Anda di halaman 1dari 18

FIQH MUAMALAH

FIQH MUAMALAH

I. MUAMALAH
1. Pengertian:

Kata muamalah berasal dari bahasa Arab ( )yang secara etimologi sama dan semakna dengan al-mufaalah (saling berbuat), yang menggambarkan aktivitas yang dilakakuakan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Secara terminologi, penegertian muamalah dapat dibagi menjadi dua: a. Muamalah dalam arti luas: Muhammad Yusuf Musa meberikan pengertian bahwa mualamah adalah peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia. Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa muamalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial. b. Muamalah dalam arti sempit: 1) Menurut Hudlari Beck Muamalah adalah Semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat di antara mereka.
FIQH MUAMALAH 2

2) Menurut Rashid Ridha adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan. Jadi Muamalah dalam arti sempit adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda. Dari difenisi di atas baik muamalah dalam arti luas atau muamalah dalam arti sempit adalah sama-sama mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia. Namun tindakan hukum dalam muamalah adalah tindakan orang-orang yang sudah dianggap mukallaf dan menyangkut persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kebutuhan keduniaan, tapi tidak berarti bahwa muamalah terlepas sama sekali dengan masalahmasalah ketuhanan, karena semua kativitas manusia di dunia ini harus senantiasa dalam rangka pengabdian kepada Allah (Lihat: QS. Adz-Dzariyat: 56: Dan aku tidak menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku).

FIQH MUAMALAH

Dengan dasar itu, salah satu ulama Hanafiah Ibnu Abidin


membagi muamalah menjadi lima bagian:

a. b.

Al-muawadah al-maliyah (Pertukaran harta benda) Amanah atau akad yang bersifat amanah (al-wadiah dan al-ariyah)

c. d. e.

Munakahat/az-zawaj (Hukum Perkawinan) Al-Mukhashamat (Hukum Acara, tuntutan dan pengadilan) At-Tarikah (Hukum Kewarisan)

FIQH MUAMALAH

Karena muamalah merupakan aktivitas manusia yang berkaitan dengan tindakan hukum dalam persoalan-persoalan keduniaan, maka sangat diperlukan untuk mengetahui beberapa persoalan yang berkaitan dengan pemikiran muamalah yang berkaitan langsung dengan pemikiran ekonomi Islam yang merupakan prasyarat dasar yang mesti diidentifikasi dan dipenuhi sebelum memasuki tahapan impelemntasi penegmbangan maumalah atau ekonomi Islam. Prasyarat tersebut antara lain:

2. Fondasi Muamalah:
Fondasi dalam muamalah (ekonomi Islam) mencakup tiga hal: a. Aqidah (fondasi utama) yaitu suatu ideologi samawi yang membentuk paradigma dasar bahwa alam semesta ini adalah ciptaan Allah yang dititipkan kepada seluruh umat manusia sebagai sarana hidup untuk mencapai kesejahteraan secara material dan spiritual. Dengan fondasi ini berarti, setiap aktifitas manusia memiliki nilai akuntabilitas ilahiah yang menenpatkan perangkat syariah sebagai parameter kesesuaian antara aktifitas dan syariah. Fondasi utama ini (aqidah) menjadi dasar atas fondasi pendukung lainnya seperti syariah dan akhlak.
FIQH MUAMALAH 5

b. Syariah dan akhlak (fondasi pendukung pertama): Syariah merupakakan ketentuan hukum Islam yang mengatur aktivitas umat manusia yang berisi perintah dan larangan, baik menyangkut hubungan interaksi vertikal (manusia-Tuhan) atau interkasi horisontal sesama makhluk. Jadi prinsip syariah dalam muamalah merupakan sumber ketentuan yang mengatur pola hubungan bagi semua pelaku dan stakeholder muamalah (ekonomi Islam). Akhlak merupakan norma dan etika yang berisi nilai-nilai moral dalam interaksi sesama manusia, manusia dengan lingkungannya dan manusia dengan pencipta alam semesta, agar hubungan tersebut menjadi harmonis dan sinergi. c. Ukhuwah (fondasi pendukung kedua): Prinsip persaudaraan (ukhuwah) sangat diperlukan dalam menata interaksi sosial yang diarahkan pada harmonisasi kepentingan individu dengan tujuan kemanfaatan secara umum dengan semangat tolong menolong. Ukhuwah tersebut dapat diwujudkan melalui proses taaruf (saling mengenal); tafahum (saling memahami); taawun (saling menolong); takaful (saling menjamin); dan tahaluf (saling beraliansi). Fondasi ini dilandasi dengan prinsip kesetaraan; kesejajaran; salaing percaya dan saling membutuhkan.
FIQH MUAMALAH 6

3. Pilar Muamalah kontemporer. Merupakan asas atau prinsip tindakan sebagai penjabaran dari nilai-nilai dasar pada pelaksanaan mumalah yang telah diidentifikasi, yaitu: a. Keadilan (adalah): adalah menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan sesuatu pada yang berhak, serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya. Implementasi keadilan dalam muamalah berupa aturan yang melarang adanya unsur sbb: 1) Riba (unsur bunga dalam segala bentuk dan jenisnya, baik riba nasiah, maupun fadlh) 2) Zhalim (unsur kezaliman yang merugikan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan) 3) Maysir (unsur judi dan sikap untung-untungan) 4) Gharar (unsur ketidakjelasan) 5) Jihala (unsur ketidaktahuan) dan 6) Haram (unsur haram baik dalam barang maupun jasa serta aktivitas operasional).
FIQH MUAMALAH 7

b. Kemaslahatan (mashlahah): Kemaslahatan dalam Islam adalah segala sesuatu yang dapat membawa kemanfaatan dan menolak kemudaratan yang berdimensi integral duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual serta individual dan kolektif. Pilar ini dapat diukur dari dua unsur yaitu adanya kepatuhan syariah (halal) dan bermanfaat serta membawa kebaikan (thayib) bagi semua aspek secara integral yang tidak menimbulkan mudlarat dan merugikan pada salah satu aspek. Secara luas pilar ini dapat diukur dari maqashid syariyah yang mengandung unsur perlindungan kepada lima hal pokok dalam kehidupan manusia (dien, nafs, maal, aql dan nasl).

c. Keseimbangan (tawazun): Keseimbangan dalam muamalah merupakan pilar yang meliputi berbagai segi, antara lain: pembangunan material dan spiritual; pengembangan sektor keuangan dan sektor riil; risk dan return; bisnis dan sosial; dan pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam. FIQH MUAMALAH 8

4. Tujuan Muamalah:

Sasaran akhir yang akan dicapai dalam muamalah adalah falah. Falah adalah kesuksesan hakiki berupa pencapaian kebahagian dalam segi material dan spiritual serta tercapainya kesejahteraan di dunia dan akhirat. Kesuksesan dalam aspek material tidaklah bermakna apabila mengakibatkan kerusakan dalam aspek kemanusiaan lainnya seperti persaudaraan dan moralitas. Muamalah dalam Islam dilandasi pemikiran bahwa setiap kegiatan dan aktivitas manusia memiliki dimensi ibadah yang dapat diimplementasikan pada setiap level kegiatan. Dengan aqidah yang benar akan dapat menghasilkan perbuatan baik yang mencerminkan suatu akhlak mulia. Dalam rangka penyelarasan kegiatan yang berbeda, perlu ada sistem yang dilengkapi dengan hukum syariah yang dilaksanakan selaras dengan hukum positif yang berlaku dalam suatu sistem kemasyarakatn. Implementasi syariah-akhlak diharapkan akan menghasilkan suatu fenomena kebersamaan dalam melaksanakan muamalah yang mengutamakaan kesejahteraan bersama dalam pencapaian tujuan aktivitas muamalah. Dasar-dasar syariah dapat dijabarkan dalam bentuk pilar-pilar yang akan mewarnai sifat dan bentuk transaksi keuangan yang dioperasikan, yaitu aspek keadilan; kemaslahatan dan keseimbangan. Semua upaya pencapaian dalam muamalah, tujuan puncaknya adalah untuk mencapai mardlatillah (mencapai keridlaan Allah).
FIQH MUAMALAH 9

5. Obyek muamalah dalam Islam mempunyai bidang yang amat luas, sehingga Al-Quran dan As-Sunnah secara mayoritas lebih banyak membicarakan persoalan muamalah dalam bentuk global, universal dan umum saja, agar memberi peluang kepada manusia untuk melakukan inovasi terhadap berbagai bentuk muamalah yang mereka butuhkan dalam mengarungi kehidupan dunia ini, namun dengan syarat bahwa bentuk muamalah hasil inovasi tersebut tidak keluar dari koredor dan prinsip-prinsip yang telah ditentukan oleh Islam. 6. Ruang lingkup Fiqh Muamalah: Muamalah dapat dibagi menjadi dua: 1. Al-Muamalah Al-Maadiyah: Muamalah yang mengkaji obyeknya yang bersifat kebendaan, sehingga kajiannya adalah benda yang halal dan haram atau syubhat, sehingga benda-benda tersebut dapat mendatangkan kemaslahatan atau kemudharatan bagi manusia. 2. Al-Muamalah Al-Adabiyah: muamalah yang ditinjau dari sisi cara melakukan tukar-menukar benda yang bersumber dari panca indera manusia, dengan unsur penegaknya adalah hak-hak dan kewajibankewajiban (seprti: jujur, hasud, gharar, dengki, jihala dsb).
FIQH MUAMALAH 10

Dengan dasar itu, maka ruang lingkup muamalah dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Ruang lingkup muamalah yang bersifat adabiyah yaitu ijab-qabul, taradli, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, tidak ada penipuan, pemalsuan, penimbunan dan lain sebagainya yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam kehidupan manusia. 2. Ruang lingkup pembahasan maadiyah, yaitu: al-wadliah (depository); al-musyarakah (partnership, project financing participation); al-mudlarabah (trust financing, trust investment); almuzaraah (harvest-yield profit sharing); al-musaqah (plantation management fee based on certain portion yield); bai al-murabahah (deferred payment sale); bai as-salam (in-front payment sale); bai istishna (purchase by order or manufacture); al-ijarah (operational lease); al-ijarah al-muntahia bit-tamlik (financial lease with purchase option); al-wakalah (deputyship); al-kafalah (guaranty); al-hawalah (transfer service); ar-rahn (mortgage); al-qardl (soft and benevolent loan) dan sebagainya.
FIQH MUAMALAH 11

Berdasarkan ruang lingkup di atas ada lima prinsip dasar yang dilakukan dalam muamalah kontemporer saat ini (perbankan syariah) yaitu: (1) Titipan/simpanan (al-wadiah / depository); (2) Bagi hasil (al-musyarakah, al-mudharabah, al-muzaraah, dan al-musaqah); (3) Jual beli (bai al-murabahah, bai as-salam, bai al-istishna); (4) Sewa (al-ijarah, al-ijarah muntahiya bit tamlik); (5) Jasa (al-wakalah, al-kafalah, al-hawalah, ar-rahn dan alqardh) (baca: Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik).
FIQH MUAMALAH 12

FIQH MUAMALAH

13

I. HARTA (1)
Pengertian Harta: Kata harta dalam bahasa Arab berasal dari kata "mal" yang berarti "condong, atau berpaling dari tengah ke salah satu sisi. Jadi Harta adalah segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat menurut ulama Hanafi adalah "segala sesuatu yang digandungi manusia dan dapat dihadirkan ketika dibutuhkan" atau "segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan.
FIQH MUAMALAH 14

Menurut Jumhur Ulama: "segala sesuatu yang mempunyai nilai dan dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau melenyapkannya. Dalam kandungan kedua definisi di atas, terdapat perbedaan esensi harta. Jumhur Ulama: harta tidak saja bersifat materi, tetapi juga termasuk manfaat dari suatu benda. Golongan Hanafiah "harta" hanya bersifat materi, sedangkan manfaat (seperti FIQH MUAMALAH 15 pendapat Jumhur) termasuk ke dalam

Contoh (1): "apabila seseorang merampas atau menggunakan kendaraan orang lain tanpa izin (gasab)". Jumhur: Orang tersebut dapat dikenakan ganti rugi, karena manfaat kendaraan memiliki nilai harta. Manfaat suatu benda merupakan unsur terpenting dalam harta, nilai harta diukur pada kualitas dan kuantitas manfaatnya. Hanafiah: Kendaraan yang digunakan orang lain tanpa izin tidak dapat dikenakan ganti rugi, karena orang tersebut bukan mengambil harta tetapi hanya sekedar memanfaatkan. Sekalipun Hanafiah mengakui bahwa manfaat sebagai hak milik tdapat dijadikan sebagai mahar dalam perkawinan dan wajib dizakatkan.
FIQH MUAMALAH 16

Contoh (2): apabila seseorang menyewakan rumahnya kepada seseorang, lantas sebelum berakhirnya akad sewa-menyewa tersebut, pihak pemilik rumah meninggal dunia. Hanafi: Kontrak sewa-menyewa dapat dibatalkan karena meninggalnya pemilik rumah, sementara rumah yang disewa harus dikembalikan kepada ahli warisnya, karena manfaat (sewa rumah yang dikontrakkan) tidak termasuk harta yang bisa diwarisi. Jumhur: Kontrak sewa-menyewa tetap berlangsung sampai masa kontrak berakhir, sekalipun pemilik rumah sudah wafat, karena manfaat merupakaan harta yang bisa diwarisi. Kontrak sewa-menyewa dapat berakhir karena FIQH MUAMALAH 17 jatuhnya tempo, bukan karena wafatnya pemilik.

Mustafa Ahmad az-Zarqa dan Wahbah AzZuhaili lebih menguatkan definisi Jumhur dengan alasan sebagaimana QS. Al-Baqarah: (29): : (Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa ada di bumi untukmu, kemudian Dia menuju ke langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqara: 29)). Ayat di atas menjelaskan bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah di bumi adalah untuk dimanfaatkan umat manusia FIQH MUAMALAH 18

Anda mungkin juga menyukai