22373/petita.v3i2.48
Marni. 2020. "Dampak Pengalihan Gadai Dalam Perspektif Hukum Ekonomi
Islam" dalam Tesis Marni.
Misno, Abdurrahman. 2018. "Gadai Dalam Syariat Islam" dalam jurnal Ekonomi
dan Bisnis Islam. DOI: 10.30868/ad.v1i01.2264.
Muhaimin. 2013. Perbankan Syariah Prinsip Rahn (Gadai Syariah). Malang:
Makalah.

38
Musa, Jumadil. 2016. HADIS NABI SAW TENTANG LARANGAN MENUNDA
MEMBAYAR HUTANG. Makassar: Skripsi.
Muslich, Ahmad Wardi. 2019. Fiqih Muamalat. Jakarta: Amzah.
Nasution, Adanan Murroh. 2019. "Gadai Dalam Perspektif Hukum Ekonomi
Islam" dalam Jurnal Hukum Ekonomi.
Nawawi, Islmail. 1997. Fiqih Muamalah. Yogyakarta: Dana Bakhti Primayasa.
NST, Agus Salim. 2012. "Aspek Sosial Dalam Gadai" dalam jurnal sosial budaya
volume 9 no 1.
Oktami, Diani. 2017. "Pelaksanaan Sistem Lelang Barang Jaminan Pada Unit
Pegadaian Syariah (UPS) Semangka Kota Bengkulu" dalam Skripsi Diani
Oktami.
Pelia, Resa. 2020. Tinjauan Hukum Islam Tentang Hutang Piutang Dengan
Kompensasi Pembagian Hasil Kebun Damar. Lampung: Skripsi.
Perekonomian Masyarakat di Indonesia" dalam Jurnal Hukum Bisnis dan
Investasi volume 10 no 2.
Qatrunnada, Hanna Masawayh , Lailatul Choiriyah, Nurul Fitriani. 2018. "Gadai
Dalam Perspektif Kuhperdata Dan Hukum Islam" dalam Jurnal Hukum
Bisnis Islam Volume 8 no 2.
Rahmah, Zakiatur. 2018. "Kajian Terhadap Praktik Gadai di Kalangan
Masyarakat Kemukiman Jruek Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh
Besar" dalam Skripsi Zakiatur Rahmah.
Redaksi OCBC NISP. “hukum hutang piutang menurut para ahli”
https://www.ocbcnisp.com/id/article/2021/06/28/anjak-piutang-adalah
(diakses pada 3 Mei 2022, pukul 18.50)
Rizki. “Pengertian Hutang Piutang Dan Kaitannya Dengan Usaha”
https://www.berwirausaha.net/2017/02/pengertian-hutang-piutang-dan-
kaitannya.html/ (diakses pada 4 Mei 2022, pukul 15.00)
Subekti, R dan R. Tjitrosudibyo. 1992. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Jakarta: Pradya Paramita.
Sulailah, Ila 2018. Bab II Pengertian Utang Piutang. Jurnal.
Supramono, Gatot. 2013. Perjanjian Utang Piutang. Jakarta: Kencana.
Veronika, Indah. 2020. "Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif Tentang
Barang Gadai Yang Dijadikan Hak Milik" dalam Skripsi Indah Veronika.

39
Yuridis.id. “Hukum Utang Piutang Menurut UU” https://yuridis.id/penghutang-
yang-tidak-mampu-membayar-hutangnya-dapat-di-kenakan-ketentuan-
hukum-di-bawah-ini/ (diakses pada 3 Mei 2022, pukul 18.30)
Zulfa, M. 2015. Hutang Piutang Dalam Islam (Sebuah Kontroversi Fenomena
Riba). Yogyakarta: Trust Media Publishing.

40
MAKALAH FIQH MUAMALAH :
SEWA-MENYEWA (AL-IJARAH) DAN PERKONGSIAN
(SYIRKAH)

KELOMPOK 7 :

NUR AINI (90400121047)


NASRIATUL NADERIAH (90400121048)

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Pertama- tama kami panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena dengan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dari kelompok 7 dapat
menyelesaikan tugas makalah kami yang bertema “Sewa-Menyewa (Al-Ijarah) dan
Perkongsian (Syirkah)” dengan baik dan lancar.

Kami menyadari dalam pembuatan tugas ini masih banyak terdapat kekurangan ,
oleh karena itu kami memohon maaf jika ada kata-kata yang tak berkenan dihati para
pembaca, kami berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang telah kami
buat dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun.

Sehingga tugas yang sederhana ini dapat menjadi bahan bacaan yang bermanfaat.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada kami, dan
terima kasih atas semua pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini.

Samata,6 Mei 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................... 2

Daftar Isi.............................................................................................................................. 3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .............................................................................................................. 4


B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................................... 4

BAB II

SEWA-MENYEWA (AL-IJARAH)

A. Pengertian Ijarah dan Dasar Hukumnya ....................................................................... 5


1. Sewa-Menyewa (Ijarah) .......................................................................................... 5
2. Dasar Hukum Ijarah ................................................................................................ 6
B. Rukun Ijarah dan Syarat-Syaratnya .............................................................................. 8
1. Rukun Ijarah ............................................................................................................ 8
2. Syarat-Syarat Ijarah ................................................................................................. 10
C. Macam-Macam Al-Ijarah .............................................................................................. 15
D. Berakhinya Akad Ijarah ................................................................................................ 18

BAB III

PERKONGSIAN (SYIRKAH)

A. Definisi Syirkah dan Dasar Hukumnya......................................................................... 22


1. Definisi Syirkah ...................................................................................................... 22
2. Dasar Hukum Syirkah ............................................................................................. 23
B. Rukun dan Syarat Syirkah............................................................................................. 24
C. Macam-Macam Syirkah ................................................................................................ 29

BAB IV

KESIMPULAN .................................................................................................................. 42

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 43

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-ijarah mengambil dari bahasa arab yang mempunyai makna “upah,
sewa, jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu format muamalah
dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak,
atau memasarkan jasa perhotelan dan lain-lain”.Berdasarkan pendapat syara‟
mempunyai arti “aktivitas akad untuk mengambil manfaat sesuatu yang
diterima dari orang lain dengan jalan membayar sesuai dengan perjanjian yang
telah ditentukan syarat-syarat tertentu.
Menurut bahasa syirkah artinya al-ikhtilath yang artinya campur atau
percampuran. Yang dimaksud dengan percampuran adalah seseorang
mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin
untuk dibedakan. Jumhur ulama kemudian menggunakan istilah ini untuk
menyebut transaksi khusus, meskipun tidak terjadi percampuran kedua harta
itu, karena yang menyebabkan bercampurnya harta adalah transaksi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Ijarah dan Syirkah ?
2. Apa saja dasar hukum Ijarah dari Syirkah ?
3. Bagaimana Rukun dan Syarat dari Ijarah dan Syirkah ?
4. Bagaimana bentuk atau macam-macam jenis dari Ijarah dan Syirkah ?
5. Kapan Akad Al-Ijarah Dikatakan Berakhir ?

C. Tujuan Penulisan
1. Sebagai bentuk tugas di mata kuliah Fiqh Muamalah
2. Agar semakan mengetahui serta memahami tentang Ijarah dan Syirkah
3. Sebagai sarana dalam pembelajaran dan dapat memahami tentang Syirkah
dan ijarah

4
BAB II

SEWA-MENYEWA (AL-IJARAH)

A. Pengertian Ijarah dan Dasar Hukumnya.


1. Pengertian Sewa-Menyewa (Ijarah).
Lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan
Al-ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam
memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-meyewa, kontrak, atau
menjual jasa perhotelan dan lain-lain.1

Al-ijarah mengambil dari bahasa arab yang mempunyai makna “upah,


sewa, jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu format muamalah
dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak,
atau memasarkan jasa perhotelan dan lain-lain”.Berdasarkan pendapat
syara‟ mempunyai arti “aktivitas akad untuk mengambil manfaat sesuatu
yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar sesuai dengan
perjanjian yang telah ditentukan syarat-syarat tertentu”.2

Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al’iwadhu atau berarti
ganti. Dalam Bahasa Arab, al-ijarah diartikan sebagai suatu jenis akad
untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian sejumlah uang.3

Ijarah denotes a contract where one party transfers the right to use an item
he owns to another party for a specified period in exchange for an agreed
consideration. Colloquially, Ijarah is often called 'Islamic leasing'4

1
Nasrun, Haroen. Fiqh Muamalah (Jakarta, Gaya Media Pratama : 2000), hlm. 228-230.
2
Akhmad Farroh Hasan. Fiqh Muamalah Dari Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta, UIN-Malik
Malang Press : 2018), hlm. 49.
3
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 13, terj. Kamaluddin A. Dan Marzuki (Bandung, PT al Ma‟arif :
2007), hlm 15.
4
MASB Staff, “Ijarah” FRS MASB, June, 2004,
https://www.masb.org.my/article.php?id=203&page=7#:~:text=Ijarah%20denotes%20a%20contra
ct%20where,often%20called%20'Islamic%20leasing'.

5
Dari definisi-definisi diatas kami dapat menyimpulkan bahwa Al-Ijarah
berasal dari Bahasa Arab yang memiliki makna “upah, sewa, jasa, atau
imbalan.” Dan Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al’iwadhu
atau berarti ganti. Maka Al-ijarah ialah suatu aktivitas akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan pengganti uang yang dapat diterima orang
lain.
2. Dasar Hukum Ijarah
Al-qur‟an membolehkan praktik sewa-menyewa, sebagaiman firman Allah
SWT dalam surah Ath-Thalaq ayat 6.
َّ‫جَّ َح ْممََّّفَا َ ْوفِمُُْ ا‬ ٰ ُ‫نَّ ُكهََّّا‬
َِّ ‫َن‬ َ ُ‫ض ۤاسُّ َْ ٌُهََّّنِخ‬
َّْ ِ‫ضِّٕمُُْ اَّ َعهَ ْٕ ٍِهََّّ ََا‬ َّ َ ََ َّ‫هََُّّ جْ ِذ ُك َّْم‬
َ ُ‫لَّح‬ َُّ ٕ‫هَّ َح‬
َّْ ‫ْثَّ َس َك ْىخُ َّْمَّ ِّم‬ َّْ ‫اَ ْس ِكىُُْ ٌُهََّّ ِم‬
َّْ ِ‫ْهَّنَ ُك َّْمَّفَ ٰاحُُْ ٌُهََّّاُجُُْ َسٌُهََّّ ََ ْأحَ ِمشَُْ اَّبَ ْٕىَ ُك َّْمَّبِ َم ْعشَُْ فََّّ ََا‬
َّ‫نَّحَ َعا َسشْ حُ َّْم‬ َ ْ‫نَّاَس‬
ََّ ‫ضع‬ َّْ ِ ‫ْهَّ َح ْمهٍَُهََّّفَا‬ َ ََّّّٔ‫َعهَ ْٕ ٍِهََّّ َح ٰخ‬
ََّ ‫ضع‬
َِّ‫ض َُّعَّنًَََّّاُ ْخ ٰش‬
ِ ْ‫فَ َسخُش‬
Artinya :
Tempatkanlah mereka (para isteri) dimaa kamu bertempat tinggal
berdasarkan pendapat kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri
yang sudah ditalaq) itu sedang hamil. Maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin. Kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu. Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika
kamu menemui kesulitan. Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak
itu) untuknya. (Q.S Ath-Thalaq : 6).
Adapun sabda Nabi Muhammad SAW.
َّْ ‫َّاُ ْعطُُاَّاَّألَ ِج‬:َّ‫صهَّّالَّنّ ًَّ َُّ َعهٍَْٕ َُ َسه ََّم‬
َّ‫َّٓ ََّس‬ َ ًََُّّ ّ‫لَّالَّن‬ ََّ ‫لَا‬:‫ل‬
َُّ ُُْ‫لَّ َسس‬ َّْ ‫َّٓالَّنّ ًََُّّع‬
ََّ ‫َهَّيَ ُُالَا‬ ِ ‫هَّ ُع َم َش َس‬
ََّ ‫ض‬ َِّ ‫هَّا ْب‬
َِّ ‫َع‬
ِ)ً‫نََّٔفََّّ َع ََّشَّل ُ ًَُّ(َّسَاٌابهَّماَّج‬
َّْ َ‫مَّا‬ ََّ ٌَُّ‫اَجْ ََّش‬
ََّ ‫كَّ ْب‬
Artinya :
Dari Ibnu Umar RA. Berkata bahwa rasulullah SAW telah bersabda :
berikanlah upah pekerjaan sebelum keringatnya kering (riwayat Ibnu
Majah).5

5
Akhmad Farroh Hasan. Fiqh Muamalah Dari Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta, UIN-Malik
Malang Press : 2018), hlm. 52.

6
Para ulama fiqh mengatakan bahwa yang menjadi dasar dibolehkannya
akad al-ijarah adalah firman Allah dalam surat az-Zukhruf (43) : 32 yang
berbunyi :
ََّّ‫قَّبَعْض‬ َ ‫هَّلَ َس ْمىَاَّ َب ْٕىٍَُ َّْمَّم ِع ْٕ َشخٍَُ َّْمَّفَِّّ ْان َح ُٰٕ َِّةَّان ُّذ ْو َٕاََّّ ََ َسفَ ْعىَاَّبَع‬
ََّ َُْ‫ْضٍُ َّْمَّف‬ َُّ ْ‫كََّّوَح‬ ََّ ُْ‫اٌَُ َّْمََّٔ ْم ِس ُم‬
ََّ ‫نَّ َسحْ َم‬
ََّ ِّ‫جَّ َسب‬
َّ‫كَّ َخْٕشََّّ ِّممأََّجْ َمعُُْ َن‬ َُّ ‫ضاَّس ُْخ ِشًّٔاََُّّ ََ َسحْ َم‬
ََّ ِّ‫جَّ َسب‬ ُ ‫َد َس ٰججََّّنَِّٕخ ِخ ََّزَّبَ ْع‬
ً ‫ضٍُ َّْمَّ َب ْع‬
Artinya :
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu ? Kamilah yang
menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan duniadan kami telah
meninggalkan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat,
agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain.
Dan sabda Rasulullah saw :
“Berikanlah upah/jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering
keringat mereka.” (HR Abu Ya‟la, Ibnu Majah, ath-Thabranu, dan at-
Tirmizi).6

Adapun firman Allah SWT. Pada Q.S. Al-Qashah (28) ayat 26 :


َُّ ٕ‫َّْ ْالَ ِم‬
‫ْه‬ ََّ ْ‫هَّا ْسخَأْ َجش‬
َُّّ ُِ َ‫ثَّ ْانم‬ َِّ ‫جَّا ْسخَأْ ِجشْ َّيََُُّّاِنََّّ َخ ْٕ ََّشَّ َم‬ َّْ َ‫لَان‬
َِّ َ‫جَّاِحْ ٰذىٍُ َماَّ ٰٔاَب‬
Artinya :
Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, “Wahai ayahku!
Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling
baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat
dan dapat dipercaya.”
Adapun Hadis Aisyah yang berbunyi :
Dari Urwah bin Zubair bahwa sesunggungnya Aisyah ra. Istri nabi :
Rasulullah dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki dari suku bani kafir
Quraisy. Nabi dan Abu Bakar kemudian menyerahkan kepadanya
kendaraan mereka, dan mereka berdua menjanjikan kepadanya untuk

6
H. Syaikhu, M.H.I., Ariyadi, S.H.I., M.H. , Norwili, M.H.I. Fikih Muamalah (memahami konsep
dan dialektika kontemporer). (Palangkaraya, kmedia : 2020) hlm. 136-138.

7
bertemu di Gua Tsaur dengan kendaraan mereka setelah tiga hari pada hari
selasa. (HR. Al-Bukhari)7.

Dari beberapa ayat-ayat Al-Quran dan sunnah tersebut kami


menyimpulkan bahwa akad Ijarah atau sewa menyewa hukumnya di
bolehkan. Karena akad tersebut dibutuhkan oleh masyarakat.

B. Rukun Ijarah dan Syarat-Syaratnya.


1. Rukun Ijarah.
Menurut Hanafiah, rukun ijarah hanya satu, yaitu, ijab dan qabul, yakni
pernyataan dari orang yang menyewa dan menyewakan. Lafal yang di
gunakan adalah lafal ijarah, isti’jar, iktira’ dan ikra’. Sedangkan menurut
jumhur ulama, rukun ijarah itu ada empat, yaitu :
a. aqid, yaitu mu’jir (orang yang menyewakan) dan musta’jir (orang yang
menyewa).
b. Shigat, yaitu ijab dan qabul,
c. Ujrah (uang sewa atau upah), dan
d. Manfaat baik manfaat dari suatu barang yang disewa atau jasa dan tenaga
dari orang yang bekerja.8

Berdasarkan pendapatan jumhur ulama, Rukun ijarah ada empat (4)


diantaranya ialah :
a. Orang yang berakad (Aqid)
“orang yang melakukan akad ijarah ada dua orang yaitu Mu’jir
ialah: orang yang memberikan upah atau yang menyewakan dan
Musta’jir ialah: orang yang menerima upah untuk melakukan
sesuatu dan yang menyewa sesuatu.9
Bagi Mu’jir dan Musta’jir pertama; harus mengertahui manfaat
barang yang dijadikan akad sehingga dapat mencegah terjadinya

7
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalat (Serang, Amzah : 2019) hlm. 318-319
8
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalat (Serang, Amzah : 2019) hlm. 320-321
9
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta, Gaya Media Pratama : 2000) hlm 117

8
perselisihan, kedua: berakal maksudnya ialah; orang yang dapat
membedakan baik dan buruk.10
b. Sighat Akad
Mu’jir dan Musta’jir, Yaitu melakukan ijab dan qabul ialah:
Ungkapan pernyataan dan penjelasan yang keluar dari salah seorang
yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan
akad ijarah.11
Dalam Hukum Perikatan Islam, ijab diartikan dengan “suatu
pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu”. 12Sedangkan qobul ialah:
“suatu pernyataan yang diucapkan dari pihak yang berakad pula
(musta’jir) untuk penerimaan kehendak dari pihak pertama yaitu
setelah adanya ijab.13
Syarat-syaratnya sama dengan syarat ijab-qabul pada jual beli,
hanya saja ijab dan qabul dalam ijarah harus menyebutkan masa
atau waktu yang ditntukan14.
c. Upah (ujroh)
Ujroh yaitu diberikan kepada musta‟jir atau jasa yang telah diberikan
atau diambil manfaatnya oleh mu‟jir. Dengan syarat, sebagai
berikut:
1) Jumlahnya diketahui secara jelas dan detail
2) Pegawai khusus seperti hakim tidak boleh mengambil uang dari
pekerjaannya, karena dia sudah mendapatkan gaji khusus dari
pemerintah.
3) Uang yang harus diserahkan bersamaan dengan penerimaan
barang yang disewa. Jika lengkap manfaat yang disewa, maka
uang sewanya harus lengkap.15

10
Sayyud Sabiq, , Fikih Muamalah (Jakarta, Pena Ilmu dan Amal : 2006), jilid 4, hlm 205
11
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta, Raja Grafindo Persada : 2019, hlm 116
12
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, ( Jakarta, Prenada Media, 2005), hlm.
63
13
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta, Raja Grafindo Persada : 2019, hlm 117
14
Syaifullah Aziz, Fiqih Islam Lengkap, ( Surabaya, Ass-syifa, 2005), hlm. 378

9
d. Manfaat
salah satu cara untuk mengetahui ma‟qud alaih (barang) ialah:
“dengan menjelaskan manfaatnya, batasan waktu, dan jenis
pekerjaan”.16

Adapun Rukun Ijarah dari refensi lain. Menurut ulama Hanafiyah, rukun
al-ijarah itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan menyewakan) dan qabul
persetujuan terhadap sewa menyewa. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan
bahwa rukun al-ijarah itu ada empat, yaitu : (a) orang yang berakad, (b)
Sewa/imbalan, (c) manfaat, dan shigat (ijab dan qabul). Ulama Hanafiyah
menyatakan bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat,
termasuk syarat-syarat al-ijarah, bukan rukunnya.17

Dari beberapa perbedaan pendapat mengenai rukun akad ini terdapat


banyak sekali paham mengenai rukun akad ijarah dan sudah banyak di
bicarakan dalam akad-akad lainnya seperti jual beli, dan lain-lain. Oleh
karena itu kami menyimpulkan bahwa rukun akad ijarah harus meliputi aqid,
shighat, ujroh dan manfaat

2. Syarat-Syarat Ijarah.
Seperti halnya dalam akad jual beli, syarat-syarat ijarah ini juga terdiri atas
empat jenis persyaratan yaitu :
a ) Syarat terjadinya akad (syarat in’iqad)
Syarat terjadinya akad (syarat in’iqad) berkaitan dengan aqid, akad,
dan objek akad. Syarat yang berkaitan dengan aqid adalah berakal, dan
mumayyiz menurut Hanafiah, dan baligh menurut syafi‟iyah dan
Hanabilah. Dengan demikian, akad ijarah tidak sah apabila pelakunya
(mu’jir dan musta’jir) gila atau masih di bawah umur. Menurut

15
Muhammad Rawwas Qal Ahji, Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khattab, (Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada:1999), hlm. 178
16
Rachmat Syafe‟I, Ilmu Ushul Fiqih ( Bandung, Pustaka Setia , 2010), cet 4, hlm.86
17
H. Syaikhu, M.H.I., Ariyadi, S.H.I., M.H. , Norwili, M.H.I. Fikih Muamalah (memahami konsep
dan dialektika kontemporer). (Palangkaraya, kmedia : 2020) hlm. 138.

10
Malikiyah, tamyiz merupakan syarat dalam sewa-menyewa dan jual
beli, sedangkan baligh merupakan syarat untuk kelangsungan (nafadz).
b ) Syarat Kelangsungan Akad (Nafadz).
Untuk kelangsungan (nafadz) akad ijarah disyaratkan terpenuhinya hak
milik atau wilayah (kekuasaan). Apabila si pelaku (‘aqid) tidak
mempunyai hak kepemilikan atau kekuasaan (wilayah), seperti akad yang
dilakukan oleh fudhuli, maka akadnya tidak bisa dilangsungkan, dan
menurut Hanafiah dan Malikiyah statusnya mauquf (ditangguhkan)
menunggu persetujuan si pemilik barang. Akan tetapi, menurut
Syafi‟iyah dan Hanabilah hukumnya batal, seperti halnya jual beli.
c ) Syarat sahnya Ijarah.
Untuk sahnya ijarah harus dipenuhi beberapa syarat yang berkaitan
dengan ‘aqid (pelaku), ma’qud ‘alaih (objek), sewa atau upah (ujrah)
dan akadnya sendiri.
d ) Syarat Mengikatnya Akad Ijarah (Syarat Lazum).
Agar akad ijarah itu mengikat, diperlukan dua syarat :
1) Benda yang disewakan harus terhindar dari cacat (‘aib) yang
menyebabkan terhalangnya pemanfaatan atas benda yang di sew itu.
2) Tidak terdapat udzur (alasan) yang dapat membatalkan akad ijarah.18

Terkait dengan syarat-syarat ijarah M. Ali Hasan menjelaskan, sangat


gamblang, diantaranya ialah:
a) Syarat bagi kedua orang yang berakad ialah: telah baligh dan berakal
(Mazhab Syafi‟i Dan Hambali). Dengan demikian bilamana orang
itu belum atau tidak berakal seperti anak kecil atau orang gila
menyewa hartanya, atau diri mereka sebagai buruh (tenaga dan ilmu
boleh disewa), maka Ijarah nya tidak sah. Berbeda dengan Mazhab
Hanafi dan maliki bahwa orang yang melakukan akad, tidak harus
mencapai usia baligh , tetapi anak yang telah mumayiz pun boleh
melakukan akad Ijarah dengan ketentuan disetujui oleh walinya.

18
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalat (Serang, Amzah : 2019) hlm. 321-328

11
b) Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan kerelaannya
untuk melakukan akad Ijarah itu, bilamana salah seorang keduanya
terpaksa melakukan akad maka akadnya tidak sah.
c) Manfaat yang menjadi objek Ijarah harus diketahui secara jelas,
sehingga tidak terjadi perselisihan dibelakang hari jika manfaatnya
tidak jelas. Maka, akad itu tidak sah.
d) Objek Ijarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung
dan tidak ada cacatnya. Oleh sebab itu, ulama fiqih sepakat
mengatakan bahwa tidak boleh menyewa sesuatu yang tidak dapat
diserahkan, dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Umpamanya
rumah harus siap pakai atau tentu saja sangat bergantung kepada
penyewa apakah dia mau melanjutkan akad itu atau tidak, sekiranya
rumah itu atau toko itu disewa oleh orang lain maka setelah itu habis
sewanya baru dapat disewakan oleh orang lain.
e) Objek Ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara. Oleh sebab itu
ulama fikih sependapat bahwa tidak boleh menggaji tukang
sihir,tidak boleh menyewa orang untuk membunuh (pembunuh
bayaran), tidak boleh menyewakan rumah untuk tempat berjudi atau
tempat prostitusi (pelacuran). Demikian juga tidak boleh
menyewakan rumah kepada non-muslim untuk tempat mereka
beribadat.19

Adapun referensi lain mengenai Syarat-Syarat Ijarah. Sebagai sebuah


transaksi umum, al-ijarah baru dianggap sah apabila telah memenuhi rukun
dan syaratnya, sebagaimana yang berlaku secara umum dalam transaksi
lainnya. Adapun syarat-syarat akad ijarah adalah sebagai berikut:
a) Untuk kedua orang yang berakad (al-muta‟aqidain), menurut ulama
Syafi‟iyah dan Hanabilah, disyaratkan telah balig dan berakal. Oleh
sebab itu, apabila orang yang belum atau tidak berakal, seperti anak

19
Akhmad Farroh Hasan. Fiqh Muamalah Dari Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta, UIN-Malik
Malang Press : 2018), hlm. 52-53.

12
kecil dan orang gila, menyewakan harta mereka atau diri mereka
(sebagai buruh), menurut mereka, al-ijarah-nya tidak sa. Akan tetapi,
ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa kedua orang
yang berakad ini tidak harus mencapai usia balig, tetapi anak yang
telah mumayyiz pun boleh melakukan akad al-ijarah. Namun,
mereka mengatakan akad al-ijarah terhadap harta atau dirinya, maka
akad itu baru dianggap sah apabila disetujui oleh walinya.
b) Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk
melakukan akad al-ijarah. Apabila salah seorang di antaranya
terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah. Hal ini
berdasarkan kepada firman Allah dalam surat al-Nisa, (4): 29 yang
berbunyi :
‫ْه ٰٔأٍََُّا‬ َّ َ ‫م بَ ْٕىَ ُك َّْم اَ ْم َُانَ ُك َّْم حَأْ ُكهُُْ ا‬
ََّ ٔ‫ل ٰا َمىُُْ ا ان ِز‬ َِّ ‫ن اِلَّ بِ ْانبَا ِط‬ َّْ َ‫ن ا‬ ََّ ُْ‫َه حِ َجا َس َّةً حَ ُك‬َّْ ‫ِّم ْى ُك َّْم حَ َشاضَّ ع‬
َُّ ‫ل‬ َّ َ ََ ‫للاَ اِنَّ َُّ اَ ْوفُ َس ُك َّْم حَ ْمخُهُُْ ا‬َّّ ٰ ‫ان‬ ََّ ‫َس ِح ْٕ ًما بِ ُك َّْم َك‬
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam
perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha
Penyayang kepadamu.
c) Manfaat yang menjadi obyek al-ijarah harus diketahui secara
sempurna, sehingga tidak muncul perselisihan di kemudian hari.
Apabila manfaat yang akan menjadi obyek al-ijarah itu tidak jelas,
maka akadnya tidak sah. Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan
dengan menjelaskan jenis manfaatnya, dan penjelasan berapa lama
manfaat di tangan penyewa.Dalam masalah penentuan waktu sewa
ini, ulama Syafi‟iyah memberikan syarat yang ketat.
d) Obyek al-ijarah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara
langsung dan tiidak bercacat. Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat
menyatakan bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak
boleh diserahkan dan di manfaatkan langsung oleh penyewa.

13
e) Obyek al-ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara. Oleh sebab
itu, para ulama fiqh sepakat menyatakan tidak boleh menyewa
seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir, menyewa sesorang untuk
membunuh orang lain (pembunuh bayaran), dan orang Islam tidak
boleh menyewakan rumah kepada orang non muslim untuk dijadikan
tempat ibadah mereka.
f) Yang disewakan itu bukan suatu kewajiaban bagi penyewa.
Misalnya, menyewa orang untuk melaksanakan shalat untuk diri
penyewa dan menyewa orang yang belum haji untuk menggatikan
haji penyewa. Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sewa
menyewa seperti ini 149tidak sah, karena shalat dan haji merupakan
kewajiban bagi orang yang disewa.
g) Obyek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan, seperti
rumah, mobil, dan hewan tungganga. Oleh sebab itu, tidak dilakukan
akad sewa menyewa terhadap sebatang pohon yang akan
dimanfaatkan penyewa sebagai penjemur kain cucian, karena akad
pohon bukan dimaksudkan untuk penjemur cucian.
h) Upah/sewa dalam akad al-ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu
yang bernilai harta. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan
bahwa khamar dan babi tidak boleh menjadi upah dalam akad al-
ijarah, karena kedua benda itu tidak bernilai harta dalam islam.
i) Ulama Hanafiyah mengatakan upah/sewa itu tidak sejenis dengan
manfaat yang disewa. Misalnya, dalam sewa menyewa rumah. Jika
sewa rumah dibayar dengan penyewaan kebun, menurut mereka al-
ijarah seperti ini dibolehkan.20.

Dari beberapa referensi tersebut kami dapat menyimpulkan bahwa syarat-


syarat ijarah sama halnya dengan syarat dalam akad jual beli yang terdiri dari
empat yaitu :

20
H. Syaikhu, M.H.I., Ariyadi, S.H.I., M.H. , Norwili, M.H.I. Fikih Muamalah (memahami konsep
dan dialektika kontemporer). (Palangkaraya, kmedia : 2020) hlm. 138-141.

14
1. Syarat terjadinya akad (syarat in’iqad)
2. Syart nafadz (berlangsungnya akad)
3. Syarat sahnya akad
4. Syarat mengikatnya akad (syarat huzum)
C. Macam-Macan Al-Ijarah
Ijarah ada dua macam :
1. Ijarah atas manfaat, disebut juga sewa menyewa. Dalam ijarah bagian
pertama ini, objek akadnya adalah manfaat dari suatu benda.
2. Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah mengupah. Dalam ijarah bagian
kedua ini objek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang.21
Adapun macam-macam Al-ijarah dari referensi lain yaitu bahwa dapat
dilihat dari segi obyeknya, akad al-ijarah dibagi para ulama fiqih kepada dua
macam, yaitu: yang bersifat manfaat dan yang bersifat pekerjaan (jasa). Al-
ijarah yang bersifat manfaat, umpamanya adalah sewa menyewa rumah, toko,
kendaraan, pakaian, perhiasan.Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang
dibolehkan syara‟ untuk dipergunakan, maka para ulama fiqih sepakat
menyatakan boleh dijadikan obyek sewa menyewa.
Al-ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjakan
seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Al-ijarah seperti ini, menurut para
ulama fiqih, hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh
bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, dan tukang sepatu.Al-ijarah seperti ini
ada yang bersifat pribadi, seperti menggaji seorang pembantu rumah tangga,
dan yang bersifat serikat, yaitu sekelompok orang yang menjual jasanya untuk
kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, buruh pabrik, dan tukang
jahit.Kedua bentuk al-ijarah terhadap pekerjaan ini (buruh, tukang, dan
pembantu), menurut ulama fiqih, hukumnya boleh.
Apabila orang yang dipekerjakan itu bersifat pribadi, maka seluruh
pekerjaan yang ditentukan untuk dikerjakan menjadi tanggungjawabnya. Akan
tetapi, para ulam fiqih sepakat menyatakan bahwa apabila obyek yang
dikerjakannya itu rusak di tangannya, bukan karena kelalaian dan kesengajaan,

21
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalat (Serang, Amzah : 2019) hlm. 329.

15
maka ia tidak boleh dituntut ganti rugi. Apabila kerusakan itu terjadi atas
kesengajaan atau kelalaian, maka, menurut kesepakatan pakar fiqih, ia wajib
membayar ganti rugi. Misalnya, sebuah piring terjatuh dari tangan pembantu
rumah tangga ketika menyucinya.Dalam kasus seperti ini, menurut kesepakatan
pakar fiqih, pembantu itu tidak boleh dituntut ganti rugi, karena pecahnya
piring itu bukan disengaja atau karena kelalaiannya.
Penjual jasa untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang jahit dan
tukang kasut, apabila melakukan suatu kesalahan sehingga kasut orang yang
diperbaikinya rusak atau pakaian yang dijahit penjahit itu rusak, maka para
ulama fiqih berbeda pendapat dalam masalah ganti rugi terhadap kerusakan itu.
Imam Abu Hanifah, Zufar ibn Huzail, ulama Hanabilah dan Syafi‟iyah,
berpendapat bahwa apabila kerusakan itu bukan karena unsur kesengajaan dan
kelalaian tukang sepatu atau tukang jahit itu, maka ia tidak dituntut ganti rugi
barang yang rusak itu. Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani,
keduanya sahabat Abu Hanifah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad ibn
Hanbal berpendapat bahwa penjual jasa untuk kepentingan umum bertanggung
jawab atas kerusakan barang yang sedang ia kerjakan, baik dengan sengaja
maupun tidak, kecuali kerusakan itu di luar batas kemampuannya untuk
menghindari, seperti banjir besar atau kebakaran. Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa apabila sifat pekerjaan itu membekas pada barang yang
dikerjakan, seperti clean & laundry, juru masak, dan buruh angkat (kuli), maka
baik sengaja maupun tidak sengaja, segala kerusakan yang terjadi menjadi
tanggungjawab mereka dan wajib diganti.22

Menurut referensi lain, macam-macam Al-ijarah. Al-ijarah yang bersifat


manfaat, umpamanya ialah: sewa menyewa rumah, kendaraan, pakaian, dan
perhiasan. Bilamana manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’
untuk dipergunakan, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan boleh
dijadikan objek sewa-menyewa.

22
H. Syaikhu, M.H.I., Ariyadi, S.H.I., M.H. , Norwili, M.H.I. Fikih Muamalah (memahami konsep
dan dialektika kontemporer). (Palangkaraya, kmedia : 2020) hlm. 142-143.

16
Al-ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara memperkerjakan
seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Al-ijarah seperti ini, hukumnya
boleh bilamana jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit,
buruh pabrik, tukang salon, dan tukang sepatu. Al-ijarah seperti ini biasanya
bersifat pribadi, seperti menggaji seorang pembantu rumah tangga, dan yang
bersifat serikat, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menjual jasanya
untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, buruh pabrik, dan
tukang jahit. Kedua format ijarah terhadap pekerjaan ini berdasarkan pendapat
ulama fiqh hukumnya boleh.23

Maka kesimpulan yang kami dapat ambil dari beberapa referensi Al-ijarah
yaitu Al-ijarah terbagi atas 2 macam yaitu :
1. Ijarah atas manfaat, disebut juga sewa menyewa. Dalam ijarah bagian
pertama ini, objek akadnya adalah manfaat dari suatu benda. sewa
menyewa rumah, kendaraan, pakaian, dan perhiasan. Bilamana manfaat itu
merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka
para ulama fiqh sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa-menyewa.
2. Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah mengupah. Dalam ijarah bagian
kedua ini objek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang. Dengan
cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Al-ijarah
seperti ini, menurut para ulama fiqih, hukumnya boleh apabila jenis
pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, dan
tukang sepatu. Al-ijarah seperti ini ada yang bersifat pribadi, seperti
menggaji seorang pembantu rumah tangga, dan yang bersifat serikat, yaitu
sekelompok orang yang menjual jasanya untuk kepentingan orang banyak,
seperti tukang sepatu, buruh pabrik, dan tukang jahit.Kedua bentuk al-
ijarah terhadap pekerjaan ini (buruh, tukang, dan pembantu), menurut
ulama fiqih, hukumnya boleh.

23
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta, Gaya Media Pratama : 2000) hlm 236.

17
D. Berakhirnya Akad Ijarah
Para ulama; fiqih berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, maka bersifat
mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama‟ Hanafiah berpendirian bahwa
akad al ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak
bilamana terdapat udzur dari salah satu pihak yang berakad seperti salah satu
pihak wafat atau kehilangan kecakapan berpindah dalam hukum. Adapun
jumhur ulama‟ dalam hal ini mengatakan bahwa akad al ijarah itu bersifat
mengikat kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Akibat
perbedaan pendapat ini dapat diamati dalam kasus bilamana seorang
meninggal dunia. Berdasarkan pendapat ulama‟ Hanafiah, bilamana seorang
meninggal dunia maka akad al ijarah batal, karena manfaat tidak boleh
diwariskan. Akan tetapi jumhur ulama‟ mengatakan, bahwa manfaat itu boleh
diwariskan karna termasuk harta (al-maal). Oleh sebab itu kematian salah satu
pihak yang berakad tidak membatalkan akad al ijarah”.24
Berdasarkan pendapat Al-Khasani dalam kitab Al-Badaa‟iu ash-Shanaa‟iu,
menyatakan bahwa akad al ijarah berakhir bila ada hal-hal sebagai
berikut:
1. Objek al ijarah hilang atau musnah seperti rumah yang disewakan terbakar
atau kendaraan yang disewa hilang.
2. Renggang waktu yang disepakati dalam ijarah telah berakhir. Bilamana
yang disewakan itu rumah maka rumah itu dikembalikan kepada
pemiliknya, dan bilamana yang disewa itu jasa seseorang maka orang
tersebut berhak menerima upahnya.
3. Wafatnya salah seorang yang berakad
4. Bilamana ada udzur dari salah satu pihak seperti rumah yang disewakan
disita negara karna terkait adanya hutang, maka akad al iajarahnya tetap”.25
Sementara itu, berdasarkan pendapat Sayyid Shabiq, al ijarah akan
menjadi batal dan berakhir bilamana ada hal-hal sebagai berikut:
1. Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika ditangan penyewa
24
Nasrun haroen. Fiqih Muamalah,(Jakarta:Gaya Media Pratama.2007).cet: ke-2. Hlm 236.
25
Abdul Rahman Ghazali dkk. Fiqih Muamalah. (Jakarta: Kencana Premada Media Group.
2010) cet: 1. Hlm 283.

18
2. Rusaknya barang yang disewakan, seperti ambruknya rumah, dan runtuhnya
bangunan gedung
3. Rusaknya barang yang diupahkan seperti bahan baju yang dupahkan untuk
dijahit
4. Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah
ditentukan selesainya pekerjaan
5. Berdasarkan pendapat hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh
membatalkan al ijarah ika ada kejadian-kejadian yang luar biasa, seperti
terbakarnya gedung, tercurinya barang-barang dagang, dan kehabisan
modal”.26

Menurut referensi lain yang kami ambil. Akad ijarah dapat berakhir karena
hal-hal berikut ini :
1. Meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad. Ini menurut pendapat
hanafiah. Sedangkan menurut jumhur ulama, kematian salah satu pihak
tidak mengakibatkan fasakh atau berakhirnya akad ijarah. Hal tersebut
dikarenakan ijarah merupakan akad yang lazim, seperti halnya jual beli,
dimana musta’jir memiliki manafaat atas barang yang disewa dengan
sekaligus sebagai hal milik yang tetap, sehingga bisa berpindah kepada ahli
waris.
2. Iqalah. Yaitu pembatalan oleh kedua belah pihak, hal ini karena ijarah
adalah akad mu’awwadhah (tukar-menukar), harta dengan harta sehingga
memungkinkankan untuk dilakukan pembatalan (iqalah) seperti halnya jual
beli.
3. Rusaknya batang yang disewakan, sehingga ijarah tidak mungkin untuk
diteruskan.
4. Telah selesainya masa sewa, kecuali ada udzur. Misalnya sewa tanah untuk
ditanami, tetapi ketika masa sewa sudha habis, tanaman belum bisa dipanen.
Dalam hal ini ijarah dianggap belum selesai.27

26
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 13, ( Jakarta, Pena Pundi Aksara: 2006), hlm 24
27
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalat (Serang, Amzah : 2019) hlm. 338.

19
Menurut refensi lain berakhirnya akad Ijarah. Para ulama fiqh menyatakan
bahwa akad al-ijarah akan berakhir apabila:
1. Obyek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang
dijahitkan hilang.
2. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir.
Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada
pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang, maka ia
berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati para ulama fiqih.
3. Menurut ulama Hanafiah, wafatnya salah seorang yang berakad, karena
akad al-ijarah, menurut mereka, tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut
jumhur ulama, akad al-ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang
yang berakad, karena manfaat, menurut mereka, boleh diwariskan dan al-
ijarahsama dengan jual beli, yang mengikat kedua belah pihak yang
berakad.
4. Menurut ulama Hanafiah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti
rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak,
maka akad al-ijarah batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan akad al-
ijarah itu, menurut ulama Hanafiah adalah salah satu pihak jatuh muflis,
dan berpindah tempatnya penyewa, misalnya, seseorang digaji untuk
menggali sumur di suatu desa, sebelum sumur itu selesai, penduduk desa
itu pindah ke desa lain. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, uzur yang
boleh membatalkan akad al-ijarah itu hanyalah apabila obyeknya
mengandung cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti
kebakaran dan dilanda banjir.28

Dapat kami simpulkan berakhirnya akad ijarah apabila terjadi seperti


berikut :

28
H. Syaikhu, M.H.I., Ariyadi, S.H.I., M.H. , Norwili, M.H.I. Fikih Muamalah (memahami konsep
dan dialektika kontemporer). (Palangkaraya, kmedia : 2020) hlm. 144.

20
1. Meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad. Ini menurut
pendapat hanafiah. Sedangkan menurut jumhur ulama, kematian salah satu
pihak tidak mengakibatkan fasakh atau berakhirnya akad ijarah. Hal
tersebut dikarenakan ijarah merupakan akad yang lazim, seperti halnya
jual beli, dimana musta‟jir memiliki manafaat atas barang yang disewa
dengan sekaligus sebagai hal milik yang tetap, sehingga bisa berpindah
kepada ahli waris.
2. Iqalah. Yaitu pembatalan oleh kedua belah pihak, hal ini karena ijarah
adalah akad mu‟awwadhah (tukar-menukar), harta dengan harta sehingga
memungkinkankan untuk dilakukan pembatalan (iqalah) seperti halnya
jual beli.
3. Rusaknya batang yang disewakan, sehingga ijarah tidak mungkin untuk
diteruskan.
4. Telah selesainya masa sewa, kecuali ada udzur. Misalnya sewa tanah
untuk ditanami, tetapi ketika masa sewa sudha habis, tanaman belum bisa
dipanen. Dalam hal ini ijarah dianggap belum selesai.

21
BAB III

PERKONGSIAN (SYIRKAH)

A. Definisi Syirkah dan Dasar Hukumnya


1. Definisi syirkah
Menurut bahasa syirkah artinya al-ikhtilath yang artinya campur atau
percampuran. Yang dimaksud dengan percampuran adalah seseorang
mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin
untuk dibedakan. Jumhur ulama kemudian menggunakan istilah ini untuk
menyebut transaksi khusus, meskipun tidak terjadi percampuran kedua harta
itu, karena yang menyebabkan bercampurnya harta adalah transaksi.29

Sayyid Sabiq berpendapat bahwa musyarakah disebut pula dengan syirkah


yang artinya bersekutu atau bekerjasama. Dalam bahasa ekonomi ada yang
menyebutnya dengan cooperation atau koperasi. Koperasi adalah kerja sama
diantara anggota yang terhimpun dalam suatu lembaga ekonomi tertentu
yang segala wewenang dan hak-haknya berada ditangan seluruh anggota
lembaga tersebut.30

Menurut Malikiyah, perkongsian (syirkah) adalah izin untuk


mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama –
sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah
satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing –
masing memiliki hak untuk ber-tasharruf.31

29
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam 5/Wahbah az-Zuhaili; Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011),hlm. 441.
30
Muhamad Asro, Muhamad Kholid, Fiqh Perbankan, (Bnadung: CV. Pustaka Setia, 2011),hlm.
90.
31
Rachmat Syafe.i, Fiqh Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), cet ke-1, hlm. 184.

22
An agreement between two or more. parties for a specific business where.
each party contribute funds or skill. and share risks according to the.
agreement.32

Sehingga dapat dipahami bahwa syirkah adalah hak kepemilikan terhadap


sesuatu yang dimiliki oleh dua orang atau lebih sesuai persentase tertentu
(yitu kerja sama dalam usaha atau sekedar kepemilikan suatu benda).
2. Dasar Hukum Syirkah
Syirkah hukumnya jaiz (mubah), berdasarkan dalil hadist Nabi saw.
Berupa taqrir (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus
sebagai Nabi, orang-orang pada saat itu telah bermu‟amalah dengan cara
syirkah dan Nabi membenarkannya. Nabi bersabda sebagaimana dituturkan
Abu Hurairah r.a:

َّْ ِ‫ ٌَُّ َشٔ َْشةََّ أَب‬, ُ ًَّ ‫ل َسفَ َع‬


َّ‫ّ ع َْه‬ ََّ ‫لَا‬: َّ‫م إِن‬ َُّ ُُْ‫َٔم‬: ‫ث أَوَا‬
ََّ ‫ل اٌه‬ َُّ ِ‫ْه ثَان‬ َّْ ‫صا ِحبَ ًَّ ُ أَ َح ُذٌُ َما َٔ ُخ‬
َِّ ٕ‫انش ِش ْٔ َك‬, ‫ه َمانَ َّْم‬ َ , ‫َخاوَ ًَُّ فَإ ِ َرا‬
ُ ْ‫ه َخ َشج‬
َّ‫ج‬ َّْ ‫داَد ابُ سَاي) بَ ْٕ ِى ٍِ َما ِم‬
Artinya: “Dari Abi Hurairah r.a. ia merafa‟kannya kepada Nabi, beliau
bersabda: sesungguhnya Allah berfirman: “Aku adalah pihak ketiga dari
kedua orang yang bersekutu, selagi salah satu diantara keduanya tidak
berkhianat kepada temannya. Apabila dia berkhianat kepada temannya,
maka Aku keluar dari diantara keduanya.” (HR. Abu Dawud).33

Syirkah boleh dilakukan antar sesama muslim, antara sesama kafir dzimmi
atau antara seorang muslim dan kafir dzimmi. Maka dari itu seorang muslim
juga boleh melakukan syirkah dengan orang yang berbeda agama seperti
Nasrani, Majusi dan kafir dzimmi yang lainnya selagi usahanya tidak

32
Dr. Evony Silvino Violita, “Syirkah/Musyarakah/Partnership in Contemporary Islamic Business”
UI, 2016,
https://ocw.ui.ac.id/mod/resource/view.php?id=713#:~:text=An%20agreement%20between%20
two%20or,agreement.
33
Bey Arifin, A. Syinqithy Djamaluddin, Terjemah Sunan Abu Dawud Jilid 4, (Semarang: CV.
Asy Syifa‟, 1993),hlm. 33-34.

23
diharamkan bagi kaum muslim. Seperti hadist Nabi yang diriwayatkan oleh
dari Abdullah bin Umar:
َّ‫ه ع َْه‬
َِّ ‫ٓ ُع َم ََّش اِ ْب‬
ََّ ‫ض‬ َُّ ‫م أَنَّ َع ْىٍُ َما اٌه‬
ِ ‫م َس‬ َ ًَِّ ْٕ َ‫م ََ َسه ََّم َعه‬
َِّ ‫صمَُِّ ىاي َسسُُْ َلٌه‬ ََّ ٌْ َ‫َما بِ َش ْخ َِّش َخ ْٕبَ ََّش أ‬
ََّ ‫م عَا َم‬
َّْ ‫عهًٕ فك مج) أََْ َصسْ عَّ ثَ َمشَّ ِم‬
َُّ ‫ه ِم ْىٍَا َٔ ْخ َُّش‬
‫ج‬
Artinya: “Dari Ibnu Umar sesungguhnya Rasulullah saw. Pernah
mempekerjakan penduduk Khaibar dengan upah separuh dari hasil panenan
tanah yang digarap berupa buah atau tanaman.” (Muttafaq „alaih).34
‫ل َسفـ َ َع ًَُّ ٌُ ََّشٔـْ َشَّةَ أَبِّ عه‬
ََّ ‫للاَ إِنَّ « لَا‬
َّ ‫ل‬َُّ ُُ‫ث أَوَا ٔـَم‬
َُّ ِ‫ه ثَان‬ َّْ ‫اح أَ َح ُذٌُ َما َٔ ُخ‬
َِّ ْٕ ‫ه نَ َّْم َما انش ِشٔ َك‬ َ ًَُّ َ‫َخاوًَ فَإ ِ َرا ب‬
َِّ ‫ص‬
ُ ْ‫ه َخ َشج‬
َّ‫ج‬ َّْ ‫)سَاٌأبُداَد( بـ َ ْٕىِ ٍِ َما ِم‬
Artinya: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. Berkata: sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang
berserikat selama salah satunya tidak menghianati yang lainnya. Jika salah
satunya berkhianat, maka Aku akan keluar dari keduanya.” ( HR. Abu
Dawud)35
Dasar dari Al-Qur‟an terdapat dalam Qs. An-Nisa‟ (4) ayat 12 :
َ ِ ‫ان ث ُّ ه ُ ثَِّ ف ِ ٓ شُ َش كَ ا ءَُّ ف َ ٍ ُ ْمَّ ٰرَ ن‬
َّ‫كَّ ِم ْهَّ أ َ كْ ث َ َشَّ كَ ا و ُ ُا ف َ إ ِ ْن‬
“Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu”.

Dari beberapa hadis serta ayat yang menjelaskan tentang syirkah kami
dapat menyimpulkan bahwa syirkah merupakan akad yang diperbolehkan
oleh syara‟. Bahkan dalam hadis dijelaskan bahwa syirkah akad yang sudah
di lakasakan sebelum islam datang.

B. Rukun dan Syarat Syirkah


Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu
berlangsung. Ada perbedaan terkait dengan rukun syirkah. Menurut ulama
Hanafiyah rukun syirkah hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan melakukan

34
Adi Bisri Musthofa, Tarjamah Shahih Muslim Jilid 3, (Semarang: CV. Asy Syifa‟, 1993),hlm.
60.
35
Abu Daud Sulaiman bin Al-Asyaz Sabhataani, Sunan Abu Daud, (Bairut : Daarul Kitabi Al-
Arobi th) Jus 2, hlm. 526.

24
penawaran perserikatan) dan kabul (ungkapan penerimaan perserikatan), istilah
ijab dan kabul sering disebut dengan serah terima. Jika ada yang menambahkan
selain ijab dan kabul dalam rukun syirkah seperti adanya kedua orang yang
berakad dan objek akad menurut Hanafiyah itu bukan termasuk rukun tetapi
termasuk syarat.
Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi
menjadi empat bagian, sebagai berikut:
1. Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah, baik dengan harta
maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu:
a. berkenaan dengan benda, maka benda yang diakadkan harus dapat
diterima sebagai perwakilan,
b. berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas
dan dapat diketahui dua pihak.
2. Semua yang bertalian dengan syirkah mâl. Dalam hal ini terdapat dua
perkara yang harus dipenuhi, yaitu :
a. bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat
pembayaran, (nuqud), seperti junaih, riyal dan rupiah, dan
b. benda yang dijadikan modal ada ketika akad syirkah dilakukan, baik
jumlahnya sama maupun berbeda.
3. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah, bahwa disyaratkan:
a. modal (harta pokok) harus sama
b. orang yang bersyirkah adalah ahli untuk kafalah, dan
c. orang yang dijadikan objek akad, disyaratkan melakukan syirkah
umum, yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan
4. Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah „inan sama dengan syarat
syirkah mufâwadhah.
Menurut Malikiyah, syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang
melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar. Akad syirkah ada kalanya
hukumnya shahih ataupun fasid. Syirkah fasid adalah akad syirkah di mana

25
salah satu syarat yang telah disebutkan tidak dipenuhi, jika semau syarat sudah
terpenuhi maka syirkahdinyatakan shahih.36

Rukun dan Syarat Syirkah menurut referensi lain yaitu, Menurut jumhur
ulama rukun syirkah ada tiga macam:
a. Pihak yang berkontrak (‟aqidani).
Disyaratkan bahwa mitra harus kompeten (cakap secara hukum) dalam
bertransaksi dan tentunya berkompeten dalam memberikan atau menerima
kekuasaan perwakilan (Sabiq, 1989:388).
b. Obyek yang diakadkan (ma‟qud ‟alaih)
Obyek yang diakadkan dalam syirkah ini adalah dana (modal). Dana
(modal) yang diberikan harus uang tunai. Tapi sebagian ulama yang lain
memberikan kemungkinan bila modal berwujud asset perdagangan, seperti
barang-barang, properti, dan sebagainya. Bahkan bisa dalam bentuk hak
yang non fisik, seperti lisensi dan hak paten (Antonio, 1999: 191). Bila itu
dilakukan, seluruh modal tersebut harus dinilai lebih dahulu secara tunai dan
disepakati para mitranya. Partisipasi dan campur tangan para mitra dalam
bisnis musyarakah adalah hal mendasar. Tidak dibenarkan bila salah satu
pihak menyatakan tak ikut serta menangani pekerjaan dalam syirkah
tersebut. Kalaupun tidak ingin terlibat langsung, ia harus mewakilkannya
pada partnernya itu. Jadi, jenis usaha yang dilakukan dalam syirkah ini
harus dapat diwakilkan kepada orang lain. Hal ini penting, karena dalam
kenyataan, seringkali satu partner mewakili perusahaan untuk melakukan
persetujuan transaksi dengan perusahaan lain. Salah satu pihak boleh
menangani pekerjaan lebih banyak dari yang lain dan berhak menuntut
pembagian keuntungan lebih darinya sesuai dengan kesepakatan. Kemudian,
para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau
menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar
kesepakatan.

36
Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari‟ah, Edisi I (Cet. I; Yogyakarta:
Bpfe Yogyakarta, 2005), hlm. 32.

26
c. Sighat (ijab dan qabul)
Dalam ijab qabul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi , ulama fiqh
menuliskannya sebagai berikut :
1) Adanya kejelasan maksud antara kedua belah pihak.
2) Adanya kesesuaian antara ijab dan qabul
3) Adanya pertemuan antara ijab dan qabul (berurutan dan menyambung).
4) Adanya satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah
pihak, tidak menunjukkan penolakan dan pembatalan dari keduannya. 37

Terdapat pula Rukun dan Syarat Syirkah menurut referensi lain yaitu,
Rukun syirkah ialah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung.
Rukun syirkah berdasarkan pendapat beberapa ulama‟:
a. Berdasarkan pendapat ulama hanafiah rukun syirkah ada dua yakni: ijab
dan qabul. Jika ada yang menambahkan selain ijab dan qabul dalam rukun
syirkah seperti adanya kedua orang yang berakad dan objek akad itu masuk
dalam syara syirkah.
b. Berdasarkan pendapat Abdurrahman al-Jaziri, rukun syirkah meliputi dua
orang yang berserikat, shigat, objek akad syirkah baik itu berupa harta
maupun kerja.
Adapun syarat-syarat syirkah yang terdapat dalam kitab Kifayatul Akhyar ada
lima syarat:
a. Benda (harta) di nilai dengan uang (dinar,dirham,dalam rupiah,dan
lainlain).
b. Harta-harta tersebut sesuai dengan jenis dan macamnya.
c. Harta-harta tersebut dicampur.
d. Satu sama lain membolehkan guna membelanjakan harta tersebut.
e. Untung rugi di terima dengan ukuran harta masing-masing.
Berdasarkan pendapat para Ulama Madzhab Hanafi, seorang anggota sekutu
boleh menikmati semua harta syirkah bila para anggota sekutu lainya tidak
hadir, dan harta syirkah berupa rumah dan tanah dengan anggota syirkah

37
Dr Sri Sudiarti, MA, Fiqh Muamalah Kontemporer (Medan : FEBI UIN-SU Press), hlm. 147-
148.

27
lainya; dan semua anggota syirkah yang tidak hadir itu, ia tidak membebani
pembayaran apapun.
Ketentuan ini diambil atas dasar berlakunya adat istiadat yang menilai
bahwa pengambilan manfaat guna anggota yang tidak hadir itu lebih baikdari
pada membiarkan harta benda tidak bermanfaat sama sekali”.
Ada syarat umum yang berlaku guna syirkah Uqud (kontrak) dan syirkah
Amlak (kepemilikan).
Syarat umum guna syirkah uqud, diantaranya ialah:
a. Perserikatan merupakan transaksi yang bisa di wakilkan.
b. Pembagian (Deviden) keuntungan diantara anggota harus jelas.
c. Pembagian (deviden) keuntungan diambil dari lama perserikatan, bukan dari
modal perserikatan.
Sedangkan syirkah amlak sebagai berikut:
a. Modal perseroan mesti hadir, baik secara akad maupun saat akan
mengerjakan pembelian barang ini ialah pendapat jumhur fuquha, maka
tidak diperkenakan yang modalnya masih berupa hutang, maupun
modalnya masih belum dihadirkan.
b. Modal perseroan berupa uang, ini kesepakatan empat mazhab, maka
perserikatan yang modalnya berformat barang, baik barang yang bergerak
maupun tidak bergerak tidak diperkenakan”.38

Dapat di pahami bahwa, Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada
ketika syirkah itu berlangsung. Ada perbedaan terkait dengan rukun syirkah.
Menurut ulama Hanafiyah rukun syirkah hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan
melakukan penawaran perserikatan) dan kabul (ungkapan penerimaan
perserikatan), istilah ijab dan kabul sering disebut dengan serah terima. Jika
ada yang menambahkan selain ijab dan kabul dalam rukun syirkah seperti
adanya kedua orang yang berakad dan objek akad menurut Hanafiyah itu
bukan termasuk rukun tetapi termasuk syarat.

38
Akhmad Farroh Hasan. Fiqh Muamalah Dari Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta, UIN-Malik
Malang Press : 2018), hlm. 75-76.

28
Adapun syarat-syarat syirkah yang terdapat dalam kitab Kifayatul Akhyar ada
lima syarat:
a. Benda (harta) di nilai dengan uang (dinar,dirham,dalam rupiah,dan lainlain).
b. Harta-harta tersebut sesuai dengan jenis dan macamnya.
c. Harta-harta tersebut dicampur.
d. Satu sama lain membolehkan guna membelanjakan harta tersebut.
e. Untung rugi di terima dengan ukuran harta masing-masing.

29
C. Macam-Macam Syirkah
Syirkah dari segi jenisnya, dapat dibedakan kepada beberapa macam yaitu:
a. Syirkah Amla‟ ; yaitu dua orang atau lebih memiliki benda/harta, yang
bukan disebabkan akad syirkah. Perkongsian pemilikan ini tercipta karena
warisan, wasiat, membeli bersama, diberi bersama, atau kondisi lainnya
yang berakibat pemilikan satu asset oleh dua orang atau lebih. Syirkah
amlak ini terbagi lagi kepada dua macam, yaitu syirkah ikhtiyariyah dan
syirkah ijbariyah.
1) Syirkah ikhtiyariyah, yaitu syirkah yang terjadi oleh perbuatan dua
orang yang bekerjasama, seperti manakala keduanya membeli, diberi
atau diwasiati lalu keduanya menerima, sehingga sesuatu tersebut
menjadi hak milik bersama bagi keduanya.
2) Syirkah ijbariyah, yaitu syirkah yang terjadi bukan oleh perbuatan dua
pihak atau lebih sebagaimana syirkah ikhtiyar di atas, tetapi mereka
memilikinya secara otomatis, terpaksa dan tidak bisa mengelak (jabari),
seperti dua orang yang mewarisi sesuatu, sehingga kedua orang tersebut
sama-sama mempunyai hak atas harta warisan tersebut.
b. Syirkah ‟Ukud, yaitu transaksi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
untuk berserikat dalam permodalan dan keuntungan. Para ulama berbeda
pendapat dalam membagi jenis-jenis syirkah ‟ukud. Menurut Hanabilah,
syirkah ‟ukud ada 5 macam, yaitu:
1) Syirkah ‟inan
2) Syirkah Mufawadhah
3) Syirkah Abdan
4) Syirkah Wujuh
5) Syirkah Mudharabah
Menurut Hanafiyah syirkah itu ada enam macam, yaitu :
1) Syirkah Amwal
2) Syirkah A‟mal
3) Syirkah Wujuh

30
Setiap syirkah tersebut terdiri dari dua macam syirkah, yaitu syirkah
mufawadhah dan syirkah ‟inan. Sehingga seluruhnya berjumlah enam jenis
syirkah.
Sedangkan menurut Malikiyah dan Syafi‟iyah syirkah ada empat macam :
1) Syirkah Inan
2) Syirkah Mufawadhah
3) Syirkah Abdan
4) Syirkah Wujuh
Para ulama sepakat bahwa syirkah „inan dibolehkan, Sedangkan untuk
jenis syirkah yang lain, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Syafi‟iyah hanya membolehkan syirkah „inan dan syirkah mudharabah.
Hanabilah membolehkan semua jenis syirkah kecuali syirkah mufawadhah.
Malikiyah membolehkan semua syirkah, kecuali syirkah wujuh dan
mufawadhah.
Dari beberapa bentuk pembagian dan pengelompokkan syirkah di atas,
dengan pembagian dan pengelompokkan yang bervariasi, maka dalam hal ini
peneliti menyimpulkan bahwa syirkah „uqud itu ada 4 (empat) macam, yaitu
syirkah „inan, syirkah mufawadhah, syirkah a‟mal/abdan dan syirkah wujuh.
Sedangkan mudharabah tidak dikelompokkan kedalam syirkah, hal ini didasari
kepada objek/kontribusi yang yang harus diserahkan oleh orang yang
bersyerikat haruslah sama, sedangkan pada mudharabah kontribusinya berbeda,
yang satu sebagai shahibul maal atau pemilik modal dan yang satunya lagi
adalah sebagai mudharib atau pengelola.39

Adapun Macam-Macam Syirkah yang kami dapat dari referensi lain,


Secara garis bersar nya dalam syari‟at serikat itu di bedakan kepada dua
bentuk, yaitu
1. Sirkah amlak

39
Dr Sri Sudiarti, MA, Fiqh Muamalah Kontemporer (Medan : FEBI UIN-SU Press), hlm. 149-
151.

31
Sirkah amlak ini adalah beberapa orang memiliki memilikisecara bersama-
sama sesuatu barang tersebut bukan di sebabkan adanya perjanjian di antara
para pihak (tanpa ada akad/perjanjian terlebih dahulu) misalnya pemilikan
harta secara bersama-samayang di sebabkan atau diperoleh karena
pewarisan.
2. Syirkah uqud
Sirkah uqud ini ada terbentuk di sebabkan para pihak memeng sengaja
melakukan perjanjian untuk bekerja bersama /bergabung dalam suatu
kepentingan harta(dalam bentuk penyertaan modal)dan di diriakanya serikat
tersebut bertujuan untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk harta benda
Berdasarkan penelitian para ulama fikih terdahulu terhadap dalildalil syar‟i,
bahwa di dalam terdapat tujuh macam syirkah, yaitu:
a. Syirkah Muzara‟ah
Adalah kerjasama antara pemilik lahan pertanian dengan pekerja tani.
Dalam kerjasama ini pemilik lahannya berikut bibit yang diperlukan kepada
pekerja tani untuk diusahakan sedangkan hasil yang diperoleh daripadanya
dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama. Bila dalam kerjasama ini bibit
disediakan oleh pekerja, maka secara khusus kerjasama ini disebut dengan
mukhabarah. Kerjasama dalam bentuk muzara‟ah menurut kebanyakan
ulama hukumnya adalah boleh. Adapun tujuan dan hikmah hukum boleh
dalam kerjasama ini adalah tolong menolong dan memberikan kemudahan
dalam pergaulan hidup. Unsur yang terdapat dalam kerjasama muzara‟ah ini
adalah pemilik lahan, pekerja pertanian, dan objek kerjasama ini adalah
lahan dan hasil yang diperoleh sebagai keuntungan.
b. Syirkah Musaqah
Secara sederhana musaqah diartikan dengan kerjasama dalam perawatan
tanaman dengan imbalan bagian dari hasil yang diperoleh dari tanaman
tersebut. Yang dimaksud dengan tanaman dalam muamalah ini adalah
tanaman tua atau tanaman keras yang berbuah untuk mengharapkan
buahnya seperti kelapa dan sawit, atau yang bergetah untuk mengharapkan
getahnya, bukan tanaman tua untuk mengharapkan kayunya. Perawatan

32
disini mencakup mengairi(inilah arti yang sebenarnya dengan musaqah),
menyiangi, merawat dan usaha lain yang berkenaan dengan buahnya.
Hukum dari musaqah ini adalah boleh atau mubah.
Tujuan dari kerjasama dalam bentuk ini adalah tolong menolong dan
memudahkan dalam pergaulan hidup,saling menguntungkan dan tidak ada
pihak yang dirugikan.
c. Syirkah Mudharabah
Mudharabah arti asalnya berjalan diatas bumi untuk berniaga, atau yang
disebut juga qiradh yang arti asalnya saling mengutang. Mudharabah adalah
kerjasama dua pihak yang satu diantaranya menyerahkan uang kepada pihak
lain untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungannya dibagi diantara
keduanya menurut kesepakatan. Hukum mudharabah ini adalah boleh.
Tujuan kerjasama mudharabah ini adalah memberikan kemudahan bagi
pergaulan manusia dalam kehidupan dan keuntungan timbal balik tanpa ada
pihak yang dirugikan.
d. Syirkah „inan
Syirkat „inan diartikan dengan kerjasama dalam modal dan usaha. Syirkat
„inan merupakan salah satu bentuk dari syirkat „uqud yang dibentuk dalam
suatu akad atau perjanjian. Hukum syirkat „inan ini adalah boleh atau
mubah. Tujuan syerikat ini adalah memberikan kemudahan dan kelonggaran
kepada umat dalam kehidupan ekonomi mereka dengan cara mendapatkan
keuntungan bersama tanpa merugikan suatu pihak.
e. Syirkah mufawadhah
Syirkah mufawadhah adalah kerjasama dalam modal dan usaha. Dari segi
ini bentuk syirkah mufawadhah ini menyerupai syirkah „inan, namun dalam
bentuk kerjasama ini diisyaratkan sama dalam modal dan sama pula dalam
berusaha.
f. Syirkah usaha atau syirkah abdan
Adalah bersepakatnya dua orang atau lebih menerima dan melaksanakan
suatu pekerjaan, yang hasil dari pekerjaan itu dibagi bersama diantara
anggota serikat, sesuai dengan kesepakatan bersama.

33
g. Syirkah wibawa atau syirkah wujuh
Wujuh artinya wibawa dan kepercayaan. Serikat wibawa yaitu dua orang
atau lebih dari orang-orang yang disegani oleh masyarakat dan mendapat
kepercayaan dari para pedagang, namun tidak memiliki modal usaha, sama-
sama memperoleh barang dagangan dari pemilik barang untuk
diperdagangkan. Hukum Serikat wibawa atau syirkah wujuh adalah boleh.40

Macam-Macam Syirkah Menurut Referensi lain, Pada dasarnya macam-


macam Syirkah diantaranya ialah:
a. Syirkah Ibahah
Syirkah Ibahah ialah persekutuan hak seluruh orang guna dibolehkan
menikmati manfaat sesuatu, misalnya menikmati manfaat air sungai, garam
laut, api, padang rumput dan sebagainya yang belum ada dibawah dominasi
perorangan.
b. Syirkah milik
Syirkah milik ialah persekutuan antara dua orang atau lebih guna
mempunyai suatu benda. Syirkah ini ialah syirkah yang bersifat ikhtiari dan
bersifat jabari, yakni:
1) Syirkah Kepunyaan yang bersifat ikhtiari ialah beberapa orang bersekutu
membeli sebuah rumah guna tempat tinggal bersama, sebidang tanah
ditanami dan sebagainya.
2) Syirkah kepunyaan yang bersifat jabari ialah tidak berhak mengerjakan
terhadap bagian rekannya, kecuali bila mempunyai hak perwalian atas
bagian itu dengan jalan wakalah (perwalian) atau washayah (wasiat).
Kecuali itu tiap-tiap syirkah tidak berhak menikmati manfaat bagian
rekannya kecuali dengan izin yang berhak. Meskipun demikian, berdasarkan
pendapat pendapat para ulama madzhab Hanafi, seorang anggota sekutu boleh
menikmati seluruh harta syirkah berupa rumah dan tanah dengan syarat tidak
merugikan seorangpun dari pada anggota syirkah lainnya; dan dalam

40
Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari‟ah, Edisi I (Cet. I; Yogyakarta:
Bpfe Yogyakarta, 2005), hlm. 38-40.

34
menikmati bagian anggota syirkah yang tidak hadir itu, ia tidak dibebani
pembayaran beban apapun.
Ketentuan ini diambil atas dasar berlakunya adapt istiadat yang menilai
bahwa pengambilan manfaat seperti itu diizinkan. Mengambil manfaat bagian
anggota yang tidak hadir itu lebih baik hadir itu lebih baik dari pada
membiarkan harta benda tidak berfungsi sama sekali.
c. Syirkah akad
Syirkah akad ialah akad persekutuan antara dua orang atau lebih dalam harta
dan keuntungan. Syarat-syarat perjanjian syirkah dapat dibagi dua; Syarat-
syarat umum dan syarat khasus. Syarat-syarat umum mesti terdapat dalam
segala macam syirkah, dan syarat khususnya hanya diperlukan dalam
macam syirkah tertentu. Syaratsyarat umum yang harus ada dalam segala
macam syirkah ialah:
1) Masing-masing pihak yang menyelenggarakan perjanjian yang
bercecakapan guna menjadi wakil atau mewakili.
2) Objek akad ialah hal-hal yang bisa diwakilkan supaya memungkinkan
tiap-tiap anggota syirkah melngerjakan tindakan-tindakan hukum.
3) Keuntungan masing-masing merupakan bagian dan keseluruhan
keuntungan yang ditentukan kadar potensinya, seperti separoh, seperdua
dan sebagianya”.
Berdasarkan pendapat mazhab Hanafi Syirkah uqud (akad) terbagi empat
bagian yakni:
1) Syirkah „Inan
Syirkah „inan ialah perserikatan yang dilaksanakan oleh semua pemodal
guna memberikan harta masing-masing guna dijadikan modal dagang
dengan destinasi akan mendapatkan keuntungan. Syirkah ini tidak di
syaratkan nilai modal, wewenang dan keuntungan dapat didasarkan kepada
penyertaan prosentase modal masing-masing, tetapi dapat pula atas dasar
organisasi. Hal ini diperkenakan karna adanya kemungkinan tambahan kerja
atau penanggungan resiko setiap pihak”.Berdasarkan pendapat Taqiyuddin
an- Nabbni, perseroan „inan ialah perseroan antara dua badan usaha dengan

35
harta masing-masing dengan kata lain, dua orang mengerjakan perseroan
dengan harta masing-masing guna bersamasama mengelola dengan badan
mereka (tenaga kerja), kemudian keuntungan dibagi diantara mereka. Maka
persoalan ini disebut perseroan „inan karna setiap pihak sama-sama ikut
mengelola”.
Selanjutnya dijelaskan perseroan ini semacam menjadi investasi ialah
uang. Sebab uang ialah nilai kekayaan dengan nilai harga yang mesti dibeli.
Sedangkan modal tidak diperkenalkan untung menyelenggarakan perseroan
ini, kecuali kalau sudah dihitungkan nilainya pada saat mengerjakan
transaksinya.
Syarat investasi tersebut harus jelas, sampai-sampai dengan jelas dapat
dikelola. Oleh karena itu, tidak boleh mengerjakan perseroan ini dengan
kekayaan yang tidak hadir jaga dengan kekayaan yang masih berupa hutang,
sebab sekiranya terjadi pembubaran itu harus dikembalikan pada investasi
awal. Disamping itu, modal yang masih berupa hutang akan susah dikelola
secara langsung padahal disitulah destinasi perseroan tersebut.
Dalam perseroan ini tidak disyaratkan adanya persamaan nilai kekayaan
dan tidak harus sejenisnya. Hanya saja , kekayaan tersebut harus dinilai
dengan standar yang sama, sampai-sampai kakayaan pemodal bisa
meleburkan jadi satu.
Perseroan ini dibina dengan sikap wakalah(bisa diwakilkan) dan amanah
(kepercayaan). Sebab semua pihak dengan menyerahkan kekayaan
perseroannya serta dengan izinnya guna mengelola kekayaan tersebut, maka
semua perseroan tersebut mewakili kepada perseronya.
Apabila perseroan tersebut sudah sempurna, maka persero tersebut dapat
mengerjakan kerja. Masing-masing persero boleh mengerjakan transaksi
pembeli dan penjualan kaena alasan tertentu yang berdasarkan pendapatnya
membawa kemaslahatan bagi persero lainya. Masing-masing berhak
melepaskan atau mencungkil barang-barang dan berhak pula tidak sepakat.

36
Keuntungan yang diraih dalam transaksi ini ialah sesuai dengan
persyaratan modal masing-masing dan begitu pula sebaliknya bilamana
mengalami kerugian maka disesuaikan juga dengan modal yang disetor.
Berdasarkan pendapat Wahbah Az-Zuhaili, syirkah ini merupakan yang
berlaku pada saat ini. Syirkah ini tidak akan disyaratkan adanya persamaan,
baik modal maupun dalam pempelanjaanya, maka diperkenalkan modal
anggota persero lebih banyak dari yang lain demikian pula adanya
pembagian
dalam kewenangan atau tasharruf yang berbeda. Ketidak samaan dalam
modal tersebut apabila mengalami keuntungan, maka akan dibagi sesuai
dengan modal masing-masing, demikian sebaliknya apabila mengalami
kerugian maka akan diprosentasikan dengan modal masingmasing, sebagai
kaidah:
‫اَّنشَّبعَّعهَّّماَّششَّصاََّانَُّصىٕعتَّعهَّّلذَّساَّانماَّنٕه‬
Artinya:
“ Keuntungan tergantung atas apa yang diperjanjikan dan kerugian
disesuaikan dengan kadar modal masing-masing”.149
2) Syirkah Abdan/ A‟mal
Syirkah Abdan juga disebut pula syirkah “Shoyani” jamak dari
Shoni‟taqobul dan umal jama‟ dari amilun yakni : perserikatan yang
dilaksanakan dua orang atau lebih guna menerima suatu pekerjaan.
Misalnya Kuli bangunan, bengkel dan pelayanan barang lainnya.
Keuntungan dari perserikatan ini bagi sesuai
dengan kesepakatan bersama.
Perseroan abdan ini ialah perseroan yang dilaksanakan dua orang atau
lebih dengan badan masing-masing pihak, tampa harta dari mereka Dengan
kata lain mereka mengerjakan perseroan dalam pekerjaan yang mereka
lakukan dengan tenaga-tenaga mereka sendiri baik pekerjaan melewati
pikiran atau fisik. Seperti pekerjaan antara Insiyur dengan tukang batu,
dokter dengan pemburu sedangkan keuntungannya yang didapatkan akan
dibagi diantara mereka”.

37
Masing-masing persero terlibat dalam suatu pekerjaan. Oleh karna itu para
persero dengan beragam keahlian menggarap perseroan maka hukumnya
mubah. Apabila menggarap perseroan, kemudian yang lainnya
mengeluarkan biaya dan yang lainnya mengerjakan dengan tenaga maka
sahlah perseroan
tersebut. Jadi apabila pekerja dalam suatu perusahaan menggarap perseroan,
baik semuanya mengerti tentang industri atau yang lain hanya sebagian,
sedangkan yang lain tidak memahami sama sekali, kemudian mereka
mengerjakan perseroan, dengan para pengrajin, pekerja, juru tulis dan
kesemuanya itu menjadi anggota perseroan, maka hukumnya sah. Hanya
saja syarat yang dilaksanakan guna meraih keuntungan tersebut dikerjakan
dengan mubah apabila pekerjaan tersebut haram, maka permasalahan dalam
rangka menggarap pekerjaan tersebut hukumnya menjadi haram.
Berdasarkan pendapat Mazhab Maliki, Hanafi, Hambali, dan Zaidiyah:
syirkah abdan ini diterima syara‟ karna tujuh dari syirkah ini ialah mencari
keuntungan (Deviden) dan hak tersebut lebih banyak dilaksanakan. Syirkah
bisa terjadi melalui harta dan pekerjaan, sebagaimana dalam mudharabah,
dan syirkah dalam format ini ialah syirkah yang melibatkan pekerjaan.
Mazhab Maliki menambahkan kebolehan syirkah ini, karna syirkah ini
dengan syarat tindakan yang dilaksanakan oleh semua persero haruslah
sama (sejenis) meskipun tidak sama pekerjaannya namun masih
bersangkutan dengan yang digarab oleh persero lainnya maka hukumnya
tetap boleh. Seperti pekerjaan guna membangun rumah, sedangkan batu
diperlukan guna membangun rumah maka sahlah pekerjaan ini.
Mazhab Syafi‟I, Imamiyah, Syiah tidak mau menerima syirkah ini. Karna
syirkah berdasarkan pendapat mereka bisa bergabung melalui harta (modal)
bukan pekerjaan, disamping itu pekrjaan tidak bisa diukur sampai-sampai
membawa kemungkinan terjadinya penipuan. Pengaruh fisik dari anggota
juga menghasilkan deviden yang berbeda.

38
Mazhab Hambali menambahkan alasan kebolehan syirkah ini, sebab
syirkah ini tetap diizinkan hingga dalam pekerjaan mencari rumput, kayu
hutan, memancing dan barang mubah lainnya.
Pendapat Mazhab Hambali ini bertentangan dengan syarat uqud, padahal
syirkah abdan ialah bagian dari syirkah uqud. Dikatakan demikian, bahwa
syirkah uqud harus bisa diwakilkan dan akad wakalah sendiri tidak sah
kalau objeknya berupa barang mubah. Karena urusan itu dirasa oleh jumhur
sebagai perbuatan menguasai perbuatan barang umum dan ini tidak sah.
3) Syirkah Al-Wujuh
Syirkah Al-Wujuh ialah serikat yang dilaksanakan dua orang atau lebih
yang tidak memiliki modal sama sekali,mereka mengerjakan suatu
pembelian dengan cara kredit dan menjualnya dan menjualnya dengan cara
kontan, kemudian
kalau dapat untung akan dibagi bersama. Syirkah ini ialah perseroan antara
dua orang atau lebih dengan modal dari pihak luar dari orang (badan)
tersebut”.
Termasuk dalam kategori syirkah wujuh, apabila dua orang atau lebih
mengerjakan perseoran dengan harta yang sama-sama menjadi pembeli,
sebab adanya keyakinan pedagang kepada mereka, dan bukannya modal
mereka.
Syaratnya pemilikan mereka atas harta yang menjadi pembelian mereka
harus sama atau dengan komparasi yang disepakati lain, bukan berdasarkan
barang yang menjadi hak kepunyaan mereka.
Syaratnya pemilikan mereka atas harta yang menjadi pembelian mereka
harus sama atau dengan komparasi yang disepakati lain, bukan berdasarkan
barang yang menjadi hak milik mereka. Ditentukan dengan pemilikan
mereka atas harta pembeliannya, sebab status pembeliannya sama dengan
harta mereka dan bukannya berdasarkan pada beban kerugian yang mereka
sepakati, juga bukan deviden yang disepakati pula, baik deviden diantara
mereka cocok dengan hasil pembeliannya atau pun masing- masing bertolak
belakang dengan hasil pembeliannya. Akan tetapi yang butuh dipahami,

39
bahwa yang dimaksud kepercayaan disini ialah kepercayaan yang bersifat
finansial, yakni keyakinan yang lahir karena kreadibilitas bukan pangkat
atau kedudukan. Sebab bila keyakinan tersebut dipakai dalam konteks bisnis
pasti maksudnya ialah kepercayaan yang bersifat financial. Oleh karena itu
terkadang seorang yang sangat dihormati, namun kreadibilitas tidak
dipercaya yang bersifat finansial pada dirinya, dan bisa juga ia tidak
sanggup mempunyai keyakinan yang bisa digunakan dalam konteks bisnis
dan perseroan.
Berdasarkan pendapat Mazhab Hanafi, Hambali dan Zaidiah syirkah ini
diperkenakan oleh syara‟ karena syirkah ini merupakan syirkah al-uqud
yang memuat atau menerima perwakilan baik kebutuhan menjual atau
membeli, juga karena modal syirkah ini telah sering dilaksanakan dan
terjadi dikalangan insan
tanpa adanya perselisihan. Az-Zuaili menyimpulkan pendapat ini setiap
pekerjaan yang disepakati, maka diperkenakan mengerjakan kerja sama
(syirkah) didalamnya.
Berdasarkan pendapat Mazhab Maliki, Syfi‟i, Imamiyah, Al- Laits, Abu
Sulaiman dan Abu Tsauri syirkah ini hukumnya batal, karna unsur syirkah
ini ialah dengan harta (modal) dan pekerjaan. Sedangkan dalam modal
syirkah ini sama sekali tidak ditemukan dua unsur tersebut, lagi pula bisa
jadi adanya penipuan yang terjadi.
4) Syirkah Mufawadhah
Syirkah Mufawadhah ialah, secara bahasa keserupaan dan secara istilah
ialah aqad yang dilaksanakan antara dua orang atau lebih guna mengerjakan
kerja sama dengan syarat adanya kesamaan baik kekayaan maupun
kewenangan (tanggung jawab), dan bahkan agama.
Apabila diantara anggota persero mengerjakan tasharruf baik itu
pembelajaran maupun bembelian maka yang lain ikut menanggung terhadap
tidakannya, artinya bilamana mengalami kerugian maka tanggung jawab
dari kerugian tersebut harus dipikul bareng dan satu sama lainnya jangan
lepas tanggan dari

40
lainnya. Masing-masing persero harus sama modalnya, maka satu sama
lainya atau sebaliknya.
Dalam syirkah ini jaga disyaratkan persamaan dalam tasharruf maka tidak
sah hukumnya bila keserupaan dalam agama, maka tidak sah bila syirkah ini
dilaksanakan antara muslim dengan non muslim”.
Ulama Madzhab Hanafi dan Maliki membenarkan syirkah mufawadhah.
Tetapi definisinya berdasarkan pendapat ulama madzhab maliki tidak
seperti diatas, yang berasal dari ulama madzhab Hanafi. Berdasarkan
pendapat ulama madzhab Maliki, yang dinamakan syirkah mufawadhah
ialah persekutuan antara dua orang atau lebih dalam modal dan
keuntungannya, dengan keuntungan masingmasing anggota menyerahkan
kepada anggota lain hak beraksi atas syirkah, baik anggota yang hadir
semua atau yang tidak hadir dan tanpa syarat modal masing-masing harus
sama besarnya tanpa kewajiban memasukan harta baru yang tidak diperoleh
salah seorang anggota didalam modal syirkah.41

Dari beberapa referensi diatas kami dapat menyimpulkan bahwa macam-


macam syirkah diantaranya yaitu :
a. Syirkah Ibahah
b. Syirkah milik
Syirkah ini ialah syirkah yang bersifat ihktiari dan bersifat jabari.
c. Syirkah akad
Berdasarkan pendapat mazhab hanafi syirkah uqud (akad) terbagi empat
bagian yakni :
 Syirkah „Inan
 Syirkah Abdan/A‟mal
 Syirkah Al-Wujuh
 Syirkah Mufawadhah

41
Akhmad Farroh Hasan. Fiqh Muamalah Dari Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta, UIN-Malik
Malang Press : 2018), hlm. 77-84.

41
BAB IV

KESIMPULAN

Al-Ijarah berasal dari Bahasa Arab yang memiliki makna “upah, sewa,
jasa, atau imbalan.” Dan Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al‟iwadhu
atau berarti ganti. Maka Al-ijarah ialah suatu aktivitas akad untuk mengambil
manfaat dengan jalan pengganti uang yang dapat diterima orang lain. Akad Ijarah
atau sewa menyewa hukumnya di bolehkan. Karena akad tersebut dibutuhkan
oleh masyarakat. Rukun akad ijarah harus meliputi aqid, shighat, ujroh dan
manfaat serta syarat Al-ijarah meliputi syarat in’iqad,nafadz,syarat sah dan
huzum. Adapun macam-macam Ijarah yaitu Ijarah atas manfaat dan Ijarah atas
pekerjaan.

syirkah artinya al-ikhtilath yang artinya campur atau percampuran. Yang


dimaksud dengan percampuran adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan
harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan. Jumhur ulama
kemudian menggunakan istilah ini untuk menyebut transaksi khusus, meskipun
tidak terjadi percampuran kedua harta itu, karena yang menyebabkan
bercampurnya harta adalah transaksi. Akad Syirkah atau Perkongsian hukumnya
di bolehkan karena sudah dilaksanakan sebelum islam datang.

42
DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Farroh Hasan, M. (2018). FIQH MUAMMALAH dari Klasik hingga


Kontemporer (Teori dan Praktik). Malang: UIN-Maliki Malang Press.

Dr. Sri Sudiarti, M. (2018). FIQH MUAMALAH KONTEMPORER. Medan:


FEBI UIN-SU Press.

Drs. H Chairuman Pasaribu Suhrawardi K, L. S. (2019). Hukum Perjanjian Dalam


Islam. Jakarta: Dunia Ilmu Press.

H. Syaikhu, M. (2020). FIKIH MUAMALAH Memahami Konsep dan Dialektika


Kontemporer. Yogyakarta: K-Media.

Muslich, D. H. (2019). FIQH MUAMALAH. Jakarta: AMZAH.

Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, M. (2010). FIQH MUAMALAT. Jakarta:


Kencana Prenada Media Group.

43
MAKALAH FIKIH MUAMALAH

MUDHARABAH, MUZARA’AH, DAN MUSAQAH

DISUSUN OLEH : .

KELOMPOK 8

ISTIWA ALAIKA (90400121049)

RIHHADATUL RIPDHA (90400121050)

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah swt. atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul " Mudharabah, Muzara’ah, dan
Musaqah" dengan tepat waktu. Makalah disusun untuk memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah Fikih Muamalah. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah
wawasan tentang manusia prasejarah bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Asman Arsyad,S.Ag.,M.Ag
selaku dosen pengampu Fikih Muamalah. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini. Penulis
menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Samata, 19 Mei 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG .......................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ..................................................................... 1

BAB II MUDHARABAH

A. DEFINISI MUDHARABAH DAN DASAR HUKUMNYA


1. Definisi Mudharabah ...................................................................... 2
2. Dasar Hukum Mudharabah ............................................................. 3
B. RUKUN – RUKUN MUDHARABAH, MACAM, DAN SIFATNYA
1. Rukun Mudharabah ........................................................................ 5
2. Macam – Macam Mudharabah........................................................ 6
3. Sifat Mudharabah ........................................................................... 7
C. SYARAT – SYARAT MUDHARABAH ............................................. 9
D. HUKUM – HUKUM MUDHARABAH ............................................... 11
E. HAL YANG DAPAT MEMBATALKAN AKAD MUDHARABAH ... 13

BAB III MUZARA’AH

A. DEFINISI MUZARA’AH DAN DASAR HUKUMNYA


1. Definisi Muzara’ah ......................................................................... 15
2. Dasar Hukum Muzara’ah ................................................................ 16
B. RUKUN MUZARA’AH, SIFAT DAN SYARATNYA
1. Rukun – Rukun Muzara’ah ............................................................. 17
2. Sifat Akad Muzara’ah ..................................................................... 18
3. Syarat Akad Muzara’ah .................................................................. 19
C. BENTUK – BENTUK AKAD MUZARA’AH ..................................... 20
D. HUKUM – HUKUM AKAD MUZARA’AH YANG SHAHIH DAN
FASID.................................................................................................. 23
E. BERAKHIRNYA AKAD MUZARA’AH ............................................ 25

iii
BAB IV MUSAQAH

A. DEFINISI MUSAQAH DAN DASAR HUKUMNYA


1. Definisi Musaqah ........................................................................... 27
2. Dasar Hukum Musaqah .................................................................. 28
B. RUKUN MUSAQAH DAN SYARATNYA
1. Rukun – Rukun Musaqah................................................................ 29
2. Syarat Musaqah .............................................................................. 29
C. BERAKHIRNYA MUSAQAH ............................................................ 31

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam operasional bank Syariah, Mudharabah merupakan salah satu
bentuk akad pembiayaan yang akan diberikan kepada nasabahnya. Sistem
dari mudharabah ini merupakan akad kerja sama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya
menjadi. Keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak.
Muzara’ah adalah kerja sama dibidang pertanian antara pihak pemilik
tanah dan petani penggarap. Dasar hukum Muzara’ah yaitu berdasarkan
hadist riwayat bukhari dan muslim. Rukun Muzara’ah ada empat, yakni
pemilik tanah, petani penggarap, objek Al – Muzara’ah yaitu antara tanah
dan hasil kerja petani serrta yang terakhir ijab dan Kabul.
Musaqah adalah transaksi dan pengairan. Dasar hukum Musaqah berbeda
beda oleh beberapa ulama. Rukun musaqah ada lima, yaitu: dua orang atau
pihak yang melakukan transaksi, tanah yang dijadikan objek musaqah, jenis
usaha yang akan melakukan petani penggarap, ketentuan mengenai
pembagian hasil musaqah, shighat (ungkapan) ijab dan Kabul.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Saja Tentang Mudharabah ?
2. Apa Saja Tentang Muzara’ah ?
3. Apa Saja Tentang Musaqah?

1
BAB II

MUDHARABAH

A. Definisi Mudharabah dan Dasar Hukumnya


1. Definisi Mudharabah
Mudharabah dalam bahasa arab berasal dari kata "dharaba". Istilah
mudharabah dengan pengertian bepergian untuk berdagang digunakan
oleh ahli (penduduk) irak. Sedangkan ahli (penduduk) hijaz
menggunakan istilah qiradh , yang diambil dari kata qardh yang artinya
memotong. Dinamakan demikian, karena pemilik modal memotong
sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan oleh amil dan memotong
sebagian dari keuntungannya. 1

Mudharabah berasal dari kata al- darbu fi ardhi yaitu berpergian


untuk urusan perdagangan. Disebut juga qiradh yang berasal dari kata
al -qardhu yang berarti al-qath’u (potongan), karena pemilik pemotong
sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian
keuntungan (Hendi Suhendi 2007: 135). Dapat dipahami mudharabah
adalah akad antara kedua belah pihak yang mana salah satu pihak
menyerahkan uang kepada pihak lain untuk diperdagangkan,
sedangkan keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan oleh pihak
yang melakukan akad.2

Dalam pengertian istilah, mudharabah didefinisikan oleh


wahbah zuhaili yaitu "mudharabah adalah akad penyerahan modal oleh
si pemilik kepada pengelola untuk diperdagangkan dan keuntungan
dimiliki bersama antara keduanya sesuai dengan persyaratan yang
mereka buat".3 sedangkan definisi mudharabah menurut sayid sabiq

1
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Mualamat, edisi 1,(Jakarta:Amzah, 2019), xviii, Hlm. 366.
2
Farida Ariyanti, “Mudharabah dalam Bank Syariah” No. 2 (2019):220
3
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islamiy wa Adillatuh, Dar Al – Fikr, Damaskus, cet. III, 1989, hlm.
836

2
yaitu "yang dimaksud dengan mudharabah disini adalah suatu akad
antara dua pihak dimana salah satu pihak memberikan uang (modal)
kepada pihal lain untuk diperdagangkan dengan ketentuan bahwa
keuntungan dibagi diantara mereka berdua sesuai dengan kesepakatan
mereka".4

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa mudharabah adalah


suatu akad atau perjanjian antara dua orang atau lebih, dimana pihak
pertama memberikan modal usaha, sedangkan pihak lain menyediakan
tenaga dan keahlian, dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi
diantara mereka sesuai dengan kesepakatan yang mereka tetapkan
bersama. Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa
mudharabah adalah kerja sama antara modal dengan tenaga keahlian.

2. Dasar Hukum Mudharabah


Ulama fiqih sepakat bahwa mudharabah disyaratkan dalam islam
berdasarkan Al-Qur’an, Sunah, Ijma’, dan Qiyas.
a. Al – Qur’an
Ayat-ayat yang berkenaan dengan mudharabah, antara lain :

ِْ ‫…ّللا َو ٰاخ َُر ْونَِ يَضْربُ ْونَِ فى ْاْلَ ْرضِ يَ ْبتَغُ ْونَِ م‬
…ِ‫ن فَضْل‬ ِٰ
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah”. (QS. Al-Muzammil: 20).

ِ‫ص ٰلو ِة ُ فَا ْنتَش ُر ْوا فى ْاْلَ ْرض‬


َّ ‫ِرا فَِاذَا قُضيَتِ ال‬
ً ‫ت ُ ْفل ُح ْون ََو َو َكث ْي‬
ِ‫ّللا لَّعَلَّ ُك ْم‬
ِٰ ‫ّللاَ ا ْذكُ ُروا‬ ِْ ‫ا ْبتَغُ ْوا م‬
ِٰ ِ‫ن فَضْل‬
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-
banyak supaya kamu beruntung”.(QS. Al-Jumu’ah: 10)
4
Sayid Sabiq, loc.cit., juz 3.

3
b. As-Sunah
Di antara hadits yang berkaitan dengan mudharabah adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib bahwa Nabi
SAW. Bersabda yang artinya : “Tiga perkara yang mengandung
berkah adalah jual-beli yang ditangguhkan, melakukan qiradh
(memberi modal pada orang lain), dan yang mencampurkan
gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk
diperjualbelikan.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib)
c. Ijma’
Di antara ijma’ dalam mudharabah, adanya riwayat yang
menyatakan bahwa jamaah dari sahabat yang menggunakan harta
anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut tidak ditentang
oleh sahabat lainnya.
d. Qiyas
Mudharabah di qiyaskan Al-Musyaqah (menyuruh seseorang untuk
mengelola kebun). Selain diantara manusia, ada yang miskin dan
ada juga yang kaya. Di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak
dapat mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang
miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan
demikian, adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk
memenuhi kedua golongan diatas, yakni untuk kemaslahatan
manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. 5
e. Dasar hukum dari hadist
Hadis yang diriwayatkan oleh shuhaib, yang berbunyi :
"Dari shuhaib, bahwa nabi muhammad saw bersabda : ada tiga
perkara yang didalamnya terdapat keberkahan : (1) jual beli tempo,

5
Wahbah Zuhaili,op.cit., Juz 4, hlm. 839

4
(2) muqaradhah, (3) mencampur gandum dengan jagung untuk
6
makanan di rumah bukan untuk dijual". (HR. Ibnu Majah)
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik, yang berbunyi :
"Dari 'ala' bin Abdurrahman dari ayahnya dari kakeknya bahwa
'utsman bin affan memberinya harta dengan cara qiradh yang
dikelolanya, dengan ketentuan keuntungan dibagi di antara mereka
berdua". (HR. Imam Malik) 7

B. Rukun Mudharabah, Macam – Macam, dan Sifatnya


1. Rukun Mudharabah
Para ulama bertolak belakang mengenai Rukun-Rukun mudharabah,
diantaranya:
a. semua Ulama berasumsi bahwa rukun mudharabah terdapat tiga
yakni:
1) ‘Aqidani, yakni yang mempunyai modal dan pengelola (mudharib)
2) Ma’qud ‘alaih, yakni modal, tenaga (pekerjaan) dan keuntungan
3) Shighat, yakni ijab dan qabul. 8

b. Berdasarkan pendapat Ulama Hanafiyah bahwa rukun mudharabah


ialah ijab, qabul, yakni lafadz yang menunjukan ijab dan qabul dengan
menggunbakal lafadz mudharabah, muqaradhah, muamalah serta
lafadz- lafadz lain yang artinya sama dengan lafadz- lafadz tersebut.
Misalnya: yang mempunyai modal berkata “saya investasi ke padamu
dengan mudharabah, dengan peraturan keuntungan yang diperoleh
dibagi berdua dengan nisbah setengah, seperempat atau sepertiga.”

Adapun lafadz qabul yang digunakan oleh mudharib atau pengelola


ialah lafadz: saya ambil (‫ ) اخذت‬atau saya setuju (‫) رضيت‬atau saya

6
Muhammad bin Isma'il Al-kahlani, subul as-salam, juz 3, maktabah wa mathba'ah mushthafa Al-
babiy Al-Halabi, Mesir, cet. IV, 1960, hlm, 76
7
Ahmad Wardi Muslich, fiqh muamalat, edisi 1, (jakarta : Amzah, 2019), xviii, hlm 368.
8
Ibid. hlm. 371.

5
terima (‫ )قبلت‬dan semacamnya. Bilamana ijab dan qabul sudah tepenuhi
maka akad mudharabah sudah sah.9

c. Berdasarkan pendapat Ulama Syafi’iyah bahwa rukun mudharabah


ada lima, yakni:
1) Modal
2) Shighat
3) Aqidain (kedua orang yang akad).
4) Tenaga (pekerjaan)
5) Keuntungan10

2. Macam – Macam Mudharabah


Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis yaitu:
a. Mudharabah Muthlaqah. Yaitu bentuk kerjasama antara shahibul
maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi
oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.
b. Mudharabah Muqayyadah. Disebut juga dengan istilah restricted
mudharabah/ specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah
muthlaqah. Si Mudarib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu,
atau tempat usaha. Adanya batasan ini seringkali mencerminkan
kecenderungan umum si Shahibul maal dalam memasuki jenis dunia
usaha.11
Menurut Atang abd. Hakim mudharabah terbagi menjadi dua
pertama, mudharabah muthlaqat ( investasi tidak terikat), yaitu
mudharabah yang jangkauannya luas. Transaksi ini tidak dibatasai oleh
spesifikasi jenis usaha,waktu dan wilayah bisnis. Disini shahib al-mal
memberikan keleluasaan kepada mudharib untuk melakukan usaha
sesuai dengan kehendaknya tetapi sesuai dengan prinsip syariah,
dengan modal yang diberikan kepadanya. Pada usaha perbankan
9
Ibid
10
Wahbah Zuhaili, loc.cit., juz 4
11
Muhammad Syafi’i Antonio, op. cit hlm. 95

6
syariah, mudharabah bentuk ini diaplikasikan pada tabungan dan
deposit. Kedua, mudharabah muqayyadat, yaitu kebalikan dari jenis
mudharabat yang pertama. Dalam mudharabah Jenis ini, mudharib
terikat oleh persyaratan yang diberikan oleh shahib al-mal didalam
meniagakan modal yang dipercayakan kepadanya. Persyaratan bisa
berupa jenis usaha, tenggang waktu melakukan usaha, dan atau
wilayah niaga. 12
Sedangkan dalam buku fiqh ekonomi syariah fiqh muamalah:
DR.Mardani menjelaskan mudharabah terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Mudharabah muthlaqah yaitu bentuk kerja sama antara
shahib al-mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan
tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah
bisnis. Dalam pembahasan fiqh ulama Salafus Saleh sering
kali dicontohkan dengan ungkapan if’al maa syi’ta (lakukan
sesukamu) dari shahib al-mal yang memberi kekuasaan yang
sangat besar.
2. Mudharabah Muqayyadah disebut juga dengan istilah
restricted mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan
dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan
batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha. "adanya batasan
ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahib
al-mal dalam memasuki jenis dunia usaha. 13

3. Sifat Akad Mudharabah


Para ulama telah sepakat bahwa sebelum dilakukannya kegiatan usaha
oleh pengelola, akad mudharabah sifatnya tidak mengikat (ghair
lazim), dan masing masing pihak boleh membatalkannya. Akan tetapi,
mereka (para ulama) berbeda pendapat apabila pengelola (‘amil

12
Susi Sumianti, " _Macam-macam mudharabah dan pendapat para ulama"_, mudharabah, 2015,
hlm. 9
13
Mardani, fiqh ekonomi syariah fiqh muamalah, (Jakarta:Kencana Frenada Media Group, 2012),
h. 199-200

7
mudharib) telah memulai kegiatan usahanya. Dengan demikian, akad
tersebut tidak bisa dibatalkan sampai barang – barang dagangan
berubah menjadi uang. Disamping itu, akad tersebut juga bisa diwaris.
Dengan demikian apabila mudharib memiliki anak – anak yang dapat
dipercaya, mereka bisa bekerja dalam kerangka mudharabah seperti
bapaknya. Akan tetapi, menurut Imam Abu Hanifah, Syafi’I dan
Ahmad, meskipun mudharib telah memulai kegiatan usahanya, akad
tersebut tetap mengikat (ghair lazim) sehingga setiap saat bisa
dibatalkan. Di samping itu, akad tersebut tidak bisa diwaris. 14
Sumber perbedaan pendapat antara kedua kelompok ini adalah
imam malik menjadikan akad mudharabah sebagai akad yang
mengikat, karena apabila akad dibatalkan setelah dimulainya kegiatan
usaha maka akan menimbulkan kerugian dipihak mudharib.
Sebaliknya, jumhur ulama menyamakan akad sesudah dimulai
kegiatan usaha dengan sebelum dimulainya kegiatan. Hal tersebut
dikarenakan mudharabah adalah suatu tasarruf terhadap harta milik
orang lain dengan persetujuannya. Oleh karena itu, masing-masing
pihak memiliki hak untuk membatalkan akad, seperti halnya dalam
wadi'ah dan wakalah. 15
Akan tetapi, Hanafiah mensyaratkan untuk keabsahan pembatalan
dan berakhirnya akad mudharabah, pihak yang lain harus mengetahui
tentang fasakh atau batalnya akad mudharabah, seperti halnya dalam
jenis syirkah yang lain. Di samping itu, syarat lain adalah modal harus
sudah berubah menjadi uang. Apabila modal masih berbentuk barang,
baik tetap maupun bergerak maka pembatan tidak sah. Sedangkan
menurut syafi'iyah dan hanabilah, apabila mudharabah telah fasakh
(batal), sedangkan modal masih berbentuk barang-barang, maka
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, boleh saja barang barang

14
Ibid
15
Ahmad Wardi Muslich, fiqh muamalat, edisi 1, (jakarta : Amzah, 2019), xviii, hlm 373.

8
dijual dan dibagi, karena mereka berdualah yang memiliki hak untuk
itu, bukan orang lain. 16

C. Syarat – syarat Mudharabah


Syarat-syarat Mudharabah diantaranya, Ialah:
a. Syarat yang berhubungan ‘aqid
1) Bahwa ‘aqid baik yang mempunyai modal maupun pengelola
(mudharib) mestinya orang yang mempunyai kemampuan untuk
menyerahkan kuasa dan melaksankan wakalah. Urusan ini diakibatkan
mudharib mengerjakan tasarruf atas perintah yang mempunyai modal, dan
ini mengandung makna pemberian kuasa.
2) ‘Aqidain tidak disyaratkan mestinya muslim. Dengan itu, mudharabah
bisa dilaksanakan antara muslim dengan dzimmi atau musta’man yang
terdapat di negeri islam.
3) ‘Aqidain disyaratkan mestinya cakap mengerjakan tasurruf. Oleh sebab
itu, mudharabah tidak sah dilaksanakan oleh anak yang masih dibawah
umur, orang gila atau orang yang dipaksa.
b. Syarat yang berhubungan dengan modal
1) Modal mestinya berupa uang tunai. Bilamana modal berbentuk barang,
baik yang mobilitas maupun tidak, berdasarkan pendapat jumhur ulama
mudharabah tidak sah. Alasan jumhur ulama ialah bilamana modal
mudharabah berupa barang maka bakal ada unsur penipuan, karena dengan
demikian keuntungan menjadi tidak jelas ketika bakal dibagi, dan ini bakal
menjadi perdebatan diantara kedua belah pihak. tetapi, bilamana barang
tersebut dijual dan uang hasil penjualannya digunakan untuk modal
mudharabah, berdasarkan pendapat Imam Abu Hanifah, Malik, dan
Ahmad hukumnya dibolehkan. Sementara berdasarkan pendapat madzahab
Syafi’i urusan tersebut tetap dibolehkan.
2) Modal mestinya jelas dan diketahui ukurannya. Bilamana modal tidak
jelas maka mudharabah tidak sah.

16
Ibid

9
3) Modal mestinya ada dan tidak boleh berupa utang, tetapi tidak berarti
mestinya ada di majelis akad.
4) Modal mestinya diserahkan kepada pengelola, agar dapat dipakai untuk
kegiatan usaha. Urusan ini dikarenbakal modal tersebut ialah amanah yang
berada ditangan pengelola.
c. Syarat yang berhubungan dengan keuntungan
1) Keuntungan mestinya diketahui kadarnya: Destinasi diadakannya akad
mudharabah ialah untuk memperoleh keuntungan. Bilamana
keuntungannya tidak jelas bakal akibatnya akad mudharabah menjadi
fasid. Bilamana seseorang menyerahkan modal kepada pengelola sebesar
50.000.000 dengan ketentuan mereka bersekutu dalam keuntungan, maka
akad semacam ini hukumnya sah, dan keuntungan dibagi rata sesuai
dengan kesepakatan.
2) Keuntungan mestinya dimiliki bersama dengan pembagian secara
persentase seperti: 30% : 70%, 50% : 60% dan sebagainya. Bilamana
keuntungan dibagi dengan ketentuan yang pasti, seperti yang mempunyai
medapat Rp.50.000.000 dan sisanya untuk pengelola, maka syarat tersebut
tidak sah dalam Mudharabah.17
Menurut sayyid sabiq, rukun mudharabah berhubungan dengan
rukun-rukun mudharabah itu sendiri, syarat-syarat sah mudharabah adalah
sebagai berikut :
a. Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. "Apabila
barang itu berbentuk emas atau perak batangan (tabar), emas hiasan/atau
barang dagangan lainnya, mudharabah tersebut batal.
b. Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan
tasharruf, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, irang gila,
dan orang-orang yang berada dalam pengampuan.
c. Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal
yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagngan

17
Muchammad Pemadi, Sejarah dan Doktrin Bank Islam, (Jogjakarta:kutub, 2005), hlm. 90

10
tersebut yang akan dibagikan kepada kedua belah pihak sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati.
d. Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal
harus jelas persentasenya, umpamanya setengah, sepertiga, seperempat.
e. Melafa'kan ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini
kepadamu untuk dagang jika ada keuntungan akan dibagi dua dan
kabuldari pengelola.
f. Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola
harta untuk berdagang di negara tertentu, pada waktu-waktu tertentu
sementara diwaktu lain tidak karena persyaratan yang mengikat sering
menyimpang dari tujuan akad mudharabah, yaitu keuntungan. 18
Menurut pendapat al-Syafi'i dan Malik Bila dalam mudharabah ada
persyaratan-persyaratan, maka mudharabah tersebut menjadi rusak (fasid),
sedangkan menurut Abu hanifah dan Ahmad Ibn Hanbal, Mudharabah
tersebut sah.19

D. Hukum – Hukum Mudharabah


Hukum mudharabah terbagi menjadi dua yakni:
a. Hukum Mudharabah Fasid
Beberapa urusan dalam mudharabah fasid yang yang mempunyai
modal memberikan upah kepada pengusaha antara lain:
1) Yang mempunyai modal menyerahkan syarat kepada pengusaha
dalam membeli, memasarkan atau mengambil barang.
2) Yang mempunyai modal menghruskan pengusaha untuk
bermusyawarah sampai-sampai pengusaha tidak bekerja kecuali
atas izin darinya.

18
Susi Sumianti, " _Macam-macam mudharabah dan pendapat para ulama"_, mudharabah, 2015,
hlm. 11
19
Imam Mustofa sebagaimana dikutip dari wahbah al-zuhaili, al-fiqih al-islami wa adillatuh,
(Beirut:dar al-fikr, 2004) h.159

11
3) Yang mempunyai modal memberikan isyarat kepada pengusaha
agar mencampurkan harta modal tersebut dengan harta orang lain
atau barang lain miliknya.
ulama malikiyah berpendapat bahwa mudharib (pengelola)
dalam semua hukum mudharabah yang fasid dikembalikan kepada
qiyadh yang sepadan (qiyadh mitsl) dalam keuntungan, kerugian,
dan lain-lainnya dalam hal-hal yang bisa dihitung, dan ia
(mudharib) berhak atas upaj yang sepadan (ujrah mitsl) dengan
perbuatan yang dilakukannya. Apabila diperoleh keuntungan maka
mudharib berhak atas keuntungan itu sendiri, bukan dalam
perjanjian dengan pemilik modal, sehingga apabila harta rusak
maka mudharib tidak memperoleh apa-apa. Demikian pula apabila
keuntungan tidak ada maka ia juga tidak memperoleh apa-apa. 20
Beberapa hal yang menyebabkan dikembalikannya
mudharabah yang fasid kepada qiradh mitsl adalah;
1. Qiradh dengan modal barang bukan uang
2. Keadaan keuntungan tidak jelas
3. Pembatasan qiradh dengan waktu, seperti satu tahun
4. Menyandarkan qiradh kepada masa yang akan datang
5. Mensyaratkan agar pengelola mengganti modal apabila
hilang atau rujak tanpa sengaja. 21
b. Hukum Mudharabah Sahih
Hukum mudharabah yang tergolong sahih
Tanggung jawab pengusaha : Bilamana pengusaha berhutang ia
mempunyai hak atas laba secara bersama-sama dengan yang
mempunyai modal. Jika mudharabah rusak karena beberapa sebab
yang menjadikannya rusak, pengusaha menjadi pedagang sehingga ia
pun mempunyai hak untuk mendapat ongkos, jika harta rusak tanpa

20
Ahmad Wardi Muslich, fiqh muamalat, edisi 1, (jakarta : Amzah, 2019), xviii, hlm 377.
21
Wahbah Zuhaili, op.cit, juz 4, hlm. 853.

12
disengaja ia tidak bertanggung jawab atas rusaknya modal tersebut,
dan andai mengalami kerugian hanya ditanggung oleh pengusaha. 22
E. Hal – Hal yang membatalkan Akad Mudharabah
Akad mudharabah dinyatakan batal dalam hal-hal:
1. Pembatalan, larangan tassaruf, dan pemecatan
2. Meninggalnya salah satu pihak
3. Salah satu pihak terserang penyakit gila
4. Pemilik modal murtad
5. Harta mudharabah rusak di tangan mudharib. 23
Disamping itu, jumhur ulama berpendapat bahwa akad
mudharabah tidak bisa diwariskan. Akan tetapi ulam madzhab maliki
berpendapat bahwa jika salah seorang yang berakad itu meninggal
dunia, akadnya tidak batal, tetapi tidak dilanjutkan oleh ahli warisnya
karena, menurut mereka akad mudhharabah bisa diwariskan,
1) Salah seorang yang berakad gila, karena orang yang gila tidak cakap
lagi bertindak hukum,
2) Pemilik modal murtad (keluar dari agama Islam), menurut Imam Abu
Hanifah, akad mudharabah batal,
3) Modal habis ditangan pemilik modal sebelum dikelola oleh pekerja.
Demikian juga halnya, mudharabah batal apabila modal tersebut
dibelanjakan oleh pemilik modal sehingga tidak ada lagi yang bisa
dikelola oleh pemilik modal sehingga tidak ada lagi yang bisa dikelola
oleh pekerja.24
Akad mudharabah menjadi batal apabila ada beberapa perkara
sebagai berikut:
1. tidak terpenuhinya salah satu syarat mudharabah.
2. pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya atau bertentangan
dengan tujuan akad sebagai pengelola mdal maka harus bertanggung

22
Ibid., hlm. 112
23
Ahmad Wardi Muslich, fiqh muamalat, edisi 1, (jakarta : Amzah, 2019), xviii, hlm 388.
24
Mahmudatus Sa’diyah, Akad dalam Syariah, Mudharabah Fiqih dan Perbankan Syaria, Volume
7, No. 2, Desember 2013

13
jawab jika terjadi kerugian karena mudharib menjadi penyebab
kerugian.
3. apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia, akad
mudharabah menjadi batal. Perkara tersebut menjadi penyebab akad
mudharabah tidak bisa dilanjutkan walaupun sebelumnya sudah
disepakati antara pihak shahibul mal dengan mudharib.25

25
Susi Sumianti, " _Macam-macam mudharabah dan pendapat para ulama"_, mudharabah, 2015,
hlm. 17

14
BAB III
MUZARA’AH
A. Definisi Muzara’ah dan Dasar Hukumnya
1. Definisi Muzara’ah
Muzara’ah berasal dari kata Az-Zar’u yang artinya ada dua cara, yaitu,
menabur benih atau bibit dan menumbuhkan. Dari arti kata tersebut
dapat dijelaskan, bahwa Muzara’ah adalah bentuk kerjasama dalam
bidang pertanian antara pemilik lahan dengan petani penggarap. Dalam
hal ini penggaraplah yang menanami lahan itu dengan biaya sendiri,
tanaman dan lahan tersebut nanti dibagi antara kedua belah pihak
sebagai pembayaran atau upah dari penggarapan tersebut.

Sedangkan pandangan yang lain Muzara’ah Menurut bahasa, Al-


Muzara’ah memiliki dua arti, pertama adalah Tharh Al-Zur’ah
(melemparkan tanaman), maksudnya adalah Al-Hadzar (modal).
Makna yang pertama adalah makna majas dan makna yang kedua ialah
makna hakiki. Al Muzara’ah menurut bahasa adalah Muamalah
terhadap tanah dengan (imbalan) sebagian apa yang dihasilkan darinya.
Sedangkan yang dimaksud disini adalah memberikan tanah kepada
orang yang akan menggarapnya dengan imbalan ia memperoleh
setengah dari hasilnya atau yang sejenisnya. 26

Dalam pengertian istilah, muzara'ah adalah suatu cara untuk


menjadikan tanah pertanian menjadi produktif dengan bekerja sama
antara pemilik dan penggarap dalam memproduktifkannya, dan
hasilnya dibagi diantara mereka berdua dengan perbandingan (nisbah)
yang dinyatakan dalam perjanjian atau berdasarkan urf (adat
kebiasaan).27

26
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Rajawali press, 2010), hlm 153-155.
27
Ahmad Wardi Muslich, fiqh muamalat, edisi 1, (jakarta : Amzah, 2019), xviii, hlm 392.

15
Hanifah memberikan definis muzara'ah yaitu "dalam istilah syara'
muzara'ah adalah suatu ibarat tentang akad kerja sama penggarapan
tanah dengan imbalan sebagian hasilnya, dengan syarat-syarat yang
ditetapkan oleh syara'." Sedangkan definisi muzara'ah menurut
Wahbah Zulaili yaitu "sesungguhnya muzara'ah itu adalah syirkah
(kerja sama) didalam menanam tanaman (menggarap tanah).28

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwan muzara'ah adalah


suatu akad kerja sama antara dua orang, dimana pihak pertama yaitu
pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada pihak kedua yaitu
penggarap, untuk diolah sebagai tanah pertanian dan hasilnya dibagi
diantara sesuai dengan kesepakatan bersama.

2. Dasar Hukum Muzara’ah


Firman Allah ‫ جلِجالله‬dalam surah al-Muzammil ayat 20:
“…dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mereka mencari
sebagian karunia Allah…” (QS. Al-Muzammil, 73:20)
Firman Allah ‫ جلِجالله‬dalam surah al-Zukhruf 32:
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian
yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik
dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Az-Zukhruf, 43:32)

Hadits Nabi Muhammad ‫صلىِهللاِعليهِوسلم‬


“Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah ‫)صلىِهللاِعليهِوسلم‬
barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau

28
Ibid., hlm .393

16
diberikan faedahnya kepada saudaranya jika ia tidak mau maka boleh
ditahan saja tanah itu”. (HR. Muslim) 29
Hadits Nabi Muhammad SAW
"Dari tsabit bin Adh-Dhahhak bahwa sesungguhnya Rasulullah
melarang untuk melakukan muzara'ah, dan memerintahkan untuk
melakukan muajarah (sewa-menyewa)". 30
Hadits Nabi Muhammad SAW
"Dari Ibnu Umar Bahwa Rasulullah melakukan kerja sama
(penggarapan tanah) dengan penduduk khaibar dengan imbalan
separuh dari hasil yang keluar dari tanah tersebut, baik buah-buahan
maupun tanaman". (Muttafaq 'alaih).31

B. Rukun, Sifat, dan Syarat Muzara’ah


1. Rukun Muzara’ah
Berdasarkan pendapat Hanabilah, rukun Muzara’ah terdapat satu yakni
ijab dan kabul, boleh dilakukan dengan lafazh apa saja yang
mengindikasikan terdapatnya ijab dan kabul dan bahkan Muzara’ah
sah dilafazhkan dengan lafazh Ijarah”. 32

Berdasarkan Konsensus ulama terdapat empat rukun dalam Muzara’ah,


diantaranya ialah:
a. Pemilik tanah
b. Petani penggarap
c. Objek Al-Muzara’ah
d. Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan. 33

29
Dr, Hidayatullah, S.H., M.H., M.Pd, Ekonomi Islam, Universitas Islam Kalimantan Muhammad
Arsyad Al Banjari, Banjarmasin, hlm. 61.
30
Ahmad Wardi Muslich, fiqh muamalat, edisi 1, (jakarta : Amzah, 2019), xviii, hlm 394.
31
Ibid., hlm. 395
32
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm 158-159
33
Ibid.,

17
Berdasarkan Konsensus ulama yang membolehkan akad Muzara’ah
bilamana akad sudah memenuhi rukun dan syarat, maka dampak
hukumnya ialah:

a. Petani bertanggung jawab mengeluarkan ongkos benih dan


pemeliharaan pertanian tersebut
b. Biaya pertanian seperti pupuk, biaya perairan, serta biaya
pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik lahan
sesuai dengan persentase bagian masing-masing
c. Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama
d. Pengairan dilakukan sesuai dengan kesepakatan bersama dan
bilamana tidak terdapat kesepakatan, berlaku kebiasaan ditempat
masing-masing
e. Bilamana salah seorang meninggal dunia sebelum panen, maka
akad tetap berlaku sampai panen dan yang meninggal diwakili oleh
ahli warisnya. Lebih lanjut, akad itu dapat dipertimbangkan oleh
ahli waris, apakah akan diteruskan atau tidak. 34

2. Sifat Muzara’ah
Sikap Akad Muzara’ah menurut Hanafiah, sama dengan akad
syirkah yang lain, yaitu termasuk akadyang ghair lazim (tidak
mengikat). Menurut Malikiyah, apabila sudah dilakukan penanaman
bibit, maka akad menjadi lazin (mengikat). Akan tetapi menurut
pendapat yang mu’tamad (kuat) di kalangan Malikiyah, semua syirkah
amwal hukumnya lazim dengan telah terjadinya ijab dan qabul.
Sedangkan menurut Hanabilah, muzara’ah dan musaqah merupakan
akad yang ghair lazim (tidak mengikat) yang bisa dibatalkan oleh
masing – masing pihak dan batal karena meninggalnya salah satu
pihak. 35

34
Haroen Nasroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 278
35
Wahbah Zuhaili, op.cit.,Juz 5, hlm. 615.

18
Praktek muzara’ah mengacu pada prinsip Profit and Loss Sharing
Sistem. Dimana hasil akhir menjadi patokan dalam praktek muzara’ah.
Jika, hasil pertanianya mengalami keuntungan, maka keuntungannya
dibagi antara kedua belah pihak , yaitu petani pemilik sawah dan
petani penggarap. Begitu pula sebaliknya, jika hasil pertanianya
mengalami kerugian, maka kerugiannya ditanggung bersama. 36
Sifat akad muzara’ah menurut ulama Hanafi adalah sifat-sifat
perkongsian yang tidak lazim. Adapun menurut ulama Maliki harus
menabur benih di atas tanah supaya tumbuh tanaman atau dengan
menanam tumbuhan di atas tanah yang tidak ada bijinya. Menurut
pendapat yang paling kuat, perkongsian harta termasuk muzara’ah dan
harus menggunakan sighat.37
3. Syarat- Syarat Muzara’ah
Diantara syarat-syarat Muzarah ialah:
a. Syarat bertalian dengan ‘Aqidain, yakni harus berakal
b. Syarat yang berhubungan dengan tanaman, yakni disyaratkan
terdapatnya penentuan macam apa saja yang ditanam
c. Hal yang berhubungan dengan perolehan hasil tanaman, yakni
bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya
(persentasenya), hasil ialah milik bersama
d. Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami seperti
lokasi tanah dan batas tanah
e. Hal yang berhubungan dengan waktu dan syarat-syaratnya;
f. Hal yang berhubungan dengan alat-alat yang dipakai dalam
bercocok tanam Muzara’ah.38
Menurut jumhur ulama, syarat-syarat muzara’ah, ada yang
berkaitan dengan orang-orang yang berakad, benih yang akan

36
http://fahruhandia.wordpres.com/2013/09/30/sistem-ekonomi-syariah-muzara‟ah/ diakses
pada 02 juli 2022, 17.50
37
Rachmat Syafe’i. Fiqih Muamalat, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), Cet 2, h. 207
38
Hendi Suhendi, Op.cit, hlm. 83

19
ditanam, lahan yang akan dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan
jangka waktu berlaku akad. 39 yaitu:
1. Syarat orang yang berakad harus berakal dan sudah baligh.
Imam Abu Hanifah mensyaratkan tidak untuk orang murtad,
tetapi Ulama Hambali tidak mensyaratkanya (Abu Yusuf dan
Muhammad Hasan Asy-Syaibani).
2. Syarat akan benih yang ditanam harus jelas dan menghasilkan.
3. Syarat yang berkaitan dengan lahan pertanian.

• Tanah tersebut biasa digarap dan menghasilkan


• Batas-batas lahan tersedut harus jelas (ada penyerahan lahan)
• Tanah tersebut diserahkan sepenuhnya oleh petani untuk
digarap
4. Syarat yang berkaitan dengan hasil yang akan dipanen.
5. Syarat yang berkaitan dengan waktu harus jelas.
6. Syarat yang berkaitan dengan objek akad harus jelas
pemenfaatan benihnya, pupuknya, dan obatnya. Seperti yang
berlaku dengan Adat dan tradisi setempat.40

C. Bentuk – Bentuk Akad Muzara’ah


Menurut Abu Yusuf dan Muhammad bentukmuzara’ah ada empat
macam, tiga hukumnya sah dan satu hukumnya batal atau fasid. Bentuk-
bentuk tersebut adalah sebagai berikut:
a) Tanah dan bibit (benih) dari satu pihak, sedangkan pekerjaan dan
alat- alat untuk bercocok tanam dari pihak lain. Dalam bentuk yang
oertama ini muzara’ah hukumnya dibolehkan, dan status pemilik
tanah sabagai penyewa terhadap tenaga penggarap dan benih dari
pemilik tanah sedangkan alat ikut kepada penggarap.
b) Tanah disediakan oleh satu pihak, sedangkan alat, benih, dan
tenaga (pekerjaan) dari pihak lain. Dalam bentuk yang kedua ini,
muzara’ah juga hukumnya dibolehkan, dan status penggarap
sebagai penyewa atas tanah dengan imblaan sebagian hasilnya.

39
Ibid,.
40
Ibid.,

20
c) Tanah, alat dan benih disediakan oleh satu pihak (pemilik),
sedangkan tenaga (pekerjaan) dari pihak lain (penggarap). Dalam
bentuk yang ketiga ini, muzara’ah juga hukumnya dibolehkan, dan
status pemilik tanah sebagai penyewa terhadap penggarap dengan
imbalan sebagian hasilnya.
d) Tanah dan alat disediakan oleh satu pihak (pemilik), sedangkan
benih dan pekerjaan dari pihak lain (penggarap). Dalam bentuk
yang keempat ini, menurut Zhahir riwayat, muzara’ah menjadi
fasid. Hal ini dikarenakan andaikata akad itu dianggap sebagai
penyewa tanah maka disyaratkannya alat cocok tanam dari pemilik
tanah menyebabkan sewa-menyewa menjadi fasid, sebab tidak
mungkin alat ikut kepada tanah karena keduanya berbeda
manfaatnya. Demikian pula apabila akadnya dianggap menyewa
tenaga penggarap maka disyaratkannya benih harus dari
penggarap, menyebabkan ijarah menjadi fasid, sebab benih tidak
ikut kepada ‘amil (penggarap) melainkan kepada pemilik. 41

Adanya beberapa bentuk muzara’ah yang diakui oleh ulama Fikih:

Bentuk muzara’ah yang tidak diperbolehkan, yaitu:

1. Suatu bentuk perjanjian yang menetapkan sejumlah hasil


tertentu yang harus diberikan kepada pemilik tanah maksudnya
ialah apapun nanti hasilnya pemilik tanah akan mendapatkan
hasilnya yang sebelumnya disyaratkan diawalnya. Contoh
pemilik tanah akan mendapatkan lima atau sepuluh maund dari
hasil panen. (1 maund = 40 kg)
2. Apabila hasil dari bagian tertentu, misalnya pada bagian sungai
atau di daerah yang mendapatkan cahaya matahari dan hasilnya
hanya untuk pemilik tanah. Hal tersebut merugikan petani
penggarap yang hasilnya belum tentu diketahui, sedangkan
hasil dari pemilik lahan sudah ditentukan.
3. Penyerahan tanah kepada seseorang dengan syarat dengan
syarat tanah tersebut akan tetap menjadi miliknya jika pemilik
tanah masih menginginkannya. Hal tersebut dilarang, karena

Abu Daud Sulaiman bin Al- Asy ‘asts Al Sijistani, Shahih Abu Daud Juz 2, (Bairut- Libanon:
41

Darul Fikri, 1994 M/ 1414 H) hal. 133

21
mengandung unsur ketidakadilan yang dapat merugikan para
petani yang akan membahayakan hak-hak dan bisa
menimbulkan kesengsaraan dan kemelaratan.
4. Apabila tanah menjadi pemilik pertama, benih dibebankan pada
pihak kedua, ala-alat pertanian pada pihak ketiga, dan tenaga
kerja pada pihak keempat, atau dalam hal ini tenaga kerja dan
alat-alat pertanian dibebankan kepada pihak ketiga.
5. Perjanjian pengolahan menetapkan tenaga kerja dan tanah
menjadi tanggung jawab pihak pertama dan benih serta alat-alat
pertanian pada pihak lainya.
6. Adanya hasil panen lain (selain dari apa yang ditanam di lahan
tersebut) harus dibayar oleh suatu pihak sebagai tambahan
kepada hasil pengeluaran tanah.42

Bentuk muzara’ah yang diperbolehkan, yaitu:

1. Perjanjian kerja sama antara pengolahan lahan dimana tanah


dari satu pihak, peralatan pertanian, benih dan tenaga kerja dari
pihak lainya dan setuju bahwa pihak pemilik tanah akan
mendapatkan bagian dari hasilnya.
2. Apabila tanah, benih dan peralatan pertanian semua beban
pemilik tanah sedangkan hanya buruh yang dibebankan kepada
petani maka harus ditetapkan bagian tertentu bagi pemilik
tanah.
3. Perjanjian dimana tanah dan benih dari pemilik lahan dan
peralatan pertanian dan kerja dari petani dan pembagian dari
hasil tersebut harus ditetapkan secara proposional.
4. Apalagi keduanya sepakat atas tanah, perlengkapan tanah
petanian, benih dan buruh serta menetapkan bagian masing-
masing yang akan diperoleh dari hasil.
5. Imam Abu Yusauf berpendapat: jika tanah diberikan secara
cuma-cuma kepada seseorang untuk digarap, semua
pembiayaan pengolahan ditanggung penggarap dan semua hasil
menjadi miliknya tapi Kharaj akan dibayar oleh pemilik tanah
jika Ushry dibayar oleh petani.
6. Apabila tanah dari salah satu pihak dan kedua belah pihak
sama-sama menanggung benih, buruh dan pembiayaan
pengolahan dalam hal ini keduanya akan mendapatkan hasil.
Jika merupakan Ushri maka dibayar oleh hasil, dan jika berupa
Kharaj di bayar oleh pemilik tanah.
7. Apabila tanah disewakan kepada seseorang, dan itu adalah
Kharaj menurut Imam Abu Hanifah harus dibayar oleh pemilik
tanah, dan jika ushri dibayar oleh pemilik tanah juga. Tetapi
menurut Abu Yusuf jika Ushri dibayar oleh petani.

42
http://id.wikipedia.org/wiki/muzara'ah. Diakses pada Tgl 02 juli 2022, 09:00

22
8. Apabila perjanjian muzara’ah di tetapkan oleh sepertiga atau
seperempat dari hasil, menurut imam Abu Hanifah, keduanya
Kharaj dan Ushri dibayar oleh pemilik tanah. 43

D. Hukum – Hukum Muzara’ah yang Shahih dan Fasid


1. Hukum Muzara’ah yang Shahih
Menurut Hanafiah ada beberpa ketentuan yang berlaku untuk
muzara’ah yang shahih. Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman
dibebankan kepada muzari’ (penggarap).
b. Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap tanah dan
pemilik tanah yang nantinya diperhitungkan dengan
penghasilan yang diperoleh.
c. Hasil yang diperoleh dari penggarap dibagi di antara penggarap
dan pemilik tanah sesuai dengan syarat-syarat yang disepakati
pada waktu akad. 44
d. Akad muzara’ah menurut Hanabilah sifatnya tidak mengikat
(ghair lazim) sedangkan menurut Malikiyah termasuk akad
yang mengikat (lazim). apabila bibit telah disemaikan. Menurut
Hanfiah dilihat dari sisi pihak yang lain, ia termasuk lazim.
Dengan demikian, akad muzara’ah tidak boleh dibatalkan
kecuali karena udzur (alasan).
e. Menyiram atau memelihara tanaman, apabila disepakati untuk
dilakukan bersama, maka hal itu harus dilaksanakan. Akan
tetapi apabila tidak ada kesepakatan, maka penggaraplah yang
paling beranggung jawab untuk menyiram dan memelihara
tanaman tersebut.
f. Dibolehkan menambah bagian dari penghasilan yang telah
ditetapkan dalam akad.

43
Ibid.,
44
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam wa adillatuhu 6:penerjemah, Abdul Hayyie al- Kattani, dkk,
(Jakarta:Gema Insani, 2011), hlm. 572.

23
g. Apabila salah satu pihak meninggal dunia sebelum hasil
garapannya diketahui maka muzari’ tidak mendapat apa-apa,
karena tetapnya akad ijarah di sini didasarkan kepada tetapnya
waktu.45
Syafi'iyah sebagaimana telah dikemukakan dimuka tidak
tidak membolehkan muzara'ah kecuali ikut kepada musaqah.
Apabila muzara'ah dilakukan tersendiri maka hasilnya untuk
pemilik tanah, sedangkan penggarap memperoleh upah yang
sepadan atas pekerjaannya dan alat-alatnya.46

2. Hukum Muzara’ah yang Fasid


Menurut Hanafiyah ada beberapa ketentuan untuk muzara’ah yang
fasid, yaitu sebagai berikut:47
1. Tidak ada kewajiban apa pun bagi muzari’ (penggarap) dari
pekerjaan muzara’ah karena akadnya tidak sah.
2. Hasil yang diperoleh dari tanah garapan semuanya untuk pemilik
benih baik pemilik tanah maupun penggarap. Dalam masalah ini
Malikiyah dan Hanabilah sepakat dengan Hanafiyah, yaitu bahwa
apabila akadnya fasid, maka hasil tanaman untuk pemilik benih.
3. Apabila benihnya dari pihak pemilik tanah maka pengelola
memeroleh upah atas pekerjaannya, karena fasid-nya akad
muzara’ah tersebut. Apabila benihnya berasal dari penggara maka
pemilik tanah berhak memperoleh sewa atas tanahnya, karena
dalam dua kasus ini status akadnya menjadi sewa-menyewa. Dalam
kasus yang pertama semua hasil yang dipeoleh merupakan milik si
pemilik tanah, karena hasil tersebut adalah tambahan atas miliknya.
Dalam kasus yang kedua, tidak semua hasil garapan untuk
penggarap, melainkan ia mengambil sebanyak benih yang

45
Ahmad Wardi Muslich, fiqh muamalat, edisi 1, (jakarta : Amzah, 2019), xviii, hlm 401.
46
Ibid., hlm. 402
47
H. Ahmad Wardi Muslich.,Op.cit., hlm. 402

24
dikeluarkannya dan sebanyak sewa tanah yang diberikan kepada
pemilik, dan disadakahkan oleh penggarap.
4. Dalam muzara’ah yang fasid, apabila muzari’ telah menggarap
tanah tersebut maka ia wajib diberi upah yang sepadan (ujratul
mitsli), karena muzara’ah statusnya sebagai akad ijarah (sewa-
menyewa). Adapun dalam muzara’ah yang shahih, apabila tanah
garapan tidak menghasilkan apa-apa, maka muzari’ (penggarap)
dan pemilik tanah sama sekali tidak mendapat apa-apa.
5. Menurut Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf, upah yang sepadan
(ujratul mitsli) dalam muzara’ah yang fasid harus ditetapkan
dengan jumlah yang disebutkan, sesuai dengan persetujuan kedua
belah pihak. Sedangkan menurut Muhammad bin Hasan, upah
yang sepadan (ujrah mitsli) harus dibayar penuh, karena ia
merupakan ukuran harga (nilai) manfaat yang telah dipenuhi oleh
penggarap.48

Hukum akad muzara’ah Fasid adalah jika terdapat:

1. Penggrap tidak melaksanakan dari apa yang telah menjadi akad

terhadap pemilik lahan.

2. Hasil yang didapatkan merupakan hasil pemilik benih

3. Jika benih dari penggarap, maka wajib mendapatkan upah.49

E. Berakhirnya Akad Muzara’ah


Muzara’ah terkadang berakhir karena telah terwujudnya maksud
dan tujuan akad, misalnya tanaman telah selesai dipanen. Akan tetapi,

48
Ibid., hlm. 396.
49
Rachmat Syafe’i. op. cit., Cet 2, h. 211

25
terkadang akad muzara’ah berakhir sebelum terwujudnya tujuan
muzara’ah, karena sebab-sebab berikut ini: 50

a. Habis masa muzara’ah


b. Salah seorang yang akad meninggal. Baik meninggalnya itu
sebelum dimulainya penggarapan maupun sesudahnya, baik
buahnya sudah bisa dipanen atau belum. Pendapat ini
dikemukakan oleh Hanifah dan Hanabilah. Akan tetapi
menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, muzara’ah tidak berakhir
karena meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad.
c. Ada uzur. Menurut ulama hanafiyah, diantara uzur yang
menyebabkan batalnya muzara’ah antara lain:
1. Tanah garapan terpaksa dijual, misalnya untuk membayar
utang
2. Penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit,
jihad dijalan Allah dll.51

Apabila habisnya akad muzara’ah sebelum panen, akad muzara’ah itu

tidak akan dibatalkan dan ditunggu sampai waktu panen.Dalam masa

menunggu panen petani penggarap berhak mendapatkan upah sesuai

dengan kebiasan setempat, dan biaya untuk pertanian selanjutnya

ditanggung bersama oleh pemilik lahan dan petani penggarap. 52

50
H. Ahmad Wardi Muslich.,Op.cit., hlm. 403
51
H. Rachmat Syafei, FIQIH muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 211, cet. 1
52
M. Ali Hasan. op. cit., Cet 2, h. 279

26
BAB IV
MUSAQAH

A. Definisi Musaqah dan Dasar Hukumnya


1. Definisi Musaqah
Musaqah dalam arti bahasa merupakan wazn mufa'alah dari kata as-
saqyu yang sinonimnya asy-syurbu, artinya memberi minum. Penduduk
madinah menamai musaqah dengan muamalah, yang merupakan wazn
mufa'alah dari kata 'amila yang artinya bekerja (bekerja sama) 53.
Menurut terminologi musaqah adalah akad untuk pemeliharaan tanaman
(pertanian) dan yang lainnyaa dengan syarat-syarat tertentu. Menurut
Malikiyah, al-musaqah ialah sesuatu yang tumbuh ditanah.

Menurut istilah, musaqah adalah suatu akad penyerahan pepohonan


kepada orang yang mau menggarapnya dengan ketentuan hasil buah-
buahan dibagi diantara mereka berdua 54. Dalam redaksi lain musaqah
didefinisikan sebagai pemberian pepohonan kepada orang yang akan
mengurusnya dengan imbalan sebagian tertentu dari hasil buahnya. 55

Musaqah adalah sebuah bentuk kerjasama petani pemilik kebun


dengan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan
dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian segala
sesuatu yang dihasilkan pihak kedua adalah merupakan hak bersama
antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang mereka
buat.56

Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa musaqah


adalah suatu akad antara dua orang dimana pihak pertama memberikan

53
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh muamalat, edisi 1, (Jakarta : Amzah, 2019), xviii, hlm. 404.
54
Ibid, Juz 5
55
Ibid, Juz 5
56
Hendi Suhendi, Fiqih muamalah, (Jakarta : Rajawali press, 2010), hlm. 145.

27
pepohonan dalam sebidang tanah perkebunan untuk diurus, disirami,
dan dirawat sehingga pohon tersebut menghasilkan buah-buahan, dan
hasil tersebut dibagi diantara mereka berdua.

2. Dasar Hukum Musaqah


Musaqah menurut Hanafiah sama dengan muzara’ah, baik hukum
maupun syarat-syaratnya. menurut Abu Yusuf dan Muhamma bin Hasan
serta jumhur ulama (Malik, Syafi’i, dan Ahmad), Musaqah dibolehkan
dengan beberapa syarat. Pendapat ini didasarkan kepada hadis Nabi
sebagai berikut.

“Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah SAW, mempekerjakan


penduduk Khaibar (dalam pertanian) dengan imbalan bagian dari apa
yang dihasilkannya, dalam bentuk tanaman atau buah-buahan.”( HR.
Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i) 57
Dalam menentukan keabsahan akad musāqah dari segi syara’,
terdapat perbedaan ulama fiqh. Imam Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzail
mereka berpendirian bahwa akad al-musāqāh dengan ketentuan petani
penggarap mendapatkan sebagian hasil kerjasama ini adalah tidak sah,
karena musāqāh seperti ini termasuk mengupah seseorang dengan
imbalan sebagian hasil yang akan dipanen dari kebun itu. 58
Hadis nabi muhammad SAW yang berbunyi :"barangsiapa yang
memiliki sebidang tanah, maka hendaklah ia menanamnya, dan
janganlah ia menyewakannya dengan sepertiga dan tidak pula
seperempat (dari hasilnya) dan tidak juga dengan makanan yang
disebutkan (tertentu). 59

57
Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy ‘asts Al Sijistani, Loc.cit
58
Nasrun Haroen,Fiqh Muamalah…, 282
59
H. Ahmad Wardi Muslich.,Op.cit., hlm. 406

28
B. Rukun Musaqah dan Syaratnya
1. Rukun Musaqah
Menurut hanafiah, musaqah adalah ijab dan qabul. Ijab dinyatakan
oleh pemilik pepohonan, sedangkan qabul dinyatakan oleh penggarap
(‘amil atau muzari). Menurut Malikiyah, akad musaqah mengkat
(Lazim) dengan diucapkannya lafal ijab qabul, tidak dengan pekerjaan.
Sedangkan menurut Hanabilah, musaqah sama dengan muzara’ah, tidak
perlu ijab qabul dengan lafal, melainkan cukup dengan memulai
penggarapan secara langsung. Syafi’iyah justru mensyaratkan adalanya
qabul dengan lafal. 60
Menurut Jumhur Ulama, rukun musaqah ada tiga, yaitu:
b) ‘aqidain (pemilik kebun dan penggarap)
c) Objek akad, yaitu pekerjaan dan buah
d) Sighat, yaitu ijab dan qabul. 61
Jumhur ulama yang terdiri atas ulama Malikiyah, Syafi’iyah,
dan Hanabilah berpendiriran bahwa transaksi musāqāh harus
memenuhi lima rukun, yaitu:
a) Sighāt (ungkapan) ijāb dan qābūl.
b) Dua orang/pihak yang melakukan transaksi;
c) Tanah yang dijadikan objek musāqāh;
d) Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap;
e) Ketentuan mengenai pembagian hasil musāqāh. 62
2. Syarat Musaqah
Syarat musaqah sama dengan syarat pada muzara’ah. Hanya saja dalam
musaqah tidak disyaratkan untuk menjelaskan jenis bibit, pemilik bibit,
kelayakan tanah untuk ditanami, dan ketentuan waktunya. Syaratnya
adalah sebagai berikut:

60
H. Ahmad Wardi Muslich, Op.cit, hlm. 406
61
Ibid
62
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Kencana, 2010), 110.

29
a. Kecakapan ‘aqidain. Harus berakal dan mumayyiz. Menurut
Hanafiah, baligh tdak menjadi syarat, sedangkan ulama yang lain,
baligh menjadi syarat sahnya.
b. Objek akad. Harus pohon yang berbuah.
c. Membebaskan ‘amil dari pohon. Dalam hal ini pemilik tanah atau
kebun harus menyerahkan sepenuhnya pohon yang akan dirawat/
garap kepada penggarap.
d. Kepemilikan bersama dalam hasil yang diperoleh.63
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing
rukun sebagai berikut:
a. Kedua belah pihak yang melakukan transaksi musaqah
harus orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa
(akil balig) dan berakal.
b. Objek musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang
mempunyai buah. Dalam menentukan objek musaqah ini
terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Menurut ulama
Hanafiyah, yang boleh menjadi objek musaqah adalah
pepohonan yang berbuah (boleh berbuah), seperti kurma,
anggur dan terong. Akann tetapi, ulama Hanafiyah
mutaakhkhirin menyatakan, musaqah juga berlaku pada
pepohonan yang tidak mempunyai buah, jika hal itu
dibutuhkan masyarakat. Ulama Malikiyah, menyatakan
bahwa yang menjadi objek musaqah itu adalah tanaman
keras dan palawija, seperti kurma, terong, apel dan anggur
dengan syarat bahwa:
 Akad musaqah itu dilakukan sebelum buah itu layak
dipanen.
 Tenggang waktu yang ditentukan jelas.
 Akadnya dilakukan setelah tanaman itu tumbuh.

63
Wahbah Zuhaili,Loc.cit., Juz 5

30
 emilik perkebunan tidak mampu untuk mengolah dan
memelihara tanaman itu.64
Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa
menjelaskan masa lamanya, bukanlah merupakan syarat
dalam musāqāh, tetapi sunnah, yang berpendapat tidak
diperlukannya syarat ini adalah ẓāhiriyah. 65

C. Berakhirnya Musaqah
Musaqah berakhir karena beberapa hal, yaitu:
a. Telah selesainya masa yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Dalam hubungan ini, Syafi’iyah berpendapat apabila buah keluar
setelah habisnya masa musaqah maka penggarap tidak berhak
untuk mengambilnya, karena masa penggarapan sudah habis.
b. Meninggalnya salah satu pihak, baik pemilik maupun penggarap.
c. Akadnya batal sebab iqalah (pernyataan batal) secara jelas atau
karena udzur sebagai berikut:
1) Penggarap sakit sehingga ia tidak mampu bekerja.
2) Penggarap sedang bepergian.
3) Penggarap terkenal sebagia seorang pencuri yang
dikhawatirkan ia akan mencuri buah sebelum dipetik. 66
Menurut ulama fiqh, akad musāqāh berakhir apabila:
a. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah
habis.
b. Salah satu pihak meninggal dunia.
c. Dan uzur yang membuat salah satu pihak tidak
boleh melanjutkan akad.67

64
Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004), 217
65
Ibid.,
66
Ibid., Juz 5, hlm. 646-648
67
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah…, 287.

31
Uzur yang mereka maksudkan dalam hal ini di antaranya adalah petani penggarap
itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil tanaman dan petani penggarap sakit
yang tidak memungkinkan dia untuk bekerja. Jika petani yang wafat, maka ahli
warisnya boleh melanjutkan akad itu jika tanaman itu belum dipanen, sedangkan
jika pemilik perkebunan yang wafat, maka pekerjaan petani harus dilanjutkan.
Jika kedua boleh pihak yang berakad meninggal dunia, kedua belah pihak ahli
waris boleh memilih antara meneruskan akad atau menghentikannya. 68

68
Ibid, 287-288

32
DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Farroh Hassan, M. (2018). FIQH MUAMALAH dari Klasik hingga


Kontemporer(Teori dan Praktik). Malang: UIN-Maliki Malang Press.

Dr. Sri Sudiarti, M. (2018). FIQH MUAMALAH KONTEMPORER. Medan: FEBI UIN-SU
Press.

Drs. H Chairuman Pasaribu Suhrawardi K, L. S. (2019). Hukum Perjanjian Dalam Islam.


Jakarta: Dunia Ilmu Press.

H. Syaikhu, M. (2020). FIKIH MUAMALAH Memahami Konsep Dialektika Kontemporer.


Yogyakarta: K-Media.

Muslich, D. H. (2019). FIQH MUAMALAH. Jakarta: AMZAH.

Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, M. (2010). FIQH MUAMALAT. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.

33
MAKALAH

WAKALAH DAN KAFALAH

Dosen Pengampu : Dr. Asman Arsyad, S.Ag., M.Ag.

DISUSUN OLEH KELOMPOK 9

YULIANI (90400121051)

RAHAYU (90400121052)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Wakalah dan Kafalah” ini
tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari dosen
pada mata kuliah Fiqih Muamalah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Pemberian Kuasa dan Pertanggungan bagi para pembaca dan juga bagi
penulis. Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Asman Arsyad S.Ag., M.Ag.,
selaku dosen mata kuliah Fikih Muamalah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan serta wawasan sesuai bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
serta telah membagi pengetahuan dan sumbernya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna,
oleh karena itu, kritik dan saran yang diberikan akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Makassar, 13 Mei 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... 2


BAB I ............................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 4
A. LATAR BELAKANG ...................................................................................................... 4
B. RUMUSAN MASALAH .................................................................................................. 4
C. TUJUAN ........................................................................................................................... 4
BAB II .............................................................................................................................................. 5
PEMBAHASAN........................................................................................................................... 5
A. DEFINISI WAKALAH DAN DASAR HUKUMNYA .................................................... 5
B. RUKUN DAN SYARAT-SYARAT WAKALAH ............................................................ 8
C. BERAKHIRNYA AKAD WAKALAH.......................................................................... 12
D. DEFINISI KAFALAH DAN DASAR HUKUMNNYA ................................................. 13
E. RUKUN DAN SYARAT-SYARAT KAFALAH ........................................................... 16
F. MACAM-MACAM KAFALAH .................................................................................... 20
G. BERAKHIRNYA AKAD KAFALAH ........................................................................... 23
BAB III .......................................................................................................................................... 25
PENUTUP .................................................................................................................................. 25
A. KESIMPULAN .............................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................... 26

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Wakalah dan Kafalah sering kita dengar baik dalam ekonomi syariah maupun dalam
lembaga keuangan syariah. Hal-hal tersebut dalam dunia perbankan terdapat dalam
produk jasa. Masyarakat awam pada umumnya tidak begitu memahami apa yang
dimaksud dengan wakalah dan kafalah ini.
Wakalah berupa penyerahan atau pendelegasian dari satu pihak kepihak lain dan
harus dilakukan dengan yang telah disepakati oleh sipemberi mandat. Hal ini terjadi
karena pada dasarnya tidak semua manusia dapat mengurusi segala urusannya secara
pribadi, sehingga ia butuh pendelegasian mandat kepada orang lain.
Kafalah dalam dunia perbankan yaitu pemebrian asuransi, berarti pemberian jaminan
yang diberikan satu pihak kepada pihak lain dimana pemberi jaminan bertanggungjawab
atas pembayaran kembali suatu utang ynag menjadi hak penerima jaminan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Definisi Wakalah dan Dasar Hukumnya
2. Rukun dan Syarat-syarat Wakalah
3. Berakhirnya Akad Wakalah
4. Definisi Kafalah dan Dasar Hukumnya
5. Rukun dan Syarat-syarat Kafalah
6. Macam-macam Kafalah
7. Berakhirnya Akad Kafalah

C. TUJUAN
1. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Fiqh
Muamalah
2. Makalah ini disusun agar kita dapat mengetahui dan memahami lebih mengenai
apa itu definisi dari wakalah dan kafalah, mengerti apa saja rukun dan syaratnya,
serta mengetahui kapan berakhirnya akad dari wakalah dan kafalah.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI WAKALAH DAN DASAR HUKUMNYA


1. Definisi Wakalah

Wakalah dalam arti Bahasa berasal dari akar kata wakala yang sinonimnya salama wa
fawadha, artinya menyerahkan. Wakalah juga diartikan dengan al-hifzhu, yang artinya
menjaga atau memelihara. Adapun definisi Wakalah dari beberapa pendapat para ulama,
menurut Malikiyah, Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, yaitu wakalah adalah suatu akad di
mana pihak pertama menyerahkan kepada pihak kedua untuk melakukan suatu perbuatan yang
bisa digantikan oleh orang lain pada masa hidupnya dengan syarat-syarat tertentu.
Dengan demikian, apabila penyerahan tersebut harus dilakukan setelah orang yang
mewakilkan meninggal dunia, seperti wasiat, maka hal itu tidak termasuk wakalah.1

Wakalah dalam arti harfiah adalah menjaga, menahan atau penerapan keahlian atau
perbaikan atas nama orang lain. Dari sini kata Tawkeel diturunkan yang berarti menunjuk
seseorang untuk mengambil alih atas suatu hal juga untuk mendelegasikan tugas apapun ke
orang lain. Akad wakalah adalah akad yang memberikan kuasa kepada pihak lain untuk
melakukan suatu kegiatan dimana yang memberi kuasa tidak dalam posisi melakukan
kegiatan tersebut.2

Wakalah adalah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu
dimana perwakilan tersebut berlaku selama yang mewakilkan masih hidup. Wakalah dalam
pengertian penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat juga terdapat dalam kata Al-
hifzhu yang berarti pemeliharaan. Karena itu penggunaan kata wakalah atau wikalah dianggap
bermakna sama dengan hifzhun.3

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpukan bahwa wakalah yang diartikan sebagai
al-hifzhu yang artinya menjaga atau memelihara. Dalam arti harfiah, adalah menjaga,
menahan atau penerapan keahlian atau perbaikan atas nama orang lain.Wakalah adalah akad

1
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, AMZAH. Jakarta, 2019, hlm 417-419
2
Indah Nuhyatia, “Penerapan dan Aplikasi Akad Wakalah pada Produk Jasa Bank Syariah”. Jurnal Ekonomi.
Vol. 3, No. 2 (2013). 94-95
3
Sri Sudiarti, Fiqh Muamalah Kontemporer, FEBI UIN-SU, 2018, hlm 182.

5
dimana suatu pihak menyerahkan suatu perbuatan kepada pihak lain untuk melanjutkan atau
menjalankannya semasa hidupnya dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.

2. Dasar Hukum Wakalah

Dasar hukum dibolehkannya wakalah, antara lain tercantum dalam Al-Qur’an:

a. Surah Al-kahfi (18) ayat 19 yang menceritakan tentang kisah Ashhabul Kahfi: “Dan

demikianlah kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara


mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka “sudah berapa lamakah kamu
berada (di sini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih
mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah seorang di antara kamu
untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah
makanan yang lebih baik, dan bawalah sebagian makanan itu untukmu, dan hendaklah dia
berlaku lemah lembut dan jangan sekali-kali menceritakan halmu kepada siapa pun.”

a. Surah Yusuf (12) ayat 55 :

Berkata Yusuf: “Jadikanlahh aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku


adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”.4

Dasar hukum dibolehkannya wakalah, antara lain tercantum dalam Hadis:

“Bahwasanya Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk
mewakilinya untuk mengawinkan (qabul perkawinan Nabi dengan) dengan Maimunah binti
al-Harits.” (HR. Malik dalam al-Muwaththa’).

“Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW untuk menagih hutang kepada beliau dengan
cara kasar, sehingga para sahabat berniat untuk “menanganinya”. Beliau bersabda,
‘Biarkan ia, sebab pemilik hak berhak untuk berbicara;’ lalu sabdanya, ‘Berikanlah
(bayarkanlah) kepada orang ini unta umur setahun seperti untanya (yang dihutang itu)’.
Mereka menjawab, ‘Kami tidak mendapatkannya kecuali yang lebih tua.’ Rasulullah
kemudian bersabda: ‘Berikanlah kepada-nya. Sesungguhnya orang yang paling baik di
antara kalian adalah orang yang paling baik di dalam membayar.” (HR. Bukhari dari Abu
Hurairah)”

Dasar hukum dibolehkannya wakalah, antara lain tercantum dalam Ijma:

4
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, AMZAH. Jakarta, 2019, hlm 419-420.

6
Para ulama sepakat wakalah diperbolehkan. Bahkan mereka cenderung
mensunnahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau tolong-
menolong atas dasar kebaikan dan taqwa.

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. QS Al-Maa-idah (5:2).”5

Landasan hukum pemberlakuan Wakalah dalam akad di Perbankan Syariah adalah


sebagai berikut:

1) Fatwa DSN-MUI No: 10/DSN-MUI/IV/2000. Tanggal 13 April 2000 tentang


Wakalah.
2) Fatwa DSN-MUI No: 34/DSN-MUI/IX/2002. Tanggal 14 September 2002 tentang
Letter of Credit (L/C) Impor Syariah.
3) Fatwa DSN-MUI No: 35/DSN-MUI/IX/2002. Tanggal 14 September 2002 tentang
Letter of credit (L/C) Ekspor Syariah.
4) Fatwa No: 52/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi
dan Reasuransi Syariah.6

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar hukum yang


terkandung dalam wakalah ada 4, yakni pada Q.S Al-Kahfi ayat 19, yusuf ayat 55, dalam ijma
para ulama telah sepakat bahwa wakalah diperbolehkan. Dan Adapun landasan hukum
pemberlakuan wakalah pada Fatwa DSN MUI. Wakalah dibolehkan oleh Islam karena sangat
dibutuhkan oleh manusia. Dalam kenyataan hidup sehari-hari tidak semua orang mampu
melaksanakan sendiri semua urusannya sehingga diperlukan seseorang yang bisa mewakilinya
dalam menyelesaikan urusannya.

5
Sri Sudiarti, Fiqh Muamalah Kontemporer, FEBI UIN-SU, 2018, hlm 185
6
Indah Nuhyatia, “Penerapan dan Aplikasi Akad Wakalah pada Produk Jasa Bank Syariah”. Jurnal Ekonomi.
Vol. 3, No. 2 (2013). hlm 102

7
B. RUKUN DAN SYARAT-SYARAT WAKALAH
1. Rukun Wakalah

Sekurang-kurangnya terdapat empat rukun wakalah yaitu : Pihak Pemberi kuasa


(muwakkil), Pihak penerima kuasa (wakil), Obyek yang dikuasakan (taukil) dan Ijab Qabul
(sighat). Keempatnya dijelaskan sebagai berikut:

1) Orang yang mewakilkan (al-Muwakkil)

Seseorang yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak untuk bertasharruf
(pengelolaan) pada bidang-bidang yang didelegasikannya. Pemberi kuasa mempunyai hak
atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain juga dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah
cakap bertindak atau mukallaf.

2) Orang yang diwakilkan (al-wakil)

Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan yang mengatur
proses akad wakalah ini sehingga cakap hukum menjadi salah satu syarat bagi pihak yang
diwakilkan. Seseorang yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk
menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. Ini berarti bahwa ia tidak
diwajibkan menjamin sesuatu yang diluar batas, kecuali atas kesengajaannya.

3) Objek yang diwakilkan (taukil)

Objek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli,
pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak yang
memberikan kuasa. Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu
yang bersifat ibadah badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan sesuatu yang
bersifat ibadah Maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Tidak semua
hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga objek yang akan diwakilkan pun tidak
diperbolehkan bila melanggar syari’ah islam.

4) Shighat atau ijab dan qabul

Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Dari
mulai aturan memulai akad wakalah ini, proses akad, serta aturan yang mengatur
berakhirnya akad wakalah ini. Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi

8
kuasa kepada penerima kuasa. Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan
untuk dan atas pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu. 7

Dari uraian beberapa rukun yang telah dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa al-
muwakkil/orang yang mewakilkan disyaratkan memiliki hak untuk mengelola, Adapun al-
wakil/orang yang diwakilkan haruslah memiliki kecakapan pada aturan-aturan dalam
proses mengatur akad wakalah. Taukil/objek yang diwakilkan harus sesuatu yang dapat
diwakilkan oleh orang lain, seperti proses jual beli, pemberian dana/upah, dan sejenisnya.
Shighat/ijab dan qabul perumusan suatu perjanjian anatar sipemberi kuasa dengan
sipenerima kuasa, dimulai dari aturan, proses serta aturan yang menyebabkan berakhirnya
akada wakalah.

2. Syarat-syarat Wakalah

Adapun syarat-syarat dari ke-empat rukun tersebut, diantaranya sebagai berikut:

Menurut Hanafiyah

1) Syarat muwakkil

Syarat untuk muwakkil atau orang yang mewakilkan adalah:

Orang yang mewakilkan harus orang yang dibolehkan melakukan sendiri perbuatan
yang diwakilkannya kepada orang lain. Apabila muwakkil tidak boleh melakukan
perbuatan tersebut, misalnya karena gila, atau masih di bawah umur, maka wakalah
hukumnya tidak sah.
2) Syarat wakil

Syarat untuk wakil ada dua macam, yaitu sebagai berikut:

a) Orang yang mewakili (wakil) harus orang yang berakal


b) Orang yang mewakili (wakil) harus mengetahui tugas atau perkara yang
diwakilkan kepadanya.
3) Syarat perkara yang diwakilkan (muwakkal fih)

Syarat perkara yang diwakilkan adalah sebagai berikut:

a) Perkara yang diwakilkan bukan meminta utang (istiqradh).

7
Sri Sudiarti, Fiqh Muamalah Kontemporer, FEBI UIN-SU, 2018, hlm 186-187

9
b) Perkara yang diwakilkan tersebut bukan hukuman had yang tidak disyaratkan
pengaduan, seperti had zina.
4) Syarat yang berkaitan dengan shighat

Shighat wakalah terbagi kepada dua bagian:

a) Shighat yang khusus


Shighat yang khusus adalah shighat atau lafal yang menunjukkan pemberian kuasa
dalam perkara khusus. Misalnya ucapan seorang muwakkil: “Saya wakil kepadamu
untuk membeli rumah ini”
b) Shighat yang umum
Shighat yang umum adalah setiap lafal yang menunjukkan pemberian kuasa dalam
perkara yang umum. Misalnya ucapan seorang muwakkil: “kamu adalah wakilku
dalam segala sesuatu.”8
1) Syarat-syarat orang yang mewakilkan (al-muwakkil)
Muwakkil merupakan orang yang berwakil disyaratkan sah melakukan apa yang
diwakilkan, sebab milik atau dibawah kekuasaannya orang yang berwakil disyaratkan
sah melakukan apa yang diwakilkan, sebab milik atau dibawah kekuasaannya.
Syarat-syarat muwakkil adalah:
a) Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan
b) Orang mukallaf atay anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-
hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima
sedekah dan sebagainya.
2) Syarat-syarat orang yang diwakilkan (al-wakil)
Syarat-syarat wakil adala sebagai berikut:
a) Cakap hukum, cakap bertindak hukum untuk dirinya dan orang lain, memiliki
pengetahuan yang memadai tentang masalah yang diwakilkan kepadanya, serta
Amanah dan mampu mengerjakan pekerjaan yang dimandatkan kepadanya.
b) Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya.
c) Wakil adalah orang yang diberi amanat.9
3) Muwakil fiih, sesuatu yang diwakilkan, disyaratkan:
a) Menerima penggantian, artinya boleh diwakilkan kepada orang lain
mengerjakannya.

8
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, AMZAH. Jakarta, 2019, hlm 422-425
9
Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Gaung Persada, Jakarta, 2006, hlm. 65.

10
b) Dimiliki oleh orang yang berwakil ketika ia berwakil itu.
c) Diketahui dengan jelas.
4) Sighat, berarti lafal wakil yaitu ucapan dari orang yang berwakil yang menyatakan
bahwa ia rela berwakil.10

Rukun dan Ketentuan Syariah


Rukun wakalah ada 3 (tiga),yaitu sebagai berikut.
1. Pelaku yang terdiri dari pihak pemberi kuasa/muwakkil dan pihak yang diberi
kuasa/wakil.
2. Objek akad berupa barang atau jasa.
3. Ijab Kabul/serah terima.

Ketentuan syariah, yaitu sebagai berikut.


1. Pelaku
a. Pihak pemberi kuasa/pihak yang meminta diwakilkan(muwakkil), antara lain:
1) pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan;
2) orang mukalaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal
yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, enerima
sedekah, dan sebagainya.
b. Pihak penerima kuasa (wakil):
1) harus cakap hukum
2) dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya.
2. Objek yang dikuasakan/diwakilkan/taukil
a. diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili
b. tidak bertentangan dengan syariah Islam
c. dapat diwakilkan menurut syariah Islam
d. manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai
e. kontrak dapat dilaksanakan
3. Ijab kabul adalah pernyataan dan ekspresi saling rida/rela di antara pihak-pihak pelaku akad
yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara
komunikasi modern.20

10
Wirdiyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 166
20
Sri Nurhayati, AKUNTANSI SYARIAH DI INDONESIA, 2015, hlm. 258.
11
Dari penjelasan syarat-syarat wakalah diatas, dapat disimpulkan bahwa menurut
Hanafiyah, syarat muwakkil/orang yang mewakilkan haruslah orang yang telah
diperbolehkan melakukan sendiri perbuatan yang diwakilkannya kepada orang lain.
Adapun syarat wakil menurut hanafiyah, terbagi atas dua macam yaotu orang yang
mewakili haruslah orang yang berakal dan mengetahui tugas atau perkara yang telah
diwakilkan kepadanya.

12
C. BERAKHIRNYA AKAD WAKALAH

Berakhirnya Akad Wakalah

1. Salah seorang pelaku meninggal dunia atau hilang akal, karena jika ini terjadi salah satu
syarat wakalah tidak terpenuhi.
2. Pekerjaan yang diwakilkan sudah selesai.
3. Pemutusan oleh orang yang mewakilkan.
4. Wakil mengundurkan diri.
5. Orang yang mewakilkan sudah tidak memiliki status kepemilikan atas sesuatu yang
diwakilkan.21

Wakalah bukanlah akad yang berlaku abadi, tetapi bisa menjadi batal atau dibatalkan. Dalam
hal ini, ada beberapa hal yang menyebabkan wakalah itu batal dan berakhir, meliputi:

a. Ketika salah satu pihak yang berwakalah itu wafat atau gila.
b. Apabila maksud yang terkandung dalam wakalah itu sudah selesai pelaksanaannya
atau dihentikan maksud dari pekerjaan tersebut.
c. Diputuskannya wakalah tersebut oleh salah satu pihak yang menerima kuasa dan
berakhir karena hilangnya kekuasaannya atau hak pemberi kuasa atas sesuatu objek
yang dikuasakan.
d. Dihentikannya aktivitas/pekerjaan dimaksud oleh kedua belah pihak.
e. Pembatalan akad oleh pemberi kuasa terhadap penerima kuasa, yang diketahui oleh
penerima kuasa.
f. Penerima kuasa mengundurkan diri dengan sepengetahuan pemberi kuasa
g. Gugurnya hak pemilikan atas barang bagi pemberi kuasa.22

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang dapat memicu
berakhirnya suatu akad wakalah adalah, jika salah satu pihak meninggal atau gila, apabila akad
wakalah itu telah selesai atau diberhentikan, salah satu pihak memutuskan untuk mengakhiri
akad tersebut sehingga menghilangkan kekuasaan atas suatu objek, proses akad tersebut
dibatalkan, salah satu pihak mengundurkan diri, serta gugurnya hak kepemilikan atas barang
bagi pemberi kuasa.

21
Sri Nurhayati, AKUNTANSI SYARIAH DI INDONESIA, 2015, hlm.259
22
Dewan Syariah Nasional, Op. Cit, hlm 68.

12
D. DEFINISI KAFALAH DAN DASAR HUKUMNNYA
1. Definisi Kafalah

Kafalah dalam arti bahasa berasal dari kata: kafalah, yang sinonimnya: dhamina,
artinya: menanggung.23

Dalam pengertian lain kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang
yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. 15

Dalam buku “Ekonomi Syariah Versi Salaf” Kafalah memiliki definisi secara lebih
tersusun dan jelas sebagai kesanggupan untuk memenuhi hak yang telah menjadi kewajiban
orang lain, kesanggupan untuk mendatangkan barang yang ditanggung atau untuk
menghadirkan orang yang mempunyai kewajiban terhadap orang lain. Dalam buku
Ekonomi Syariah Versi Salaf itu juga kembali disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu: (M.
Dumairi Nor, dkk, Ekonomi Syariah Versi Salaf.24

1) Kafalah adalah akad yang mengandung kesanggupan seseorang untuk menggantikan


atau menanggung kewajiban hutang orang lain apabila orang tersebut tidak dapat
memenuhi kewajibannya.

2) Kafalah sebagai akad yang tertuang di dalamnya tentang kesanggupan seseorang untuk
menanggung hukuman yang seharusnya diberikan kepada sang terhukum dengan
menghadikan dirinya atau disebut juga sebagai kafalah An Nafs

3) Kafalah yang tertuang di dalamnya tentang kesanggupan seseorang dalam


mengembalikan ‘ain madhamunah peda orang yang berhak.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kafalah adalah jaminan yang
diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga yang memeneuhi kewajiban pihak
kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain kafalah juga berarti mengalihkan
tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain
sebagai penjamin. 25

23
Ibrahim Anis, et.al., Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz 2, Dar Ihya’ At_Turats Al-‘Arabiy, Kairo, cet. II, 1972, hlm.
793
24
Dimyaudin Djuwaini, pengantar fiqh muamalah, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 247
25
Pasuruan: Pustaka Sidogiri, (2008) hlm. 73

13
2. Dasar Hukum Kafalah

Kafalah hukumnya dibolehkan berdasarkan Al-quran, sunnah, dan ij’ma. Dasar hukum
dari Al-quran antara lain sebagai berikut.

a. Surah Yusuf (12) ayat 66:

‫ط بِكِ ِم‬
ِ ‫به إىل أِ ِن ِيِا‬ ‫قِا ِل لِ ِن أِ ِر ِس لِهِ ِم عِ كِ ِم ِح ِىِت تِ ِؤتِو ِن ِم ِوثِ ِق ا ِم ِن ا ىِلِ لِتِأِ تِ نى ِن‬

‫فِ لِ ىم ا آ تِ ِوهِ ِم ِوثِ ِق ِه ِم قِا ِل ا ىِلِ عِ لِ ِى ِم ا نِقِ و ِل ِوكِ ي ل‬

Dia (Yakub) berkata, “Aku tidak akan melepaskannya (pergi) bersama kamu, sebelum
kamu bersumpah kepadaku atas (nama) Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya
kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung (musuh).” Setelah mereka mengucapkan
sumpah, dia (Yakub) berkata, “Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan.” 26

b. Surah Yusuf (12) ayat 72:

‫ك ِولِ ِم ِن ِج ا ءِ بِهِ ِحِِ لِ بِعِريِ ِوأِ ِن به ِزعيم‬


ِ ِ‫قِا لِوا نِ ِف قِ ِد ص واعِ ا لِ م ل‬
ِ ِِ

Mereka menjawab, “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya
akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta, dan aku jamin itu.”

Pengertian za’im dalam ayat tersebut adalah kafil yang artinya “orang yang menanggung
atau menjamin”.26

c. Hadis Sunan Ibnu Majah No. 2397

‫ي ِع ِن ِع ِم ِرو بِ ِن أِِِب ِع ِم ِرو ِع ِن عِ ِك ِرِم ِة ِع ِن ابِ ِن ِع بىا ِس أِ ىن ِر ِج لِ لِ ِزِم‬ ِ ‫ص بىا ِح ِح ىد ثِنِا ِع ِب ِد الِ ِع ِزي ِز بِ ِن ِمِ ىمدِ ال ىد ا ِرِوِرِد‬
‫ِح ىد ثِنِا ِمِ ىم ِد بِ ِن ال ى‬
‫ك ِح ىِت‬ ِ ِ‫ص لىى ا ِلىِ عِلِِي ِه ِو ِسلى ِم فِ ِق ا ِل ِما عِ ِن ِدي ِش ِيء أِعِ ِطي ِكهِ فِ ِقا ِل لِ ِوا ِلىِ لِ أِفِا ِرق‬ ِ ِ ِ ِ
ِ ‫غِ ِرميِا لِهِ بِ ِع ِش ِرةِ دِ نِ ن رِي ِعلِى عِ ِهد ِر ِس ول ا ِلى‬
‫صلىى ا ِلىِ ِع لِيِ ِه ِو ِسلى ِم ِك ِم تِ ِس تِ نِ ِظ ِرهِ فِ ِقا ِل ِش ِه ِرا فِ ِقا ِل‬ ِ
ِ ِ‫ص لىى ا ىِلِ ِعلِِي ه ِو ِسلى ِم فِ ِقا ِل لِهِ النىِب‬
ِ ‫ب‬ ِ ِِ ِ ِ
‫تِ ِقض يِ ِن أِِو تِِتيِ ِن ِبِمي ِل فِ ِج ىرهِ إ ِل ا لنىِ ِي‬
‫ص لىى ا ِىلِ ِعلِِي ِه‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ِ ِ‫ص لىى ا ِلىِ ِعلِيِ ه ِو ِسلى ِم فِ ِقا ِل لِهِ ال نىِب‬ ِ ِ‫صلىى ا ىِلِ عِلِيِ ه ِو ِسلى ِم فِأِ ِن أِ ِِحلِ لِهِ فِ ِجاءِهِ ِف الِ ِوقِت الىذي قِا ِل ا لنىِب‬ ِ ‫ِر ِسو ِل ا ىِل‬
ِ ِ
ِ ِ‫ت ِه ِذا قِا ِل ِم ِن ِم ِعد ِن قِا ِل لِ ِخ ِ ِري في ِها ِوق‬
ِ‫ضا ِها ِعنِه‬
ِ
ِ ِ‫ِو ِسلى ِم م ِن أِيِ ِن أ‬
ِ ِ‫صب‬

14
25
https://www.tokopedia.com/s/quran/yusuf/ayat-66
26
Sayid Sabiq, op.cit., Juz 3, hlm. 28

15
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash Shabbah berkata, telah
menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad Ad Darawardi dari Amru bin Abu
Amru dari Ikrimah dari Ibnu Abbas berkata, "Pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
ada seseorang yang mempunyai tanggungan hutang sebanyak sepuluh dinar kepada orang yang
meminjaminya. Lalu ia (peminjam) berkata, "Aku tidak memiliki sesuatu untuk aku berikan
kepadamu." Ia (pemilik uang) berkata, "Tidak, demi Allah. Aku tidak akan meninggalkanmu
hingga kamu membayarku, atau kamu mendatangkan kepadaku seorang jaminan." Lalu ia
membawanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
lantas bertanya: "Berapa lama waktu yang kamu berikan untuknya?" ia menjawab, "Satu
bulan." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian bersabda: "Aku yang akan menjadi
penjamin." Maka dia datang di waktu yang telah dikatakan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu bertanya kepadanya: "Dari manakamu dapatkan ini?" Ia
menjawab, "Dari harta temuan (harta karun)." Beliau bersabda: "Tidak ada kebaikan di sana."
Lalu beliau pun membayarkan hutangnya."27

27
https://www.hadits.id/hadits/majah/2397

16
E. RUKUN DAN SYARAT-SYARAT KAFALAH
1. Rukun Kafalah

Rukun kafalah ada 3 (tiga), yaitu sebagai berikut.

1. Pelaku, terdiri atas pihak penjamin, pihak berutang, dan pihak yang berpiutang.
2. Objek akad berupa tanggungan pihak yang berutang baik berupa barang, jasa, maupun
pekerjaan.
3. Ijab kabul/serah terima. 28

Menurut ulama Hanafiyah, rukun kafalah hanya satu, yaitu ijab dan qaboul. Akan tetapi,
menurut ulama-ulama yang lain, rukun kafalah ada lima, yaitu:

a. Shighat,

b. Dhamin atau kafil,

c. Madhum atau makful lahu, yaitu pemilik hak,

d. Madhmun atau makful ‘anhu, dan

e. Madhmun atau makful, atau disebut juga makful bih.29

2. Syarat-Syarat Kafalah

Syarat-syarat kafalah berkaitan dengan rukun-rukun yang disebutkan di atas, yaitu syarat
shighat, syarat kafil, syarat makful lahu, syarat makful ‘anhu, dan syarat makful bih.

a. Syarat Shighat

Ulama-ulama Hanafiyah tidak memberikan syarat-syarat yang khusus untuk shighat


(redaksi) ijab dan qabul dalam kafalah. Menurut mereka (Hanafiyah), shighat kafalah bisa
dengan setiap lafal yang mengandung arti tanggungan atau iltizam. Dalam kafalah bi an-
nafsi, redaksi yang digunakan adalah setiap lafal yang mengungkapkan tentang badan orang
yang harus didatangkan. Misalnya: “Saya menjamin untuk menghadirkan diri si A, atau
jiwanya, kepalanya atau wajahnya.”30

28
Sri Nurhayati, AKUNTANSI SYARIAH DI INDONESIA, 2015, hlm.261
29
Abdurrahman Al-Jaziri, op.cit., Juz 3, hlm. 226
30
Ali Fikri, op.cit., Juz 2, hlm. 15

17
Syarat yang lain, yang disepakati juga oleh ulama Syafi’iyah adalah bahwa shighat
kafalah tidak digantungkan dengan syarat yang tidak relevan dengan akad kafalah, dan
tidak dikaitkan dengan waktu. Contoh akad yang dikaitkan dengan waktu: “Saya jamin
harta si Fulan dlam waktu satu bulan.” Shighat semacam ini hukumnya tidak sah.

Berdasarkan uraian diatas Sighat kafalah. bisa diekspresikan dengan ungkapan yang
menyatakan adanya kesanggupan untuk menanggung sesuatu, sebuah kesanggupan untuk
menunaikan kewajiban. Seperti ungkapan “aku akan menjadi penjagamu” atau “saya akan
menjadi penjamin atas kewajibanmu atas seseorang” atau ungkapan lain yang sejenis.

18
b. Syarat Kafil (Dhamin)

Syarat-syarat kafil atau dhamin adalah sebagai berikut.

1) Baligh.

Tidak sah bagi seorang anak yang masih di bawah umur untuk menanggung kepentingan
orang lain. Syarat ini disepakati oleh para fuqaha mazhab empat. Namun, Hanafiyah
mengecualikan dalam hal kafalah bi al-mal, bukan bi an-nafs, yaitu apabila anak tersebut
anak yatim, dan walinya berutang untuk menafkasinya. Dalam hal ini anak tersebut
dibolehkan untuk menanggungnya dengan perintah walinya dan kafalah-nya hukumnya
sah.31

2) Berakal.

Tidak sah kafalah yang dilakukan oleh orang gila. Syarat ini juga disepakati oleh fuqaha
mazhab empat.32

3) Tidak mahjur ‘alaih karena boros.

Apabila kafil dinyatakan mahjur’alaih karena sebab yang lain selain boros, maka kafalah-
nya hukumnya sah.

4) Kafil

Tidak berada dalam keadaan maradhul maut (sakit keras). Dalam keadaan ini, maka kafalah-
nya tidak sah dengan dua syarat, yaitu:

a) ia mempunyai utang yang menghabiskan hartanya. Apabila ia tidak punya utang


yang menghabiskan hartanya, maka kafalah-nya tetap sah;
b) tidak ada tambahan harta yang baru setelah ia meninggal. Apabila ada tambahan
harta baru setelah ia meninggal maka kafalah-nya hukumnya sah.33

5) Tidak dipaksa. Dengan demikian, kafalah orang yang dipaksa hukumnya tidak sah.

31
Ibid., Juz 3, hlm. 230.
32
Ibid., Juz 3, hlm. 227-237
33
Ibid., Juz 3, hlm. 235
6) Hanafiyah menambahkan syarat kafil harus orang merdeka. Akan tetapi, ini bukan
syarat sah, melainkan syarat nafadz.34

Berdasarkan uraian diatas, ulama fiqh mensyaratkan seorang kafil haruslah orangyang
berjiwa filantropi, orang yang terbiasa berbuat baik demi kemaslahatan orang lain. Selain itu,
ia juga orang yang baligh dan berakal. Akad kafalah tidak boleh dilakukan olehh anak kecil,
orang-orang safih ataupun orang yang terhalang untuk melakukan transaksi. Karena bersifat
charity, akad kafalah harus dilakukan oleh seorang kafil dengan penuh kebebasan, tanpa adanya
paksaan. Ia memiliki kebebasan penuh guna menjalankan pertanggungan. Karena dalam akad
ini, kafil tidak memiliki hak untuk merujuk pertanggungan yang telah ditetapkan.

c. Syarat Makful Lahu

Makful lahu adalah orang yang kepentingannya ditanggung, yaitu pemilik utang
(shahib ad-dain). Syarat untuk pemilik utang (makful lahu) adalah:

1. Harus jelas (diketahui). Dengan demikian, tidak sah menjamin seseorang yang ia
(penjamin) tidak mengetahuinya. Akan tetapi, hanabilah menyatakan syarat ini tidak
perlu. Dengan demikian, menurut Hanabilah, penjamin tidak perlu mengetahui makful
lahu. Alasan Hanabilah antara lain Tindakan Ali dan Abu Qatadah yang menjamin
orang yang makful lahu-nya tidak diketahui.35
2. Berakal. Tidak sah menjamin seseorang yang gila. Hal tersebut dikarenakan dalam
kafalah harus ada qabul (penerimaan), dan orang gila qabul-nya tidak sah.36

Berdasarkan uraian diatas, ulama mensyaratkan makful lahu harus dikenali oleh kafil,
guna meyakinkan pertanggungan yang menjadi bebannya dan mudah untuk memenuhinya.
Selain itu, ia juga disyaratkan untuk menghadiri majlis akad. Ia adalah orang yang baligh dan
berakal, tidak boleh orang gila atau anak kecil yang belum berakal.

d. Syarat Makful ‘Anhu

Makful ‘anhu adalah al-mudin, yaitu orang yang memiliki beban utang. Syarat untuk
al-mudin adalah ia tidak mahjur ‘alaih karena boros. Menurut Hanabilah dan Syafi’iyah, ia
(makful ‘anhu) tidak disyaratkan harus diketahui oleh penjamin. Alasan Hanabilah antara lain

34
Ibid., Juz 3, hlm. 230.
35
Syamsuddin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisi, Asy-Syarh Al-Kabir, juz 3, Dar Al-Fikri, t.t., hlm. 37
36
Ali Fikri, op.cit., Juz 2, jlm. 17-18.
Tindakan Ali dan Abu Qatadah, yang memberikan jaminan kepada orang yang makful ‘anhu-
nya tidak diketahui oleh mereka berdua, sebagaimna yang telah dikemukakan di atas.37

Berdasarkan uraian di atas, Syarat utama yang harus melekat pada diri tertanggung
(makful‟anhu) adalah kemampuannya untuk menerima objek pertanggungan, baik dilakukan
oleh diri pribadinya atau orang lain yang mewakilinya. Selain itu makful‟anhu harus dikenal
baik oleh pihak kafil.

e. Syarat Makful atau Makful Bih

Makful atau makful bih adalah objek kafalah, baik berupa barang, utang, orang maupun
pekerjaan yang wajib dikerjakan oleh makful ‘anhu38. Syarat-syarat untuk objek kafalah ini
akan dibicarakan tersendiri, Ketika membicarakan macam-macam kafalah.

37
Syamsuddin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisi, op.cit., Juz 3, hlm. 38.
38
Sayid sabiq, op.cit., Juz 3, hlm. 283

19
F. MACAM-MACAM KAFALAH
Secara garis besar, kafalah terbagi kepada dua bagian:

1. kafalah bi an-nafs, dan

2. kafalah bi al-mail.39

1. Kafalah bi An-Nafs

Pengertian kafalah bi an-nafs menurut Sayid Sabiq yaitu kewajiban seorang penjamin untuk
mendatangkan orang yang ditanggung(makful) kepada makful lahu (tertanggung).

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa kafalah bin an-nafs adalah suatu kafalah di mana
objek tanggungannya mendatangkan orang ke hadapan tertanggung.

2. Kafalah bi Al-Mal

Pengertian kafalah bi al-mal adalah suatu bentuk kafalah di mana penjamin terikat untuk
membayar kewajiban yang bersifat harta. 40

Kafalah bi al-mal terbagi kepada tiga bagian:

a. Kafalah bi Ad-Dain

Yaitu kewajiban penjamin(kafil) untuk melunasi utang yang ada dalam tanggung jawab orang
lain. Dalam hadis Salamah bin Al-Akwa’ dicerikan bahwa Nabi menolak untuk menyalatkan
jenazah yang masih memiliki utang. Kemudian Abu Qatadah menyatakan bahwa ia yang
menjamin utang jenazah tersebut. Barulah Nabi menyalatkannya. 41 Untuk kafalah bi ad-dain
ini disyaratkan:

a. Utang harus sudah tetap pada saat dilangsungkannya kafalah, seperti utang pinjaman,
utang karena jual beli, utang karena sewa-menyewa, dan utang karena mahar. Apabila
utang belum tetap maka kafalah tidak sah Misalnya seorang penjamin mengatakan:
“Juallah kepada si Fulan, saya yang akan menjamin harganya.” Dalam contoh ini utang
tersebut belum terjadi, sehingga kafalah hukumnya tidak sah. Pendapat ini
dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah, Muhammad bin Hasan, dan Zhahiriyah. Akan

39
Ibid., Juz 3, hlm. 285
40
Ibid., Juz 3.
41
Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, loc.cit., Juz 2

20
tetapi, Imam Abu Hanifah, Malik, dan Abu Yusuf membolehkan kafalah dalam kasus
seperti dalam contoh kasus di atas.
b. Utang tersebut harus jelas, tidak majhul, karena bisa menimbulkan gharar(penipuan).
Ini menurut Mazhab Syafi’I dan Ibnu Hazm. Akan tetapi, menurut Imam Abu Hanafiah,
Malik dan Ahmad, kafalah dalam utang yang tidak jelas (majhul), hukumnya sah. 42

b. Kafalah bi Al-‘Ain

Disebut juga kafalah bi at-taslim, yaitu kewajiban penjamin (kafil) untuk menyerahkan barang
tertentu yang ada di tangan orang lain. Contohnya mengembalikan barang yang di-ghasab
(dicuri) dari orang yang meng-ghasab, atau menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
Dalam hal ini disyaratkan barang yang akan diserahkan menjadi tanggungan ashil
(makful’anhu), seperti dalam barang yang di-ghasab. Apabila barang tersebut bukan menjadi
tanggungannya, seperti barang pinjaman atau titipan maka kafalah hukumnya tidak sah.43

c. Kafalah bi Ad-Darak

Yaitu kafalah atau tanggungan terhadap apa yang timbul atas barang yang dijual, berupa
kekhawatiran karena adanya sebab yang mendahului akad jual beli. Dengan demikian, kafalah
dalam hal ini adalah jaminan terhadap hak pembeli dari pihak penjual, apabila terhadap barang
yang dijual ada pihak lain yang merasa memiliki. Seperti barang yang diperjualbelikan ternyata
dimiliki oleh orang lain, atau sedang digadaikan kepada pihak lain.44

Macam-macam kafalah berdasarkan sumber lain meliputi:

1. Kafalah jiwa atau juga dikenal dengan kafalah wajah adalah komitmen penanggung
untuk menghadirkan sosok pihak tertanggung kepada orang yang ditanggung
haknya.
2. Kafalah atau penanggungan terhadap harta adalah kafalah yang mengharuskan
penanggung untuk menunaikan tanggungan yang berkaitan dengan harta.45

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa macam-macam kafalah


terdiri dari kafalah bi an-nafs dan kafalah bi al-mal. Kafalah bi an-nafs menurut Sayid Sabiq
adalah kewajiban seorang penjamin untuk mendatangkan orang yang ditanggung (makful)

42
Wahbah Zuhaili, op.cit. Juz 5, hlm. 147
43
Sayid Sabiq, op.cit., Juz 3, hlm. 287
44
Ibid., Juz 3.
45
.Hendi Suhendi, fiqh muamalah, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.194

21
kepada makful lahu (tertanggung). Sedangkan kafalah bi al-mal adalah suatu bentuk kafalah di
mana penjamin terikat untuk membayar kewajiban yang bersifat harta. Adapun macam-macam
kafalah dari sumber lain yaitu kafalah jiwa atau juga dikenal kafalah wajah merupakan
komitmen penganggung untuk menghadirkan sososk pihak tertanggung kepada orang yang
ditanggung haknya dan kafalah terhadap penganggungan harta adalah kafalah yang
mengharuskan penganggung untuk menunaikan tanggungan yang berkaitan dengan harta.

22
G. BERAKHIRNYA AKAD KAFALAH
Apabila jenis kafalah-nya kafalah bi al-mal, maka kafalah berakhir dengan salah satu dari dua
perkara.46

1. Harta telah diserahkan kepada pemilik hak (ad-dain) atau dalam pengertian diserahkan, baik
penyerahan tersebut oleh penjamin (kafil) maupun oleh ashil atau makful ‘anhu (al-mudin).
Demikian pula kafalah berakhir pada pemilik hak (ad-dain) menghibahkan hartanya kepada
penjamin (kafil) atau ashil (makful ‘anhu), atau menyedekahkannya kepada penjamin (kafil)
atau ashil (makful ‘anhu). Kafalah juga berakhir apabila pemilik hak (ad-dain) meninggal dan
hartanya diwaris oleh kafil atau ashil karena dengan warisan ia memiliki apa yang berada dalam
tanggungannya.

2. Utang telah dibebaskan atau dalam pengertian dibebaskan. Apabila pemilik hak (ad-dain)
membebaskan penjamin (kafil) atau ashil (makful ‘anhu), maka kafalah menjadi berakhir.
Hanya saja apabila ad-dain membebaskan kafil (penjamin) maka ashil (makful ‘anhu) belum
bebas dari utang. Sebaliknya, apabila ad-dain membebaskan al-ashil (makful ‘anhu), maka
penjamin (kafil) menjadi bebas, karena utang tersebut ada pada ashil, bukan pada kafil.
Demikian pula kafalah dapat berakhir dengan adanya perdamaian (shulh).

Apabila jenis kafalah-nya kafalah bi an-nafs, maka kafalah berakhir karena tiga sebab, sebagai
berikut.

1. Penyerahan diri orang yang dituntut di tempat yang memungkinkannya untuk dihadapkan di
muka siding pengadilan, misalnya di kota A. apabila penyerahan dilakukan di lapangan atau di
tempat yang tidak mungkin terdakwa dihadapkan di muka siding, maka kafil (penjamin) belum
bebas karena tujuan penyerahan belum terwujud. Apabila disyaratkan kafil harus menyerahkan
diri makful di kota A, tetapi penyerahan di kota B, maka menurut Imam Abu hanifa, kafil sudah
bebas, karena terdakwamemungkinkan untuk dihadapkan di muka siding pengadilan di kota A.
Sedangkan menurut Muhammad dan Abu Yusuf tidak bebas kecuali makful diserahkan di kota
yang ditentukan (A).

2. Pembebasan terhadap kafil oleh pemilik hak darilewajiban kafalah bi an-nafs. Tetapi ashil
(makful ‘anhu) tidak bebas karena pembebasan tersebut hanya terhadap kafil saja. Apabila
pembebasannya termasuk juga makful ‘anhu maka kedua-duanya bebas.

46
Wahbah Zuhaili, op.cit., Juz 5, hlm. 152.

23
3. Meninggalnya makful ‘anhu. Apabila al-ashil meninggal dunia maka kafalah menjadi
berakhir, dan kafil (penjamin) telah bebas dari tugas kafalah bi an-nafs, karena makful tidak
mungkin untuk dihadirkan. Demikian pula kafalah berakhir karena meninggalnya penjamin
(kafil). Tetapi apabila makful lahu yang meninggal, maka kafalah bi an-nafs tidak gugur, dan
kedudukannya digantikan oleh ahli waris atau pemegang wasiatnya.

Apabila jenis kafalah-nya kafalah bi al-‘ain, maka kafalah dapat berakhir karena dua hal, yaitu
sebagai berikut.47

1. Penyerahan benda yang ditanggung (dijamin), apabila barangnya masih ada, atau
persamaanya, atau harganya, apabila barangnya telah rusak.

2. Pembebasan kafil (penjamin) dari tugas kafalah. Misalnya perkataan pemilik hak: “saya
bebaskan engkau dari tugas kafalah”. Demikian pula kafalah dapat gugur (berakhir) karena
pembebasan ashil (makful) dari kewajiban menyerahkan barang yang ada padanya.

Demikian beberapa uraian tentang kafalah, yang meliputi pengertian dan dasar
hukumnya, rukun dan syarat-syaratnya, macam-macam serta berakhirnya akad kafalah.

47
Ibid., Juz 5, hlm. 155-156

24
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari pemaparan beberapa materi tentang akad wakalah dan kafalah, dapat disimpulkan
bahwa wakalah yang diartikan sebagai al-hifzhu yang artinya menjaga atau memelihara.
Dalam arti harfiah, adalah menjaga, menahan atau penerapan keahlian atau perbaikan atas
nama orang lain.Wakalah adalah akad dimana suatu pihak menyerahkan suatu perbuatan
kepada pihak lain untuk melanjutkan atau menjalankannya semasa hidupnya dengan syarat-
syarat yang telah ditentukan. Dasar-dasar hukum yang terkandung dalam wakalah ada 4, yakni
pada Q.S Al-Kahfi ayat 19, yusuf ayat 55, dalam ijma para ulama telah sepakat bahwa
wakalah diperbolehkan. Dan Adapun landasan hukum pemberlakuan wakalah pada Fatwa
DSN MUI.

al-muwakkil/orang yang mewakilkan disyaratkan memiliki hak untuk mengelola, Adapun al-
wakil/orang yang diwakilkan haruslah memiliki kecakapan pada aturan-aturan dalam proses
mengatur akad wakalah. Taukil/objek yang diwakilkan harus sesuatu yang dapat diwakilkan
oleh orang lain, seperti proses jual beli, pemberian dana/upah, dan sejenisnya. Shighat/ijab
dan qabul perumusan suatu perjanjian anatar sipemberi kuasa dengan sipenerima kuasa,
dimulai dari aturan, proses serta aturan yang menyebabkan berakhirnya akada wakalah.

kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga
yang memeneuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain kafalah
juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada
tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.

Ulama fiqh mensyaratkan seorang kafil haruslah orang yang berjiwa filantropi, orang yang
terbiasa berbuat baik demi kemaslahatan orang lain. Selain itu, ia juga orang yang baligh dan
berakal. Akad kafalah tidak boleh dilakukan olehh anak kecil, orang-orang safih ataupun orang
yang terhalang untuk melakukan transaksi. Karena bersifat charity, akad kafalah harus
dilakukan oleh seorang kafil dengan penuh kebebasan, tanpa adanya paksaan. Ia memiliki
kebebasan penuh guna menjalankan pertanggungan

25
DAFTAR PUSTAKA

wakalah-dan-kafalah. (2016, Desember 23). Retrieved from www.kompasiana.com:


https://www.kompasiana.com/nilaen/585d2de56823bde624d9bd09/wakalah-dan-kafalah

Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, AMZAH. Jakarta, 2019

Indah Nuhyatia, “Penerapan dan Aplikasi Akad Wakalah pada Produk Jasa Bank Syariah”. Jurnal

Ekonomi. Vol. 3, No. 2 (2013).

Sri Sudiarti, Fiqh Muamalah Kontemporer, FEBI UIN-SU, 2018

Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Gaung Persada, Jakarta, 2006

Wirdiyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005

Dewan Syariah Nasional, Op. Cit

Ibrahim Anis, et.al., Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz 2, Dar Ihya’ At_Turats Al-‘Arabiy, Kairo, cet. II, 1972

Dimyaudin Djuwaini, pengantar fiqh muamalah, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008

Pasuruan: Pustaka Sidogiri, (2008)

http://repository.uinbanten.ac.id/4824/5/BAB%20III.pdf

https://www.tokopedia.com/s/quran/yusuf/ayat-66

Sayid Sabiq, op.cit.

https://www.hadits.id/hadits/majah/2397

Abdurrahman Al-Jaziri, op.cit., Juz 3

Ali Fikri, op.cit., Juz 2, hlm. 15 Wahbah

Zuhaili, op.cit. Juz 5

Sayid Sabiq, op.cit., Juz 3

Hendi Suhendi, fiqh muamalah, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002

Syamsuddin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisi, op.cit., Juz 3

Sri Nurhayati, AKUNTANSI SYARIAH DI INDONESIA, 2015

26
MAKALAH FIKIH MUAMALAH : AKAD HIWALAH DAN
WADI’AH

Dosen Pengampu: Dr. Azman, M.Ag.

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 10

SEPTIAN NUGRAHA (90400121053)

NUR SAKINAH IRMAN (90400121054)

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan keliadirat Allah Swt. yang sudali melimpahkan ralimat, taufik,
dan hidayah-Nya sehingga kami bisa Menyusun tugas ekonomi syariah ini dengan baik dan
tepat waktu.

Tugas makalah ini berisi tentang fiqih muamalah yang membahasa tentang hiwalah dan
wadi'ah. Mudah-mudahan makalah ini dapat menambali pengutahuan tentang fiqih muamalah.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam Menyusun makalah ini.

Sebab itu, kritik serta saran yang sifatnya membangun, sangat kami harapkan guna
kesempurnaan makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen mata kuliah
ekonomi syariah. Atas perhatiannya kami sampaikan terima kasih

Makassar, 18 Mei 2022

Penyusun
DAFTAR ISI .................................................................................................................
Sampul ...........................................................................................................................
Kata Pengantar .............................................................................................................
Daftar Isi........................................................................................................................
Bab 1
(Pendahuluan)
Latar Belakang

Rumusan Masalah

Tujuan

Bab 2
(Pembahasan)
A. Hiwalah ....................................................................................................................
1. Pengertian Hiwalah .............................................................................................
2. Dasar Hukum Hiwalah ........................................................................................
3. Rukun Hiwalah ....................................................................................................
4. Syarat Hiwalah ....................................................................................................
5. Jenis Hiwalah ......................................................................................................
6. Beberapa Hukum (ketentuan) tentang Hiwalah ....................................................
7. Berakhirnya Akad Hiwalah ..................................................................................
B. Wadi’ah
1. Pengertian Wadi’ah .............................................................................................
2. Dasar Hukum Wadi’ah ........................................................................................
3. Rukun Wadi’ah ...................................................................................................
4. Syarat-Syarat Wadi’ah .........................................................................................
5. Jenis-Jenis Wadi’ah .............................................................................................
6. Status Wadi’ah ....................................................................................................
7. Perubahan dari amanah kepada tanggungan .........................................................

Bab 3
(Penutup)
Kesimpulan
Daftar Pustaka ..............................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar
dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah
(hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti membutuhkan berinterakasi dengan lainnya
1
untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.
Wadi’ah merupakan simpanan (deposit) barang atau dana kepada pihak lain yang bukan
pemiliknya untuk tujuan keamanan. Wadi’ah adalah akad penitipan dari pihak yang
mempunyai uang atau barang kepada pihak yang menerima titipan, dengan catatan kapan
pun titipan diambil pihak penerima titipan wajib menyerahkan kembali titipan tersebut dan
yang dititipi menjadi penjamin pengembalian barang titipan.
al-wakalah ialah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu
dalam hal-hal yang dapat diwakilkan. Jumhur ulama sepakat membolehkan al-wakalah,
bahkan mensunnahkannya karena kegiatan ini termasuk jenis ta’awun (tolong menolong)
atas dasar kebaikan dan takwa, yang oleh al-Qur’an diserukan dan disunnahkan oleh
Rasulullah SAW.
Pada dasarnya wakalah bersifat mubah, tetapi akan menjadi haram jika urusan yang
diwakilkan adalah hal-hal yang bertentangan dengan syariah, menjadi wajib jika
menyangkut hal yang darurat menurut Islam, dan menjadi makruh jika menyangkut hal-
hal yang makruh, jadi masalah yang diwakilkan sangat penting. 1

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian hiwalah dan dasar hukumnya?
2. Apa Rukun dan syarat Hiwalah?
3. Jelaskan Beberapa Hukum tentang Hiwalah?
4. Kapan Berakhirnya Hiwalah?
5. Apa Pengertian Wadi'ah dan dasar hukumnya?
6. Apa Rukun dan syarat Wadi'ah?
7. Apa Status Wadi'ah ?

1. Muhammad Nashihul Ibad Elhas,makalah wadi’ah dan wakalah, Jember, 2015 , hal 1
8. Bagaimana Perubahan dari amanah kepada tanggungan (Dhaman) ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Hiwalah, dasar hukum, rukun dan syarat, dan
berakhirnya Hiwalah
2. Untuk mengetahui pengertian Wadi'ah, dasar hukum, rukun dan syarat Wadi'ah, status
Wadi'ah, perubahan dari amanah kepada tanggungan(Dhaman)
BAB II

PEMBAHASAN

A. HIWALAH
I. PENGERTIAN HIWALAH
Secara etimologi, kata al-hiwalah berarti menempatkan sesuatu yang ditempatkan
bukan pada pemiliknya untuk dipelihara. 2

Al-hiwalah secara bahasa artinya al-Intiqal (pindah), diucapkan, Hāla „anil „ahdi,
(berpindah, berpaling, berbalik dari janji), Sedangkan secara istilah, definisi al-
Hiwalah menurut ulama Hanafiyyah adalah memindah (al-Naqlu) penuntutan atau
penagihan dari tanggungan pihak yang berutang (al-Madin) kepada tanggungan
pihak al-Multazim (yang harus membayar utang, dalam hal ini adalah al-Muhal
„alaihi).3

Hiwalah adalah pemindahan hak berupa utang dari orang yang berutang (al mudin)
kepada orang lain yang dibebani tanggungan pembayaran utang tersebut.4

Dari tiga defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa Hiwalah adalah pemindahan hak
menuntut atau tanggung jawab utang seseorang untuk menuntut dari pihak pertama
kepada pihak lain yang dibebani tanggungan pembayaran utang tersebut.
Contohnya yakni seorang individu A berpiutang kepada pihak B sejumlah Rp 2 juta.
Sementara pihak B berpiutang kepada pihak C sebesar Rp 2 juta. Kemudian pihak
B mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang ada di pihak C kepada
individu A sebagai ganti pembayaran utang pihak B kepada A. 5

2
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 244
3
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009,
h.153
4
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm. 448
5
https://www.ocbcnisp.com/id/article/2021/07/15/hiwalah-adalah Diakses pada tanggal 23 Mei 2022 pukul
11:36
II. DASAR HUKUM HIWALAH
a. Al-Quran
Landasan syariah atas hiwalah dapat dijumpai dalam al-Qur’an, Hadis dan
Ijmak. Landasan syariah hiwalah dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2]: 282,
yaitu :
ٰٓ
َ ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا اِذَا تَدَايَ ْنت ُ ْم ِبدَي ٍْن ا ِٰلى اَ َج ٍل ُّم‬
‫س ًّمى فَا ْكتُب ُْو ُۗهُ َو ْليَ ْكتُبْ بَّ ْينَكُ ْم كَات ٌِۢب ِب ْال َع ْد ِل‬

Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak


secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.”5(Q.S.
Al-Baqarah [2]: 282).
Surat Al-Baqarah ayat 282 diatas menerangkan bahwa dalam utang-piutang
atau transaksi yang tidak kontan hendaklah dituliskan sehingga ketika ada
perselisihan dapat dibuktikan. Dalam kegiatan ini pula diwajibkan untuk ada
dua orang saksi yang adil dan tidak merugikan pihak manapun, saksi ini adalah
orang yang menyaksikan proses utang-piutang secara langsung dari awal.
Dalam prinsip muamalah pun menganjurkan agar saling percaya dan menjaga
kepercayaan semua pihak. Untuk menghilangkan keraguan maka hendaklah
diadakan perjanjian secara tertulis atau jaminan. 6
b. Hadis
Landasan syariah atas hiwalah dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda :

‫لي َْتب‬
َ َْ ‫يف‬ َ َْ ُ ‫غن ََِيظُ َْلمفَإ َ َِذاأ‬
َ ََِ ‫تب َِعأَََ ُحد ُ ْكم َعلَىَم ٍل‬ ْ ُ‫ََ ْمط‬
ِ َ‫الل‬

Artinya : “Menunda pembayaran bagi orang mampu adalah suatu kezaliman.


Dan jika salah seorang dari kamu diikutkan (dihiwalahkan) kepada orang yang
mampu/kaya, terimalah hiwalah itu.7
Pada hadits tersebut, rasulullah memberitahukan kepada orang ayng
mengutangkan, jika orang yang berutang menghawalahkan kepada orang yang
kaya atau mampu, hendaklah ia menerima hawalah tersebut dan hendaklah ia

6
Musadad Ahmad. 2019. Konsep Hutang-Piutang Dalam Al Quran. Jurnal Tafsir Al-Maraghi dan Tafsir Al-
Misbah. Vol. 2, No. 2, 2580-3565
7
Depag RI, Al-qur‟an dan Terjemahnya, Juz 2, Bandung: CV Penerbit Jumanatul Ali-art, 2005, h.50
menagih pada orang yang dihawalahkan (muhal ‘alaih). Dengan demikian,
haknya dapat terpenuhi.
Sebagian ulama berpendapat bahwa perintah untuk menerima Hawalah dalam
hadits tersebut menunjukkan wajib. Oleh sebab itu, wajib bagi yang
mengutangkan (muhal) menerima hawalah. Adapun mayoritas ulam
berpendapat bahwa perintah itu menunjukkan Sunnah. Jadi, Sunnah hukumnya
menerima hawalah bagi muhal. 8
c. Ijma’
Disamping ayat dan hadis tersebut dasar hukum hiwalah adalah ijma. Semua
ulama sepakat tentang dibolehkannya hiwalah dalam utang, bukan pada
barang. 9
Hal ini sejalan dengan kaidah dasar di bidang muamalah, bahwa semua bentuk
muamalah di perbolehkan kecuali ada dalil yang tegas melarangnya. Selain itu
ulama sepakat membolehkan hiwalah. Hiwalah dibolehkan pada utang yang
tidak berbentuk barang/benda karena hawalah adalah perpindahan utang. Oleh
sebab itu, harus pada uang atau kewajiban finansial. 10

Ibnul Qoyyim telah menyetujui bahwa hiwalah sesuai dengan qiyas, karena ia
masuk dalam jenis pemenuhan kewajiban, bukan jual beli utang. Sehingga dasar
hukum Hiwalah dari berbagi mazhab ataupun ulama itu hukumnya boleh.11

III. Rukun Hiwalah


Menurut madzhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan yang melakukan
hiwalah) dari muhil (pihak pertama) dan qabul (pernyataan menerima hiwalah) dari
muhal (pihak kedua) kepada muhal „alaih (pihak ketiga).
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, rukun hiwalah ada 6 yaitu :
1. Muhil (orang yang berutang kepada pihak yang haknya dipindahkan),
2. Muhal (orang yang menerima pemindahan hak, pemberi pinjaman, yaitu
pemilik piutang yang wajib dibayar oleh pihak yang memindahkan utang),12

8
Nuril Mafthukan. 2015. “Makalah Fiqih Muamalah Hiwalah” (Kudus: STAIN Ekonomi Syariah)
9
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm. 449
10
M. Syafi’i Antonio, Bank Syari‟ah, Jakarta: Sema insani, 2001, h. 126-127
11
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2012), h. 127
12
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i 2, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jakarta: Almahira,
2010, h. 150-151
3. Muhal „alaih (penerima akad pemindahan utang),
4. Piutang milik muhāl yang wajib dilunasi oleh muhīl (objek hukum akad
pemindahan utang),
5. Piutang milik muhil yang wajib dilunasi oleh muhal alaih, dan
6. Shighat (ijab dan qabul).13
Menurut madzhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan yang melakukan
hiwalah) dari muhil (pihak pertama) dan qabul (pernyataan menerima hiwalah) dari
muhal (pihak kedua) kepada muhal „alaih (pihak ketiga).
Menurut
madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, rukun hiwalah ada 6 yaitu :
1. Muhil (orang yang berutang kepada pihak yang haknya dipindahkan),
2. Muhal (orang yang menerima pemindahan hak, pemberi pinjaman, yaitu
pemilik piutang yang wajib dibayar oleh pihak yang memindahkan utang),
3. Muhal „alaih (penerima akad pemindahan utang),
4. Piutang milik muhāl yang wajib dilunasi oleh muhīl (objek hukum akad
pemindahan utang),
5. Piutang milik muhil yang wajib dilunasi oleh muhal „alaih, dan
6. Shighat (ijab dan qabul).14

IV. Syarat Hiwalah


Wahbah Az-Zuhaili menyatakan bahwa syarat hiwalah menurut madzab
Hanafiyyah adalah sebagai berikut :
a) Syarat-syarat Shighah
Akad al-hiwala h terbentuk dengan terpenuhinya ijab dan qabul atau sesuatu
yang semakna dengan ijab qabul, seperti dengan pembubuhan tanda tangan
diatas nota al- hiwalah, dengan tulisan dan isyarat. Ijab adalah pihak al- muhil
berkata ,”aku alihkan kamu kepada si Fulan.” Qabul adalah seperti pihak al-
muhal berkata,: saya terima atau saya setuju.” Ijab dan qabul diisyaratkan harus
dilakukan di majlis dan akad yang ada disyaratkan harus final, sehingga
didalamnya tidak berlaku khiyar majlis ataupun khiyar syarat.15

13
Mugni Sulaeman, http: //hiwalah20baca/makalah-hiwalah.html, diakses 10 mei 2022 pukul 16.11
14
Ahmad Idris dalam,Fiqh al Syafi’iyah,Karya Indah, Jakarta, 1986. Hal. 57-58
15
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i 2, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jakarta: Almahira,
2010, h. 150-151
b) Syarat-syarat Muhil
Ada dua syarat yang diperlukan untuk muhil, yaitu sebagai berikut:
1. Muhil harus memiliki kecakapan untuk melakukan akad, yaitu ia harus baliq
dan berakal. Dengan demikian, hiwalah yang dilakukan oleh orang gila dan
anak yang dibawah umur hukummnya tidak sah
2. Persetujuan muhil. Dengan demikian, apabila ia dipaksa untuk melakukan
hiwalah maka hiwalah tidak sah. Hal tersebut dikarenakan hiwalah adalah
pembebasan yang didalamnnya terkandung kepemilikan sehingga apabila
dilakukan karena adanya paksaan maka akad akan fasid. Syarat ini
disepakati oleh Malikiyah, Syafi’ia , dan Hanabilah 16
c) Syarat-Syarat Muhal
Ada 3 syarat yang berkaitan dengan muhal, yaitu sebagai berikut:
1. Muhal harus memiliki kecakapan untuk melakukan akad yaitu: berakal dan
baliq. Hanya baliq menurut hanafiyah bukan syarat in’iqad melainkan syarat
nafadz
2. Persetujuan. Apabila muhal tidak menyetujui pemindahan utang tersebut
maka hiwalah hukumnya tidak sah
3. Pernyataan qabul dari muhal harus diucapkan di dalam majelis akad
hiwalah. Syarat ini menurut Abu Hanifah dan Muhammad, merupakan
syarat in’iqad, sedangkan menurut Abu Yusuf syarat ini merupakan syarat
nafadz. 17
d) Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak ketiga (al-muhal ‘alaih)
1. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana
pihak pertama dan kedua.
2. Adanya pernyataan persetujuan dari pihak ketiga (al-muhal ‘alaih). Hal ini
diharuskan karena tindakan khiwalah merupakan tindakan hukum yang
melahirkan pemindahan kewajiban kepada pihak ketuga (al-muhal ‘alaih)
untuk membayar utang kepada pihak kedua (al-muhal), sedangkan
kewajiban membayar utang baru dapat dibebankan kepadanya, apabila ia

16
Wahbah Zuhaili, op.cit, Juz 5, hlm. 164-165
17
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm. 451
sendiri yang berutang kepada pihak kedua. Atas dasar itu, kewajiban itu
hanya dapat dibebankan kepadanya, jika ia menyetujui akad khiwalah.
3. Imam Abu Hanifah menambahkan syarat bahwa qabul atau pernyataan
menerima akad harus dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga didalam
suatu majelis akad18
e) Syarat-syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (al-muhal bih)
1. Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang
yang telah pasti.
2. Pembayaran utang itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika
terjadi perbedaan waktu jatuh tempo pembayaran di antara kedua utang itu,
maka khiwalah tidak sah.
3. Utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga
kepada pihak kedua mestilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika antara
kedua utang itu terdapat perbedaan jumlah, misalnya utang dalam bentuk
uang, atau perbedaan kualitas misalnya utang dalam bentuk barang, maka
khiwalah itu tidak sah. 19
f) Malikiyah menetapkan tiga syarat untuk muhal bih
1. Utang menjadi objek hiwalah adalah utang yang sudah mantap
2. Utang yang menjadi objek hiwalah (yang dipindahkan) harus sama dengan
utang yang ada pada muhal alaih, baik sifatnya maupun ukurannya;
3. Kedua utang tersebut atau salah satunya bukan makanan yang berasal dari
pesanan (salam) 20
V. Jenis-Jenis Hiwalah
1. Hawalah Muthlaqoh
Hawalah muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang mengalihkan kewajiban
bayar hutangnya kepada pihak ketiga tanpa didasari adanya hutang pihak ketiga
dengan orang yang memberi hutang.
2. Hawalah Haq
Hawalah Haq' adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang
yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang

18
http://mindafantastic.blogspot.co.id/2011/09/fiqh-muamalah-hawalah-pemindahan-utang.html di unduh pada
tanggal 18 Mei 2022 pada pukul 09:45
19
Muhammad syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, jakarta, GEMA INSANI, 2001, hlm 126-
127
20
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm. 452
bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya
kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak
berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang.21

Madzhab Hanafi membagi hiwalah dalam beberapa bagian. Ditinjau dari segi
objek akad, maka hiwalah dapat dibagi dua yaitu:
1. Apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut utang, maka
pemindahan itu disebut hiwalah al- haqq ( pemindahan hak).
2. Sedangkan jika yang dipindahkan itu berkewajiban untuk membayar utang,
maka pemindahan itu disebut hiwalah ad-dain (pemindahan utang).22

Jenis hiwalah berdasarkan pemindahannya, yaitu;

1. Hiwalah Dayn (pemindahan hutang). Hiwalah Dayn adalah pemindahan


hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Pada
hakikatnya hiwalah dayn sama pengertiannya dengan hiwalah yang telah
diterangkan di depan.
2. Hiwalah Haqq (pemindahan hak). Hiawalah haqq adalah pemindahan
pihutang dari satu pihutang kepada pihutang yang lain dalam bentuk uang
bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai muhil
adalah pemohon hutang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang
yang lain, sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti. 23

Sedangkan jenis hiwalah berdasarkan rukun, yaitu;

1. Hiwalah Muqayyadah. Hiwalah muqayyadah adalah hiwalah yang terjadi


dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada muhal
‘alaih, dengan mengaitkannya pada hutang muhal ’alaih padanya, dalam
rukun hiwalah terdapat muhal bih 2 (hutang muhal ‘alaih kepada muhil).
2. Hiwalah Muthlaqah. Hiwalah muthlaqah adalah hiwalah dimana orang yang
berhutang, memindahkan hutangnya kepada muhal ‘alaih, tanpa

21
https://kamus.tokopedia.com/h/hawalah/ diakses pada tanggal 18 mei 2022 pukul 10:10
22
http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/6573/3/BAB%20II.pdf. Diakese pada tanggal 26 Juni 2022 Pukul
11.35
23
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara,2004).
mengaitkannya pada hutang muhal ‘alaih padanya, karena memang hutang
muhal ‘alaih tidak pernah ada padanya. 24

VI. Beberapa Hukum (Ketentuan ) Tentang Hiwalah


Apabila akad hiwalah telah dilaksanakan maka timbullah akibat-akibat hukum
sebagai berikut25
1. Pembebasan muhil. Apabila ijab qabul hiwalah telah sempurna, menurut
jumhur ulama, muhil telah bebas dari hutang. Akan tetapi, menurut imam Hasan
Bakri, muhil belum bebas dari hutang kecuali apabila ad-dain
membebaskannya. Menurut Zufar dari Hanafiah, hiwalah tidak mengakibatkan
kebebasan muhil. Ia tetap memiliki tanggungan utang setelah terjadinya akad
hiwalah, sebagaimana sebelumnya. Hukummnya di-qiyas-kan kepada kafalah,
karena pada dasarnya akadnya hanya akad kepercayaan. Pendapat ini tentu saja
tidak tepat karena seperti telah dikemukakan pada awal pembahasan ini bahwa
hiwalah berbeda dengan kafalah. Kafalah hanya mengumpulkan tanggungan,
sedangkan hiwalah memindahkan tanggungan dari muhil kepada muhal
alaihih. 26
2. Tetapnya kekuasaan penuntun bagi muhal atas muhal alaih terhadap utang yang
ada di dalam tanggungannya. Dengan demikian, pengalihan bukan hanya utang,
melainkan utang dan penuntunnya sekaligus
3. Tetapnya hak mulazamah bagi muhal alaih atas muhil yang saling terikat.27

24
Idris Ahmad, Fiqih al-Syafi’iyah, (Jakarta: Karya Indah, 1986).
25
Wahbah Zulaihi, op.cit., juz 5, hlm. 173
26
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm. 452-453
27
Nasrun Haroen, "Fiqh Muamallah", (Jakarta: Gaya Media Pratama,2007), h.227
VII. Berakhirnya Akad Hiwalah
1. Akad hiwalah telah fasakh. Apabila akad hiwalah telah fasakh(batal), maka hak
muhal untuk menuntut utang kembali kepada muhil. Pengertian fasakh dalam
istilah fuqaha adalah berhentinya akad sebelum tercapai28
2. Akad hiwalah akan berakhir ketika terjadi pembatalan, dan muhal memiliki hak
untuk melakukan penagihan kembali kepada muhil. Menurut Hanafiyah, ketika
muhal’alaih mengalami kebangkrutan, maka akad dinyatakan berakhir dan hak
penagihan beralih kepada muhil. Menurut Hanabalah, Syafiiyah dan Malikiyah,
ketika akad hiwalah telah dilakukan secara sempurna, hak penagihan dan beban
hutang tidak bisa dialihkan kembali kepada muhil. 29
3. Penyerahan harta oleh muhal alaih kepada muhal. Hal ini cukup jelas karena
tujuan hiwalah, yaitu diterimanya harta yang sudah tercapai.
4. Meninggalnya muhal dan muhal alaih mewarisi hara hiwalah
5. Muhal mengibahkan harta kepada muhal alaih dan ia menerimanya
6. Muhal menyedekahkan harta kepada muhal alaih dan ia menerima sedekah
tersebut
7. Muhal membebaskan muhal alaih.30
Itulah beberapa uraian tentang hiwalah yang meliputi pengertian dan dasar
hukumnya, rukun dan syaratnya, ketentuan atau akibat hukumnya dan
berkahirnya atau berhentinya akad hiwalah.

B. WADI’AH
I. PENGERTIAN WADI’AH
Kata Wadhi’ah berasal dari wada asy syai-a yaitu meninggalkan sesuatu. Sesuatu
yang ditinggalkan seseorang pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah, karena
dia meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga. Secara harfiah, Al-
wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain,
baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja
si penitip menghendakinya. 31

28
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm. 453
29
Nurul Huda, Mohammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam, (Jakarta :Kencana,2010), edisi 1, cet. ke-1, h.
106.
30
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm. 454
31
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah. (Bogor: Ghaliah Indonesia, 2011), h.238
al-wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak kepihak yang
lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja si penitip menghendakinya.32

Wadiah adalah suatu akad antara dua pihak dimana pihak pertama menyerahkan
tugas dan wewenang untuk menjaga barang yang dimilikinya kepada pihak lain
tanpa imbalan.33

Dapat kita simpulakan bahwa wadiah adalah akad antara pemilik barang
(mudi’) dengan penerima titipan (wadi’) untuk menjaga harta/modal (ida’) dari
kerusakan atau kerugian dan untuk keamanan harta yang bersifat tanpa imbalan
atau hanya titipan semata.

Contoh wadiah, nasabah menitipkan barangnya kepada Bank Syariah. Pada saat
awal transaksi akad sudah disepakati adanya sewa penyimpanan atau jasa
penjagaan atau pemeliaraan dari barang titipan tersebut, sehingga pihak Bank
Syariah boleh mengenakan biaya kepada nasabah. 34

II. DASAR HUKUM WADI’AH


a. Al-Qur’an

‫ َواْليَتَّ ِقاهللَ َربَّه‬,ُ‫ليَُ إِدا ِلذياْؤتُ َِ َمه ٰأ َمنَتَه‬


َ َْ ‫ًضاف‬
َ َ ‫ض ْك‬
‫مب َْع‬ َ ‫فَا َِْنأ َ َِ َم‬
ُ ُ ‫هب َْع‬

Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang


dipercaya itu menunaikan amanatnya dan hendaknya ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya. (QS. Al-Baqarah (2): 283).35

Amanah adalah kepercayaan dari yang memberi terhadap yang diberi atau
dititipi, bahwa sesuatu yang diberikan atau dititipkan kepadanya itu akan
terpelihara sebagaimana mestinya, dan pada saat yang menyerahkan
memintanya kembali maka ia akan menerimanya utuh sebagaimana
adanya tanpa keberatan dari yang dititipi. Yang menerima pun

32
Hulwati, Ekonomi Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2006) h. 106
33
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm. 457
34
https://www.kompasiana.com/amp/ahmadkholis/5fd701e7d541df21d8651b82/penerapan-akad-wadiah-pada-
muamalah. Diakses pada 26 Juni 2022 Pukul 11.32
35
Hendi Suhandi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.180
menerimanya atas dasar kepercayaan dari pemberi, bahwa apa yang
diterimanya, diterima sebagaimana adanya, dan kelak si pemberi/penitip
tidak“akan meminta melebihi apa yang diberikan atau disepakati kedua
pihak. Karena itu lanjutan ayat itu mengingatkan agar, dan hendaklah ia,
yakni yang menerima dan memberi, bertakwa kepada Allah Tuhan
Pemelihara.36

b. Hadis
Hadist riwayat Abu Dawud dan Al Tirmidzi

ََ ََ ََ َََ ‫ وال َت َن من خانك‬،‫أ َ َِد ا َل َْمانة ِإ َل م ِن ائتمنك‬

“Tunaikanlah amanat itu kepada orang yang memberi amanat kepadamu


dan jangnlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu” 37

c. Ijma
Di samping al quran dan sunnah, umat islam dari dahulu sampai sekarang
telah biasa melakukan penitipan barang kepada orang lain, tanpa adanya
pengingkaran dari umat muslim yang lainnya. Hal tersebut menunjukkan
bahwa umat Islam sepakat dibolehkannya akad wadi'ah ini. 38

Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan ijma (konsensus)
terhadap legitimasi wadi‟ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini
jelas terlihat, seperti dikutip oleh Dr. Az- Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islami
wa Adillatuhu dari kitab al- Mughni wa Syarh Kabir li Ibni Qudhamah dan
al-Mabsuth li Imam Sarakhsy. Dalam kitab itu dijelaskan bahwa, pada
dasarnya penerima simpanan adalah yad al-amanah (tangan amanah),
artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang
terjadi pada aset titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau
kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan (karena
faktor-faktor di luar batas kemampuan). Hal ini telah dikemukakan
Rasulullah Saw dalam suatu hadist,

36
M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishbah Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Quran ( Malang; Lentera Hati,
2001), hlm. 633
37
Syeh Taqiyudin Abu Bakar Bin Muhammad Al Husaini, Kifayatul Ahyar, Surabaya: Darul Iimi, Juz 2, t,th. h.
10
38
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm. 459
“Jaminan pertanggung jawaban tidak diminta dari pemimpin yang tidak
menyalahgunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap
titipan tersebut”
Akan tetapi, dalam aktivitas perekonomian modern, si penerima simpanan
tidak mungkin akan meng-idle-kan aset tersebut, tetapi mempergunakanya
dalam aktivitas perekonomian tertentu. Karenanya, ia harus meminta izin
dari si pemberi titipan untuk kemudian mempergunakan hartanya tersebut
dengan catatan ia menjamin akan mengembalikan aset tersebut secara utuh.
Dengan demikian, ia bukan lagi yad al-amanah, tetapi yad adh- dhamanah
(tangan penanggung yang bertanggung jawab atas segala
kehilangan/kerusakan yang terjadi pada barang tersebut 39

III. RUKUN WADI’AH


Menurut Hanafiah, rukun wadi’ah hanya satu, yaitu ijab dan qabul. Sedangkan
menurut jumhur ulama, rukun wadi’ah itu ada empat:40
1. Barang yang dititipkan (wadiah)
2. Orang yang menitipkan (mudi’ atau muwaddi’)
3. Orang yang menerima titipan (muda’ atau mustawda’)
4. Ijab qabul (sighat)41

Rukun wadiah berdasarkan mahzab yang dianutnya, dapat dibedakan menjadi


dua yaitu:

1. Menurut Imam Abu Hanafi, rukun wadiah hanya ijab dan qabul.
2. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun wadiah ada tiga, yaitu :
a. Wadiah
Wadiah adalah barang yang dititipkan, adapun syaratnya adalah:
1. Barang yang dititipkan harus dihormati (muhtaramah) dalam
pandangan syariat.

39
Antonio, Bank Bank Syariah dari Teori ke Praktik, h. 85-87
40
Ahmad Hasan Ridwan, Bmt & Bank Islam Instrumen Lembaga Keuangan Syariah, Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2004 h. 14
41
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm. 459
2. Barang titipan harus jelas dan bisa dipegang atau dikuasai. Jadi,
barang yang dititipkan dapat diketahui identitasnya dan dapat
dikuasai untuk dipelihara.
b. Sighat.
Sighat adalah akad, adapun syaratnya adalah lafadz dari kedua belah
pihak dan tidak ada penolakannya dari pihak lainnya. Dan lafadz
tersebut harus dikatakan di depan kedua belah pihak yang berakad
(Mudi’ dan wadii’) .
c. Orang yang berakad
Orang yang berakad ada dua pihak yaitu Orang yang menitipkan
(Mudi’) dan Orang yang dititipkan (Wadii’). Adapun syarat dari orang
yang berakad adalah :
1. Baligh
2. Berakal
3. Kemauan sendiri, tidak dipaksa.
Dalam mazhab Hanafi baligh dan telah berakal tidak dijadikan syarat
dari orang yang berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh walinya
boleh untuk melakukan akad wadiah ini.42

IV. SYARAT-SYARAT WADI’AH


Menurut ulama hanafiah rukun wadi’ah hanya ada satu yaitu adanya ijab qobul
(sighat), sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan hambali memiliki tambahan
syarat ialah barang tersebut harus memiliki nilai atau qimah sehingga dapat
dipandang sebagai maal.
Syarat-syarat Wadi’ah
1. Syarat yang terkait penitipan dan penerima titipan (aqidain) harus orang
yang termasuk ithlaq al-tasharruf (bebas melakukan transaksi). Maka
dianggap tidak sah akad wadi’ah apabila yang dilakukan oleh anak kecil,
orang tidak waras (gila), dan mahjur alaih bi safih (orang bodoh yang tidak
mengerti mata uang). Persyaratan tersebut diperjelas dengn penambahan
aqil baligh oleh jumhur ulama.

42
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah. 2011. Fikih Muamalah. Bogor : Ghalia
Indonesia
Berbeda dengan jumhur ulama, Imam Abu Hanifah boleh bagi anak yang
belum baligh melakukan akad wadi’ah, asalkan mendapatkan izin dari
orang tua atau walinya.
2. Syarat yang terkait dengan barang yang menjadi objek akad wadi’ah harus
muhtaramah, dianggap mulya oleh syara’. Meskipun barang tersebut tidak
memiliki nilai jual. Disamping itu barang yang dititipkan juga harus
diketahui indentitasnya dan bisa dikuasai untuk dipelihara. 43

 Syarat barang yang dititipkan


- Barang yang ditipkan harus berupa harta yang bisa disimpan
- memiliki nilai harga (Qimah)

 Syarat- Syarat Shighat


Ijab harus dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan baik dengan
tegas(sharih) ataupun sindiran (kinayah)

 Syarat orang yang menitipkan ( Al-Mudi')


- Berakal
- Baligh
- Cerdas.44

 Syarat orang yang dititipi ( Al-Muda'):


- Berakal, tidak sah wadi'ah dari seseorang yang gila dan anak yang masih
dibawah umur.
-Baligh, syarat ini dikemukakan oleh jumhur ulama. Akan tetapi, hanafiah
tidak menjadikan baligh sebagai syarat untuk orang yang dititipi,
melainkan cukup ia sudah mumayyiz. 45
-Malikiyah mengharuskan bahwa orang yang dititipi harus bisa dipercaya
dan menjaga amanah dengan baik 46

43
https://cerdikedukasi.blogspot.com/2020/05/makalah-akad-wadiah-fiqh-muamalah.html?m=1. diakses pada
tanggal 19 mei 2022 jam 15:12
44
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm. 460-461
45
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat (Jakarta: AMZAH, 2010 ), him. 461
46
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta :PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2011, him. 456
V. JENIS – JENIS WADI’AH
Secara umum, wadiah terbagi menjadi dua jenis, yaitu: wadiah amanah
danwadiah dhamanah. 47
1. Wadiah Amanah
Wadiah amanah yaitu dimana pihak penyimpan tidak bertanggung jawab
terhadap kerusakan atau kehilangan barang yang disimpan, yang tidak
diakibatkan oleh perbuatan atau kelalaian penyimpan.
Pada konsep Wadiah Yad Amanah, pihak yang menerima tidak boleh
menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tetapi
harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman.

Karakteristik Wadiah Yad Amanah adalah sebagai berikut:


 Barang yang dititipkan oleh nasabah tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak
penerima titipan. Penerima titipan dilarang untuk memanfaatkan barang
titipan.
 Penerima titipan berfungsi sebagai penerima amanah yang harus menjaga
dan memelihara barang titipan, sehingga perlu menyediakan tempat yang
aman dan petugas yang menjaganya.
 Penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya atas barang
yang dititipkan, hal ini karena penerima titipan perlu menyediakan tempat
untuk menyimpan dan membayar biaya gaji pegawai untuk menjaga barang
titipan, sehingga boleh meminta imbalan jasa.48

2. Wadi’ah al-dhamanah
Adapun jika wadi’ah al-dhamanah, akad ini memberikan kebebasan
kepada penerima titipan untuk memanfaatkan barang atau mengelola barang
titipan namun tetap dengan sepengetahuan dari pemilik barang tersebut.

47
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), him. 445
48
http://etheses.iainkediri.ac.id/2373/3/9312O3216%2Obab2.pdf. Diakses pada tanggal 18 mei 2022 pukul
17:55
Pada Wadi’ah al-dhamanah pihak yang menerima barang titipan
bertindak juga sebagai penjamin keamanan atas barang yang di amanahkan
dan tetap harus dikembalikan secara utuh apabila pemilik barang
menghendaki pengembalian. Dengan prinsip ini maka penerima barang
titipan diperbolehkan untuk mencampur barang penitip dengan barang
penitip yang lain dan kemudian digunakan untuk tujuan produktif. Wadi’ah
al-dhamanah ini biasanya digunakan dalam kegiatan penghimpunan dana di
bank-bank syariah karena nasabah menitipkan uangnya kepada bank syariah
yang kemudian uang tersebut dikelola untuk membantu pembiayaan-
pembiayaan lain yang berdasarkan prinsip syariah. Segala kerusakan
maupun kehilangan yang teijadi pada jenis wadi’ah al-dhamanah penerima
barang titipan wajib bertanggungjawab pada barang tersebut.49

VI. STATUS WADI’AH


Seperti halnya hukum dari menerima barang titipan, status wadi’ah itu
sendiri juga dapat berubah-ubah yakni status yang pada awalnya adalah wadi’ah
al-amanah menjadi wadi’ah al-dhamanah dikarenakan beberapa hal seperti :

1. Orang yang dititipi tidak menjaga barang titipan dengan baik.

Dalam hal ini dikarenakan pada saat akad wadi’ah terpenuhi oleh syarat dan
rukunnya maka penerima barang titipan terikat untuk menj aga barang yang
dititipkannya kepadanya. Dengan contoh, apabila ada orang yang mencuri barang
titipan (wadi’ah), padahal ia mampu untuk mencegahnya, tetapi diam saja maka
ia wajib menggganti barang yang hilang tersebut.

2. Orang yang dititipi tanpa udzur menitipkan barang titipan kepada orang lain yang
bukan keluarganya dan orang yang diduga kuat tidak mampu menjaga titipannya.

Dalam hal ini ia (wadi’) statusnya berubah menjadi dhamin atau penanggung
karena orang yang menitipkan setuju dan rela menitipkan barang kepadanya, tetapi
tidak dengan orang lain. Akan tetapi apabila hal tersebut dilakukan karena udzur
maka dalam hal ini wadi’ tidak wajib mengganti kerugian. 50

49
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam Jilid 5, (Depok : Gema Insani, 2011), hlm. 565
50
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat (Jakarta: AMZAH, 2010 ), him. 463
3. Orang yang dititipi menggunakan barang titipan.

Jika orang yang dititipi mengambil manfaat dari barang yang dititipkan
kepadanya misalnya kendaraan yang dititipkan tunggangi atau dipakai oleh wadi’
kemudian terjadi kerusakan maka ia wajib mengganti kerugian. Namun jika dia tidak
mengambil manfaat sama sekali dari benda yang dititipkan kepadanya maka jumhur
ulama’ Mahdzab Hanafi sepakat tidak wajib menjamin gantinya. Karena, benda yang
dititipkan kepadanya atas izin pemiliknya, sehingga titipan itu seperti ketika belum
dipakai.

Para ulama Mahdzab Syafi’I dan Hambali berpendapat bahwa, jka benda
yang dititipkan rusak setelah dia pakai, maka dia harus menggantinya walaupun
kerusakan itu disebabkan karena sebab lain. Karena adanya pelanggaran dari
penerima titipan yaitu penggunannya maka status wadi’ah hilang dan sifatnya
sebagai amanah menjadi batal. Sehingga kondisinya adalah seperti ia mengingkari
adanya titipan itu. Kemudian mengakuinya. Dengan demikian, tanggung
jawabnya untuk memberi ganti tidak hilang kecuali dengan mengembalikan
titipan itu kepada pemiliknya sebagaimana telah ditetapkan.

4. Barang titipan dibawa bepergian.

Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah apabila teijadi kerusakan atau hilangnya


barang titipan maka wadi’ berkewajiban untuk mengganti. Hal tersebut
dikarenakan tidak menutup kemungkinan bahwa saat peijalanan rawan teijadi
kehilangan barang, namun lain halnya dengan pendapat Abu Hanifah yang
membolehkan orang yang dititipi membawa barang titipan, apabila jalannya aman
dan tidak dilarang oleh pemilik barang.

5. Mengingkari wadi’ah.

Adapun yang dimaksud mengingkari wadi’ah yakni apabila orang yang


menitipkan meminta kembali barang yang dititipkannya, tetapi orang yang dititipi
mengingkarinya, atau ia menahan barang tersebut padahal ia mampu
menyerahkannya maka ia wajib mengganti kerugian. 51

51
http://etheses.iainkediri.ac,id/2373/3/9312O3216%2Obab2,pdf Diakses pada tanggal 19 Mei 2022 pukul
23:51
6. Jika Terjadi Perselisihan antara Kedua Belah Pihak

Jika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak yakni antara orang yang
dititipi barang dengan orang yang menitipkan barang tentang barang titipan
tersebut, dan yang dititipi mengingkari barang titipan tersebut maka pengakuan
yang dinyatakan sah yakni pengakuan dari pihak yang dititipi barang diminta
untuk bersumpah, kecuali apabila pihak yang menitipkan barang membawa alat
bukti perihal penitipan barang baik secara tetulis maupun lisan.

7. Pengingkaran tata cara pemeliharaan barang titipan

Penerima barang titipan harus mengganti rugi apabila barang titipan yang
diamanahkan kepadanya mengalami kerusakan atau bahkan hilang dikarenakan
ia melanggar kesepakatan tentang tata cara pemeliharaan barang tesebut.
Contohnya, ketika pemberi titipan meminta penerima titipan untuk meletakannya
di lemari, namun barang tersebut dipindahkan oleh penerima titipan tanpa
sepengetahuan pemberi titipan, maka segala resiko yang terjadi pada barang
tersebut menjadi tanggung jawab penerima titipan.

8. Meminjamkan barang titipan atau memperdagangkannya.

Jika barang titipan dijual, dierdagangkan atau hanya dipinjamkan oleh


penerima barang titipan tanpa sepengetahuan oleh pemberi titipan maka segala
konsekuensi yang tejadi pada barang tersebut sepenuhnya menjadi
tanggungjawab penerima titipan, karena dalam hal ini penerima titipan dianggap
tidak amanah terhadap barang titipan. Jika pemilik barang mensyaratkan kepada
orang yang menerima barang titipan untuk menjaga ditempat tertentu, maka
hendaknya orang yang menerima barang titipan harus melaksanakan hal
tersebut, dan jika memindahkan barang dan tidak sesuai dengan apa yang
disyaratkan oleh pemilik barang maka para Ulama berbeda pendapat mengenai
hal ini. Ulama Mahdzab Maliki, Syafi’i dan Hanafi berpendapat apabila orang
yang menerima barang titipan tersebut memindahkan barang di tempat yang
memiliki kualitas yang sama dengan yang disyaratkan pemilik barang, maka dia
tidak harus menggantinya. Sedangkan pada Mahdzab Hambali pihak penerima
barang tersebut harus menjamin gantinya meskipun dipindahkan ke tempat yang
lebih baik.52

VII. PERUBAHAN DARI AMANAH KEPADA TANGGUNGAN (DHAMAN)


Status titipan dapat berubah dari amanah kepada tanggungan (Dhaman)
karena beberapa hal berikut.53

• Penerima titipan mengabaikan pemeliharaan barang titipan

• Akad wadi'ah melazimkan pemeliharaan harta wadia'ah menurut semestinya.


Kalau pemeliharaan harta wadiah di abaikan hinga harta itu rusak,
penerimaan titipan (muwadi) menganti harta tersebut.begitu juga, barang
titipan di curi orang, sedangkan dia mampu untuk menghalang-halangi
pencurian tersebut, penerima titipan (muwadi) juga mengganti harta titipan.

• Penerima titipan (muwadi) menitipkan barang titipan ke orang lain dan orang
tersebut tidak memelihara barang titipan tersebut. 54

• Orang yang dititipi menggunakan barang titipan (wadi'ah). Misalnya


kendaraan yang dititipkan digunakan dan teijadi kerusakan, maka ia wajib
menggantinya.

• Mengingkari wadi'ah. Apabila orrang yang menitipkan barang meminta


brang titipan kepada orang yang menerima titipan, sedangkan orang yang
menerima titipan mengingkari atau menahan barang tersebut dan dia mampu
untuk menyerahkannya maka orang yg menerima menjamin atau
mengantinya .

• Bercampurnya wadi'ah dengan barang lainnya. Apabila orang yang dititipi


(wadi1) mencampur barang titipan dengan hartanya sendiri maka ada dua
kemungkinan. Kemungkinan pertama, apabila barang titipan bisa dipisahkan
daru hartanya maka hal itu tidak menjadi masalah. Kemungkinan yang
kedua, apabila barang titipan tidak dapat dipisahkan dari harta yang

52
Fithriana Syarqawie, Fikih Muamalah, (Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2015), hlm. 124
53
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat (Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm. 463
54
https://www, kompasiana.com/tommmmi/5aff7c4916835f233bl63442/mengenal-sebab-sebab-
perubahan-wadiah-dari-amanah-menjadi-dhama-nah?page=all#sectionl. Diakses pada
tanggal 20 Mei 2022 pukul 00:15
tercampur maka menurut jumhur ulama, ia wajib mengganti dengan barang
yang sepadan (mitsli).

Penyimpangan terhadap syarat-syarat yang ditetapkan oleh orang yang


menitipkan (mudi1) dalam menjaga wadi'ah.55

55
Ahmad Ward i Muslich, Fiqih Muamalat (Jakarta: AMZAH, 2010 ), him. 464-465
BAB III

PENUTUP

I. KESIMPULAN

Hiwalah adalah pemindahan hak menuntut atau tanggung jawab utang seseorang
untuk menuntut dari pihak pertama kepada pihak lain yang dibebani tanggungan
pembayaran utang tersebut.

Kata Wadhi’ah berasal dari wada asy syai-a yaitu meninggalkan sesuatu.
Sesuatu yang ditinggalkan seseorang pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah,
karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga.

Secara harfiah wadiah adalah akad antara pemilik barang (mudi’) dengan
penerima titipan (wadi’) untuk menjaga harta/modal (ida’) dari kerusakan atau
kerugian dan untuk keamanan harta yang bersifat tanpa imbalan atau hanya titipan
semata.

Dua hal di atas merupakan salah satu pokok pembahasan Fiqih muamalah, karena
Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah
dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga
mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti membutuhkan
berinterakasi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong
menolong di antara mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press, 2009.

Ahmad War di Muslich, Fiqih Muamalat ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), Depag RI, Alqur"an dan
Teijemahnya, Juz 2, Bandung: CV Penerbit Jumanatul Ali- art,

2005.

Fithriana Syarqawie, Fikih Muamalah, (Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2015). Hendi
Suhandi, FiqhMuamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013).

Hulwati, Ekonomi Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2006).

Mugni Sulaeman, http: //hiwalah20baca/makalah-hiwalah.html,

Muhammad Syafii Antonio, Bank syariah dari teori ke praktek, jakarta, GEMA INSANI,
2001.

Nasrun Haroen, "Fiqh Muamallah", (Jakarta: Gaya Media Pratama,2007)

Nurul Huda, Mohammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam, (Jakarta :Kencana,2010), edisi
1, cet. ke-1.

Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, FikihMuamalah. (Bogor: Ghaliah Indonesia, 2011).

Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta :PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2013

Syeh Taqiyudin Abu Bakar Bin Muhammad Al Husaini, Kifayatul Ahyar, Surabaya: Darul
Iimi, Juz 2, t,th.

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Imam Syafi"i 2, Peneijemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
Jakarta: Almahira, 2010.
http://etheses.iainkediri.ac.id/2373/3/931203216%20bab2.pdf
MAKALAH
AL-ARIYAH (PINJAMAN) DAN ASH-SHULH (PERDAMAIAN)

Dosen Pengampu: Dr. Azman, M.Ag.

DISUSUN OLEH:
MUHAMMAD ALMAHDI RIDWAN (90400121057)
KARMILA (90400121058)

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021/2022

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan kita rahmat, hidayah,
dan kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini sesuai dengan ketentuan. Makalah
dengan judul “Al-Ariyah (Pinjaman) dan Ash-Shulh (Perdamaian)”, sebagaimana makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah fikih muamalah. Mungkin dalam makalah
ini masih banyak kesalahan, maka dengan adanya kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sehingga dapat membuat makalah ini lebih berkembang lagi kedepannya.

Samata, 25 Mei 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI
Sampul ....................................................................................................................... 1
Kata Pengantar ............................................................................................................ 2
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang .......................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 4
C. Tujuan ....................................................................................................... 5
BAB II Pembahasan
A. Definisi al-‘ariyah dan Dasar Hukumnya ................................................... 6
B. Rukun dan Syarat al-‘ariyah...................................................................... 8
C. Status al-‘ariyah....................................................................................... 11
D. Definisi as-shulh dan Dasar Hukumnya ................................................... 12
E. Macam-Macam Perdamaian .................................................................... 15
F. Rukun dan Syarat-Syarat Perdamaian ...................................................... 16
G. Berakhirnya Akad Shulh .......................................................................... 21

BAB III Penutup

A. Kesimpulan ............................................................................................. 23

Daftar Pustaka........................................................................................................... 24

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang kompeks. Tidak sebatas memuat hal-hal yang bersifat
transenden (hablum minallah). Islam juga memuat tentang tata perilaku dengan
sesama manusia (hablum minannas). Dalam interaksi antara sesama manusia
(bermu‟amalah) diperlukan hukum untuk mengatur hubungan sesama manusia.
Dan di antara permasalahan yang paling banyak terjadi dalam bermu‟amalah adalah
permasalahan harta kekayaan (mu‟amalah maliyah). Harta di dalam Islam
merupakan amanah yang harus dipelihara yang padanya ada hak Allah. Maka
pengelolaannya haruslah disesuaikan dengan ketentuan pemberi amanah yaitu Allah
SWT.. Dalam permasalahan harta erat kaitannya dengan ketentuan akad atau jenis
perjanjian yang sering kita sebut dengan contract. Bentuk-bentuk akad ini akan
menentukan istimbath hukum yang akan dihasilkan. Hidup dimuka bumi ini, pasti
selalu melakukan yang namanya kegiatan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari
atau bertransaksi disana-sini untuk menjalankan kehidupan, maka dalam kegiatan
ekonomi sering kita temui bahkan tanpa disadari dalam kehidupan sehari-hari kita
sering melakukan ‘ariyah (pinjam-meminjam) dan shulh (perdamaian).

B. Rumusan Masalah
1. Definisi al-‘ariyah dan Dasar Hukumnya
2. Rukun dan Syarat al-‘ariyah\
3. Status al-‘ariyah
4. Definisi as-shulh dan Dasar Hukumnya
5. Macam-Macam Perdamaian
6. Rukun dan Syarat-Syarat Perdamaian
7. Berakhirnya Akad Shulh

4
C. Tujuan
1. Untuk Mendeskripsikan Definisi al-‘ariyah dan Dasar Hukumnya
2. Untuk Mendeskripsikan Rukun dan Syarat al-‘ariyah\
3. Untuk Mendeskripsikan Status al-‘ariyah
4. Untuk Mendeskripsikan Definisi as-shulh dan Dasar Hukumnya
5. Untuk Mendeskripsikan Macam-Macam Perdamaian
6. Untuk Mendeskripsikan Rukun dan Syarat-Syarat Perdamaian
7. Untuk Mendeskripsikan Berakhirnya Akad Shulh

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi al-‘ariyah dan Dasar Hukumnya

Al-‘ariyah secara etimologi (bahasa) ialah pinjaman sedangkan menurut istilah


dikalangan mazhab Hanafi adalah kepemilikan atas manfaat secara cuma-cuma
(tanpa diganti) sedangkan menurut kalangan mazhab Maliki ialah memiliki manfaat
dalam waktu tertentu tanpa imbalan, sementara menurut kalangan mazhab Syafi’i
adalah kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya apa
yang mungkin untuk dimanfaatkan serta tetap zat barangnya supaya dapat
dikembalikan kepada pemiliknya, dan terakhir menurut mazhab kalangan Hanbali
bahwa al-‘ariyah yaitu kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan
dari peminjam atau yang lainnya1.
‘Ariyah berasal dari kata i’arah yang berarti meminjamkan. Dalam istilah ilmu
fiqih, para ulama mendefinisikan ‘ariyah dengan dua definisi yang berbeda. Ulama
hanafiyyah2 dan malikiyyah3.

Sedangkan ulama Syafi’iyyah, Hanbilah dan Zahiriyyah4, mendefinisikan


‘ariyah sebagai berikut:
“Izin menggunakan barang yang halal dimanfaatkan, di mana barang tersebut
tetap dengan wujudnya tanpa disertai imbalan.”
Jadi kesimpulannya ‘ariyah adalah pinjaman yang diberikan kepada seseorang
dengan izin pemilik yang hanya kemanfaatan barangnya digunakan tanpa disertai
adanya suatu imbalan.

1
Alamsyah Johan. 2018. Urgensi Konsep Al-‘Ariyah, Al-Qardh, dan Al-Hibah di Indonesia. Jurnal Fiqh
Muamalah. Vol 4, No. 2.
2
As-sarakhsi, Al-Mabsuth, hal. 133/11, Ibnu al-Humam, Takmilah Syarh Fath al-Qadir, hal. 464/7.
3
Ibnu Juzai, Al-Qawanin al-Fiqhiyyah, hal. 320, Ad-Dardir, Asy-Syarh ash-Shaghir, hal. 570/3.
4
Asy-Sarbini, Mughni al-Muhtaj, hal. 263/2.

6
Dasar hukum ‘ariyah adalah sebagai berikut:
a) Al-Qur’an
Dasar hukum dibolehkan dan disunahkannya, ariyah adalah:

‫ ْون‬² ْ‫علْى ٱ وٱ ْلعْد‬ ْ‫و ْل ت‬ ‫ْق ْو‬ ‫ٱ ْل ْب‬ ‫… “ وتْ ْعا‬


ْ ‫ْعا ْونْو‬ ‫ى‬² ‫ْ ’ر‬ ‫ْونْو ˚ا‬
ْ‫ْْلث‬ ‫˚ا‬ ْْ‫وٱلت‬ ‫علْى‬
‫ْم‬

...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,


dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran... (QS. Al-
Ma’idah (5): 2)5
Kandungan ayat tersebut Ayat ini turun untuk menegaskan tidak
diperbolehkannya melakukan balas dendam belaka. Hendaknya, melakukan
tolong-menolong.

b) Hadist

‫هلالف س ا جخبس‬ ‫ذ ارال‬٠ ‫ش‬٠ ‫ اخز‬ٚ ‫ذ ادا ْئب ا ْد هلال ع‬٠ ‫ش‬٠ ‫ ¸ْاي ا بْس‬ٛ ‫اخز ا‬
‫ْفب ار‬

Siapa yang meminjam harta seseorang dengan kemauan membayarnya, maka


Allah akan membayarnya, dan barang siapa yang meminjam dengan kemauan
melenyapkannya maka Allah akan melenyapkan hartanya (HR. Bukhari)6

Dan juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫كان ا ْلع ْع ْون أْ ْخ ي‬


‫ْ ْه‬ ‫ ْولال ي ع ْون ا ْلع‬.
‫ْد ْ ف ي‬
‫ب‬ ‫ْ ْد ما‬
‫ب‬

“Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut mau menolong
saudaranya”7.

7
5
Indriyani Sitepu Novi. 2015. Al-Ariyah, Al-Qardh Dan Al-Hibah. Jurnal Fiqh Muamalah. Vol 2, No. 2.
6
Ibid, hlmn 130.
7
Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6577), (IV/38, no. 2074)], Ahmad (II/407), Sunan at-
Tirmidzi (V/28, no. 2646), Sunan Ibni Majah (I/82, no. 225).

8
c) Ijma’

Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah:

‫اباحة المنفعة بال عوض‬

Artinya: “pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti”8

Akad ini ini berbeda dengan hibah, karena ariyah dimaksudkan untuk
mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengambil zat benda
tersebut. Pengertian pertama memberikan makna kebolehan, sehingga peminjam
tidak boleh meminjamkan kembali barang pinjman tersebut kepada orang lain.
Adapun pengertin kedua memberikan makna kepemilikan, sehingga peminjam
dibolehkan untuk meminjamkan barang pinjaman tersebut kepada orang lain.

B. Rukun dan Syarat al-‘ariyah

1. Rukun ‘Ariyah

Menurut ulama hanafiah, rukun ‘ariyah hanya satu, yaitu ijab dari orang
yang meminjamkannya (al-mu’ir), sedangkan qabul dari orang yang meminjam
(al-musta’ir) menurut jumhur ulama Hanafiah yang menggunakan istihsan, bukan
merupakan rukun. Akan tetapi, Imam Zufar yang menggunakan qiyas
berpendapat bahwa qabul juga termasuk rukun ‘ariyah, seperti halnya dalam
hibah9.

Menurut ulama mazhab Syafi‟iyah, di dalam ‘ariyah mensyaratkan adanya


lafazh shighat akad, yakni ucapan serah terima atau sering disebut ijab kabul dari

8
Abd. Ar-Rahman al-Jaziri, kitab al-fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz III, hlm. 238
9
Alauddin Al-Kazani, ‘Badai Ash-Shanai fi Tartib Asy-Syarai’, Juz 6, Dar Al-Fikr, Beirut, cet. VI,
1996, hlm. 327

9
peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab
memanfaatkan milik barang tergantung pada adanya izin dari satu pihak10.

Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ‘ariyah ada
empat, yaitu :

a) Mu’ir (yang meminjamkan)

b) Musta’ir (peminjam)

c) Mu’ar (barang yang dipinjam)

d) Shighat (ungkapan ijab Kabul/serah-terima)11.

2. Syarat al-‘ariyah

a) Syarat yang berhubungan dengan mu’ir (yang meminjamkan) di antaranya


adalah sebagai berikut :
1) Berakal dan mumayyiz. Baligh tidak menjadi syarat sah. Oleh karena itu,
hukumnya sah anak kecil melaksanakan ‘ariyah asalkan ada izin dari orang
tuanya. Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafiyah. Sedangkan menurut
Mazhab Syafi‟i selain keduanya (berakal dan mumayyiz) juga ditambah
dengan baligh. Sehingga „ariyah tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila
atau anak kecil yang belum mumayyiz.
2) Orang tersebut tidak di-mahjur (di bawah perlindungan/pengawasan). Maka
tidak sah ‘ariyah yang dilaksanakan di bawah perlindungan, seperti
pemboros dan pailit.
3) Orang yang meminjamkan merupakan pemilik manfaat barang yang akan
dipinjamkan, maka sah meminjamkan barang sewaan dan barang wasiat
karena mereka memiliki hak atas kepemilikan manfaat barang tersebut12.

10
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlmn 94
11
Muhammad Nawawi Al-Jawi, Nihayatuz zain, (Surabaya: Al-Haramain Jaya, 2005), hlmn. 262.
12
Abdul Rahman Ghazaly., dkk, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2010), h. 250

10
b) Syarat yang berhubungan dengan Musta’ir (peminjam) diantaranya sebagai
berikut:

1) Orang yang meminjam harus jelas. maka tidak boleh apabila peminjam
tersebut samar-samar.
2) Peminjam harus orang yang mengerti dan cakap dalam mempergunakan
barang yang dipinjam. Maka tidak boleh meminjamkan barang seperti mobil
kepada anak kecil atau orang gila karena ketidak cakapan mereka dalam
mempergunakan barang tersebut 13.

c) Syarat yang berhubungan dengan mu’ar (barang yang dipinjam) diantaranya


sebagai berikut:
1) Dapat dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk fisiknya (zatnya). Oleh
karena itu meminjamkan makanan hukumnya tidak sah. Karena makanan
tidak bisa dimanfaatkan tanpa merusak zatnya. Pendapat ini dikemukakan
oleh Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah.
2) Mempunyai manfaat dan diperbolehkan oleh syara‟ untuk
memanfaatkannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Malikiyah dan
Syafi‟iyah. Malikiyah menambahkan sekalipun tidak diperbolehkan
memperjualbelikannya, seperti anjing untuk berburu dan kulit binatang
sembelihan.

d) Syarat yang berhubungan dengan Shighat (ungkapan ijab Kabul/serah-terima).


1) Setiap ungkapan yang menunjukan keridhaan pemilik dan kebolehan
memanfaatkan barang tanpa adanya pengganti, baik dengan ucapan,
perbuatan, isyarat, atau saling memberi. Pendapat ini dikemukakan oleh
Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Sedangkan menurut Syafi‟iyah harus

13
Abdurrohman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Mazahibi Al-Arba’ah, Juz 2,(Kairo: Dar Al-Hadis, 2004), h.
207

11
mutlak berbentuk ucapan, tidak boleh yang selainnya. Adapun tulisan yang
disertai niat dan isyaratnya orang yang tidak bisa berbicara hukumnya sah14.

C. Status Al-‘Ariyah

Status barang pinjaman memiliki perbedaan pendapat dikalangan ulama. Karena


ada yang mengatakan bahwa barang pinjaman tersebut merupakan tanggungan
(dhaman) atau hanya bersifat amanah bagi peminjam. Mazhab hanafiyah
berpendapat, pinjaman adalah amanah bagi peminjam, bukan tanggungan (dhaman),
sama halnya dengan wadi’ah, dan ijarah tidak dikenakan dhaman ganti rugi bagi
peminjam apabila barang pinjaman rusak tanpa sengaja. Pendapat ini didasarkan
pada hadis nabi Saw:

Artinya: Dari Anas ibn Sirin sesungguhnya Suraih berkata: “tidak ada kewajiban
ganti rugi bagi penerima titipan yang tidak sia-sia dan tidak ada kewajiban ganti
rugi bagi orang yang meminjam yang tidak melakukan sia-sia kewajiban ganti
rugi”. 15

Menurut Hanafiah, barang yang dipinjam merupakan Amanah di tangan orang


yang meminjam (musta’ir), baik Ketika digunakan maupun tidak digunakan.
Peminjam tidak dibebani ganti kerugian, kecuali apabila ia melampaui batas atau
teledor.16

Menurut Malikiyah, peminjaman dibebani ganti rugi di dalam barang-barang


yang mungkin dirahasiakan, seperti pakaian dan perhiasan, apabila saat hilang atau
rusak tidak ada saksi. Sedangkan untuk benda-benda yang tidak mungkin

14
Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syariah,..... h. 58-59
15
Abu Bakar Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, Juz 6, (Beirut: Darul Kitab Al-Ilmiah, 2003), h. 149
16
Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz 3, Dar Al-Fikr, Beirut, cet. III, h. 163

12
dirahasiakan, seperti binatang dan benda tetap, dan didalam barang-barang yang
pada saat hilang atau rusak ada saksi, peminjam tidak dibebani ganti rugi. 17

Kesimpulannya akad ‘ariyah dapat berubah dari amanah menjadi dhamanah


apabila:
a) Barang yang dipinjam ditelantarkan oleh peminjam. Artinya barang tersebut
diletakan di sebuah tempat yang dapat dengan mudahnya diambil oleh pencuri.
b) Barang pinjaman yang dalam waktu peminjaman/pemanfaatnya tidak
mendapatkan pemeliharaan/perawatan sehingga barang tersebut menjadi rusak
dan lapuk.
c) Peminjam menggunakan barang yang dipinjam tidak sesuai dengan perjanjian
yang telah disepakati atau tidak sesuai dengan adat kebiasaan.
d) Peminjam menyalahi cara pemeliharaan barang sehingga barang tersebut
menjadi mudah rusak karena salah dalam pemeliharaannya.

D. Definisi As-Shulh dan Dasar Hukumnya

Secara bahasa, kata al- shulhu ( ‫ ) الصل ح‬Berarti ‫ قطع الترا ع‬artinya:

Memutus pertengkaran atau perselisihan.Secara istilah(Syara’) ulama


mendefinisikan as-shulhu sebagai berikut:Menurut Taqiy al- Din Abu Bakar Ibnu
Muhammad al- Husaini

‫الع ْقدْ ى ْ ب ه خ ص ْو ْمةْص ْمی ن‬


‫ال ْمت ْخا‬ ‫الْْ ْذ ْنق ع‬
‫ط‬

Artinya: “Akad yang memutuskan perselisihan dua pihak yang bertengkar


(berselisih).”18

17
Wahbah Zuhaili, op.cit., Juz 5, h. 66
18
Imam Taqiyuddin Abu Bakar Kifayah al- Akhyar, (Bandung PT al- Marif, tt), hlm. 271
13
Menurut Sayyid Sabiq, As-Shulh adalah suatu bentuk akad untuk mengakhiri
perselisihan antara dua orang yang berlawanan. Akad tersebut diharapkan dapat
menyelesaikan pertikaian secara damai dan saling memaafkan.19

Menurut Hanabilah: Shulh (Perdamaian) adalah suatu perjjanjian yang


menyampaikan kepada perdamaian antara orang-orang yang berselisih.20

Dari definisi diatas yang dikemukakan oleh para ulama tersebut dapat disimpulkan
bahwa shulh atau perdamaian adalah suatu akad perjanjian antara dua orang atau
lebih yang tujuannya untuk menyelesaikan perselisihan diantara mereka.

Dasar hukum shulh adalah sebagai berikut:

a) Al-Qur’an

‫وال ص خ ْی ْر‬
ْ
‫ل‬
Artinya: “Perdamaian itu lebih baik “(Al- Nisa:128)21 ‫ح‬

Maksud dari ayat diatas adalah berdamai lebih baik daripada berpisah atau ddari
sikap nusyuz atau sikap tak acuh

b) Hadist
Disamping firman- firman Allah, Rasulullah SAW. Juga menganjurkan untuk
melaksanakan perdamaian dalam salah satu hadis yang di riwayatkan oleh Ibnu
Hibban dan Tirmizi dari Umar Bin Auf Al- Muzanni Rasulullah Saw. Bersabda:
ْ‫ْرا ْْ حال ل‬ ‫حا‬ ‫الص ْلح جا ئ‬
‫ْز ن ال ْل ن إل صل‬
‫ْما و ر م‬ ‫ْ أْ ح‬ ‫بی ْم ْمی‬
‫ح ح‬ ‫ل‬ ‫س‬

19
Sayyid Sabiq.Op cit. hal. 212
20
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, Juz 5. Dar Al-Fikr, Damaskus, cet. III, 1989, h. 293.
21
Hasyim Nawawi A. 2017. Implementasi Perdamaian (Ash-Shulhu) Melalui Perma Nomor 1
Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Agama Kediri Terhadap Perkara
Perceraian. Jurnal Diversi. Vol. 3, No. 2, Hlm. 177-200.

14
Artinya: Mendamaikan dua muslim (yang berselisih) itu hukumnya boleh
kecuali perdamaina yang mengarah kepada upaya mengharamkan yang halal
dan menghalalkan yang haram”. (HR. Ibnu Hibban dan Tirmudzi).22
c) Ijma’

Ijma’Ulama sebagai sumber Hukum Islam ketiga telah memperkuat tentang


adanya lembaga arbitrase Islam untuk mengantisipasi persengketaan para pihak
dalam berbagai aspek kehidupan. Ulama bersepakat dan menganjurkan amalan
Shulh dilaksanakan di dalam kasus dan permasalahan yang dibenarkan menurut
al-Quran dan al-Sunnah. Menurut Kitab al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu,
jumhur ulama berpendapat terdapat empat rukun Shulh yaitu dua orang yang
beraqad, sighah, perkara yangdipertikaikan dan ganti Shulh.23

Antara rukun-rukun Shulh yang disepakati oleh para ulama


seperti berikut:

1. Mhusalih yaitu dua belah pihak yang melakukan akad Shulh


untuk mengakhiri pertengkaran atau perselisihan.

2. Mushalih ‘anhu yaitu persoalan yang diperselisihkan.

3. Mushalih bih yaitu sesuatu yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap
lawannya untuk memutuskan perselisihan. Hal ini disebut dengan istilah
badal al-Shulh.
4. Shigat ijab kabul yang masing-masing dilakukan oleh dua pihak yang
berdamai. Seperti ucapan “aku bayar utangku kepadamu yang berjumlah

22
Muflikhudin Ahmad. 2020. Akad As-Sulhu Sebagai Induk Penyelesaian Sengketa Dalam Mu’amalah
Menurut Imam Jalaludin As-Suyuti. Vol XI, No. 1, Hlm. 107-122.
23
Sheikh Ghazali bin Haji Abdul Rahman, Sulh Dalam Perundangan Islam, Jurnal
Undang-undang IKIM, Vol. 4 No.2 (Julai-Disember 2000), h. 11-12.

15
lima puluh ribu dengan seratus ribu (ucapan pihak pertama)”. Kemudian,
pihak kedua menjawab “saya terima”.

Jadi kesimpulanya jika telah di ikrarkan maka konsekuensinya kedua belah


pihak harus melaksanakannya. Masing–masing pihak tidak dibenarkan untuk
mengundurkan diri dengan jalan memfasaknya kecuali di sepakati oleh kedua
belah pihak.24

E. Macam-Macam Perdamaian

Dijelaskan dalam buku Fiqh Syafi’iyah23 oleh Idris Ahmad bahwa al-shulhu
(perdamaian) di bagi menjadi 4 bagian berikut ini:

a) Perdamaian antara muslimin dengan kafir, yaitu membuat perjanjian untuk


meletakkan senjata dalam masa tertentu, secara bebas atau dengan jalan
mengganti kerugian yang di atur dalam undang–undang yang di sepakati dua
belah pihak.
b) Perdamaian antara kepala negara (Imam/Khalifah) dengan pemberontak, yakni
membuat perjanjian-perjanjian atau peraturan mengenai keamanan dalam
negara yang harus dia taati, lengkapnya dapat di lihat dalam pembahasan khusus
tentang bughah.
c) Perdamaian antara suami dan isteri yaitu membuat perjanjian dan aturan–aturan
pembagian nafkah, masalah durhaka (nusyuz), sertadalam masalah haknya
kepada suaminya manakala terjadi perselisihan.
d) Perdamaian dalam muamalat, yaitu membentuk perdamaian dalam masalah
yang ada kaitannya dalam perselisihan yang terjadi dalam masalah muamalat.25

24
Ghazaly Abdul Rahman, Ihsan Ghufron, Shidiq Sapiudin, Fiqih Muamalat, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup,2010) h. 197.
25
Bughah adalah sebuah pemberontakan melawan pemerintah atau Ulil Amri

16
Di jelaskan oleh Sayyid Sabiq bahwa al–shulhu (perdamaian) di bagi menjadi 3
macam yaitu:

a) Perdamaian tentang iqrar


b) Perdamaian tentang inkar.
c) Perdamaian tentang sukut26

Adapun dilihat dari keabsahannya dibagi menjadi dua:

a) Shulhu Ibra yaitu melepaskan sebagian dari apa yang menjadi haknya. Shulhu
ibra ini tidak terkait oleh syarat.
b) Shulhu Muawadah yaitu berpalingnya satu orang dari haknya kepada orang
lain. Hukum yang berlaku pada shulh ini adalah hukum jual beli.27
Jadi kesimpulan dari macam-macam perdamaian diatas adalah bahwasanya
perdamaian terdiri dari banyak hal seperti perdamaian antara muslim dengan kafir,
dengan kepala negara, antara suami isteri, perdamaian dalam muamalat sampai
dengan perdamaian tentang iqrar, inkar, dan sukut.

F. Rukun dan Syarat-Syarat Perdamaian


1. Rukun Perdamaian
Rukun perdamaian (shulh) menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul, yaitu
pernyataan tergugat (muddaa 'alaih), seperti "Saya tawarkan perdamaian
kepadamu dari A kepada B, atau dari tuntutanmu yang ini kepada yang itu” lalu
disambut oleh pihak lain dengan mengatakan, "Saya terima, atau Saya setuju."
Apabila ijab qabul telah terjadi maka akad perdamaian (shulh) telah sempurna.28

26
Sayyid Sabiq, Op. Cit.,h. 195-196
27
Said Agil Husin Al Munawar, Op. Cit. hlm. 48.
28
Alauddin Al-Kasani, Badai Ash-Shanai fi Tartib Asy-Syarai’, Juz 6, Dar Al—Fikr, Beirut, cet. I, 1996,
hlm. 61.

17
Menurut jumhur ulama, rukun perdamaian ada empat, yaitu
 aqidain, yaitu mushalihain, yakni dua orang yang melakukan perdamaian,
 mushalah anhu, yaitu hak yang disengketakan,
 mushalah alaih, yaitu benda yang menjadi pengganti shulh, dan
 shighat, yaitu ijab dan qabul.29

Rukun shulh itu ijab dan qabul dengan semua lafaz yang menunjukkan shulh.
Misalnya si terdakwa berkata, “Saya mengajakmu melakukan shulh (damai)
dengan memberikan kepadamu 100.000,- yang sebelumnya 50.000,-“, lalu yang
lain berkata: “Saya terima”. Jika shulh telah sempurna, maka:

 Ia menjadi ‘akad yang lazim (harus) berlaku antara kedua belah pihak
sehingga tidak sah membatalkan secara sepihak tanpa ada keridhaan dari
yang lain.
 Pendakwa memiliki hak menerima badal shulh dan si terdakwa tidak berhak
menarik lagi.
 Dakwaan pendakwa tidak didengar lagi setelahnya.30

2. Syarat-Syarat Perdamaian
Syarat-syarat perdamaian berkaitan dengan rukun, yaitu mushalih, mushalah
alaih, dan mushalah 'anhu.
a. Syarat-Syarat Mushalih
Syarat-syarat mushalih adalah sebagai berikut.
1) Mushalih harus berakal. Dengan demikian, shulh (perdamaian) yang
dilakukan oleh orang gila dan anak yang belum berakal, hukumnya tidak
sah, karena keduanya tidak memiliki ahliyatul ada (kecakapan untuk

29
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, Juz 5. Dark Al-Fikr, Damaskus, cet III, 1989, hlm.
299.
30
Bin Musa Marwan. 2013. Ensiklopedia Islam – Fikih Perdamaian (Shulh) – Bagian 1 (yufidia.com).
diakses pada tanggal 28 Mei 2022, pukul 14.00.

18
melakukan tasarruf). Menurut Hanafiah, baligh tidak menjadi syarat
perdamaian, melainkan cukup tamyiz. Dengan demikian, perdamaan anak
mumayyiz yang telah diberi izin, hukumnya dibolehkan apabila mantaatnya
jelas, atau tidak ada kerugian di dalamnya."
2) Mushalih dengan shulh-nya tidak menimbulkan kerugian yang jelas kepada
anak kecil yang ada di bawah perwaliannya. Apabila seseorang menuntut
utang kepada anak di bawah umur dan ia memiliki bukti, kemudian ayahnya
berdamai dengan memberikan harta yang sepadan dengan yang dituntut,
atau lebih sedikit yang tidak akan meruginerdamaian dengan model ini
hukumnya dibolehkan karena maka perdamaian semacam ini berarti
perdamaian dengan muawadhah (imbalan), dan dalam batas yang tidak
merugikan seorang ayah berhak memberikan imbalan dari harta anaknya
yang masih di bawah umur. Apabila bukti yang memperkuat tuntutannya
tidak ada, maka perdamaian dengan memberikan imbalan dari harta anak
tidak dibolehkan, kecuali imbalan tersebut diambil dari harta ayahnya.31
3) Mushalih yang mewakili anak di bawah umur harus orang yang memiliki
hak tasarruf dalam hartanya, seperti ayah, kakek dan pemegang wasiat
(washiy). Hal tersebut dikarenakan perdamaian (shulh) merupakan suatu
tindakan hukum (tasarruf) yang berkaitan dengan harta sehingga diperlukan
kewenangan untuk melakukannya.
4) Mushalih bukan orang yang murtad. Syarat ini dikemukakan oleh Imam Abu
Hanifah, berdasarkan kaidah bahwa tasarruf orang murtad hukumnya
mauquf (ditangguhkan). Akan tetapi, menurut Muhammad bin Hasan dan
Abu Yusuf, syarat ini tidak diperlukan karena menurut mereka tasarruf orang
murtad hukumnya nafidz (bisa dilangsungkan).32
b. Syarat-Syarat Mushalah Alaih
Mushalah alaih atau harta yang menjadi pengganti shulh harus memenuhi

31
Alauddin Al-Kasani, loc.cit, juz 6. Hlm. 62.
32
Wahbah Zuhaili, op.cit, jus 5, hlmm. 300.

19
syarat-syarat sebagai berikut.
1) Mushalah 'alaih harus berupa mâl (harta). Dengan demikian, tidak sah
perdamaian dengan imbalan khamar, bangkai, darah, dan benda lain yang
tidak bernilai mâl. Hal ini karena di dalam perdamaian (shulh) terkandung
makna muawadhah. Harta yang menjadi mushalah 'alaih ini bisa berupa
barang (ain), utang, atau manfaat.
2) Mushalah alaih harus berupa mål mutaqawwim, yakni harta yang bernilai
pada pandangan syara, seperti kerbau, sapi, dan sebagainya. Dengan
demikian, shulh tidak sah apabila imbalannya berupa khamar atau babi
yang diberikan oleh seorang muslim. Hal ini karena khamar dan babi
bukan mâl mutaqawwim bagi seorang muslim.
3) Harta yang menjadi pengganti shulh harus dimiliki oleh mushalih.
4) Harta yang menjadi pengganti shulh harus jelas (diketahui) tidak majhul.
Hal ini karena ketidakjjelasan barang pengganti dapat menimbulkan
perselisihan antara kedua pihak.33

c. Syarat-Syarat Mushalah Anhu


Mushalah anhu atau hak yang menjadi objek persengketaan harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut.
1) Mushalah anhu harus berupa hak manusia bukan hak Allah (hak
masyarakat), baik dalam bentuk benda (ain), utang maupun hak yang
bukan benda dan utang, seperti hukuman qishash dan ta'zir. Dengan
demikian apabila hak yang menjadi objek shulh adalah hak Allah
(masyarakat), seperti hukuman had zina, qadzaf, dan sirqah (pencurian
maka perdamaian hukumnya tidak sah. Sebagai contoh dapat di-
kemukakan seseorang menangkap seorang pezina atau pencuri atau
peminum khamar, dan ia bermaksud akan melaporkannya ke pihak yang

33
Alauddin Al-Kasanim op.cit, juz 6, hlm. 64-72.

20
berwenang, kemudian orang yang ditangkap tersebut mengajak dama
dengan imbalan sejumlah uang asal jangan dilaporkan, maka perdamaian
semacam ini hukumnya tidak sah. Hal ini dikarenakan hukuman had
merupakan hak Allah (masyarakat), sedangkan penggantian atas hak orang
lain tidak diperbolehkan. Apabila hal tersebut dilakukan maka perdamaian
tersebut berarti mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
Dalam hal ini Hanafiah dan Hanabilah tidak mensyaratkan mushalah 'anhu
harus jelas. Dengan demikian, menurut mereka, meskipun mushalah 'anhu
majhul (tidak jelas), asal mushalah 'alaih-nya jelas (ma'lum) maka
perdamaiannya hukumnya sah. Akan tetapl, menurut Malikiyah dan Syafi
iyah mushalah 'anhu harus jelas, tidak boleh majhul. Hal tersebut
dikarenakan shulh mengandung makna jual beli, dan jual beli atas yang
majhul hukumnya tidak sah.
2) Hal tersebut dikarenakan shulh mengandung makna jual beli, dan jual beli
atas yang majhul hukumnya tidak sah. Mushalah 'anhu adalah hak
mushalih. Apabila mushalah anhu bukan haknya (mushalih) maka
perdamaian hukumnya tidak sah.
3) Mushalah anhu harus merupakan hak yang tetap bagi mushalih yang
berkaitan dengan objek shulh. Apabila hak tersebut belum merupakan hak
yang tetap baginya maka perdamaian hukumnya tidak sah. Sebagai contoh
dapat dikemukakan, seorang perempuan yang ditalak oleh suaminya
mengaku mempunyai anak hasil hubungan dengan suaminya sebelum
ditalak, tetapi suaminya mengingkarinya. Lalu perempuan tersebut
mengajak damai dengan memberikan imbalan suatu barang, asal suaminya
mengakui nasab anaknya. Dalam hal ini perdamaian tersebut hukumnya
tidak sah karena nasab adalah hak anak, bukan hak istri, sehingga ia (istri)
tidak berhak memberikan imbalan untuk hak orang lain.34

34
Wahbah Zuhaili, op.cit. juz 5, hlm. 3019-312

21
Syarat Barang yang Dipakai Shulh (mushaalah bih/badal shulh)
 Harta tersebut bernilai, bisa diserahkan atau ada manfaatnya.
 Diketahui dengan pengetahuan yang meniadakan kemajhulan
(ketidakjelasan) yang besar sehingga menimbulkan pertengkaran,
jika butuh serah-terima.
Ulama madzhab Hanafi berkata, “Jika tidak butuh serah terima, maka tidak
disyaratkan harus diketahui, sebagaimana jika masing-masing dari dua
orang mendakwakan memiliki sesuatu pada yang lain, lalu keduanya
sama-sama melakukan shulh di mana keduanya menjadikan haknya
sebagai badal shulh namun tanpa diketahui oleh yang lain. Imam Syaukani
menguatkan bolehnya melakukan shulh dengan barang yang majhul. 35

G. Berakhirnya As-Shulh

Adapun berakhirnya shulh ini ada dengan dua cara yaitu:

 Ibra: membebaskan debitor dari sebagian kewajibannya.


 Mufadhah: penggantian dengan yang lain dengan cara menghibahkan (shulhu
hibah), menjual (shulhu bay), atau menyewakan (shulhu ijarah) sebagian barang
yang dituntut oleh penggugat.36

Akad shulh akan berakhir apabila:

1. Pencabutan perjanjian damai kecuali dalam persoalan qishas;

35
Bin Musa Marwan. 2013. Ensiklopedia Islam – Fikih Perdamaian (Shulh) – Bagian 1 (yufidia.com).
diakses pada tanggal 29 Mei 2022, pukul 15.00.
36
Yusuf Wakid. 2017. FIQH MUAMALAH 19 | SHULH (PERDAMAIAN) – 🇲🇨 ATTARBIYAH
(wordpress.com). diakses pada tanggal 29 Mei 2022, pukul 17.00.

22
2. Larinya orang murtad yang ikut sebagai pihak dalam perjanjian tersebut
ke negeri harb atau mati dalam pemberontakan. Hal ini merupakan
persyaratan menurut pendapat kelompok Abu Hanifah;
3. Didasarkan pada khiyar kecatatan atau berdasarkan penglihatan akan
bentuk perdamaian sebab hal itu bertentangan dengan akad; dan
4. Kecelakaan pada salah satu pihak yang berdamai sebelum perdamaian
ditetapkan.37

Perdamaian batal karena hal-hal berikut:

1. Iqalah dalam selain sgulh dan qishas . apabila salah satu pihak mengusulkan
pemmbatalan akad dan diterima (disepakati) oleh pihak lainyya maka akad
perdamaian menjadi fasakh (batal), karena disini terkandung makna tukar
menukar barang dengan barang, yang memmungkinkan untuk di-fasakh
seperti halnya jual beli.
2. Pindahnya orang murtad ke darul harb atau meninggal dalam keadaan
mmurtad, menuruut Imam Abu Hanifah. Hal ini karena menurut Abu
Hanifah, tasarruf orang murtad hukumnya mauuquf (ditangguhkan). Akan
tetapi, meniurut Abu Yusuf dan Muhammad, tidak batal karena tasarruf
orang murtad hukumnya nafidz.
3. Pengembalian barang karena khiuar aib atau khiyar ru’yah. Hal ini karena
pengembalian barang berarti membatalkan akad.
4. Meninggalnya salah satu pihak dalam as-shulh atas manfaat sebelum
waktumya habis. Hal tersebut dikarenakan shulh atas manfaat berarti ijarah38.
Jadi kesimpulannya shulh bisa batal karena perkara adanya ibra yaitu
pembebasan debitor dari Sebagian kewajibannya dan mufadhah penggantian
dengan yang lain dengan cara menghibahkan.

37
Ahmad Mujahiddin, Kewenangan dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di
Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 281.
38
Wahbah Zuhaili, op.cit., Juz 5, hlm. 309-312.

23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

‘Ariyah adalah pinjaman yang diberikan kepada seseorang dengan izin pemilik
yang hanya kemanfaatan barangnya digunakan tanpa disertai adanya suatu imbalan.
Sedangkan shulh atau perdamaian adalah suatu akad perjanjian antara dua orang
atau lebih yang tujuannya untuk menyelesaikan perselisihan diantara mereka. Kerap
kali kedua hal ini sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari dan bahkan kita
tanpa sadari.

24
DAFTAR PUSTAKA

Wardi Muslich Ahmad. 2019. Fiqh Muamalah. Jakarta: Penerbit Amzah.

Abdul Wahab Muhammad. 2018. Fikih Pinjam Meminjam (‘Ariyah). Jakarta: Penerbit
Rumah Fikih Publishing
Alamsyah Johan. 2018. Urgensi Konsep Al-‘Ariyah, Al-Qardh, dan Al-Hibah di
Indonesia. Jurnal Fiqh Muamalah. Vol 4, No. 2.

Hasyim Nawawi A. 2017. Implementasi Perdamaian (Ash-Shulhu) Melalui Perma


Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Agama Kediri Terhadap
Perkara Perceraian. Jurnal Diversi. Vol. 3, No. 2, Hlm. 177-200.

Indriyani Sitepu Novi. 2015. Al-Ariyah, Al-Qardh Dan Al-Hibah. Jurnal Fiqh
Muamalah. Vol 2, No. 2.

Muflikhudin Ahmad. 2020. Akad As-Sulhu Sebagai Induk Penyelesaian Sengketa


Dalam Mu’amalah Menurut Imam Jalaludin As-Suyuti. Vol XI, No. 1, Hlm. 107-122.

Edwin Kiky Naerul. 2018. Implementasi Bentuk-Bentuk Akad Bernama Dalam


Lembaga Keuangan Syariah. Jurnal Ekonomi Islam. Vol. 9, No. 1, hlmn. 113-130.

Syarqawie Fitriana. 2014. Fikih Muamalah. Banjarmasin: Penerbit IAIN Antasari Press.

Bin Musa Marwan. 2013. Ensiklopedia Islam – Fikih Perdamaian (Shulh) – Bagian 1
(yufidia.com). diakses pada tanggal 29 Mei 2022, pukul 15.00.

Yusuf Wakid. 2017. FIQH MUAMALAH 19 | SHULH (PERDAMAIAN) – 🇲🇨


ATTARBIYAH (wordpress.com). diakses pada tanggal 29 Mei 2022, pukul 17.00.

25
26
MAKALAH
BANK DAN ASURANSI MENURUT KONSEP ISLAM
Dosen Pengampu : Dr. Azman Arsyad, S.Ag., M.Ag.

DISUSUN OLEH :
Kelompok 12
NUR RISQIANANDA (90400121059)
ANDI SHAHRANI AWALYA (90400121060)

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas semua limpahan rahmat
dan karunianya sehingga makalah dengan materi Bank Dan Asuransi Menurut
Konsep Islam ini selesai dengan waktu yang tepat. Kami juga mengucapkan
terimakasih kepada bapak Dr. Azman Arsyad, S.Ag., M.Ag. Selaku dosen mata
kuliah Fikih Muamalah yang telah memberikan tugas ini kepada kami sehingga
kami mendapatkan banyak tambahan ilmu pengetahuan khususnya tentang Bank
Dan Asuransi Menurut Konsep Islam.
Kami selaku penyusun makalah ini, berharap semoga makalah yang telah
Kami susun ini bisa memberikan banyak manfaat serta menambah ilmu
pengetahuan terutama dalam hal Bank dan Asuransi Menurut Konsep Islam
Karena keterbatasaan ilmu maupun pengalaman kami, kami yakin makalah
ini masih banyak memiliki kekurangan yang membutuhkan perbaikan, oleh
karena itu kami sangat berharap saran dan kritik yang membangun berasal dari
dosen pengajar serta teman-teman sekalian demi kesempurnaan makalah ini.

Gowa, 23 Mei 2022

Kelompok 12
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….2

DAFTAR ISI………………………………………………………………………3

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………

1.1 Latar Belakang………………………………………………………4-6


1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………..6
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………...

2.1 Pengertian Bank dan Sejarahnya…………………………………..7-11

2.2 Bunga Bank dan Pandangan Ulama………………………………12-17

2.3 Bank Islam…………………………………………………….….18-22

2.4 Definisi Asuransi dan Asal Usulnya……………………………...23-26

2.5 Premi, Resiko, dan Tanggungan………………………………….26-32

2.6 Pendapat Para Ulama Tentang Asuransi Konvensional………….32-33

2.7 Asuransi Syariah……………………………………………….…34-44

2.8 Perbedaan Antara Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional..44-55

BAB III PENUTUP……………………………………………………………….

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………..56

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Islam merupakan agama rahmatan lil’alamin, ajaran yang tercakup di


dalamnya berupa: pertama, hubungan antara manusia dengan penciptanya yang
dikenal dengan ibadah, dan kedua, interaksi manusia dan alam yang disebut
dengan muamalah secara umum, dan apabila hubungan antara manusia sesamanya
yang menyangkut dengan hal kebendaan dikenal dengan muamalah
ma’aliyah/ekonomi syariah. Berkenaan dengan zaman kontemporer, transaksi
ekonomi semakin berkembang, sedangkan landasan hukumnya berupa Al-Qur’an
dan Sunnah secara ekspllisit hanya memberikan pedoman hukum terhadap kasus-
kasus ekonomi sebelumnya dan tidak memberikan kepastian hukum tentang
kasus-kasus ekonomi terbaru, sehingga hukumnya tidak jelas. Apabila ini
dibiarkan maka terjadilah kekosongan hukum. Karenanya untuk mengantisipasi
maka para mujtahid mengambil ijtihad jama’i untuk menjelaskan kedudukan
hukum kasus-kasus ekonomi terbaru dengan melihat gambaran illat dari kasus-
kasus sebelumnya dengan menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sandaran
hukum. Apabila mereka menemukan illat yang sama antara peristiwa terdahulu
dengan peristiwa terkini, maka Al-Qur’an dan Sunnah dapat dijadikan sebagai
mashdar/sandaran hukum kasus ekonomi.

Dalam implementasinya, muamalah mu’ashirah (muamalah kontemporer)


termasuk dalam objek kajian fikih kontemporer. Sebelum mengacu pada
pembahasan tersebut, kita akan membahas lebih dulu apa itu fikih kontemporer.
Kata “kontemporer” berasal dari bahasa Inggris contemporary, menurut kamus
Oxford berarti (1) Of the time or periode being, refered to: belonging to the same
time (2) of the present time, modern (Homby, 1989: 253). Adapun menurut
tatanan bahasa Arab kata yang mengacu dan sepadan dengan permasalahan
aktual/fikih kontemporer adalah fikih nawazil. Secara etimologi, fikih berarti
pemahaman dan merupakan shigat jama dari nazilah yang berarti kesusahan.
Dengan demikian, fikih nawazil berarti “pengetahuan hukum-hukum syariat
terhadap kasus-kasus aktual yang belum pernah terjadi pada masa Nabi yang
membutuhkan keterangan hukum syariat” (Abu Ubaidah Yusuf, 2014: 4).
Dengan adanya perkembangan zaman, permasalahan hukum semakin berkembang
dan memerlukan sumber hukum untuk mengetahui bagaimana keabshahannya,
oleh sebab itu, fikih nawazil terbagi atas (Abu Ubaidah Yusuf, 2014: 7):

1) Dari segi materi terbagi atas dua macam:

a. Nawazil fikih, yaitu masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah aktual


yang membutuhkan dasar hukum, baik berkaitan dengan ibadah maupun
muamalah, seperti bunga bank.
b. Nawazil bukan fikih, yaitu permasalahan akidah yang muncul di masa
kontemporer dalam bentuk “syirik aktual” yang mengacu kepada kesyirikan
modern, seperti memakai kalung dengan batu giok dengan harapan dapat
menjaga kesehatan dan sebagainya.

2) Dari segi banyak dan sedikitnya kejadian, terbagi atas empat macam, yaitu:

a. Masalah yang tidak terlepas dari seseorang seperti penggunaan uang virtual.
b. Masalah yang sering terjadi menimpa umat Islam seperti shalat di pesawat,
dan kartu kredit dan debit.
c. Masalah yang jarang terjadi, seperti memasang kembali anggota tubuh yang
terlepas.
d. Masalah yang sudah terputus hukumnya seperti penggunaan alat modern
dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan.

3) Dari segi sifatnya, terbagi atas dua macam:

a. Masalah aktual, yaitu masalah yang belum pernah terjadi di masa


Rasulullah dan memerlukan sumber hukumnya, seperti bayi tabung.
b. Masalah yang pernah terjadi pada masa lalu, kemudian dikemas kembali
menjadi masalah aktual, seperti jual beli kredit.
Adapun yang membahas secara khusus tentang ekonomi aktual, yakni:
a) Muamalah Maliyah al-Mu’ashirah fi fiqh Islamiy oleh Muhammad Utsman
Syubair.
b) Muamalah Maliyah al-Mu’ashirah fi Dha’ul Islam oleh Sa’adduin al-
Kubbiy.
c) Muktamar tentang Zakat di Sudan, dan mu’tamar tentang ekonomi yang
dilakukan oleh bank Islami.
d) Lembaga Fatwa MUI mengenai ekonomi Islam.
Khusus dalam kajian muamalah, ada beberapa persoalan yang secara langsung
tidak dijelaskan oleh nash secara gamblang, ini disebabkan oleh
perkembangannya yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dan
peradaban suatu masyarakat dan kondisi masyarakat yang melatarbelakangi
terjadinya perubahan sosial. Soekanto mendefinisikan perubahan ini sebagai
perubahan pada lembaga-lembaga masyarakat di suatu komunitas tertentu
yang memengaruhi sistem sosial, yang tercakup di dalamnya berupa nilai-
nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku di dalam masyarakat. Muamalah
memberikan pola-pola, prinsip, dan akidah umum dibandingkan dengan
memberikan jenis muamalah secara perinci, dan didukung dengan penggunaan
kaidah furu’iyah berupa “Hukum asal dari segala muamalah adalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

Ini mengakibatkan terjadinya kreasi yang beragam dalam bentuk muamalah,


dan layak untuk dikembangkan. Dalam bidang ini, persoalan-persoalan ini disebut
dengan persoalan ta’aqquliyat (yang bisa dinalar). Maksudnya adalah dalam
persoalan-persoalan muamalah yang dipentingkan adalah substansi makna yang
terkandung di dalam sebuah transaksi serta sasaran yang ingin dicapai. Dan
apabila kreasi muamalah tersebut sesuai dengan substansi makna yang dikendaki
syara’ dan bertujuan untuk ke-mashlahat-an manusia dan menghindari ke-
mudharat-an, maka muamalah dapat diterima.

1.2. Rumusan Masalah

1) Jelaskan Pengertian Bank dan Sejarahnya


2) Jelaskan Mengenai Bunga Bank dan Bagaimana Pandangan Ulama
3) Apa itu Bank Islam
4) Kemukakan Definisi Asuransi dan Asal Usulnya
5) Jelaskan Mengenai Premi, Resiko, dan Tanggungan
6) Bagaimana Pendapat Para Ulama Tentang Asuransi Konvensional
7) Apa itu Asuransi Syariah
8) Jelaskan Perbedaan Antara Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Bank dan Sejarahnya


1. Pengertian Bank
Menurut bahasa, kata bank berasal dari bahasa Italia “banca”, yang artinya
“meja”atau “tempat menukarkan uang”. 1Menurut arti istilah, bank adalah
“lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa di lalu
lintas pembayaran dan peredaran uang”. 2
Menurut Kasmir, secara sederhana bank dapat diartikan sebagai “Lembaga
Keuangan yang kegiatan utamanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa bank
lainnya”. 3
Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang membantu perkembangan
ekonomi suatu negara. Tumbuhnya perkembangan bank secara baik dan sehat
akan mendorong perekonomian rakyat semakin meningkat, sebaliknya,
perkembangan suatu bank mengalami krisis dapat diartikan keadaan ekonomi
suatu negara dalam keterpurukan.4
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perbankan, pengertian bank adalah “Badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak”. 5

1
Kasmir, S.E., M.M., Manajemen Perbankan, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
200, hlm. 12.
2
Anton, M. Moeliono, et al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, cet.
II. 1989, hlm. 78
3
Kasmir, op.cit, hlm. 11.
4
Sentosa Sembiring, Himpunan Perundang-undangan Perbankan dan Lembaga
Penjamin Simpanan, Bandung, Nuansa Aulia, 2005, hl. 13
5
Ibid., hlm. 12
Menurut Prof. G.M. Verryn Stuart dalam bukunya Bank Politik
mengemukakan “bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan
kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang
yang diperolehnya dan orang lain, man pun dengan jalan memperedarkan alat-alat
penukar bam bempa uang giral. 6
Menurut A. Abdurahman dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan dan
Perdagangan mengemukakan “bank adalah suatu jenis lembaga keuangan yang
melaksanakan berbagai macam jasa, seperti memberikan pinjaman, mengedarkan
mata uang, pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat
penyimpanan benda-benda berharga, membiayai usaha perusahaan-perusahaan
dan lain-lain”. 7
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bank adalah salah satu
lembaga keuangan yang sangat berperan penting dalam keadaan ekonomi suatu
masyarakat, yang dimana bank tersebut menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa bank
lainnya.

6
Thamriin Abdullah, Sintha Wahjusaputri, Bank & Lembaga Keuangan, Mitra
Wacana Media, 2018, hlm 2.
7
Ibid.
2. Sejarah Bank
Pada periode sebelum 1953, fungsi bank di indonesia dilaksanakan oleh De
Javasche Bank N.V. (DJB). Bank berfungsi sebagai bank umum dan juga sebagai
bank sentral. Bank DJB ini masih dimiliki oleh Belanda sebagai warisan masa
penjajahan Belanda. Melihat peranan dan strategisnya sebuah bank di Indonesia
maka Presiden Soekarno pada tanggal 16 September 1945 memberikan mandat
untuk mempersiapkan sebuah bank milik Indonesia dengan nama Bank Negara
Indonesia (BNI). BNI inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya bank-bank
umum di Indonesia.
Di dalam perkembangannya, BNI dan DJB tidak dapat menjalankan tugasnya
dengan baik. Hal itu disebabkan oleh dualisme administrasi keuangan pemerintah
dan juga kondisi pada masa revolusi yang membuat sistem keuangan tidak
optimal. Oleh karena itu, sejak Konferensi Meja Bundar (KMB), telah ditetapkan
bahwa DJB bertindak sebagai bank sirkulasi bagi Republik Indonesia Serikat
(RIS) dan BNI berfungsi sebagai bank umum. Hasil KMB tersebut belum
membuat Pemerintah Indonesia merasa puas karena DJB masih dimiliki oleh
bangsa asing. Maka sejak bubarnya RIS tahun 1950, dibentuklah panitia
nasionalisasi. Panitia ini bertugas untuk menasionalisasi DJB dan pada tahun 1951
saham DJB berhasil dibeli oleh Pemerintah Indonesia.
Sejak tahun 1951 tersebut, Pemerintah Indonesia menyiapkan rancangan
undang-undang tentang bank sentral. Rancangan undang-undang tersebut
disahkan pada tahun 1953 dan menyebutkan bahwa Bank DJB diganti menjadi
Bank Indonesia (BI) dengan UU nomor 11 tahun 1953 tentang Penetapan
UndangUndang Pokok Bank Indonesia.
Pada masa itu, BI bertugas menjaga stabilitas rupiah, menyelenggarakan
peredaran uang di Indonesia, memajukan perkembangan urusan kredit dan
melakukan pengawasan pada urusan kredit tersebut. Modal awal bank ini sebesar
Rp 25 juta dan dengan modal itu, BI memiliki usaha-usaha/jasa-jasa bank. Selain
itu, dalam rangka melayani Pemerintah Republik Indonesia, BI juga
menyelenggarakan kas umum negara dan bertindak sebagai pemegang kas
pemerintah serta memberi uang muka dalam rekening koran kepada pemerintah.
Sejarah berlanjut sampai tahun 1966. Pada periode ini terjadi proses
penggabungan bank umum ke dalam BI. Semua bank umum negara dan Bank
Tabungan Negara (BTN) disatukan ke dalam bank sentral dengan sistem baru.
Sistem baru tersebut bernama Bank Tunggal. Pada periode ini pula berdirilah
bank tunggal milik negara dan diberi nama Bank Negara Indonesia (BNI). Sejak
itulah semua kantor BI, BKTN, BNI, BUNEG, dan BTN dilebur ke dalam BNI
dan masing-masing beroperasi dengan nama BNI Unit I, Unit II, Unit III, Unit IV
dan Unit V.8
Asal Mula kegiatan perbankan dimulai dari jasa penukaran uang. Itulah
sebabnya bank itu dikenal sebagai tempat menukar uang atau meja tempat
menukarkan uang. Dalam perkembangan selanjutnya kegiatan perbankan
bertambah menjadi tempat penitipan uang, atau yang kemudian dikenal dengan
kegiatan simpanan. Selanjutnya kegiatan perbankan berkembang lagi dengan
kegiatan peminjaman uang, yaitu dengan cara uang yang disimpan oleh
masyarakat oleh perbankan disalurkan atau dipinjamkan kembali kepada
masyarakat yang membutuhkannya.
Sejarah perbankan dimulai dari wilayah Benua Eropa mulai zaman Babylonia,
yang kemudian dilanjutkan ke zaman Yunani Kuno dan Romawi. Bank-bank yang
terkenal saat itu di Benua Eropa adalah Bank Venesia tahun 1171, kemudian
menyusul Bank of Genoa, dan Bank of Barcelona tahun 1320. 9
Di Inggris, perbankan baru dimulai pada abad ke-16. Sebagai negara yang
mengembangkan sayap dengan mencari daerah jajahan, perkembangan perbankan
pun ikut dibawa ke negara jajahannya, seperti Amerika, Afrika, dan Asia yang
memang sudah terkebal memiliki peran yang sangat penting di bidang
perdagangan.
Di Indonesia, perkembangan perbankan tidak terlepas dari zaman penjajahan
Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belandalah yang memperkenalkan dunia
perbankan kepada masyarakat Indoenesia. Pada zaman pemerintahan Hindia
Belanda terdapat beberapa bank yang memegang peranan yang sangat penting,
yaitu
a. De Algemenevolk Crediet Bank,
b. De Escompto Bank NV,
c. De Post Paar Bank,
d. De Javasche NV,
e. Nationale Handle Bank(HNB), dan
f. Nederland Handles Mattscappij (HNM)10
Sejarah mencatat asal mula dikenalnya kegiatan perbankan adalah pada zaman
kerajaan tempo dulu di daratan Eropa. Kemudian usaha perbankan ini
berkembang ke Asia Barat oleh para pedagang. Perkembangan perbankan di Asia,
Afrika dan Amerika dibawa oleh bangsa Eropa pada saat melakukan penjajahan
ke negara jajahannya baik di Asia, Afrika maupun benua Amerika. Bila
ditelusuri, sejarah dikenalnya perbankan dimulai dari jasa penukaran uang.

8
Ibid, hlm. 19-20
9
Kasmir, op.cit., hlm. 14-15
10
Ibid, hlm. 16-17
Sehingga dalam sejarah perbankan, arti bank dikenal sebagai meja tempat
penukaran uang. Dalam perjalanan sejarah kerajaan tempo dulu mungkin
penukaran uangnya dilakukan antar kerajaan yang satu dengan kerajaan yang lain.
Kegiatan penukaran ini sekarang dikenal dengan nama Pedagang Valuta Asing
(Money Changer). Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan
operasional perbankan berkembang lagi menjadi tempat penitipan uang atau yang
disebut sekarang ini kegiatan simpanan. Berikutnya kegiatan perbankan
bertambah dengan kegiatan peminjaman uang. Uang yang disimpan oleh
masyarakat, oleh perbankan dipinjamkan kembali kepada masyarakat yang
membutuhkannya.Jasajasa bank lainnya menyusul sesuai dengan perkembangan
zaman dan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam. 11
Dengan demikian, Awal mula berdirinya bank di Dunia secara singkat dapat
diuraikan sebagai berikut. kira-kira tahun 2000 SM di Babylonia telah dikenal
semacam bank. Bank ini meminjamkan emas dan perak dengan tingkat bunga
20% setiap bulan dan dikenal sebagai Temples of Babylon. Sesudah zaman
Babylon, tahun 500 SM menyusul di Yunani didirikan semacam bank, dikenal
sebagai Greek Temple, yang menerima simpanan dengan memungut biaya
penyimpanannya serta meminjamkan kembali kepada masyarakat. Pada saat
itulah muncul bankir-bankir swasta pertama. Operasinya meliputi penukaran uang
dan segala macam kegiatan bank. Lembaga perbankan yang pertama di Yunani
timbul pada tahun 560 SM. Sejarah Bank Indonesia adalah dimulai pada tahun
1828, tepatnya saat masa pemerintahan Hindia-Belanda dengan didirikannya De
Javasche Bank. De Javasche Bank berperan sebagai bank sentral yang bertugas
untuk mencetak dan mengedarkan uang di negara ini. Selang satu abad, yaitu pada
tahun 1953, De Javasche Bank berganti nama menjadi Bank Indonesia dan
mengalihfungsikannya. Saat itu Bank Indonesia adalah bank sentral yang
mempunyai tiga fungsi utama yaitu sistem pembayaran, perbankan, dan moneter.

Selanjutnya, pemerintah juga memberikan wewenang kepada Bank Indonesia


untuk melaksanakan fungsi bank komersial sama seperti pendahulunya yaitu De
Javasche Bank. Lalu pada tahun 1968, UU yang mengatur tentang Bank Indonesia
diterbitkan oleh pemerintah dan berisi aturan tentang tugas dan kedudukan Bank
Indonesia. Undang-Undang tersebut di antaranya juga bertujuan sebagai pembeda
dengan bank-bank komersial lainnya.

11
Ardhansyah Putra Hrp, Dwi Saraswati, Bank & Lembaga Keuangan Lainnya,
Jakad Media Publishing. Surabaya, 2014, hlm 15
2.2. Bunga Bank dan Pandangan Ulama
1. Bunga Bank
Kegiatan industri perbankan merupakan suatu kegiatan yang mencari
keuntungan. Dalam praktik perbankan di Indonesia sekarang ini, ada dua model
keuntungan. Untuk bank konvensial, keuntungan diperoleh dari bunga pinjaman,
sedangkan untuk bank syariah keuntungan diperoleh dari bagi hasil.
Bunga bagi bank yang menganut sistem konvensional dapat diartikan sebagai
balas jasa yang diberikan oleh bank kepada nasabah yang menjual atau membeli
produknya. Bunga juga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada
nasabah yang memiliki simpanan, dan yang harus dibayar kepada bank oleh
nasabah yang memperoleh pinjaman. 12
Dalam kegiatan bank konvensional terdapat dua macam bunga :
a. Bunga simpanan, yaitu bunga yang diberikan oleh bank sebagai
rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di
bank, seperti jasa giro, bunga tabungan, atau bunga deposito. Bagi pihak
bank bunga simpanan merupakan harga beli.
b. Bunga pinjaman, yaitu bunga yang dibebankan kepada para peminjam atau
harga yang harus dibayar oleh peminjam kepada bank, seperti bunga
kredit. Bagi pihak bank, bunga pinjaman merupakan harga jual.
Bunga simpanan dan bunga pinjaman merupakan komponen utama faktor
biaya dan pendapatan bagi bank. Bunga simpanan merupakan biaya dana yang
harus dikeluarkan kepada nasabah, sedangkan bunga pinjaman merupakan
pendapatan yang diterima dari nasabah. Selisih dari bunga pinjaman dikurangi
bunga simpanan merupakan laba atau keberuntungan yang diterima oleh pihak
bank.
Dalam catatan sejarah kuno, sistem pembungaan uang telah dikutuk oleh
para akhil pikir. Di kalangsn bangsa Yunani, yang terkenal memiliki
peradaban yang tinggi, praktik peminjaman uang dengan memungut bunga
dilarang dengan keras. Aristoteles, yang mempunyai pengaruh besar pada
generasi-generasi sesudahnya secara tegas mengutuk pembungaan uang.
Menurut Aristoteles, fungsi uang yang utama adalah untuk mempermudah
perdagangan, dan mempermudah manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Platop juga berpendapat sama dengan Arsitoteles, ia mengutuk
praktik pembungaan uang ini. 13

12
Kasmir, op.cit., hlm. 37
13
Anwar Iqbal Qureshi, Islam dan Teori Pembungaan Uang, Alih bahasa,
M.Choil B., Tintamas, Jakarta , 1985, hlm. 42-43
Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank yang
berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual
produkny. Bunga juga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada
nasabah (yang memiliki simpanan) dengan yang harus dibayar oleh nasabah
kepada bank (nasabah yang memperoleh pinjaman.)14
Pendapat lain menyatakan interest yaitu sejumlah uang yang dibayar atau
dikalkulasikan untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan
dengan satu tingkat atau peersentase modal yang bersangkut-paut dengan itu yang
dinamakan suku bunga modal. Dalam sistem ekonomi konvensional, bunga
merupakan harga uang (priceofcapital). Dimana dalam literatur-literatur ekonomi
moneter banyak disebutkanbahwa tinggi rendahnya permintaan dan penawaran
akan uang tergantungpadatingkat tingkat bunga. Dalam mekanisme ini bunga
akan memiliki perilaku seperti harga sebagaimana pada pasar barang. Pada masa
sekarang, masyarakat dihadapkan pada masalah bank, yang dalam prakteknya
memberlakukan sistem bunga pada siapa saja yang terlibat transaksi di dalamnya.
Melakukan transaksi dengan bank sama melakukan perbuatanriba. Akan tetapi, di
masa sekarang ini bunga bank menjadi suatu permasalahanyangtidak dapat
dihindari oleh banyak orang yang melakukan tindakan ekonomi, khususnya yang
bergerak dalam bidang perbankan. Persoalan halal tidaknya bunga bank sebagai
instrumen keuangan sudahmerupakan hal yang kontroversial dalam dunia Islam
sejak lama. Kontroversi tersebut berkaitan dengan penafsiran ayat-ayat Al-Quran
yang melarang praktek riba.
Berdasarkan penafsirannya, ada sebagian kaum muslimin yang menyimpulkan
bahwa kontrak pinjaman adalah perbuatan yang tidak bermoral, tidak saha dan
haram. Keberadaan Perbankan Islam dirancang untuk terbinanya hubungan
kebersamaan dalam menanggung resiko usaha dan berbagai hasil usaha antara
pemilik modal yang menyimpan uangnya dibank selaku pengelola dana dari
masyarakat yang membutuhkan dana yang bisa berstatus peminjam dana atau
pengelola usaha15
Dalam pandangan Islam, bunga bank masih terus menjadi polemik, dan
polemik ini akan terus hangat untuk diperbincangkan, karena dia berjalan seiring
dengan dinamika perekonomian dunia yang tidak kunjung stabil. Sebut saja krisis
global yang terjadi baru-baru ini merupakan bukti yang real atas kegagalan sistem
perekonomian berdasarkan ribawi yang dimotori oleh kapitalisme. Islam sebagai
agama rahmat lil al-alamin(universal)telah memberikn soslusi dari berbagai aspek
kehidupan manusia, termasuk dalam masalah perbankan, dengan perkembangan

14
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,
2012), hlm 5
15
Muslimin H. Kara, Bank Syari’ah Di Indonesiia, Analisis Kebijakan
Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press
2005), h.71-73.
bank-bank syariah yang sangat signifikan dari hari ke hari, merupakan bukti nyata
bahwa islam adalah solusi bagi perekonomian dunia, karena pada hakikatnya
sistem perekeonomian yang berbasis pada prisnip syariah (islamic economic
system)adalah sistem samawi yang lansung turun dari langit berupa wahyu kepada
Nabi Muahmmad Saw, dan syariat yang dibawanya tentu sangat faham dengan
kondisi manusia dan segala kebutuhunnya.
Banyak ulama dan pakar yang mengatakan bahwa bunga bank itu adalah riba
dan diharamkan, seperti Muhammad Najetullah al-Shiddiqi, Muhammad Abdul
Mannan, Umer Chapra, Monzer Kahf, dan lain-lain. Semua mereka mengecam
dan mengahramkan bunga, baik konsumtif maupun produktif, baik kecil maupun
besar, karena bunga telah menimbulkan dampak sangat buruk bagi perekonomian
dunia dan berbagai negara.
Bahkan Umer Chapra mengklaim bahwa ulama telah ijma’tentang keharaman
bunga bank. Kalaupun ada tokoh yang membolehkan bunga, misalnya Ahmad
Khan (India) pada abad ke-19. Tokoh itu dinilainya tidak berkapasistas sebagai
ahli ekonomik, dan tidak memiliki keilmuan yang memadai tentang ilmu
ekonomi, khususnya ilmu moneter. Sedangkan untuk memutuskan suatu hukum,
haruslah orang itu ahli di bidang hukum yang diputuskannya itu.16
Dengan demikian, dilihat dari nasabah yang mengajukan produk pinjaman,
pengertian bunga bank adalah sejumlah dana tambahan yang harus dibayarkan
bersama pokok pinjaman di awal. Bunga tersebut fungsinya adalah sebagai
imbalan jasa layanan dari pinjaman yang sudah diberikan oleh bank. Bank akan
memberikan kredit berdasarkan jumlah dana yang diajukan. Jika dilihat dari
nasabah yang menyimpan uangnya di bank, pengertian bunga bank adalah bunga
yang diberikan kepada nasabah yang menggunakan jasa penyimpanan uang yang
mereka tawarkan.
2. Pandangan Ulama
Dalam pandangan Islam, bunga uang sama dengan riba, yakni dilarang. 17
Pendapat yang masih dianggap kontroversial oleh sebagian kalangan adalah fatwa
Mufti Dar al-Iifta al-Misriyyah, Syekh Muhammad Sayyid Thanthawi tentang
status bunga bank. Pada permulaan tahun 1989, Syekh mengeluarkan empat fatwa
yang berisikan penjelasan bunga bank haram. Kemudian pada bulan september
tahun yang sama. Mufti tersebut merubah total isi fatwanya dengan menyatakan
bunga bank halal.

16
Umer Chapra, The Future Of Islamic Economic, An Islamic Perspective,
(Islamabad:Islamic Foundation, 2000), hal. 107-108.
17
Kasmir, op.cit., hlm. 11.
tahun yang sama. Mufti tersebut merubah total isi fatwanya dengan menyatakan
bunga bank halal. 18
Lahirnya fatwa tersebut sempat menuai banyak kritik dari Dewan Ulama
Senior Mesir(Haiah Kibar Ulama), bahkan fatwa itu sendiri dinilai telah
menyalahi konsesus ulama terdahulu. Sebagaimana terlampir dalam keputusan
Lembaga Riset al-Azhar yang diselenggarakan di Kairo tahun 1965, yang dihadiri
oleh perwakilan pakar hukum, pakar ekonomi dan perwakilan ulama dari 35
negara. Kemudian juga keputusan Akademi Fikih Islam dari organisasi
Konferensi Islam yang diadakan di Jeddah tangga 22-28 Desember 1985. Lalu
disusul konferensi dari Majelis Liga Dunia Muslim di Makkah pada tanggal 12-19
Rajab Tahun 1406 H. Dari ketiga konferensi tersebut menghasilkan keputusan
bunga bank haram. 19
Dalam beberapa ayat Al-Quran, larangan itu dinyatakan dengan sangat jelas.
a. Surah Al-Baqarah (2) ayat 275 dan 276 :
Dalam Al-Quran dan terjemahnya dijelaskan bahwa yang dimaksud riba di sini
ialah riba nasi’ah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi’ah selamanya
haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba ada dua macam: nasi’ah dan fadhl.
Riba nasi’ah ialah pembayaran lebih yang disyariatkan oleh orang yang
meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang
sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya, karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi,
dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini adalah riba nasi’ah yang
berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman zahiliyah. 20
Pendapat di atas dikemukakan oleh Abul A’la Al-Maududi (Pakistan),
Muhammad Abdullah Al-Arabi, Penasihat Hukum pada Islamic Congres Kairo,
dan Muhammad Yusuf Musa, serta Muhammad Abu Zahrah. Mereka mengatakan
bahwa bunga bank termasuk riba nasi’ah dilarang oleh Islam. Oleh karena itu,
umat islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang hanya memakai sistem
bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. 21

18
Himpunan Fatwa Ulama Al-Azhar, Fatawa Kibar al-Ulama al-Azhar Asy-
Syarif wa al-Majamik al-Fikhiyyah Haula Riba al-Bunuk wa al-Masharif
(Kairo:Dar al-Yusr, 2009). hlm. 88.
19
Al-Azhar, Fatawa Kibar al-Ulama al-Azhar Asy-Syarif al-Majamik al
Fikhiyyah Haula Riba al-Bunuk wa al-Masharif. Hlm.94
20
T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi, et.al., Al-Quran dan Terjemahanya,
Mujamma’Khadim Al-Haramain, Madinah, 1971, hlm. 69 dan 97.
21
Rahmat Syafe’I, Fiqih Mu’amalat, Pustaka Setia, Bandung, cet. III, 2006, hlm.
274. Lihat juga : Syabirin Harahap, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam,
Pustaka Al-Husna Jakarta, cet. I, 1984, hlm. 92.
Menurut Muhammad Sayyid al-Thanthawi (Mufti al-Azhar, Mesir). Menurut
beliau, bank konvensional itu halal dalam berbagai bentuknya walau dengan
penentuan bunga terlebih dahulu. Di samping penentuan tersebut mengahalangi
adanya perselisihan atau penipuan di kemudian hari, juga karena penentuan bunga
dilakukan setelag perhitungan yang teliti, dan terlaksana antara nasabah dengan
bank atas dasar kerelaan mereka. Sayyid Thantawi yang berfatwa tentang
bolehnya sertifikat obligasi yang dikeluarkan Bnak Nasional Mesir yang secara
total masih menggungakan sistem bunga. 22
Kasman Singodimedjo berpendapat, sistem perbankan modern dibolehkan
karena tidak mengandung unsur eksploitasi yang zhalim, oleh karenanya tidak
perlu didirikan bank tanpa bunga. A. Hasan Bangil, tokoh Persatuan Islam
(PERSIS), secara tegas menyatakan bunga bank itu halal karena tidak ada unsur
lipat gandanya. Nurcholish Madjid berpendapat bahwa riba di mengandung unsur
eksploitasi satu pihak kepada pihak lain, sementara dalam perbankan
(konvensional)tidaklah seperti itu. Alwi Shihab dalam wawancaranya dengan
Metro TV sekitar tahun 2004 lalu, juga berpendapat bunga bank bukanlah riba. 23
Pendapat ini diperkuat oleh Ibrahim Abdullah al-Nashir yang mengatakan
bahwa pendapat yang benar adalah tidak mungkin ada kekuatan Islam tanpa
ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan perekonomian
tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba. Ia juga
mengatakan, sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan
amal-amal ribawi yang dilarajg al-Qur’an, karena bunga bank adalah muamalah
baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat
dalam al-Qur’an tentang pengharaman riba.24
Riba yang dilarang adalah riba yang berlipat ganda(adhafan
mudha’afah).Dengan demikian, mafhum mukhalafah-nya riba yang tidak berlipat
ganda hukumnya tidak dilarang. Pendapat ini ditentang keras oleh Anwar Iqbal
Qureshi. Ia mengatakan, “Adalah sangat salah pandangan yang mengatakan
Islam tidak melarang bunga biasa, tetapi hanya melarang bunga bergana.
Sebetulnya dalam Islam, setiap jenis bunga betapapun rendahnya dinyatakan
terlarang.”25

22
Sayyid Ali al-Thanthawi, Mu’amalah al-Bunuk wa Ahkamuha al-Syar’iyyah,
(Kairo:Dar al-Fikr, 1421 H/2001), hal. 92.
23
Diakses tanggal 22 April 2015 dari http://fhufah.blogspot.com
/2012/07/pendapat-ulama-tentang-bunga-bank.html
24
Ibarhim Abdullah al-Nashir, al-Bunuk al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Hurriyyah,
1423 H/2002), hal. 73.
25
Anwar Iqbal Qureshi, op.cit., hlm. 116.
Dengan demikian, sebagian besar ulama dan cendekiawan muslaim
menyatakan bahwa bunga bank sama dengan riba, jadi hukum bunga bank adalah
haram. Tetapi ada juga yang menilai bahwa bunga bank berbeda dengan bunga,
sehingga bunga bank boleh-boleh saja saja, terutama beberapa ulama Timur
tengah yang didukung para pakar ekonomi yang berpaham sekuler.
2.3. Bank Islam
1. Pengertian Bank Islam
Bank Islam, sebagaimana dikemukakan oleh Karnaen Perwataatmaja dan
Muhammad Syafi’I Antonio adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-
prinsip syariat Islam. Dalam redaksi lain, bank Islam adalah bank yang tata cara
beroperasinya mengacu pada ketentuan-ketentuan Al-quran dan hadis. 26
Menurut M. Amin Aziz definisi bank Islam adalah lembaga perbankan yang
menggunakan sistem dan opersinya berdasarkan syariat Islam. 27Ini berarti operasi
perbankan syariah mengikuti tata cara berusaha dan perjanjian berusaha
berdasarkan Al-quran dan sunnah Rasulullah.
Pengertian bank syariah atau bank Islam dalam bukunya Edy Wibowo adalah
bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Bank ini tata
cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Quran dan hadits.28
Menurut Sutan Remy Shahdeiny Bank Syariah adalah lembaga yang berfungsi
sebagai intermediasi yaitu mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan
kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk
pembiayaan tanpa berdasarkan prinsip bunga, melainkan berdasarkan prinsip
syariah29
Menurut undang-undang No. 21 tahun 2008, bank syariah adalah bank yang
menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah menurut jenisnya
terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. 30
Dari beberapa definisi mengenai bank syariah diatas dapat disimpulkan bahwa
bank syariah adalah bank yang operasionalnya menghimpun dana dari masyarakat
dan menyalurkannya kepada masyarakat berupa pembiayaan dengan sistem bagi
hasil yang berdasarkan ketentuan-ketentuan syariat Islam.

26
Karnaen Perwataatmaja dan Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam,
Penerbit Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1992, hlm. 1.
27
M. Amin Aziz, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, Buku 2, Penerbit
Bangkit, Jakarta, t.t, hlm. 1.
28
Edy Wibowo, dkk, Mengapa Memilih Bank Syariah?, Bogor:Ghalia Indonesia
cet.I, 2005, h. 33.
29
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti,
cet ke-3, 2007, h. 1.
30
M. Nur Rianto Al-Arif, Lembaga Keuangan Syariah Suatu Kajian Teoritis
Praktis, Bandung: CV Pustaka Setia, h. 98
2. Prinsip-prinsip Bank Syariah
Prinsip dasar perbankan syariah berdasarkan pada alQuran dan sunnah.
Setelah dikaji lebih dalam Falsafah dasar beroperasinya bank syariah yang
menjiwai seluruh hubungan transaksinya berprinsip pada tiga hal yaitu efisiensi,
keadilan, dan kebersamaan. Efisiensi mengacu pada prinsip saling membantu
secara sinergis untuk memperoleh keuntungan/margin sebesar mungkin. Keadilan
mengacu pada hubungan yang tidak dicurangi, ikhlas, dengan persetujuan yang
matang atas proporsi masukan dan keluarannya. Kebersamaan mengacu pada
prinsip saling menawarkan bantuan dan nasihat untuk saling meningkatkan
produktivitas31.
Dalam mewujudkan arah kebijakan suatu perbankan yang sehat, kuat dan
efisien, sejauh ini telah didukung oleh enam pilar dalam Arsitektur Perbankan
Indonesia (API) yaitu, struktur perbankan yang sehat, sistem pengaturan yang
efektif, system pengawasan yang independen dan efektif, industri perbankan yang
kuat, infrastruktur pendukung yang mencukupi, dan perlindungan konsumen.
Daya tahan perbankan syariah dari waktu ke waktu tidak pernah mengalami
negative spread seperti bank konvensional pada masa krisis moneter dan
konsistensi dalam menjalankan fungsi intermediasi karena keunggulan penerapan
prinsip dasar kegiatan operasional yang melarang bunga (riba), tidak transparan
(gharar), dan (maisir) spekulatif. 32
3. Ciri-ciri bank Islam
Bank Islam memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda dengan bank konvensional.
Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut.
a. Keuntungan(misalnya pada kredit murabahah dan bai’ bitsamanin
ajil)dan beban biaya (misalnya pada pinjaman al-qardh al-hasan)yang
disepakati tidak kaku dan ditentukan berdasarkan kelayakan tanggungan
risiko dan pengorbanan masing-masing.
b. Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu kontrak. Sisa
utang selepas kontrak dilakukan dengan membuat konrak baru.
c. Penggunaan persentase untuk perhitungan keuntungan dan biaya
administrasi selalu dihindari, karena persentase mengandung potensi
melipat gandakan.
d. Pada bank Islam tidak dikenal keuntungan pasti(fixed return). Kepastian
keuntungan ditentukan setelah keuntungan tersebut diperoleh, bukan
sebelumnya

Edy Wibowo, Mengapa…….., hl. 33


31
32
Jundiani, Pengaturan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Malang: UIN
Malang Press, 2009. Hlm. 64
e. Uang dari jenis yang sama tidak bisa diperjualbelikan/disewakan atau
dianggap barang dagangan. Oleh karena itu, pada dasarnya bank Islam
tidak memberikan pinjaman berupa uang tunai, tetapi berupa pembiayaan
atau talangan dana untuk pengadaan barang dan jasa.33
4. Tujuan Bank Syariah
Bank syariah memiliki tujuan yang lebih luas dibandingkan dengan bank
konvensional, berkaitan dengan keberadaannya sebagai institusi komersial dan
kewajiban
moral yang disandangnya. Selain bertujuan meraih keuntungan sebagaimana
layaknya bank konvensional pada umumnya, bank syariah juga bertujuan sebagai
berikut :
a. Menyediakan lembaga keuangan perbankan sebagai sarana meningkatkan
kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Pengumpulan modal dari
masyarakat dan pemanfaatannya kepada masyarakat diharapkan dapat
mengurangi kesenjangan sosial guna tercipta peningkatan pembangunan
nasional yang semakin mantap. Metode bagi hasil akan membantu orang
yang lemah permodalannya untuk bergabung dengan bank syariah untuk
mengembangkan usahanya. Metode bagi hasil ini akan memunculkan
usaha-usaha baru dan pengembangan usaha yang telah ada sehingga dapat
mengurangi pengangguran.
b. Meningkatnya partisipasi masyarakat banyak dalam proses
pembangunan karena keengganan sebagian masyarakat untuk
berhubungan dengan bank yang disebabkan oleh sikap menghindari bunga
telah terjawab oleh bank syariah. Metode perbankan yang efisien dan adil
akan menggalakkan usaha ekonomi kerakyatan.
c. Membentuk masyarakat agar berpikir secara ekonomis dan berperilaku
bisnis untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
d. Berusaha bahwa metode bagi hasil pada bank syariah dapat beroperasi,
tumbuh, dan berkembang melalui bankbank dengan metode lain. 34
5. Dasar Hukum Bank Islam
Bank syariah secara yuridis normatif dan yuridis empiris diakui
keberadaannya di Negara Indonesia. Pengakuan secara yuridis normatif tercatat
dalam peraturan perundang- undangan di Indonesia, Sedangkan secara yuridis
empiris, bank syariah diberi kesempatan dan peluang yang baik untuk
berkembang di seluruh wilayah Indonesia. Upaya intensif pendirian bank syariah
di Indonesia dapat ditelusuri sejak tahun 1988, yaitu pada saat pemerintah
mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang mengatur deregulasi

33
M. Amin Aziz, op.cit., hlm. 8.
34
Edy Wibowo, Mengapa…….., hl. 47
industri perbankan di Indonesia, dan para ulama waktu itu telah berusaha
mendirikan bank bebas bunga. 35
Hubungan yang bersifat akomodatif antara masyarakat muslim dengan
pemerintah telah memunculkan lembaga keuangan (bank syariah) yang dapat
melayani transaksi kegiatan dengan bebas bunga. Kehadiran bank syariah pada
perkembangannya telah mendapat pengaturan dalam sistem perbankan nasional.
Pada tahun 1990, terdapat rekomendasi dari MUI untuk mendirikan bank syariah,
tahun 1992 dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
perbankan yang mengatur bunga dan bagi hasil. Dikeluarkan Undang - Undang
Nomor 10 Tahun 1998 yang mengatur bank beroperasi secara ganda (dual system
bank), dikeluarkan UU No. 23 Tahun 1999 yang mengatur kebijakan
moneter yang didasarkan prinsip syariah, kemudian dikeluarkan Peraturan Bank
Indonesia tahun 2001 yang mengatur kelembagaan dan kegiatan operasional
berdasarkan prinsip syariah, dan pada tahun 2008 dikeluarkan UU No. 21
Tahun 2008 tentang perbankan syariah. 36
Pengaturan (regulasi) perbankan syariah bertujuan untuk menjamin kepastian
hukum bagi stakeholder dan memberikan keyakinan kepada masyarakat luas
dalam menggunakan produk dan jasa bank syariah.
6. Produk-Produk Bank Islam
Secara garis besar, produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah terbagi
menjadi tiga bagian besar, yaitu produk penghimpunan dana (funding), produk
penyaluran dana (financing), dan produk jasa (service).37
Produk bank Islam adalah gabungan antara produk perbankan dan landasan
syariah. Sebagai lembaga perbankan, produk bank Islam mengacu kepada
perundang-undangan yang berlaku. Di Indonesia, undang-undang yang mengatur
tentang perbankan adalah undang-undang No. 7 Tahun 1992 yang diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-undang Nomor 23 tahun
1999 tentang Bank Indonesia. Sebagai bank yang berlandaskan syariah, bank
Islam dalam menetapkan produknya selalu berpedoman kepada ketentuan-
ketentuan hukum syariah yang bersumber dari Al-quran dan hadis.
Dilihat dari segi fungsinya, yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkannya, produk bank Islam
dapat dibagi kepada dua bagian:
a. Produk berkaitan dengan simpanan:

35
M. Syafi’I Antonio, Dasar………, h. 6
36
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Kebijakan Pengembangan
Perbankan Syariah, Jakarta : 2011, h. 5
37
Nur Rianto, Lembaga…..,h. 133
1) Tabungan mudharabah, dan
2) Deposito mudharabah.
b. Produk berkaitan dengan penyaluran:
1) Pembiayaan untuk investasi atas dasar bagi hasil.
a) Pembiayaan mudharabah, dan
b) Pembiayaan musyarakah.
2) Pembiayaan untuk kegiatan perdagangan
a) Pembiayaan al-murabahah, dan
b) Pembiayaan al-bai’bitsaman ajil.
3) Pembiayaan pengadaan barang untuk disewakan atau disewabelikan:
a) Sewa guna usaha disebut al-ijarah, dan
b) Sewa beli atau al-bai’ at-takjiri.
4) Pemberian pinjaman tunai kebajikan (al-qardh al-hasan).
5) Fasilitas-fasilitas perbankan umumnya yang tidak bertentangan dengan
syariah seperti:
a) Penitipan dana dalam rekening lancar dalam bentuk giro wadi’ah
yang diberi bonus.
b) Jasa lainnya untuk memperoleh balas jasa(fee), seperti:
(1) Pemberian jaminan (kafalah)
(2) Pengalihan tagihan(hiwalah)
(3) Pelayanan khusus(ju’alah)
(4) Pembukaan L/C (wakalah)
(5) Gadai(rahn). 38
Dengan demikian, Bank Islam memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda dengan
bank konvensional. Keuntungandan beban biaya yang disepakati tidak kaku dan
ditentukan berdasarkan kelayakan tanggungan risiko dan pengorbanan masing-
masing. Pada bank Islam tidak dikenal keuntungan pasti. Uang dari jenis yang
sama tidak bisa diperjualbelikan/disewakan atau dianggap barang dagangan.
Oleh karena itu, pada dasarnya bank Islam tidak memberikan pinjaman berupa
uang tunai, tetapi berupa pembiayaan atau talangan dana untuk pengadaan barang
dan jasa.

38
Karnaen Perwataatmaja dan M. Syafi’I Antonio, op.cit., hlm. 15-16. Lihat juga
: Biro Perbankan Syari’ah Bank Indonesia, Produk Perbankan Syari’ah, Karim
Business Consulting, 2001, hlm. i.
2.4 Definisi Asuransi dan Asal Usulnya

1. Definisi Asuransi

Asuransi berasal dari bahasa Belanda "assurantie", yang dalam hukum


Belanda disebut "verzekering", yang artinya pertanggungan. Dari istilah
"assurantie" kemudian timbul istilah "assuradeur" bagi penanggung, dan
geassureerde" bagi tertanggung. 39

Di Indonesia, definisi asuransi telah ditetapkan dalam Kitab Undang Undang


Hukum Dagang Pasal 246 yang berbunyi sebagai berikut. Asuransi atau
pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi,
untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena
suatu peristiwa yang tak tertentu.40

Definisi asuransi juga disebutkan dalam Pasal 1 poin 1 Undang-Undang


Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, yang
berbunyi sebagai berikut.

Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, di
mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung. dengan menerima
premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan. Atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti; atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan. 41

Dari definisi definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa asuransi adalah suatu
perjanjian antara pihak yang berkewajiban membayar iuran dan pihak yang
memberikan jaminan kepada pembayar iuran untuk masing masing bertanggung
jawab dalam perjanjian ini yaitu penanggung memberikan penggantian kepada
yang tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
mungkin akan terjadi karena suatu peristiwa tertentu.

39
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syari'ah, Konsep dan Sistem Operasional,
Gema Insani, Jakarta, 2004, hlm. 26.
40
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, PT
Pradnya Paramita, Jakarta, cetakan XV, 1985, hlm. 74.
41
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hlm. 270.
2. Asal Usul Asuransi

Apabila ditelusuri dari buku-buku klasik asuransi, asuransi konvensional


berasal dari kebiasaan masyarakat Babylonia (4000-3000 SM), yang dikenal
dengan Perjanjian Hammurabi, yang dikumpulkan oleh Raja Babylonia dalam 282
ketentuan (Code of Hammurabi) pada tahun 2250 SM. Perjanjian ini kemudian
berkembang menjadi praktik Perjanjian Bottomry (Bottomry Contract) sekitar
tahun 1600-1000 SM yang dipraktikkan di masyarakat Yunani. Praktik perjanjian
ini kemudian berkembang ke Roma, India, Italia, Eropa, dan Amerika. 42

Penelitian para ahli terhadap sejarah pertumbuhan asuransi banyak yang


menyoroti bahwa awal terbentuknya asuransi ditandai dengan praktik bottomry
contract. Bottomry contract adalah suatu cara pembiayaan perdagangan yang
mempunyai sifat khusus. Riwayatnya yaitu sekitar tahun 2.250 sebelum masehi
Bangsa Babylonia yang hidup di daerah Sungai Euphrat dan Tigris (sekarang
wilayah Irak). Pada waktu itu, pedagang atau pemilik kapal dapat mengambil
barang-barang dagangan untuk dijual ke tempat-tempat lain tanpa membayar
harga barang tersebut terlebih dahulu, namun mereka diwajibkan untuk
membayarnya kelak dengan pembayaran bunganya dan ditambah pula dengan
sejumlah uang sebagai imbalan atas risiko yang telah dipikul oleh pemberi barang.
Akan tetapi, jika ternyata barang-barang tersebut dirampok dalam perjalanan,
maka para pedagang akan dibebaskan dari kewajiban tersebut. Kontrak perjanjian
ini mirip dengan asuransi dalam bentuknya yang masih primitif. 43

Istilah asuransi mulanya dikenal di Eropa Barat pada abad pertengahan berupa
asuransi kebakaran. Kemudian, pada abad ke-13 dan ke-14 terjadi peningkatan
lalu lintas perhubungan laut antar pulau sehingga berkembang pula asuransi
pengangkutan laut yang berasal dari Romawi. Jenis asuransi ini merupakan jenis
asuransi kapitalis. Asuransi ini dibentuk untuk mendapatkan laba dan didasarkan
atas perhitungan niaga. Asuransi jiwa baru dikenal pada awal abad ke-19. Asal-
usul asuransi syariah berbeda dengan kemunculan asuransi konvensional seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya. Praktik bernuansa asuransi tumbuh dari budaya
suku Arab pada zaman Nabi Muhammad saw yang disebut aqilah. Al-Aqilah
mengandung pengertian saling memikul dan bertanggung jawab bagi keluarga.

Dalam kasus terbunuhnya seorang anggota keluarga, ahli waris korban akan
mendapatkan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh angota keluarga terdekat
dari si pembunuh yang disebut aqilah. Aqilah mengumpulkan dana secara
bergotong royong untuk membantu keluarga yang terlibat dalam perkara

42
M. Syakir Sula, op.cit., hlm. 296.
43
Otoritas Jasa Keuangan, Buku 4-Perasuransian, Jakarta, 2019, hlm. 24
pembunuhan yang tidak sengaja itu. Dalam satu kasus tentang aqilah ini, Nabi
Muhammad saw pernah bersabda seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra,
yang artinya adalah sebagai berikut. Dari Abu Hurairah ra: “Berselisih dua orang
wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu
kepada wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut
beserta janin yang dikandungnya. Ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut
mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah saw maka Rasulullah
memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin adalah dengan
membebaskan seorang budak laki-laki atau wanita. Dan kompensasi atas kematian
wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilah-nya
(kerabat dari orang tua laki-laki).’ (HR. Bukhari). Praktik aqilah ini pada zaman
Rasulullah saw tetap diterima oleh masyarakat Islam dan menjadi bagian dari
hukum Islam. Terdapat kemungkinan seseorang secara tidak sengaja mencelakai
orang lain hingga meninggal dunia. Kemudian, keluarga orang tersebut
mengumpulkan dana untuk digunakan sebagai kompensasi finansial kepada ahli
waris korban sehingga masalah kecelakaan ini dianggap selesai antar keluarga.
Prinsip aqilah memang didasarkan kepada kejadian tidak disengaja atau
kekeliruan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang sehingga yang lain
(aqilah) menanggung beban kompensasi terhadap ahli waris korban. Beban
kompensasi tidak ditanggung oleh si pembuat kekeliruan. Al-aqila adalah denda
sedangkan makna al’aqil adalah orang yang membayar denda. Beberapa ketentuan
sistem aqilah yang merupakan bagian dari asuransi sosial dituangkan oleh Nabi
Muhammad SAW dalam piagam Madinah yang merupakan konstitusi pertama di
dunia setelah hijrah ke Madinah. Pasal 3 Konstitusi Madinah menyebutkan bahwa
orang Quraisy yang melakukan perpindahan (ke Madinah) melakukan
pertanggungan bersama dan akan saling bekerja sama membayar uang darah di
antara mereka. Jika seorang anggota suku melakukan pembunuhan terhadap
anggota suku yang lain,
maka ahli waris korban akan memperoleh bayaran sejumlah uang darah sebagai
kompensasi oleh penutupan keluarga pembunuh, yang disebut sebagai aqilah. 44

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asal usul dari asuransi


konvensional dimulai dari kebiasaan masyarakat Babylonia (4000-3000 SM),
yang dikenal dengan Perjanjian Hammurabi, yang dikumpulkan oleh Raja
Babylonia dalam 282 ketentuan (Code of Hammurabi) pada tahun 2250 SM.
Perjanjian ini kemudian berkembang menjadi praktik Perjanjian Bottomry
(Bottomry Contract) sekitar tahun 1600-1000 SM yang dipraktikkan di
masyarakat Yunani. Sedangkan asuransi syariah dimulai dari budaya suku Arab

44
Novi Puspitasari, Sejarah dan Perkembangan Asuransi Islam Serta
Perbedaannya Dengan Asuransi Konvensional, Vol X No. 1 2011, hlm 36-37
pada zaman Nabi Muhammad saw yang disebut aqilah. Al-Aqilah mengandung
pengertian saling memikul dan bertanggung jawab bagi keluarga.

2.5 Premi, Resiko, dan Tanggungan

Di atas telah dikemukakan bahwa asuransi adalah suatu perjanjian antara dua
pihak atau lebih, di mana pihak pertama berkewajiban menyerahkan iuran yang
disebut premi, sedangkan pihak kedua berkewajiban memberikan jaminan dan
tanggungan apabila di kemudian hari terjadi kerugian, kerusakan, atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan.

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa dalam asuransi ada tiga hal yang
menjadi masalah pokok, yaitu:

1. Premi,

2. Risiko, dan

3. Tanggungan atau Jaminan.

1. Premi

Premi adalah bayaran asuransi atau harga sebagai jaminan penanggung asuransi
untuk bertanggung jawab." Dalam asuransi, premi mungkin juga mempunyai nilai
tanggungan untuk tambahan kepada anggota lain dalam masyarakat yang
mengalami kerugian, sehingga dengan demikian peserta (anggota) juga menjadi
penanggung. 45

Premi lazimnya berbentuk pembayaran sewa dengan uang dan diartikan sebagai
suatu harga yang harus dibayar cukup untuk risiko. Hanya saja kecukupan itu
semata-mata atas perhitungan penanggung asurans berdasarkan rata-rata risiko
dari berbagai pengalaman risiko yang sama. termasuk belanja urusan pejabat,
iuran-iuran lain, dan keuntungan. 46

Dalam asuransi kerugian, apabila sampai berakhirnya jangka waktu asuransi


tidak terjadi peristiwa yang merugikan, maka penanggung beruntung memiliki
dan menikmati premi yang telah diterimanya dari tertanggung. sedangkan
tertanggung sama sekali tidak menerima apa-apa. Artinya, premi yang telah
dibayarnya selama jangka waktu yang disepakati (yang telah Uitentukan) tidak
bisa diambil kembali olehnya (tertanggung). Sedangkan dalam asuransi jiwa,

45
Mohammad Muslehuddin, Asuransi dalam Islam, alih Bahasa Wardana, Bumi
Aksara, Jakarta, 1995, hlm. 32.
46
Ibid..
apabila sampai berakhirnya jangka waktu asuransi tidak terjadi peristiwa kematian
atau kecelakaan yang menimpa diri tertanggung. maka tertanggung akan
memperoleh pengembalian sejumlah uang dari penanggung. Premi yang telah
dibayar oleh tertanggung seolah-olah sebagai tabungan yang disimpan pada
penanggung. 47

Pasal 1. 29 UU no 40 Tahun 2014 menyatakan Premi adalah sejumlah uang


yang ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan reasuransi dan
disetujui oleh Pemegang Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian Asuransi
atau perjanjian reasuransi atau sejumlah uang yang dibayarkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasari program asuransi wajib
untuk memperoleh manfaat. Pasal 246 KUHD menyatakan bahwa asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian, dimana penanggung mengikat diri terhadap
tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan ganti rugi karena
suatu kehilangan kerusakan, atau tidak mendapat keuntungan yang diharapkan,
yang mungkin akan diderita akibat suatu peristiwa tidak pasti. Berdasarkan uraian
di atas, maka dapat dipahami bahwa premi asuransi merupakan syarat mutlak
untuk menentukan perjanjian asuransi di laksanakan atau tidak. Kriteria premi
asuransi adalah sebagai berikut :

a. Dalam Bentuk Sejumlah Uang;

b. Dibayar Terlebih Dahulu Oleh Tertanggung;

c. Sebagai Imbalan Pengalihan Risiko;

d. Dihitung Berdasarkan Presentase Terhadap Nilai Risiko Yang Dialihkan.

Dalam praktek bisanya Penanggung sudah menentukan syarat umum pembayaran


polis. 48

Pada BAB I Ketentuan Umum angka 29 UU Nomor 40 Tahun 2014 Tentang


Perasuransian disebutkan bahwa : Premi adalah sejumlah uang yang ditetapkan
oleh perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi dan disetujui oleh pemegang
polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian asuransi atau perjanjian reasuransi,
atau sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mendasari program asuransi wajib untuk memperoleh manfaat.
Premi adalah salah satu unsur yang penting dalam pertanggungan karena

47
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hlm. 13.
48
Dwi Tatak Subagiyo, Fries Melia Salviana, Hukum Asuransi, Surabaya: Revka
Petra Media, 2016, hlm. 26.
merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh tertanggung kepada penanggung.
Pertanggungan sebagai suatu perjanijian timbal balik, bersifat konsensuil artinya
sejak terjadinya kesepakatan timbullah hak dan kewajiban para pihak, tetapi baru
berjalan apabila hak dan kewajiban itu dilaksanakan. Ini berarti sejak dibayarna
premi oleh tertanggung, perjanjian pertanggungan itu berjalan. Karena itu premi
perlu dilunasi pada saat pertanggungan itu diadakan atau pada saat bahaya mulai
berjalan.49

2. Risiko

Risiko, sebagaimana dikemukakan oleh A. Hasymi Ali adalah ketidakpastian


mengenai kerugian. ( A. Hasyim Ali, Pengantar Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta,
2002, hlm. 22. ) Dalam kehidupan manusia banyak sekali bahaya yang
mengancam keselamatannya. Ancaman tersebut bisa mengenai kekayaan. gwa
dan raga manusia. Ancaman bahaya tersebut berlangsung sepanjang masa. Selama
manusia itu masih hidup, dan selama ia memiliki kekayaan, selama itu pula
ancaman bahaya akan terus berlangsung. Ancaman bahaya yang menyebabkan
timbulnya kerugian, tetapi belum pasti itulah yang dalam bukum asuransi disebut
risiko.50

Risiko yang tadinya menjadi beban bagi seseorang dapat dialihkan kepada
pihak lain yang bersedia mengambil alih dengan persyaratan tertentu. Pihak yang
bersedia mengambil alih ancaman bahaya tersebut adalah pihak yang memang
biasa menjalankan bisnis di bidang jasa perlindungan terhadap ncaman bahaya
atas kekayaan, badan dan jiwa orang. Apabila ancaman bahaya itu menjadi
kenyataan yang merugikan pemiliknya maka pihak tersebut akan bersedia
membayar ganti kerugian atau membayar uang santunan. Risiko ada yang bisa
diasuransikan dan ada pula yang tidak bisa. Agar risiko dapat diasuransikan maka
perlu dipenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:

a. Risiko dapat dinilai dengan uang.

b. Risiko harus berupa risiko murni, artinya hanya berpeluang menimbulkan


kerugian.

c. Kerugian timbul akibat bahaya/peristiwa yang tidak pasti.

d. Tertanggung harus memiliki insurable interest.

49
Abdul Kadir Muhammad, Pokok Pokok Hukum Pertanggungan, Alumni
Bandung, 1978, hlm. 28.
50
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hlm. 117.
e. Tidak dilarang undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum. 51

Resiko diartikan sebagai berikut :

a. ketidakpastian suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian ekonomis atau


keadaan yang memburuk,

b. ketidakpastian suatu peristiwa dalam waktu tertentu mengakibatkan kegagalan


dalam mencapai target yang sudah direncanakan,

c. jika resiko menimpa aset maka nilai ekonomis aset tersebut akan berkurang
bahkan hilang/lenyap.

Adapun karakteristik resiko terdapat beberapa macam antara lain :

1. pure risk (resiko murni), yaitu akibat suatu peristiwa hanya sekali yaitu
kerugian finansial,

2. speculative risk (resiko spekulatif), yaitu akibat suatu peristiwa terdapat dua hal
kerugian dan keuntungan. Tidak semua resiko dapat diasuransikan, hanya resiko
murni yang bisa diasuransikan. Resiko spekulatif tidak dapat diasuransikan.

3. dinamis risk (resiko dinamis) merupakan resiko yang terdapat dalam bisnis
yaitu antara lain ulah manusia (keamanan, kesehatan, lingkungan kerja), ulah
tehnologi (gagal membuat produk), ulah manajerial (perubahan selera konsumen),
ulah ekonomi (inflasi), ulah politik (terorisme).

4. Staties risk (resiko statis) merupakan juga resiko yang terdapat dalam bidang
bisnis yaitu terdapat beberapa sebab : manusia (sakit, cedera, perampokan), tehnis
(alat rusak), hukum (tanggung jawab produk) dan lingkungan (gempa bumi,
banjir, gunung meletus, sunami, air laut pasang). 52

Risiko adalah ketidaktentuan atau uncertainly yang mungkin melahirkan


kerugian.53

Karena itu kebutuhan akan jasa asuransi makin dirasakan baik perorangan
maupun dunia usaha. Asuransi merupakan sarana financial dalam tata kehidupan
rumah tangga, baik atas risiko yang mendasar seperti risiko kematian ataupun
risiko atas harta benda. Demikian juga pada dunia usaha dalam menjalankan

51
Ibid., hlm. 119.
52
Mashudi, Moh. Chidir Ali, Hukum Asuransi, hlm. 70
53
A. Abbas Salim, Dasar-dasar Asuransi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995,
hlm. 3.
kegiatannya dalam menghadapi berbagai risiko yang mungkin dapat mengganggu
kesinambungan usahanya. 54

Secara umum jenis-jenis risiko dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu:

1. Risiko financial dan non financial yang merupakan risiko keuangan dan yang
tidak menyangkut uang

2. Risiko Statis dan

3. Dinamis55

Risiko dinamis adalah risiko yang timbul dari perubahan dalam bidang ekonomi
seperti perubahan harga, selera konsumen, pendapatan dan teknologi yang dapat
mnimbulkan kerugian finansial pada masyarakat sehingga sulit untuk diprediksi,
sedangkan risiko statis tidak memberikan keuntungan kepada masyarakat dan
cenderung timbul secara teratur dalam jangka waktu tertentu sehingga pada
umumnya mudah diprediksi dan lebih sesuai untuk diasuransikan.56

3. Tanggungan atau Jaminan

Perjanjian asuransi biasa ditafsirkan sebagai perjanjian jaminan terhadap kerugian.


Apabila seseorang bersedia menerima pembayaran iuran atau premi dari
tertanggung maka sebagai imbalannya ia harus menanggung kerugian yang
menimpa tertanggung. Namun, tidak semua kerugian bisa diganti oleh
penanggung, Kriteria kerugian yang bisa diganti oleh penanggung adalah sebagai
berikut:

a. Kerugian berasal dari peristiwa yang tidak pasti.

b. Peristiwa tidak pasti tersebut ditanggung oleh penanggung.

c. Terdapat hubungan kausalitas antara peristiwa tidak pasti dengan kerugian.


57
d. Penggantian kerugian didasarkan kepada asas keseimbangan.

54
Herman Darmawi, Manajemen Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta, 2000, cetakan
1, hlm. 1.
55
Sri Rejeki Hartono, op.cit., hlm. 22.
56
Ibid., hlm. 88.
57
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, hlm. 544-546.
Pasal 253 ayat 1 KUHD mengatur bahwa asuransi yang melebihi nilai benda
atau kepentingan yang sesungguhnya hanya sampai pada nilai benda tersebut saja.
Sedangkan ayat 2 mengatur bahwa apabila suatu benda tidak diasuransikan
dengan nilai penuh, maka bila timbul kerugian, maka penanggung hanya
diwajibkan membayar ganti kerugian menurut perbandingan yang diasuransikan
dan yang tidak diasuransikan, meskipun hal tersebut dapat disimpangi dengan
adanya klausula Premier Risque, yaitu akan diganti sampai jumlah penuh
pertanggungan. Dalam hal ini Perusahaan Asuransi akan memberitahukan tentang
besarnya ganti kerugian yang akan diterima setelah Perusahaan Asuransi
meninjau lokasi kejadian untuk memperkirakan besarnya kerugian , selanjutnya
pembayaran ganti kerugian akan diberikan sesuai yang telah disepakati. 58

Secara yuridis, jaminan mengandung makna sebagai agunan (collateral) yang


mana jaminan ini sebagai upaya preventif dan untuk menjaga terhadap
kemungkinan kredit macet dengan tujuan pelunasan utang. Jaminan selalu berarti
alternatif terakhir dari sumber pelunasan kredit dalam hal kredit tidak dapat
dilunasi oleh nasabah debitur dari kegiatan usahanya karena kegiatan usahanya itu
mengalami kesulitan untuk menghasilkan uang. Mengenai nilai ekonomi suatu
benda yang dapat dijadikan jaminan, dalam hal suatu jaminan hutang yang baik
harus memenuhi segala persyaratan, salah satunya dipersyaratkan dengan cara
bahwa objek jaminan polis asuransi dapat dikategorikan sebagai benda yang bisa
dijaminkan hal ini dikarenakan dalam kedua syarat, yaitu dari legalitas polis
asuransi tersebut dan nilai ekonomi polis asuransi sehingga dapat dijadikan
sebagai suatu jaminan. Dalam hal ini yang berhak untuk melakukan pinjaman
kredit dengan polis asuransi hanya para nasabah dari suatu perusahaan asuransi
saja. Dengan demikian dapat dikatakan seseorang yang akan melakukan pinjaman
tersebut harus terlebih dahulu menjadi salah satu nasabah dari suatu perusahaan
asuransi. Lain halnya dengan perjanjian kredit pada bank yang tidak
mengharuskan seseorang harus menjadi nasabah bila akan melakukan pinjaman
kredit pada bank tersebut, pemberian pinjaman oleh perusahaan asuransi hanyalah
merupakan salah satu bentuk investasi bukan bisnis utama pada perusahaan
asuransi. Dengan kata lain misi utamanya adalah untuk mensejahterahkan
masyarakat asuransi tersebut kalaupun bisa menyalurkan dana dalam bentuk
jaminan polis hal ini tetap dalam memasyaratkan asuransi. 59

58
Mashudi, Moh. Chidir Ali, op.cit., hlm. 70.
59
Peter Mahmud, Metode Penelitian Umum, Jakarta, Prenada Media, 2016, hlm.
35
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa premi, resiko, dan tanggungan
dalam asuransi merupakan bagian penting yang harus dipahami dengan baik
ketika ingin melakukan kegiatan asuransi yang dimana ketiga hal ini saling
berkaitan yaitu premi atau iuran yang wajib dilakukan oleh pihak pertama
kemudian tanggungan atau jaminan yang wajib dilakukan pihak kedua dan resiko
yang tak kalah penting yang harus dipertimbangkan sebelum melakukan akad atau
perjanjian tersebut.

2.6 Pendapat Para Ulama Tentang Asuransi Konvensional

Secara garis besar para ulama terbagi kepada dua kelompok, yaitu elompok yang
mengharamkan dan kelompok yang membolehkan.

1. Kelompok yang Mengharamkan

Ulama pertama yang berbicara tentang asuransi adalah Muhammad Amin bin
Umar yang terkenal dengan sebutan Ibnu Abidin, seorang ulama Hanafiah. Dalam
kitabnya yang terkenal Hasyiyah Ibnu Abidin ia mengangkat kasus asuransi
keselamatan barang yang diangkut dengan kapal laut, dimana para pedagang
menyewa kapal dari seorang kafir harbi. Mereka di samping membayar upah
pengangkutannya juga membayar sejumlah uang untuk seorang harbi yang berada
di negeri asal penyewa kapal yang disebut "sukarah" atau premi asuransi, dengan
ketentuan apabila barang-barang yang diangkut itu musnah karena kebakaran,
atau bajak laut, atau kapalnya tenggelam maka penerima uang premi menjadi
penanggung, sebagai imbalan dari uang yang diambil dari para pedagang itu.
Menurut beliau (Ibnu Abidin) dalam kasus semacam itu para pedagang tidak
dibolehkan mengambil uang pengganti atas barang-barangnya yang musnah,
karena tindakan tersebut termasuk "mewajibkan sesuatu yang tidak
lazim/wajib”. 60

Syekh Muhammad al Ghazali, ulama dan tokoh hierarki dari Mesir dalam
kitabnya yang berjudul Islam dan Pokok Pokok Ajaran Sosialisme mengatakan
bahwa asuransi adalah haram karena mengandung riba. Riba dalam pengelolaan
dana asuransi dan pengembalian premi yang disertai bunga ketika waktu
perjanjian habis.61

60
M. Syakir Sula, op.cit., hlm. 59.
61
Ahmad Rodoni, Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, Cet 1, Zikri
Hakim, Jakarta, 2008, hlm. 101.
Prof, Dr, Wahbah Az-Zuhaili, Ulama Ahli Fiqih Guru Besar Universitas
Damaskus Syiria. Az-Zuhaili dalam kitab fiqihnya yang sangat mashur Al- piqih
Alislam Wa’Adilatuhu mengatakan bahwa pada hakikatnya akad asuransi
termasuk dalam aqad gharar yaitu akad yang tidak jelas tentang ada tidaknya
sesuatu yang di akadkan. 62

Berdasarkan pendapat pendapat diatas yang mengharamkan asuransi dapat


disimpulkan bahwa mereka tidak membolehkan bahkan mengharamkan kegiatan
asuransi konvensional karena tata cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan
syariah seperti salah satu contohnya dalam asuransi konvensional mengandung
unsur riba yang diharamkan dalam Islam.

2. Kelompok yang Membolehkan

Syaikh Abdurrahman Isa, Guru Besar Universitas Al-Azhar, menyatakan


bahwa asuransi merupakan bentuk muamalah gaya baru yang belum dijumpai
pada masa Imam-Imam mazhab dan para sahabat Nabi. Muamalah ini
menghasilkan kemaslahatan ekonomi yang banyak. Para ulama menetapkan
bahwa kepentingan umum yang selaras dengan hukum syara' patut diamalkan.
Oleh karena asuransi menyangkut kepentingan umum, maka hukumnya mubah
menurut syara' bahkan dianjurkan. Disamping itu menurut Syaikh Abdurrahman
Isa, dalam perjanjian asuransi, kedua belah pihak, yaitu penanggung dan
tertanggung saling mengikat dalam perbuatan natas dasar saling meridhai.
Kegiatan asuransi merupakan perbuatan yang melayani kepentingan umum,
memelihara harta milik orang-orang, dan menolak risiko harta benda yang
terancam bahaya. Sebaliknya, pihak asuransi memperoleh laba yang memadai,
yang disepakati oleh kedua belah pihak. Dengan demikian, asuransi hukumnya
mubah menurut syara’.63

62
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah,Jakarta, Gema Insani, 2004, Cet 1,
hlm. 58.
63
Abdurrahman ‘Isa, Al- Muamalat Al- Haditsah wa Ahkamuha, Cet 1, hlm. 89-
91.
Syekh Abdul Wahab Khallaf, Guru besar Hukum Islam Universitas Kairo.
Beliau mengatakan bahwa asuransi boleh sebab termasuk akad mudharabah dalam
syariat Islam ialah perjanjian persekutuan dalam keuntungan, dengan modal yang
diberikan oleh satu pihak dan dengan tenaga di pihak lain. Demikian pula dalam
asuransi, orang yang berkongsi (nasabah), memberikan hartanya dengan jalan
membayar premi, sementara dari pihak lain (perusahaan asuransi) memutarkan
harta tadi, sehingga menghasilkan keuntungan timbal balik, baik bagi para
nasabah maupun bagi perusahaan, sesuai dengan perjanjian mereka. 64

Syaikh Muhammad Dasuki dalam kitabnya Majimaul bukhut Al-Islamiyah


mengatakan bahwa asuransi itu hukumnya halal karena beberapa hal:
* Asuransi sama dengan syirkah mudharabah.

* Asuransi sama dengan akad kafalah atau syirkah ainan.

* Pelaksanaan asuransi dapat didasarkan atas firman Allah 65

Berdasarkan pendapat pendapat diatas yang membolehkan asuransi dapat


disimpulkan bahwa dalam tata cara pelaksanaan asuransi syariah dan konvensinal
itu berbeda yang dimana tata cara pelaksanaan asuransi syariah sudah sesuai dan
tidak melanggar syariat jadi mereka membolehkan pelaksanaan asuransi syariah
bukan konvensional.

2.7 Asuransi Syariah

1. Pengertian Asuransi Syariah

Di dalam referensi hukum Islam, asuransi syariah disebut dengan istilah


tadhamun, takaful, dan at-ta'min. Kata tadhamun, takaful, dan at-ta'min atau
asuransi syariah diartikan dengan "saling menanggung atau tanggung jawab
sosial" Menurut Mushthafa Ahmad Az-Zarqa yang dikutip oleh M. Syakir Sula,
makna asuransi adalah kejadian. Adapun metodologi dan gambarannya dapat
berbeda-beda, namun pada intinya, asuransi adalah cara atau metode untuk
memelihara manusia dalam menghindari risiko (ancaman) bahaya yang beragam
yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya atau
dalam aktivitas ekonominya. 66

64
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah, Cet 1, Gema Insani, Jakarta, 2004,
hlm 72
65
Ibid., hlm. 74
66
Muhammad Syakir Sula, op.cit., hlm. 28-29.
Dalam ensiklopedia hukum Islam disebut bahwa asuransi adalah transaksi
perjanjian antara dua pihak, pihak pertama berkewajiban membayar iuran dan
pihak lain berkewajiban menerima iuran, jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak
sesuai dengan perjanjian yang dibuat.67

According to Kabir Hasan, Takāful (Islamic Insurance) is an alternative to


conventional financial insurance. Participants will pay a certain amount of money
as a donation and part of their savings (special account for participants), with the
concept name Tabarru' (donation) which is then reported to the insurance
company. ( Menurut Kabir Hasan, et.al, Takāful (Asuransi Islami) merupakan
alternative terhadap asuransi keuangan konvensional. Peserta akan membayar
sejumlah uang tertentu sebagai sumbangan dan sebagian tabungan (akun khusus
peserta), dengan nama konsep Tabarru’ (sumbangan) yang selanjutnya diberitakan
kepada perusahaan asuransi ).68

Dari definisi definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa asuransi syariah adalah
usaha atau kegiatan tolong menolong yang dilakukan melalui pengumpulan dan
pengelolaan dana tabarru’ dan memberikan pola pengembalian untuk menghadapi
risiko tertentu sehingga pelaksanaannya tidak melanggar syariat.

2. Pedoman Umum Asuransi Syariah

Pedoman umum asuransi Syariah di Indonesia ditetapkan oleh Majelis Ulama


Indonesia melalui Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 21/DSN MUI/X/2001
tertanggal 17 Oktober 2001. Isi Keputusan tentang fatwa DSN MUI tersebut
adalah sebagai berikut.

Pertama:Ketentuan Umum

a. Asuransi Syariah (Tamin, Takaful, atau Tadhamun) adalah usaha saling


melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi
dalam bentuk aset dan/atau tabarru' yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan Syariah.

b. Akad yang sesuai dengan Syariah yang dimaksud pada poin (1) adalah akad
yang tidak mengandung gharar (ketidakjelasan), maisir (perjudian), riba, zhulm
(peng aniayaan), risywah (suap), barang haram, dan maksiat.

c. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.

67
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta, 1996, hlm. 138
68
Wakhed Akhter, Risk Management In Takaful, MPRA Paper, NO. 40005, 2007,
hlm. 2
d. Akad tabarru' adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan
kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.

e. Premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejumlah dana


kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

f. Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan
asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

Kedua: Akad dalam Asuransi

a. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah
dan akad tabarru'.

b. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan
akad tabarru' adalah hibah.

c. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan:

* Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan;

* Cara dan waktu pembayaran premi;

* Jenis akad tijarah dan/atau akad tabarru' serta syarat-syarat yang disepakati,
sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

Ketiga: Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah dan Tabarru’

a. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib


(pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mål (pemegang polis).

b. Dalam akad tabarru' (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan
untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan
bertindak sebagai pengelola dana hibah.

Keempat: Ketentuan dalam Akad Tijarah dan Tabarru’

a. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru, Klaim atas apabila
pihak yang tertahan haknya dengan rela melepas kan haknya, sehingga
menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.

b. Jenis akad tabarru' tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.
Kelima: Jenis Asuransi dan Akadnya

a. Dipandang dari segi jenis, asuransi terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi
jiwa.

b. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan
hibah.

Keenam: Premi

a. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru".

b. Untuk menentukan besarnya premi, perusahaan asuransi syariah dapat


menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel
morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba
dalam penghitungannya.

c. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil
investasinya dibagihasilkan kepada peserta.

d. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru dapat diinvestasikan.

Ketujuh: Klaim

a. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.

b. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.

c. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta dan merupakan
kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.

e. Klaim atas akad tabarru' merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban
perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.

Kedelapan: Investasi

a. Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang
terkumpul.

b. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan Syariah.

Kesembilan: Reasuransi

Asuransi Syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi


yang berlandaskan prinsip Syariah.
Kesepuluh: Pengelolaan

a. Pengelolaan asuransi Syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang
berfungsi sebagai pemegang amanah.

b. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana


yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).

c. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana


akad tabarru' (hibah). 69

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL NO: 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang


PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARI’AH

Pertama : Ketentuan Umum

a. Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling


melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi
dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

b. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang
tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm
(penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.

c. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.

d. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan
kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.

e. Premi adalah kewajiban peserta Asuransi untuk memberikan sejumlah dana


kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

f. Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan
asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

Kedua : Akad dalam Asuransi

a. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah
dan / atau akad tabarru'.

b. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan
akad tabarru’ adalah hibah.

69
H.M. Ichwan Sam, et.al., op.cit., hlm 127-130
c. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :

* Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan;

* Cara dan waktu pembayaran premi;

* Jenis akad tijarah dan / atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati,
sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

Ketiga : Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’

a. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib


(pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis);

b. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan
untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan
bertindak sebagai pengelola dana hibah.

Keempat : Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’

a. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru' bila pihak yang
tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan
kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.

b. Jenis akad tabarru' tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.

Kelima : Jenis Asuransi dan Akadnya

a. Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi
jiwa.

b. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan
hibah.

Keenam : Premi

a. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru'.

b. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat


menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel
morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba
dalam penghitungannya.

c. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil
investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
d. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru' dapat diinvestasikan.

Ketujuh : Klaim

a. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.

b. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.

c. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan
kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.

d. Klaim atas akad tabarru', merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban
perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.

Kedelapan : Investasi

a. Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang
terkumpul.

b. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.

Kesembilan : Reasuransi

Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi


yang berlandaskan prinsip syari'ah.

Kesepuluh : Pengelolaan

a. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang
berfungsi sebagai pemegang amanah.

b. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana


yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).

c. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana


akad tabarru’ (hibah).

Kesebelas : Ketentuan Tambahan

a. Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS.

b. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
c. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya. 70

Berdasarkan FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL NO: 21/DSN-


MUI/X/2001 Tentang PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARI’AH

Pertama : Ketentuan Umum

a. Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling


melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi
dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

b. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang
tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm
(penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.

c. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.

d. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan
kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.

e. Premi adalah kewajiban peserta Asuransi untuk memberikan sejumlah dana


kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

f. Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan
asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

Kedua : Akad dalam Asuransi

a. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah
dan / atau akad tabarru'.

b. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan
akad tabarru’ adalah hibah.

c. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :

* Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan;

* Cara dan waktu pembayaran premi;

70
Putusan Dewan Syari'ah Nasional Mui, Fatwa Dewan Syari'ah Nasional NO:
21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah, hlm 5-7.
* Jenis akad tijarah dan / atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati,
sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

Ketiga : Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’

a. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib


(pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis);

b. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan
untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan
bertindak sebagai pengelola dana hibah.

Keempat : Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’

a. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru' bila pihak yang
tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan
kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.

b. Jenis akad tabarru' tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.

Kelima : Jenis Asuransi dan Akadnya

a. Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi
jiwa.

b. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan
hibah.

Keenam : Premi

a. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru'.

b. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat


menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel
morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba
dalam penghitungannya.

c. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil
investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.

d. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru' dapat diinvestasikan.


Ketujuh : Klaim

a. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.

b. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.

c. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan
kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.

d. Klaim atas akad tabarru', merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban
perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.

Kedelapan : Investasi

a. Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang
terkumpul.

b. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.

Kesembilan : Reasuransi

Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi


yang berlandaskan prinsip syari'ah.

Kesepuluh : Pengelolaan

a. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang
berfungsi sebagai pemegang amanah.

b. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana


yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).

c. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana


akad tabarru’ (hibah).

Kesebelas : Ketentuan Tambahan

a. Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS.

b. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
c. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya. 71

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari ketiga sumber yang


dicantumkan diatas Pedoman umum asuransi Syariah di Indonesia ditetapkan oleh
Majelis Ulama Indonesia melalui Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor:
21/DSN MUI/X/2001 tertanggal 17 Oktober 2001. Yang dimana aturan tersebut
berlaku dan harus dipenuhi baik perusahaan asuransi maupun masyarakat Islam
yang menjadi peserta asuransi agar pelaksanaannya sesuai dengan syariat Islam.
Salah satu contoh pelaksanaannya yaitu Akad tabarru dalam asuransi syariah
adalah peserta asuransi memberikan hibah berupa kontribusi atau yang disebut
premi asuransi syariah melalui dana tabarru. Dana tersebut akan digunakan untuk
menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan asuransi
sebagai pengelola dana hibah.

2.8 Perbedaan Antara Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional

1. Dari Segi Konsep

Konsep asuransi syariah adalah suatu konsep yang di dalamnya di kembangkan


sikap saling tolong-menolong dan memikul risiko di antara sesama peserta.
Dengan demikian, peserta satu menjadi penanggung atas peserta lainnya dalam
risiko yang muncul. Saling pikul risiko ini dilakukan dengan cara masing-masing
peserta mengeluarkan dana tabarru' atau dana kebajikan yang ditujukan untuk
menanggung risiko.72

Konsep tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, menjadikan semua


peserta asuransi syariah dalam suatu keluarga besar untuk melindungi dan
menanggung risiko keuangan yang terjadi di antara mereka. Konsep takaful yang
merupakan dasar dari asuransi syariah ditegakkan di atas tiga prinsip dasar, yaitu:

* Saling bertanggung jawab,

* Saling bekerja sama dan saling membantu, dan

* Saling melindungi. 73

71
Sun Life Syariah, Pedoman Umum Asuransi Syariah, Artikel, https://www.sunlife-
syariah.com/pedoman-umum-asuransi-syariah/
72
Muhammad Syakir Sula, op.cit., hlm 293.
73
Ibid., hlm. 293-294.
Dalam asuransi konvensional, usaha asuransi merupakan usaha di bidang jasa
keuangan yang menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi
asuransi, untuk memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai
jasa asuransi terhadap kemungkinan timbul nya kerugian karena suatu peristiwa
yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang. Dengan
demikian, perjanjian asuransi dalam asuransi konvensional menyangkut suatu hal
yang belum pasti terjadi. Dan apabila sesuatu tersebut nyata terjadi, maka tidak
serta merta menimbulkan kewajiban bagi penanggung untuk memberikan ganti
rugi, apabila syarat syarat yang diperjanjikan tidak dipenuhi oleh tertanggung. 74

2. Dari Segi Sumber Hukum

Sumber hukum asuransi syariah adalah syariat Islam yang berlandaskan


Alquran, sunnah, ijma, dan qiyas. Di samping itu, terdapat sumber hukum lain
yang mukhtalaf, yaitu fatwa sahabat, istihsân, 'urf, dan maslahah mursalah.
Sedangkan sumber hukum asuransi konvensional adalah pikiran manusia dan
kebudayaan. Modus operandi pada asuransi konvensional didasarkan kepada
hukum positif, hukum alami, dan contoh sebelumnya. 75

3. Dari Segi Hubungan dengan Maisir, Gharar, dan Riba

Asuransi syariah, baik asuransi jiwa maupun asuransi kerugian telah terbebas
dari hal-hal yang diharamkan oleh agama, yaitu bersih dari adanya "maghrib"
(maisir, gharar, dan riba). Hal tersebut dapat dilihat dalam system operasional
yang dilakukan, di mana dalam mekanisme pengelolaan dana dipisahkan antara
rekening dana peserta yang menggunakan akad tijarah (mudharabah) dengan
rekening dana tabarru'. Untuk pengganti riba dalam pengelolaan dana digunakan
akad mudharabah, wadi'ah, dan lain-lain. Sedangkan asuransi konvensional dalam
kegiatannya tidak lepas dari maisir (judi), gharar, dan riba. Unsur judi terlihat
dalam harapan tertanggung untuk menerima harta jaminan atau tanggungan yang
melebihi jumlah pembayaran preminya. Unsur gharar terlihat dalam adanya
ketidakjelasan perhitungan uang yang akan diberikan, karena hal tersebut sangat
tergantung kepada perkembangan saat tanggungan itu harus dibayarkan oleh
penanggung. 76

74
Ibid., hlm. 294-295.
75
Ibid., hlm. 296-297.
76
Ibid., hlm. 298-299.
4. Dari Segi Akad (Perjanjian)

Akad yang digunakan dalam asuransi syariah adalah akad tijarah dan atau akad
tabarru' (hibah). Akad tijarah yang dimaksud di sini adalah semua bentuk akad
yang dilakukan untuk tujuan komersial, seperti mudharabah, wadi'ah, wakalah,
dan sebagainya. Sedangkan akad tabarru' adalah semua bentuk akad yang
dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong-menolong, bukan untuk tujuan
komersial. Dalam asuransi konvensional, akad yang digunakan adalah akad
mu'awadhah, yaitu suatu akad di mana pihak yang memberikan sesuatu kepada
pihak lain berhak menerima penggantian dari pihak yang diberinya. Hal ini
berbeda dengan akad tabarru', karena dalam akad tabarru' si pemberi dengan
ikhlas memberi sesuatu tanpa ada keinginan untuk menerima apa pun dari pihak
yang menerima, kecuali kebaikan dari Allah. Disebut akad mu'awadhah, karena
masing-masing dari kedua pihak yang berakad, yakni penanggung dan
tertanggung memperoleh pengganti dari apa yang telah diberikannya. Penanggung
memperoleh premi asuransi sebagai pengganti dari uang pertanggungan yang
dijanjikan pembayarannya. Sedangkan tertanggung memperoleh uang
pertanggungan, jika terjadi peristiwa atau bencana, sebagai pengganti dari premi-
premi yang telah dibayarkannya.77

5. Dari Segi Tanggungan Risiko

Mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk (saling


menanggung risiko). Apabila terjadi musibah, semua peserta asuransi wyariah
saling menanggung satu sama lain. Dengan demikian, dalam asuransi yariah tidak
terjadi transfer risiko dari peserta ke perusahaan, karena dalam Praktiknya,
kontribusi (premi) yang dibayarkan oleh peserta, status kepemilikannya tetap
melekat pada peserta sebagai shahibul mål. Sedangkan dalam asuransi
konvensional, mekanisme pertanggungannya adalah transfer of risk
(memindahkan risiko), yakni memindahkan risiko dari individu kepada
perusahaan. Dan itulah pada hakikatnya tujuan asuransi dalam asuransi
konvensional.78

6. Dari Segi Pengelolaan Dana

Mekanisme pengelolaan dana dalam asuransi syariah berbeda dengan asuransi


konvensional. Pada asuransi syariah, untuk produk-produk yang mengandung
unsur tabungan, dana yang dibayarkan oleh peserta langsung dibagi dalam dua
rekening, yaitu rekening peserta dan rekening tabarru Kemudian total dana

77
Ibid., hlm. 301.
78
Ibid., hlm. 303-304.
diinvestasikan, dan hasil investasi khususnya dana tijarah (mudharabah) dibagi
secara proporsional antara peserta dengan perusahaan (pengelola), berdasarkan
skim bagi hasil yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan untuk dana tabarru'
yang diinvestasikan, tidak ada bagi hasil baik untuk peserta maupun perusahaan.
Perusahaan hanya memperoleh fee sebagai imbalan atas pengelolaan dana
tersebut.

Adapun mekanisme pengelolaan dana pada asuransi konvensional, tidak ada


pemisahan antara dana peserta dengan dana tabarru'. Semua dana bercampur
menjadi satu dan status dana tersebut adalah dana perusahaan Perusahaan bebas
mengelola dan menginvestasikan dana tersebut ke mana saja tanpa ada
pembatasan halal atau haram. 79

7. Dari Segi Investasi Dana

Dalam asurani syariah, investasi dana-dana yang terkumpul dari para peserta
hanya dibenarkan melalui instrumen yang menggunakan akad yang sesuai dengan
syariat Islam. Oleh karena itu, asuransi syariah dalam menginvestasikan dananya
hanya kepada Bank-Bank Syariah, BPRS, Obligasi Syariah, Pasar Modal Syariah,
Leasing Syariah, Pegadaian Syariah, dan instrumen bisnis lainnya yang menganut
sistem syariah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, baik menurut Peraturan
Pemerintah maupun Keputusan Menteri Keuangan, investasi yang dilakukan
didasarkan kepada sistem bunga. Sementara (riba) termasuk transaksi yang
dilarang dalam syariat Islam. Karena di asuransi konvensional tidak ada Dewan
Pengawas Syariah (DPS), maka perusahaan bebas melakukan investasi tanpa ada
pembatasan halal atau haram. 80

8. Dari Segi Kepemilikan Dana

Dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk juran
atau kontribusi merupakan milik peserta (shahibul mâl), sementara asuransi
syariah hanya sebagai pemegang amanah (mudharib) yang mengelola dana. Dana
tersebut, kecuali dana tabarru', dapat diambil kapan pun, dan selama belum
dikembalikan tidak terkena bunga atau biaya apa pun. Sedangkan dalam asuransi
konvensional, seluruh dana yang terkumpul menjadi milik perusahaan. Karena
dana tersebut milik perusahaan, maka perusahaan bebas menggunakan dan
menginvestasikannya ke mana saja. Dana tersebut dapat dipinjam oleh peserta

79
Ibid., hlm. 304-305.
80
Ibid., hlm. 307-308. )
hanya setelah ada nilai tunai, dan selama masa pinjaman peserta dikenakan bunga
sesuai bunga yang berlaku di pasaran. 81

9. Dari Segi Premi

Premi pada asuransi syariah terdiri atas unsur tabarru' dan tabungan (untuk
Asuransi jiwa), dan unsur tabarru saja (untuk suransi kerugian). Unsur tabarru
pada asuransi jiwa, perhitungannya diambil dari tabel mortalitas (harapan hidup),
tanpa perhitungan bunga teknik, yang besarnya tergantung sia dan masa
perjanjian. Sedangkan pada asuransi konvensional, unsur Premi terdiri atas tabel
mortalitas, bunga, dan biaya-biaya asuransi. 82

Tabel mortalitas adalah suatu daftar tabel kematian yang digunakan untuk
mengetahui besarnya klaim kemungkinan timbulnya kerugian yang ebabkan
karena kematian, dan meramalkan berapa lama batas waktu (umur) rata-rata
sesorang bisa hidup. Bunga merupakan sebagian dari keuntungan perusahaan.
Oleh karena itu, dalam menentukan besarnya premi, unsur bunga harus dihitung.
Demikian pula biaya-biaya asuransi harus dikalkulasi ketika perusahaan akan
menentukan premi. 83

10. Dari Segi Kontribusi Biaya

Dalam asuransi syariah (jiwa), tidak ada pembebanan biaya yang dipotong dari
iuran dana peserta (premi). Hal tersebut dikarenakan menurut sebagian praktisi
asuransi syariah, pembebanan biaya pada premi, sebagaimana yang berlaku dalam
asuransi konvensional, tidak adil, karena sebagian besar peserta tidak mengetahui
pembebanan tersebut, yang kadang-kadang harus menggunakan premi pada tahun
kedua. Biasanya peserta baru mengetahui ketika ia mengundurkan diri pada tahun
pertama atau kedua dan ternyata dananya hangus atau belum punya nilai tunai.

Dalam asuransi konvensional jenis asuransi jiwa, kontribusi biaya sudah


tercakup dalam premi peserta, dan biasanya premi tahun pertama dan kedua habis
terserap untuk biaya kontribusi, terutama untuk komisi agen. Oleh karena itu,
agen dan broker cukup termakmurkan dalam asuransi konvensional. Akan tetapi
pada sisi lain, peserta merasa tidak diperlakukan secara adil, terutama ketika ia
mengundurkan diri di tahun pertama dan kedua, di mana dana peserta hangus

81
Ibid., hlm. 310.
82
Ibid., hlm. 311-312.
83
Ibid., hlm. 312-313.
karena belum memiliki nilai tunai, atau kalaupun ada, masih sangat kecil
dibandingkan dengan premi yang telah dibayarkan selama dua tahun.84

11. Dari Segi Sumber Pembayaran Klaim

Dalam asuransi syariah, sumber pembayaran klaim diperoleh dari rekening


tabarru', yaitu rekening dana tolong-menolong dari seluruh peserta yang sejak
awal sudah diakadkan dengan ikhlas oleh mereka untuk keperluan saudara-
saudaranya, apabila ada yang meninggal dunia atau mendapat musibah kerugian
materi, kecelakaan dan sebagainya. Sedangkan pada asuransi konvensional,
sumber pembayaran klaim berasal dari rekening perusahaan, yang sifatnya murni
bisnis, dan tidak ada nuansa spiritual yang nelandasinya. Klaim yang dibayarkan
perusahaan adalah bagian dari Lewajiban timbal balik yang diatur dalam
perjanjian asuransi, yaitu peserta berkewajiban membayar premi sebagai
tertanggung dan perusahaan berkewajiban untuk membayar klaim sebagai
penanggung, apabila peserta mengalami musibah atau telah jatuh tempo.85

12. Dari Segi Keuntungan (Profit)

Dalam asuransi syariah, profit (laba) untuk asuransi kerugian, yang diperoleh
dari surplus underwriting, komisi reasuransi dan hasil investasi, bukan daruhnya
menjadi milik perusahaan, melainkan dilakukan bagi hasil antara perusahaan
dengan peserta, sebagaimana yang telah diakadkan di awal ketika baru masuk
asuransi syariah. Demikian pula dalam asuransi jiwa, profit dari hasil investasi
dilakukan bagi hasil (mudharabah) yang besar nisbahnya devaluasi setiap periode
tertentu, sesuai dengan keuntungan dan kerugian ang dialami oleh perusahaan.

Pada asuransi konvensional, keuntungan yang diperoleh dari surplus


underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi, dalam satu tahun (untuk
maransi kerugian) adalah keuntungan perusahaan, dan menjadi milik perusahaan,
yang dalam RUPS akhir tahun dibagikan kepada pemegang aham atau
dikembalikan lagi ke perusahaan sebagai penyertaan modal. Demikian pula dalam
asuransi jiwa, semua hasil investasi menjadi milik perusahaan dan dibagikan
kepada pemegang saham atau dikembalikan lagi kepada perusahaan dalam bentuk
penyertaan modal. 86

84
Ibid., hlm. 313-314.
85
Ibid., hlm. 315-316.
86
Ibid., hlm. 319.
Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan
mendasar dalam beberapa hal.

1. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolongmenolong). Dimana


nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan.
Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah
dengan perusahaan).

2. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi)


diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah).
Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang
sektor dengan sistem bunga.

3. Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah.


Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan
pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah
yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana
tersebut.

4. Bila ada peserta yang terkena musibah, untuk pembayaran klaim nasabah dana
diambilkan dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah
diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong. Sedangkan dalam asuransi
konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.

5. Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan
perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam
asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika
tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.

6. Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah yang


merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen,
produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam.
Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian. 87

Hasil kajian para cendikiawan muslim dan pakar ekonomi mengenai takaful dan
asuransi konvensional antara lain mengemukan perbedaan antara takaful dan
asuransi konvensional, yaitu sebagai berikut:

1. Operasional asuransi takaful berasaskan ajaran Islam, seperti menghilangkan


unsur-unsur yang diharamkan. Sedangkan asuransi konvensional tidak berasaskan

87
Ahmat Sarwat, Fiqih Muamalat, hlm 186-187.
syariat sehingga operasionalnya perusahaan tidak dapat terhindar dari unsur yang
dilarang oleh Islam, seperti unsur al-gharar, al-maisir dan al-riba.

2. Dari sudut kontrak, kontrak takaful adalah didasari atas prinsip al-takaful dan
al-mudharabah, sedangkan kontrak asuransi konvensional adalah sebuah kontrak
berdasarkan kepada perniagaan atau jual beli semata.

3. Takaful mengamalkan prinsip saling jamin-menjamin, kerjasama dan saling


bantu-membantu berlandaskan konsep tabarru’ di antara para peserta, sedangkan
asuransi konvensional tidak ada pengamalan tabarru’ hanya perjanjian ganti
kerugian oleh perusahaan asuransi.

4. Peserta takaful akan mendapat dua keuntungan yaitu keuntungan investasi dan
bantuan manfaat keuangan, sedangkan peserta asuransi konvensional hanya
mendapat satu keuntungan yaitu uang pengganti.

5. Takaful memiliki Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi untuk mengawasi


skim dan pelaburan dana wang yang diperoleh, sedangkan asuransi konvensional
tidak memiliki dewan ini.

6. Dalam takaful investasi dana berasaskan kepada sistem bagi hasil (al-
Mudharabah), sedangkan dalam asuransi konvensional pelaburan dana berasaskan
bunga (interest).

7. Dana yang terkumpul (premi) merupakan milik peserta dalam perusahaan


takaful. Sedangkan dalam asuransi konvensional dana yang terkumpul dari peserta
adalah menjadi milik perusahaan asuransi.

8. Dalam takaful uang yang diberikan kepada peserta berasal dari dana tabarru’,
sedangkan dalam asuransi konvensional dana yang diambil adalah berasal dari
uang milik perusahaan asuransi.

9. Keuntungan yang diterima oleh perusahaan takaful akan dibagikan kepada


peserta sesuai dengan perjanjian akad almudharabah, sedangkan dalam asuransi
konvensional seluruh keuntungan menjadi milik perusahaan asuransi. 88

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari ketiga sumber yang


dicantumkan diatas sudah sangat jelas perbedaan antara asuransi syariah dan
asuransi konvensional yang dimana intinya adalah asuransi syariah menggunakan
konsep saling tolong menolong dan memikul resiko bersama sama sehingga tidak
ada pihak yang dirugikan dan diperbolehkan oleh syariat. Sedangkan dalam

88
Nurul Ichsan, Antara Asuransi Konvensional dengan Takaful, Jurnal Kordinat,
Vol.8.no.2, KOPERTAIS Wil.1 DKI 2007, hlm.161-162
asuransi konvensional, kegiatan asuransi merupakan usaha dibidang jasa
keuangan yang menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi
asuransi, untuk memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai
jasa asuransi terhadap kemungkinan timbul nya kerugian karena suatu peristiwa
yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang. Dengan
demikian, perjanjian asuransi dalam asuransi konvensional menyangkut suatu hal
yang belum pasti terjadi (mengandung gharar) selain itu dalam asuransi
konvensional menggunakan bunga (mengandung riba) sehingga hal tersebut
dilarang dalam Islam.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Muamalah adalah ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan hubungan


sosial antara ummat Islam dalam konteks hubungan ekonomi dan jasa, seperti jual
beli, sewa menyewa dan gadai dalam kajian ilmu fiqh. Berkenaan dengan
pengertian di atas, usaha perbankan dan asuransi merupakan bagian dari kajian
muamalah. Seiring dengan perkembangan jaman dan peradaban manusia, yang
satu dengan yang lain tak bisa dipisahkan, bahkan kehidupan dan kemakmuran
orang lain dipengaruhi oleh orang sekelilingnya. Cara-cara muamalahpun semakin
berkembang.
Bank, contohnya. Wadah ini secara sederhana bukan hanya sebagai tempat
menyimpan uang, tapi juga sebagai lembaga yang dapat memberikan pinjaman,
tentu menyimpan dan meminjam punya keuntungan.Namun apabila dicermati
Bank termasuk lembaga yang lebih banyak dapat keuntungan dari pada
nasabahnya, bahkan nasabah cendrung menjadi asset yang empuk untuk
mendatangkan keuntungan, inilah gambaran bank konvensional. Islam
memberikan alternative agar pihak bank dan nasabah sama sama mendapat
keuntungan. Hadirnya Bank syariah untuk menjawab persoalan tersebut.
Disisi lain asuransi menjadi tren modern untuk menjamin keperluan pribadi
dan keluarga, perusahaan dll. Tujuan asuransi adalah untuk mengadakan persiapan
dalam menghadapi kemungkinan kesulitan yang dihadapi oleh manusia dalam
kehidupan, seperti dalam kegiatan perdagangan dan lainnya. Maka Islam hadir
hadir untuk mengawali dan menjaga agar jalannya sesuai dengan harapan Allah
dan Rasulnya.
REVISI
Definisi Bank dalam Bahasa Inggris
Islamic Banking is banks which operate courses of business based on Islamic
principles. It is a contract rule based on Islamic law between a bank party and
other party in saving fund and other work payment which is in line with sharia. 89
Slowly but sure, Islamic banking has satisfied demand of sociesty who wish for
sharia based banking which prohibits usury, speculative and non productive
activity and violation of principles of justice in transaction, and which obligates
the distribution of payment and investement to the ethical and legal course of
business.
Perbedaan Bank dan Asuransi Konvensional
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perbankan, pengertian bank adalah “Badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak”.

Tujuan bank konvensional adalah menghimpun dana dari masyarakat. Peran ini
dilakukan dengan membuka berbagai produk simpanan seperti tabungan, giro,
deposito, atau bentuk simpanan lain, bank. Penyediaan berbagai produk tersebut,
diharapkan masyarakat memiliki tempat penyimpanan uang yang lebih aman dan
terpercaya.

Di Indonesia, definisi asuransi telah ditetapkan dalam Kitab Undang Undang


Hukum Dagang Pasal 246 yang berbunyi sebagai berikut. Asuransi atau
pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi,
untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena
suatu peristiwa yang tak tertentu.

Tujuan utama asuransi dari perusahaan asuransi konvensional adalah murni


bisnis. Seperti kebanyakan bisnis lain tujuan tersebut adalah untuk mendapatkan
profit yang besar. Hal ini terlihat dari dana yang diperoleh dari premi nasabah,
semuanya menjadi milik perusahaan.

89
Veithzal Rivai, and friend, Bank and Financial Institution Management, (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2007), p. 733
Perbedaan Bank dan Asuransi Syariah

Menurut Sutan Remy Shahdeiny Bank Syariah adalah lembaga yang berfungsi
sebagai intermediasi yaitu mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan
kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk
pembiayaan tanpa berdasarkan prinsip bunga, melainkan berdasarkan prinsip
syariah.

Bank syariah memiliki tujuan yang lebih luas dibandingkan dengan bank
konvensional, berkaitan dengan keberadaannya sebagai institusi komersial dan
kewajiban moral yang disandangnya. Selain bertujuan meraih keuntungan
sebagaimana layaknya bank konvensional pada umumnya, bank syariah juga
bertujuan sebagai berikut :

a. Menyediakan lembaga keuangan perbankan sebagai sarana meningkatkan


kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Pengumpulan modal dari
masyarakat dan pemanfaatannya kepada masyarakat diharapkan dapat mengurangi
kesenjangan sosial guna tercipta peningkatan pembangunan nasional yang
semakin mantap. Metode bagi hasil akan membantu orang yang lemah
permodalannya untuk bergabung dengan bank syariah untuk mengembangkan
usahanya. Metode bagi hasil ini akan memunculkan usaha-usaha baru dan
pengembangan usaha yang telah ada sehingga dapat mengurangi pengangguran.

b. Meningkatnya partisipasi masyarakat banyak dalam proses pembangunan


karena keengganan sebagian masyarakat untuk berhubungan dengan bank yang
disebabkan oleh sikap menghindari bunga telah terjawab oleh bank syariah.
Metode perbankan yang efisien dan adil akan menggalakkan usaha ekonomi
kerakyatan.

c. Membentuk masyarakat agar berpikir secara ekonomis dan berperilaku bisnis


untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

d. Berusaha bahwa metode bagi hasil pada bank syariah dapat beroperasi, tumbuh,
dan berkembang melalui bankbank dengan metode lain.

Di dalam referensi hukum Islam, asuransi syariah disebut dengan istilah


tadhamun, takaful, dan at-ta'min. Kata tadhamun, takaful, dan at-ta'min atau
asuransi syariah diartikan dengan "saling menanggung atau tanggung jawab
sosial" Menurut Mushthafa Ahmad Az-Zarqa yang dikutip oleh M. Syakir Sula,
makna asuransi adalah kejadian. Adapun metodologi dan gambarannya dapat
berbeda-beda, namun pada intinya, asuransi adalah cara atau metode untuk
memelihara manusia dalam menghindari risiko (ancaman) bahaya yang beragam
yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya atau
dalam aktivitas ekonominya.

Tujuan Asuransi Syariah

Asuransi syariah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan perjuangan


umat dengan mengemban misi aqidah, misi ibadah, misi iqtishodi, dan misi
keumatan. Jadi tujuan utamanya bukan mendapatkan laba besar seperti asuransi
konvensional.
DAFTAR PUSTAKA

Andrianto, Firamansyah Anang.2019.Manajemen Bank Syariah.Penerbit


Qiara Media.Surabaya.ebook.
Abdullah Thamrin, Wahjusaputri Sintha.2018.Bank&Lembaga
Keuangan.Mitra Wacana Media.Jakarta.ebook.
Arianti Farida.2019.Muamalah Kontemporer.Prenadamedia
Group.Jakarta.ebook.
Fauzi Wetria.2019.Hukum Asuransi di Indonesia.Andalas University Press,
Padang.ebook.
Hasan Ichsan Nurul.2014.Pengantar Asuransi Syariah.Gaung Persada Press
Group, Jakarta.ebook.
Haris Abdul, Tho'in Muhammad, Wahyudi Agung.2012.Sistem Ekonomi
Perbankan Berlandaskan Bunga.Jurnal. Vol. 13. No. 01
Jazil Saiful. 2014.Fiqih Mu'amalah.Cahaya Intan XII. Surabaya.ebook.
Otoritas Jasa Keuangan.2019.Buku 4 Perasuransian.e-book.
Putusan Dewan Syariah Nasional NO:21/DSN-MUI/X/2001 Tentang
Pedoman Umum Asuransi Syariah.
Puspitasari Novi.2011.Sejarah dan Perkembangan Asuransi Islam Serta
Perbedaannya dengan Asuransi Konvensional.Jurnal.Vol X NO.1.
Ratnasari Langgeng Sri.2012.Bank dan Lembaga Keuangan
Lainnya.Penerbit dan Percetakan UPN Press.Surabaya.ebook.
Subagiyo Tatak Dwi, Salviana Melia Fries.2016.Hukum Asuransi.PT Revka
Petra Media, Surabaya.ebook.
Suhardih Dodih.2018.Kontroversi Halal-Haram Asuransi
Syariah.Bandung.Jurnal.Vol.XIV, NO.2.
Syariah Life Sun.Pedoman Umum Asuransi Syariah.Artikel, Diakses pada 3
Juni 2022 dari, https://www.sunlife-syariah.com/pedoman-umum-asuransi-syariah/
Siregar Surya, Khoerudin Koko.2019.Fikih Muamalah.PT.Remaja
Rosdakarya.Bandung.ebook.
Yuvanto Devy.Polis Asuransi Sebagai Jaminan Kredit di Perusahaan
Asuransi.Surabaya.Jurnal.
MAKALAH FIKIH MUAMALAH
“PASAR MODAL MENURUT KONSEP HUKUM
ISLAM”

Dosen Pengampu: Dr. Asman Arsyad, S.Ag., M.Ag.

DISUSUN OLEH:

Imam Fadhilah (90400121061)

Nenes Nurul (90400121062)

Muh Yayat Ruchadiat (90400121063)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN 2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita kesehatan dan

kesempatan dalam rangka menyelesaikan kewajiban, yakni dalam bentuk tugas yang

diberikan oleh Bapak Dosen dalam rangka menambah ilmu pengetahuan dan wawasan

penulis.

Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada baginda Nabi besar Muhammad SAW

yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju ke alam yang terang benderang.

Adapun dalam pembuatan makalah yang berjudul “Pasar Modal Menurut Konsep

Hukum Islam” makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh

sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam rangka perbaikan

makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.aminn.

Samata, Mei 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

SAMPUL ................................................................................................................ 1

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2

DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................................ 4

B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 5

C. Tujuan............................................................................................................. 5

BAB II: PEMBAHASAN

A. Pengertian Pasar Modal ................................................................................... 6

B. Fungsi Pasar Modal ......................................................................................... 7

C. Instrumen Pasar Modal.................................................................................... 8

D. Pasar Modal Dalam Pandangan Syariah ........................................................ 13

BAB III: PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 19

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pasar modal di negara maju sejak lama telah menjadi lembaga yang sangat
diperhitungkan bagi perkembangan perekonomian negara. Pasar modal
mempunyai peranan penting dalam suatu Negara yang pada dasarnya
mempunyai kesamaan antara satu Negara dengan Negara lain. Hampir semua
Negara di dunia mempunyai pasar modal yang bertujuan menciptakan fasilitas
bagi keperluan industri dan keseluruhan entitas dalam memenuhi permintaan
dan penawaran modal. Perkembangan pasar modal di Indonesia saat ini
mengalami pertumbuhan yang signifikan. Indonesia satu dari Negara muslim
terbesar didunia merupakan pasar yang besar untuk mengembangkan pasar
modal syariah. Perkembangan pasar modal di Indonesia telah memperlihatkan
kemajuan seiring dengan perkembangan ekonomi Indonesia. Oleh karena, pasar
modal memiliki peran yang cukup strategis, yaitu sebagai sumber pendanaan,
baik jangka pendek maupun jangka panjang bagi dunia usaha dan wahana
investasi bagi investor. Seiring dengan perkembangan pasar modal, maka
dikembangkan pula pasar modal syariah yaitu pasar modal yang dijalankan
dengan prinsip-prinsip syariah, setiap transaksi perdagangan surat berharga
dipasar modal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
Pasar modal syariah relatif lebih memiliki ketahanan terhadap krisis,
dibandingkan dengan pasar modal konvensional. Hal ini dikarenakan pasar
modal syariah memiliki kemampuan yang lebih baik untuk menyesuaikan diri
terhadap perubahan dari gangguan krisis eksternal. Pasar modal syariah
menawarkan media investasi yang lebih aman terhadap krisis. Sehingga,
lembaga pasar modal dan keuangan Indonesia memberikan perhatian dan
komitmennya dalam perkembangan pasar modal syariah sebagai alternatif
invesatasi yang menguntungkan.

4
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Pasar Modal
2. Fungsi Pasar Modal
3. Instrumen Pasar Modal
4. Pasar Modal Dalam Pandangan Syariah

C. Tujuan
1. Untuk Mendeskripsikan Pengertian Pasar Modal
2. Untuk Mendeskripsikan Fungsi Pasar Modal
3. Untuk Mendeskripsikan Instrumen Pasar Modal
4. Untuk Mendeskripsikan Pasar Modal Dalam Pandangan Syariah

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pasar Modal


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pasar modal memiliki beberapa
pengertian:
1. Seluruh kegiatan yang mempertemukan penawaran dan permintaan dana
jangka panjang;
2. Pusat keuangan, bank, dan firma yang meminjamkan uang secara besar
besaran;
3. Pasar atau bursa modal yang memperjualbelikan surat-surat berharga yang
berjangka waktu lebih dari satu tahun. 1
Menurut Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, yang dikutip
oleh Abdurrahman, dalam bukunya M. Paulus Situmorang, pengertian pasar
modal yang merupakan terjemahan dari Capital Market, adalah suatu tempat
atau sistem bagaimana cara dipenuhinya kebutuhan kebutuhan dana untuk suatu
perusahaan, merupakan pasar tempat orang membeli dan menjual surat efek
yang baru dikeluarkan.2
Menurut Sunariyah, pasar modal secara umum adalah suatu sistem
keuangan yang terorganisasi, termasuk didalamnya adalah bank-bank komersial
dan semua lembaga perantara di bidang keuangan, serta keseluruhan surat-surat
berharga yang beredar. Dalam arti sempit, adalah suatu pasar (tempat, berupa
gedung) yang disiapkan guna memperdagangkan saham-saham, obligasi dan
jenis surat berharga lainnya dengan memakai jasa para perantara perdagangan efek. 3
Dari pengertian-pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pasar

1
Anton M. Moeliono, et.al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, cet. II, 1989, hlm.
651.
2
M. Paulus Situmorang, Pengantar Pasar Modal, Penerbit Mitra Wacana Media, Edisi Pertama, 2008,
hlm. 3.
3
Romansyah. 2015. Pasar Modal Dalam Perspektif Islam. Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Volume
XIV, hlm 3.

6
modal adalah tempat dimana bertemunya pembeli dan penjual dalam melakukan
kegiatan penawaran, penjualan dan pembelian surat-surat berharga yang
diterbitkan oleh perusahaan, yang jangka waktunya lebih dari satu tahun.

B. Fungsi Pasar Modal


Dalam dunia modern, pasar modal memiliki peran yang sangat strategis bagi
penguatan ekonomi suatu negara. Banyaknya modal yang lari ke luar negeri, di
samping karena merosotnya nilai uang, atau tingginya inflasi dan suku bunga di
suatu negara, juga sebagai akibat tidak tersedianya alternatif investasi yang
menguntungkan di negara bersangkutan, dan pada saat yang sama investasi di
negara lain menjanjikan keuntungan yang lebih besar.
Fungsi pasar modal adalah yang paling utama adalah untuk perekonomian
Negara. Namun secara garis besar, fungsi pasar modal adalah meliputi dua hal,
yaitu :
1. Fungsi pasar modal adalah sebagai sarana pendanaan usaha atau sarana
perusahaan (emiten) untuk mendapatkan dana dari investor (masyarakat).
2. Fungsi pasar modal adalah sebagai sarana bagi masyarakat untuk
berinvestasi pada instrumen keuangan.
Selain itu, fungsi pasar modal lainnya diperlukan sebagai instrumen untuk
meningkatkan pendanaan dalam rangka mendukung pembangunan
berkelanjutan. 4
Munir Fuadi, yang dikutip oleh M. Paulus Situmorang mengemukakan
bahwa fungsi pasar modal adalah sebagai berikut :
1. Sarana untuk menghimpun dana-dana masyarakat untuk disalurkan ke

4
Shaid, Nur Jamal. Pengertian Pasar Modal, Fungsi, dan Pelaku yang Terlibat.
https://money.kompas.com/read/2021/12/02/101733426/pengertian-pasar-modal-fungsi-dan-pelaku-
yang-
terlibat?amp=1&page=2&jxconn=1*4yidux*other_jxampid*Wm9BMkpESlVoeXZoN1lhanVnT3dQ
NmJnb2dqSTlRWHFiYmpkMGJ1aTNxMlZ6S0J2MEpwTlVvSVdfN1E5UlJOSw.. (diakses pada 30
Mei 2022, 16:09)

7
dalam kegiatan-kegiatan yang produktif.
2. Sumber pembiayaan yang mudah, murah, dan cepat bagi dunia usaha dan
pembangunan nasional.
3. Mendorong terciptanya kesempatan berusaha dan sekaligus men ciptakan
kesempatan kerja.
4. Mempertinggi efisiensi alokasi sumber produksi.
5. Memperkokoh beroperasinya mekanisme financial market dalam menata
sistem moneter, karena pasar modal dapat dijadikan sarana "open market
operation" ketika dibutuhkan oleh Bank Sentral.
6. Menekan tingginya tingkat bunga menuju suatu "rate" yang reasonable.
7. Sebagai alternatif investasi bagi para pemilik modal. 5
Marzuki Usman, yang juga dikutip oleh M. Paulus Situmorang
mengemukakan empat fungsi pasar modal yang sangat penting, yaitu
1. Sebagai sumber penghimpunan dana;
2. Sebagai alternatif investasi para pemodal;
3. Biaya penghimpunan dana relatif rendah;
4. Mendorong perkembangan investasi. 6
Dari beberapa definisi tentang fungsi pasar modal dapat diambil kesimpulan
bahwa fungsi pasar modal adalah tempat penghimpunan dana yang kemudian
disalurkan kepada masyarakat, sarana untuk berinvestasi, serta sebagai
instrumen untuk meningkatkan pendanaan dalam rangka mendukung
pembangunan berkelanjutan.

C. Instrumen Pasar Modal


Objek yang menjadi instrumen dalam kegiatan jual beli di pasar modal
adalah surat-surat berharga yang dalam istilah pasar keuangan disebut efek.

5
M. Paulus Situmorang, Pengantar Pasar Modal, Penerbit Mitra Wacana Media, Edisi Pertama, 2008,
hlm. 8.
6
H. Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Penerbit Amzah, Edisi Pertama, cet V, 2019, hlm. 569.

8
Dalam Pasal I poin 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan efek adalah surat berharga,
yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas
efek, dan setiap derivatif dari efek.
Instrumen atau surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal, pada
umumnya dapat dibedakan ke dalam surat berharga yang bersifat utang, yang
dikenal dengan nama obligasi (bonds) dan surat berharga yang bersifat
pemilikan, yang dikenal dengan istilah saham (equity). Secara garis besar,
terdapat tiga instrumen yang diperdagangkan di pasar modal, yaitu :
1. Instrumen Saham
2. Instrumen Obligasi, dan
3. Instrumen derivatif7

1. Instrumen Saham
Saham adalah tanda penyertaan modal pada suatu perusahaan perseroan
terbatas. Dalam redaksi yang lain, saham adalah tanda penyertaan atau
pemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan. Seseorang yang
memiliki saham jenis ini berarti ia menjadi investor yang menjadi pemilik
perusahaan tersebut sebesar modal yang ditanamnya.
Manfaat yang diperoleh dari saham ini adalah sebagai berikut.
a. Dividen, yaitu bagian dari keuntungan perusahaan yang dibagikan
kepada pemilik saham.
b. Capital gain, yaitu keuntungan yang diperoleh dari selisih jual dengan
harga belinya.
c. Manfaat nonfinansial, antara lain berupa konsekuensi atas kepemilikan
saham berupa kekuasaan, kebanggaan, dan khususnya hak suara dalam

7
H. Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Penerbit Amzah, Edisi Pertama, cet V, 2019, hlm. 570

9
menentukan jalannya perusahaan."
Ada dua jenis saham yang biasa dipasarkan di pasar modal, yaitu :
1) Saham Biasa
Yaitu suatu jenis saham di mana pemegangnya mewakili
kepemilikan di perusahaan sebesar modal yang ditanamkan. Keuntungan
yang didapatkan oleh pemegang saham ini berupa dividen yang berasal
dari keuntungan perusahaan.
Selain keuntungan berupa dividen, pemegang saham biasa juga bisa
mendapatkan keuntungan dari selisih nilai beli dengan nilai jual
sahamnya. Keuntungan jenis ini disebut capital gain. Sebaliknya, jika
harga saham meng alami penurunan maka pemegang saham ini akan
mengalami kerugian yang disebut capital loss."
2) Saham Preferen
Saham preferen yaitu gabungan (hybrid) antara obligasi dan saham
biasa. Artinya, di samping memiliki karakteristik sebagai obligasi, juga
memiliki karakteristik saham biasa. Memiliki karakteristik saham biasa,
sebab tidak selamanya saham preferen bisa memberikan penghasilan,
seperti yang dikehendaki pemegangnya. Apabila suatu ketika emiten
mengalami kerugian maka pemegang saham preferen mungkin tidak
menerima pembayaran dividen yang sudah ditetapkan sebelumnya. 8
2. Instrumen Obligasi
Obligasi adalah bukti pengakuan utang dari suatu perusahaan atau
lembaga yang sering disebut dengan istilah bonds issue." Dalam definisi
lain disebutkan bahwa obligasi adalah surat berharga atau sertifikat yang
berisi kontrak antara pemberi pinjaman (dalam hal ini pemodal) dengan
yang diberi pinjaman (emiten). Jadi, surat obligasi adalah selembar kertas
yang menyatakan bahwa pemilik kertas tersebut memberikan pinjaman

8
Ibid., hal 572

10
kepada perusahaan yang menerbitkan surat obligasi.
3. Instrumen Derivatif
Derivatif adalah turunan dari sekuritas utama, dalam hal ini saham."
Derivatif yang banyak dikenal di Indonesia ada dua macam, yaitu sebagai
berikut :
a. Warrant, yaitu hak untuk membeli sebuah saham pada harga yang
telah ditetapkan dan pada waktu yang telah ditetapkan pula. Warrant
biasanya dikeluarkan oleh perusahaan sebagai pemanis untuk investor
ketika mereka mengeluarkan saham.
b. Right, mirip dengan warrant, yaitu hak untuk membeli saham pada
harga tertentu dan pada waktu yang telah ditetapkan. Right diberikan
kepada pemegang saham lama yang berhak untuk mendapatkan
tambahan saham baru yang dikeluarkan oleh perusahaan pada second
offering. 9
4. Instrumen Reksa Dana
Reksa dana merupakan perseroan atau investasi kolektif masyarakat
pemodal yang diinvestasikan ke dalam efek oleh manajer investasi Dalam
hal ini reksa dana melakukan penghimpunan dana untuk selanjutnya
dibentuk portofolio efek yang terdiri atas beragam surat berharga, seperti
aham, obligasi, deposito berjangka, dll. Berdasarkan kategori investasinya,
reksa dana terbagi kepada empat bagian, yaitu :
a. reksa dana saham,
b. reksa dana obligasi,
c. reksa dana pasar uang, dan
d. reksa dana campuran.10
Adapun masing-masing jenis instrumen pasar modal dapat dijelaskan
sebagai berikut.

9
Ibid., hal 573
10
Ibid., hal 575

11
1. Saham
Merupakan surat berharga yang bersifat kepemilikan. Artinya si
pemilik saham merupakan pemilik perusahaan. Semakin besar saham yang
dimilikinya, maka semakin besar pula kekuasaannya di perusahaan
tersebut. Keuntungan yang diperoleh dari saham dikenal dengan nama
deviden.
2. Obligasi
Adanya pengetatan prosedur pinjaman di lembaga perbankan
menyebabkan pihak perusahaan yang sedang membutuhkan dana untuk
ekspansi bisnis atau melakukan pelunasan uangnya mulai melirik
instrument obligasi sebagai salah satu alternative penggalangan dana.
3. Reksa dana
Reksa dana adalah sertifikat yang menjelaskan bahwa pemiliknya
menitipkan uang kepada pengelola reksa dana untuk digunakan sebagai
modal berinvestasi. Setiap prospectus reksa dana akan mencantumkan
sasaran saat penawaran.
4. Warrant
Warrant adalah hak untuk membeli saham biasa pada waktu dan harga
yang sudah ditentukan. Biasanya warran dijual bersamaan dengan surat
berharga lainnya, misalnya obligasi dan saham.
5. Right
Right adalah hak yang diberikan kepada pemilik saham biasa
(common stock) untuk membeli tambahan penerbitan saham baru. Hak
tersebut biasanya dicantumkan dalam anggaran dasar perusahaan, dengan
tujuan pemilik saham yang lama dapat mempertahankan dan
mengendalikan perusahaan, serta mencegah penurunan nilai kekayaan
pemilik saham lama. 11

11
Zahroh, Aminatuz. 2015. Instrumen Pasar Modal. Volume 5, hlm 52.

12
Instrumen Pasar Modal Syariah lainnya yaitu :
1. Saham adalah selembar catatan yang berisi pernyataan kepemilikan
sejumlah modal kepada perusahaan yang menerbitkan.
2. Obligasi adalah tanda pengakuan hutang atas pinjaman uang oleh emiten
untuk jangka waktu tiga tahun dengan imbalan bagi hasil atau ujrah.
3. Option merupakan turunan dari efek (saham dan obligasi). Ada dua istilah
dalam option, yaitu all option (memberikan hak kepada pemegang saham
untuk membeli saham pada harga yang telah ditentukan), dan put option
(pemegang saham mempunyai hak untuk menjual saham pada saat yang
telah ditentukan).
4. Warrant merupakan produk turunan dari saham biasa yang bersifat jangka
panjang, dan memberikan hak kepada pemegangnya untuk membeli saham
atas nama dengan harga tertentu.
5. Right adalah hak yang diberikan kepada pemilik saham biasa (common
stock) untuk membeli tambahan penerbitan saham baru. 12

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa instrumen adalah surat


berharga yang diperdagangkan di pasar modal yang bersifat utang dan dikenal
dengan nama obligasi (bonds)/surat utang, dan bersifat pemilikan dikenal
dengan istilah saham (equity).

D. Pasar Modal Dalam Pandangan Syariah


Muamalat atau hubungan antara manusia dengan manusia di bidang harta
benda adalah urusan duniawi, dan pengaturannya diserahkan kepada manusia
itu sendiri. Oleh karena itu, semua bentuk akad dan cara-cara transaksi yang

12
Mardi, “Pasar Modal Syariah”, Jurnal Edunomic, Vol. 3, No. 1 (Cirebon, Universitas
Gunung Jati : 2015), hlm 141.

13
dibuat oleh manusia hukumnya sah dan dibolehkan asal tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam syara.
Hal ini sesuai dengan kaidah:
‫األصل في العقود والمعامالت الصحة حتى يقوم دليل على البطالن والتحريم‬
Pada dasarnya semua akad dan muamalat hukumnya sah sehingga ada dalil
yang membatalkan dan mengharamkannya.
Kaidah tersebut bersumber dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Anas dan 'Aisyah ra. bahwa Rasulullah bersabda:
‫أنتم أعلم بأمر دنياكم‬
Kamu sekalian lebih tahu tentang urusan duniamu 13

Sebagian orang menjadikan landasan Hadits ini sebagai meningalkan


hukum syari’at dalam lapangan ekonomi, kebudayaan, politik dan lainnya.
Mereka menduga bahwa kesemuanya itu adalah termasuk urusan dunia. Dan
kita lebih mengetahui tentang urusan dunia kita. Sementara dengan adanya
hadits tersebut berarti Rasulullah telah menyerahkan urusan dunia ini kepada
kita.
Harus ditafsirkan berdasarkan sebab diucapkannya hadits itu oleh
Rasulullah. Kisahnya adalah menyangkut dengan penyerbukan kurma yang
dilakukan oleh kaum Anshar di Madinah. Adapun petunjuk nabi tersebut adalah
pendapat Beliau yang bersifat dugaan yang berhubungan dengan penyerbukan
kurma, sementara beliau adalah bukan orang yang ahli dalam pertanian. Karena
rata-rata penduduk Mekah kehidupannya dengan berdagang, bukan dengan
pertanian karena di Mekah tanahnya tandus yang berbeda dengan di Madinah
yang mayoritas masyarakatnya bertani karena tanahnya subur. Kaum Anshar
mengira bahwa ucapan Rasul yang melarang penyerbukan kurman adalah
wahyu sehingga mereka tidak agimelakukan penyerbukan sehingga hasil

13
Jalaluddin As-Sayuthi, Al-Jami' Ash-Shaghir, Juz I, Dar Al-Fikr, t.t, hlm. 108.

14
panennya menurun. Oleh karena itu Rasul bersabda melalui hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Musa bin Thalhah bin Ubaidullah
menceritakan dari Bapaknya (yang) ia berkata: Aku bersama Rasulullah
melewati kebun kurma, beliau melihat orang-orang mengawinkan kurma. Lalu
beliau bersabda: “Apa yang mereka lakukan?” Para sahabat menjawab, “Mereka
mengambil yang jantan untuk digabungkan dengan yang betina.” Beliau
bersabda: “Aku melihat bahwa perbuatan mereka tidak ada gunanya.” Perkataan
beliau itu sampai ke telinga mereka (pekebun kurma) hingga mereka
meninggalkannya (tidak mengawinkan kurma) sehingga hasil panen mereka pun
gagal. Kejadian tersebut akhirnya juga sampai kepada Nabi
makna hadits tersebut sangat jelas memasukkan masalah penyerbukan
kurma itu bagian dari perkara teknis dalam persoalan profesi yang ada di dunia.
Yang setiap orang memiliki keahliannya masing-masing yang tidak dimiliki
oleh yang lainnya. Akan tetapi berkenaan dengan prinsip muamalah dan
kemeslahatan umum untuk keberlangsungan hidup di dunia dijelaskan dengan
detail oleh Allah dan Rasulnya. 14
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pasar modal beserta
seluruh mekanisme kegiatannya dipandang sesuai dengan syariah apabila
ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam syariah telah dipenuhi.

Prinsip-Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal


Pasar modal beserta seluruh mekanisme kegiatannya dipandang telah sesuai
dengan syariah apabila telah memenuhi prinsip-prinsip syariah. Yang dimaksud
dengan prinsip-prinsip syariah adalah prinsip-prinsip yang didasarkan atas
ajaran Islam yang penetapannya dilakukan oleh DSN-MUI, baik ditetapkan

14
Salah Paham Tentang Hadits Penyerbukan Kurma. (2022). Diakses 4 Juni 2022, dari
https://www.safrizaljuly.com/2021/06/hadis-penyerbukan-kurma-kalian-lebih-tahu-urusan-
dunia.html?m=1

15
dalam fatwa tentang pasar modal ini maupun dalam fatwa terkait lainnya.
Prinsip-prinsip syariah di bidang pasar modal ini antara lain meliputi:
a. kriteria Emiten atau Perusahaan Publik;
b. Kriteria dan Jenis Efek Syariah.15

Pasar modal Syari’ah adalah pasar modal yang seluruh mekanisme


kegiatannya terutama mengenai emiten, jenis efek yang diperdagangkannya
telah sesuai dengan prinsip-prinsip Syari’ah.
Prinsip-Prinsip Pasar Modal Syari’ah
1. Pembiayaan atau investasi hanya bisa dilakukan pada aset atau kegiatan
usaha yang halal, spesifik, dan bermanfaat.
2. Karena uang merupakan alat bantu pertukaran nilai, dimana pemilik harta
akan memperoleh bagi hasil dari kegiatan usaha tersebut, maka
pembiayaan dan investasi harus pada mata uang yang sama dengan
pembukuan kegiatan.
3. Akad yang terjadi antara pemilik harta dengan emiten harus jelas.
4. Baik pemilik harta maupun emiten tidak boleh mengambil resiko yang
melebihi kemampuannya dan dapat menimbulkan kerugian.
5. Adanya penekanan pada mekanisme yang wajar dan prinsip kehati-hatian
baik pada investor maupun emiten.16

Pasar modal syariah adalah pasar modal yang menerapkan prinsip-prinsip


syariah. Prinsip tersebut di antaranya:
1. Larangan terhadap setiap transaksi yang mengandung unsur ketidakjelasan
(Gharar).
2. Instrumen atau efek yang diperjualbelikan harus memenuhi kriteria halal.

15
H.M. Ichwan Syam, et al. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Edisi Revisi Tahun 2006,
Penerbit Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, cet. 111. 2006, him. 269.
16
Adrian Sutedi, Pasar Modal Syariah: Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syariah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011) h. 34

16
Kegiatan investasi di pasar modal syariah antara shahibul maal dan
mudharib, mengutamakan kehalalan dan keadilan. Untuk lebih jelasnya prinsip
syariah secara garis besar adalah:
1. Pembiayaan atau investasi hanya dapat dilakukan pada asset atau kegiatan
usaha yang halal, spesifik, dan bermanfaat.
2. Uang merupakan alat bantu pertukaran nilai, dimana pemilik harta akan
memperoleh bagi hasil dari kegiatan usaha tersebut, apabila memperoleh
keuntungan, maka pembiayaan dan investasi harus pada mata uang yang
sama dengan pembukuan kegiatan usaha.
3. Akad yang terjadi antara pemilik harta dengan emiten harus jelas. Tindakan
maupun informasinya harus transparan dan tidak boleh menimbulkan
keraguan yang dapat menimbulkan kerugian di salah satu pihak.
4. Baik pemilik harta maupun emiten tidak boleh mengambil risiko yang
melebihi kemampuannya dan dapat menimbulkan kerugian.
5. Penekanan pada mekanisme yang wajar dan prinsip kehati-hatian, baik
pada investor maupun emiten. 17

Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa Pasar modal merupakan
suatu tempat bertemunya para penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi
dalam rangka memperoleh modal. Adapun prinsip pasar modal menurut
pandangan syariah adalah prinsip yang diterapkan dalam pasar modal syariah
dimana setiap transaksi yang terjadi dalam pasar modal tersebut tidak
mengandung unsur ketidakjelasan (Gharar) dan efek yang diperjualbelikan
harus memenuhi kriteria yang halal.

17
Mardi, “Pasar Modal Syariah”, Jurnal Edunomic, Vol. 3, No. 1 (Cirebon, Universitas
Gunung Jati : 2015), hlm 139.

17
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keberadan pasar modal syariah sangat bermanfaat dalam perekonomian
untuk mendorong praktisi usaha umat Islam dalam pasar modal yang sesuai
dengan syariah. Perkembangan ekonomi suatu negara juga tidak mungkin lepas
dari perkembangan pasar modal. Selain itu, umat Islam memerlukan pasar
modal yang aktivitasnya sejalan dengan prinsip syariah. Pasar modal syariah
berbeda dengan pasar modal konvensional. Saham yang diperdagangkan pada
pasar modal syariah berasal dari emiten yang memenuhi kriteria-kriteria
syariah. Obligasi yang diterbitkan pun harus menggunakan prinsip syariah,
seperti mudharabah, musyarakah, ijarah, istishna’, salam, dan murabahah.
Selain saham dan obligasi syariah, yang diperjual belikan pada pasar modal
syariah adalah reksa dana syariah yang merupakan sarana investasi campuran
yang menggabungkan saham dan obligasi syariah dalam satu produk yang
dikelola oleh manajer investasi.

18
DAFTAR PUSTAKA
Moeliono, Anton M. 1989. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Balai Pustaka,
Jakarta, cet. II.

Hartini, Sri. 2016. “Peran dan Fungsi Pasar Modal dalam Perekonomian Suatu
Negara”. Universitas Ibn Khaldun. Jurnal Hukum Yustisi, Vol. 3 No. 2.

Romansyah, H. 2015. “Pasar Modal Dalam Perspektif Islam”. IAIN Samarinda.


Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. XIV, No. 1.

Shaid, Nur Jamal. “Pengertian Pasar Modal, Fungsi, dan Pelaku yang Terlibat”
https://money.kompas.com/read/2021/12/02/101733426/pengertian-pasar-modal-
fungsi-dan-pelaku-yang-
terlibat?amp=1&page=2&jxconn=1*4yidux*other_jxampid*Wm9BMkpESlVoeXZo
N1lhanVnT3dQNmJnb2dqSTlRWHFiYmpkMGJ1aTNxMlZ6S0J2MEpwTlVvSVdf
N1E5UlJOSw.. (diakses pada 30 Mei 2022, 16:09)

Suhardini, Eni Dasuki. 2015. “Peran dan Fungsi Pasar Modal dalam Pembangunan
Perekonomian Indonesia”. Universitas Langlangbuana. Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 14,
No. 1.

Muslich, Ahmad Wardi. 2010. “Fiqih Muamalat” ( Jakarta: AMZAH).

Muslich, Ahmad Wardi. 2010. “Fiqih Muamalat” ( Jakarta: AMZAH).

Zahroh, Aminatuz. 2015. “Instrumen Pasar Modal”. Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 5,
No. 1.

Mardi. 2015. “Pasar Modal Syariah”. Universitas Gunung Jati. Jurnal Edunomic,
Vol. 3, No. 1.

19
MAKALAH FIKIH MUAMALAH
“KARTU KREDIT, MLM, WARALABA, DAN PEGADAIAN MENURUT PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM”

Dosen Pengampu : Dr. Asman Arsyad, S.Ag., M.Ag.

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 14

AKUNTANSI B

NURSAPRIANA (90400121064)

NUR WULANDARI (90400121065)

PUTRI NURHIKMA H (90400121066)

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN AJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita kesehatan dan kesempatan dalam
rangka menyelesaikan kewajiban, yakni dalam bentuk tugas yang diberian oleh Bapak Dosen dalam
rangka menambah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis maupun pembaca nantinya.

Shalawat serta dalam selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju ke alam yang terang benderang.

Adapun dalam pembuatan makalah yang berjudul “Kartu Kredit, MLM, Waralaba, Dan
Pegadaian Menurut Perspektif Hukum Islam” makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam rangkan
perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Samata, Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii

BAB I : PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................................................. 1


1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2
1.3. Tujuan .......................................................................................................................... 2

BAB II : PEMBAHASAN ........................................................................................................ 4

2.1. Kartu Kredit ................................................................................................................. 4


2.2. Multi Level Marketing Dalam Perspektif Syariah.......................................................... 10
2.3. Waralaba Dalam Perspektif Syariah .............................................................................. 13
2.4. Pegadaian Syariah ........................................................................................................ 16

BAB II : PENUTUP.................................................................................................................. 22

3.1. Kesimpulan .................................................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 24

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kartu kredit sudah tidak asing bagi masyrakat Indonesia, apalagi bagi masyarakat di kota-
kota besar. Namun banyak yang belum mengetahui bagaimana hukum penggunaan kartu kredit
(konvensional). Kartu kredit adalah kartu yang dikeluarkan oleh pihak bankdan sejenisnya untuk
memungkinkan pembawanya membeli barang-barang yang dibutuhkan secara hutang. Kartu kredit
dalam pandangan syariah hukumnya adalah haram karena mengandung unsure riba dalam
penggunaan kartu kredit. Oleh karena itu perbankan syariah mengeluarkan produk kartu pembiayaan
syariah. Kartu pembiayaan syariah berbeda dengan kartu kredit (konvensianal) karena terbebas dari
unsur riba dan pemanfaatannya tidak bersifat konsumtif namun produktif.
Sebelum munculnya uang sebagai alat pembayaran dalam setiap transaksi dilakukan dengan
cara barter, selanjutnya ditemukan cara yang efisien yaitu transaksi menggunakan uang sebagai alat
yang paling efisien dan efektif. Dalam perjalannya uang memiliki hambatan dalam penggunaannya.
Risiko membawa uang tunai yang cukup besar seperti kehilangan, perampokan dan pemalsuan.
Akibatnya semakin berkurangnya penggunaan uang tunai dan lahirlah kartu plastik yang dikenal
dengan kartu kredit.
Belakangan ini semakin banyak muncul perusahaan-perusahaan yang menjual produknya
melalui sistem Multi Level Marketing (MLM). Karena itu, perlu dibahas hukumnya menurut syari’ah
Islam. Kajian ini dianggap semakin penting setelah lahirnya perusahaan MLM yang menamakan
perusahaannya dengan label syariah. Oleh karena banyaknya perusahaan MLM yang berkembang,
maka Dewan Syariah Nasional MUI telah mengeluarkan fatwa terkait MLM tersebut, Nama fatwa
DSN tersebut adalah Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) atau at-Taswiq asy-Syabakiy.
MLM yang menggunakan strategi pemasaran secara bertingkat (levelisasi) mengandung unsur-unsur
positif, asalkan diisi dengan nilai-nilai Islam dan sistemnya disesuaikan dengan syari’ah Islam. Bila
demikian, MLM dipandang memiliki unsur-unsur silaturrahmi, dakwah dan tarbiyah. Menurut
Muhammad Hidayat, Dewan syari’ah MUI Pusat, metode semacam ini pernah digunakan Rasulullah
dalam melakukan dakwah Islamiyah pada awal-awal Islam. Dakwah Islam pada saat itu dilakukan
melalui teori gethok tular (mulut ke mulut) dari sahabat satu ke sahabat lainnya. Sehingga pada suatu
ketika Islam dapat di terima oleh masyarakat kebanyakan.
Bagi negara berkembang pembangunan ekonomi bertujuan meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Indonesia bukan negara maju melainkan negara berkembang. Oleh karenanya inovasi-
inovasi harus terus dilakukan dan dikembangkan salah satunya inovasi dalam hal ekonomi. Pesatnya

1
pertumbuhan ekonomi adalah berkembangnya sistem pemasaran dalam berbagai bidang usaha,
seperti Waralaba (franchise), Perniagaan Secara Elektronik (Electronic Commerce), Electronic Fund
Transfer (EFT), Kartu Kredit (Credit Card), dan lain-lain. Hakikatnya kegiatan usaha bisnis bebas
dilaksanakan sepanjang kegiatan usaha tersebut tidak bertolak belakang dengan perundang-
undangan. Persaingan perdagangan di era distruptive saat ini semakin ketat dan memerlukan sistem
pemasaran yang mendukung dan harus menghadapi beberapa macam tantangan dan resiko yang ada
serta bisa mengatur strategi jitu untuk selalu berhasil dalam berbisnis.
Waralaba memiliki konsep yang sudah teratur. Tidak diperlukan memulai usaha dari nol,
karena terdapat sistem terpadu dalam waralaba, yang memungkinkan seorang penerima waralaba
menjalankan usaha dengan baik. Hal ini menunjukkan semakin tinggi daya saing antar industri
pedagangan dalam melakukan pemasaran juga industri barang atau jasa. Terdapat perjanjian dalam
sistem waralaba yang harus disepakati dari awal. Suatu perjanjian mengenai metode pendistribusian
barang atau jasa kepada konsumen.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dengan transaksi, Allah SWT telah
menjadikan manusia saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya, agar mereka saling tolong-
menolong, baik dengan jalan tukar-menukar, sewa menyewa, bercocok tanam atau dengan cara yang
lainnya, karena sejatinya manusia adalah makhluk sosial (social creature). Bentuk dari tolong
menolong ini bisa berupa pemberian dan bisa berupa pinjaman (gadai). Pegadaian adalah suatu
lembaga keuangan bukan bank yang memberikan kredit kepada masyarakat dengan corak khusus,
yaitu secara hukum gadai. Pengertian hukum gadai adalah kewajiban calon peminjam untuk
menyerahkan harta geraknya (sebagai agunan) kepada kantor cabang pegadaian, disertai dengan
pemberian hak kepada pegadaian untuk melakukan penjualan (lelang) misalnya perhiasan, barang
elektonika, sepeda motor, dan sebagainya.

1.2. Rumusan Masalah


1) Menjelaskan tentang kartu kredit dalam perspektif hukum Islam!
2) Menjelaskan tentang MLM dalam perspektif hukum Islam!
3) Menjelaskan tentang waralaba dalam perspektif hukum Islam!
4) Menjelaskan tentang pegadaian dalam perspektif hukum Islam!

1.3. Tujuan
1) Untuk mendeskripsikan tentang kartu kredit dalam perspektif hukum Islam
2) Untuk mendeskripsikan tentang MLM dalam perspektif hukum Islam
3) Untuk mendeskripsikan tentang waralaba dalam perspektif hukum Islam

2
4) Untuk mendeskripsikan tentang pegadaian dalam perspektif hukum Islam

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Kartu Kredit


A. Pengertian Kartu Kredit
Kartu kredit terdiri dari dua kata, yaitu kartu dan kredit. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, pengertian kartu adalah kertas tebal, berbentuk persegi panjang (untuk berbagai
keperluan, hampir sama dengan karcis). Sedangkan arti kredit adalah; (1) pinjaman uang dengan
pembayaran pengembalian secara mengansur; (2) pinjaman sampai batas tertentu yang diizinkan
oleh bank atau badan lain. 1
A credit card is a thin rectangular piece of plastic or metal issued by a bank or financial
services company, that allows cardholders to borrow funds with which to pay for goods and services
with merchants that accept cards for payment. Credit cards impose the condition that cardholders
pay back the borrowed money, plus any applicable interest, as well as any additional agreed-upon
charges, either in full by the billing date or over time.
Kartu kredit adalah sepotong plastik atau logam persegi panjang tipis yang dikeluarkan oleh
bank atau perusahaan jasa keuangan, yang memungkinkan pemegang kartu meminjam dana untuk
membayar barang dan jasa dengan pedagang yang menerima kartu untuk pembayaran. Kartu kredit
memberlakukan ketentuan bahwa pemegang kartu membayar kembali uang yang dipinjam, ditambah
bunga yang berlaku, serta biaya tambahan yang disepakati, baik secara penuh pada tanggal
penagihan atau dari waktu ke waktu.2
Terminologi biasa yang dipakai oleh para ekonom dan praktisi perbankan mengenai kartu
kredit adalah bithoqah al I’timaniyah yang merupakan terjemahan dari bahasa arab dan dalam bahasa
inggris credit cards. Definisi kartu kredit secara etimologi diambil dari kata bithaqah (kartu) secara
bahasa digunakan untuk potongan kertas kecil atau dari bahan lain, diatasnya ditulis penjelasan yang
berkaitan dengan potongan kertas itu. Sementara kata i’timan secara bahasa artinya adalah kondisi
aman dan saling percaya.3 Dalam Expert Dictionary, kartu kredit didefinisikan dengan, “kartu yang
dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya untuk memungkinkan pembawanya membeli barang-
barang yang dibutuhkan secara hutang.”
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan Kartu Kredit adalah alat pembayaran secara
non tunai dengan menggunakan kartu yang di terbitkan oleh bank. Dimana kartu kredit digunakan

1
H. Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalat, Penerbit Amzah, Edisi Pertama, cet. V, 2019, hlm. 599
2
Andrew Bloomenthal, Credit Card, https://www.investopedia.com/terms/c/creditcard.asp
3
Fitri Anis Wardani, Kartu Kredit Syariah dalam Tinjauan Islam

4
untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk
transaksi pembelanjaan atau untuk melakukan penarikan tunai. Dimana kewajiban pembayaran
pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu dan pemegang kartu berkewajiban untuk melakukan
pembayaran pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus ataupun dengan
pembayaran angsuran.

B. Macam-Macam Banking Card


Dilihat dari segi karakter dan sifatnya, banking card dapat dibagi kepada dua bagian sebagai
berikut:
1. Kartu kredit, kartu ini ada tiga macam:
a) Kartu kredit dengan bunga dan dibayar dengan angsuran
b) Kartu kredit temporal tanpa bunga (charge card)
c) Kartu pembelian eceran (retail card/ in house cards)
2. Kartu debit.4

a. Kartu kredit dengan bunga


Kartu ini dapat digunakan untuk membeli barang dan menarik uang tunai dalam limit
tertentu. Issuer bank (penerbit kartu) memberikan kemudahan kepada card holder (pemakai kartu)
dalam pembayaran kreditnya, yaitu dengan cara angsuran.
Kartu kredit ini ada dua macam :
1) Kartu kredit biasa atau silver. Dalam kartu ini kredit yang diberikan tidak boleh
melebihi limit yang ditentukan oleh issuer bank. Memiliki limit kartu kredit paling
rendah, sekitar Rp.4.000.000,- hingga Rp.7.000.000,-. Umumnya dapat diajukan oleh
nasabah dengan penghasilan minimal Rp.3.000.000,-/bulan.
2) Kartu mumtazah (premium) atau gold. Dengan kartu ini kredit yang diberikan oleh
melebihi limit yang ditentukan oleh issuer bank.” Kartu jenis ini diperuntukkan bagi
orang kaya yang memiliki pendapatan yang tinggi dan mampu membayar nilai yang
tinggi. Memiliki limit kartu kredit sekitar Rp.10.000.000,- hingga Rp.40.000.000,-.
Umumnya dapat diajukan oleh nasabah dengan penghasilan sekitar Rp.5.000.000,-
hingga Rp.10.000.000,-/bulan.5

4
H. Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalat, Penerbit Amzah, Edisi Pertama, cet. V, 2019, hlm. 602-603
5
Tokopedia, Tipe-tipe Kartu Kredit dan Kegunaanya, 2017, https://www.tokopedia.com/blog/jenis-jenis-kartu-
kredit/

5
Kartu kredit, baik silver card maupun gold card pada hakikatnya adalah perjanjian antara
kreditor dengan borrower. Dengan kartu ini card holder atau borrower bisa mendapatkan barang
dan jasa yang diinginkannya dalam limit yang telah di tentukan. Namun, di balik itu penggunaan
kartu kredit ini mengakibatkan adanya beban yang harus di tanggung oleh card holder, seperti
bunga atas kredit.

b. Charge Card
Charge card dinamakan juga dengan bithaah al-wafa’ al mu’ajjal atau dengan bithaqah al-
khasam al-syahri. Kartu ini merupakan kartu yang diterbitkan oleh issuer bank (pihak penerbit
kartu) kepada card holder (pemakai kartu) untuk memperoleh kredit pada masa tertentu sesuai
dengan kualifikasinya apakah silver atau gold dan semuanya harus dilunasi pada masa yang telah
disepakati sebelumnya. Issuer bank akan menetapkan denda financial ketika terjadi keterlambatan
pembayaran. Kartu jenis ini tidak memberikan fasilitas-fasilitas dalam sejumlah tertentu, tetapi
merupakan suatu cara yang mudah mendapatkan kredit dalam batas minimal yang harus dibayarkan
tiap bulannya.6

c. Retail Card
Penerbit kartu jenis ini adalah lembaga atau pusat pedagangan yang menawarkan sebagai
jenis produkbarang dan jasa yang berbeda. Tujuan penerbitan kartu ini adalah menarik para
pelanggan, sehingga kartu jenis ini dianggap termasuk kelompok kartu yang berlaku internal,
bukan eksternal. Kartu kredit retail adalah kartu yang khusus di terbitkan untuk menangani urusan
retail. Jadi dalam cara kerja kartu kredit retail itu ada 3 pihak yang terlibat yaitu , bank,
distributor,Dan retailer Distributor dan retailer harus mengajukan aplikasi kartu kredit ke bank
terkait untuk memperoleh manfaat dari kartu ini. Misalnya dalam Bll Purchasing Card, syarat untuk
distributor antara lain: bergerak di bidang jasa dan perdagangan, telah berdiri minimal 5 tahun,
mempunyai minimal 100 retailer yang berbentuk badan usaha sedangkan syarat untuk retailer:
usaha bertujuan untuk mencari untung bukan lembaga sosial dan mematuhi hukum, berbentuk
badan usaha, mendapat rekomendasi dari distributor minimal selama satu bulan.Penerimaan
pembayaran dengan kartu kredit sangat efisien dan efektif, karena itu banyak dari pengusaha yang
menginginkan segala kemudahan tersebut dapat diberlakukan di perusahaan mereka. Jika dilihat

6
Syariah Charge Card Pada Perbankan Syariah, 2017, https://idr.uin-antasari.ac.id/9880/5/BAB%20III.pdf

6
dari bentuknya, kartu kredit sangat kecil, mudah untuk di bawa ke manapun, dan yang paling
penting tidak mudah rusak.7

d. Kartu Debit
Kartu debit adalah kartu pembayaran secara elektronik yang diterbitkan oleh bank. Kartu
debit berfungsi sebagai pengganti pembayaran dengan uang tunai. Kartu debit mengacu pada saldo
tabungan di bank penerbit kartu debit. Kartu debit berbeda dengan kartu kredit, pembayaran
menggunakan kartu debit langsung ditransfer dari rekening bank pemegang kartu, sedangkan
penerbit kartu kredit meminjamkan uang dan bukan mengambil dari rekening. Keuntungan
menggunakan kartu debit diantaranya yaitu tidak seperti kartu kredit yang membebankan biaya
lebih tinggi dan tingkat bunga ketika uang muka diperoleh, kartu debit dapat digunakan untuk
mendapat uang tunai dari ATM atau transaksi berbasis PIN tanpa tambahan biaya, selain biaya
ATM asing. Adapun kerugian menggunakan kartu debit yaitu penggunaan kartu debit biasanya
tidak terbatas pada dana yang ada di rekening, kebanyakan bank memungkinkan batas tertentu atas
saldo bank yang tersedia yang dapat menyebabkan cerukan biaya jika trransaksi pengguna tidak
mencerminkan adanya keseimbangan.
Penggunaan kartu debit statusnya bukanlah dain dari pemegang kartu kepada pihak bank,
melainkan pemindahan hak yang dimiliki oleh pengguna kartu kepada pihak lain yang dilakukan
oleh bank atas perintah pengguna kartu. Dalam kasus ini, status pengguna kartu debit tersebut sama
dengan hawalah, hawalah hukumnya mubah. 8

C. Kartu Kredit Menurut Pandangan Hukum Islam


Akad dengan kartu yang dikeluarkan oleh bank dengan berbagai macam jenis dan
penggunaannya maka merupakan hal yang baru. Dengan banyaknya pelaku akad, hubungan, ragam,
dan jenis kartu yang digunakan rasanya agak sulit untuk memasukkan akad ini dalam kategori akad
muamalah yang ada dalam pikih Islam. Apabila credit card diposisikan dalam salah satu akad, seperti
hiwalah, ju’alah, wakalah, dan kafalah maka disatu sisi ia akan merugikan disatu pihak dan disisi lain
tidak memberikan kenyamanan bagi pemegang kredit card, karena tidak mungkin di satu hal yang
kompleks, menyeluruh, dengn banyak pelaku, berbagai kesepakatan dan tujuan hanya dituangkan
dalam satu akad dengan format dan bentuk yang tertentu. Apabila ditelusuri akad-akad yang terdapat
dalam akad yang menggunakan kartu ada empat macam; akad antara kreditor dan pemegang kartu,

7
Cermati.com., 5 Keuntungan Memiliki Kartu Kredit Retail, 2016, https://www.cermati.com/artikel/5-keuntungan-
memiliki-kartu-kredit-retail
8
Nining Wahyuningsih, Kartu Kredit (Suatu Tinjauan Syariat Islam),
https://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/amwal/article/download/242/214

7
akad antara kreditor dan pedagang barang/jasa (merchant), akad antara merchant dan pemegang
kartu, dan dua akad terpisah antar dua pelaku, kreditor turut serta dalam tiap akad.9
Dirham card tidak menerapkan sistem biaya sewa berdasarkan prinsip ijarah, kecuali apabila
terjadi keterlambatan dalam pelunasan pembayaran dana yang ditarik. Dalam hal ini pemegang kartu
dikenakan fee, yang penggunannya untuk kegiatan kedrmawanan atau sosial. Pada tahun 2004,
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan Fatwa Nomor: 42/DSN-
MUI/V/200 tentang Syariah Charge Card yang isinya merupakan pedoman untuk penggunaan kartu
kredit dengan prinsip syariah.10
Pertama secara hukum penggunaan Charge Card secara Syariah dibolehkan dengan
ketentuan-ketentuan. Akad yang dapat digunakan untuk syariah Charge Card adalah untuk transaksi
pemegang kartu (hamil al-bithaqah) melalui merchant (qabil al-bithaqah/penerima kartu), akad yang
digunakan adalah akad kafalah wa al ijarah dan untuk transaksi pengambilan uang tunai al-qardh wa
al-ijarah). Kartu kredit merupakan suatu bentuk muamalah yang berdasarkan asas utang-piutang.
Dalam tinjauan hadis, menghutangi adalah amalan terpuji karena termasuk tolong menolong antar
sesama. Jika memang berhutang, maka usahakan untuk melunasi tepat waktu dan tambahkan
nominal dalam pembayaran jika memang mampu. Ajaran dari hadis melarang menghutangi maupun
berhutang untuk keperluan maksiat. Syariat membolehkan berhutang asalkan dalam keadaan
terpaksa dan membutuhkan serta tidak boleh memaksakan jika tidak sanggup untuk melunasi.
Penggunaan kartu kredit diperbolehkan sesuai syariat namun hendaknya mempertimbangkan sesuai
kondisi dan kebutuhan. Jangan sampai dengan kemudahan yang ditawarkan oleh kartu kredit malah
membuat konsumen terjerat dalam budaya konsumtif dan israf (berlebih-lebihan), dan hendaknya
kartu kredit digunakan untuk hal yang produktif. 11

D. Hukum Kartu Kredit Menurut Islam


Hukum kartu kredit menurut Islam berbeda-beda. Hal ini mengikuti jenis dan cara kerja dari
kartu kredit tersebut. Untuk lebih jelasnya silahkan simak penjelasan di bawah ini:
1. Hukum kartu kredit jenis pertama
Kartu yang langsung mendebet saldo rekening, dimana pemegangnya adalah pemilik
rekening bank sendiri. Dimana langsung ditarik atas nilai biaya pembelian dan upah pelayanan
yang diberikan, misalnya restoran dan hotel. Hukumnya adalah boleh, selama pemegangnya

9
Siliwangi, Kartu Kredit Dalam Hukum Islam, 2020,
http://journal.stitdarulhijrahmtp.ac.id/index.php/Jurnal/article/view/17/23#
10
H. Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalat, Penerbit Amzah, Edisi Pertama, cet. V, 2019, hlm. 609
11
Muhammad Nurzakka, Fenomena Kartu Kredit Dalam Tinjauan Hadis, 2021, http://ejournal.uin-
suka.ac.id/ushuluddin/li/article/view/2675/1818

8
menggunakan rekening sendiri, dan tidak dikenakan bunga/riba, karena ia memanfaatkan uang
pribadinya. Bahkan terkadang pemegang kartu menarik uang melebihi jumlah saldo di rekeningnya
dengan izin dari bank, dan tidak membayar bunga /riba, karena sudah menjadi proyek pinjaman
dari bank. Sedangkan Bank akan mendapat persentase tertentu dari harga jual atau jasa. Hal ini
dibolehkan. ransaksi antara pihak yang mengeluarkan kartu kredit (dalam hal ini adalah perbankan)
dan pihak yang menggunakannya (yaitu nasabah) adalah transaksi kafalah (jaminan). Dalam hal ini
perbankan bertindak sebagai kafil (pihak penjamin), sedang pengguna kartu sebagai pihak yang
terjamin, sedangkan kartu kredit itu sendiri adalah bukti dari kafalah. Pihak penjamin berkewajiban
membayar seluruh hutang-hutang pengguna dalam setiap transaksinya dengan para pedagang yang
telah ditunjuk oleh pihak penjamin. Transaksi ini oleh para fuqaha disebut dengan “ dhoman ma
lam yajib“ (jaminan pada sesuatu yang bukan kewajibannya), dan hal ini dibolehkan oleh mayoritas
ulama, adapun ulama-ulama Syafi’iyah tidak membolehkannya.12

2. Hukum kartu kredit jenis kedua


Prosentase yang dipotong oleh pihak yang mengeluarkan kartu dari bayaran untuk
pedagang. Sudah dimaklumi, pihak yang mengeluarkan kartu tidak membayar jumlah bayaran yang
ditetapkan dalam rekening pembayaran. Namun pihak yang mengeluarkan kartu akan memotong
prosentase yang disepakati bersama dalam transaksi yang tegas antara pihaknya dengan pihak
pedagang. Sebagaian Ahli fiqih memandangnya sebagai biaya administrasi, upah dari pengambilan
pembayaran dari nasabah. Sementara mengambil upah dari usaha pengambilan hutang atau
menyampaikan barang yang dihutangkan adalah boleh-boleh saja. Juga bisa jadi sebagai upah dari
jasa yang diberikan oleh pihak bank kepada pihak pedagang, seperti pesan-pesan, iklan, dan
bantuan penyaluran barang atau yang sejenisnya. Bisa juga didudukkan sebagai upah perantara.
Karena pihak bank sudah membantu mencarikan pelanggan untuk pihak pedagang, sehingga layak
mendapatkan upah karenanya.13

3. Hukum kartu kredit jenis ketiga


Kartu kredit yang dapat digunakan sebagai hutang berbasis riba dan pembayarannya
dicicil. Kartu itu diterbitkan oleh bank kepada klien dan diberikan hak untuk pembayaran dan
menarik uang tunai dalam jumlah tertentu, kemudian dijadikan sebagai hutang yang harus dibayar
secara bertahap (cicilan). Kartu tersebut ada dua jenis:

12
Alhikmah.ac.id, Hukum Menggunakan Kartu Kredit, https://alhikmah.ac.id/hukum-menggunakan-kartu-kredit/
13
Holid Syamhudi, Kartu Kredit Dalam Fikih Islam, https://almanhaj.or.id/6755-kartu-kredit-dalam-fikih-islam.html

9
 Kartu Silver : yaitu kartu yang telah ditentukan batas maksimum penggunaannya, misalnya
10.000 dollar.
 Yang kedua – kartu emas : yaitu kartu yang dapat digunakan melebihi batas maksimum
sebelumnya, seperti kartu American Express.
Hukum kedua kartu adalah dilarang, karena hal itu termasuk kontrak pinjaman yang
mengandung riba, yang harus dibayarkan oleh pemegang dengan angsuran yang ditangguhkan. 14
Dapat disimpulkan bahwa apabila mekanisme proses jual beli dengan kartu tersebut
disoroti dari sisi hukum Islam, maka tampak tidak ada proses akad yang bertentangan dengan
ketentuan syara’, kecuali masalah bunga yang dibayar oleh card holder kepada issuer bank, akibat
kredit yang diberikannya kepada card holder. Dalam hukum islam, bunga kecil atau besar tetap
dilarang karena termasuk riba. Dengan demikian, transaksi dengan kartu kredit yang didalamnya
terdapat unsur bunga (riba) hukumnya jelas tidak diperbolehkan. Sebaliknya, transaksi dengan
kartu yang didalamnya tidak ada unsur bunga (riba) hukumnya dibolehkan.

2.2. Multi Level Marketing


A. Pengertian Multi Level Marketing
Pengertian Multi Level Marketing atau disingkat MLM adalah sebuah sistem pemasaran
modern melalui jaringan distribusi yang dibangun secara permanen dengan memposisikan
pelanggan perusahaan sekaligus sebagai tenaga pemasaran." Dengan kata lain, dapat dikemukakan
bahwa Multi Level Marketing adalah pemasaran berjenjang melalui jaringan distribusi yang
dibangun dengan menjadikan konsumen (pelanggan) sekaligus sebagai tenaga pemasaran.15
Menurut Clothier (1994: 9) MLM diartikan sebagai bisnis penjualan langsung yaitu direct
selling. Penjualan langsung atau direct selling dirumuskan oleh Direct Selling Assosiation sebagai
penjualan barang-barang konsumsi langsung ke perorangan, di rumah-rumah maupun di tempat
kerja,melalui transaksi yang diawali dan diselesaikan oleh tenaga penjualnya. 16
Multi level marketing (MLM) adalah strategi pemasaran di mana tenaga penjual (sales)
tidak hanya mendapatkan kompensasi atas penjualan yang mereka hasilkan, tetapi juga atas hasil
penjualan sales lain yang mereka rekrut. Tenaga penjual yang direkrut tersebut dikenal

14
Muamala Media, https://muamala.net/hukum-kartu-kredit-dalam-islam/
15
H. Ahmad Wardi Muchlis, Fiqh Muamalat, Penerbit Amzah, Edisi Pertama, Cet. V, 2019, hlm. 613
16
Imam Mas Arum, Multi Level Marketing (MLM) Syariah : Solusi Praktis Menekan Praktik Bisnis Riba,Money
Game, Jurnal Muqtasid, Volume 3 Nomor 1, Juli 2012

10
dengan anggota "downline". Istilah lain yang digunakan untuk MLM adalah penjualan
piramida, pemasaran jaringan, dan pemasaran berantai.17
Dari ketiga pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa Multi Level Marketing adalah
suatu konsep penyaluran barang (produk dan jasa tertentu) yang memberi kesempatan kepada para
konsumen untuk turut terlibat sebagai penjual dan memperoleh keuntungan di dalam garis
kemitraannya.

B. Perspektif Syariah Terhadap Multi Level Marketing


Pada dasarnya semua bentuk kegiatan bisnis menurut syariat Islam termasuk dalam
kategori muamalat yang hukumnya sah dan boleh dilakukan. Hal ini sesuai dengan kaidah:

‫والتحريم البطالن على دليل يقوم حتى الصحة والمعامالت العقود في األصل‬

Pada dasarnya semua akad dan muamalat hukumnya sah sehingga ada dalil yang membatalkan dan
mengharamkannya. Kaidah tersebut bersumber dari hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari Anas dan Aisyah ra. bahwa Rasulullah bersabda:

‫دنياكم بأمر أعلم أنتم‬

“Kamu sekalian lebih tahu tentang urusan duniamu." 18

Maknanya amat jelas. Yaitu agama tidak turut campur dalam urusan-urusan manusia yang
didorong oleh insting dan kebutuhan duniawinya. Kecuali jika telah terjadi sikap berlebihan,
mengurangi atau penyimpangan. Dan agama akan turut campur tangan untuk mengaitkan seluruh
gerak manusia yang bersipat insting atau biasa dengan tujuan-tujuan Rabbaniah yang luhur serta
akhlak yang mulia. Kemudian memberikan tuntunan etika kemanusian yang luhur dalam
melaksanan semua tugas tersebut, sehingga membedakan manusia dari hewan.
Dilihat dari hadis di atas, dapat dipahami bahwa dalam urusan duniawi, termasuk
didalamnya muamalat, bahwa islam memberikan kebebasan asalkan tidak keluar dari ketentuan
syara' . Salah satu contoh ketentuan syara' adalah dilarangnya riba. oleh karena itu semua transaksi
yang dilakukan oleh manusia semuanya sah asalkan tidak mengandung riba.
MLM yang menggunakan strategi pemasaran secara bertingkat (levelisasi) mengandung
unsur-unsur positif, asalkan diisi dengan nilai-nilai Islam dan sistemnya disesuaikan dengan

17
Gazali, Konsep Multi Level Marketing (MLM) Dalam Pandangan Syariah, Jurnal Ilmu Kependidikan dan Keislaman,
Volume 13, Nomor 02, Juli 2018
18
Jalaluddin As-Sayuthi, Al-Jami' Ash-Shaghir, Juz I, Dar Al-Fikr, t.t, hlm. 108.

11
syari’ah Islam. Bila demikian, MLM dipandang memiliki unsur-unsur silaturrahmi, dakwah dan
tarbiyah. Menurut Muhammad Hidayat, Dewan Syari’ah MUI Pusat, metode semacam ini pernah
digunakan Rasulullah dalam melakukan dakwah Islamiyah pada awal-awal Islam. Dakwah Islam
pada saat itu dilakukan melalui teori gethok tular (mulut ke mulut) dari sahabat satu ke sahabat
lainnya. Sehingga pada suatu ketika Islam dapat di terima oleh masyarakat kebanyakan. 19
Agar bisnis MLM ini sesuai dengan syariah, maka harus dipenuhi beberapa syarat sebagai
berikut.
1. Produk yang dipasarkan harus halal, thayib (berkualitas), dan menghindari syubhat.
2. Sistem akadnya harus memenuhi kaidah dan rukun jual beli sebagaimana yang terdapat dalam
hukum Islam.
3. Kegiatan operasional, kebijakan, corporate culture, dan system akuntansinya harus sesuai
dengan syariah.
4. Tidak ada upaya untuk melakukan mark up harga barang yangmelampaui batas kewajaran
(misalnya dua kali lipat), sehingga anggota terzalimi dengan harga yang sangat mahal, tidak
sepadan dengan kualitas dan manfaatnya.
5. Struktur manajemennya memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang terdiri dari para
ulama yang memahami masalah ekonomi.
6. Formula insentif harus adil, tidak menzalimi down line dan tidak menempatkan up line hanya
sebagai anggota yang menerima pasif income tanpa bekerja.
7. Pembagian bonus harus mencerminkan usaha masing-masing anggota.
8. Tidak ada eksploitasi dalam aturan pembagian bonus antara orang yang awal menjadi anggota
dengan yang akhir (belakangan).
9. Bonus yang diberikan harus jelas angka nisbahnya sejak awal.
10. Tidak menitikberatkan kepada barang-barang tersier ketika umat masih bergelut dengan
pemenuhan kebutuhan primer.
11. Cara penghargaan kepada mereka yang berprestasi tidak boleh mencerminkan sikap hura-hura
dan pesta pora karena sikap tersebut tidak sesuai dengan syariah.
12. Perusahaan MLM harus berorientasi kepada kemaslahatan ekonomi umat. 20

Dapat disimpulkan bahwa MLM boleh saja dilakukan sepanjang tindakannya tidak
melanggar rambu-rambu. Di antara rambu-rambu tersebut adalah bahwa kegiatan bisnis yang
dilakukan tidak boleh mengandung unsur dharar (merugikan), gharar (manipulasi), jahalah

19
Agus Marimin, Abdul Haris Romdhoni, dan Tira Nur Fitria, Bisnis Multi Level Marketing (MLM)
Dalam Pandangan Islam, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam Vol. 02, No. 02, Juli 2016
20
Agustianto, Multi Level Marketing dalam Perspektif Islam, http://agustianto,niriah.com tanggal 16-5-2008

12
(ketidakjelasan), dan zhulm (menganiaya pihak lain), serta maisir (judi), riba (bunga), ihtikar
(penimbunan), dan bathil. Selain itu agar bisnis MLM sejalan dengan syariah maka harus
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.

C. Contoh Bisnis MLM


Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) menyampaikan hingga saat
ini ada sembilan perusahaan penjualan langsung yang telah mengantongi sertifikasi halal.
Perusahaan penjualan langsung ini lebih dikenal sebagai perusahaan Multi Level Marketing
(MLM) karena cara pemasarannya tersebut. Anggota DSN MUI, Bukhori Muslim menyampaikan
sembilan perusahaan tersebut sudah pasti memenuhi 12 poin dalam Fatwa DSN MUI No. 75/DSN
MUI/VII/2009 tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS). Meski belum menjamin
kehalalannya jika belum mendapatkan sertifikat halal.
Menurut situs DSN MUI terkait PLBS, perusahaan MLM dengan sertifikasi halal tersebut
diantaranya PT Herba Penawar Alwahida Indonesia, PT Singa Langit Jaya (TIENS), PT Nusantara
Sukses Selalu, PT K-Link Nusantara, PT UFO BKB Syariah, PT Momen Global Internasional, PT
Veritra Sentosa Internasional atau yang dikenal dengan PayTren. 21

2.3. Waralaba
A. Pengertian Waralaba
Di Indonesia, kerjasama waralaba dikenal sejak tahun 1980-an dan dipelopori oleh
perusahaan-perusahaan multinasional. Pilihan kata atau padanan kata dari Franchising menjadi
“Waralaba”, berarti keuntungan istimewa. Sementara itu, pengertian Franchising menurut
Ensiklopedia Nasional Indonesia (ENI) adalah sebagai berikut :
“Suatu bentuk kerjasama manufaktur atau penjualan antara pemilik franchise dan pembeli
franchise atas dasar kontrak dan pembayaran royalty. Kerja sama ini meliputi pemberian lisensi
atau hak pakai oleh pemegang franchise yang memiliki nama atau merek, gagasan, proses, formula,
atau alat khusus ciptaannya kepada pihak pembeli franchise disertai dukungan teknis dalam bentuk
manajemen. Pelatihan, promosi, dan sebagainya. Untuk itu pembeli Franchise membayar hak pakai
tersebut disertai royalty, yang pada umumnya merupakan presentase dari jumlah penjualan.” 22
Waralaba menurut konsultan waralaba Amir Karamoy adalah suatu pola kemitraan usaha
antara perusahaan yang memiliki merek dagang dikenal dan sistem manajemen, keuangan dan

21
Lida Puspaningtyas, MUI Sebut Ada Sembilan MLM yang Memiliki Sertifikat Halal, 2019,
https://www.republika.co.id/berita/po9li4430/mui-sebut-ada-sembilan-mlm-yang-memiliki-sertifikasi-
halal#:~:text=Menurut%20situs%20DSN%20MUI%20terkait,Sentosa%20Internasional%20atau%20yang%20dikenal
22
Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, Jakarta: Raja Grafindo persada, 2006

13
pemasaran yang telah mantap, disebut pewaralaba, dengan perusahaan atau individu yang
memanfaatkan atau menggunakan merek dan sistem milik pewaralaba, disebut terwaralaba.
Pewaralaba wajib memberikan bantuan teknis, manajemen dan pemasaran kepada terwaralaba dan
sebagai imbal baliknya, terwaralaba membayar sejumlah biaya (fees) kepada pewaralaba.
Hubungan kemitraan usaha antara kedua pihak dikukuhkan dalam suatu perjanjian
lisensi/waralaba.23
Sedangkan menurut Juajir Sumardi, franchise adalah sebuah metode pendistribusian barang
dan jasa kepada masyarakat konsumen, yang dijual kepada pihak lain yang berminat memiliki.
Pemilik dari metode ini disebut franchisor, sedang pembeli yang berhak untuk menggunakan
metode itu disebut franchisee.24
Dari ketiga pengertian waralaba di atas dapat disimpulkan bahwa waralaba merupakan hak
khusus yang dimiliki orang perseorangan atau badan usaha terhadap system bisnis dengan ciri khas
usaha dalam rangka memasarkan barang atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat
dimanfaatkan serta digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.
Perjanjian waralaba merupakan salah satu aspek perlindungan hukum kepada para pihak
dari perbuatan merugikan pihak lain. Hal tersebut dikarenakan perjanjian dapat menjadi dasar
hukum yang kuat untuk menegakkan perlindungan hukum bagi para pihak. Apabila salah satu
melanggar isi perjanjian maka pihak yang lain dapat menuntut pihak yang melanggar tersebut
sesuai dengan hukum yang berlaku.
Perjanjian waralaba (franchise agreement) memuat sekumpulan persyaratan, ketentuan, dan
komitment yang dibuat dan dikehendaki oleh franchisor bagi para francshisee-nya. Di dalam
waralaba tercantum ketentuan berkaitan dengan hak dan kewajiban franchisee dan franchisor,
misalnya hak teritorial yang dimiliki franchisee, persyaratan lokasi, ketentuan pelatihan, biaya-
biaya yang harus dibayar oleh franchisee kepada franchisor, ketentuan berkaitan dengan lama
perjanjian waralaba dan perpanjangannya, serta ketentuan lain yang mengatur hubungan antara
franchisee dengan franchisor.

B. Aspek Syariah Dari Waralaba


Dipahami bahwa pihak franchisor memberikan hak miliknya berupa hak paten (meskipun
bukan harta/modal) atas pengelolaan perusahaannya kepada franchisee, sehingga dengan demikian
franchisee dalam bisnisnya diperbolehkan menggunakan nama perusahaan franchisor, logo, system

23
Inas Fahmiyah , Konsep Waralaba Perspektif Ekonomi Islam, Amwaluna: Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah.
Vol. 3 No. 1, 2019
24
H. Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalat, Penerbit Amzah, Edisi Pertama, cet. V, 2019, hlm. 620

14
operasi, dan prosedur serta cara-cara yang telah ditetapkan oleh franchisor, dengan perjanjian yang
disepakati bersama. Dilihat dari sudut pandang syariah (fiqh), perjanjian ini termasuk kepada
kelompok syirkah (persekutuan). Dan hukumnya dibolehkan berdasarkan kaidah:

‫واألصل في العقود والمعامالت الصحة حتى يقوم دليل على البطالن والتحريم‬

“Hukum asal dalam berbagai perjanjian dan muamalat adalah sah sampai adanya dalil yang
menunjukkan kebatilan dan keharamannya".25
Secara garis besar pengertian syirkah adalah suatu akad atau perjanjian antara dua belah
pihak atau lebih untuk bekerja sama dalam suatu kegiatan usaha dimana modal dan keuntungan
dibagi bersama kepada semua peserta. Dalam konteks perjanjian waralaba, pihak-pihak yang
bekerja sama adalah pemberi waralaba (franchisor) dan penerima waralaba (franchisee). Sedangkan
modal dari pemberi waralaba (franchisor) adalah hak intelektual dalam bentuk nama perusahaan,
logo, system, dan cara-cara yang dimiliki dan dikembangkan oleh franchisor. Hak-hak tersebut
meskipun bukan berbentuk harta (mal), namun bisa dinilai dengan harta. Modal yang dikeluarkan
oleh penerima waralaba adalah harta untuk modal usaha. Dengan melihat uraian di atas maka
perjanjian waralaba termasuk dalam syirkah ‘inan.26
Jika diperhatikan dari sudut bentuk perjanjian yang diadakan waralaba (franchising) dapat
dikemukakan bahwa perjanjian waralaba sebenarnya merupakan pengembangan dari bentuk
kerjasama (syirkah). Hal ini dapat dipahami bahwa dengan adanya perjanjian franchising, maka
secara otomatis antara franchisor dan franchisee terbentuk hubungan kerja sama untuk waktu
tertentu (sesuai dengan perjanjian). Kerja sama tersebut dimaksudkan untuk memperoleh
keuntungan bagi kedua belah pihak dengan cara kerjasama baik dalam bentuk pemberian izin
menggunakan merek dan resep dagang tertentu, atau kerjasama dalam pembinaan keahlian tenaga
kerja. Ada juga kerja sama di mana salah satu pihak mengeluarkan tenaga dan pihak lain hanya
mengeluarkan modal usaha dengan perjanjian keuntungan akan dibagi sesuai kesepakatan. Dalam
operasional kegiatan waralaba juga diterapkan prinsip keterbukaan, kejujuran dan kehati-hatian.27

C. Dasar Hukum Bisnis Waralaba Di Indonesia


Sebagai suatu perjanjian, waralaba tunduk pada ketentuan umum yang berlaku bagi sahnya
suatu perjanjian sebagai-mana diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Selain

25
Alhikmah.ac.id, https://alhikmah.ac.id/segala-sesuatu-urusan-dunia-dan-muamalah-adalah-sah-dan-mubah-
selama-tidak-ada-dalil-yang-mengharamkan-dan-membatalkannya/
26
H. Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalat, Penerbit Amzah, Edisi Pertama, cet. V, 2019, hlm. 623
27
Linda Firdawati, Perjanjian Waralaba Menurut Hukum Islam, 2011,
https://media.neliti.com/media/publications/177890-ID-none.pdf

15
itu secara khusus pengaturan mengenai waralaba di Indonesia dapat kita temukan dalam Peraturan
Pemerintah RI No.16 Tahun 1997 tanggal 18 Juni 1997 tentang Waralaba, dan Keputusan Menteri
Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 259/MPP/Kep/7/1997 tanggal 30 Juli
1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba. Peraturan
Pemerintah RI No. 16 Tahun 1997 Tanggal 18 Juni 1997 tentang Waralaba, dan Peraturan
Pemerintah No. 16 Tahun 1997 mendefinisikan waralaba sebagai :perikatan dimana salah satu
pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual
atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan
persyaratan dan atau penjualan barang dan atau jasa” Ketentuan Pasal 2 PP No. 16 Tahun 1997
menegaskan bahwa Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi
Waralaba dan Penerima Waralaba, dengan ketentuan bahwa perjanjian waralaba dibuat dalam
bahasa Indonesia dan terhadapnya berlaku hukum Indonesia. 28
Di Indonesia, waralaba dengan prinsip syariah telah banyak bermunculan, antara lain
seperti Restoran Saribungo Metropolitan Masakan Padang yang dibuka di Yogyakarta. Pemilik
paten waralaba Saribungo H.Ahmad Syahrizal menjelaskan bahwa Restoran Di Yogya ini
merupakan cabang kedua setelah Jakarta. Sistem syariah diterapkan untuk penggajian karyawan.
Perusahaan ini tidak menetapkan sistem gaji konvensional karena dianggap sering menimbulkan
masalah. Antara owner, pengelola, dan karyawan digunakan prinsip bagi hasil. 29

2.4. Pegadaian Syariah


A. Perbandingan Antara Pegadaian Konvensional Dengan Pegadaian Syariah
Secara garis besar pengertian gadai adalah menjadikan suatu barang sebagai jaminan atas
utang, dengan ketentuan apabila terjadi kesulitan dalam pembayaran maka utang tersebut bisa
dibayar dari hasil penjualan barang yang dijadikan jaminan itu. Istilah pegadaian syariah lebih
dititik beratkan kepada aplikasi gadai di Indonesia yang menerapkan prinsip-prinsip syariah.
Selama in gadai di Indonesia secara formal berpedoman kepada Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Pasal 1150 s.d. Pasal 1160. Dilihat dari definisinya gadai dalam Hukum Perdata hamper
sama dengan gadai dalam hukum Islam.
Dalam Pasal 1150 KUH Perdata disebutkan:
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang

28
Syahrani, Bisnis Waralaba Di Indonesia Dalam Perspektif Hukum Bisnis Syariah, 2012, https://jurnal.uin-
antasari.ac.id/index.php/taradhi/article/view/567/pdf
29
H. Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalat, Penerbit Amzah, Edisi Pertama, cet. V, 2019, hlm. 624

16
memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut
secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk
melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah
barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.30
Pegadaian adalah suatu badan atau organisasi yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa
peminjaman uang dengan menggadaikan suatu barang sebagai jaminannya. Nasabah yang ingin
mendapatkan uang pinjaman harus menggadaikan barang sebagai jaminan. Baru kemudian pihak
pegadaian memberikan pinjaman uang sebanding dengan nilai jaminan barangnya. Tiap
peminjaman memiliki jangka waktu berlaku. Nasabah dapat melunasi pinjamannya/menebus
barangnya sesuai dengan jumlah pinjaman sebelum jangka waktu tersebut habis. Jika pinjaman
tidak lunas dibayar sampai jangka waktu habis, maka barangnya akan hangus. Jika sudah hangus,
maka barang tidak bisa ditebus dan akan dilelang oleh pihak pegadaian.31
Sedangkan menurut Kashmir dalam bukunya Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (2008
: 262), secara umum pengertian usaha gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga
kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus
kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai. Beliau juga
menyimpulkan bahwa usaha gadai memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Terdapat barang-barang berharga yang digadaikan
2. Nilai jumlah pinjaman tergantung nilai barang yang digadaikan
3. Barang yang digadaikan dapat ditebus kembali. 32

Dari pengertian pegadaian di atas dapat disimpulkan bahwa pegadaian adalah kegiatan
menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan
barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antar nasabah dengan
lembaga gadai.

Perbedaan antara pegadaian syariah dengan pegadaian konvensional terletak pada


pengenaan biayanya. Pegadaian konvensional memungut biaya dalam bentuk bunga yang bersifat
akumulatif dan berlipat ganda, sedangkan dalam Islam bunga termasuk riba dan hukumnya haram.

30
Indonesia (a) ,Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
diterjemahkan oleh Subekti dan Tjitrosudibio, Cet. 39, Jakarta: Pradnya Paramita, 2008,
Pasal 1150
31
University of Yogyakarta, Pegadaian, http://staffnew.uny.ac.id/upload/132318570/pendidikan/pegadaian.pdf
32
University of Yogyakarta, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya “Pegadaian”,
http://solikhah.blogs.uny.ac.id/wp-content/uploads/sites/1254/2017/03/PEGADAIAN-MAkalah.pdf

17
Oleh karena itu biaya yang dipungut tidak berbentuk bunga, melainkan biaya penitipan,
pemeliharaan, penjagaan, dan penaksiran.

Pegadaian konvensional menarik bunga 10%-14% untuk jangka waktu empat bulan,
ditambah asuransi sebesar 0,5% dari jumlah pinjaman. Jangka waktu empat bulan itu bisa terus
diperpanjang selama nasabah mampu membayar bunga. Sedangkan pegadaian syariah (yang
dilakukan oleh BSM) hanya memungut biaya 4% untuk jangka waktu dua bulan. Apabila lewat dua
bulan, nasabah tidak mampu menebus barangnya maka masa gadai bisa diperpanjang dua periode.
Jadi, jumlah waktunya enam bulan, dan tidak ada tambahan pungutan biaya. Apabila waktu enam
bula telah lewat dan nasabah tidak mampu menebus barangnya maka BSM akan langsung
mengeksekusi barang gadai tersebut.33

B. Sejarah Pegadaian Syariah


Berdirinya pegadaian syariah, berawal pada tahun 1998 ketika beberapa General Manager
melakukan studi banding ke Malaysia. Setelah melakukan studi banding, mulai dilakukan
penggodokan rencana pendirian pegadaian syariah. Tapi ketika itu ada sedikit masalah internal
sehingga hasil studi banding itu pun hanya ditumpuk. Tahun 2002 mulai diterapkan sistem
pegadaian syariah dan pada tahun 2003 pegadaian syariah resmi dioperasikan dan pegadaian
cabang Dewi Sartika menjadi kantor cabang pegadaian pertama yang menerapkan sistem pegadaian
syariah. Prospek pegadaian syariah di masa depan sangat luar biasa. Respon masyarakat terhadap
pegadaian syariah ternyata jauh lebih baik dari yang diperkirakan. Menurut survei BMI, dari target
operasional tahun 2003 sebesar 1,55 milyar rupiah pegadaian syariah cabang Dewi Sartika mampu
mencapai target 5 milyar rupiah.34
Pegadaian syariah tidak menekankan pada pemberian bunga dari barang yang digadaikan.
Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap memperoleh keuntungan seperti yang sudah diatur oleh
Dewan Syariah Nasional, yaitu memberlakukan biaya pemeliharaan dari barang yang digadaikan.
Biaya itu dihitung dari nilai barang, bukan dari jumlah pinjaman. Sedangkan pada pegadaian
konvensional, biaya yang harus dibayar sejumlah dari yang dipinjamkan. 35

33
H. Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalat, Penerbit Amzah, Edisi Pertama, cet. V, 2019, hlm. 626
34
Febrianur Ibnu Fitroh Sukono Putra, Dinamika Perkembangan Pedagaian Syariah Di Indonesia,
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/7727/Mahasiswa%20%28Student%20Paper%20Present
ation%29%281%29_4.pdf?sequence=1&isAllowed=y
35
Febrianur Ibnu Fitroh Sukono Putra, Dinamika Perkembangan Pedagaian Syariah Di Indonesia,
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/7727/Mahasiswa%20%28Student%20Paper%20Present
ation%29%281%29_4.pdf?sequence=1&isAllowed=y

18
Lembaga keuangan formal yang pertama kali membuka pegadaian yang berbasis syariah
adalah Perum Pegadaian dengan bentuk Unit Pegadaian Syariah. Pegadaian syariah ini bertugas
menyalurkan pembiayaan dalam bentuk permberian uang pinjaman kepada masyarakat yang
membutuhkan berdasarkan hukum gadai syariah. Sampai saat ini baru ada lima lembaga keuangan
yang membuka pegadain syariah:
a) Perum Pegadaian bekerja sama dengan Bank Muamalat
b) Unit Layanan Gadai Bank Syariah Mandiri
c) Bank Danamon
d) BNI Syariah
e) Bank Jabar Syariah
Bank Syariah Mandiri mengeluarkan jasa gadai dengan mendirikan Gadai Emas Syariah,
yang berbeda dengan gadai konvensional dalam hal pengenaan biaya. Gadai Emas Syariah Bank
Mandiri mengenakan biaya sekali dan dibayar si muka. Sedangkan gadai emas konvensional
mengenakan biaya berupa bunga yang bersifat akumulatif. 36

C. Mekanisme Operasional Pegadaian Syariah


Mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut: Melalui
akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan
merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses
penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan,
biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian
mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan
tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman.. Sehingga di
sini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai ‘lipstick’ yang akan menarik
minat konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian. 37

D. Produk dan Jasa Pegadaian Syariah


Produk dan layanan jasa pegadaian syariah adalah sebagai berikut:
1. Pemberian pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum gadai syariah

36
H. Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalat, Penerbit Amzah, Edisi Pertama, cet. V, 2019, hlm. 626-627
37
Surepno, Studi Implementasi Akad Rahn (Gadai Syariah) Pada Lembaga Keuangan Syariah, Tawazun: Journal of
Sharia Economic Law P-ISSN: 2655-9021, E-ISSN: 2655-9579, Volume 1, Nomor 2, September 2018,
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/tawazun/index

19
Pemberian pinjaman atas dasar hukum gadai syariah berarti mensyaratkan pemberian
pinjaman atas dasar penyerahan barang bergerak oleh rahin. Konsekuensinya bahwa jumlah
pinjaman yang diberikan kepada masing-masing peminjam sangat dipengaruhi oleh nilai
barang bergerak dan tidak bergerak yang akan digadaikan.38
2. Penaksiran nilai barang
Nilai taksiran adalah nilai atau harga perkiraan suatu barang jaminan yang ditentukan oleh
para petugas penaksir atas suatu barang jaminan yang diserahkan oleh nasabah kepada pihak
pegadaian untuk menentukan penetapan jumlah uang pinjaman yang akan diserahkan kepada
nasabah. Dengan penaksiran kegiatan yang dilakukan adalah perhitungan dan pengukuran
terhadap barang jaminan yang diserahkan oleh nasabah.39
3. Penitipan barang (ijarah)
Pegadaian syariah juga menerima titipan barang dari masyarakat berupa surat-surat berharga,
seperti surat-surat kendaraan bermotor (BPKB), sertifikat tanah, dan ijazah. Fasilitas ini
diberikan kepada mereka yang ingin melakukan perjalanan jauh dalam waktu yang relative
lama, atau karena penyimpanan di rumah dirasakan kurang aman. Atas jasa penitipan
tersebut, gadai syariag menerima ongkos penitipan dari pemilik barang. 40
4. Gold counter
Merupakan penyediaan fasilitas berupa tempat penjuakan emas yang menawarkan
keunggulan kualitas dan keaslian. Gerai ini mirip dengan gerai emas Galeri 24 karat yang
ada pada pegadaian konvensional. Emas yang dijual di pegadaian syariah akan dilampiran
dengan serifikat terjamin dengan sertifikat tersebut masyarakat percaya dan yakin akan
kualitas dan keaslian emas yang dibelinya.41

D. Fatwa DSN MUI Tentang Rahn/Gadai


Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam menetapkan fatwa
No. 92 Tahun 2014 ini dilatar belakangi oleh beberapa hal, yaitu: Pertama, fatwa-fatwa DSN-MUI
tentang rahn dipandang belum mengakomodasi pengembangan usaha berbasis rahn. Fatwa-fatwa
tentang rahn yang ada masih berkutat pada hukum dan mekanisme rahn secara sempit, belum
mencangkup pada usaha-usaha yang lain yag berkaitan dengan rahn. Hal ini tentu akan membawa

38
Ediyansiah, Gadai dalam Perspektif Hukum Islam (Rahn), 2017,
http://repository.radenintan.ac.id/1273/3/BAB_2_LENGKAP.pdf
39
Endang, Analisis Penaksiran Nilai Barang Gadai Emas dalam Menentukan Jumlah Pinjaman Nasabah pada PT.
Pegadaian (Persero) UPC Sekayu, Jurnal ACSY Politeknik Sekayu, Vol. VII, No. 2, 2018
40
H. Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalat, Penerbit Amzah, Edisi Pertama, cet. V, 2019, hlm. 631
41
Adilla Sarah Erangga, Operasional Gadai Dengan Sistem Syariah PT. Pegadaian (Persero) Surabaya

20
dilema tersendiri bagi pihak-pihak yang menginginkan usahanya maju dan berkembang dengan
berbasis pada transaksi rahn (gadai). Kedua, lembaga Keuangan Syariah memerlukan fatwa terkait
pengembangan usaha berbasis rahn. Sebagai lembaga keuangan yang berlandaskan syariah,
Lembaga Keuangan Syariah tentunya harus memiliki pijakan atau landasan hukum dalam
melaksanakan transaksinya. Landasan hukum tersebut haruslah berprisip syariah. Dalam hal ini,
Dewan Syariah Nasional sebagai lembaga negara yang berwenang menetapkan fatwa seputar
kegiatan-kegiatan ekonomi yang berbasis syariah, dituntut untuk selalu cermat dan cepat dalam
memberikan jawaban atas permasalahan yang ada, utamanya dalam peng embangan usaha yang
berbasis rahn pada Lembaga Keuangan Syariah. 42
Sebagai pedoman aplikasi pegadaian syariah di Indonesia, Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan dua buah fatwa. Fatwa yang pertama yaitu Fatwa Nomor
25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn. Dan fatwa yang kedua yaitu Fatwa Nomor 26/DSN-
MUI/III/2002 tentang Rahn Emas, yang dimohon oleh Bank Syariah Mandiri dengan suratnya
Nomor 3/305/DPM tanggal 23 Oktober 2001.
Kedua fatwa ini merupakan ketentuan hukum dan menjadi pedoman bagi Lembaga
Keuangan Syariah di Indonesia yang membuka layanan pegadaian syariah, seperti Bank Syariah
Mandri dan lain-lain. Untuk menjamin kesyariahan dari Pegadaian Syariah ini, masing-masing
lembaga Lembaga Pegadaian Syariah dilengkapi dengan Dewan Pengawas Syariah Pegadaian yang
diangkat oleh pemerintah, dengan tugas mengawasi operasional pegadaian syariah dan produk-
produnya agar sesuai dengan ketentuan syariah.43

42
Habib Wakidatul Ihtiar, Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasionala Nomor: 92/DSN-MUI/IV/2014 Tentang
Pembiayaan yang Disertai Rahn, https://media.neliti.com/media/publications/63649-ID-analisis-fatwa-dewan-
syariah-nasional-no.pdf
43
H. Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalat, Penerbit Amzah, Edisi Pertama, cet. V, 2019, hlm. 631-633

21
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Apabila mekanisme proses jual beli dengan kartu tersebut disoroti dari sisi hukum Islam,
maka tampak tidak ada proses akad yang bertentangan dengan ketentuan syara’, kecuali masalah
bunga yang dibayar oleh card holder kepada issuer bank, akibat kredit yang diberikannya kepada
card holder. Dalam hukum islam, bunga kecil atau besar tetap dilarang karena termasuk riba. Dengan
demikian, transaksi dengan kartu kredit yang didalamnya terdapat unsur bunga (riba) hukumnya jelas
tidak diperbolehkan. Sebaliknya, transaksi dengan kartu yang didalamnya tidak ada unsur bunga
(riba) hukumnya dibolehkan.
Disimpulkan bahwa MLM boleh saja dilakukan sepanjang tindakannya tidak melanggar
rambu-rambu. Di antara rambu-rambu tersebut adalah bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan tidak
boleh mengandung unsur dharar (merugikan), gharar (manipulasi), jahalah (ketidakjelasan), dan
zhulm (menganiaya pihak lain), serta maisir (judi), riba (bunga), ihtikar (penimbunan), dan bathil.
Selain itu agar bisnis MLM sejalan dengan syariah maka harus memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan.
Dari konsep bisnis waralaba, dapat kita simpulkan bahwa keberadaan waralaba dewasa ini
merupakan akibat dari perkembangan ekonomi dalam hal transaksi bisnis. Bisnis ini dilakukan oleh
dua pihak yang berakad, baik berupa badan usaha maupun perorangan sebagai subyek hukumnya.
Kekhasan dalam system ini terletak pada obyek perjanjian atau kontrak yang berupa hak kekayaan
intelektual (HAKI). Yang hukumnya dalam fiqh muamalah adalah mubah atau boleh. Dan kebolehan
ini terjadi selama tidak ada unsur keharaman dalam obyeknya. Baik daris segi dzat (lidzatihi)
maupun non dzatnya (lighairihi). Dan selama tidak bertentangan dengan akad syariah dan asas-
asasnya.
Pegadaian dalam meningkatkan perekonomian masyarakat sangat berperan dan sangat
membantu dengan terutama pada kalangan pengusaha dalam menyelesaikan urusan modal atau dana
dan kalangan masyarakat ekonomi menengah kebawah. Usaha pihak pegadaian dalam membantu
para nasabah khususnya dalam meningkatkan taraf perekonomian sangat di dukung dalam Islam.
Karena dengan alasan dan tujuan dengan niat yang baik. pegadaian syariah adalah pegadaian yang
dalam menjalankan operasionalnya berpegang teguh kepada payung hukum prinsip syariah yang
telah di keluarkan oleh Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 taggal 26 Juni 2002 yang
menyatakan tentang pinjaman dengan menggadaikan barang seabagai jaminan utang dalam bentuk

22
rahn diperbolehkan dalam Syariat. Sedangkan dalam aspek kelembagaan tetap menginduk kepada
peraturan pemerintah No. 10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990.

23
DAFTAR PUSTAKA
Muslich, Ahmad Wardi. 2010. “Fikih Muamalat”, Jakarta: Amzah.
Bloomenthal, Andrew. 2021. “Credit Card”, https://www.investopedia.com/terms/c/creditcard.asp
Fitri Anis Wardani. “Kartu Kredit Syariah dalam Tinjauan Islam”
Muamala Media. 2018. “Halal Haram Hukum Kartu Kredit dalam Islam”,
https://muamala.net/hukum-kartu-kredit-dalam-islam/
Arum, Imam Mas. 2012. “Multi Level Marketing (MLM) Syariah : Solusi Praktis Menekan Praktik
Bisnis Riba,Money Game”, Jurnal Muqtasid, Volume 3 Nomor 1
Gazali. 2018. “Konsep Multi Level Marketing (MLM) Dalam Pandangan Syariah”, Jurnal Ilmu
Kependidikan dan Keislaman, Volume 13, Nomor 02
Jalaluddin As-Sayuthi, Al-Jami' Ash-Shaghir, Juz I, Dar Al-Fikr, t.t, hlm. 108.
Agus Marimin, Abdul Haris Romdhoni, dan Tira Nur Fitria. 2016. “Bisnis Multi Level Marketing
(MLM) Dalam Pandangan Islam”, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam Vol. 02, No. 02
Agustianto. 2008. “Multi Level Marketing dalam Perspektif Islam”, http://agustianto,niriah.com
Syahmin AK. 2006. “Hukum Kontrak Internasional”, Jakarta: Raja Grafindo persada
Fahmiyah, Inas. 2019. “Konsep Waralaba Perspektif Ekonomi Islam”. Amwaluna: Jurnal Ekonomi
dan Keuangan Syariah. Vol. 3 No. 1
Alhikmah.ac.id, https://alhikmah.ac.id/segala-sesuatu-urusan-dunia-dan-muamalah-adalah-sah-dan-
mubah-selama-tidak-ada-dalil-yang-mengharamkan-dan-membatalkannya/
Indonesia (a). 2008. “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)”, diterjemahkan
oleh Subekti dan Tjitrosudibio, Cet. 39, Jakarta: Pradnya Paramita, Pasal 1150
University of Yogyakarta. “Pegadaian”,
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132318570/pendidikan/pegadaian.pdf
University of Yogyakarta. “Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Pegadaian”,
http://solikhah.blogs.uny.ac.id/wp-content/uploads/sites/1254/2017/03/PEGADAIAN-
MAkalah.pdf
Putra, Febrianur Ibnu Fitroh Sukono. “Dinamika Perkembangan Pedagaian Syariah Di Indonesia”,
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/7727/Mahasiswa%20%28Student%20
Paper%20Presentation%29%281%29_4.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Erangga, Adilla Sarah. “Operasional Gadai Dengan Sistem Syariah PT. Pegadaian (Persero)
Surabaya”
Cermati.com, 2016, 5 Keuntungan Memiliki Kartu Kredit Retail, https://www.cermati.com/artikel/5-
keuntungan-memiliki-kartu-kredit-retail
Syariah Charge Card Pada Perbankan Syariah, https://idr.uin-antasari.ac.id/9880/5/BAB%20III.pdf

24
Tokopedia, 2017,Tipe-tipe Kartu Kredit dan Kegunaanya, https://www.tokopedia.com/blog/jenis-
jenis-kartu-kredit/
Wahyuningsih, Nining, Kartu Kredit (Suatu Tinjauan Syariat Islam),
https://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/amwal/article/download/242/214
Siliwangi, 2020, Kartu Kredit Dalam Hukum Islam,
http://journal.stitdarulhijrahmtp.ac.id/index.php/Jurnal/article/view/17/23#
Nurzakka, Muhammad, 2021, Fenomena Kartu Kredit Dalam Tinjauan Hadis, http://ejournal.uin-
suka.ac.id/ushuluddin/li/article/view/2675/1818
Syamhudi, Holid, Kartu Kredit Dalam Fikih Islam, https://almanhaj.or.id/6755-kartu-kredit-dalam-
fikih-islam.html
Puspaningtyas, Lida, 2019, MUI Sebut Ada Sembilan MLM yang Memiliki Sertifikat Halal,
https://www.republika.co.id/berita/po9li4430/mui-sebut-ada-sembilan-mlm-yang-memiliki-
sertifikasi
halal#:~:text=Menurut%20situs%20DSN%20MUI%20terkait,Sentosa%20Internasional%20atau
%20yang%20dikenal
Syahrani, 2012, Bisnis Waralaba Di Indonesia Dalam Perspektif Hukum Bisnis Syariah,
https://jurnal.uin-antasari.ac.id/index.php/taradhi/article/view/567/pdf
Firdawati, Linda, 2011, Perjanjian Waralaba Menurut Hukum Islam,
https://media.neliti.com/media/publications/177890-ID-none.pdf
Surepno, Studi Implementasi Akad Rahn (Gadai Syariah) Pada Lembaga Keuangan Syariah,
Tawazun: Journal of Sharia Economic Law P-ISSN: 2655-9021, E-ISSN: 2655-9579, Volume
1, Nomor 2, September 2018, http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/tawazun/index
Ediyansiah, 2017, Gadai dalam Perspektif Hukum Islam (Rahn),
http://repository.radenintan.ac.id/1273/3/BAB_2_LENGKAP.pdf
Endang, 2018, Analisis Penaksiran Nilai Barang Gadai Emas dalam Menentukan Jumlah Pinjaman
Nasabah pada PT. Pegadaian (Persero) UPC Sekayu, Jurnal ACSY Politeknik Sekayu, Vol.
VII, No. 2.
Wakidatul, Habib Ihtiar, Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasionala Nomor: 92/DSN-MUI/IV/2014
Tentang Pembiayaan yang Disertai Rahn, https://media.neliti.com/media/publications/63649-
ID-analisis-fatwa-dewan-syariah-nasional-no.pdf

25

Anda mungkin juga menyukai