1/1/2013 2 Comments
Pendahuluan
Sebagai makhluk social, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang
lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat
beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya,
dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan
manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan
hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat
kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut
dengan proses untuk berakad atau
melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh
Allah. karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti
hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan
aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap
masa.
Dalam makalah ini, akan mencoba membahas muamalah dalam islam namun hanya
beberapa bagian saja yang menjadi poin utama dalam kehidupan social.
Pembahasan
Pengertian
Secara etimologis, Fiqh Muamalah berasal dari bahasa Arab, yaitu Fiqh dan
Muamalah. Fiqh adalah sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia yang
diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Sumber lain menyebutkan definisi Fiqh
adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat mengenai perilaku manusia
dalam kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil Islam secara rinci.
Muamalah berasal dari kata amala - yuamilu - muamalatan, dengan wazan faala
- yufailu - mufaalatan, yang artinya bermakna saling bertindak, saling berbuat,
saling mengamalkan. Secara terminologis, muamalah mempunyai dua arti, yakni
arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas muamalah berarti aturan-aturan hukum
Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi/pergaulan
sosial. Dan dalam arti sempit, muamalah berarti aturan Allah yang wajib ditaati,
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara
memperoleh dan mengembangkan harta benda. Jadi muamalah adalah
menyangkut afal ( perbuatan ) seorang hamba. Menurut pendapat lain, Muamalah
adalah hubungan kerja antar manusia yang dibina atas perikatan-perikatan dan
perjanjian-perjanjian yang saling merelai demi mencapai kemaslahatan bersama.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup fiqih muamalah mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti
social, ekonomi, politik hukum dan sebagainya. Aspek ekonomi dalam kajian fiqih
sering disebut dalam bahasa arab dengan istilah iqtishady, yang artinya adalah
suatu cara bagaimana manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
membuat pilihan di antara berbagai pemakaian atas alat pemuas kebutuhan yang
ada, sehingga kebutuhan manusia yang tidak terbatas dapat dipenuhi oleh alat
pemuas kebutuhan yang terbatas.
Dalam kajian fiqih ruang lingkup muamalah yakni; Harta, Hak Milik, Fungsi Uang,
Buyu (tentang jual beli), Ar-Rahn (tentang pegadaian), Hiwalah (pengalihan
hutang), Ash-Shulhu (perdamaian bisnis), Adh-Dhaman (jaminan, asuransi), Syirkah
(tentang perkongsian), Wakalah (tentang per-wakilan), Wadiah (tentang penitipan),
Ariyah (tentang peminjaman), Mudharabah (syirkah modal dan tenaga), Musaqat
(syirkah dalam pengairan kebun), Muzaraah (kerjasama per-tanian), Kafalah (penjaminan), Taflis (jatuh bangkrut), Al-Hajru (batasan ber-tindak), Jialah (sayembara,
pemberian fee), Qaradh (pejaman), transaksi valas, Urbun (panjar/DP), Ijarah
(sewa-menyewa), Riba, konsep uang dan kebi-jakan moneter, Shukuk (surat utang
atau obligasi), Faraidh (warisan), Luqthah (barang tercecer), Waqaf, Hibah, Washiat,
Iqrar, Qismul fai wal ghanimah (pem-bagian fai dan ghanimah), Qism ashShadaqat (tentang pembagian zakat), Ibrak (pembebasan hutang), Muqasah
(Discount), Kharaj, Jizyah, Dharibah,Ushur, Baitul Mal dan Jihbiz, Kebijakan fiskal
Islam, Keadilan Distribusi, Perburuhan (hubungan buruh dan ma-jikan, upah buruh),
monopoli, Pasar modal Islami dan Reksadana, Asuransi Islam, Bank Islam,
Pegadaian, MLM, dan lain-lain.[3]
Menghindari eksploitasi
Memberikan toleransi
2. Pada asalnya, hukum segala jenis muamalah adalah boleh. Tidak ada satu
model/jenis muamalah pun yang tidak diperbolehkan, kecuali jika didapati adanya
nash shahih yang melarangnya, atau model/jenis muamalah itu bertentangan
dengan prinsip muamalah Islam. Dasarnya adalah firman Allah dalam (QS. Yunus:
59).
4. Fiqh muamalah dibangun di atas prinsip menjaga kemaslahatan dan 'illah (alasan
disyariatkannya suatu hukum). Tujuan dari disyariatkannya muamalah adalah
menjaga dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Prinsip-prinsip muamalah kembali
kepada hifzhulmaal (penjagaan terhadap harta), dan itu salah satu dharuriyatul
khamsah (dharurat yang lima). Sedangkan berbagai akadseperti jual beli, sewa
menyewa, dlsb.disyariatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan
menyingkirkan kesulitan dari mereka.
Bertolak dari sini, banyak hukum muamalah yang berjalan seiring dengan maslahat
yang dikehendaki Syari' ada padanya. Maknanya, jika maslahatnya berubah, atau
maslahatnya hilang, maka hukum muamalah itu pun berubah. Al-'Izz bin
'Abdussalam menyatakan, "Setiap aktivitas
yang tujuan disyariatkannya tidak terwujud, aktivitas itu hukumnya batal." Dengan
bahasa yang berbeda, asy-Syathibiy sependapat dengan al-'Izz.. Asy-Syathibiy
berkata, "Memperhatikan hasil akhir dari berbagai perbuatan adalah sesuatu yang
mu'tabar (diakui) menurut syariat."[4]
Setiap kegiatan usaha yang dilakukan manusia pada hakekatnya adalah kumpulan
transaksi-transaksi ekonomi yang mengikuti suatu tatanan tertentu. Dalam Islam,
transaksi utama dalam kegiatan usaha adalah transaksi riil yang menyangkut suatu
obyek tertentu, baik obyek berupa barang ataupun jasa. kegiatan usaha jasa yang
timbul karena manusia menginginkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau
dilakukannya sesuai dengan fitrahnya manusia harus berusaha mengadakan
kerjasama di antara mereka. Kerjasama dalam usaha yang sesuai dengan prinsipprinsip Syariah pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam:
Bekerja sama dalam kegiatan usaha, dalam hal ini salah satu pihak dapat menjadi
pemberi pembiayaan dimana atas manfaat yang diperoleh yang timbul dari
pembiayaan tersebut dapat dilakukan bagi hasil. Kerjasama ini dapat berupa
pembiayaan usaha 100% melalui akad mudharaba maupun pembiayaan usaha
bersama melalui akad musyaraka. Kerjasama dalam perdagangan, di mana untuk
meningkatkan perdagangan dapat diberikan fasilitas-fasilitas tertentu dalam
pembayaran maupun penyerahan obyek. Karena pihak yang mendapat fasilitas
akan memperoleh manfaat, maka pihak pemberi fasilitas berhak untuk
mendapatjan bagi hasil (keuntungan) yang dapat berbentuk harga yang berbeda
dengan harga tunai.
Kerja sama dalam penyewaan asset dimana obyek transaksi adalah manfaat dari
penggunaan asset. Kegiatan hubungan manusia dengan manusia (muamalah)
dalam bidang ekonomi menurut Syariah harus memenuhi rukun dan syarat tertentu.
Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dan menjadi dasar terjadinya sesuatu, yang
secara bersama-sama akan mengakibatkan keabsahan. Rukun transaksi ekonomi
Syariah adalah:
2. Adanya barang (maal) atau jasa (amal) yang menjadi obyek transaksi.
Disamping itu harus pula dipenuhi syarat atau segala sesuatu yang keberadaannya
menjadi pelengkap dari rukun yang bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang
melakukan transaksi adalah cakap hukum, syarat obyek transaksi adalah spesifik
atau tertentu, jelas sifat-sifatnya, jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas nilainya.
Obyek transaksi menurut Syariah dapat meliputi barang (maal) atau jasa, bahkan
jasa dapat juga termasuk jasa dari pemanfaatan binatang. Pada prinsipnya obyek
transaksi dapat dibedakan kedalam: 1. obyek yang sudah pasti (ayn), yaitu obyek
yang sudah jelas keberadaannya atau segera dapat diperoleh manfaatnya. 2. obyek
yang masih merupakan kewajiban (dayn), yaitu obyek yang timbul akibat suatu
transaksi yang tidak tunai.
Secara garis besar aqad dalam fiqih muamalah adalah sebagai berikut :
I.
Pengertian
Salah satu bentuk kerjasama anatara pemilik modal dengan seseorang, yang pakar
dalam berdagang, di dalam fiqh islam disebut dengan mudharobah, yang oleh
ulama fiqh Hijaz menyebutnya dengan qiradh.
II.
perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar saling
menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk
saling bekerja sama antara pemilik modal dengan seseorang yang terampil dalam
mengelola dan memproduktifkan modal itu.
Alasan yang dikemukakan para ulama fiqh tentang keboleh-an bentuk kerja sama
ini adalah firman Allah dalam surat al-Muzzammil, 73: 20 yang berbunyi:
...
...
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari
Tuhanmu
Tuhan kami Abbas ibn Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada
seseorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharobah, dia
mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga
jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh diberikan hewan ternak yang
sakit tidak dapat bergerak/berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola
modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan Abbas ibn Abd alMuthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya. (HR athThabrani).
III.
1.
2.
3.
a.
Yang terkait dengan orang yang melakukan akad, harus orang yang mengerti
hukum dan cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang yang
akan mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya, syarat
syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.
b.
Yang terkait dengan modal, disyaratkan: (1)berbentuk uang, (2)jelas
jumlahnya, (3)tunai, (4)diserahkan sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal.
Oleh sebab itu, jika modal itu berbentuk barang, menurut ulama fiqh tidak
dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya. Demikian halnya juga
dengan utang, tidak boleh dijadikan modal mudharabah. Akan tetapi, jika modal itu
berupa wadiah (titipan) pemilik modal pada pedagang, boleh dijadikan modal
mudharabah. Apabila modal itu tetap dipegang sebagiannya oleh pemilik modal,
dalam artian tidak diserahkan seluruhnya, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah,
dan Syafiiyah, akad mudharabah tidak sah. Akan tetapi, ulama Hanabilah
menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal
tidak menganggu kelancaran usaha itu.
c.
Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian keuntungan
harus jelas dan bagian masing masing diambilkan dari keuntungan dagang itu,
seperti setengah, sepertiga, atau seperempat. Aqpabila pembagian keuntungan
tidak jelas, menurut ulama Hanafiyah, akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya
apabila pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian ditanggung bersama, menurut
ulama Hanafiyah, syarat seperti ini batal dan kerugiaan tetap ditanggung sendiri
oleh pemilik modal.
IV.
Macam-macam Mudharabah
Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan pemilik modal dengan pekerja, para ulama
fikih membagi akad mudharabah kepada dua bentuk, yaitu mudharabah muthlaqah
(penyerahan modal secara mutlak, tanpa syarat dan batasan) dan mudharabah
muqqayadah (penyerahan modal dengan syarat dan batasan tertentu). Dalam
mudharabah muthlaqah, pekerja diberi kebebasan untuk mengelola modal itu
selama profitable. Sedangkan, dalam mudharabah muqayyadah, pekerja mengikuti
ketentuan-ketentuan yang diajukan oleh pemilik modal. Misalnya, pemberi modal
menentukan barang dagangan, lokasi bisnis dan suppliernya.
Jika suatu akad mudharabah telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka
mempunyai akibat sebagai berikut :
Modal ditangan pekerja berstatus amanah, dan posisinya sama dengan posisi
seorang wakil dalam jual beli. Pekerja berhak atas bagian keuntungan yang
dihasilkan.
I.
Pengertian
Secara terminologi, ada beberapa definisi asy-syirkah yang dikemukakan oleh para
ulama fiqh. Pertama dikemukakan oleh ulama Malikiyah. Menurut mereka, asysyirkah adalah :
Suatu keizinan untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama
terhadap harta mereka.
Kedua, definisi yang dikemukakan oleh ulama Syafiiyah dan Hanabilah. Menurut
mereka, asy-syirkah adalah :
Hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka
sepakati.
Pada dasarnya definisi definisi yang dikemukakan para ulama fiqh di atas hanya
berbeda secara redaksioanl, sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya
adalah sama, yaitu ikatan kerja sama yang dilakukan dua orang atau lebih dalam
perdagangan. Dengan adanya akad asy-syirkah yang disepakati kedua belah pihak,
semua pihak yang mengikatkan diri berhak bertindak hukum terhadap harta serikat
itu, dan berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan persetujuan yang
disepakati.
II.
Akad asy-syirkah dibolehkan, menurut para ulama fiqh, berdasarkan kepada firman
Allah dalam surat an-Nisa, 4: 12 yang berbunyi :
... ...
Ayat ini menurut mereka berbicara tentang perserikatan harta dalam pembagian
warisan. Dalam ayat lain Allah berfirman :
...
Atas dasar ayat dan hadis di atas para ulama fiqh menyatakan bahwa akad asysyirkah mempunyai landasan yang kuat dalam agama Islam.
III.
Para ulam fiqh membagi asy-syirkah ke dalam dua bentuk, yaitu; 1) syirkah alAmlak ( perserikatan dalam pemilikan ). (2) Syirkah al-Uquq ( perserikatan
berdasarkan suatu akad ).
1.
Syirkah al-Amlak
Syirkah dalam bentuk ini, menurut ulama fiqh, adalah dua orang atau lebih memiliki
harta bersama tanpa melalui atau didahului oleh akad asy-syirkah. Asy-syirkah
dalam kategori ini, selanjutnya mereka bagi pula menjadi dua bentuk, yaitu:
a.
Syirkah ikhtiar ( perserikatan dilandasi pilihan orang yang berserikat ), yaitu
perserikatan yang muncul akibat tindakan hokum orang yang berserikat, seperti
dua orang sepakat membeli sebuah barang, atau mereka menerima harta hibah,
wasiat, atau wakaf dari orang lain, lalu kedua orang itu menerima pemberian hibah,
hibah, wasiat, awakaf itu dan menjadi milik mereka secara berserikat. Dalam kasus
seperti ini, harta yang dibeli bersama atau yang dihibahkan, diwakafkan, atau yang
diwariskan orang itu menjadi harta serikat bagi mereka berdua.
b.
Syirkah jabar ( perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan
orang yang berserikat ), yaitu sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang
atau lebih, tanpa kehendak dari mereka, seperti harta warisan yang mereka terima
dari seorang yang wafat. Harta itu menjadi milik bersama orang orang yang
menerima warisan itu.
Dalam kedua bentuk syirkah al-Amlak, menurut para pakar fiqh, status harta
masing-masing orang yang berserikat, sesuai dengan hak masing-masing, bersifat
berdiri sendiri secar hukum. Apabila masing-masing ingin bertindak hukum
terhadap harta serikat itu, harus ada izin dari mitranya, karena seseorang tidak
memiliki kekuasaan atas bagian harta orang yang menjadi mitra serikatnya. Hukum
yang terkait dengan syirkah al-amlak ini dibahas oleh para ulama fiqh secara luas
dalam bab wasiat, waris, hibah dan wakaf.
2.
Syirkah al-Uquq
Syirkah dalam bentuk ini maksudnya adalah akad yang disepakati dua orang atau
lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungannya.
Terdapat perbedaan pendapat para ulam fiqh tentang bentuk-bentuk serikat yang
termasuk ke dalam syirkah al-uquq.
a.
Syirkah al-inan ( penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang
tidak selalu sama jumlahnya ).
b.
Syirkah al-mufawadhah ( perserikatan yang modal semua pihak dan bentuk
kerjasama yang mereka lakukan baik kualitas dan kuantitasnya harus sama dan
keuntungannya dibagi rata ).
c.
Syirkah al-abdan ( perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi
bersama ).
d.
e.
Syirkah al-mudharabah ( bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan
seorang yang punya kepakaran dagang, dan keuntungannya dibagi bersama)
a.
Syirkah al-inan.
b.
Syirkah al-mufawadhah.
c.
Syirkah al-abdan.
d.
Syirkah al-wujuh.
a.
b.
c.
IV.
Perserikatan ke dalam dua bentuknya di atas, yaitu syirkah al-amlak dan syirkah
al-uquq mempunyai syarat syarat umum, yaitu:
a.
Perserikatan itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan. Artinya, salah
satu pihak jika bertindak hukum terhadap obyek perserikatan itu, dengan izin pihak
lain. Dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang berserikat.
b.
Persentase pembagian keuntungan untuk masing masing pihak yang
berserikat dijelaskan ketika berlangsungnya akad.
c.
Keuntungan itu diambilkan dari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta
lain.
V.
a.
b.
Porsi kerjasama.
c.
Proyek/usaha ( masyru ).
d.
e.
3. Aqad Muzaraah
I.
Pengertian
Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya
dibagi berdua.
Kedua definisi ini dalam Indonesia disebut sebagai paroan sawah Penduduk Irak
menyebutnya al-Mukhabarah, tetapi dalam al-mukhabarah, bibit yang akan
ditanam berasal dari pemilik tanah. Imam asy-Syafiiyah mendefinisikan almukhabarah dengan:
Pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit
pertanian disediakan penggarap tanah.
Dalam al-mukhabarah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah,
sedang dalam al-muzaraah bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.
II.
Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair ibn Huzail adalah sebuah hadis berikut:
Rasulallah saw yang melarang melakukan al-mukhabarah. ( HR Muslim dari Jabir ibn
Abdillah ).
Al-Mukhabarah dalam sabda Rasulallah itu adalah al-muzaraah, sekalipun dalam almukhabarah bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.
III.
Rukun al-Muzaraah
a.
Pemilik tanah.
b.
Petani penggarap.
c.
Obyek al-muzaraah.
d.
IV.
Syarat-syarat al-Muzaraah
Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga sesuai
dengan kebiasaan tanah itubenih yang ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.
Sedangkan syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:
a.
Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan
menghasilkan. Jika tanah itu adalah tanah yang tandus dan kering, sehingga tidak
dimungkinkan untuk dijadikan tanah pertanian, maka akad al-muzaraah tidak sah.
b.
c.
Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila
disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu, maka akad almuzaraah tidak sah.
a.
b.
Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada
pengkhususan.
c.
Pembagian hasil panen itu ditentukan setengah, sepertiga, atau seperempat
sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan dikemudian hari, dan
penentuanya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu
kuintal untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen
jauh dibawah jumlah itu atau dapat juga jauh melampaui kumlah itu.
V.
Menurut jumhur ulama yang membolehkan akad al-muzaraah, apabila akad ini
telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat hukumnya adalah sebagai
berikut:
a.
Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan biaya pemeliharaan
pertanian itu.
b.
Biaya pertanian seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya pembersihan
tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik tanh sesuai dengan prosentase
bagian masing-masing.
4. Aqad ijarah
Pengertian Ijarah
a). Ulama hanafiah artinya akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.
b). Ulama Asy-Syafiiyah artinya akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung
maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolhan dengan
penganti tertentu.
c). Ulama Malikiah dan Hanabilah artinya: Menjadikan milik suatu kemanfaatan
yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.
2. Syarat Ijarah
a)
Syarat ini berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat akad. Syarat ini sering
disebut inqad..menurut Ulama Hanafiah ,aqid disyaratkan harus berakal dan
mumayyiz (minimal 7 tahun), serta tidak syaratkan tidak baliq. Akan tetapi, jika
bukan barang miliknya sendiri, akad ijarah anak mumayyiz, dipandang sah, tetapi
bergantung atas keridhoan walinya.
b)
Agar izarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh Aqid atau ia memiliki kekuasaan
penuh untuk akad (ahliah).
c)
Tidak mengambil manfaat bagi diri orang disewa. Manfaat maqud alaih sesuai
dengan keadaan yang umum.
d)
e)
Syarat ujrah.
v Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa
rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.
f)
g)
Syarat kelaziman
3. Rukun Ijarah
Menurut Ulama hanafiah, rukun Ijarah adalah Ijab dan Qobul, antara lain
dengan menggunakan kalimat al-ijarah, alistigfar, al-ikhtiar, dan al-ikra. Menurut
Jumhur Ulama, rukun Ijarah ada 4, yaitu: Aqid, Shighat akad, Ujrah(upah), Manfaat.
1.
Sifat Ijarah
Menurut ulama hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang didasarkan pada firman
Allah SWT :
, yang boleh dibatalkan, pembatalan
tersebut dikaitkan pada asalnya bukan didasarkan pada pemenuhan akad.
2.
Hukum Ijarah
Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemamfaatan bagi penyewa, dan tetapnya
upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan maqud alaih sebab ijarah
termasuk jual beli pertukaran hanya saja dengan kemamfaatan. Hukum ijarah
rusak, menurut ulama hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi
orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan
pada waktu akad, ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika
kerusakan disebabkan penyewa tidakmemberi tahukan jenis pekerjaan
perjanjiannya upah harus diberikan semestinya.
Ijarah terbagi dua, yaitu ijarah terhadap benda atau sewa-menyewa dan ijarah atas
pekerjaan atau upah mengupah.
a.
Hukum Sewa-menyewa
Dibolehkan ijarah atas barang mubah, seperti rumah kamar, dan lain-lain, tetapi,
dilarang ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan.
b. hukum upah-mengupah
Upah mengupah atau ijrah ala alamal yakni jual beli jasa, biasanya berlaku
dalam beberapa hal seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah dan lain-lain.
Ijarah alal-amal terbagi dua yaitu:
Ijarah khusus
Ijarah musytarik
Penutup
Secara etimologis, Fiqh Muamalah berasal dari bahasa Arab, yaitu Fiqh dan
Muamalah. Fiqh adalah sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia yang
diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Muammalah sendiri berasal dari kata amala yuamilu - muamalatan, dengan wazan faala - yufailu - mufaalatan, yang artinya
bermakna saling bertindak, saling berbuat, saling mengamalkan. Secara
terminologis, muamalah mempunyai dua arti, yakni arti luas dan arti sempit. Dalam
arti luas muamalah berarti aturan-aturan hukum Allah untuk mengatur manusia
dalam kaitannya dengan urusan duniawi/pergaulan social.
Semua akad dan ruang lingkup pada muammalah mempunyai prinsip kaidah,
diantaranya: Fiqh mu'amalat dibangun di atas dasar-dasar umum yang dikandung
oleh beberapa nash (QS. An-Nisa`: 29), (QS. Al-Baqarah: 188, 275), Pada asalnya,
hukum segala jenis muamalah adalah boleh. Tidak ada satu model/jenis muamalah
pun yang tidak diperbolehkan, kecuali jika didapati adanya nash shahih yang
melarangnya, atau model/jenis muamalah itu bertentangan dengan prinsip
muamalah Islam, Fiqh mu'amalah mengompromikan karakter tsabat dan murunah,
Fiqh muamalah dibangun di atas prinsip menjaga kemaslahatan dan 'illah (alasan
disyariatkannya suatu hukum).
DAFTAR PUSTAKA
1.
Masadi, Ghufron. 2002. Fikih Muamalah Kontekstual. Pt. Raja Grafindo
Persada : Jakarta
2.
3.
Lihat:Masadi, Ghufron. 2002. Fikih Muamalah Kontekstual. Pt. Raja Grafindo
Persada : Jakarta.
4.
Drs. M. Yatimin Abdullah, MA, Studi Islam Kontemporer, Cet I, Amzah, Jakarta.
5.
6.
7.
http://hadypradipta.blog.ekonomisyariah.net/2009/01/06/fiqih-muamalah/8
8.
http://an-nuur.org/index.php?
option=com_content&task=blogcategory&id=14&Itemid=30
9.
H Ibrahim Lubis. 1995. Ekonomi Islam Suatu Pengantar. Kalam Mulia: Jakarta.
10. Azhar Basyir, Ahmad. 2004. Asas-asas Hukum Muamalah. Uii Press: Yogyakarta.
[1] Drs. M. Yatimin Abdullah, MA, Studi Islam Kontemporer, Cet I, Amzah, Jakarta,
Hal. 157
[3] http://hitsuke.blogspot.com/2009/11/akad-fiqih-muamalah.html
[4] http://an-nuur.org/index.php?
option=com_content&task=blogcategory&id=14&Itemid=30
2 Comments
idi6/26/2013
segera diRalat pada penjelasan pada bagian
Leave a Reply.